HUKUM PIDANA ANAK Disusun untuk memenuhi tugas Hukum Pidana Dosen : ALI IMRON S.H.,S.S,M.H Disusun oleh DEDI SUWARNO 2015020002
UNIVERSITAS PAMULANG 2016
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................. PENGANTAR....................................................... ............................................. ....................................2 .............2 A. PENDAHULUAN ............................................... ........................................................................ .........................................3 ................3 B. PEMBAHASAN .............................................. ...................................................................... ............................................4 ....................4 1. Kenakalan Anak ............................................ .................................................................. .............................................. ..........................4 ..4 2.Faktor – 2.Faktor – Faktor Faktor Kenakalan Anak.......................................... Anak.................................................................. ..........................9 ..9 3.Pertanggungjawaban Anak ............................................... ..................................................................... .............................14 .......14 4.Sistem Peradilan Pidana Anak ............................................... ..................................................................... ........................16 ..16 5.Kriteria Dan Sanksi Pidana Anak .............................................................. .................................................................21 ...21 6.Perbandingan Sistem Peradilan Anak Di Bebera pa Negara .........................26 7.Perbandingan Pemidanaan Terhadap Anak Di Beberapa Negara. ...............26 8.Hak – 8.Hak – Hak Hak Anak Dalam Peradilan Pidana ...................................................28 ...................................................28 9.Konsep Perlindungan Hukum Terhadap Anak ............................................2 ............................................29 9 10.Lembaga Permasyarakatan Anak ................................................................30 ................................................................30 C.KESIMPULAN ............................................. ..................................................................... ............................................... .......................31 31
2
Kata pengantar Puji syukur ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan karunianya sehingga saya dapat menyelesaikan menyelesaikan makalah “Hukum Pidana” Pidana” . Yang dimana makalah ini saya buat selesaikan untuk memenuhi tugas perkuliahan Hukum Pidana. Terimakasih saya tujukan untuk Dosen mata kuliah Hukum Pidana bapak Ali Imron. S.H.,S,S,,M.H karena atas bimbingannya saya dapat menyelesaikan makalah ini. Dalam kesempatan ini pula saya mohon maaf atas banyaknya kekurangan dan ketidaksesuaian dari makalah ini, saya sangat berterimakasih apabila saudara-saudara pembaca mengkkritik makalah saya ini.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi semuan ya.
3
HUKUM PIDANA ANAK
A. PENDAHULUAN Anak (jamak: anak-anak) adalah seorang lelaki atau perempuan yang
belum dewasa atau belum mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua, di mana kata "anak" merujuk pada lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Menurut psikologi, anak adalah periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah, kemudian berkembang setara dengan tahun tahun sekolah dasar. Berdasarkan UU Peradilan Anak. Anak dalam UU No.3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2) yang berbunyi: “ Anak adalah orang dalam perkara a nak nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah . Walaupun begitu istilah ini juga sering merujuk pada perkembangan mental seseorang, walaupun usianya secara biologis dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja diasosiasikan dengan istilah "anak".
Ada beberapa pengertian kenalakalan anak. Pendapat orang tentang pengertian kenakalan anak tidak sama. Kenakalan berasal dari kata “nakal” yang berarti kurang baik (tidak menurut, mengganggu, dan sebagainya) terutama pada anakanak. Istilah lain kenakalan anak adalah juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila) atau kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk
4
pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.
B. PEMBAHASAN
1. KENAKALAN ANAK
Juvenile delinquency ialah perilaku jahat (dursila), atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit ( patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang. Anak-anak muda delinkuen atau jahat itu disebut pula sebagai anak cacat secara sosial. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada di tengah masyarakat. Juvenile berasal dari bahasa Latin juvenilis, artinya : anak-anak, anak muda, ciri karakteristik pada masa muda, ciri karakteristik pada masa muda, sifat-sifat khas pada periode remaja. Delinquent berasal dari kata Latin “delinquere” yang berarti : terabaikan, mengabaikan; yang kemudian diperluas artinya menjadi jahat, a-sosial, kriminal, pelanggar aturan, pembuat ribut, pengacau, penteror, tidak dapat diperbaiki lagi, durjana, dursila, dan lain-lain. Delinquency itu selalu mempunyai konotasi serangan, pelanggaran, kejahatan dan keganasan yang dilakukan oleh anak-anak muda di bawah usia 22 tahun. Istilah juvenile delinquency dikemukakan oleh para sarjana dalam rumusan yang bervariasi, namun substansinya sama misalnya : Kartini Kartono mengatakan juvenile delinquency (juvenilis = muda, bersifat kemudaan; delinquency dari delinqucuere = jahat, durjana, pelanggar, nakal) ialah anak-anak muda yang selalu melakukan kejahatan, dimotivir untuk mendapatkan perhatian, status sosial dan penghargaan dari lingkungannya. Peter Salim mengartikan juvenile delinquency adalah kenakalan anak remaja yang melanggar hukum, berperilaku, anti sosial, melawan orang tua, berbuat
5
jahat,
sehingga
sampai
diambil
tindakan
hukum.
Sedang juvenile
delinquency ialah anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquent adalah anak remaja yang ditandai dengan juvenile delinquency. John
M
Echols
dan
Hassan
Shadily,
menterjemahkan juvenile
delinquency sebagai kejahatan / kenakalan anak-anak /anak muda/ muda- mudi. Dalam
ensiklopedi
umum,
dijelaskan
: juvenile
delinquency adalah
pelanggaran hukum atau moral yang dijalankan oleh individu di bawah umur biasanya pelanggaran ringan (pencurian, penipuan, kerusakan dan sebagainya). Simanjuntak
dengan
pendekatan
kriminologi,
mengartikan juvenile
delinquency sebagai perbuatan dari tingkah laku yang merupakan kegiatan perkosaan terhadap norma hukum pidana dan Pelanggaran terhadap kesusilaan yang dilakukan oleh para juvenile delinquency. Dengan mengkaji rumusan-rumusan di atas maka pada intinya secara sederhana juvenile delinquency dapat diterjemahkan sebagai kenakalan remaja. Kenakalan remaja yang dimaksud di sini, seperti yang dikatakan Sarlito Wirawan Sarwono yaitu perilaku yang menyimpang dari atau melanggar hukum. Masalah delinkuensi anak-anak atau remaja di Indonesia ternyata banyak menarik perhatian beberapa ahli ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan kehidupan remaja Soerjono Soekanto menguraikan secara singkat sebagai berikut : Delinkuensi anak-anak yang terkenal di Indonesia adalah masalah “cross boy” dan cross girl ” yang merupakan sebutan bagi anak -anak muda yang tergabung dalam satu ikatan /organisasi formil atau semi formil dan yang mempunyai tingkah laku yang kurang /tidak disukai oleh masyarakat pada umumnya. Delinkuensi anak-anak di Indonesia meningkat pada tahun-tahun 1956 dan 1958 dan juga pada tahun 1968-1969, hal mana sering disinyalir dalam pernyataan-pernyataan resmi pejabat-pejabat maupun petugas-petugas penegak hukum. Delinkuensi anak-anak tadi meliputi pencurian, perampokan, pencopetan, penganiayaan, pelanggaran susila, penggunaan obat-obat perangsang dan mengendarai mobil (atau kendaraan bermotor lainnya), tanpa mengindahkan norma-norma lalu lintas.
6
Menurut Soerjono Soekanto acapkali dibedakan antara dua macam persoalan, yaitu antara problem-problem masyarakat ( scientific of social problems) dengan problem-problem sosial (amiliorative or social problems). Hal yang pertama menyangkut analisa tentang macam-macam gejala-gejala abnormal dalam masyarakat
dengan
maksud
untuk
memperbaikinya
atau
bahkan
untuk
menghilangkannya. Ukuran pokok dari suatu problem sosial adalah tidak adanya persesuaian antara ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial dengan kenyataankenyataan serta tindakan-tindakan sosial. Sebagai unsur pertama dan yang terpokok daripada problem sosial adalah adanya perbedaan yang menyolok antara nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial dengan kondisi-kondisi yang nyata dari kehidupan. Maksudnya ialah :munculnya kepincangan dan adanya ketimpangan antara anggapan-anggapan masyarakat tentang apa yang seharusnya terjadi (das sollen) dengan apa yang terjadi dalam kenyataan (das Sein), pergaulan masyarakat. Diteliti dalam kenyataan, banyak sekali cara hidup seseorang atau beberapa orang yang menunjukkan adanya perbedaan dengan nilai-nilai atau ukuran-ukuran sosial, misalnya :cara-cara hidup anak delinkuen. Anak remaja yang menjadi delinkuen karena keadaan keluarga, sekolah bahkan karena lingkungan masyarakat pada umumnya mereka suka melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat
dan
mengancam
ketentramannya.
Penganiayaan,
pencurian,
pemerkosaan, penipuan, pengrusakan dan mabuk-mabukan merupakan perbuatan yang anti sosial, tidak susila dan tidak bermoral. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh anak-anak delinkuen pada hakikatnya melanggar hak-hak orang lain, baik harta, harga diri maupun jiwa. Masalah generasi muda, terutama problem sosial yang timbul dari delinkuensi anak-anak pada garis besarnya sebagai akibat dari adanya ciri khas yang berlawanan, yakni : keinginan-keinginan untuk melawan dan adanya sikap apatis. Soerjono Soekanto, mengupas masalah ini lebih tuntas antara lain “Sikap melawan tersebut disertai dengan suatu rasa takut bahwa, masyarakat akan hancur karena perbuatan-perbuatan menyimpang, sedangkan sikap apatis biasanya disertai dengan rasa kekecewaan terhadap masyarakat. Generasi muda biasanya menghadapi problem-problem sosial dan biologis. Apabila seseorang
7
mencapai usia remaja, secara fisik ia sudah matang, akan tetapi untuk dapat dikatakan dewasa dalam arti sosial, dia masih memerlukan faktor-faktor lainnya”. Menurut Singgih Gunarsa, pengertian kenakalan anak adalah tingkah laku anak yang menimbulkan persoalan bagi orang lain. Berdasarkan sifat persoalan kenakalan dari ringan atau beratnya, akibat yang ditimbulkan, maka kenakalan dibagi menjadi dua macam, Yaitu: Kenakalan semu Kenakalan semu merupakan kenakalan anak yang tidak dianggap kenakalan bagi orang lain. Menurut penilaian pihak ketiga yang tidak langsung berhubungan dengan si anak, tingkah laku anak tersebut bila dibandingkan dengan anak sebaya di sekitarnya, walaupun tingkah lakunya agak berlebihan, akan tetapi masih dalam batas-batas kewajaran dan nilai-nilai moral. Kenakalan nyata Kenakalan nyata ialah tingkah laku, perbuatan anak yang merugikan dirinya sendiri, dan orang lain, dan melanggar nilai-nilai sosial dan nilai-nilai moral. Istilah lain dari kenakalan nyata adalah kanakalan sebenarnya. Kenakalan anak atau disebut dengan istilah “Juvenile Delinquent”, dalam hal ini menurut Nicholas Emler memberikan pengertian sebagai berikut :“Definition of delinguency is defined by those action which is a pattern of behavior manifested by a youth that is attract public condemnation as immoral and wrong. Kenakalan didefinisikan suatu tindakan atau perilaku yang ditunjukan oleh remaja yang menarik perhatian masyarakat, merupakan perbuatan tidak bermoral dan buruk. Hal ini dibuktikan dengan pemberian hukuman terhadap yang melanggar karena perbuatan itu dianggap berlebihan dan berlawanan dengan adat masyarakat. Jadi kenakalan merupakan suatu ungkapan perasaan yang ditunjukan dengan tindakan yang dianggap telah melanggar norma mas yarakat. Lebih lanjut team proyek “Juvenile Deliquency” Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran yang dikutip oleh Romli merumuskan sebagai berikut
8
: “Deliquency adalah merupakan suatu tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak yang dianggap bertentangan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.” Istilah “juvenile” atau anak -anak secara umum diartikan sebagai seorang yang masih di bawah usia tertentu dan belum dewasa serta belum kawin. Pengertian ini menunjukan suatu batas usia ke atas. Adapun pembedaan batas usia ini tergantung dari sudut manakah dilihatnya dan ditafsirkannya. Juvenile yang diartikan sebagai anak, dalam hal ini Aristoteles seperti yang dikutip oleh Kartini Kartono, membagi fase perkembangan dalam 21 tahun dalam 3 septenia (3 periode kali 7 tahun) yang dibatasi oleh gejala-gejala alamiah, yaitu pergantian gigi dan memunculkan gejala- gejala pubertas.
Usia 0 – 7 tahun disebut sebagai masa kecil, masa bermain
Usia 7-14 tahun disebut sebagai masa anak-anak, masa belajar, masa sekolah rendah.
Usia 14 – 21 tahun disebut masa remaja, masa pubertas, masa peralihan dari masa peralihan anak ke masa orang dewasa. Mengenai anak-anak yang berbuat kanakalan, Soesilo Windrodini
membagi masa kanak-kanak menjadi dua yaitu pertama, masa kanak- kanak awal anak berumur 2 tahun – 6 tahun. Masa ini dimulai dengan waktu dimana anak boleh dikatakan mulai dapat berdiri sendiri, yakni tidak lagi dalam segala hal membutuhkan bantuan dan diakhiri dengan waktu dia harus masuk sekolah dengan sungguh-sungguh. Kedua, masa kanak-kanak Akhir, masa ini berjalan dengan umur 6 tahun - ± 13 tahun. Pada usia selanjutnya, anak mulai menjadi anak remaja. Sebenarnya, akhir dari pada masa ini sukar ditentukan, oleh karena ada sebagian anak-anak yang cepat menjadi anak remaja dan ada sebagian yang lambat.
9
2. FAKTOR – FAKTOR KENAKALAN ANAK
Bila kita berhadapan dengan seorang remaja yang dinilai atau dicap nakal, antara lain karena perbuatan-perbuatan yang sudah tidak bisa ditoleransi, baik oleh keluarga maupun lingkungannya, dan kemudian terjerumus dalam perilaku yang tidak baik seperti penyalahgunaan narkotik, maka kita dirangsang untuk mengetahui penyebabnya lebih lanjut. Entah perbuatan-perbuatannya itu sebagai reaksi ataukah sebagai akibat, yang pasti ialah bahwa perbuatannya itu ada penyebabnya. Jadi keduanya, yakni perbuatan sebagai reaksi dan sebagai akibat, menunjukkan ada faktor yang mendasari munculnya suatu perilaku tertentu, yakni ada sumbernya. Untuk mengubah suatu perilaku, termasuk peril aku yang tidak dikehendaki, seperti kenakalan dan penyalahgunaan narkotik, perlu pemahama n akan sumber dan penyebabnya. Sumber dan penyebab timbulnya perilaku nakal dan penyalahgunaan narkotik dikelompokkan sebagai berikut. I. Faktor Pribadi Setiap anak berkepribadian khusus. Keadaan khusus pada anak bisa menjadi sumber munculnya berbagai perilaku menyimpang. Keadaan khusus ini adalah keadaan konstitusi, potensi, bakat, atau sifat dasar pada anak yang kemudian melalui proses perkembangan, kematangan, atau perangsangan dari lingkungan, menjadi aktual, muncul, atau berfungsi. 1. Seorang anak bisa bertingkah laku tertentu sebagai bentuk pelarian-pelarian karena ia mengalami kesulitan dalam mengikuti pelajaran-pelajaran di sekolah. Kesulitan ini bersumber pada kemampuan dasar yang kurang baik, di mana taraf kemampuannya terletak di bawah rata-rata. Pelajaran yang dalam kenyataannya terlalu berat bagi anak, menjadi beban yang menekannya sehingga ia selalu berada dalam keadaan tegang, tertekan, dan tidak bahagia. Sehubungan dengan masalah pelajaran ini, perasaan-perasaan tertekan dan beban yang tidak sanggup dipikul juga dapat timbul karena berbagai hal yang lain seperti berikut ini.
10
a. Tuntutan dari pihak orang tua terhadap prestasi anak yang sebenarnya melebihi kemampuan dasar yang dimiliki anak. Berbagai ungkapan yang sebenarnya keliru sering terdengar dari orang tua, seperti: "Sebenarnya anak saya tidak bodoh, tetapi ia malas" atau "Saya tidak mengharap anak saya mendapat angka 9, asal cukup saja, karena ia sebenarnya bisa." b. Tuntutan terhadap anak agar ia bisa memperlihatkan prestasi-prestasi seperti yang diharapkan orang tua. Pada kenyataannya, anak tidak bisa memenuhinya karena masa-masa perkembangannya belum siap untuk bisa menerima kualitas dan intensitas rangsangan yang diberikan. Hal ini serin g terjadi pada anak di bawah umur. c. Tekanan dari orang tua agar anak mengikuti berbagai kegiatan, baik yang berhubungan dengan pelajaran-pelajaran sekolah maupun kegiatan-kegiatan lain yang berhubungan dengan pengembangan bakat dan minat. Seorang anak memperlihatkan sikap-sikap negatif terhadap pelajaran karena ia harus bersekolah di dua tempat: di sekolah biasa dan di tempat guru khusus yang waktu belajarnya bahkan lebih lama dari sekolah biasa daripada di sekolah biasa. d. Kekecewaan pada anak karena tidak berhasil memasuki sekolah atau jurusan yang dikehendaki dan yang tidak dinetralisasikan dengan baik oleh orang tua. Atau kekecewaan pada anak karena ia tidak berhasil memuaskan keinginankeinginan atau harapan-harapan orang tua. Kekecewaan yang berlanjut pada penilaian bahwa harga dirinya tidak perlu dipertahankan karena orang tua tidak mencintainya lagi. Dari uraian di atas jelaslah bahwa masalah yang berkaitan dengan masalah sekolah, masalah belajar, prestasi, dan potensi (bakat) bisa menjadi sumber timbulnya berbagai tekanan dan frustrasi. Hal tersebut dapat mengakibatkan reaksi-reaksi perilaku nakal atau penyalahgunaan obat terlarang. 2. Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku sikap menentang, sikap tidak mudah menerima saran-saran atau nasihat-nasihat orang lain, dan sikap kompensatoris. Kesemuanya itu bisa bersumber pada keadaan fisiknya
11
(misalnya ada kekurangan atau cacat) yang berbeda sekali dibandingkan dengan saudara-saudaranya. Dalam hal ini, mudah timbul perasaan tersis ih, kurang diperhatikan, dan tidak bahagia. Suatu keadaan yang mengusik kebahagiaannya dan mudah muncul berbagai reaksi perilaku negatif. 3. Seorang anak bisa memperlihatkan perilaku yang merepotkan orang tua dan lingkungannya dengan berbagai perilaku yang dianggap tidak mampu menyesuaikan diri. Sumber penyebab hal ini adalah tuntutan-tuntutan yang berlebihan, keinginan-keinginannya yang harus dituruti, dan tidak lekas puas terhadap apa yang diperoleh atau diberikan orang tua. Semua hal tersebut memang mendorong munculnya sikap-sikap yang mudah menimbulkan persoalan pada anak dan tentunya juga sekelilingnya. Dalam usaha menghadapi dan mengatasi masalah-masalah seperti tersebut di atas, perlu dipahami dan dicari sumber permasalahannya (dalam hal ini pada anak) untuk nenentukan tindakan-tindakan selanjutnya yang tepat. Jika tidak segera diatasi, hambatan-hambatan dalam perkembangan anak dan reaksi-reaksi perilaku yang diperlihatkan dapat terus berkembang serta tidak mustahil akan berlanjut menjadi nakal dan mendorong berbagai perbuatan yang tergolong negatif. Penanganan masalah perilaku yang dilakukan seawal mungkin, sangat diperlukan. Untuk ini, perlu kerja sama dari berbagai pihak, termasuk guru atau pihak sekolah -- yang mengamati anak sekian jam setiap hari --, lingkungan sosial anak, dan khususnya orang tua anak itu sendiri. II. Faktor Keluarga Keluarga adalah unit sosial yang paling kecil dalam masyarakat. Meskipun demikian, peranannya besar sekali terhadap perkembangan sosial, terlebih pada awal-awal perkembangan yang menjadi landasan bagi perkembangan kepribadian selanjutnya. Anak yang baru dilahirkan berada dalam keadaan lemah, tidak berdaya, tidak bisa melakukan apa-apa, tidak bisa mengurus diri sendiri, dan tidak bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya sendiri. Jadi, ia tergantung sepenuhnya dari lingkungan hidupnya, yakni lingkungan keluarga, dan lebih luas lagi lin gkungan sosialnya.
12
Dalam perkembangannya, anak membutuhkan uluran tangan dari orang la in agar bisa melangsungkan hidupnya secara layak dan wajar. Anak yang baru dilahirkan bisa diibaratkan sebagai sehelai kertas putih yang masih polos. Bagaimana jadinya kertas putih tersebut pada kemudian hari tergantung dari orang yang akan menulisinya. Jadi, bagaimana kepribadian anak pada kemudian hari tergantung dari bagaimana ia berkembang dan dikembangkan oleh lingkungan hidupnya, terutama oleh lingkungan keluarganya. Lingkungan keluarga berperan besar karena merekalah yang langsung atau tidak langsung terus-menerus berhubungan dengan anak, memberikan perangsangan (stimulasi) melalui berbagai corak komunikasi antara orang tua dengan anak. Tatapan mata, ucapan-ucapan mesra, sentuhan-sentuhan halus, kesemuanya adalah sumber-sumber rangsangan untuk membentuk sesuatu pada kepribadiannya. Seiring dengan tumbuh kembang anak, akan lebih banyak lagi sumber-sumber rangsangan untuk mengembangkan kepribadian anak. Lingkungan keluarga acap kali disebut sebagai lingkungan pendidikan informal yang memengaruhi berbagai aspek perkembangan anak. Adakalanya, hal ini berlangsung melalui ucapan-ucapan atau perintah-perintah yang diberikan secara langsung untuk menunjukkan apa yang seharusnya diperlihatkan atau dilakukan oleh anak. Adakalanya pula, orang tua bersikap atau bertindak sebagai patokan, sebagai contoh atau model agar ditiru. Kemudian, apa yang ditiru akan meresap dalam diri anak dan menjadi bagian dari kebiasaan bersikap dan bertingkah laku, atau bagian dari kepribadiannya. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, orang tua jelas berperan besar dalam perkembangan kepribadian anak. Orang tua menjadi faktor penting dalam menanamkan dasar kepribadian yang ikut menentukan corak dan gambaran kepribadian seseorang setelah dewasa. Jadi, gambaran kepribadian yang terlihat dan diperlihatkan seorang remaja, banyak ditentukan oleh keadaan serta proses-proses yang ada dan yang terjadi sebe lumnya. Lingkungan rumah, khususnya orang tua, menjadi teramat penting sebagai tempat persemaian dari benih-benih yang akan tumbuh dan berkembang lebih lanjut. Pengalaman buruk dalam keluarga akan buruk pula diperlihatkan terhadap lingkungannya. Perilaku negatif dengan berbagai coraknya adalah akibat dari suasana dan perlakuan negatif yang dialami dalam keluarga. Hubungan antarpribadi dalam keluarga,
13
yang meliputi pula hubungan antarsaudara, menjadi fakt or penting yang mendorong munculnya perilaku yang tergolong nakal. Agar terjamin hubungan yang baik dalam keluarga, dibutuhkan peran aktif orang tua untuk membina hubungan-hubungan yang serasi dan harmonis di antara semua pihak dalam keluarga. Namun, yang tentunya terlebih dahulu harus diperlihatkan adalah hubungan yang baik di antara suami dan istri. III. Lingkungan Sosial dan Dinamika Perubahannya Lingkungan sosial dengan berbagai ciri khusus yang menyertainya memegang peranan besar terhadap munculnya corak dan gambaran kepribadian pada anak. Apalagi kalau tidak didukung oleh kemantapan dari kepribadian dasar yang terbentuk dalam keluarga. Kesenjangan antara norma, ukuran, patokan dalam keluarga dengan lingkungannya perlu diperkecil agar tidak timbul keadaan timpang atau serba tidak menentu, suatu kondisi yang memudahkan munculnya perilaku tanpa kendali, yakni penyimpangan dari berbagai aturan yang ada. Kegoncangan memang mudah timbul karena kita berhadapan dengan berbagai perubahan yang ada dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, pola kehidupan dalam keluarga dan masyarakat dewasa ini, jauh berbeda dibandingkan dengan kehidupan beberapa puluh tahun yang lalu. Terjadi berbagai pergeseran nilai dari waktu ke waktu seiring dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Bertambahnya penduduk yang demikian pesat, khususnya di kota-kota bes ar, mengakibatkan ruang hidup dan ruang lingkup kehidupan menjadi bertambah sempit. Urbanisasi yang terus-menerus terjadi sulit dikendalikan, apalagi ditahan, menyebabkan laju kepadatan penduduk di kota besar s ulit dicegah. Dinamika hubungan menjadi lebih besar, sekaligus menjadi lebih longgar, kurang intensif, dan kurang akrab. Dalam kondisi seperti ini, sikap yang menjadi ciri dari kehidupan masyarakat yang padat: individualistis, kompetitif, dan materialistis, amat mudah timbul. Sesuatu yang sebenarnya wajar, sesuai dengan hakikat kehidupan, hakikat perjuangan hidup untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya dengan memenuhi kebutuhan paling pokok dari sistem kebutuhan, yakni makanan.
14
Pengaruh pribadi terhadap pribadi lain di rumah, di kantor, dan di mana saja yang memungkinkan hubungan yang cukup sering terjadi, akan memengaruhi kehidupan pribadi, kehidupan dalam keluarga, dan kehidupan sosialnya. Banyak kota yang sedang berkembang menjadi tempat pertemuan, percampuran antara berbagai corak kebudayaan, adat istiadat, termasuk bahasa dan sistem nilai sikap. Tidak mustahil dalam keadaan seperti itu, muncul ketidakserasian dan ketegangan yang berdampak pada sikap, perlakuan negatif orang tua terhadap anak, dan lebih lanjut dalam lingkungan pergaulan. Lingkungan pergaulan anak adalah ses uatu yang harus dimasuki karena di lingkungan tersebut seorang anak bisa terpengaruh ciri kepribadiannya, tentunya diharapkan terpengaruh oleh hal-hal yang baik. Di samping itu, lingkungan pergaulan adalah sesuatu kebutuhan dalam pengembangan diri untuk hidup bermasyarakat. Karena itu, lingkungan sosial sewajarnya menjadi perhatian kita semua, agar bis a menjadi lingkungan yang baik, yang bisa meredam dorongan-dorongan negatif atau patologis pada anak maupun remaja.
3. PERTANGGUNGJAWABAN ANAK
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa batas bawah usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban pidana adalah 12 tahun. Sebelum putusan ini, menurut UU No 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak yang berusia 8 hingga 18 tahun dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara pidana.
"Menyatakan frasa 8 tahun dalam Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat (1), dan Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak berikut penjelasannya bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Artinya inkonstitusional, kecuali dimaknai 12 tahun,” tutur Ketua MK Moh Mahfud MD saat membacakan putusan di Gedung MK Jakarta, Kamis (24/2).
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menyatakan perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak terutama hak terhadap perlindungan dan hak untuk tumbuh dan berkembang. Penetapan
15
usia minimal 12 tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik di berbagai negara.
“Batasan usia 12 tahun ini telah sesuai ketentuan pidana anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan (4) UU Pengadilan Anak,” kata Hamdan Zoelva melanjutkan.
Usia 12 tahun secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil sesuai psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Karenanya, batas umur 12 tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
“Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 tahun dalam Pasal 4 ayat (1) dan frasa belum mencapai umur 8 tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan
Anak
adalah
inkonstitusional
bersyarat.
Artinya
inkonstitusional, kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 tahun sebagai batas minimum pertanggungjawaban pidana,” jelas Hamdan.
Meski Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai 8 tahun, tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum menikah, tidak dimintakan pengujian. Namun, pasal itu merupakan jiwa atau ruh dari UU Pengadilan Anak.
Dalam perkara pengujian undang-undang tidak mengenal ultra petita (melebihi apa yang diminta, red.). Sebab, undang-undang merupakan satu kesatuan sistem. Jika sebagian pasalnya dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka pasti akan berpengaruh terhadap pasal pasal lain yang tidak diuji.
“Sehingga batas usia minimum sesuai Pasal 1 ayat (1) harus disesuaikan agar tidak bertentangan UUD 1945 yakni 12 tahun.”
Sementara dalil permohon dalam frasa-frasa yang dimohonkan diuji dalam Pasal 1 angka 2 huruf b, Pasal 22, Pasal 23 ayat (2) huruf a, Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Anak tidak terbukti menurut hukum.
16
4. SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK
fhgjh undang-undang terbaru yang mengatur tentang anak yang berhadapan dengan hukum adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (“UU SPPA”) yang mulai diberlakukan dua tahun
setelah tanggal pengundangannya, yaitu 30 Juli 2012 sebagaimana disebut dalam Ketentuan Penutupnya ( Pasal 108 UU SPPA). Artinya UU SPPA ini mulai berlaku sejak 31 Juli 2014.
UU SPPA ini merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (“UU Pengadilan Anak”) yang bertujuan agar dapat
terwujud peradilan yang benar-benar menjamin perlindungan kepentingan terbaik terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. UU Pengadilan Anak dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum dalam masyarakat dan belum secara komprehensif memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.
Adapun substansi yang diatur dalam UU SPPA antara lain mengenai penempatan anak yang menjalani proses peradilan dapat ditempatkan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Substansi yang paling mendasar dalam Undang-Undang ini adalah pengaturan secara tegas mengenai Keadilan Restoratif dan Diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Demikian antara lain yang disebut dalam bagian Penjelasan Umum UU SPPA.
Keadilan Restoratif merupakan suatu proses Diversi, yaitu semua pihak yang
terlibat dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, dan masyarakat dalam mencari solusi untuk
17
memperbaiki, rekonsiliasi, dan menenteramkan hati yang tidak berdasarkan pembalasan. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.
Berikut kami rangkum hal-hal penting yang diatur dalam UU SPPA:
1.
Definisi Anak di Bawah Umur
UU SPPA mendefenisikan anak di bawah umur sebagai anak yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18 tahun, dan membedakan anak yang terlibat dalam suatu tindak pidana dalam tiga kategori: a.
Anak yang menjadi pelaku tindak pidana (Pasal 1 angka 3 UU SPPA);
b.
Anak yang menjadi korban tindak pidana (Anak Korban) ( Pasal 1 angka 4 UU SPPA); dan
c.
Anak yang menjadi saksi tindak pidana (Anak Saksi) ( Pasal 1 angka 5 UU SPPA)
Sebelumnya, UU Pengadilan Anak tidak membedakan kategori Anak Korban dan Anak Saksi. Konsekuensinya, Anak Korban dan Anak Saksi tidak mendapatkan perlindungan hukum. Hal ini mengakibatkan banyak tindak pidana yang tidak terselesaikan atau bahkan tidak dilaporkan karena anak cenderung ketakutan menghadapi sistem peradilan pidana.
2.
Penjatuhan Sanksi
Menurut UU SPPA, seorang pelaku tindak pidana anak dapat dikenakan dua jenis sanksi, yaitu tindakan, bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun ( Pasal 69 ayat (2) UU SPPA ) danPidana, bagi pelaku tindak pidana yang berumur 15 tahun ke atas. a.
Sanksi Tindakan yang dapat dikenakan kepada anak meliputi (Pasal 82 UU SPPA):
18
•
Pengembalian kepada orang tua/Wali;
•
Penyerahan kepada seseorang;
•
Perawatan di rumah sakit jiwa;
•
Perawatan di LPKS;
•
Kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
b.
•
Pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau
•
Perbaikan akibat tindak pidana.
Sanksi Pidana Sanksi pidana yang dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana anak terbagi atas Pidana Pokok dan Pidana Tambahan( Pasal 71 UU SPPA): Pidana Pokok terdiri atas: ·
Pidana peringatan;
·
Pidana dengan syarat, yang terdiri atas: pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan;
·
Pelatihan kerja;
·
Pembinaan dalam lembaga;
·
Penjara.
Pidana Tambahan terdiri dari: ·
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
·
Pemenuhan kewajiban adat.
Selain itu, UU SPPA juga mengatur dalam hal anak belum berumur 12 (dua belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: (lihat Pasal 21 UU SPPA) a.
menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau
19
b.
mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6 (enam) bulan.
3.
Hak-hak Anak
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: ( Pasal 3 UU SPPA) a.
diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b.
dipisahkan dari orang dewasa;
c.
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d.
melakukan kegiatan rekreasional;
e.
bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.
tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g.
tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h.
memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i.
tidak dipublikasikan identitasnya;
j.
memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. l.
memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n.
memperoleh pendidikan;
o.
memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
20
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa
pidana berhak atas:
4.
a.
Remisi atau pengurangan masa pidana;
b.
Asimilasi;
c.
Cuti mengunjungi keluarga;
d.
Pembebasan bersyarat;
e.
Cuti menjelang bebas;
f.
Cuti bersyarat;
g.
Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Penahanan Pasal 32 ayat (2) UU SPPA menyatakan bahwa penahanan terhadap anak
hanya dapat dilakukan dengan syarat anak telah berumur 14 (empat belas) tahun, atau diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara tujuh tahun atau lebih. Jika masa penahanan sebagaimana yang disebutkan di atas telah berakhir, anak wajib dikeluarkan dari tahanan demi hukum.
5.
Pemeriksaan Terhadap Anak Sebagai Saksi atau Anak Korban
UU SPPA ini memberikan kemudahan bagi anak saksi atau anak korban dalam memberikan keterangan di pengadilan. Saksi/korban yang tidak dapat hadir untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan dengan alasan apapun dapat memberikan keterangan di luar sidang pengadilan melalui perekaman elektronik yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan setempat, dengan dihadiri oleh Penyidik atau Penuntut Umum, dan Advokat atau pemberi bantuan hukum lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut. Anak saksi/korban juga diperbolehkan memberikan keterangan melalui pemeriksaan jarak jauh dengan menggunakan alat komunikasi audiovisual. Pada saat memberikan keterangan dengan cara ini, anak harus didampingi oleh orang tua/Wali, Pembimbing Kemasyarakatan atau pendamping lainnya [lihat Pasal 58 ayat (3) UU SPPA ].
21
6.
Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
5. KRITERIA DAN SANKSI PIDANA ANAK
Kriteria Dan Sanksi Pidana Anak Dibawah Umur Menurut Hukum Positif 1. Kriteria anak dibawah umur menurut hukum positif. Dalam bab II diatas telah dijelaskan bahwa salah satu alasan penghapusan pidana adalah umur yang masih muda atau anak dibawah umur. Di dalam KUHP mengenai batas-batas kedewasaan seseorang tidak ada yang ada ialah istilah cukup umur dan belum cukup umur (Minderjaring). Ketentuan telah cukup umur atau belum cukup umur disebutkan dalam pasal 45 KUHP yang berbunyi : “Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya ketika umurnya dalam enam belas tahun, hakim dapat menentukan tiga hal: 1). Memerintahkan supaya yang bersalah dikembalikan kepada oarng tuanya, walinya, atau pemeliharanya, tanpa pidana apapun. (2). Diserahkan kepada pemerintah. (3). Menjatuhkan hukuman pidana.1 Dari bunyi pasal tersebut jelas bahwa orang yang telah cukup
22
umur. Ada suatu permasalahan, berapakah batas umur seseorang menurut hukum pidana untuk dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. A. Ridlwan Halim, SH dalam bukunya hukum pidana dalam tanya jawab menyebutkan bahwa : menurut pasal 45 KUHP seseorang yang dinyatakan cukup umur dan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya, apabila ia telah berumur 16 (enam belas tahun) keatas.2
Didalam KUH Pedata, ukuran dewasa seseorang telah ditentukan dalam pasal 330 yang berbunyi : Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.3 Batasan tersebut dalam hukum pidana bertujuan untuk membatasi apakah seseorang dapat dihukum dengan sanksi pidana pabila melakukan tindak pidana. Kerena seseorang yang telah dewasa menurut hukum pidana dikategorikan dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. Selain batasan umur, para ahli hukum juga memberikan batasan yang lain tentang kemampuan bertanggungjawab seseorang antara lain : a. Simons, seorang dikatakan mampu bertanggungjawab, jika jiwan ya
23
sehat, yakni apabila : 1. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum. umur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara penempatan dalam rumah pendidikan negeri atau mempercayakan unutk didik oleh orang, perserikatan, lembaga atau badan kesusilaan partikuler. Lihat pasal 45. Peraturan tentang penyelenggaraan ketentuan dalam ayat pertama dapat dibaca dalam LN. 1917 No. 741.12 Jadi ada perbedaan bentuk sanksi pidana antara perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan orang yang belum dewasa. Kalau tindak pidana dilakukan oleh orang yang telah dewasa maka akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP tergantung dari jenis pidana yang diperbuat. Sedangkan sanksi pidana untuk anak yang belum dewasa han ya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan KUHP pasal 45, seperti yang telah dijelaskan di atas. Adanya perbedaan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk melindungi anak yang belum dewasa, disamping itu juga untuk memberikan pembinaan yang lebih baik agar ketika sudah dewasa tidak mengulangi perbuatan pidana seperti yang telah dilakukannya. Menurut Undang-undang Republik Indonesia nomor : 4 Tahun 1979. Tentang kesejahteraan anak, bahwa anak adalah seseorang yang
24
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) dan belum pernah kawin.7 2. Sanksi pidana anak dibawah umur menurut hukum positif Setelah memaparkan kriteria anak dibawah umur (belum dewasa), berikut akan kami uraikan sanksi pidana terhadap anak belum dewasa. Dalam KUHP pasal 45 disebutkan : Jika seseorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang dikerjakannya krtika umurnya belum enam belas tahun, hakim boleh : memerintahkan, supaya sitersalah itu dikembalikan pada orang tuannya ; atau memerintahkan, supaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan sesuatu hukuman, yakni jika perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau salah satu pelanggaran yang diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503-505, 514, 417, 519, 526, 531, 536 dan 540 dan perbuatannya itu dilakukan sebelum lalu dua tahun sesudah keputusan banding dahulu yang menyalahkan dia melakukan salah satu pelanggaran ini atau sesuatu kejahatan ; atau menghukum anak yang bersalah itu memeliharanya dengan tidak dijatuhkan. Akan tetapi apabila hakim menganggap anak-anak berumur 13 atau 15 tahun telah berbuat suatu kejahatan dengan akal yang cukup mampu membeda-bedakan, hakim ada kesempatan pula untuk menjatuhkan hukuman akan tetapi hukuman yang dijatuhkan itu tidak boleh lebih dari dua pertiga maksimum hukuman
25
yang diancamkan.10 Dalam pasal berikutnya yaitu pasal 46 disebutkan : (1) Ji ka hakim memerintahkan, sepaya sitersalah diserahkan kepada pemerintah, maka ia : baik ditempatkan didalam rumah pendidikan negara, supaya disitu, atau denga kemudian denga cara lain, ia mendapat pendidikan dari pihak pemerintah, baik diserahkan pada seorang-orang yang ada dinegara Indonesia atau kepada perserikatan yang mempunyai hak badan hukum (rechtspersoon) yang ada dinegara Indonesia atau pada balai derma yangt ada dinegara Indonesia supaya disitu mendapat pendidikan dari mereka, atau kemudian dengan cara lain, dari pemerintah, dalam hal kedua itu selama-lamanya sampai cukup delapan belas tahun. (2) Peraturan untuk menjalankan ayat pertama dari pasal ini ditetapkan denga ordonansi.11 Pasal ini memberi aturan atministrasi tentang apa yang harus dikerjakan, apabila hakim telah memberi perintah, bahwa tersalah akan diserahkan kepada pemerintah. Penyerahan ini selesai jika telah dicapai umur 18 tahun. Administrasi itu dapat memilih antara penempatan dalam rumah pendidikan negeri atau mempercayakan unutk didik oleh orang, perserikatan, lembaga atau badan kesusilaan partikuler. Lihat pasal 45. Peraturan tentang penyelenggaraan ketentuan dalam ayat pertama dapat dibaca dalam LN. 1917 No. 741.12
26
Jadi ada perbedaan bentuk sanksi pidana antara perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang telah dewasa dengan orang yang belum dewasa. Kalau tindak pidana dilakukan oleh orang yang telah dewasa maka akan dijatuhi sanksi pidana sesuai dengan pasal-pasal yang ada dalam KUHP tergantung dari jenis pidana yang diperbuat. Sedangkan sanksi pidana untuk anak yang belum dewasa han ya dapat dijatuhi pidana sesuai dengan KUHP pasal 45, seperti yang telah dijelaskan di atas. Adanya perbedaan sanksi pidana tersebut bertujuan untuk melindungi anak yang belum dewasa, disamping itu juga untuk memberikan pembinaan yang lebih baik agar ketika sudah dewasa tidak mengulangi perbuatan pidana seperti yang telah dilakukannya.
6. PERBANDINGAN SISTEM PERADILAN ANAK DI BEBERAPA NEGARA
7. PERBANDINGAN
PEMIDANAAN
TERHADAP
ANAK
DI
BEBERAPA NEGARA
27
8. HAK – HAK ANAK DALAM PERADILAN PIDANA
Setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak: ( Pasal 3 UU SPPA) a.
diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya;
b.
dipisahkan dari orang dewasa;
c.
memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif;
d.
melakukan kegiatan rekreasional;
e.
bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya;
f.
tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup;
g.
tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat;
h.
memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum;
i.
tidak dipublikasikan identitasnya;
j.
memperoleh pendampingan orang tua/Wali dan orang yang dipercaya oleh anak;
k. l.
memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi;
m. memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; n.
memperoleh pendidikan;
o.
memperoleh pelayananan kesehatan; dan
p.
memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 4 UU SPPA menyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa
pidana berhak atas: a.
Remisi atau pengurangan masa pidana;
b.
Asimilasi;
c.
Cuti mengunjungi keluarga;
d.
Pembebasan bersyarat;
e.
Cuti menjelang bebas;
28
f.
Cuti bersyarat;
g.
Hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Hak Mendapatkan Bantuan Hukum
UU SPPA memperbolehkan anak yang terlibat dalam tindak pidana untuk mendapatkan bantuan hukum tanpa mempermasalahkan jenis tindak pidana telah dilakukan.
Anak berhak mendapatkan bantuan hukum di setiap tahapan pemeriksaan, baik dalam tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di pengadilan (Pasal 23 UU SPPA). Anak Saksi/Anak Korban wajib didampingi oleh orang tua/Wali, orang yang dipercaya oleh anak, atau pekerja sosial dalam setiap tahapan pemeriksaan. Akan tetapi, jika orang tua dari anak tersebut adalah pelaku tindak pidana, maka orang tua/Walinya
tidak wajib mendampingi (Pasal 23 Ayat (3) UU SPPA).
9. KONSEP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasaan dan diskriminasi. Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur tentang asas dan tujuan perlindungan anak yakni pasal 2 dan pasal 3, sebagai berikut: Pasal 2: penyelenggara perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip prinsip dasar konvensi hak anak meliputi: 1.
Non diskriminasi
2.
Kepentingan yang terbaik bagi anak
29
3.
Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan
4.
Penghargaan terhadap anak.
Pasal 3: perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak, mulia dan sejahtera.
Pasal 2 huruf c Undang-Undang tentang Perlindungan Anak menegaskan hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan merupakan hak asasi yang paling mendasar bagi anak yang dilindungi oleh Negara, pemerintrah, keluarga, orang tua, sekaligus merupakan hak setiap manusia yang paling asasi.
Perlindungan anak diusahakan oleh setiap orang, orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah maupun Negara. Pasal 20 Undang-Undang Perlindungan Anak menentukan: “Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.”
Kewajiban dan tanggung jawab Negara dan Pemerintah dalam usaha perlindungan anak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak yaitu: 1. Menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,etnik, budaya, dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak dan kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 21); 2. Memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 22); 3. Menjamin
perlindungan,
pemeliharaan,
dan
kesejahteraan
anak
dengan
memperhatikan hak dan kewajiban orang tua, wali, atau orang lain yang secara umum bertanggung jawab terhadap anak dan mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 23);
30
4. Menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak (Pasal 24)
Kewajiban dan tanggungjawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui kegiatan peran masyarakat dalam penyelenggaraan perlindungan anak (Pasal 25 Undang-Undang Perlindungan Anak). Kewajiban
tanggungjawab
keluarga
dan
orang
tua
dalam
usaha
perlindungan anak diatur dalam Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak, yaitu: a.
Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;
b.
Menumbuhkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
c.
Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
10. LEMBAGA PERMASYARAKATAN ANAK
Dalam Pasal 86 ayat (1) UU SPPA , anak yang belum selesai menjalani pidana di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (“LPKA”) dan telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dipindahkan ke lembaga pemasyarakatan pemuda. Pengaturan tersebut tidak ada dalam Pasal 61 UU Pengadilan Anak . Walaupun demikian, baik UU SPPA dan UU Pengadilan Anak sama-sama mengatur bahwa penempatan anak di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan dengan menyediakan blok tertentu bagi mereka yang telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun sampai 21 (dua puluh satu) tahun ( Penjelasan Pasal 86 ayat (2) UU SPPA dan Penjelasan Pasal 61 ayat (2) UU Pengadilan Anak ).
31
C. KESIMPULAN Jadi, kesimpulan yang saya dapatkan setelah menulis makalah ini adalah. Bahwa sebenarnya seorang anak perlu bimbingan dari orang tua dan guru bukan hanya sekedar bimbingan formal disekolah dan bukan hanya pelajaran formal saja yang dibutuhkan oleh anak, melainkan juga pelajaran mental, etika dan pelajaran diluar sekolah. Oleh karena itu, saya menyarankan kepada orangtua dan guru atau wali serta pembimbing agar menyertakan setiap pelajaran pelajaran atau nilai nilai kesusilaan serta moral, agar supaya anak terebut mendapatkan peljaran yg baik dan benar didalam lingkungan sekolah, serta mendapatkan pula pelajaran yang baik diluar lingkungan sekolah.
32