Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Ekstrak Metanol Daun Ketepeng Cina ( Cass Linn.) Linn.) Cassi a al ata
Disusun Oleh : Kelompok 2 – 2 – Farmasi Farmasi B 1. Seavhira Dianmurdedi
(11141020000040)
2. Khena Zuraeda
(11141020000042)
3. Syifa Rizkia Arumawati (11141020000047) 4. Fariz Agus Mahira
(11141020000053)
5. Shoffiya Amaliya
(11141020000056)
PROGRAM STUDIFARMASI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA DESEMBER/2016
1
ABSTRAK Daun ketepeng cina (Cassia (Cassia alata alata Linn.) telah digunakan secara empiris khasiatnya dan telah dipublikasikan beberapa jurnal mengenai penelitian kandungan zat berkhasiat di dalamnya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan mengisolasi senyawa metabolit sekunder s ekunder dari ekstrak methanol daun ketepeng cina (Cassia (Cassia alata Linn.). alata Linn.). Sampel diperoleh dari Purwokerto, Jawa Tengah. Daun diekstraksi menggunakan dua cara yaitu sokletasi dan maserasi keduanya menggunakan pelarut methanol. Kemudian dilakukan fraksinasi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan methanol. Serta dilakukan kromatografi lapis tipis analitik dan kromatografi kolom menggunakan pelarut dengan perbedaan tingkat kepolaran (n-heksana 100%; n-heksana-etil asetat (4:1); n-heksana-etil asetat (3:2)). Kemudian metabolit sekunder diisolasi menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif.
Kata kunci: ketepeng cina, Cassia alata Linn., alata Linn., metabolit sekunder
2
ABSTRAK Daun ketepeng cina (Cassia (Cassia alata alata Linn.) telah digunakan secara empiris khasiatnya dan telah dipublikasikan beberapa jurnal mengenai penelitian kandungan zat berkhasiat di dalamnya. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan mengisolasi senyawa metabolit sekunder s ekunder dari ekstrak methanol daun ketepeng cina (Cassia (Cassia alata Linn.). alata Linn.). Sampel diperoleh dari Purwokerto, Jawa Tengah. Daun diekstraksi menggunakan dua cara yaitu sokletasi dan maserasi keduanya menggunakan pelarut methanol. Kemudian dilakukan fraksinasi menggunakan pelarut n-heksana, etil asetat, dan methanol. Serta dilakukan kromatografi lapis tipis analitik dan kromatografi kolom menggunakan pelarut dengan perbedaan tingkat kepolaran (n-heksana 100%; n-heksana-etil asetat (4:1); n-heksana-etil asetat (3:2)). Kemudian metabolit sekunder diisolasi menggunakan kromatografi lapis tipis preparatif.
Kata kunci: ketepeng cina, Cassia alata Linn., alata Linn., metabolit sekunder
2
ABSTRACT Ketepeng cina leaves (Cassia (Cassia alata alata Linn.) has been used empirically properties and has published several research journals regarding the content of nutritious substances in it. This study aimed to identify and isolate the secondary metabolites of methanol extract ketepeng cina leaves (Cassia (Cassia alata alata Linn.). Samples were obtained from Purwokerto, Central Java. The leaves are extracted using two methods, soxhletation and maceration using methanol solvent. Then fractionation using n-hexane, ethyl acetate, and methanol. And conducted an analytical thin-layer chromatography and column chromatography using a solvent with different degrees of polarity (n-hexane 100%; n-hexane-ethyl acetate (4: 1); n-hexane-ethyl acetate (3: 2)). Then the secondary metabolites were isolated using preparative thin layer chromatography.
Keywords: ketepeng cina, Cassia alata Linn., alata Linn., Secondary metabolites
3
KATA PENGANTAR Segala puji dipanjatkan kepada Allah SWT atas seluruh berkat dan rahmatNya. Shalawat serta salam dicurahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa petunjuk dan suri tauladan bagi umat manusia. Makalah dengan judul “ Isolasi Senyawa Metabolit Sekunder dari Esktrak Metanol Daun Ketepeng Cina ( Cassia
Linn.)” alata
disusun untuk
memenuhi tugas praktikum farmakognosi fitokimia 3 di Program Studi Farmasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan sebagai sumber informasi ilmiah pada bidang farmakognosi fitokimia dan dalam pengembangan bahan alam.
Penulis.
4
DAFTAR ISI Cover
1
………………………………………………………………….
Abstrak
………………………………………………………………..
Abstract
……………………………………………………………….
Kata Pengantar Daftar Isi
2 3
……………………………………………………….
4
………………………………………………………………
5
Bab I Pendahuluan
7
1.1 Latar Belakang
7
1.2 Rumusan Masalah
7
1.3 Tujuan Penelitian
8
1.4 Manfaat Penelitian
8
Bab II Tinjauan Pustaka
9
2.1 Ketepeng Cina
9
2.2 Isolasi Senyawa
11
2.3 Skrining Fitokimia
16
2.4 Partisi
18
2.5 KLT Analitik
23
2.6 Kromatografi Kolom
26
2.7 KLT Preparatif
29
Bab III Metodologi
34
3.1 Alat dan Bahan
34
3.2 Prosedur Kerja
34
3.2.1
Preparasi Sampel
34
3.2.2
Ekstraksi
35
3.2.3
Skrining Fitokimia
36
3.2.4
Partisi
39
3.2.5
KLT Analitik
40
3.2.6
Kromatografi Kolom
40
5
3.2.7
KLT Preparatif
42
Bab IV Hasil dan Pembahasan
44
4.1
Isolasi Senyawa
44
4.2
Skrining Fitokimia
48
4.3
Partisi
53
4.4
KLT Analitik
56
4.5
Kromatografi Kolom
60
4.6
KLT Preparatif
65
Kesimpulan Daftar Pustaka
69 ……………………………………………………….
70
6
Bab I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masyarakat
Indonesia
banyak
menggunakan
tanaman
sebagai
pengobatan alternatif sehingga banyak pengetahuan empiris tentang tanaman obat dan semakin banyak pula masyarakat yang tertarik untuk mendalami. Sehingga muncul beragam jurnal ilmiah mengenai khasiat suatu tanaman untuk diteliti salah satunya ketepeng cina. Ketepeng cina mempunyai nama latin Cassia alata Linn. Merupakan famili fabaceae dan ordo rosales. Tumbuhan ini dapat dimanfaatkan daunnya sebagai obat penyakit kulit seperti kudis, kurap dll. Ketepeng cina banyak digunakan di Purwokerto, Jawa Tengah sebagai obat untuk luka dengan mencuci daunnya kemudian dihaluskan dan ditempelkan ke kulit. Ketepeng cina adalah tanaman berkayu yang mempunyai daun yang cukup besar-besar, bunga kecil berwarna kuning, dan berkakar tunggang. Ketepeng cina umumnya hidup di dataran rendah. Ketepeng cina mempunyai zat aktif tannin, flavonoid, dll sehingga banyak digunakan sebagai pengobatan alternative. Sehingga peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai senyawa kimia yang dapat menjadi zat aktif pada tanaman tersebut.
1.2 Rumusan Masalah 1. cara isolasi senyawa metabolit sekunder? 2. Bagaimana ekstraksi senyawa metabolit sekunder dari daun Cassia alata Linn.?
7
1.3 Tujuan Penelitian Untuk mengekstraksi dan mengisolasi senyawa metabolit sekunder dalam daun Cassia alata Linn. Sehingga didapatkan senyawa murninya.
1.4 Manfaat Penelitian Dapat diperoleh hasil ekstraksi dan senyawa metabolit sekunder hasil isolasi dari daun Cassia alata Linn. sehingga dapat menjadi sumber informasi dan pengembangan bidang fitokimia maupun bahan alam.
8
Bab II Tinjauan Pustaka 2.1 Ketepeng Cina 2.1.1 Klasifikasi
Klasifikasi tumbuhan ketepeng cina sebagai berikut : Divisio (Divisi)
: Angiospermae
Classis ( Kelas)
: Dicotyledoneae
Ordo (Bangsa)
: Rosales
Family (Suku)
: Fabaceae
Genus (Marga)
: Cassia,
Spesies (Jenis)
: Cassia alata L.
Ketepeng cina ( Cassia alata L. ) berasal dari daerah tropik Amerika dan biasanya hidup pada dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia, tumbuhan ketepeng cina memilki sebutan yang berbedabeda, seperti ketepeng kebo (Jawa), ketepeng badak (Sunda), acon-aconan (Madura), sajamera (Halmahera), kupang-kupang (Ternate), tabankun (Tidore), daun kupang, daun kurapan dan gelinggang gajah (Sumatra).
2.1.2 Deskripsi Tanaman
Tumbuhan ketepeng cina termasuk tumbuhan dikotil yang mempunyai sistem perakaran tunggang, yaitu memperlihatkan akar pokoknya yang bercabang-cabang menjadi akar yang lebih kecil dan berbentuk kerucut panjang yang terus tumbuh lurus ke arah bawah. Sistem perakaran tunggang ini umumnya berfungsi untuk memperluas
9
bidang penyerapan dan memperkuat tegaknya batang. Jika dilihat dari batangnya, tumbuhan ketepeng cina ( Cassia alata L. ) merupakan tumbuhan berkayu dengan ketinggian ± 3 meter, bentuk batang bulat dan mempunyai sistem percabangan simpodial.
Gambar II : Bentuk Bunga dan Daun Ketepeng Cina
Daun Ketepeng cina ( Cassia alata L ) berbentuk jorong sampai bulat telur sungsang, merupakan daun majemuk menyirip genap yang berpasangpasangan sebanyak 5 – 12 baris, mempunyai anak daun yang kaku dengan panjang 5 – 15 cm, lebar 2,5 – 9 cm, ujung daunnya tumpul dengan pangkal daun runcing serta tepi daun rata. Pertulangan daunnya menyirip dengan tangkai anak daun yang pendek dengan panjang ± 2 cm dan berwarna hijau. Bunga ketepeng cina ( Cassia alata L ) merupakan bunga majemuk yang tersusun dalam tandan bertangkai panjang dan tegak yang terletak di ujung-ujung cabangnya dengan mahkota bunganya yang berwarna kuning terang. Buah Ketepeng cina (Cassia alata L.) berupa polong polongan yang gepeng panjang persegi empat dengan panjang ± 18 cm dan lebar ± 2,5 cm berwarna hitam. Di samping itu, buah Ketepeng cina juga mempunyai sayap pada kedua sisinya dengan panjang 10 – 20 mm dan lebar 12 – 15 mm. Jika buah tersebut masak, maka pada kedua sisinya akan membuka atau pecah sehingga biji yang terdapat di dalam polong akan terlempar keluar. Biji yang dimiliki ketepeng cina (Cassia alata L.) berbentuk segitiga lancip dan berbentuk pipih yang berjumlah 50 – 70 biji pada setiap polongnya.
10
Gambar I : Tumbuhan Ketepeng Cina
2.1.3 Kandungan Kimia Ketepeng Cina
Kandungan kimia yang terkandung dalam daun ketepeng cina adalah flavonoid, saponin, tanin, alkaloid dan senyawa antrakuinon (rein aloeemodina, rein aloe-emodina-diantron, aloe emodina dan asam krisofanat (dihidroksi metilantrakuinon).
2.1.4 Khasiat Daun Ketepeng Cina
Daun ketepeng cina memiliki kandungan penting seperti alkaloid, saponin, tannin, steroid, antrakuinon, flavonoid dan karbohidrat. Flavonoid pada tanaman herbal memiliki efek antiinflamasi, antialergi, antimikroba, antioksidan, dan efektif untuk beberapa golongan jamur.
2.2 Isolasi Senyawa Ekstrak adalah sediaan kental yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,kemudian semua atau hamper semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang terisi diperlakukan sedemikian sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Depkes RI.1995). Ekstrak dikelompokkan atas dasar sifatnya ,yaitu (Voight,1995): a. Ekstrak Encerpat adalah sediaan yang memiliki konsistensi semacam madu dan dapat dituang.
11
b. Ekstrak Kental adalah sediaan yang dilihat dalam keadaan dingin dan tidak dapat dituang . kandungan airnya berjumlah sampai 30 %.tingginya kandungan air menyebabkan ketidakstabilan sediaan obat karena cemaran bakteri. c. Ekstrak Kering adalah sediaan yang memiliki konsistensi kering dan mudah dituang. Sebaliknya memiliki kandung lembab tidak lebih dari 5%. d. Ekstrak Cair, ekstrak yang dibuat sedemikian sehingga 1 bagian simplisia sesuai dengan 2 bagian ekstrak cair. Proses
ekstraksi
serbuk,pembasahan,
dapat
melalui
penyarian,dan
tahap
pemekatan.
menjadi: Sistem
pembuatan
pelarut
yang
digubnakan dalam ekstraksi harus dipilih berdasarkan kemampuanya dalam melarutkan jumlah yang maksimum dari zat aktif dan yang seminim mungkin bagi unsure yang iadak diinginkan (Depkes RI, 2000). Ekstraksi dengan menggunakan pelarut terdiri dari dua cara yaitu A. Cara Dingin Ekstraksi cara dingin memiliki keuntungan dalam proses ekstraksi total,yaitu memperkekil kemungkinan terjadinya kerusakan pada senyawa termolabil yang terdapat pada sampel.sebagian besar senyawa dapat terekstraksi dengan ekstraksi dengancara dingin,walaupun ada beberapa senyawa memiliki keterbatasan kelarutan terhadap pelarut pada suhu ruangan. Pengguanana pelarut dengan penungkatan kepolaran bahan alam secara berurutan
memungkinkan
pemisahan
bahn-bahan
alam
berdasarkan
kelarutannya (dan polaritasnya) dlam pelarut ekstraksi. Hal ini sangat mempermudah proses isolasi. Ekstaksi dingin memungkinkan banyak ekstraksi terekstraksi, meskipun bebrapa senyawa memiliki pelarut ekstraksi pada suhu kamar. Beberapa metode ekstraksi dengan cara dingan antara lain :
12
1. Maserasi Maserasi berasal dari bahasa latin Macerace berarti mengairi dan melunakkan. Maserasi adalah proses pengekstrakkan simplisia dengan menggunakan pelarut dengan bebrapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperature ruangan (kamar). Dasar dari meserasi adalah melarutnya bahan kandungan simplisia dari sel yang rusak, yang terbentuk pad saat penghalusan ,ekstraksi (difusi) bahan kandungan dari sel yang masih utuh. Meserasi bertujuan untuk menarik zat-zat
berkhasiat yang tahan
pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan. 2. Perkolasi Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selslu baru dan sempurna (Exhaustiva Extraction) yang umumnya dilakukan pada temperature ruangan. Prinsip perkolasi adalah dengan menempatkan serbuk simplisia pada suatu bejana silinder, yang bagian bawahnya diberi sekat berpori. Proses terdiri dari tahap pengembangan bahan , tahap meserasi antara, tahap perkolasi sebenarnya (penetesan/penampungan ekstrak), terus menerus sampai diperoleh ekstrak (perkolat) yang jumlahnya 1-5 kali bahan. B. Cara Panas (Depkes RI,2000) 1. Refluks Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperature titik didihnya , selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relative konstan dengan adanya pendingan balik. Umunya dilakukan pengulangan proses pada residu pertama sampai 3-5 kali sehingga dapat termasuk proses ekstraksi sempurna. 2. Sokletasi Sokletasi adalah ekstaraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan lat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinu dengan jmulah pelarut ynag relative konstan dengan adanay pendingan
13
balik. Biomasa ditempatkan dalam wadah soklet yang terbuat dengan kertas saring , melalui alat ini pelarut akan terus di refluks. Alat soklet akan mengosongkan isinya kedalam labu dasar bulat setelah pelarut mencapai kadar tertentu . setelah pelarut segar melewati alat ini melalui pendingain refluks , ekstraksi berlangsung efisien dan senyawa dari biomasa secara efektif ditarik kedalam pelarut karena konsentrasi awalnya rendah dalam pelarut. 3. Digesti Digesti adalah meserasi kinetic (degan pengadukan kontinu) pada temperature ruangan (kamar) , yaitu secara umum dilakuakn pada temperature 40-50°C. 4. Infus Infus adalah ekstraksi dengan pelarut air pada temperature penangas air (bejana infus tercelup dalam penangas air mendidih,temperature terukur 9698°C ) selama waktu (15-20 menit) 5. Dekok Dekok adalah infuse pada waktu yang lebih lama (suhu lebih dari 30 °C) dan temperatur sampai titik didih air. 6. Destilasi Uap Destilasi uap adalah ekstraksi senyawa kandungan menguap (minyak atsiri) dari bahan (segar atau simplisia) dengan uap air berdasarkan peristiwa tekanan parsial senyawa kandungan menguap dengan fase uap air dari ketel secara kontinu sampai sempurna diakhiri dengan kondensasi
fase uap
campuran (senyawa kandunagn menguap ikut terdestilasi) menjadi destilat air bersama senyawa kandungan yang memisah sempurna atau memisah sebagian.
14
C. Cara Ekstraksi Lainnya (Depkes RI,2000) 1. Ekstraksi Berkesinambungan Proses ekstraksi yang dilakukan berulangkali dengan pelarut yang berbeda atau resilkulasi cairan pelarut dan prosesnyaa tersusun berurutan bebrapa kali. Proses ini dilakukan untuk meningkatkan efisiensi (jumlah pelarut) dan dirancang untuk bahan dalaam jumlah besar yang tebagi dalam beberapa bejana ekstraksi. 2. Superkritikan Karbondioksida Prinsip penggunaan superkritikal adalah untuk ektraksi serbuk simplisia dan umumnya digunakan gas karbondioksida. Dengan variable tekanan dan temperature ajan diperoleh spesifikasi kondisi polaritas tertentu yang sesuai untuk melarutkan kandungan senyawa golonga tertentu. Penghilangan cairan pelarut dengan mudah dilakukan karen karbondioksida menguap dengan mudah, sehingga hamper langsung diperoleh ekstrak. 3. Ekstraksi Ultrasonik Getaran ultrasonic (>20.000 Hz) memberikan efek pada proses ekstrak denganprinsip menigkatkan permeabilitas dinding sel, menimbulkan delembung spontan (cavication) sebagai stress dinamis serta menimbulkan fraksi interfase.hasil ekstraksi tergantung pada frekuensi getaran,kapasitas alat dan lama proses ultrasonikasi. 4. Ekstraksi energi listrik Energy listrik digunakn dalam bentuk medan listrik , medan magnet serta
“Electric-discharges”
yang
dapat
mempercepat
proses
dan
meningkatkan hasil dengan prinsip menimbulkan gelembung spontan dan meyebarkan gelombang tekana berkecepatan ultrasonic
15
2.3 Skrining Fitokimia Uji fitokimia terhadap kandungan senyawa kimia metabolit sekunder merupakan langkah awal yang penting dalam penelitian mengenai tumbuhan obat atau dalam hal pencarian senyawa aktif baru yang berasal dari bahan alam yang dapat menjadi precursor bagi sintesis obat-obat baru atau menjadi prototype senyawa aktif tertentu. Oleh karenanya, metode uji fitokimia harus merupakan uji sederhana tetapi terandalkan. Metode uji fitokimia yang banyak digunakan adalah metode reaksi warna dan pengendapan yang dapat dilakukan di lapangan atau di laboratorium (Iskandar et al, 2012). Penemuan berbagai senyawa obat baru dari bahan alam semakin memperjelas peran penting metabolit sekunder tanaman sebagai sumber bahan baku obat. Metabolit sekunder adalah senyawa hasil biogenesis dari metabolit primer. Umumnya dihasilkan oleh tumbuhan tingkat tinggi, yang bukan merupakan senyawa penentu kelangsungan hidup secara langsung, tetapi lebih sebagai hasil mekanisme pertahanan diri organisma. Aktivitas biologi tanaman dipengaruhi oleh jenis metabolit sekunder yang terkandung didalamnya. Aktivitas biologi ditentukan pula oleh struktur kimia dari senyawa. Unit struktur atau gugus molekul mempengaruhi aktivitas biologi karena berkaitan dengan mekanisme kerja senyawa terhadap reseptor di dalam tubuh (Lisdawati et al., 2007). Hingga saat ini sudah banyak sekali jenis fitokimia yang ditemukan, diantaranya ialah: 1. Alkaloid, adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tetumbuhan. 2. Flavonoid, merupakan salah satu golongan fenol alam terbesar yang terdapat dalam semua tumbuhan berpembuluh. Semua flavonoid, menurut strukturnya merupakan turunan senyawa induk flavon yang mempunyai sejumlah sifat yang sama. Dalam tumbuhan, aglikon flavonoid
terdapat
dalam
berbagai
bentuk
struktur.
Semuanya
mengandung atom karbon dalam inti dasarnya yang tersusun dalam
16
konfigurasi C6-C3-C6, yaitu dua cincin aromatik yang dihubungkan oleh satuan tiga karbon yang dapat atau tidak dapat membentuk cincin ketiga. 3. Kuinon, senyawa dalam jaringan yang mengalami okisdasi dari bentuk kuinol menjadi kuinon. 4. Tanin dan Polifenol. Tanin adalah polifenol tanaman yang berfungsi mengikat dan mengendapkan protein.. Polifenol alami merupakan metabolit sekunder tanaman tertentu, termasuk dalam atau menyusun golongan tanin. 5. Saponin, adalah suatu glikosida yang ada pada banyak macam tanaman. Fungsi dalam tumbuh-tumbuhan tidak diketahui, mungkin sebagai bentuk penyimpanan karbohidrat, atau merupakan waste product dari metabolisme tumbuh-tumbuhan. 6. Triterpenoid, adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis dirumuskan dari hidrokarbon yang kebanyakan berupa alcohol, aldehida atau asam karbohidrat. 7. Minyak atsiri. Definisi minyak atsiri yang ditulis dalam Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri merupakan senyawa yang pada umumnya berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, dan biji maupun dari bunga dengan cara ekstraksi (Sastrohamidjojo, 2002). 8. Kumarin. Kumarin banyak terdapat pada tumbuhan Angiospermae dan tidak jarang pada Gymnospermae serta tumbuhan tingkat rendah. Pada umumnya terdapat pada family Rutaceae,Leguminoceae, Umbelliferae dan Graminae. Kumarin ditemukan hampir di setiap bagian tumbuhtumbuhan mulai dari akar, batang, daun sampai bunga dan juga buah (Robinson, 1995). Tanaman yang dilakukan uji fitokimia pada kelompok kami ialah daun ketepeng cina (Cassia alata) dengan menggunakan simplisia dari tanaman tersebut. Ketepeng cina (Cassia alata (L.) Roxb.) merupakan salah satu jenis tumbuhan dari keluarga Leguminosae yang diketahui memiliki
berbagai
khasiat
untuk
pengobatan
termasuk
sebagai
17
antioksidan. Daun ketepeng banyak digunakan oleh masyarakat secara tradisional untuk pengobatan kudis, sariawan dan cacingan. Ketepeng cina ( Cassia alata L. ) berasal dari daerah tropik Amerika dan biasanya hidup pada dataran rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut. Tumbuhan ketepeng cina termasuk tumbuhan dikotil yang mempunyai sistem perakaran tunggang, yaitu memperlihatkan akar pokoknya yang bercabang-cabang menjadi akar yang lebih kecil dan berbentuk kerucut panjang yang terus tumbuh lurus ke arah bawah. Daun Ketepeng cina ( Cassia alata L ) berbentuk jorong sampai bulat telur sungsang, merupakan daun majemuk menyirip genap yang berpasang- pasangan sebanyak 5 – 12 baris, mempunyai anak daun yang kaku dengan panjang 5 – 15 cm, lebar 2,5 – 9 cm, ujung daunnya tumpul dengan pangkal daun runcing serta tepi daun rata. Pertulangan daunnya menyirip dengan tangkai anak daun yang pendek dengan panjang ± 2 cm dan berwarna hijau. Kandungan kimia yang terkandung dalam daun ketepeng cina adalah flavonoid, saponin, tanin, alkaloid dan senyawa antrakuinon (rein aloe- emodina, rein aloe-emodina-diantron, aloe emodina dan asam krisofanat (dihidroksimetilantrakuinon). (Buku Pintar Tanaman Obat, 2008).
2.4 Partisi 2.4.1 Partisi
Partisi adalah proses pemisahan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Dapat juga didefenisikan sebagai dispersi komponen kimia dari ekstrak yang telah dikeringkan dalam suatu pelarut yang sesuai berdasarkan kelarutan dari komponen kimia dan zat-zat yang tidak diinginkan seperti garam-garam tidak dapat larut. Operasi ekstraksi ini
18
dapat dilakukan dengan mengaduk suspensi padatan di dalam wadah dengan atau tanpa pemanasan (Najib, 2013).
2.4.2
Metode Partisi
Berikut ini macam-macam metode partisi antara lain : a. Partisi Cair-Cair
Ekstraksi cair-cair adalah proses pemisahan zat terlarut di dalam 2 macam zat pelarut yang tidak saling bercampur atau dengan kata lain perbandingan konsentrasi zat terlarut dalam pelarut organik, dan pelarut air. Hal tersebut memungkinkan karena adanya sifat senyawa yang dapat larut air dan ada pula senyawa yang larut dalam pelarut organik. Satu komponen dari campuran akan memiliki kelarutan dalam kedua lapisan tersebut (biasanya disebut fase) dan setelah beberapa waktu dicapai keseimbangan biasanya dipersingkat oleh pencampuran kedua fase tersebut dalam corong pisah (Najib, 2008). Kerap kali sebagai pelarut pertama adalah air sedangkan sebagai pelarut kedua adalah pelarut organik yang tidak bercampur dengan air. Dengan demikian ion anorganik atau senyawa organik polar sebagian besar terdapat dalam fase air, sedangkan senyawa organik non polar sebagian besar akan terdapat dalam fase air, sedangkan senyawa organik non polar sebagian besar akan terdapat dalam fase organik. Hal ini yang dikatakan “ like dissolves like “, yang berarti bahwa senyawa polar akan mudah larut dalam pelarut polar, dan sebaliknya (Dirjen POM, 1979). Jika suatu cairan ditambahkan ke dalam ekstrak yang telah dilarutkan dalam cairan lain yang tidak dapat bercampur dengan yang pertama, akan terbentuk dua lapisan. Satu komponen dari campuran akan memiliki kelarutan dalam kedua lapisan tersebut (biasanya disebut fase) dan setelah beberapa waktu dicapai kesetimbangan konsentrasi dalam kedua lapisan. Waktu yang diperlukan untuk tercapainya kesetimbangan biasanya dipersingkat oleh pencampuran kedua fase tersebut dalam corong pisah (Tobo, 2001).
19
Kelarutan senyawa tidak bermuatan dalam satu fase pada suhu tertentu bergantung pada kemiripan kepolarannya dengan fase cair, menggunakan prinsip ”like disolves like”. Molekul bermuatan yang memiliki afinitas tinggi terhadap cairan dengan sejumlah besar ion bermuatan berlawanan dan juga dalam kasus ini ”menarik yang berlawanan”, misalnya senyawa asam akan lebih larut dalam fase air yang basa daripada yang netral atau asam. Rasio konsentrasi senyawa dalam kedua fase disebut koefisien partis.Senyawa yang berbeda akan mempunyai koefisien partisi yang berbeda, sehingga jika satu senyawa sangat polar, koefisien partisi relatifnya ke fase polar lebih tinggi daripada senyawa non-polar (Tobo, 2001). Fraksinasi selanjutnya yaitu suau senyawa hanya ada dalam satu fase, hal ini dapat dicapai dengan ekstraksi fase awal berturut-turut dengan fase yang berlawanan. Lebih baik menggunakan elusi berurytan dengan volume relatif kecil dibandingkan dengan satu kali elusi keseluruh volume (Tobo, 2001).
b. Partisi Padat-Cair
Partisi padat cair adalah proses pemisahan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Dapat juga didefenisikan sebagai dispersi komponen kimia dari ekstrak yang telah dikeringkan dalam suatu pelarut yang sesuai berdasarkan kelarutan dari komponen kimia dan zat-zat yang tidak diinginkan seperti garam-garam tidak dapat larut. Operasi ekstraksi ini dapat dilakukan dengan mengaduk suspensi padatan di dalam wadah dengan atau tanpa pemanasan (Najib, 2014). Pelaksanaan ekstraksi padat cair terdiri dari 2 langkah, yaitu (Najib, 2014) : Kontak antara padatan dan pelarut untuk mendapatkan perpindahan solute ke dalam pelarut dan pemisahan larutan yang terbentuk dan padatan sisa.
20
Berdasarkan metode ekstraksi padat cair dikenal 4 jenis, yaitu (Najib, 2014) : 1. Operasi dengan sistem bertahap tunggal. 2. Operasi dengan sistem bertahap banyak dengan aliran sejajar atau aliran silang. 3. Operasi secara kontinu dengan aliran berlawanan 4. Operasi secara batch dengan sistem bertahap dengan aliran yang berlawanan. Ada beberapa pelarut yang biasa digunakan dalam partisi padat cair antara lain :
a. Metanol
Metanol adalah senyawa alcohol dengan 1 rantai karbon. Rumus kimia CH3OH, dengan berat molekul 32. Titik didih 640-650°C (tergantung
kemurnian),
dan
berat
jenis
0,7920-0,7930
(juga
tergantung kemurnian). Secara fisik methanol merupakan cairan bening, berbau seperti alkohol, dapat bercampur dengan air, etanol, kloroform dalam perbandingan berapapun, higroskopis, mudah menguap dan mudah terbakar dengan api yang berwarna biru (Spencer, 1988). Tabel 1:Sifat Fisika dan Kimia Metanol Karakteristik
Syarat
Bobotmolekul
32,04 gram/mol
Warna
Takberwarna
Wujud
Cair
Titiklebur
– 97°C; -142,9 °F (176 K)
Titikdidih
64,7 °C; 148,4 °F (337,8 K)
Densitas
0.7918 gr/ml
Kelarutan
dalam air sangatlarut
Keasaman (pKa)
~ 15.5 (Perry, 1984 )
21
b. Heksana
Heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14. Awalan heks- merujuk pada enam karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran – ana berasal dari alkana, yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut.Dalam keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang tidak larut dalam air. Tabel2:SifatFisikadan Kimia n-heksana Karakteristik
Syarat
Bobotmolekul
86,2 gram/mol
Warna
Takberwarna
Wujud
Cair
Titiklebur
-95°C
Titikdidih
69°C (pada 1 atm)
Densitas
0,6603 gr/ml pada 20°C (Kastianti dan Amalia, 2008)
c. Etil Asetat
Etil asetat adalah cairan jernih, tak berwarna, berbau khas, yang rumus kimia CH3COOC2H5 dan terutama digunakan sebagai pelarut tinta, perekat, resin. Penampakan fisiknya berupa cairan bening dengan bau yang enak. Etil asetat bersifat volatil, relatif tidak toksik dan tidak higroskopis. Tabel3:SifatFisikadan Kimia etil asetat Karakteristik
Syarat
Bobotmolekul
88,105 gram/mol
Warna
Takberwarna
Wujud
Cair
Titiklebur
-83,6°C
22
Titikdidih
77,1°C
TitikNyala
-4 °C
Densitas
0,897 gr/ml
(Data diambil pada keadaan standar 25 °C, 100 Kpa)
2.5 KLT Analitik Kromatografi adalah suatu metode pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair) (Depkes, 1995). Fase diam berupa zat padat maka cara tersebut dikenal sebagai kromatografi serapan, jika zat cair dikenal sebagai kromatografi partisi. Karena fase gerak dapat berupa zat cair dan gas maka ada empat macam sistem kromatografi (Sastrohamidjojo, 1985): 1. Fase gerak zat cair – fase diam padat: a. Kromatografi lapis tipis b. Kromatografi penukar ion 2. Fase gerak gas – fase diam padat: a. Kromatografi gas padat 3. Fase gerak zat cair – fase diam zat cair: a. Kromatografi cair kinerja tinggi 4. Fase gerak gas – fase diam zat cair: a. Kromatografi gas cair b. Kromatografi kolom kapiler
23
Pemisahan dan pemurnian kandungan tumbuhan dilakukan dengan menggunakan salah satu atau gabungan dari beberapa teknik tersebut dan dapat digunakan pada skala mikro maupun makro (Harborne, 1987). Kromatografi lapis tipis ialah metode pemisahan fisikokimia. Lapisan pemisah terdiri atas bahan berbutir-butir (fase diam), ditempatkan pada penyanggaberupa plat gelas, logam atau lapisan yang cocok. Campuran yang akan dipisah berupa larutan yang ditotolkan baik berupa bercak ataupun pita, setelah plat atau lapisan dimasukkan ke dalam bejana tertutup rapat yang berisi larutan pengembang yang cocok (fase gerak), pemisahan terjadi selama perambatan kapiler (pengembangan), selanjutnya senyawa yang tidak berwarna harus ditampakkan (Stahl, 1985). Pendeteksian bercak hasil pemisahan dapat dilakukan dengan beberapa cara. Untuk senyawa tak berwarna cara yang paling sederhana adalah dilakukan pengamatan dengan sinar ultraviolet. Beberapa senyawa organik bersinar atau berfluorosensi jika disinari dengan sinar ultraviolet gelombang pendek (254 nm) atau gelombang panjang (366 nm), jika dengan cara itu senyawa tidak dapat dideteksi maka harus dicoba disemprot dengan pereaksi yang membuat bercak tersebut tampak yaitu pertama tanpa pemanasan, kemudian bila perlu dengan pemanasan (Gritter, et al., 1991; Stahl, 1985). 2.5.1 Fase Diam
Kromatografi lapis tipis, fase diam berupa lapisan tipis yang terdiri atas bahan padat yang dilapiskan pada permukaan penyangga datar yang biasanya terbuat dari kaca, dapat pula terbuat dari plat polimer atau logam. Lapisan melekat pada permukaan dengan bantuan bahan pengikat, biasanya kalsium sulfat atau amilum. Penjerap yang umum dipakai untuk kromatografi lapis tipis adalah silika gel, alumina, kieselgur dan selulosa (Gritter, et al., 1991). Dua sifat yang penting dari fase diam adalah ukuran partikel dan homogenitasnya, karena adesi terhadap penyokong sangat tergantung
24
pada kedua sifat tersebut. Ukuran partikel yang biasa digunakan adalah 1-25
mikron.
Partikelang
butirannya
sangat
kasar
tidak
akan
memberikan hasil yang memuaskan dan salah satu cara untuk memperbaiki hasil pemisahan adalah dengan menggunakan fase diam yang butirannya lebih halus. Butiran yang halus memberikan aliran pelarut
yang
lebih
lambat
dan
resolusi
yang
lebih
baik
(Sastrohamidjojo, 1985).
2.5.2 Fase Gerak
Fase gerak ialah medium angkut yang terdiri atas satu atau beberapa pelarut, jika diperlukan sistem pelarut multi komponen, harus berupa suatu campuran sesederhana mungkin yang terdiri atas maksimum tiga komponen (Stahl, 1985). Pemisahan senyawa organik selalu menggunakan pelarut campur. Tujuan menggunakan pelarut campur adalah untuk memperoleh pemisahan senyawa yang baik. Kombinasi pelarut adalah berdasarkan atas polaritas masing-masing pelarut, sehingga dengan demikian akan diperoleh sistem pengembang yang cocok. Pelarut pengembang yang digunakan dalam kromatografi lapis tipis antara lain:
n-heksan,
karbontetraklorida, benzen, kloroform, eter, etilasetat, piridian, aseton, etanol, metanol dan air (Gritter, et al., 1991). 2.5.3
Harga Rf
Mengidentifikasi noda-noda dalam kromatografi lapis tipis sangat lazim menggunakan harga Rf ( Retordation Factor ) yang didefinisikan sebagai:
Harga Rf beragam mulai dari 0 sampai 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi harga Rf (Sastrohamidjojo, 1985):
25
a. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan b. Sifat penjerap c. Tebal dan kerataan dari lapisan penjerap d. Pelarut dan derajat kemurniannya e. Derajat kejenuhan uap pengembang dalam bejana f. Teknik percobaan g. Jumlah cuplikan yang digunakan h. Suhu i. Kesetimbangan.
2.6 Kromatografi Kolom Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran dibagian bawah kolom untuk mengendalikan aliran zat cair, ukuran kolom tergantung dari banyaknya zat yang akan dipindahkan. Secara umum perbandingan panjang dan diameter kolom sekitar 8:1 sedangkan daya penyerapnya adlah 25-30 kali berat bahan yang akan dipisahkan. Teknik banyak digunakan dalam pemisahan senyawa-senyawa organic dan konstituen-konstituen yang sukar menguap sedangkan untuk pemisahan jenis logan-logam atau senyawa anorganik jarang dipakai (Yazid, 2005, hal: 98). Dalam proses kromatografi selalu terdapat salah satu kecenderungan molekul-molekul komponen untuk melarut dalam cairan, melekat pada permukaan padatan halus, bereaksi secara kimia dan terekslusi pada pori pori fasa diam. Komponen yang dipisahkan harus larut dalam fasa gerak dan harus mempunyai kemampuan untuk berinteraksi dengan fasa diam dengan cara melarut di dalamnya, teradsorpsi atau bereaksi secara kimia. Pemisahan terjadi berdasarkan perbedaan migrasi zat-zat yang menyusun suatu sampel. Hasil pemisahan dapat digunakan untuk keperluan
analisis kualitatif,
analisis kuantitatif dan pemurnian suatu senyawa. Dalam beberapa hal metode pemisahan kromatografi mempunyai kemiripan dengan metode pemisahan ekstraksi. Kedua metode ini sama-sama menggunakan dua fasa,
26
dimana fasa satu bergerak terhadap fasa lainnya, kesetimbangan solut selalu terjadi di antara kedua fasa ( Alimin dkk, 2007, hal: 74-75). Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap permukaan fase diam. Kromatografi kolom terabsorpsi termasuk pada cara pemisahan cair padat, substrat padat bertindak sebagai fasa diam yang sifafnya tidak larut dalam fasa cair, fasa bergeraknya adalah cairan atau pelarut yang mengalir membawa komponen campuran sepanjang kolom. Pemisahan bergantung pada kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antar muka diantara butiran-butiran adsorben dan fase bergerak serta kelarutan relatif komponen pada fasa bergeraknya. Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis. Keduanya secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan masuk kembali pada fasa bergerak (Yazid, 2005, hal: 100). Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk berpindah oleh aliran fasa bergerak yang ditambahkan secara kontinu, akibatnya hanya komponen yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap adsorben akan secara selektif tertahan. Komponen afinitas paling kecil akan bergerak lebih cepat mengikuti aliran pelarut. Pada kromatografi adsorpsi, besarnya koefisien distribusi sama dengan konsentrasi zat terlarut pada fasa teradsorpsi dibagi konsentrasinya pada fasa larutan. Ketergantungan jumlah zat terlarut yang teradsorpsi terhadap konsentrasi zat terlarut dalam larutan dinyatakan dengan isoterm adsorpsi Langmuir (Yazid, 2005, hal: 100). Metode pemisahan kromatografi kolom ini memerlukan bahan kimia yang cukup banyak sebagai fasa diam dan fasa bergerak bergantung pada ukuran kolom gelas. Untuk melakukan pemisahan campuran dengan metode kromatografi kolom diperlukan waktu yangcukup lama, bias berjam-jam hanya untuk memisahkan satu campuran. Selain itu, hasil pemisahan kurang jelas artinya kadang-kadang sukar mendapatkan pemisahan secara sempurna karena pita komponen yang satu bertumpang tindih dengan komponen
27
lainnya. Masalah waktu yang lama disebabkan laju alir fasa gerak hanya dipengaruhi oleh gaya gravitasi bumi, ukuran diameter partikel yang cukup besar membuat luas permukaan fasa diam relative kecil sehingga tempat untuk berinteraksi antara komponen-komponen dengan fasa diam menjadi terbatas. Apabila ukuran diameter partikel diperkecil supaya luas permukaan fasa diam bertambah menyebabkan semakin lambatnya aliran fasa gerak atau fasa gerak tidak mengalir sama sekali. Selain itu fasa diam yang sudah terpakai tidak dapat digunakan lagi untuk pemisahan campuran yang lain karena sukar meregenerasi fasa diam (Hendayana, 2006, hal: 2-3). Untuk memisahkan campuran, kolom yang telah dipilih sesuai campuran diisi dengan bahan penyerap seperti alumina dalam keadaan kering atau dibuat seperti bubur dengan pelarut. Pengisian dilakukan dengan bantuan batang pengaduk untuk memanfaatkan adsorben dan gelas wool pada dasar kolom. Pengisian harus dilakukan secara hat-hati dan sepadat mungkin agar rata sehingga terhindar dari gelembung-gelembung udara, untuk membantu homogenitas biasanya kolom setelah diisi divibrasi diketok-ketok. Sejumlah cuplikan yang dilarutkan dalam sedikit pelarut, dituangkan melalui sebelah atas kolom dan dibiarkan mengalir ke dalam adsorben. Komponenkomponen dalam campuran diadsorpsi dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada permukaan atas kolom. Dengan penambahan pelarut secara terus-menerus, masing-masing komponen akan bergerak turun melalui kolom dan pada bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru antara bahan penyerap, komponen campuran dan eluen. Kesetimbangan dikatakan tetap apabila suatu komponen yang satu dengan yang lainnya bergerak ke bagian bawah kolom dengan waktu atau kecepatan berbeda-beda sehingga terjadi pemisahan (Yazid, 2005, hal: 200-2001). Menurut Alimin (2007, hal: 75) keuntungan pemisahan dengan metode kromatografi adalah a. Dapat digunakan untuk sampel atau konstituen yang sangat kecil. b. Cukup
selektif
terutama
untuk
senyawa-senyawa
organik
multi
komponen.
28
c. Proses pemisahan dalam dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. d. Seringkali murah dan sederhana karena umumnya tidak memerlukan alat yang mahal dan rumit.
2.7 KLT Preparatif Kromatografi lapis tipis preparatif adalah salah satu contoh kromatografi planar.Fase diamnya (Stationary Phase) berbentuk lapisan tipis yang melekat pada gelas/kaca. Sedangkan fase geraknya (Mobile Phase) berupa cairan atau campuran cairan, biasanya pelarut organi dan kadang-kadang juga air Kromatografi lapis tipis (KLT) preparatif merupakan salah satu metode pemisahan dengan menggunakan peralatan sederhana. Prinsip kromatografi lapis tipis preparatif sama seperti prinsip kerja dari kromatografi yaitu pemisahan berdasarkan perbedaan perpindahan dari komponen-komponen senyawa diantara dua fase yaitu fase diam (dapat berupa zat cair atau zat padat) dan fase gerak (dapat berupa gas atau zat cair) (Depkes RI, 1995). Kelebihan dari penggunaan KLT Prparatif adalah biaya yang digunakan murah , memakai peralatan yang paling dasar. Sementara kekuanganya antara lain adanya kemungkinan senyawa yang diambil dari plat adalah senyawa
beracun,
waktu
yang
diperlukan
dalam
proses
cukup
panjang,adanya pencemaran setelah proses ekstraks senyawa dari absorben.
2.7.1 Fase Diam
Fase
diam
berupa
lapisan
tipis
ini
dapat
dibuat
dengan
membentangkan / meratakan fase diam (adsorbent=penjerap=sorbent) diatas plat/lempeng kaca plastik ataupun aluminium. Sifat fase diam yang satu dengan fase diam yang lain berbeda karena strukturnya, ukurannya, kemurniannya, zat tambahan sebagai pengikat dll. Fasa diam yang digunakan KLT tidak sama dengan yang digunakan untuk kromatografi kolom, terutama karena ukuran dan zat yang ditambahkan.
29
Fase diam dijual dengan spesifikasi tertentu, iaitu ukuran (diameter) dalam mesh dan untuk kegunaannya (misalnya: untuk TLC atau kromatografi kolom). Beberapa fase diam yang banyak dijual dipasaran: 1. Silika gel Silika gel merupakan fase diam yang sering digunakan pada TLC. Dalam perdagangan dijual dengan variasi ukuran (diameter) 10-40μm. Makin kecil diameter akan makin lambat kecepatan alir fase geraknya dengan demikian mempengaruhi kualitas pemisahan. Luas permukaan silica gel bervariasi dari 300-1000 m2/g. Bersifat higroskopis, pada kelembaban relatif 45-75% dapat mengikat air 7-20%. Macam-macam silka gel yang dijual dipasaran: a) Silika gel dengan pengikat. Pada umumnya digunakan pengikat gypsum,(CaSO4 5-15%). Jenis ini diberi nama Silika gel G. Ada juga menggunakanpengikat pati
(starch)
dan
dikenal
Silika
gel
S,
penggunaan pati
sebagaipengikat mengganggu penggunaan asam sulfat sebagai pereaksi penentuanbercak. b) Silika gel dengan pengikat dan indicator flouresensi. Jenis silica gel inisama seperti silika gel diatas dengan tambahan zat berfluoresensi bila diperiksadibawah lampu UV A, panjang atau pendek. Sebagai indicator digunakan timahkadmium sulfida atau mangan-timah silikat. Jenis ini disebut Silika gel GF atau Silika gel GF254 (berflouresensi pada 254 , nm). c) Silika gel tanpa pengikat ( silika gel H atau silikagel N) d) Silika gel tanpa pengikat tetapi dengan indicator flouresensi. e) Silika gel untuk keperluan pemisahan preparative 2. Alumina Banyak digunakan setelah silika gel, alumina termasuk kelompok fase diam yangberaktifitas tinggi. Alumina yang digunakan TLC bersifat sedikit basa (pH 9), adajuga yang bersifat netral (pH 7) dan alumina yang bersifat asam (pH 4). Jugadigunakan CaSO4 sebagai
30
pengikat yang dapatmenurunkan bebasaan padatingkat tertentu. Seperti halnya silica gel, alumina dikenal dengan atau tanpapengikat dan bahan indicator. Pemberian namapun identik dengan silika geldengan code G.H.P.F. 3. Selulosa Menggunakan selulosa sebagai fase diam maka mekanisme pemisahannya sama seperti mekanisme pemisahan pada kromatografi kertas. Perbedaannya hanya serat selulosenya pada TLC/KLT lebih pendek dari pada serat selulosa kromatografi kertas. Panjang serat bervariasi 2-20 μ. Serat lebih pendek menyebabkan difusi rendah selama elusi dan menghasilkan bercak yang sempit (lebih kecil). Selulosa untuk TLC terdapat dim bentuk selulosa serat asli (contohnya MN 300) dan selulosa mikrokristal (contohnya Avicel). Fase diam selulosa biasanya digunakan senyawa yang bersifat polar. 2.7.2 Fase Gerak
Fase gerak yang biasa digunakan adalah pelarut organik (tabel 1). Dapat digunakan satu macam pelarut organic saja ataupun campuran. Bilamana fase gerak merupakan campuran pelarut organik dengan air maka mekanisme pemisahan adalah partisi. Pemilihan pelarut organic ini sangat penting karena akan menentukan keberhasilan pemisahan. Pendekatan polaritas adalah yang paling sesuai untuk pemilihan pelarut. Senyawa polar akan lebih mudah terelusi oleh fase gerak yang bersifat polar dari pada fase gerak yang non polar. Sebaliknya, senyawa non polar lebih mudah terelusi oleh fase gerak non polar dari pada fase gerak yang polar.
31
2.7.3 Visualisasi
Cara mengamati bercak pada TLC dapat digolongkan menjadi dua : 1. Cara merusakkan / mereaksikan komponen/senyawa Cara pertama dengan menyemprotkan pereaksi penanda. Banyak pereaksi-pereaksi yang digunakan dapat dilihat dalam literature dan dijual dipasaran Contoh pereaksi semprot yang umum untuk senyawa organik adalah asam sulfat dalam metanol, selanjutnya bercak dipanaskan didalam oven.. Pada dasarnya adalah reaksi oksidasi pada
32
senyawa organic oleh asam sulfat. Pereaksi lain adalah dengan disemprot dengan larutan lodium dan paling mudah adalah dengan memasukkan plat kedalam bejana yang berisi uap lodium (Kristal lodium diletakkan dalam bejana, tidak merusak 75% senyawa). Contoh pereaksi semprot dan penggunaannya dapat dilihat pada tabel
2. Tanpa merusakkan komponen / senyawa. Cara ke dua, yang tidak merusak komponen/ senyawa di bercak. Untuk senyawa berwarna atau berpendar dibawah lampu UV (berfluoresensi) tidak ada masalah menggunakan silika tanpa tambahan zat berpendar. Sedang untuk senyawa yang tidak berpendar dibawah lampu UV digunakan fase diam dengan tambahan zat berpendar.
2.7.4 Isolasi Hasil Pemisahan
Isolasi hasil dari KLT Preparatif yang berupa pita pita. Setelah pita ditampakkan dengan cara yang tidak merusak maka senyawa yang tidak berwarna dengan penjerap dikerok dari plat kaca. Cara ini berguna untuk memisahkan campuran beberapa senyawa sehingga diperoleh senyawa murni (Gritter, et al , 1991).
33
Bab III Metodologi 3.1 Alat dan Bahan a.
Alat Alat-alat yang dibutuhkan antara lain : Wadah ekstraksi, Rotary evaporator, Soklet, Corong, Botol, Refrigerator, Waterbath, Hot plate, Beaker glass, Erlenmeyer, Pipet tetes, Jepitan kayu, Lumpang Alu, Rak tabung reaksi, Gelas ukur, Pelat kaca, Cawan porselen, Spatula, Kaca arloji, Timbangan analitik, Lampu UV, Corong pisah, Kolom, Oven.
b.
Bahan Bahan-bahan yang dibutuhkan antara lain Simplisia ketepeng cina, Ekstrak ketepeng cina, Kertas saring, Heksana , Etil asetat, Methanol, Silika gel GF254, Plat KLT analitik , Silika gel, Kapas, , NaOH 1N, NH4OH pekat, NH4OH 30%, Natrium asetat, Kloroform, HCl encer , Asetat anhidrat, Aseton, H2SO4 pekat, Etanol, Lempeng Mg, Pereaksi mayer , Pereaksi dragendorf , Pereaksi stiasny, HCl encer , Amil alcohol, FeCl3 10% dan eter.
3.2 Prosedur Kerja 3.2.1 Preparasi Sampel
1. Sampel diambil dari pohon dan dikumpulkan 2. Dilakukan sortasi basah 3. Sampel dicuci kemudian dijemur 4. Sampel dianginkan-anginkan 5. Sampel dihaluskan dengan dipotong kecil-kecil 6. Didapat simplisia dari tumbuhan
34
3.2.2
Ekstraksi
3.2.2.1 Maserasi
1.
400 gram daun ketepeng cina kering yang sudah dihaluskan dimasukkan ke dalam botol maserasiPelarut metanol dimasukkan ke dalam botol maserasi hingga ± 2 cm di atas simplisia daun
2.
Didiamkan hingga 2-3 hari sambil dikocok beberapa kali
3.
Setelah 3 hari, hasil maserasi disaring menggunakan kapas
4.
Kemudian disaring lagi menggunakan kertas saring hingga 2 kali penyaringan
5.
Ekstrak cair dikumpulkan untuk kemudian dievaporasi
6.
Ekstrak cair dievaporasi kemudian ekstrak kental dimasukkan ke dalam wadah ekstrak
3.2.2.2
Sokletasi
1.
Alat sokletasi dan hot plate disiapkan
2.
Kertas saring dipotong sesuai ukuran tabung soklet
3.
Kemudian dilipat dan dimasukkan ke dalam tabung soklet
4.
Daun kering ketepeng cina yang sudah dirajang dimasukkan 10 gram ke dalam kertas saring pada tabung soklet
5.
Bagian atas kertas saring ditutup
6.
Larutan metanol 150 ml disiapkan dan dimasukkan ke dalam labu lemak
7.
Tabung soklet dan labu lemak disambungkan dengan kondensor dan labu lemak diletakkan di atas hot plate
8.
Refrigerator dan hot plate dinyalakan
9.
Hasil sokletasi berupa ekstrak cair yang kemudian dihentikan ketika pelarut dalam tabung soklet sudah bening
10. Ekstrak cair dikumpulkan untuk kemudian dievaporasi 11. Ekstrak cair dievaporasi kemudian ekstrak kental dimasukkan ke dalam wadah ekstrak
35
3.2.3
Skrining Fitokimia 1. Alkaloid
1.
Sebanyak 1 gram serbuk simplisis dilembabkan dengan 5 ml ammonia 30 %, digerus dalam lumpang, kemudian ditambahkan dengan ± 20 ml kloroform dan digerus kembali dengan kuat, campurna tersebut disaring dengan kertas saring, filtrat diambil (Larutan A)
2.
Sebagian larutan A diekstraksi dengan 10 ml HCl atau H2SO4 1 M atau asam asetat 10 % dalam tabung reaksi. Dikocok pelan pelan dan dibiarkan beberap asaat. Ambil larutan pada lapisan atas (larutan B)
3.
Larutan diteteskan beberapa tetes pada kertas saring dan disemprotkan atau ditetesi dengan pereaksi dragendorff, terbentuk warna merah/ jingga pada kertas saring menunjukkan adanya senyawa alkaloid.
4.
Larutan B dibagi dalam dua tabung reaksi,ditambahkan masingmasing pereaaksi dragendorff dan mayer. Terbentuknya endapan merah bata dengan pereaksi dragendorff dan endapan putih dengan pereaksi mayer menunjukkan adanya senyawa golongan alkaloid. Keterangan : Untuk penambahan pereaksi mayer : (+)
sedikit keruh
(++)
sangat keruh
(+++)
terjadi endapan putih
2. Flavonoid
1. Sebanyak 2 gram serbuk simplisia ditambahkan 100 ml air panas, didihkan selama 5 menit, saring dengan kertas saring , diperoleh filtrat yang akan digunakan sebagai larutan percobaan. 2. Kedalam
5
ml
larutan
percobaan
(dalam
tabung
reaksi)
ditambahkan 1 ml HCl pekat dan 3-4 butir logam magnesim (Mg). Kemudian ditambahkan 5 ml amil alcohol, dikocok dengan kuat, dibiarkan hingga memisah.
36
3. Terbentuk warna dalam larutan amil alkohol menunjukkan adanya senyawa flavonoid. 3. Saponin
1. Sebanyak 10 mL larutan percobaan yang diperoleh dari percobaan II (percobaan identifikasi golongan flavonoid) dimasukkan ke dalam tabung reaksi. 2. Kemudian dikocok secara vertical selama 10 detik, dibiarkan selama 10 menit. 3. Terbentuknya busa yang stabil dalam tabung reaksi menunjukkan adanya senyawa golongan saponin dan bila ditambahkan 1 tetes HCl 1 % busa tetap stabil. 4. Tannin
1. Sebanyak 1 gram serbuk simplisia ditambahkan 100 ml air, didihkan selama 15 menit,dinginkan dan disaring dengan kertas saring dan filtrat dibagi tiga bagian dalam tabung reaksi.Satu tabung digunakan sebagai control dan dua tabung lainnya untuk uji golongan tanin. 2. Kedalam salah satu tabung reaksi uji ditambahkan larutan Ferri (III) klorida 1 %, terbentuk warana biru tua atau hijau kehitaman menunjukkan adanya senyawa golongan tanin. 3. Kedalam tabung reaksi lainnya ditambahkan 15 ml pereaksi stiasiny, dipanaskan diatas penangas air, terbentuk endapan warna merah muda menunjukkan adanya tannin late kuat (tannin terkondensasi). 4. Selanjutnya endapan disaring, filtrat dijenuhkan dengan natrium asetat, ditambahkan beberapa tetes larutan ferri (III) klorida 1 % terbentuk warna biru tinta adanya tanin galat (tannin terhidrolisis). 5. Kuinon
1. Diambil 5 ml larutan percobaan daripercobaan II dan dimasukkan kedalam tabung reaksi. 2. Ditambahkan beberapa tetes larutan NaOH 1 N
37
3. Terbentuk warna merah menunjukkan adanya senyawa golongan kuinon. 6. Steroid dan Terpenoid
1. Sebanyak 1 gram serbuk simplisia dimeserasi dengan 20 ml heksana selama 2 jam (dalam wadah yang tertutup rapat). disaring dan diambil filtratnya. 2. Sebanyak 5 ml dari filtrat tersebut diuapkan dalam cawan penguap hingga diperoleh residu. 3. Kedalam residu ditambahkan 2 tetes pereaksi libermann-bouchard. 4. Terbentuknya warna hijau atau merah menunjukkan adanya senyawa golongan steroid atau triterpenoid. 7. Minyak Atsiri
1. Sebanyak 1 gram serbuk simplisia dimasukkan kedalam tabung reaksi 2. Ditambahkan 10 ml pelarut petroleum eter dan pasang corong yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air pada mulut tabung. 3. Dipanaskan selama 10 menit diatas penangas air dan dinginkan, saring dengan kertas saring sehingga didapatkan filtrat. 4. Filtrat diuapkan pada cawan penguap sehingga didapatkan residu. Residu dilarutkan dengan pelarut alcohol sebanyak 5 ml lalu saring dengan kertas saring. 5. Filtrat diuapkan pada cawan penguap, residu berbau aromatic / menyenangkan menunjukkan adanya senyawa golongan minyak atsiri. 8. Kumarin
1. Sebanyak 2 gram simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi . 2. Ditambahkan 10 ml pelarut kloroform dan dipasangcorong (yang diberi lapisan kapas yang telah dibasahi dengan air) pada mulut tabung. 3. Dipanaskan selama 20 menit diatas`penangas air dan dinginkan. Disaring dengan kertas saring.
38
4. Filtrat yang didapat diuapkan pada cawan penguap sampai kering, sisa ditambahkan air panas sebanyak 10 ml, dinginkan . 5. Larutan dimasukkan ke tabung reaksi, ditambahkan 0,5 ml larutan ammonia (NH4OH) 10 %. 6. Amati dibawah sinar lampu UV pada panjang gelombang 365 nm, maka terjadi florosensi warna biru atau hijau, menunjukkan adanya golongan kumarin.
3.2.4
Partisi a. Partisi dengan n-heksana
1. Ekstrak dilarutkan kedalam metanol 2. ekstrak dimasukkan kedalam corong pisah, diikuti dengan nHeksana. kocok sesekali 3. dibiarkan hingga terlihat ada bagian yang memisah. 4. dua pelarut tersebut dipisahkan dengan mengambil terlebih dahulu lapisan bawah (lapisan metanol) dengan membuka corong pisah 5. dilakukan pengulangan proses diatas hingga larutan ekstrak yang dihasilkan bening 6. Ekstrak yang terlarut dalam n-heksan kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapatkan ekstrak kental
b. Partisi dengan etil asetat
1. Lapisan meOH yang tersisa dari tahap diatas dilarutkan dengan etil asetat 2. komponen dipisahkan dengan cara mengambil lapisan bawah dengan membuka corong pisah 3. diulangi hingga didapatkanl larutan ekstrak yang larut dalam etil asetat berwarna bening 4. pelarut kemudian diuapkan dengan rotary evaporator hingga didapat ekstrak kental 5. sisa lapisan meOH juga uapkan hingga didapat ekstrak kental
39
3.2.5
KLT Analitik 1. Sampel : ekstrak heksana/etil asetat/metanol. 2. Fase gerak : n-heksana : etil asetat : metanol (lakukan percobaan berbagai perbandingan). 3. Deteksi : diperiksa di bawah lampu UV atau reagen Godyn. 4. Larutan cuplikan : ambilkan ekstrak sampel yang dihasilkan dari praktikum sebelumnya kemudian larutkan dalam sedikit metanol (atau pelarut yang sesuai). 5. Potong plat KLT sesuai dengan ukuran yang diinginkan (3 × 10 cm) dan beri tanda 1 cm dari atas dan 1 cm dari bawah. 6. Totolkan larutan sampel pada plat KLT dengan posisi di garis batas bawah. 7. Masukkan pelarut (eluent) dengan perbandingan tertentu ke dalam chamber,
kemudian
tambahkan
dengan
kertas
saring
untuk
menjenuhkan larutannya, tutup chamber dan biarkan sampai kertas saring terbasahi semuanya. 8. Setelah larutan di dalam chamber jenuh, masukkan plat KLT ke dalam chamber dan amati pergerakan pelarut pada plat KLT. 9. Angkat plat KLT dari dalam chamber setelah aliran pelarut mencapai batas atas. 10.
Biarkan kering di udara, kemudian lakukan pengamatan di lampu
UV pada pada panjang gelombang 254 dan 366 nm. Beri tanda spot yang terlihat dalam lampu UV. 11.
Pengamatan dilakukan dengan menggunakan reagen Godin dengan
cara menyemprotkan reagen Godin pada plat KLT. 12.
3.2.6
Hitung Rf dari tiap noda yang terlihat.
Kromatografi Kolom a. Menyiapkan kolom
1. Kolom kromatografi disiapkan dengan memberi kapas pada ujung kolom untuk menahan silika gel agar tidak keluar.
40
2. Ditimbang silika gel 10 kali berat ekstrak kental (20 gram). Lalu ditambahkan kembali 5 gram. Silika gel dimasukkan ke dalam beaker glass, ditambahkan pelarut organik nonpolar sehingga bisa menghasilkan silika dengan konsistensi seperti bubur, kemudian diaduk-aduk sampai terbentuk suspensi. 3. Bubur silika yang telah tersuspensi dimasukkan ke kolom kromatografi sedikit demi sedikit, sembari kolom diketukdiketuk, pelarut yang turun ditampung, kemudian dimasukkan kembali ke kolom. Langkah ini dilakukan berulang-ulang sehingga silika gel menjadi padat di dalam kolom. 4. Ekstrak kental (2 gram) dimasukkan ke dalam kolom melalui bagian atas kolom dengan hati-hati.
b. Membuat system pelarut
1. Pelarut dibuat dengan perbandingan antara pelarut nonpolar, semipolar, dan polar (200 mL) sehingga terjadi peningkatan polaritas (sistem gradient). Pelarut yang digunakan adalah :
100% n-heksane
100% etil asetat
4 : 1 n-heksane : etil asetat
4 : 1 etil asetat : metanol
3 : 2 n-heksane : etil asetat
3 : 2 etil asetat : metanol
2 : 3 n-heksane : etil asetat
2 : 3 etil asetat : metanol
1 : 4 n-heksane : etil asetat
1 : 4 etil asetat : metanol
100% metanol
c. Proses isolasi
Pelarut yang telah selesai dibuat dengan tingkat kepolaran yang meningkat, dimasukkan ke dalam kolom kromatografi dengan cara sebagai berikut 1. Pelarut
n-heksane
100%
dimasukkan
ke
dalam
kolom
kromatografi sedikit demi sedikit dengan bantuan corong pisah.
41
Kran kolom dibuka sehingga pelarut tersebut akan turun melalui kolom. Hasil kolom yang keluar ditampung dengan vial-vial yang diberi nomor yang berurutan (setiap vial ditampung ±10 mL) 2. Setelah pelarut n-heksane 100% habis di dalam kolom, ditandai hanya tinggal selapis larutan di atas permukaan sampel, maka ditambahkan pelarut dengan tingkat kepolaran kedua, yaitu campuran n-heksane dan etil asetat dengan perbandingan 4:1. Setelah itu ditampung hasil eluat yang keluar dengan vial-vial yang diberi nomor berurutan. 3. Langkah diatas terus dilakukan pada semua perbandingan campuran pelarut. Hasil eluat yang telah ditampung dalam vial-vial yang telah diberi nomor secara berurutan, dianalisis menggunakan lempeng KLT untuk melihat spot-spot yang akan terlihat dibawah lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm. Spot yang terlihat menandakan adanya komponen kimia yang telah terisolasi.
3.2.7
KLT Preparatif a. Pembuatan KLT Preparatif
1. Siapkan kaca 2. Diambil 25g silica gel gf 254 3. Ditambahkan air sebanyak 50 ml 4. Dikocok dengan kuat selama beberapa detik 5. Tuangkan suspense fluida ke atas kaca 6. Ratakan dengan dimiringkan atau diketuk-ketuk 7. Diamkan selama beberapa hari hingga kering
b. Isolasi senyawa
1. Sehari sebelumnya, pelat kaca yang silikanya sudah kering dioven dahulu pada suhu 110°C selama 24 jam
42
2. Setelah
itu
ekstrak
kering
disiapkan
dengan
dilarutkan
menggunakan etil asetat secukupnya 3. Chamber
diisi
dengan
pelarut
heksana:etil
asetat
dengan
perbandingan 4:1 4. Dan dijenuhkan menggunakan kertas saring 5. Pelat kaca disiapkan dengan menotolkan ekstrak sepanjang batas bawah pelat kaca, dilakukan 2x 6. Setelah jenuh, pelat kaca dimasukkan ke dalam chamber 7. Amati kenaikan ekstraknya 8. Jika pelarut sudah sampai batas atas pelat maka pelat kaca diangkat 9. Lakukan pengamatan menggunakan UV 254 dan 365nm (dilakukan KLT preparative sebanyak 2x) 10.Spot ditandai kemudian dikerok menggunakan spatula 11.Pipet disiapkan lalu dimasukkan kapas ke ujung pipet seperti melakukan pemisahan kolom pada kolom 12.Hasil spot dimasukkan ke dalam pipet untuk penyaringan ekstrak 13.Setelah semua silica hasil spot dimasukkan ke dalam kolom dimasukkan etil asetat ke dalam pipet 14.Hasil yang keluar dari pipet ditampung menggunakan vial 15.Setelah itu dilakukan KLT analitis dari hasil saringan spot kemudian dilihat kembali pada UV 254 dan 365 nm. Jika hasil pada KLT prepatif 1 & 2 sama berarti senyawa yang didapatkan telah murni
43
Bab IV Hasil dan Pembahasan
4.1
Isolasi Senyawa
4.1.1
Hasil
Simplisia Awal= 550 mg
No
Sokletasi
1.
Simplisia
2.
Pelarut Metanol
3.
Ekstrak
Meserasi
= 10 g x 5 = 50 gram = 125 mL
= 450 gram
Pelarut Metanol Ekstrak
= ± 7 gram
= 650 mL
= ± 10 gram
Rendemen
Rendemen 4.
Simplisia
x 100 % = 14%
x 100 % = 2%
4.1.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini, dilakukan proses pembuatan ekstrak dari tumbuhan Ketepeng Cina (Cassia alata). Sebelum menuju proses ekstraksi, langkah pertama yang dilakukan adalah pendekatan pemilihan sampel.
Pemilihan
sampel
bisa
dengan
pendekatan
fitokimia,
farmakologi, etnobotani, kemo-taksonomi, berdasarkan jurnal, atau secara acak. Kelompok kami menggunakan pendekatan etnobotani dalam pemilihan sampel. Pemilihan sampel dengan pendekatan etnobotani adalah memilih sampel berdasarkan informasi penggunaan tradisional tumbuhan tertentu. Tumbuhan Ketepeng Cina ( Cassia alata) biasanya digunakan
masyarakat
untuk
pengobatan
penyakit
kulit
secara 44
tradisional. Oleh karena itu, melalui praktikum ini, akan diinvestigasi lebih lanjut senyawa apakah yang bertanggung jawab dalam memberikan efek farmakologis. Langkah selanjutnya adalah proses pembuatan sampel tumbuhan menjadi simplisia. Sampel segar yang bebas hama disortasi basah guna memisahkan kotoran-kotoran dari sampel. Selanjutnya sampel dicuci hingga bersih dan dilakukan perajangan sampel hingga menjadi potongan-potongan
kecil.
Setelah
itu,
sampel
dikeringkan
agar
mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak. Terdapat dua macam pengeringan, alamiah (dengan sinar matahari atau angin) dan buatan (menggunakan instrumen). Kelompok kami menggunakan pengeringan alamiah yaitu dengan sinar matahari, karena lebih hemat dan ramah lingkungan. Langkah selajutnya yaitu sampel disortasi kering untuk memisahkan benda asing maupun bagian tanaman yang tidak diinginkan. Kemudian
sampel
dihaluskan
hingga
berbentuk
serbuk
halus
menggunakan mesin blender . Penghalusan sampel bertujuan untuk meningkatkan keseragaman sampel dan efisiensi ekstraksi sampel oleh pelarut. Setelah sampel sudah berbentuk simplisia, maka simplisia sudah siap untuk dilakukan proses ekstraksi. Sebelum melakukan ekstraksi, simplisia terlebih dahulu ditimbang 550 gram. Pada praktikum ini, kami menggunakan dua metode ekstraksi yaitu sokletasi dan maserasi. Tujuannya adalah untuk membandingkan hasil dari masing-masing metode. Oleh karena itu, simplisia ditimbang kembali untuk membagi massa simplisia menjadi dua bagian. Metode sokletasi membutuhkan 100 gram simplisia, sedangkan metode maserasi membutuhkan 450 gram simplisia. Sokletasi adalah metode ekstraksi dengan cara panas. Proses ekstraksi dengan sokletasi menggunakan pelarut yang selalu baru, karena pelarut akan terus direfluks. Sehingga menyebabkan terjadinya ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan. Hal tersebut menjadi alasan kami memilih metode sokletasi sebagai metode ekstraksi
45
kami. Selain itu, karena pelarut yang digunakan selalu baru dan terus direfluks, hasil ekstrak akan lebih baik dalam segi konsistensi. Proses pembuatan ekstrak dengan metode sokletasi dapat dijelaskan sebagai berikut : Alat soklet disiapkan. Selanjutnya simplisia dimasukkan ke dalam kertas saring yang telah dibentuk tabung dan dimasukkan ke dalam tabung soklet. Setelah itu pelarut dimasukkan ke dalam labu lemak. Ketika sudah dipastikan alat soklet telah terpasang dengan sesuai, alat pump dinyalakan, kemudian nyalakan juga electromanthel . Setelah itu hentikan proses ketika pelarut yang berada dalam sifon berwarna bening dan ekstrak yang terbentuk sudah kental. Langkah terakhir adalah meng-evap hasil ekstrak yang masih encer hingga terbentuk konsentrasi ekstrak yang lebih padat. Berdasarkan hasil praktikum, ekstrak yang didapat dari metode sokletasi dapat digambarkan berbentuk ekstrak yang pekat, tidak encer, dan konsistensinya padat. Berat ekstrak yang dihasilkan dari metode sokletasi adalah kurang lebih 7 gram. Maserasi adalah metode ekstraksi dengan cara dingin. Metode ini dilakukan dengan mengekstrak simplisia dengan pelarut dan dilakukan pengadukan
beberapa
kali
dalam
suhu
ruangan.
Alasan
kami
menggunakan maserasi sebagai metode ekstraksi kedua kami karena dengan maserasi, zat-zat yang dapat tertarik adalah zat yang tahan panas maupun tidak. Sehingga diharapkan bahwa senyawa yang diperoleh bisa lebih bervariasi dan bisa menjadi perbandingan dengan hasil dari metode sokletasi. Proses pembuatan ekstrak dengan metode maserasi dapat dijelaskan sebagai berikut : Simplisia dimasukkan ke dalam tabung maserasi dan ditambahkan pelarut hingga 2-3 cm di atas permukaan simplisia. Kemudian didiamkan 2-3 hari sembari dikocok/diaduk setiap hari. Selanjutnya maserat disaring dan dievap sampai terbentuk ekstrak kental.
46
Berdasarkan hasil praktikum, ekstrak yang didapat dari metode maserasi dapat digambarkan berbentuk ekstrak yang agak pekat, encer, dan konsistensinya agak kental. Berat ekstrak yang dihasilkan dari metode sokletasi adalah kurang lebih 10 gram. Proses selanjutnya, setelah ekstrak kental yang telah diperoleh ditimbang, kemudian dibandingkan bobotnya dengan simplisia awal yang digunakan. Perbandingan dalam persen menyatakan nilai rendemen dari ekstrak tersebut. Nilai rendemen dari ekstrak Ketepeng Cina (Cassia alata) dengan metode sokletasi adalah 14%, sedangkan nilai rendemen dengan metode maserasi adalah 2%. Besar kecilnya nilai rendemen menunjukkan keefektifan proses ekstraksi. Efektivitas proses ekstraksi dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan sebagai penyari, ukuran partikel simplisia, metode, dan lamanya ekstraksi. Nilai rendemen yang terlalu kecil bisa juga dikarenakan belum seutuhnya maserat atau ekstrak dari soklet dievap, sehingga hasilnya lebih kecil. Pada praktikum kali ini, kelompok kami menggunakan metanol sebagai pelarut untuk mengekstraksi tumbuhan Ketepeng Cina (Cassia alata) dengan metode sokletasi maupun maserasi. Alasan kami memakai metanol adalah karena metanol merupakan senyawa polar yang disebut sebagai pelarut universal, karena selain mampu mengekstrak komponen polar, metanol juga dapat mengekstraksi komponen non polar (Houghton dan Raman, 1998). Hal tersebut membuat kami memilih metanol sebagai pelarut, serta dengan harapan metanol dapat melarutkan seluruh komponen/senyawa yang ada pada ekstrak Ketepeng Cina ( Cassia alata) baik polar maupun non polar, sehingga dapat diinvestigasi lebih lanjut senyawa yang bertanggung jawab terhadap efek farmakologis tumbuhan ini.
47
4.2
Skrining Fitokimia
4.2.1 Hasil
No 1.
2.
3.
4.
Uji
Foto
Hasil uji
Literatur
( - ) Negatif
( + ) Positif
( + ) Positif
( + ) Positif
( + ) Positif
( + ) Positif
( - ) Negatif
( + ) Positif
Uji Alkaloid
Uji Flavonoid
Uji Saponin
Ujin Tanin
48
5.
6.
7.
Uji Steroid dan Terpenoid Uji Kumarin
( + ) Positif
( + ) Positif
( + ) Positif
( + ) Positif
( - ) Negatif
( - ) Negatif
Uji Minyak Atsiri
4.2.2 Pembahasan
Pada praktikum kali ini dilakukan skrining fitokimia dilakukan pengujian terhadap tanaman Cassiaalata. Cassiaalata. Skrining atau penapisan adalah salah satu metode untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder yang terdapat pada suatu tanaman. Pengujian ini kemudian dapat berguna untuk pengembangan dan penggunaan tanaman di kemudian hari.
49
Skrining fitokimia dilakukan karena prosesnya yang mudah, cepat, selektif, dan sampel yang dibutuhkan sedikit. Skrining dapat dilakukan menggunakan ekstrak kental maupun simplisia tanaman secara langsung. Oleh sebab itu skrining sangat dianjurkan pada pengujian kandungan sampel dikarenakan mudah dan tidak memerlukan instrumen yang rumit. Skrining yang dilakukan pada praktikum kali ini adalah pengujian terhadap kadar alkaloid, flavonoid, saponin, tannin, kuinon, steroid dan triterpenoid, minyak atsiri dan kumarin. Pada skrining fitokimia identifikasi golongan alkaloid dilakukan dengan menimbang 1 gram serbuk simplisia kemudian ditambahkan 5 ml amonia 30% lalu digerus di lumpang dan ditambahkan 20 ml kloroform lalu digerus kembali dan disaring kemudian diambil filtratnya. Lalu diteteskan
beberapa
tetes
ke
kertas
saring
dan
disemprot
pereaaksidragendorff, jika positif terbentuk warna merah/jingga. Hasil menunjukkan warna yang terjadi adalah warna cokelat kehitaman menunjukkan hasil negatif alkaloid. Kemudian, filtrat diekstraksi dengan 10 ml HCl atau H 2SO4 1 M atau asam asetat 10% kemudian dikocok dan di ambil larutan di bagian atasnya lalu dibagi menjadi dua tabung kemudian salah satunya ditambahkan dragendorrf dan mayer, jika positif menghasilkan warna merah bata dan endapan putih. Dari hasil percobaan didapatkan larutan berwarna cokelat (dragendorff) dan bening (mayer) menunjukkan tidak adanya kandungan golongan alkaloid pada daun Cassiaalata. Cassiaalata. Berikutnya pengujian golongan flavonoid dengan mendidihkan 2 gram serbuk simplisia dalam air panas 100 ml selama 5 menit kemudian disaring menggunakan kertas saring. Filtrat yang didapat ditambahkan dengan 1 ml HCl pekat, 3-4 butir logam mg, dan 5 ml amilalkohol lalu dikocok dengan kuat lalu dibiarkan hingga memisah. Hasil didapat warna kekuningan jernih dimana menunjukkan positif terdapat senyawa flavonoid.
50
Identifikasi golongan saponin dengan mengambil 10 ml filtrat pengujian flavonoid kemudian dikocok secara vertikal selama 10 detik dan dibiarkan selama 10 menit, hasil menunjukkan terdapat busa. Kemudian ditambahkan 1 tetes HCl 1%, busa tidak menghilang menunjukkan bahwa daun Cassiaalata positif Cassiaalata positif mengandung saponin. Identifikasi golongan tanin dilakukan dengan mendidihkan 1 gram serbuk simplisia dengan 100 ml air selama 15 menit kemudian disaring dan diambil filtratnya dan dibagikan ke dalam 3 tabung reaksi (kontrol dan uji). Ke dalam tabung 2 ditambahkan FeCl 3 1%, jika positif mengandung tanin terbentuk warna biru tua atau hijau. Namun, warna yang terbentuk adalah kecokelatan (-). Kemudian ke dalam tabung yang lain
ditambahkan
15
ml
reagen
stiasny
dan
dipanaskan
yang
menghasilkan endapan (positif, tanin katekuat). Lalu endapan diambil dan disaring, tambahkan natrium asetat hingga jenuh dan beberapa tetes FeCl2 1% dan terbentuk warna biru tinta menunjukkan adanya tanin galat. Namun, dari hasil percobaan, tidak didapatkan endapan (-) dan tidak didapatkan warna biru tinta (-). Pengujian golongan kuinon dilakukan dengan mengambil 5 ml filtrat dari pengujian flavonoid kemudian ditambahkan beberapa tetes NaOH 1 N, jika positif berwarna merah. Namun dari hasil pengujian, warna yang didapat adalah kecokelatan (sama seperti warna larutan sebelumnya) menunjukkan hasil negatif kuinon. Berikutnya identifikasi golongan steroid dan triterpenoid dengan memaserasi 1 gram serbuk simplisia dengan 20 ml heksana selama 2 jam dalam wadah tertutup, lalu disaring dan diambil filtratnya. 5 ml dari filtrat diuapkan dalam cawan penguap hingga didapat residu kemudian diteteskan reagen libermann-buchard, hasil menunjukkan positif steroid dan triterpenoid karena terbentuk warna hijau ketika diteteskan pereaksi. Lalu identifikasi golongan minyak atsiri dengan mereaksikan 1 gram serbuk simplisia ke dalam tabung lalu ditambahkan 10 ml
51
petroleum eter dan dipanaskan selama 10 menit, setelah itu didinginkan lalu disaring dan diambil filtratnya. Filtrat kemudian diuapkan dan residunya dilarutkan dengan alkohol 5 ml kemudian disaring. Filtrat diuapkan kembali pada cawan, hasil menunjukkan negatif minyak atsiri karena ketika diuapkan tidak menghasilkan bau khas. Pengujian golongan kumarin dengan memasukkan 2 gram si mplisia ke dalam tabung reaksi lalu ditambahkan 10 ml kloroform dan dipanaskan selama 20 menit, disaring dan diambil filtratnya. Filtrat kemudian diuapkan pada cawan hingga kering lalu ditambahkan air panas sebanyak 10 ml dan didinginkan, lalu ditambahkan 0.5 ml amonia dan dilihat pada sinar UV gelombang 365 nm. Hasil menunjukkan positif karena terjadi fluorosensi berwarna hijau kebiruan (tosca). Dari hasil skrining diketahui bahwa Cassiaalata mempunyai kandungan
senyawa
flavonoid,
kumarin,
saponin,
steroid
dan
triterpenoid. Ini sesuai dengan jurnal Phytochemicl screening and antibacterial evaluation of the leaf androot extracts o f Cassia alata Linn (El-Mahmood dan Doughari, 2008) dimana disebutkan bahwa daun ketepeng cina mempunyai kandungan flavonoid dan saponin. Sedangkan pada jurnal Antibacterial activity of the active component of Cassia alata (Linn) leaves (Faruq dkk, 2010) dijelaskan bahwa daun ketepeng cina mempunyai kandungan steroid dan pada jurnal Cassia alata and Cassia uriculata – Review of their bioactive potential (Meenupriyadkk, 2014) disebutkan bahwa daun ketepeng cina mempunyai kandungan flavonoid. Dalam beberapa jurnal juga dikatakan bahwa ketepeng cina mempunyai kandungan tanin dan alkaloid tetapi pada skrining yang telah dilakukan tidak terlihat adanya kandungan tanin dan alkaloid. Ini bisa terjadi dikarenakan adanya perbedaan geografis dari daun ketepeng cina yang diambil, berikut pengaruh iklim, suhu, dll. Hal tersebut dapat mempengaruhi kadar kandungan dari suatu tanaman. Jika kadarnya terlalu kecil, bisa saja tidak terdeteksi ketika dilakukan skrining
52
4.3
Partisi
4.3.1 Hasil
No.
Pelarut
1.
Metanol
Berat hasil
Gambar
Rendemen
ekstraksi
= 0,7695 gram
2.
x 100 %
= 15,39 %
Nheksana
= 6,7006 gram
3.
x 100 %
= 1,34 %
Etil Asetat
0,3577 gram
=
x 100 %
= 7,154%
4.3.2 Pembahasan
Pemisahan dengan cara partisi atau dikenal juga dengan pemisahan cair-cair
pelarut
merupakan
metode
pemisahan
suatu
senyawa
berdasarkan tingkat kelarutannya didalam campuran pelarut yang tidak bercampur. Pemisahan dengan cara partisi atau fraksinasi diperlukan
53
untuk memisahkan golongan utama kandungan satu dari golongan utama lainnya berdaasarkan pada perbedaan kepolarannya. Fraksinasi ini menggunakan pelarut n-heksan ,etil asetat dan metanol. Pada praktikum ini,kami menggunakan ekstrak yang kami dapat dari proses ekstraksi sokletasi dengan pelarut metanol, ekstarak yang digunakan berupa esktrak kental dengan berat 5gram, kemudian ekstrak kental tersebut dilarutkan kedalam 10 ml methanol. Pelarutan ini agar dalam melakukan fraksinasi ekstrak mudah untuk memisah,kemudian dimasukkan kedalam corong pisah. Densitas atau berat jenis dari pelarut akan memprediksikan posisi lapisan pelarut dalam corong pisah. Lalu, ditambahkan 50 ml n-heksan, penggunakan pelarut n-heksan terlebih dahulu karena untuk menarik semua senyawa metabolit sekunder yang bersifat non polar. Campuran pelarut yang ada didalam corog pisah tersebut kemudian di kocok dengan perlahan dan disertai dengan membuka katup bagaian bawah untuk mengurangi tekanan gas yang ada didalam corong pisah tersebut. Pengocokan corong pisah bertujuan untuk mempermudah pemisahan fraksi non polar dari ekstrak tersebut, kemudian corong pisah di letakkan pada tiang penyangga dalam posisi berdiri, dan diamkan beberap menit . hal ini bertujuan untuk melihat adanya lapisan batas dalam campuran pelarut tersebut. Pelarut n-heksan memiliki berat jenis yaitu 0,696 sedangkan methanol memiliki berat jenis 0,7 , sehingga letak pelarut methanol ada dibagian bawah atau ada di lapisan bawah sedangkan untuk pelarut n-heksan ada dibagian atas. Kemudian katup bagian bawah dibuka dan lapisan bawah di pisahkan dengan lapisan atas pada beaker glass berbeda. Hasil dari ekstrak dan methanol yang ada dilapisan bawah kemudian dilakukan pemisahan kembali dengan n-heksan hingga terbentuk lapisan jernih dari n-heksan tersebut. Dalam praktikum ini, kami melakukan fraksinasi dengan nheksan sebanyak 5 kali masing-masing dengan penambahan 50 ml nheksan kedalam pelarut methanol. Kemudian dilanjutkan dengan fraksinasi menggunakan pelarut etil asetat. Penggunaan etil asetat sebagai pelarut dalam fraksinasi ini adalah untuk memisahkan atau menarik
54
semua senyawa metabolit sekunder yang bersifat semi polar. Residu pelarut methanol ditambahkan dengan pelarut etil asetat sebanyak 50 ml kedalam corong pisah, yang selanjutnya dilakukan pengocokan. Kemudian ditunggu hingga terjadi pemisahan antar lapisan atas dan lapisan bawah yang membentuk sebuah batas yang jelas. Namun, pada saat fraksinasi ini, tidak terjadi pemisahan antara residu methanol dengan etil asetat, sehingga perlu ditambahkan air sebanyak 5 ml. penambahan ini bertujuan untuk lebih mempermudah pemisahan antara pelarut etil asetat dan residu methanol, karena air bersifat polar, sehingga akan lebih mempermudah pemisahan antara senyawa yang bersifat polar dan non polar.
Pelarut etil asetat memiliki berat jenis yaitu 0,8945 sedangkan
untuk methanol memiliki berat jenis yaitu 0,7,sehingga lapisan bawah yang terbentuk adalah lapisan pelarut etil asetat dan lapisan atas adalan lapisan pelarut methanol. Namun, karena adanya penambahan air dalam pemisahan pelarut tersebut, sehingga menyebabkan berat jenis pelarut methanol atau pelarut polar lebih besar dari pada pelarut etil asetat (pelarut semi polar). Kemudian dilakukan pemisahan pelarut etil aseat dan methanol kedalam 2 beaker glass berbeda. Kemudian dilakukan kembali pemisahan atau fraksinasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 5 kali masing masing dengan penambahan 50 ml pelarut etil asetat kedalam pelarut methanol hingga terbentuk larutan yang berwarna jernih dari pemisahan antara pelarut etil asetat dan residu methanol. Sisa atau residu methanol dari fraksinasi etil asetat merupakan ekstrak partisi metanol. Selanjutnya ekstrak hasil dari partisi n-heksan, etil asetat dan methanol diuapkan dengan rotary evaporator sehingga mendapatkan 3 ekstrak kental yaitu ekstraka heksana, etil asetat dan methanol. Hasil yang didapat yaitu untuk ekstrak kental n-heksan sebanyak 6,7006 gram. Ekstrak berwarna kental n-heksan memiliki organoleptis berupa cairan kental berwarna hijau kehitaman. Untuk ekstrak etil asetat yang berupa serbuk kering berwarna hitam mengkilat sebanyak 0,3577 gram , bentuk ekstrak yang didapat berupa serbuk terjadi karena terjadinya
kesalahan
dalam
waktu
menguapkan
menggunakan
55
evaporator. Penguapan menggunakan evaporator terlalu lama, sehingga yang didapat berupa serbuk halus yang kering dari hasil fraksinasi etil asetat. Sedangkan untuk ekstrak
methanol, didapatkan ekstrak kental
sebanyak 0,7695 gram. Organoleptis dari hasil fraksinasi metanol berupa ekstrak kental berwarna hitam. Menurut Markham, pelarut n-heksana dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa metabolit sekunder yang bersifat non polar seperti lemak,sterol, kumarin,dan beberapa terpenoid. Sedangkan untuk pelarut etil asetat dapat digunakan untuk mengekstrak senyawa metabolit sekunder yang bersifat semi polar seperti flavonoid dan tanin. Fraksinasi menggunakan pelarut n-heksan yang bersifat non polar ini akan menarik senyawa metabolit sekunder yang ada didalam ekstrak kental ketepeng cina yang bersifat non polar, senyawa metabolit sekunder yang ada didalam ekstrak ketepeng cina yang larut dalam pelarut n-heksan antara lain steroid dan terpenoid. Kemudian untuk ekstrak yang berupa serbuk kering dari hasil fraksinasi pelarut etil asetat yang bersifat non polar, menarik senyawa metabolit sekunder dari ekstrak ketepeng cina antara lain flavonoid dan tanin, Serta untuk hasil fraksinasi pelarut metanol yang bersifat polar, menarik senyawa metabolit sekunder dari ekstrak ketepeng cina antara lain alkaloid dan saponin.
4.4
KLT Analitik
4.4.1 Hasil
56
Menghitung nilai Rf Rf =
ℎ ℎ
N-heksana
Fase gerak n-heksan : etil asetat (4:1)
Rf 1=
= 0,875 cm Rf 2 =
= 0,55cm
Rf 3=
=0,375 cm Rf 4 =
= 0,125cm
Etil asetat
Fase gerak n-heksan : etil asetat (4:1) Rf1=
= 0,675 cm Rf2 =
= 0,45cm
Rf3=
=0,225 cm Rf4 =
= 0,125cm
Methanol
Fase gerak etil asetat (5ml) Rf1=
= 0,8 cm Rf2 =
= 0,175cm 4.4.2 Pembahasan
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk
57
mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil. Pada percobaan kali ini kami menggunakan ekstrak daun Cassia alata sebagai sampel. Menurut El-mahmood et al., 2008, ekstrak Cassia alata
mengandung
alkaloid,
tannin,
saponin,
fenol,
flavonoid,
antraquinon dan glikosida jantung. Fase diam yang digunakan ialah silika gel dan fase gerak yang coba digunakan dalam praktikum ini ialah campuran antara n-heksana dan etil asetat dengan perbandingan 4:1. Campuran dua pelarut organic ini merupakan sistem yang paling sederhana karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak : 1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT merupakan teknik yang sensitif. 2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan. 3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel, polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga menentukan nilai Rf. Tahap pertama yang dilakukan ialah menjenuhkan chamber dengan fase gerak. Penjenuhan bertujuan sebagai parameter tingkat kejenuhan chamber terhadap uap eluen/fase gerak. Penjenuhan chamber dilakukan dengan melapisi dinding bagian dalam chamber kromatografi dengan kertas saring, sekurang-kurangnya setengah keliling chamber dan hampir mencapai bagian atas bejana. Penjenuhan berguna untuk mencegah penguapan dari fase gerak. Plat KLT yang digunakan berukuran ±1,5cm x 6 cm, dengan dibuat batas atas dan batas bawah masing-masing 1cm.
58
Langkah berikutnya ialah menotolkan ekstrak pada silika gel dengan menggunakan pipa kapiler. Kemudian silika gel yang telah ditotoli ekstrak itu dimasukkan kedalam beaker glass yang berisi fase gerak. Untuk ekstrak yang dilarutkan dalam n-heksan dan etil asetat digunakan fase gerak campuran dari n-heksan dan etil asetat dengan perbandingan 4:1, sedangkan untuk methanol digunakan fase gerak etil asetat 5ml. Beaker glass harus dalam keadaan tertutup.Perlu diperhatikan bahwa batas pelarut berada di bawah garis dimana posisi bercak berada. Ketika pelarut mulai membasahi lempengan, pelarut pertama akan melarutkan senyawa-senyawa dalam bercak yang telah ditempatkan pada garis dasar. Senyawa-senyawa akan cenderung bergerak pada lempengan kromatografi sebagaimana halnya pergerakan pelarut. Bagaimana cepatnya senyawa-senyawa dibawa bergerak ke atas pada lempengan, tergantung pada: 1. Kelarutan senyawa dalam pelarut. Tergantung pada besar atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut. 2. Senyawa melekat pada fase diam, misalnya silika gel. Tergantung pada bagaimana besar atraksi antara senyawa dengan silika gel Setelah pencelupan, pada silika gel akan terbentuk noda – noda yang memilki warna berbeda – beda. Setiap noda yang terbentuk pada silika gel diukur jaraknya dari batas yang telah dibuat agar dapat dilakukan perhitungan nilai Rf. Jarak antara jalannya pelarut bersifat relatif. Oleh karena itu, diperlukan suatu
perhitungan tertentu untuk
memastikan spot yang terbentuk memiliki jarak yang sama walaupun ukuran jarak plat nya berbeda. Nilai perhitungan tersebut adalah nilai Rf, nilai ini digunakan sebagai nilai perbandingan relatif antar sampel. Nilai Rf juga menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam sehingga nilai Rf sering juga disebut faktor
retensi. Nilai Rf dapat
dihitung dengan rumus berikut : Rf =
ℎ ℎ
59
Semakin besar nilai Rf dari sampel maka semakin besar pula jarak bergeraknya senyawa tersebut pada plat kromatografi lapis tipis. Saat membandingkan
dua
sampel
yang
berbeda
di
bawah
kondisi
kromatografi yang sama, nilai Rf akan besar bila senyawa tersebut kurang polar dan berinteraksi dengan adsorbent polar dari plat kromatografi lapis tipis. Pada plat yang dicelupkan pada pelarut n-heksan: etil asetat untuk ekstrak yang larut dalam n-heksan memiliki nilai rf 0,875 cm; 0,55cm; 0,375 cm; dan 0,125cm. ekstrak yang larut dalam etil asetat memiliki nilai rf 0,875 cm; 0,55cm; 0,375 cm; dan 0,125cm. dan untuk ekstrak yang larut dalam methanol, pada plat silika gel tidak terbentuk spot. Spot terbentuk saat silika gel dicelupkan pada chamber yang berisi fase gerak etil asetat 5ml, hal tersebut terjadi karena terdapat persamaan kepolaran antara methanol dan etil asetat.Deteksi senyawa dilakukan dengan menggunakan detektor UV di bawah sinar UV 254 nm, indikator pada plat KLT akan memancarkan warna hijau dan pada UV 366 nm akan memancarkan warna ungu. Komponen yang menyerap cahaya pada 254 atau 366 nm akan tampak sebagai bercak gelap pada plat yang bercahaya (Gibbons, 2006). Metode deteksi lain adalah dengan menggunakan pereaksi semprot. Pereaksi semprot yang digunakan pada praktikum ini ialah pereaksi godin. 4.5
Kromatografi Kolom
4.5.1 Hasil
UV 365 nm
60
UV 254 nm
Pada pembuatan KLT dilakukan pengujian terhadap 10 sampel hasil pemisahan kolom dengan rincian sampel sebagai berikut 1. Botol 1 heksana 100% 2. Botol 4 heksana 100% 3. Botol 2 heksana: etil (4:1) 4. Botol 5 heksana:etil (4:1) 5. Botol 8 heksana:etil (4:1) 6. Botol 11 heksana:etil (4:1) 7. Botol 14 heksana:etil (4:1) 8. Botol 17 heksana:etil (4:1) 9. Botol 1 heksana:etil (4:1) 10. Botol 4 heksana:etil (4:1)
Kemudian dilakukan pengamatan melalui sinar UV pada λ 254 nm dan 365 nm.
4.5.2 Pembahasan
Isolasi adalah proses pemisahan komponen kimia yang terdapat dalam suatu ekstrak. Kromatografi adalah proses melewatkan sampel melalui suatu kolom, perbedaan kemampuan adsorpsi terhadap zat-zat
61
yang sangat mirip mempengaruhi resolusi zat terlarut dan menghasilkan apa yang disebut kromatogram. Kromatografi kolom konvensional adalah metode kromatografi klasik yang sampai saat ini masih banyak digunakan. Kolom kromatografi digunakan untuk memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak. Prinsip dari kromatografi kolom jenis ini adalah kecenderungan komponen kimia untuk terdistribusi ke dalam fase diam atau fase gerak dengan proses elusi berdasarkan gaya gravitasi. Mekanisme dari kolom konvensional dalam isolasi yaitu eluen akan berpenetrasi masuk ke dalam fase diam (silica gel) kemudian terjadi proses isolasi dan didapatkan isolate. Pada praktikum ini proses pengemasan silica dibuat dalam cara basah karena cara basah lebih efektif dibandingkan cara kering dalam pengemasan silica karena silica dilarutkan dengan n-heksan terlebih dahulu hingga homogen sehingga proses untuk ekstrak melewati fase diam cepat dan pemisahannya lebih baik. Eluen dialirkan untuk pemisahan komponen. Aliran eluen diatur agar tidak terlalu cepat agar komponen dapat terpisah. Alirannya pun diusahakan tidak terlalu lambat agar proses tidak terlalu lama. Eluen mengalir mengelusi sampel menyusuri fase diam di sepanjang kolom dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Proses pengemasan silica dilakukan dengan cara basah. Dimana 25 gram silica kasar dimasukkan ke dalam gelas kimia. Kemudian ditambahkan pelarut n-heksan. Diaduk dengan batang pengaduk hingga tercampur rata sambil dimampatkan dan n-heksan sudah menutupi pori terbuka pada silica kasar. Setelah mampat silica kemudian dimasukkan ke dalam kolom yang telah diberi selapis kapas tipis pada bagian dasar kolom, dan pelarutnya dikeluarkan. Untuk menghindari cracking, kolom dilapisi oleh kapas yang telah dibasahi oleh aseton. Ekstrak daun ketepeng (Cassia alata) ditimbang sebanyak 2 gram lalu dimasukkan pada cawan porselin dan dilarutkan dengan n-
62
heksan.Untuk proses isolasi, kolom yang telah dirangkai pada statif dan telah dimasukkan silica kemudian dimasukkan ekstrak daun ketepeng (Cassia alata) ke dalam kolom. Lalu pelarut n-heksan : etil asetat dimasukkan ke dalam kolom mulai dari kepolaran rendah hingga kepolaran tinggi (100% n-heksan, n-heksan 4:1 etil asetat, n-heksan 3:2 etil asetat, n-heksan 2:3 etil asetat, 100% etil asetat, etil asetat 4:1 metanol). Kemudian hasil isolasi ditampung pada masing-masing vial 5 mL. Diamati warna yang dihasilkan dan dipisahkan sesuai perbandingan eluen yang digunakan. Hasil ekstrak yang dihasilkan pada pelarut nonpolar, yaitu n-heksan lebih pekat dibanding pada pelarut lain dan kepekatannya semakin memudar seiring dengan meningkatnya kepolaran pelarut. Hal tersebut terjadi karena, zat aktif utama yang terdapat pada ekstrak cassia, yaitu alkaloid, lebih larut pada pelarut yang bersifat nonpolar. Alasan penggunaan eluen dengan tingkat kepolaran yang rendah terlebih dahulu dimasukkan ke dalam kolom yaitu karena jika yang dimasukkan terlebih dahulu adalah pelarut polar maka ditakutkan senyawa non polar pada sampel akan tertarik juga sementara kita akan melakukan proses pemisahan antara senyawa polar dan non polar. Dan pada akhir dari proses isolasi tidak ada lagi senyawa non polar yang akan ditarik jika pelarut non polar digunakan lebih akhir. Setelah masing-masing ekstrak dimasukkan dalam vial, tutup vial dengan aluminium foil yang dilubangi kecil agar pelarut dalam ekstrak dapat menguap sehingga tersisa ekstrak kental untuk diuji pada plat KLT. Tahapan awal yang harus dilakukan saat melakukan uji dengan KLT ialah menjenuhkan chamber menggunakan parameter kertas saring. Chamber diketahui telah jenuh bila kertas saring yang dimasukkan ke dalam chamber telah basah semua. Tujuan penjenuhan chamber ini yaitu untuk menghilangkan uap air atau gas lain yang mengisi fase penjerap yang akan menghalangi laju eluen. Kemudian lempeng tersebut diberi batas atas dan batas bawah masing-masing sebesar 0,5 cm. batas bawah digunakan untuk menotolkan sampel. Tujuan diberi garis batas atas dan
63
bawah pada plat KLT ialah untuk mencegah agar sampel tidak sampai tercelup dan larut dalam eluen. Batas atas digunakan untuk mengakhiri proses elusi yang ditandai bahwa migrasi eluen sampai tanda batas. Pada proses migrasi eluen ini diharapkan agar sampel juga ikut bermigrasi ke atas. Fase gerak yang digunakan pada praktikum kali ini ialah n-heksan 100%. Alasan digunakannya n-heksan tanpa perbandingan apapun ialah dikarenakan mengingat zat aktif yang terdapat dalam ekstrak daun Cassia alata, yaitu alkaloid, dapat larut pada pelarut nonpolar. Pada awalnya, kami mencoba menggunakan fase gerak n-heksan : etil asetat dengan perbandingan 4:1, namun terlihat pada hasil bahwa spot pada KLT berimpitan dan mengalami tailing. Noda-noda yang berekor dapat juga disebabkan karena : a. Penotolan yang berulang-ulang dan letaknya tidak tepat b. Kandungan senyawa yang terlalu asam atau basa c. Lempeng yang tidak rata d. Chamber yang tidak jenuh Kemudian lempeng yang telah dielusi selanjutnya dikeringkan dan diamati noda-noda yang tampak pada lampu UV 254 nm dilanjutkan ke lampu UV 366 nm. Penampakan noda pada lampu UV 254 nm dan 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Yang dimaksud dengan gugus kromofor adalah suatu gugus fungsi yang memiliki peranan menyebabkan suatu senyawa memiliki warna. Gugus kromofor juga merupakan gugus kovalen tidak jenuh yang dapat menyerap radiasi dalam daerah UV-Vis. Sedangkan auksokrom merupakan gugus fungsi yang mempunyai peranan untuk memberikan warna yang lebih intensif pada suatu senyawa. Auksokrom tidak lepas kaitannya dengan adanya kromofor di dalam senyawa tersebut. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian
64
kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Energi inilah yang menyebabkan perbedaan fluoresensi warna yang dihasilkan oleh tiap noda. Bedanya, pada UV 254 warna noda yang nampak adalah berwarna gelap karena lempeng yang digunakan adalah lempeng dengan penjerap silika gel GF 254 yang berfluorosensi pada lampu UV 254 nm sehingga penjerap disekitar noda berfluorosensi terang sedangkan nodanya berwarna gelap atau dengan kata lain yang berpendar adalah lempengnya. Sedangkan pada lampu UV 366 nm, penjerap tidak berfluorosensi sehingga yang berfluorosensi benar-benar adalah noda sehingga warna noda yang tampak adalah terang atau dengan kata lain nodanya yang berpendar. Pada UV 254 dan 366, noda yang dihasilkan oleh ekstrak yang dilarutkan pelarut n-heksan, terlihat berpendar, dan noda yang berpendar semakin pudar bahkan tidak terlihat seiring dengan meningkatnya kepolaran pelarut yang digunakan untuk melarutkan ekstrak.
KLT Preparatif 4.6.1 Hasil
4.6
65
Hasi uji senyawa murni pada Plat KLT analitik No.
UV 254 nm
UV 365 nm
4.6.2 Pembahasan
Metode kromatografi dapat dimanfaatkan secara luas untuk pemisahan analitik dan preparatif. Biasanya, kromatografi analitik dipakai pada tahap permulaan untuk semua cuplikan, dan kromatografi preparatif hanya dilakukan jika diperlukan fraksi murni dari campuran (biasanya digunakan untuk pemurnian) seperti pada KLT preparatif. Kromatografi Lapis Tipis Preparatif merupakan proses isolasi yang terjadi berdasarkan perbedaan daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan bergerak mengikuti kepolaran eluen oleh karena daya serap adsorben terhadap komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan. Seperti halnya KLT secara umum, KLT Preparatif juga melibatkan fase diam dan fase gerak. Dimana fase diamnya adalah sebuah plat dengan ukuran ketebalan bervariasi. Untuk jumlah sampel 66
10-100 mg, dapat dipisahkan dengan mengunakan KLT Preparatif dengan adsorben silika gel atau aluminium oksida, dengan ukuran 20x20 cm dan tebal 1 mm, jika tebalnya di dua kalikan, maka banyaknya sampel yang dapat dipisahkan bertambah 50%. pada praktikum kali ini digunakan KLT preparatif dengan ukuran 10x10 cm dan tebal ±5 mm. Seperti halnya KLT biasa, adsorben yang paling umum digunakan pada KLT Preparatif adalah silika gel. Silika gel yang digunakan pada praktikum kali ini adalah silika gel GF 254 yang mengandung pengikat gipsum dan indikator fluoresensi yaitu timah kadmium sulfida atau mangan timah silikat aktif. Silika gel ini akan berfluoresensi pada panjang gelombang 254 nm. Sebelum ditotolkan pada plat KLT Preparatif, sampel dilarutkan terlebih dahulu dalam sedikit pelarut. Pelarut yang baik adalah pelarut yang mudah menguap, misalnya n-heksana, diklorometana atau etil asetat. Karena jika pelarut yang digunakan tidak mudah menguap, maka akan terjadi pelebaran pita. Oleh karena itu pada praktikum kali ini kami menggunakan pelarut etil asetat. Selanjutnya plat KLT Preparatif dielusi dengan menggunakan perbadingan pelarut n-heksane : etil asetat 4:1. Kemudian plat KLT preparatif diamati pada lampu UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 365 nm. Dari hasil pengamatan noda atau pita dapat terlihat pada lampu UV 254 dan juga UV 365, namun pita lebih jelas terlihat pada UV 365. Hal ini dikarenakan silica gel yang digunakan adalah GF 254 yang akan berpendar pada panjang gelombang 254 nm. Sehingga senyawa yang diidentifikasi akan lebih optimal berpendar pada panjang gelombang 365 nm. Berdasarkan hasil yang diperoleh pada lampu UV λ 365 nm, terdapat dua buah noda yang berwarna biru dan kuning. Diketahui di bawah lampu UV 365 nm senyawa alkaloid pada umumnya berwarna biru, biru kehijauan atau ungu berfluoresensi (Wagner, 1999). Sedangkan noda kuning kemungkinan adalah klorofil. Pada pita yang
67
berwarna biru dilakukan pengerokan untuk diuji kemurniannya dengan KLT kembali menggunakan fese gerak yang sama. Hasil yang diperoleh yakni noda tunggal yang berwarna biru dan diduga isolat alkaloid tersebut telah murni.
68
BAB V Kesimpulan 1. Dari ekstrak daun ketepeng cina (Cassia alata Linn.) didapatkan senyawa flavonoid, saponin, kumarin, steroid, triterpenoid dari hasil skrining fitokimia 2. Didapatkan hasil alkaloid dan klorofil dari hasil pemisahan menggunakan partisi dan kromatografi serta isolasi menggunakan KLT preparative
69
Daftar Pustaka Day, R.A dan Underwood, A.L.2001. Analisis Kimia Kuantitatif. Jakarta : Erlangga. Depkes. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Hal. 300-304, 306. Dewick,P.M.2002.Medicinal Natural Product A Biosynthetic Approach John Willey & Sons,Ltd.England Dirjen
POM.
1979.
Farmakope
Indonesia,
Edisi
III .
Jakarta:
DepartemenKesehatanRepublik Indonesia. El-Mahmood, A.M., Dougharo, J.H., 2008. Phytochemical screening and antibacterial evaluation of the leaf and root extracts of Cassia alata. African Journal of Pharmacy and Pharmacology Vol.2 pp. 124-129 Gandjar, G.H., dan Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Pustaka Yogyakarta: Pusaka Pelajar. Gibbons, S., 2006, An Intoduction to Planar Chromatography, Humana Press, Totowa New Jersey. Gritter, R.J., Bobbitt, J., dan Schwarting, A.E. (1991). Pengantar Kromatografi. Penerjemah: Kokasih Padmawinata. Edisi 2. Bandung: ITB. Hal. 107-146. Harborne, J.B. (1987). Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. Penerjemah: Kokasih Padmawinata, dan Iwang Soediro. Edisi 2. Bandung: ITB. Hal. 102-103, 147-149, 234 Harborne. J.B., 2007. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan Terbitan Kedua, diterjemahkan oleh Kosasih Padmawinata dan Iwang Soediro. Bandung: Penerbit ITB http://dokumen.tips/documents/kromatografi-lapis-tipis-preparatif.html
diakses
pada tanggal 12 Desember 2016 pukul 17.10 WIB. http://repository.uin-suska.ac.id/4634/3/BAB%20II.pdf. Diakses pada 16 Oktober 2016 pukul 10.00 WIB Hujjatusnaini, Noor. 2012. Uji Potensi Ekstrak Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.) terhadap Penghambatan Pertumbuhan Tricophyton sp.Malang : UIN Malang.
70