TUGAS ILMU PENYAKIT DALAM REFERAT ”IMUNOTERAPI PADA KANKER SECARA
UMUM”
Preceptor: dr. Juspeni Kartika, Sp.PD
Oleh:
Audya Pratiwi Putri Riyanda, S.Ked 1618012042
KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT DR. H. ABDUL MOELOEK LAMPUNG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2017
BAB I PENDAHULUAN
Imunoterapi sebagai pengobatan kanker merupakan strategi yang telah lama ada dan terus berkembang hingga saat ini. Kebutuhan adanya molekul terapeutik baru, meningkatnya pengetahuan mengenai pengaturan gen dan interaksi protein, dan perkembangan teknologi yang pesat telah mempertahankan pendekatan terapi ini pada garis terdepan pengobatan kanker. Berbagai hasil dan observasi dari uji klinis memungkinkan pengertian yang lebih mendalam mengenai mekanisme in vivo dan jalur yang terlibat dalam r espon anti-tumoral; dan karena itu, berkontribusi dalam peningkatan imunoterapi kanker. Ide untuk menggunakan imunoterapi untuk membasmi kanker bermulai pada pada abad ke-19 ketika Dr. William Coley menemukan efek bakteri pada regresi tumor. Beberapa tahun kemudian, Drs. Richet dan Hericourt menginjeksi pasien dengan “serum antitumor” yang didapatkan dari hewan untuk memberikan antibodi terhadap protein terkait tumor (tumor associated protein), sebuah teknologi yang disebut imunoterapi pasif. Pada awalnya, vaksin BCG juga digunakan untuk menstimulasi sistem imun aktif (imunoterapi aktif) dan mengeradikasi kanker. Lebih lanjut, imunoterapi kanker telah memasukkan penggunaan sel imun yang diinfuskan selama transplantasi sumsum tulang (imunoterapi adoptif), antibodi, dan sitokin. Hal ini telah dihubungkan dengan kombinasi dari berbagai pendekatan, seperti terapi sel dan gen. Terapi berbasis sel punca (stem cell), engineering dan targeting jaringan juga berkontribusi terhadap keberhasilan terkini pada studi imunoterapi pre-klinik. Berbagai jenis imunoterapi untuk kanker dapat ditemukan baik untuk umum atau sedang dalam proses uji klinis. Pengobatan imunoterapi berpotensi menyembuhkan kanker dengan toksisitas yang jauh lebih sedikit daripada pengobatan kemoterapi dan radiasi. Penekanan pada infus seluler sebagai metode untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan menciptakan lingkungan untuk menyerap sistem kekebalan inang untuk menyerang sel kanker atau lebih secara langsung memasukkan sel untuk secara langsung menyerang sel kanker akan disediakan dalam tinjauan ini. Berbagai bentuk vaksin kanker juga dibahas dalam makalah ini sebagai aspek penting dalam imunoterapi. Tinjauan ini berusaha untuk menggambarkan berbagai metodologi yang terkait dengan pemberian imunoterapi dalam pengobatan kanker.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Tiga metode tradisional untuk mengobati kanker adalah operasi, kemoterapi, dan radiasi. Metode ini mungkin gagal untuk menghapus secara total atau membasmi sel-sel neoplastik atau sel punca kanker. Metodologi ini tidak spesifik dan berpotensi merusak jaringan sehat yang dapat menyebabkan morbiditas dan bahkan kematian. Sistem kekebalan tubuh itu sendiri dapat sangat dipengaruhi oleh kemoterapi dan radiasi, sehingga respon sistem kekebalan tubuh terhadap kanker terdegradasi. Kemampuan untuk melengkapi atau meningkatkan respon imun terhadap kanker sangat penting setelah kemoterapi dan radiasi. Sistem kekebalan tubuh memberi perlindungan terhadap kanker dalam beberapa cara. Salah satunya s atunya adalah dengan kemampuan sel imun untuk menangkis patogen yang juga dikenal sebagai karsinogen. Hampir 20% dari semua kanker disebabkan oleh mikroorganisme karsinogenik. Beberapa patogen ini, jika tidak diregulasi oleh sistem kekebalan tubuh, dapat menyebabkan kanker yang mencakup namun tidak terbatas pada Hepatitis B dan C, virus Epstein Barr, pneumonia klamidia, pyloavirus merkel, dan salmonella typhi-1. Sistem kekebalan tubuh juga dapat meregulasi peradangan yang terkait dengan perkembangan kanker. Terakhir, sistem kekebalan tubuh bisa mengatur sel kanker sendiri melalui pengawasan kekebalan tumor. Hal ini melibatkan sistem kekebalan tubuh mengenali sel prakanker dan kanker dan menghilangkannya sebelum menjadi berbahaya. Ada keseimbangan sistem respon imun terhadap kanker dan perkembangan kanker yang disebut kanker immunoediting. Prosies ini adalah proses dinamis dimana sistem imun meregulasi kanker dalam salah satu dari tiga fase yang berbeda. Fase ini meliputi eliminasi, ekuilibrium, dan escape. Tahap eliminasi adalah dimana kanker atau sel prakanker terdeteksi oleh sistem imun surveilans dan pada dasarnya dihilangkan. Jika sel kanker tidak dapat sepenuhnya dihilangkan, maka keseimbangan terjadi di mana sistem kekebalan tubuh pada dasarnya membuat kanker dalam pengawasan dengan cara me nghilangkan sebanyak mungkin sel kanker yang dapat dihilangkan selagi sel kanker berkembang. Pada suatu titik sel kanker dapat bermutasi untuk menghindari surveilans imun, melawan dengan berbagai bahan kimia yang dapat menghambat respons imun, dan / atau menciptakan lingkungan mikro tumor dimana keasaman didaerah sekitar sel kanker menghambat respons imun.
Respon imun bawaan merupakan faktor penting dalam mengendalikan penyebaran kanker. Respon bawaan melibatkan natural killer cells, makrofag, sel dendritik (DC), dan respon dari sel DC/T. Sel natural killer termasuk CD3-, CD16 +, dan CD56 + mempunya potensi mengenali dan menghilangkan sel tumor melalui perforin / granzyme, dan dapat menyebabkan apoptosis di berbagai sel. Makrofag, khususnya makrofag M1, memiliki kapasitas untuk membunuh sel tumor dengan mensekresi sitokin inflamasi yang dapat memancing aktivitas sitotoksik disamping reaksi penghancuran tumor. Sel DC bertanggung jawab untuk menghasilkan efek spesifik tumor atau respons imun dan merupakan penghubung penting antara respon imun bawaan dan adaptif. Sel DC berinteraksi dengan limfosit li mfosit T naif dalam sebuah proses yang melibatkan sinyal seluler yang berbeda untuk membentuk sel T efektor. Proses ini melibatkan empat langkah dan mencakup presentasi antigen, molekul costimulatory, sinyal sitokin, dan pemberian sinyal kemokin. Respon imun adaptif melibatkan pengenalan antigen yang disajikan oleh MHC-1 dan MHC-2 oleh beberapa jenis limfosit T yang meliputi sel limfosit T sitotoksik CD8+ (CD8 + CTL) dan sel CD4 T helper (TH).Respons imun adaptif lebih tahan lama mengingat antigen yang dipresentasikan oleh MHC-1 dan MHC-2. Sel T CD8+ mensekresi IFN- γ, perforin, dan granzime B yang memicu aktivitas sitolitik pada sel kanker disamping memainkan peran penting dalam pengawasan imun. Sel T CD4 + terbagi menjadi beberapa subtipe yaitu, yaitu, fenotip TH1 dan TH2. Sel TH1 berkolaborasi dengan sel T CD8 + selain mensekresi IFN- γ, TNFTNF-α, dan IL-2, mempromosikan mempromosikan presentasi terhadap MHCI dan MHCII dan upregulasi pemrosesan antigen.TH2 mendorong respon imun humoral dan bekerja sama dengan sel B. Berikut adalah beberapa jenis imunoterapi: 2.1.1 Sel Dendritik yang Dimodifikasi Secara Genetik
Ada beberapa alasan mengapa sistem kekebalan tubuh terhadap kanker sangat menantang. Hal ini termasuk antigen terkait tumor yang berhubungan dengan toleransi imunologis sel kanker dan supresi imun diinduksi tumor. Sel dendritik adalah regulator utama sistem kekebalan tubuh dan juga stimulator atau penghambat sel T dan sel B. Membuat sel dendritik untuk mengenali dan mendukung respons imunologis terhadap sel kanker sangat menantang dan melibatkan perubahan respons interseluler terhadap antigen terkait tumor dan penyampaian sinyal kepada sel T dan sel B. Konstruksi lentiviral digunakan untuk menyajikan sel dendritik dengan gen baru yang dapat mengubah jalur intraselular yang terkait dengan menciptakan respons imun yang kuat.
Presentasi antigen kanker melibatkan model 3 sinyal. Mekanisme ini melibatkan pengikatan sel T untuk membentuk kompleks yang terkait dengan presentasi pres entasi antigen oleh molekul histokompatibilitas mayor dan peptida antigen yang ditemukan pada sel dendritik serta respons terhadap molekul co-stimulatory yang signifikan untuk pengenalan epitop diri sendiri dan non-diri sendiri. Pemilihan molekul co-stimulatory pada sel dendritik merupakan target utama untuk meningkatkan respons kekebalan tubuh terhadap kanker karena tanpa molekul stimulans, sel-T secara otomatis diprogram untuk apoptosis, anergi, atau kelelahan. Modulasi respon sel T dengan penargetan selektif terhadap jalur sinyal intraselular sangat rumit dan sering menghasilkan fenotip baru sel dendritik. Aktivasi MAPK / IRF3 meningkatkan sekresi sitokin imunosupresif. Vaksinasi subkutan menggunakan sel dendritik yang dimodifikasi dengan mengekspresikan aktivator p38 atau JNK1 meningkatkan ekspansi CD8 dan CD4 secara signifikan. Meskipun sel dendritik yang diaktifkan p38 memakan waktu sekitar 7 hari untuk mengaktifkan sel T, regresi lengkap terbukti dengan peringatan bahwa beberapa tumor tumbuh kembali setelah sel dendritik kehilangan ekspresi OVA. Lentiviral memicu blokade interaksi PD-L1 / PD-1 di sel DC yang menghasilkan efek stimulasi sehubungan dengan interaksi sel T selain meningkatkan infiltrasi sel T pada tumor. Kombinasi pengekspresian p38 selain dengan penurunan PD-L1 di DC menghasilkan peningkatan ekspansi sel T IFNγ selain penurunan ukuran tumor dan juga meningkatkan waktu bertahan hidu p. hidu p. Setelah 3 bulan, angka kesembuhannya sekitar 80% untuk model limfoma EG7.
2.1.2 Imunoterapi Stem Cell
Imunoterapi melalui penggunaan stem cell masih dalam perkembangan dan belum menjadi me njadi fokus seperti bentuk imunoterapi lainnya. Karakteristik Karakteris tik sel pluripoten memungkinkan sel punca menjadi hampir semua jenis sel. Beberapa terapi sel punca termasuk menginduksi sel induk untuk menghasilkan sel dendritik, sel natural killer, dan sel T spesifik antigen. Diferensiasi sel dendritik telah dicapai pada kedua garis sel ES tikus dan manusia. Sel dendritik ini bersifat fungsional namun memiliki kemampuan terbatas untuk menyajikan antigen ke sel CD8+ sel T MHC. Diferensiasi sel ES untuk membentuk antigen spresifik sel T naif
telah dihasilkan oleh kombinasi kombinasi faktor
transkripsi dan pengenalan kultur organ timus janin untuk memberi lingkungan yang
kondusif bagi pembentukan CD4 + dan CD8 + yang beragam. Ada juga laporan mengenai keberhasilan sel induk pluripoten menginduksi diferensiasi yang berhasil membentuk sel T spesifik antigen yang yang dapat mengenali mengenali epitop antigen melanoma MART-. Sel Natural Killer telah diturunkan dari sel induk pluripoten yang diinduksi dalam sistem kultur dua tahap. Salah satu keuntungan untuk menciptakan sel NK dari sel induk adalah tidak memerlukan sel yang berhubungan dengan perolehan sel NK di ex vivo. Sel NKT juga telah diturunkan dari garis sel iPS. Meskipun garis sel ini pasti berperan dalam respons sistem imun tubuh untuk melawan sel kanker, garis sel ini belum diperkenalkan pada pasien dalam uji klinis.
2.2 Imunoterapi Limfosit Penginfiltrasi Tumor
Tumor Infiltrating Limfosit (TIL) adalah campuran heterogen dari limfosit yang ditemukan tumbuh di dalam tumor. TIL sebagian besar tidak efektif untuk membunuh sel kanker di dalam tumor karena sejumlah alasan alas an termasuk tingginya jumlah sel T regulator yang imunosupsesif, sejumlah kecil sel anti tumor, atau sel anti-tumor yang telah menjadi cacat atau anergik. Imunoterapi menggunakan TIL melibatkan pemindahan TIL dari lingkungan mikro tumor sebelum mendorong pertumbuhan sel-sel ini secara in vitro dan kemudian mengembalikannya ke dalam tubuh untuk melawan kanker. Limfodepletion diperkirakan dapat meningkatkan aktivitas TILs selain menghilangkan sel T-reg imunosupresif untuk menciptakan lingkungan yang lebih kondusif bagi TIL untuk melawan kanker. Proses ini bahkan dapat mengurangi persaingan IL-7 IL-7 dan IL-25 dan menciptakan ruang untuk proliferasi TIL termasuk sel NK. Pengobatan yang melibatkan terapi TIL telah menunjukkan dirinya sebagai salah satu bentuk imunoterapi yang paling efektif. Tingkat respons objektif bervariasi antara 51% - 72% untuk pasien dalam stadium lanjut melanoma setelah perawatan agresif yang melibatkan kemoterapi dan seringkali radiasi. Efektivitas TI L melibatkan waktu respons klinis, berkenaan dengan waktu yang dibutuhkan untuk mengkultur TIL yang kemudian mempengaruhi panjan g telomer TIL. Selain TIL yang lebih muda dengan telomere yang lebih panjang, mereka juga memiliki tingkat stimulasi molekul yang lebih tinggi termasuk CD27 dan CD28, yang dikaitkan dengan jumlah yang lebih besar secara in vivo.
2.2.1 Imunoterapi Sel Natural Killer
Sel natural killer (NK), dikenal juga sebagai CD56+ dan CD3+, adalah limfosit dengan potensi sitotoksik terhadap sel anti-self. Sel NK dapat diaktifkan dan dihambat melalui beberapa interaksi reseptor-ligan tergantung pada apakah sel-sel tersebut menemukan antigen MHC self atau anti-self. Perintah melalui reseptor KI R merupakan langkah penting berkaitan dengan bagaimana sel NK mengenali sel-sel anti-self sebelum dapat sepenuhnya diaktifkan. Sel NK memiliki karakteristik anti kanker namun bisa juga dilemahkan oleh molekul yang disekresikan oleh sel kanker atau keasaman lingkungan mikro kanker yang bisa melumpuhkan sel. Infus sel NK autologous secara klinis tidak efektif berkenaan dengan kemampuan melawan kankernya bahkan dengan bantuan interlukin IL-2. Namun, transfusi NK alogenik telah menunjukkan beberapa hasil yang menjanjikan dengan sitotoksisitas minimal. Limfosit NK tanpa CD3 dengan dosis siklofosfamid dan fludarabin sebelumnya dengan tambahan suntikan IL-2 setelah infus CD56+ menghasilkan lima dari 19 pasien dengan prognosis leukemia m yeloid akut yang parah mengalami remisi. Sebuah penelitian yang melibatkan 10 anak-anak dengan AML disembuhkan dengan Sel T depleted CD56+ setelah sebelumnya diterapi dengan kemoterapi dan semua anak-anak dinyatakan remisi setidaknya selama 2 ta hun.
2.2.2 Imunoterapi Sel Natural Killer T
Sel Natural Killer T (NKT) mampu menjembatani kesenjangan antara kekebalan bawaan dan adaptif dengan menetapkan respons memori disamping meningkatkan respons imun protektif. Sel NKT dikarakteristikan dengan reseptor antigennya Vα14jα18 pada tikus dan Vα24jα18 pada manusia. Sel NKT diaktifkan oleh ligan αα-galactosylcermide (α-GalCer) (α-GalCer) yang menghasilkan ekspansi sel NKT yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan metastasis kanker paru-paru dan metastasis hati pada model tikus melanoma in vivo. Tikus dengan metastasis hati yang diinduksi dan diterapi dengan α-GalCer/DC α-GalCer/DC menghasilkan remisi komplit metastasis hati seminggu setelah terapi. Setelah operasi, kemoterapi, dan radiasi, tujuh belas pasien kanker paru non-sel kecil, yang sel mononuklear darah perifernya (PBMC) dikultur selama seminggu sebelum diberi α-GalCer, α-GalCer, diberikan sel autolog mereka dan induced NKT selama dua kali dalam seminggu. Dari 17 pasien yang menjalani terapi ini, 10 pasien
telah memperpanjang survival rate rata-rata mereka 29,3 bulan dibandingkan dengan kelompok tanpa sel penghasil IFN-γ IFN- γ yang memiliki survival rate rata-rata rata -rata 9,7 bulan meskipun kedua kelompok tersebut tidak menunjukkan regresi tumor yang signifikan. Studi klinis memiliki tingkat toksisitas yang sangat rendah.
2.2.3 Imunoterapi Sel Cytokines Induced Killer
Sel Citokin Induced Killer (CIK), CD3+ dan CD56+, jarang ditemukan pada s el mononuklear darah perifer dan biasanya diperbanyak secara in vitro yang berasal dari sel T. Sel-sel ini mengekspresikan penanda sel-T untuk CD3 dan CD56 NK. Sel CIK adalah heterogen yang mencakup sel CD3- CD56+ NK, sel T efektor CD3+ CD56, dan sel CD3+ CD56+. In vivo, CD3+ dan CD56+ berinteraksi dengan reseptor NKG2D dan ligan MHC yang berhubungan dengan aktivitas membunuh tumor. Kemampuan sel CIK tumbuh dengan cepat secara in i n vitro, dengan adanya sitokin, dengan aktivitas antitumor yang kuat dan kemampuan untuk menyerang berbagai jenis kanker membuat sel CIK menjadi bentuk imunoterapi yang atraktif. Sel CIK juga memiliki kapasitas memperkuat sistem kekebalan tubuh pada penderita kanker. Kemampuan untuk melakukan perjalanan ke situs tumor dengan model in vivo dengan berbagai reseptor kemokin membuat sel-sel CIK menjadi lebih efisien. Sel CIK autologous dan allogeneic telah dipelajari pada percobaan klinis fase I / II. Dalam uji coba ini, imunoterapi sel CIK telah menunjukkan bukti aktivitas anti-tumor dan toksisitas terbatas.
2.2.4 Virus Onkolitik
Virus secara alami menghasilkan respon imun yang kuat termasuk presentasi antigen, sitokin inflamasi, dan co-stimulasi. Virus biasanya dikenali sebagai benda asing atau non-self melalui pola pengenalan reseptor seperti toll like reseptor (TLR) dari respons imun bawaan. Pengenalan tersebut mendorong respon imun langsung dari interferon tipe 1 yang melibatkan IFN-α IFN- α dan β dan yang pada gilirannya meningkatkan ekspresi CD40, CD80, CD83, dan CD86. Respons pro-inflamasi kemudian dikaitkan dengan ekspresi molekul MHC dan co-stimulatory termasuk IFN-α IFN-α yang terlibat dalam merangsang sel CD8 yang terkait dengan aktivasi sel T.
Pengenalan antigen yang diterjemahkan dan disajikan setelah sel lisis memili ki efek terbatas pada penanganan kanker sejauh ini. Antigen yang terkait dengan sel tumor memiliki potensi untuk merekrut respons imun bawaan dan adaptif saat disajikan setelah sel lisis. Jx-594 adalah contoh virus oncolitik yang menginfeksi karsinoma hepatoseluler (HCC) untuk menghadirkan sinyal seluler untuk respons imun bawaan atau adaptif selain dari menyebabkan lisis sel. Virus ini menyebabkan ekspresi β galaktocidase yang merupakan penanda pengganti yang terkait dengan deteksi virus disamping menjadi granulosit-makrofag colony stimulating factor (GM-CSF). Jx-594 juga memerlukan aktivasi jalur EGFR / RAS untuk replikasi, pada dasarnya menggunakan metabolisme onkogenik untuk bereplikasi dengan cara yang menyebabkan kematian sel dan penyajian antigen imunogenik yang diterjemahkan.
2.2.5 Imunoterapi Antibodi Monoklonal
Antibodi monoklonal (mAB) telah digunakan dalam berbagai cara untuk mengobati berbagai jenis kanker. MAB yang disetujui oleh FDA pertama adalah rituximab pada tahun 1997. Rituximab menargetkan CD20 sel B ganas dan juga dikenal untuk mengobati limfoma Hodgkin, neuroblastoma, dan kanker prostat. Rituxmab adalah nmAB yang mengikat antigen terkait tumor (TAA) dan dikaitkan dengan sitotoksisitas antibodi dependent dimediasi sel dan sitotoksisitas dependent komplemen. MAB lainnya seperti catumaxomab bersifat bispecific dan dapat crosslink ke dua antigen yang berbeda dengan cara yang mempertahankan kemampuan mengaktifkan fungsi efektor imun untuk mengobati asites ganas pada pasien dengan tumor epithelial cell adhesion molecules (EPCAM) dengan spesifisitas pada CD3. Yibritumamabtrixetan dan I-tositumamab adalah mAB ditambah dengan racun atau radionuklida yang dapat mengenali target CD20. Antibodi ini digunakan untuk mengangkut racun atau radionucleotides dengan cara yang dapat mengurangi toksisitas keseluruhan pemberian obat dengan menargetkan sel kanker tert entu. Cetuximab adalah IgG1 chimeric yang memiliki spesifisitas antigen terhadap reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) dan digunakan untuk menghambat kemampuan sel kanker untuk transduksi jalur metabolisme yang terkait dengan proliferasi dan / atau kelangsungan hidup pada karsinoma kolorektal. TRAILR2 atau DR5 adalah target conatumumab yang berpotensi untuk memulai apoptosis sel kanker dengan mengaktifkan reseptor
sitotoksik sel kanker. Saat ini dalam uji coba klinis fase II untuk mengobati karsinoma kolorektal, kanker paru-paru, dan kanker pankreas
2.3 Vaksin Peptida
Vaksin peptida adalah rantai pendek atau panja ng dari asam amino yang menghadirkan epitop ke sistem imun. Epitop ini dapat mencakup antigen yang diekspresikan oleh berbagai jenis kanker yang digunakan untuk merangsang respons imun yang pada akhirnya akhirnya menargetkan sel-sel kanker. Mayoritas vaksin peptida untuk kanker dirancang merangsang CD8+ yang telah dikaitkan dalam pemberantasan tumor. Vaksin peptida lainnya menginduksi respons kekebalan dengan menargetkan limfosit T CD4+ dengan beberapa keberhasilan anekdotal dengan melanoma sel T CD4+ reaktif. Pemberian vaksin peptida berbeda-beda sesuai dengan panjang peptida dan berapa banyak varietas peptida yang berbeda digunakan. Peptida mudah dibuat terutama bila dibandingkan dengan bentuk imunoterapi lain selain juga dapat diterima dengan baik pada pasien. Peptida pendek biasanya panjangnya 8-10 asam amino dikenali oleh CD8+ dan akhirnya dipresentasikan ke MHC kelas I. Peptida panjang berkisar antara 13-18 asam amino dan dikenali oleh limfosit T CD4+ dan dipresentasikan ke MHC kelas II. Beberapa peptida dengan panjang bervariasi sering digunakan bersamaan untuk menginduksi respon kekebalan yang lebih kuat dan bersifat imunogenik pada 100% pasien. Meskipun kebanyakan peptida mampu menginduksi respon kekebalan pada kebanyakan pasien, efek pada sistem kekebalan untuk menyerang sel tumor terbatas pada tingkat respons klinis 3% - 5%. Kehadiran sel T yang mengenali antigen bukanlah jaminan hasil klinis positif. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan lingkungan mikro tumor yang tidak ramah terhadap respon imun terkait tumor. Selain itu, banyak vaksin peptida kekurangan struktur sekunder atau tersier dan berpotensi untuk dimusnahkan oleh protease.
2.4 Exosomes
Exosom adalah vesikula membran kecil yang biasanya berdiameter antar a 30 - 100 nm. Mereka biasanya berbentuk piring yang terdiri dari membran lipid bilayer dengan kompartemen internal. Ada banyak fungsi interselular yang berbeda yang terkait dengan
eksosom termasuk, exosome yang disekresikan oleh sel B dapat merangsang sel T CD4+. Ada juga bukti untuk mendukung antigen tumor dapat dapat disampaikan dari sel dendritik oleh exosomes untuk dipresentasikan ke sel T in vivo dan in vitro. Sel kanker memiliki kapasitas untuk menggunakan exosom untuk menginduksi apoptosis sel T yang terkait dengan ligan CD95. Exosom pada dasarnya dapat digunakan sebagai transportasi untuk presentasi antigen ke sejumlah sel imun. Percobaan klinis untuk menginduksi sistem imun untuk menargetkan sel kanker melibatkan exosome menrasportasikan faktor stimulasi koloni granulosit-makrofag untuk menginduksi limfosit T sitotoksik antitumor berhasil menginduksi respons sel T sitotoksik.
2.4.1 Vaksin Emas Nanopartikel
Nanopartikel emas secara khusus dapat terakumulasi dalam limfosit selain jaringan lain untuk mengantarkan terapi imun seperti vaksin. Mereka datang dalam berbagai ukuran yang memiliki sifat berbeda berkaitan dengan penyerapan dan lokalisasi nanopartikel. Antigen dan sitokin yang dipresentasikan pada nanopartikel emas terlindungi dari degradasi. Modulasi sel dendritik dan aktivasi sel T selain respon humoral lainnya adalah fungsi pengiriman adjuvan emas nanopartikel. Nanopartikel emas menawarkan respons imunologis yang gigih dan kuat dan telah digunakan untuk mengantarkan muatan besar antigen ke tempat tertentu yang berhubungan dengan ukuran dari nanopartikelnya. Penting untuk dicatat bahwa ukuran nanopartikel dengan antigen terkonjugasi meningkatkan diameter secara substansial. Nanopartikel emas berdiameter 30 nm terkonjugasi dengan peptida meningkat hingga ukuran 80 nm. Nanopartikel ini khususnya mampu merangsang merangsang sel T sekitar 4 kali dari peptida antigen antigen bebas. Partikel Goldnano 10 nm, dengan OVA antigen terkait mereka, memiliki kapasitas untuk memberikan respons imun yang kuat setelah terserap ke dalam kulit pada model tikus, merangsang respons IgG anti-OVA. Studi klinis pada saat ini keduanya terbatas dalam jumlah dan proses serta rendahnya jumlah peserta dalam uji coba
2.4.2 IL-27 Pada Imunoterapi
Interleukin 27 (IL-27) ada dalam keluarga sitokin IL-12. Sitokin IL-12, yang disekresikan oleh DC dan makrofag, penting dalam meningkatkan respons sel T sitotoksik (CTL) selain membedakan sel T helper (Th) untuk tipe Th1. DC mengeluarkan IL-27 saat terkena rangsangan termasuk interferon tipe I atau tipe II dan CD40. IL-27 bertindak untuk merangsang sitotoksisitas NK dan membuat sel tumor lebih rentan terhadap sitotoksisitas dari sel NK disamping merangsang respons spesifik tumor. IL-27 bekerja terutama melalui sel CD8+ untuk menghambat pertumbuhan tumor dan metastasis. Ada potensi aktivitas mempromosikan tumor dengan mempromosikan sel Tr1, dari sel T, untuk menginduksi IL-10 yang lebih lanjut bertindak sebagai umpan balik negatif untuk respons imun pro-inflamasi. IL-27 juga dapat menekan DC untuk memproduksi sitokin selain kemampuan penyajian antigennya. IL-27 telah terbukti memiliki sifat anti-proliferatif dan anti-angiogenik untuk berbagai jenis kanker termasuk melanoma, leukemia myeloid akut, leukemia lympoblastic B akut, multiple myeloma, dan limfomab sel B. IL-27 memiliki efek tersier yang terkait dengan aktivitas stimulasi kekebalannya sehubungan dengan karakteristik anti-tumornya pada karsinoma usus besar, kanker paru-paru, melanoma, neuroblastoma, dan karsinoma sel skuamosa kepala dan leher. Studi ini juga mengatakan bahwa tingkat toksisitasnya rendah.
BAB III KESIMPULAN
Ada banyak bentuk imunoterapi yang efektif untuk kanker dengan bentuk baru keluar setiap tahunnya. Spesifisitas dan toksisitas bila dibandingkan dengan kemoterapi dan radiasi merupakan perbaikan yang signifikan. Sementara semua imunoterapi tidak tercipta sama, masih ada ruang untuk meningkatkan masing-masing metodologi. Biomarker menjadi target yang tersedia dan biologi kanker menjadi lebih fokus, kemampuan untuk menargetkan sel kanker tanpa membahayakan bagian tubuh lainnya dapat menjadi kenyataan. Meskipun beberapa imunoterapi tidak secara efektif mengurangi ukuran tumor, banyak banyak dari mereka secara signifikan meningkatkan waktu kelangsungan hidup rata-rata pasien. Potensi penggunaan lebih dari satu bentuk imunoterapi imunoterapi per pasien mungkin sama populernya populernya dengan pasien yang diberi resep lebih dari satu obat untuk mengobati mengobati kanker. Sayangnya, sejumlah besar perawatan yang menjanjikan masih dalam tahap klinis fase I atau fase II dan tidak akan tersedia untuk umum selama bertahun-tahun yang akan datang. Masalah lain mungkin melibatkan harga har ga yang terkait dengan menumbuhkan berbagai limfosit sebelum infus. Banyak teknik yang terkait dengan isolasi dan pembiakan sel memerlukan pelatihan dan keahlian yang signifikan untuk menumbuhkan dan mengelola terapi. Selain itu, banyak rumah sakit tidak dilengkapi fasilitas untuk menangani perhatian yang dibutuhkan untuk melestarikan limfosit. Penyimpanan dan transfer dari laboratorium ke rumah sakit juga menjadi masalah. Seperti yang diungkapkan dalam studi ini, ada banyak mode yang berbeda dalam menyajikan antigen untuk vaksin kanker untuk membantu sist em imun dalam mengenali epitop yang terkait dengan berbagai jenis kanker. Vaksin kanker pada khususnya sangat menarik dan bisa berfungsi sebagai metode mengobati kanker sebelum terjadi. Meskipun itu bukan fungsi vaksin kanker saat ini karena karena mereka ditargetkan untuk kanker yang sudah sudah ada di biomarker antigen pasien, antigen spesifik dan umum dapat disajikan dengan cara yang dapat mengganggu ingatan terhadap biomarker kanker yang umum. Sangat sulit untuk menentukan peringkat berbagai bentuk imunoterapi satu sama lain karena data klinisnya terbatas. Metodologinya dapat sangat bervariasi dari setiap bentuk imunoterapi, dan jenis kankernya tidak seragam saat membandingkan setiap penelitian.
Diperlukan lebih banyak penelitian untuk mengetahui rangkaian keadaan imunoterapi yang bekerja untuk pasien tertentu dengan jenis kanker tertentu karena diagnosis diagnosis kanker serupa tidak memberikan informasi yang memadai tentang biologi spesifik kanker itu sendiri. Biopsi kanker harus diperiksa untuk melihat biomarker mana yang ada dan rujuk silang informasi tersebut untuk mengidentifikasi imunoterapi mana yang akan bekerja atau untuk membuat antigen tersebut spesifik untuk bentuk kanker tersebut untuk vaksin kanker.
DAFTAR PUSTAKA
1. Cavallo, F., De Giovanni, C., Nanni, P., Forni, G. and Lollini, P.L. (2011) The Immune Hallmarks of Cancer. Cancer Immunology, Immunology, Immunotherapy, 60, 319326. http://dx.doi.org/10.1007/s00262-010-0968-0 http://dx.doi.org/10.1007/s00262-010-0968-0 2. Campos-Perez, J., Rice, J., Escors, D., Collins, M., Paterson, A., Savelyeva, N. and Stevenson, F.K. (2013) DNA Fusion Vaccine Designs to Induce Tumor-Lytic CD8+ T-Cell Attack via the Immunodominant Cysteine-Containing Epitope of NY-ESO 1. International Journal of Cancer, 133, 133, 1400-1407. 3. DuPage, M., Mazumdar, C., Schmidt, L.M., Cheung, A.F. and Jacks, T. (2012) Expression of Tumour-Specific Antigens Underlies Cancer Immunoediting. Nature, 482, 405-409. 405-409. http://dx.doi.org/10.1038/natu http://dx.doi.org/10.1038/nature10803 re10803 4. Goold, H.D., Escors, D., Conlan, T.J., Chakraverty, R. and Bennett, C.L. (2011) Conventional Dendritic Cells Are Required for the Activation of HelperDependent CD8 T Cell Responses to a Model Antigen after Cutaneous Vaccination with Lentiviral Vectors. Vectors . The Journal of Immunology, Immunology, 186, 45654572. 5. Karwacz, K., Bricogne, C., Macdonald, D., Arce, F., Bennett, C.L., Collins, M. and Escors, D. (2011) PD-L1 Co-Stimulation Contributes to Ligand-Induced T Cell Receptor Down-Modulation on CD8+ T Cells. EMBO Molecular Medicine, Molecular Medicine, 3, 581-592. http://dx.doi.org/10.1002/emmm.201100165 http://dx.doi.org/10.1002/emmm.201100165 6. Liechtenstein, T., Dufait, I., Lanna, A., Breckpot, K. and Escors, D. (2012) Modulating Co-Stimulation during Antigen Presentation to Enhance Cancer Immunotherapy. Immunology, Endocrine Endocrine & Metabolic Agents in Medicinal Chemistry, 12, 224-235. 7. Escors, D., Bricogne, C., Arce, F., Kochan, G. and Karwacz, K. (2011) On the Mechanism of T Cell Receptor Down- Modulation and Its Physiological Significance. The Journal of Bioscience and Medicine, 1, No. 1 8. Vizcardo, R., Masuda, K., Yamada, D., Ikawa, T., Shimizu, K., Fujii, S., et al. (2013) Regeneration of Human Tumor Antigen-Specific T Cells from iPSCs Derived from Mature CD8+ T Cells. Cell Stem Cell, 12, 31-36. http://dx.doi.org/10.1016/j.stem.2012.12.006
9. Knorr, D.A., Ni, Z., Hermanson, D., Hexum, M.K., Bendzick, L., Cooper, L.J., et al. (2013) Clinical-Scale Derivation of Natural Killer Cells from Human Pluripotent Stem Cells for Cancer Therapy. Stem Cells Translational Medicine, 2, 274-283. http://dx.doi.org/10.5966/sctm.2012-0084 http://dx.doi.org/10.5966/sctm.2012-0084 10. Vivier, E., Raulet, D.H., Moretta, A., Caligiuri, M.A., Zitvogel, L., Lanier, L.L., et al. (2011) Innate or Adaptive Immunity? The Example of Natural Killer Activating Ligands on Myeloid Cells. Science, 331, 44-49. http://dx.doi.org/10.1126/science.1198687 11. Gill, S., Vasey, A.E., De Souza, A., Baker, J., Smith, A.T., Kohrt, H.E., Florek, M., et al. (2012) Rapid Development of Exhaustion and Down-Regulation of Eomesodermin Limit the Antitumor Activity of Adoptively Transferred Murine Natural Killer Cells. Blood, 119, 5758-5768. 5758-5768. http://dx.doi.org/10.1182/b http://dx.doi.org/10.1182/bloodlood2012-03-415364 12. Parkhurst, M.R., Riley, J.R., Dudley, M.E. and Rosenberg, S.A. (2011) Adoptively Transferred Autologous Natural Killer Cells Persist in Circulation but Do Not Mediate Tumor Regression. Clinical Cancer Research, 17, 6287-6297. http://dx.doi.org/10.1158/1078-0432.CCR-11-1347 13. Koepsell, S.A., Miller, J.S. and McKenna Jr., D.H. (2013) Natural Killer Cells: A Review of Manufacturing and Clinical Utility. Transfusion, 53, 404-410. http://dx.doi.org/10.1111/j.1537-2995.2012 http://dx.doi.org/10.111 1/j.1537-2995.2012.03724.x .03724.x 14. Motohashi, S., Okamoto, Y., Yoshino, I. and Nakayama, T. (2011) Anti -Tumor Immune Responses Induced by iNKT Cell-Based Cell- Based Immunotherapy for Lung Cancer and Head and Neck Ne ck Cancer. Clinical Immunology, 140, 167-176. http://dx.doi.org/10.1016/j.clim.2011.01.009 15. Mesiano, G., Todorovic, M., Gammaitoni, L., Leuci, V., Giraudo Di ego, L., Carnevale-Schianca, F., Fagioli, F., Piacibello, W., Aglietta, M. and Sangiolo, D. (2012) Cytokine-Induced Killer (CIK) Cells as Feasible and Effective Adoptive Immunotherapy for the Treatment of Solid Tumors. Expert Opinion on Biological Therapy, 12, 673-684. 16. Hontscha, C., Borck, Y., Zhou, H., Messmer, D. and Schmidt-Wolf, I.G.H. (2011) Clinical Trials on CIK Cells: First Report of the International Registry on CIK Cells (IRCC). Journal of Cancer Research and Clinical Oncology, 137, 305-310. http://dx.doi.org/10.1007/s00432-010-0887-7
17. Kumar, H., Kawai, T. and Akira, S. (2011) Pathogen Recognition by the Innate Immune System. International Reviews of Immunology, 30, 16-34. http://dx.doi.org/10.3109/08830185.20 http://dx.doi.org/10.310 9/08830185.2010.529976 10.529976 18. Kawai, T. and Akira, S. (2011) Toll-Like Receptors and Their Cross Talk with Other Innate Receptors in i n Infection and Immunity. Immunity, 34, 637-650. http://dx.doi.org/10.1016/j.immuni.2011.05.006 19. Hernandez-Gea, V., Alsinet, C. and Llovet, J.M. (2013) Oncolytic Immunotherapeutic Virus in HCC: Can It Compete with Molecular Therapies? Journal of Hepatology, 59, 882-884. 20. Breitbach, C.J., Burke, J., Jonker, J onker, D., Stephenson, J., Haas, A.R., Chow, L.Q., et al. (2011) Intravenous Delivery of a Multi-Mechanistic Cancer-Targeted Oncolytic Poxvirus in Humans. Nature, 477, 99-102. http://dx.doi.org/10.1038/nature10358 21. Breitbach, C.J., Arulanandam, R., De Silva, N., Thorne, S.H., Patt, R., Daneshmand, M., et al. (2012) Oncolytic Vaccinia Virus Disrupts TumorAssociated Vasculature in Humans. Cancer Research, 73, 1-11. 22. Winiarska, M., Glodkowska-Mrowka, E., Bil, J. and Golab, J. (2011) Molecular Mechanisms of the Antitumor Effects of Anti-CD20 Antibodies. Frontiers in Bioscience (Landmark Edition), 16, 277-306. http://dx.doi.org/10.2741/3688 http://dx.doi.org/10.2741/3688 23. Seimetz, D. (2011) Novel Monoclonal Antibodies for Cancer Treatment: The Trifunctional Antibody Catumaxomab (Removab®). Journal of Cancer, 2, 309316. http://dx.doi.org/10.7150 http://dx.doi.org/10.7150/jca.2.309 /jca.2.309 24. Armeanu-Ebinger, S., Hoh, A., Wenz, J. and Fuchs, J. (2013) Targeting EpCAM (CD326) for Immunotherapy in Hepatoblastoma. H epatoblastoma. Oncoimmunology, 2, e22620. http://dx.doi.org/10.4161/onci.22620 25. Vacchelli, E., Galluzzi, L., Fridman, W.H., Galon, J., Sautès-Fridman, C., Tartour, E. and Kroemer, G. (2012) Trial Watch: Chemotherapy with Immunogenic Cell Death Inducers. Oncoimmunology, 1, 179-188. http://dx.doi.org/10.4161/onci.1.2.19026 26. Kottschade, L.A., Suman, V.J., Perez, D.G., McWilli ams, R.R., Kaur, J.S., Amatruda 3rd, T.T., Geoffroy, F.J., Gross, H.M., Cohen, P.A., J aslowski, A.J., et al. (2013) A Randomized Phase 2 Study of Temozolomide and Bevacizumab or Nab-Paclitaxel, Carboplatin and Bevacizumab in Patients with Unresectable Stage
IV Melanoma: A North Central Cancer Treatment Group Study, N0775. Cancer, 119, 586-592. http://dx.doi.org/10.1002/cncr.27760 http://dx.doi.org/10.1002/cncr.27760 27. Smith, A.J., Oertle, J. and Prato, D. (2014) Immunotherapy in Cancer Treatment. Open Journal of Medical Microbiology, 4, 178-191. http://dx.doi.org/10.4236/ojmm.2014.43020