1
FILSAFAT HUKUM ISLAM (LANDASAN ONTOLOGIS, EPISTEMOLOGIS DAN AKSIOLOGIS)* Oleh Nur Aris A. PEND PENDAH AHU ULUA LUAN Berbica icara tentang fils filsaf afa at hukum Islam lam berar artti menempatkan hukum Islam sebagai obyek materia dan filsafat menjadi obyek formanya. Mengkaji hukum Islam dengan obyek forma forma fisafat fisafat bukan bukan se sesua suatu tu yang yang mudah mudah untuk untuk dilaku dilakukan kan.. Kajian ini pertama-tama akan mencoba melihat hukum Islam dari dari as aspe pek k filsa filsafa fatt me meta tafis fisik ika a (beyon beyond d the physic physic)) tentan tentang g hakeka hakekatt (the nature nature/th /the e es essen sence ce)) dari dari Huku Hukum m Isla Islam m untu untuk k memahami konsep dasar, aspek insight dari hakikat hukum Islam Islam.. Ka Kajia jian n ini ini dilak dilakuk ukan an dibaw dibawah ah sub sub judu judull Onto Ontolo logic gical al Review. Kem Ke mudia udian n kaji kajian an fils filsaf afat at huku hukum m Isla Islam m yang yang kedu kedua a menco me ncoba ba untuk untuk me merev review iew aspek aspek episte epistemo molog logis is dari dari hukum hukum Islam. Pada bagian ke dua ini, kajian difokuskan pada struktur epistemologi di dalam ilmu Ushul Fiqh. Mengapa Ushul Fiqh? Hal ini dikarenakan di dalam ilmu inilah struktur epistemologis dan dan metod etodol olog ogis is (bis (bisa a diba dibaca ca teor teorit itis isas asi) i)1 huku hukum m Islam Islam difo diform rmul ulas asika ikan. n. Ka Kajia jian n ini ini akan akan me mere revie view w sumb sumber er-s -sum umbe berr Hukum dalam Islam, metode-metode penggalian dari sumbersumber sumber terseb tersebut, ut, kemudi kemudian an postul postulasi asi-po -postu stulas lasii logic logic dalam dalam bahasan selanjutnya di bawah sub judul al-Qowa’id: Sebuah Logika Hukum dalam Islam dan bahasan terakhir pada bagian dua dari tulisan ini akan melihat varian paradigma epistemologis dalam Filsafat Hukum Islam. Selanjutnya bagian ketiga tulisan ini akan membahas tentang aspek aksiologis dari dari hukum hukum Islam Islam.. Ka Kajia jian n ini akan akan me menj njad adika ikan n al-maslahah (utility ) se seba baga gaii value (nila (nilai) i) dan dan end (tuj (tujua uan n akhi akhir) r) dari dari eksistensi hukum Islam. Tulisan Tulisan ini hanya akan melihat melihat wilayah universalit universalitas as dari kajiankajian-kaj kajian ian Hukum Hukum Islam Islam yang yang ada, ada, dan tidak tidak berma bermaksu ksud d Khalid Khalid Mas’ud Mas’ud menyeb menyebutn utnya ya dengan dengan Islamic Islamic Legal Legal Philoso Philosophy phy . Seda Sedang ngka kan n Ha Halla llaq q me meny nyeb ebut utny nya a deng dengan an Islam Islamic ic Lega Legall Theo Theorie riess. Liha ihat Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq alSyatibi’s Life and Thought . Islamabad: Islamic Research Institute, 1997. Untuk sebutan Hallaq baca Wael B Hallaq, A History History of Islamic Islamic Legal Legal Theories: Theories: An Introduction to Sunni Usul Fiqh, Fiqh, Cambrige University Press, 1997. 1
2
memas asuk ukii wilay ilayah ah singu ingula lari rita tasn snya ya,, hal hal ini ini meru erupaka pakan n konsek konsekwe wensi nsi logis logis dari dari dijadik dijadikann annya ya filsafa filsafatt sebaga sebagaii obyek obyek forma kajian ini. B. ONTOLOGICAL2 REVIEW: KONSEP DASAR HUKUM ISLAM
1.ESENS 1. ESENSII HUKUM ISLAM Kajian Kaj ian-ka -kajian jian ontol ontologi ogiss identi identik k dengan dengan kajiankajian-kaj kajian ian metafisika, karena ontologi disebut-sebut juga sebagai sub bagi bagian an dari dari me metaf tafis isik ika a3. Pe Pert rtan anya yaan an apa apa se sesu sung nggu guhn hnya ya hukum Islam itu menarik untuk dikemukakan terlebih dahulu untuk memaha ahami esensi hukum Islam lam itu itu sendiri. Pertanyaan seperti ini juga sering diajukan untuk hukum secara universal, tidak hanya hukum Islam. Sungguh tidak muda mudah h untu untuk k me menj njaw awab ab pert pertan anya yaan an ini. ini. Ada Ada bebe bebera rapa pa jawaban jawaban yang dikemukakan dikemukakan oleh bebera bebera filosuf filosuf hukum Barat, misalnya OW Holmes yang menyebut hukum sebagai “the the prop prophe hesi sies es of what hat the the co cour urts ts will will do”, do”, sem sement entara ara Austin menyebutnya dengan “constitutional “constitutional law is positive morality merely . Sedangkan menurut Kelsen dalam General Theory Theory of Law dan State “Law is the primary norm which stipulates the sanction” sanction” dan menurut JC Gray dalam The Nature and The Sources of The Law menyebutkan bahwa “statutes are sources of Law...not parts of the Law itself ”. ”.4 Melihat beberapa definisi yang diberikan sebenarnya hanya baru sampai menangkap aspek aksidensi dari hukum, bukan esensinya. Untuk bisa menangkap esensi hukum itu sendiri bisa bisa dilak dilakuk ukan an deng dengan an anali analisi siss stru strukt ktur ur logi logisn snya ya.. Ya Yang ng dimak imaksu sud d dengan ngan struk truktu turr log logis adal adalah ah unsur nsur yang yang membentuk hukum yang unsur itu kalau dihilangkan maka huku hukum m tidak tidak lagi lagi me menja njadi di ada ada (exist (exist /thing) thing) tapi menjadi hilang atau tidak ada(nothing ada(nothing). ). Ambil contoh dari definisi hukum di atas, Holmes memasukkan unsur pengadilan di dalam struktur logis hukum. Pertanyaan yang bisa diajukan Di dalam Filsafat, ontology (dari bahasa Yunani, Ontis: being: being: to be) be) and logos: logos: science, science, study , theory ) adalah sebuah study tentang “the “the nature of being, being, existence, existence, or reality in general and of its basic categories and their relations”. Lihat www.wikipedia.com. 3 Lihat Alasdair Alasdair Macintyre, Macintyre, Ontology , dala dalam m The The Ency Encyclo clopa paed edia ia of Philosophy, Kanada: Mac Millan, 1972, hlm. 542-543 4 Hart, Ha rt, HL HLA, A, The The Co Conc ncep eptt of Law, Law, 2nd 2nd Edit Editio ion, n, Ne New w York, York, Oxfo Oxford rd University Press, 1997, hlm. 1-2. 2
3
adalah lah apa apakah hukum tidak akan eksis ksis tanpa ada pengadilan? Atau misalnya Kelsen yang memasukkan unsur pene peneta tapa pan n huku hukuma man n ( punishmen punishment t ) dala dalam m stru strukt ktur ur logi logiss hukum juga dapat diajukan pertanyaan yang sama, apakah kalau tidak penetapan hukuman maka hukum menjadi tidak eksis? Hukum akan tetap eksis meskipun punishmen punishment t tidak tidak ada, karena hukum tidak idak selalu lalu berkaita itan dengan punishmen punishment t . Demikian juga hukum tidak selalu berkaitan dengan pengadilan. Kelsen sebenarnya sudah menyebutkan “the primary norm” norm” sebagai salah satu unsur dalam struktur logis hukum. Bagaimana dengan norma (norm (norm)? )? ini, bisakah hukum ukum eksi eksiss tanp anpa norm norma? a? Ta Tam mpakny aknya a huku hukum m tid tidak mungkin eksis tanpa norma. Maka hukum pada hakekatnya adalah norma. Lalu apakah norma itu? analisis ontologis ini kita kita cuku cukupk pkan an sa saja ja pada pada norm norma a se seba baga gaii unsu unsurr es esen ensia siall hukum. Artinya sesuatu yang disebut hukum baik yang ada di pengadilan, yang dikodifikasikan dalam undang-undang, apakah menuntut ketetapan hukuman ata atau hany anya prosedural itu semua pasti momot yang namanya norma. Perhatikan ilustrasi berikut: UU, Court, dll. NORMA (ESENSI) (AKSIDENSI) Dari gambar tersebut tampak bahwa norma berada di tengah-tengah dan akan selalu ada baik di dalam bentuk Undan Undang-U g-Unda ndang, ng, Pengad Pengadilan ilan dan lain sebaga sebagainy inya, a, tetapi tetapi tidak sebaliknya. Bagaimana dengan Hukum Islam? Pada hakekatnya hukum Islam juga norma, selama dia diposisikan sebagai hukum hukum.. Artiny Artinya a apapun apapun bentuk bentuknya nya,, baik itu hukum hukum taklifi taklifi atau ataupu pun n huku hukum m wadh wadh’i ’i,, baik baik itu itu peng pengad adil ilan an,, atau ataupu pun n kodifikasi kitab-kitab fiqh dan fatwa-fatwa pada hakekatnya adalah norma.
4
Hukum Islam merupakan istilah yang hanya dikenal di Indone Indonesia sia,, dan padana padananya nya dalam dalam bahasa bahasa Arab Arab bukan bukan alhukm al-islami, istilah ini jarang sekali disebut-se disebut-sebut, but, tetapi lebih lebih ser sering ing disebut disebut dengan dengan al-fiqh al-islamy al-islamy atau atau dalam dalam kasus tertentu disebut dengan al-syari’ah al-islamiyah. al-islamiyah. Atau dalam bahasa Inggris sering disebut dengan Islamic Law, Law,5 dan ada juga yang menyebutnya dengan Islamic Legal. Legal.6 Umat Isla Islam m meyaki yakini ni bahw bahwa a hukum ukum Isla Islam m yang yang bersumber pada wahyu Tuhan merupakan pada hakekatnya meru me rupa paka kan n perw perwuj ujud udan an kehe kehend ndak ak Alla Allah h7, apabila kit kita menggunakan alur logic di atas berarti hukum Islam adalah norm norma a Tuha Tuhan, n, se sehi hing ngga ga huku hukum m Islam Islam ini ini se seri ring ng dise disebu butt sebagai Hukum Tuhan (Divine (Divine Law) Law)8. Abu Husain al-Basyri dalam kitabnya al-Mu’tamad fi Ushul shul al-F al-Fiq iqh h me menj njel elas aska kan n tent tentan ang g peng penger erti tian an huku hukum m sebagai berikut:
Huku Hukum m me menu nuru rutt abu abu al-H al-Hus usai ain n al-B al-Bas asri ri tida tidakl klah ah perb perbua uata tan, n, huku hukum m hany hanyala alah h se sesu suat atu u yang yang disa disand ndar arka kan n kepada perbuatan itu sendiri. Hal ini agak berbeda dengan pengertian Abdul Wahhab Khalaf di atas yang mengidenti mengidentikkan kkan hukum dengan perkataan perkataan dan perbuatan perbuatan mukallaf. Dan menurut al-Basri hukum hanya terbatas pada hukum yang lima (al-ahkam (al-ahkam al-khamsah), al-khamsah), di sini tampak alBasri mengeidentikkan hukum dengan nilai suatu perbuatan, bukan perbuatan itu sendiri. Beliau menambahkan dengan mengatakan: Ahmad Ahmad Rafiq, Hukum Hukum Islam Islam di Indone Indonesia sia,, Raja Raja Grafindo Grafindo Persada: Persada: Jakarta, Jakarta, 1997, 1997, hlm. hlm. 3. 6 Lihat Lihat misalny misalnya a tulisan tulisan Oussam Oussama a Arabi, Arabi, The The Early Early Isla Islami micc Lega Legall Philosophy , University OF California, 1999. 7 Ahmad Hasan, Hasan, The Early Early Develo Developm pment ent of Islami Islamicc Jurispr Jurisprude udence nce,, Pakistan: Islamic Research Institute, 1988, hlm. 33. 8 Lihat Fazlurrahman, Islmic Meodology in History , Karach Karachi: i: Central Central Institute of Islamic Research, 1965, hlm. 15. 5
5
.9 Di situ situ tamp tampak ak bahw bahwa a al-Ba al-Basr srii me menc ncob oba a me meng ngga gali li yang terdalam dari hukum yaitu nilai, dan jika berbicara tent tentan ang g nila nilaii ini ini berk berkai aita tan n deng dengan an etik etika. a. Ia me menc ncob oba a mengk me ngkait aitkan kan studi studi tentan tentang g apa itu hukum hukum denga dengan n studi studi tentang apa itu baik (wajib, sunnah, atau mubah) dan buruk (haram, makruh). Akan tetapi Abdul Wahhab Khalaf menegaskan sudah menja enjadi di kese kesepa paka kata tan n ulam ulama a bahw bahwa a apa apa yang yang dise disebu butt dengan hukum adalah produk manusia berupa apa saja baik ucap ucapan an atau atau perb perbua uata tan, n, baik baik dala dalam m hal hal muam muamala alatt atau atau ibadah yang masih dalam koridor Syari’ah Islamiyah. Lihat kalimat Abdul Wahab Khalaf berikut:
........ .
10
Tetapi Tetapi pada kesempatan kesempatan lain, yaitu ketika menjelaskan menjelaskan tentang tentang “ma al-hukm” al-hukm” ia me memu mulai lai dengan dengan menyebut al-hukm deng dengan an se sebu buta tan n al-huk al-hukm m al-Sya al-Syar’i r’i (hukum syara’), bahkan ia membedakan pengertian Hukum Syara’ antara ushuliyyun dengan fuqaha. Menurut usuliyyun hukum ukum syar syara’ a’ hake hakeka katn tnya ya adal adalah ah khit khitab ab Syar yari’ yang yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Sedangkan menurut fuqaha’ hukum syara’ adalah efek (nilai perbuatan) yang dise diseba babk bkan an oleh oleh adan adanya ya khit khitab ab syar syari’ i’ ters terseb ebut ut,, se sepe pert rtii kewajiban (wujub) dan kebolehan (ibahah)11. Tampaknya Tampaknya Khalaf Khalaf ingin menarik menarik sebuah sebuah differensi differensi antara hukum syara’ yang pertama sebagai khitab Syari’ (Allah) dan kedua sebagai efek nilai khitab tersebut12. Yang pertam pertama a dibaha dibahass di dalam dalam ushul ushul al-fiq al-fiqh h sedang sedangkan kan yang yang kedua dibahas di dalam fiqh, dan menurutnya pengertian Al-Mu’tamad, Almakatabh al-Syamilah al0Isdar al-Tsani, hlm. Hlm. 4. Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, al-Dar al-Kuwaitiyah: Kairo, 1968, hlm. 11. 11 Ibid., hlm. 100. 12 Ibid., 9
10
6
yang pertama yang meyakinkan dari kacamata ushul fiqh, sebab menurutnya hukum syara’ termanifestasikan dalam nushush (teks) yang tidak membutuhkan qiyas atau ijma dan lainnya13. Jadi hukum syara’ adalah teks yang memuat khitab syari’ itu sendiri. Sedangkan efek nilai adanya khitab ini, karena karena bukan bukan produk produk ushul ushul fiqh fiqh tetapi tetapi lebih lebih sebaga sebagaii produk fiqh, yang kemudian disebut secara umum sebagai fiqh. Dari sini bisa dipahami bahwa menurut khalaf hukum Islam dapat dikategorikan menjadi hukum syara’ dan fiqh. Hukum syara’ adalah khitab Allah yang termanifestasikan dalam teks, sedangkan fiqh adalah ijtihad mujatahid tentang efek nilai dari khitab Allah tersebut 14, dan efek nilai inilah yang yang dimak dimaksu sud d oleh oleh al-B al-Bas asri. ri. Pe Peng nger erti tian an fiqh fiqh ini ini suda sudah h menc me ncak akup up efek efek nila nilaii yang yang dipr diprod oduk uk oleh oleh fuqa fuqaha ha lepa lepass15, mufti atau qadli di pengadilan dan udang-undang16. Dari Dari pem pembaha bahasa san n di atas atas dapa dapatt dita ditari rik k sim simpula pulan n bahw ahwa ese sens nsii huku hukum m isla islam m ada adalah lah khit khitab ab Alla llah yang yang terakt teraktual ualisas isasika ikan n dalam dalam nushu nushush sh (teks) (teks) dan pemaha pemahama man n mujtahid terhadapnya tentang efek nilai perbuatan mukallaf dari nushus tersebut. Apabila kesimpulan ini benar demikian maka maka hukum hukum Islam Islam me mengh nghada adapi pi proble problem m ontolo ontologis gis yang yang serius, yaitu apakah kajian hukum islam yang tidak dimulai dari nushus (aktua (aktualis lisasi asi khitab khitab syari’ syari’)) tidak tidak bisa bisa disebu disebutt hukum Islam? Problem lem ontolog logis ini ini nantinya akan berd berdam ampa pak k pula pula pada pada pro problem blem epis episte temo molo logi gis. s. Untu Untuk k menjawab persoalan ini perlu kehati-hatian yang luar biasa. Ibid., hlm. 101. Ahmad Rafiq merumuskan hubungan syari’ah dan fiqh ini dengan mneyebut bahwa fiqh adalah formula yang dipahami dari syari’ah dan syari’ah tidak bisa dijalankan dengan baik tanpa fiqh. lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1997, hlm. 5. 15 Istilah fuqaha lepas ini mungkin tidak lazim, tetapi tampaknya lebih akurat untuk mengkonseptualisasikan ahli fiqh yang menulis ijtihad mereka dalam karya-karya mereka. Dan karya-karya ini bisa dilihat dalam berbagai macam kitab fiqh dalam madzhab apapun. 16 Logica Logicall divisio division n yang yang membed membedaka akan n fiqh fiqh dengan dengan fatwa, fatwa, putusan putusan pengad pengadila ilan n dan undang undang-un -undan dang g tampak tampaknya nya kurag kurag tepat, tepat, mengin mengingat gat unsur unsur esensial antara fatwa, putusan pengadilan dan undang-undang adaah sama dengan fiqh. dan levvel perbedaan antara ketiganya bukan pada level esensial tetapi pad level aksidental. Oleh karena itu penyebutan fiqh dalam tulisan ini sudah sudah mencak mencakup up ketigan ketiganya, ya, yaitu yaitu fatwa, fatwa, putusa putusan n pengad pengadila ilan n dan undangundangundang serta apapun apapun yang memuat memuat konotasi konotasi produk ijtihad mujtahid mujtahid tentang tentang efek nilai dari khitab Syari’. 13 14
7
Persoa Pers oala lan n ini ini akan akan dico dicoba ba dija dijawa wab b keti ketika ka me memb mbah ahas as epistemologi hukum Islam. 2. HUKUM ISLAM: PROBLEM DEMARKASI ANTARA
SYARI’AH DAN FIQH Di dalam dalam kajiankajian-kaji kajian an ontolo ontologis gis rea realita litass dibeda dibedakan kan menjadi dua, yaitu experienced reality dan reality dan agreed reality .17 Secara bahasa yang pertama diartikan sebagai realitas yang dialami (sebuah pengalaman) dan yang kedua dite diterje rjema mahk hkan an me menj njad adii relit relitas as yang yang dise disepa paka kati ti (seb (sebua uah h kes ese epaka pakata tan n). Kala alau alat lat onto ntologi logiss ini ini dipak ipakai ai untuk tuk meriv me riview iew hukum hukum isla islam, m, maka maka analisi analisisny snya a diarah diarahkan kan pada pada asal muasal hukum islam itu sendiri. Realitas hukum Islam dalam sejarahnya dibentuk oleh dua entitas yang berbeda, yaitu syari’ah dan fiqh sebagaimana telah dibahas pada sub bab sebelumnya. Prof. A Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia mencoba melakukan kajian ontologis terhadap kedua entitas tersebut tersebut dengan dengan mengurai mengurai beberapa beberapa particular particular properties properties (sif (sifat at atau atau hal hal yang yang melek elekat at)) pada pada kedu keduan anya ya deng dengan an 18 mengu enguti tip p NJ Co Coul ulso son n . Menu Menuru rutn tnya, ya, pert pertam ama a Syar Syari’a i’ah h diturunkan oleh Allah jadi kebenarannya mutlak sedangkan fiqh adalah formula hasil kajian fuqaha jadi kebenarannya rela relatif tif.. Ke Kedu dua, a, syar syari’a i’ah h bers bersifa ifatt tung tungga gall sdan sdangk gkan an fiqg fiqg bera beraga gam. m. Ke Ketig tiga, a, syar syari’a i’ah h berw berwat atak ak otor otorita itati tiff dan dan fiqh fiqh liberal. liberal. Kee Keemp mpat, at, syari’a syari’ah h bersifa bersifatt stabil, stabil, sedang sedangkan kan fiqh menga me ngalam lamii peruba perubahan han sei seirin ring g tuntut tuntutan an ruang ruang dan waktu. waktu. Keli Ke lim ma, syar syari’ i’ah ah bers bersif ifat at idea ideali list stis is dan dan fiqh fiqh berc bercor orak ak realistis19. Di dalam Filsafat, ontology berasal dari bahasa Yunani, yaitu ontis: being: being: to be and logos: logos: science, science, study , theory . Yaitu sebuah study tentang “the “the nature of being of being,, existence, existence, or reality or reality in in general general and of its basic categories and their relations”. Lihat www.wikipedia.com. www.wikipedia.com. 18 Istilah particular particular prope properties rties of being sering dipakai di dalam kajiankajian ontologis. Yang dimaksud adalah hal ihwal dan sifat yang melekat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari being. being. Lihat www.wikipedia.com www.wikipedia.com.. Lihat Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, 1997, hlm. 5. 19 Untuk perbedaan yang kelima tampaknya kurang akurat apabila dicermati lagi pengertian idealistis dan realistis pada tataran ontologis. Oleh karen karena a itu dalam dalam tabel tabel perb perbed edaa aan n kelim kelima a rumus rumusan an Ahmad Ahmad Rofiq Rofiq tidak tidak dimasukkan dalam tabel perbedaan antara syari’ah dan fiqh. 17
8
Perbedaan antara kedua entitas ini dapat dilihat pada tabel berikut: N PARTICULAR SYARI’AH FIQH O PROPERTIES 1. Origin Wahyu Penalaran (rasio) 2. Sumber Allah (al-Syari’) Manusia (fuqaha’) 3. Posisi Ep Epistemik Mutlak (absolut) Nisbi (Relatif) Otoritatif Liberal Eternal Temporal Temporal Lokal Lokal Universal testable untestable 4. Posisi Ontologis Unity (tunggal) Diversity (beragam) Perso Per soal alan an yang yang muncul ncul adal adalah ah pers perso oalan alan gari gariss demarkasi antara syari’ah dan fiqh ini. Ternyata tidak selalu mudah untuk memilah pada level implementasinya, yaitu bilam bilaman ana a suat suatu u norm norma a dika dikate tego gorik rikan an se seba baga gaii se seba baga gaii syari’a syari’ah h dan kapan kapan dikate dikategor gorika ikan n se sebag bagai ai fiqh. fiqh. Sebaga Sebagaii contoh apa yang tulis oleh Abdul Wahab Khalaf .
: Menurut Menurut Khalaf Khalaf khitab khitab Allah yang termanifes termanifestasika tasikan n dala dalam m teks teks itul itulah ah syar syari’ i’ah ah,, se seda dang ngka kan n efek efek nila nilaii yang yang ditimb ditimbulk ulkan an dari dari khitab khitab terseb tersebut, ut, yaitu yaitu kewajib kewajiban an untuk untuk memenuhinya20 disebut dengan fiqh. Problem yang muncul adalah adalah apakah apakah aktual aktualisa isasi si khitab khitab dalam dalam teks teks itu bersif bersifat at mutlak? Pertanyaan ini muncul apabila analisis ditingkatkan pada level philosophy philosophy of text . Analisis terhadap teks pada level ini membawa akan mengantar kita pada pemahaman bahwa teks adalah adalah objek fisik21 dan struktur logic teks terdiri dari tanda-tanda (signs (signs)) dan yang diwakilinya. Dalam Dalam perspe perspekti ktiff filsafa filsafatt intera interaksi ksion onism isme e simbo simbolik lik tandatandatanda (signs) yang disebut dengan simbol ini hakekatnya adalah adalah hasil hasil intera interaksi ksi dalam dalam sebuah sebuah konte kontesta stasi si simbol simbolik. ik. Sehi Sehing ngga ga kada kadang ng suat suatu u simb simbol ol mengg enggan anti tika kan n sim simbol bol Khalaf, Op. Cit., hlm. 100 orge JE Gracia, A Theory of Textuality: The Logic and Epistemology , State University of New York: New York, 1995, hlm. XX. Kajian mendalam mengenai Teks ini dapat dibaca karya Jorge JE Gracia, A Theory of Textuality: The Logic Logic and and Epistemo Epistemology, logy, State University University of New York: York: New New York, York, 1995. 1995. 20 21
9
lainnya, atau kadang sebuah simbol tidak lagi akurat untuk mewa me wakil kilii yang yang disi disimb mbol olka kann nnya ya,, atau atau bebe bebera rapa pa simb simbol ol mewakili sesuatu yang sama. Apabila pandangan tentang teks ini benar, maka konsekwensinya adalah nushush (teks) yang ang mewa ewakili kili kehe kehend nda ak Allah llah tid tidak lag lagi pada ada posi posisi si episte epistemik mik yang yang univer universal sal dan eterna eternall tetapi tetapi berges bergeser er ke posisi epistemik lokal dan temporal. Artinya adalah pilihan signs signs dalam dalam al-qur al-qur’an ’an (baca (baca nushush) nushush) teri terika katt ruan ruang g dan dan waktu dan hanya cocok pada waktu al-qur’an itu i tu diturunkan. Posi Po sisi si onto ontolo logi giss se sepe pert rtii ini ini kala kalau u dite diteri rim ma, akan akan merubah seluruh bangunan epistemologi hukum Islam yang ada. Oleh karena itu hal terbaik yang bisa dilakukan adalah pertama, melakukan pemihakan filosofis yang menempatkan nushush pada pada leve levell (mem (memin inja jam m kons konsep ep Popper) untestable truth22, bukan pada level testable truth. truth. Alasannya adalah bahwa nushush merupakan realitas yang betul-betul dialamai oleh nabi Muhammad. Ia adalah sebuah expe experie rienc nced ed reali reality ty bagi baginy nya. a. Sehi Sehing ngga ga posis posisii epist epistem emik ik nushus bagi Muhammad adalah pada level actual believe world. world. Dan bagi selain Muhammad posisi epistemik nushush ini hanya pada level poss level possible ible believe believe world world.. Kedua, logika aktus dan potens dalam ontologi bisa digunakan untuk menjembatani problem tekstualitas di atas. Bahw Bahwa a teks teks adal adalah ah obye obyek k fisi fisik k adal adalah ah bena benar, r, dan dan teks teks adala adalah h aktu aktual alisa isasi si pote potens ns juga juga bena benar. r. Dan Dan pote potens ns dari dari nushus adalah adalah kehendak Allah. Sesuatu yang aktus pasti berasal dari sesuatu yang potens, tetapi tidak setiap potens menjadi aktus. Apabila alur pikir ini diterima, maka dapat dipahami bahwa di dalam nushush yang aktus itu memang terdapat potens kehendak Allah. Dan keberadaan potens kehendak Allah ini adalah sesuatu yang pasti. Untuk Untuk lebih jelasnya, posisi ontologis ontologis antara syari’ah dan fiqh ini, bisa diliihat pada ilustrasi berikut: Syar Syari’a i’ah h (nushush khitab khitab Allah: Allah: aktual aktualisa isasi si poten potenss kehendak-Nya) Untestable Istilah testable dan untestable ini dikenalkan oleh Karl R Popper dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery . 22
10
Interaksi
garis
demarkasi Testable Testable Fiqh Fiqh (penal (penalara aran n mujta mujtahid hid tentan tentang g efek efek nilai nilai khitab khitab Allah) C. EPISTEMOLOGICAL REVIEW
Epistemologi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitu episteme yang berarti sumber. Kata ini ketika dirangkai dengan kata logi (berasal dari Bahasa Latin Logos, yang berarti ilmu) ilmu) se sehi hing ngga ga me menj njad adii epist epistem emolo ologi, gi, maka maka ia me menu nunj njuk uk kepa kepada da suat suatu u disip disiplin lin ilmu ilmu ca caba bang ng filsa filsafat fat yang yang berb berbic icar ara a tentang sumber-sumber ilmu pengetahuan dan justifikasinya (metode mendapatkan dan penegasannya). Oleh karena itu pula epistemologi sering diterjemahkan sebagai filsafat ilmu.23 Ia secara khusus membahas teori pengetahuan, tentang cara menca me ncapai pai kebena kebenaran ran,, juga juga me merup rupaka akan n suatu suatu proses proses untuk untuk memperoleh leh atau mencapai pengetahuan (theory of knowledge). Dalam hal ini ilmu merupakan pengetahuan yang dida didapa patt me melal lalui ui pros proses es tert terten entu tu yang yang dina dinama maka kan n me meto tode de keilmuan. Terdapat Terdapat tiga persoalan persoalan pokok pokok dalam bidang bidang ini: apa pengetahuan itu? Apa sumber-sumber pengetahuan itu? Dari mana pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimana kita menge me ngetah tahui? ui? Apaka Apakah h penget pengetahu ahuan an kita itu benar benar (valid) (valid)24? Bagaim Bagaimana ana kita kita dapat dapat me memb mbeda edakan kan yang yang benar benar dari dari yang yang salah?25. Dari ari sini ini dapa dapatt dika dikata taka kan n bahw ahwa Episte istem mologi logi menc me ncob oba a me meng nginf infes esti tiga gasi si as asal al muas muasal al,, stru strukt ktur ur,, me meto tode de-metode dan validitas pengetahuan26. Menurut Louis O. Kattsoff ada dua pertanyaan yang bersifat umum dalam epistemologi, yaitu yaitu pertam pertama a me menga ngacu cu kepada kepada sumber sumber penget pengetahu ahuan an kita kita Liha Lihatt R. Audi Audi (Ed. (Ed.), ), The Cambri Cambridg dge e Diction Dictionary ary of Philosp Philosphy hy , 2nd Edition, Cambridge, Cambridge University Press, 1999, hlm. 209. Lihat juga Miska M. Amien, Epistemologi Islam: Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam, Jakarta, Jakarta, UI Press, 1983, 1983, hlm. 3 24 Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Aliran-Aliran Filsafat Filsafat dan Etika, Etika, Bandung, Yayasan Puara, 1997, hlm. 16. 25 Harold H. Titus, dkk., Loc. Cit. 26 Dago Dagobe bert rt D. Runes Runes,, et,. et,. All., All., Dictionary Dictionary of Philosophy: Philosophy: AncientMedievel-Modern, Medievel-Modern, New Jersey, Littlefield Adams C.O., 1963, hlm. 94. 23
11
yang dapat dinamakan pertanyaan epistemologi kefilsafatan. Seda Sedang ngka kan n pert pertan anya yaan an yang yang lai lain n bers bersifa ifatt sima simant ntik ik,, yakn yaknii menyangkut hubungan antara pengetahuan kita dengan obyek pengetahua pengetahuan n tersebut tersebut27. Term epistemo epistemologi logi dipakai dipakai pertama pertama kali oleh J.F. ferrier dalam Institute of methaphisic (1854) yang membeda bedaka kan n dua caban abang g fils filsaf afa at – epis episte tem mologi logi dan 28 ontologi. Bila kata kata episte epistemo molog logii dirang dirangkai kai dengan dengan Hukum Hukum Islam maka dapat diartikan sebagai filsafat ilmu hukum Islam yang yang berbic berbicara ara tentan tentang g sumber sumber-su -sumb mber er (masâ (masâdir dir)) - hukum hukum Islam - dan sistem logic yang menjustifikasinya. Dalam ilmu Hukum Islam, bahasan tentang hal seperti itu masuk dalam kajian ilmu usûl al-fiqh. Sec ecar ara a gari gariss besa besarr, ada ada dua dua alir aliran an poko pokok k29 dalam episte epistemo molog logi: i: pertam pertama, a, Idealis Idealisme me atau atau Ras Rasion ionalis alisme me,, yaitu yaitu aliran aliran pikiran pikiran yang yang me menek nekank ankan an pentin pentingny gnya a “akal”, “akal”, “idea”, “idea”, “kategori”, “form” sebagai sumber pengetahuan. Di sini peran panca panca indra indra dinom dinomord orduak uakan. an. Kedua, Kedua, adalah adalah Rea Realism lisme e atau atau Empiricisme yang lebih menekankan panca indra sebagai alat untu untuk k me memp mpero erole leh h ilmu ilmu peng penget etah ahua uan. n. Di sini sini pera peran n akal akal 30 dinomorduakan. Secara ringkas dapat disebutkan bahwa di dalam sejarah perk perkem emba bang ngan an filsa filsafat fat,, terd terdap apat at bebe bebera rapa pa maca macam m alira aliran n epis episte temo molo logi gi atau atau fils filsaf afat at ilm ilmu. Ada alir aliran an Empi Empiri rici cism sme, e, Rasionalisme, seperti yang disebutkan di atas, Kriticisme, dan Pragmatisme.31 Masing-masing aliran ini menawarkan system logic logic masi masing ng-m -mas asin ing. g. Syst System em logi logicc yang yang dita ditawa wark rkan an oleh oleh Empir piricis icism me adal adalah ah ind indukti uktif, f, se seda dang ngka kan n Ras asio ion nalis alism me mena me nawa wark rkan an syst system em logi logicc dedu deduct ctive ive,, adap adapun un Kriti Kritici cism sme e berusa berusaha ha me menjem njembat batani ani kedua kedua aliran aliran sebelu sebelumn mnya ya dengan dengan Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat , Soejono Soemargono (Terj.), Yogyakarta, Yogyakarta, Tiara Wacana, Wacana, 1996, 1996, hlm.76. hlm.76. 28 Dagobert D. Runes, et. All, Loc. Cit. 29 Sebagian pemikir seperti Henry Bergson (1859-1941) memasukkan aliran aliran ke-3, ke-3, yait yaitu u Intuisionisme, Intuisionisme, yakni yakni pema pemaha hama man n yang yang lang langsu sung ng,, yang yang merupakan hasil pemikiran yang sadar. Aliran ini menekankan peran intuisi di atas indar dan rasio. H.H. Titus menyebutnya sebagai summediate knowledge (pengetahuan tanpa perantara). Instuisi menurut Spinoza adalah sumber yang paling sempurna. 30 M. Amin Abdullah, “Aspek Epistemologis Filsafat Islam”, dalam Irma fatima fatimah h (Ed.), (Ed.), Filsa Filsafa fatt Isla Islam: m: Kaj Kajia ian n Onto Ontolo logi gis, s, Epist Epistem emol olog ogis is,, Hist Histor oris is,, Perspektif , Yogyakarta, Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992, hlm. 28. 31 Mengenai system logic dari aliran-aliran epistemologi tersebut dapat dilihat pada skema. 27
12
menawark menaw arkan an system system logic logic dedukt deduktive ive-in -induc ductive tive.. Sement Sementara ara Pragmatisme merasa tidak puas dengan system logic di atas yang yang me menu nuru rutn tnya ya hany hanya a menco encoba ba me menc ncar arii haki hakika katt (the (the essens) tetapi tidak mencari nilai guna dan manfaat darinya. Kemudi Kemudian an aliran aliran terakh terakhir ir ini me menco ncoba ba me menaw nawark arkan an system system logic baru, yaitu abductive (pengujian di lapangan) dengan ukuran ukuran me meani aning ng (guna) (guna) dan kemanf kemanfaat aatan an (kema (kemaslah slahata atan). n). Lihat Skema 1. Jadi sekali lagi, yang dimaksud dimaksud dengan dengan epistemolo epistemologi gi Hukum Hukum Islam Islam adalah adalah pembah pembahasa asan n tentan tentang g masâd masâdir ir hukum hukum Isla Islam m dan justifik ifika asinya. Dengan demikia kian beberapa pert pertan anya yaan an di dalam alam episte istem molog logi huku hukum m Isla Islam m dapa dapatt dirin ringkaskan menjadi: adi: apa sumber hukum Islam dan baga bagaim iman ana a huku hukum m Isla Islam m dide dideri riva vasi si dari dari sumb sumber er-s -sum umbe berr tersebut dan justifikasi terhadapnya (kehujjahannya).
Skema (1)32 SKEMA SYTEM LOGIC DARI BEBERAPA ALIRAN EPISTEMOLOGI 1. EMPIRICISM - system logic: logic: inductive reasoning - sumber pengetahuan: empiri (pengalaman) - menekankan hakikat/kebenaran pengetahuan (sintesis dari empirisme dan rasionlisme) 3. CRITICISM - system logic: logic: deductive inductive - sumbe sumberr peng penget etah ahuan uan:: em empi piri ri dan rasio - penekanan pada hakikat/kebenaran
2. RATIONALISM pengetahuan - system logic: logic: deductive reasoning - sumber pengetahuan: rasio (akal/ide) - menekankan pada hakikat/kebenaran pengetahuan
sebelumnya)
(bentuk (bentuk ketidakpuas ketidakpuasan an terhadap terhadap system logic
Skem Skema a ini ini diad diadop opsi si dari dari Nur Nur Aris Aris,, Episte Epistemol molog ogii Hukum Hukum Islam Islam Najmuddin Al-Tufy , Tesis tidak dipublikasikan, IAIN Walisongo, Semarang, 2001, hlm.22 32
13
PRAGMATISM - system logic: logic: abductive (inquiry) - penek penekan anan an perha perhati tian an pada pada usefulness pengetahuan - ukuran ukuran kebena kebenaran ran adalah adalah meaning and useable (manfa’at)
Seringkali terjadi kesimpangsiuran antara yang disebut masâdir dan masâdir dan yang disebut dengan manâhij dalam epistemologi hukum hukum Islam Islam,, ditam ditambah bah lagi ser sering ing diguna digunakan kannya nya term term aladillah (dali (dalil-d l-dal alil) il).. Pe Pert rtam ama a akan akan dibah dibahas as terle terlebi bih h dahu dahulu lu konsep al-adillah. al-adillah. Kata al-adillah adalah adalah bentu bentuk k jamak jamak dari dari kata dalîl. dalîl. Secara baha ahasa kata dalîl me menga ngand ndung ung dua pengertian, yaitu: pertama, berarti “Yang menunjukkan bagi yang dicari atas suatu makna”. Disebut dalîl al-qaum, karena menunjukkan mereka pada maksud mereka.33 Berkata al-Qâdi, al-dâll: nasîb al-dilâlah wa mukhtari’uha, yaitu Allah swt, dan selain sel ain dari dari Allah Allah disebu disebutt dengan dengan dhâkir dhâkir al-dil al-dilâlah âlah.. Menur Menurut ut sebagian orang al-dâll juga berarti dhâkir al-dilâlah (pengingat atas petunjuk) dan ini terlalu jauh, karena al-hâki dan guru tidak disebut dengan al-dâll, tetapi dhâkir al-dilâlah. Yang lebih utama adalah seyogyanya dikatakan: al-dâll adalah dhâkir aldilâlah dari segi keterpegangan al-dilâlah tersebut, dan Allah disbut dengan al-dâlil karena penyandaran.34 Kedua, adalah berarti mâ bihi al-irshâd, artinya tanda (alamat) yang dinisbatkan untuk mengetahui petunjuk. Seperti perkataan mereka, al-‘âlam dalîl al-Sâni’ (alam semesta adalah petnjuk adanya pencipta)35. Dalîl adalah al-mûsil bi sahîh al-nadri fîh ilâ al-matlûb (ses (sesua uatu tu yang yang dapa dapatt menya enyam mpaik paikan an se sete tela lah h dila dilaku kuka kan n pengamatan yang benar terhadapnya kepada yang dikehendaki (al-matlûb). Al-Âmidi menyatakan bahwa al-dâlil juga merupakan merupakan istilah ulama ulama usûl, tetapi tetapi dalam bidang usûl al-fiqh penggunaan kata dalîl lebih umum dari yang di atas, dan ini dinyatakan oleh beberapa ulama seperti: al-Sheikh Abû Hâmid, al-Qadi Abû Tayyib, al-Sheikh Abû Ishâq dan lain-lain. 36 al-Zark al-Zarkash ashi, i, Badrud Badruddin din Muhamm Muhammad ad ibn Bahadu Bahadurr ibn Abdilla Abdillah h alShâfi’i, al-Bahru al-Muhît fi Usûl al-fiqh, al-fiqh, Juz I, 1992, Kuwait, Dâr al-Safwah, hlm. 34 34 Ibid., Ibid., hlm. 34 35 Ibid. 36 Ibid. 33
14
Adap Adapun un lafz lafz al-d al-dâl âll, l, ulam ulama a berb berbed eda a pend pendap apat at.. Ada Ada yang yang mengatakan ia adalah al-dâlil, dan ada yang mengatakan ia adalah al-nasîb lil al-dâlil yaitu Allah ta’âla yang menasabkan al-adillah baik baik shar’i maupun ‘aqli.37 Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa dalil masih bersifat sangat umum dan universal dan di dalamnya ada ada naql naqlii dan ada pula pula aqli aqli.. Te Term rm dalil alil ini ini kono konottas asin iny ya mencakup baik mashodir maupun manahij. Penggunaan term dalil dalil dalam dalam episte epistemo mologi logi hukum hukum isl islamm amm tampak tampaknya nya kurang kurang akur akurat at,, kare karena na term erm dali dalill ini ini tid tidak menu enunju njukkan kkan posi posisi si epistemik yang jelas. Kejelasan posisi epistemik ini penting agar agar tidak tidak terjadi terjadi kesimp kesimpang angsiu siuran ran dalam dalam tata tata fikir fikir (siste (sistem m logi logicc) huku hukum m Isla Islam m. Oleh leh kare karen na itu itu maka aka pilii iliiha han n unit nit analisisnya jatuh pada term mashodir dan manahij, dan juga sedikit tentang al-qawa’id. al-qawa’id.
A.MASHODIR (SUMBER) HUKUM ISLAM Adapun masâdir adalah masâdir adalah bentuk jamak dari masdar yang berarti berarti sumber sumber (tempat (tempat kemuncul kemunculan). an). Dalam bahasa Arab, Arab, yang dimaksud dengan sumber adalah masdar , yaitu asal dari segala sesuatu dan tempat merujuk segala sesuatu38. Dalam usûl al-fiqh kata masâdir al-ahkâm masâdir al-ahkâm alal-shar’iyah berarti rujuka rujukan n utama utama dalam dalam me memu mutus tuskan kan hukum hukum Islam, Islam, yaitu yaitu alQur'an dan Sunnah. Sementara dalîl, sekali sekali lagi mengandu mengandung ng pengertian: pengertian: “Suatu petunjuk yang dijadikan landasan berfikir yang benar dalam memperoleh hukum shar’ yang bersifat praktis, baik yang setatusnya qat’i (pasti) maupun zanni (relatif)” 39 Akan tetapi, dari segi bahasa, pengertian kedua term tersebut berbeda. Masdar dalam pengertian bahasa adalah rujuka rujukan n uatam uatama, a, tempat tempat dikem dikembal balikan ikannya nya segala segala ses sesuat uatu. u. Sepert Sepertii sumbe sumberr air adalah adalah tempat tempat me meman mancar carnya nya air yang yang Ibid., Ibid., hlm. 36 Ibnu Manzur, Jamâluddîn ibn Muhammad, Lisân al-‘Arab, al-‘Arab, Mesir, AlDâr al-Misriyah li al-Ta lif wa al-Tarjamah, Juz 6, tth. hlm. 119. 39 Lih. Wahbah al-Zuhaili, Usûl al-fiqh al-Islâmy , Beirut, Dâr al-Fikr, 1986,hm 417. Lihat juga Abdul Wahhâb Khallâf, ‘Ilm ‘ Ilm Usûl al-fiqh, al-fiqh, Kuwait, Dâr alQalam, 1978, hlm. 20. Menurut Abdul Wahhâb Khallâf, untuk yang besifat zann besifat zannii menurut sebagian ulama usûl, usûl, tidak dinamakan dalîl melainkan disebut imarah (indikasi), akan tetapi mayoritas jumhur ulama usûl al-fiqh menyatakan bahwa petunju petunjuk k untuk untuk mendap mendapatk atkan an hukum hukum Islam Islam yang yang bersifat bersifat praktis praktis itu, yang yang bersifat zann bersifat zannii maupun yang qat’i, qat’i, disebut dengan dalîl. dalîl. 37 38
′
15
sering disebut dengan mata air. Dalam pengertian ini, maka masâdir al-ahkâm dala dalam m Isla Islam m itu itu hany hanya a al-Q al-Qur ur'a 'an n dan dan Sunn Sunnah ah.. Pe Peng nger erti tian an ini ini didu diduku kung ng oleh oleh peng penger erti tian an Alla Allah h sebagai al-shâri’ al-shâri’ (penentu/pencipta hukum Islam). Para ulama usûl al-fiqh pun sebenarnya menyatakan bahwa hukum Islam itu itu se selu luru ruhn hnya ya bera berasa sall dari dari Alla Allah. h. Ra Rasu sull hany hanya a bert bertug ugas as sebagai penegas dan penjelas (al-mu (al-mu akkid dan al-mubayyin) al-mubayyin) hukum-hu hukum-hukum kum yang disampaikan disampaikan Allah melalui melalui rasul-Nya. rasul-Nya.40 Sekalipun terkadang Rasulullah menetapkan hukum tertentu melalui sunnahnya, ketika wahyu tidak turun dari Allah, akan teta tetapi pi kete keteta tapa pan n rasu rasull itu itu tidak tidak terl terlep epas as dari dari bimbi bimbing ngan an wahyu. Oleh Oleh se seba bab b itu, itu, para para ulam ulama a usûl usûl al-fiqh al-fiqh kontemporer lebih cenderung mengatakan bahwa sumber utama hukum Isla Islam m (masâdir masâdir al-ahkâm al-ahkâm al-shar’iya al-shar’iyah h) ters terseb ebut ut adala adalah h alQur'a ur'an n dan al-S al-Su unnah nnah.. Ka Kare ren na al-Q l-Qur'a ur'an n dan Sunn Sunnah ah dise disepa paka kati ti oleh oleh se selu luru ruh h ulam ulama a usûl usûl al-f al-fiq iqh h –kla –klasik sik dan dan 41 kontemporer kontemporer – sebagai sumber primer hukum Islam. Dala Dalam m kait kaitan anny nya a deng dengan an peng penger erti tian an dalîl yang dikemu dikemukak kakan an di atas, atas, al-Qur al-Qur'an 'an dan Sunnah Sunnah juga juga diseb disebut ut sebagai dalîl alal-hukm42, artinya ayat-ayat al-Qur'an dan hadishadis adis Na Nab bi di sa sam mping ping sebag ebagai ai sum sumber ber hukum ukum Isla Islam m, sekaligus sekaligus sebagai sebagai dalîl (alasa (alasan n dalam dalam peneta penetapan pan hukum hukum Islam). Karena itu, apa yang dikemukakan oleh ‘Abdul Wahhâb Khallâf, bahwa adillat al-ahkâm identik dengan masâdir alahkâm adalah benar. Tetapi dalîl lain seperti al-Ijmâ’ , qiyâs, qiyâs, istihsân, istihsân, maslahah maslahah mursalah mursalah,, dan sebaga sebagainy inya, a, tidak tidak dapat dapat dikatakan sebagai masâdir hukum masâdir hukum Islam, karena dalîldalîl-dalîl ini hanya bersifat al-kashf wa al-izhar li al-hukm (menyingkap dan memunculkan hukum) yang ada dalam al-Qur'an dan Sunnah.43 Suatu dalîl yang membutuh membutuhkan kan dalîl lain untuk untuk dijadikan hujjah tidakl tidaklah ah dapat dapat dikata dikatakan kan sumber sumber,, karen karena a yang yang dina dinama maka kan n sumb sumber er adal adalah ah kare karena na bers bersifa ifatt berd berdiri iri sendiri. Di samping itu, keberadaan suatu dalîl, dalîl, seperti al′
40
hlm. 16.
Ali Hasballah, Usûl al-tashrî’ al-Islâmiy , Kairo, Dâr al-Ma’ârif, 1976,
Nasrun Haroen, hlm. 16. Zakiyyuddin Sha’ban, Usûl al-fiqh al-Islâmiy , Mesir, Dâr al-Ta lîf, 1065, hlm. 30. 43 Nasrun Haroen, Op.Cit., Op.Cit., hlm. 16 41 42
′
16
Ijmâ’ , qiyâs, qiyâs, istihsân dan lain lain, tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah. Oleh sebab itu, para ulama usûl al-fiqh juga sering menyebut adillat al-ahkâm, al-ahkâm, seperti al-Ijmâ’ , qiyâs, qiyâs, istihsân, istihsân, istishâb dan lain-lain sebagai turuq istinbât al-ahkâm istinbât al-ahkâm (metode 44 penetapan hukum) Akan Akan teta tetapi pi dala dalam m liter literat atur ur usûl usûl al-fiqh al-fiqh,, baik aik klas klasik ik ataupun ataupun kontempo kontemporer rer ditemukan ditemukan bahwa bahwa sumber sumber atau dalîl shar’ itu selalu dikelompokkan kepada adillat al-ahkâm almuttafaq ‘alaih (dalil-dalil hukum yang disepakati) dan adillat al-ahkâm yang mukhta khtala ladf df fiha fiha (dali dalill-da dali lill yan yang diperselisihkan)45. Akan Akan tetapi tetapi ulama ulama Zâhiriy Zâhiriyah ah me menol nolak ak penda pendapat pat yang yang menempatkan al-Ijmâ’ dan qiyâs sebagai dalîl yang disepa disepakat katii para para ulama. ulama.46 Menurut Menurut mereka, mereka, al-Ijmâ’ tidak disepakati oleh seluruh ulama usûl al-fiqh, karenanya tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, hujjah, karena terhadap pengertian al-Ijmâ’ ’ itu sendiri para ulama usûl tidak sepakat. Al-Shâfi’i hanya hanya me mener nerima ima al-Ijmâ’ ’ apabila ila hukum al-Ijmâ’ ’ itu merupakan merupakan konsensu konsensuss para sahabat. sahabat. kemudian kemudian qiyâs juga ditolak oleh ulama usûl lain, seperti Shî’ah Imâmiyyah dan Shî’a Shî’ah h Zaid Zaidiyy iyyah ah term termas asuk uk al-A al-Auz uzâ’ â’ii dari dari kalan kalanga gan n Sunn Sunnii 47 (ahlussunnah) ahlussunnah) . Oleh sebab sebab itu, menurut menurut ulama ulama Zâhiriyah, Zâhiriyah, tidak benar ada kesepakatan ulama usûl al-fiqh menjadikan al-Ijmâ’’ dan qiyâs se seba baga gaii sum sumber ber huku hukum m Isla Islam m yang yang disepakati. Ibid., Ibid., hlm. 17 Zakiyuddin Sha’ban, Op.Cit., Op.Cit., hlm. 25-31; Wahbah al-Zuhaili, Op.Cit., Op.Cit., hlm. 417, dan Abdul Wahhâb Khallâf, Op.Cit., Op.Cit., hlm. 21. 46 Ulama Zâhiriyah termasuk ulama yang menolak kehujjah kehujjahan an Al-Ijm Al-Ijmâ’ â’ ’ dan qiyâs, qiyâs, karena sekalipun mereka menerima al-Ijmâ’ ’ sebagai hujjah, hujjah, maka al-Ijmâ’ ’ yang mereka terima hanyalah al-Ijmâ’ ’ sahabat Rasulullah. Mereka sependapat dengan imam al-Shâfi’i dalam hal ini, yang juga hanya menerima al-Ijmâ’’ sahabat. al-Ijmâ’’ sahabat. Lih. Ibnu Hazm al-Andalûsi, al-Ihkâm fi Usûl al-Ahkâm, al-Ahkâm, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah,t.t., Jilid II, hlm. 976. Mereka dan para ulama usûl alShî’ah juga menolak kehujjah kehujjahan an qiyâs. qiyâs. Hal ini sesuai dengan prinsip Zâhiriya prinsip Zâhiriyah h dalam memahami nass yang bersifat literal. Penolakan ulama usûl al-Shi’ah atas kehujjah kehujjahan an al-Ijmâ’ dan qiyâs. qiyâs. Ka Karen rena a ketik ketika a suat suatu u hukum hukum tidak tidak ada ada ketent ketentuan uannya nya di dalam dalam nass, nass, menurut menurut mereka mereka,, yang yang berhak berhak menent menentuka ukan n hukum adalah imam mereka. 47 ‘Ali Hasan ‘Abd al-Qâdir, Nazrah al-‘Âmmah fi Târikh al-Islâmy , Kairo, Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1965, hlm. 277, 289. Lih juga Muhammad Yûsuf Mûsa, al-Madkha al-Madkhall li Dirâsat Dirâsat al-fiqh al-fiqh al-Islâmy al-Islâmy , Mesir, Dâr al-Fikr al-‘Arabi, t.t., hlm. 171-178. Ibid., Ibid., hlm. 18. 44 45
17
Dalam Dalam pemb pembag agia ian n Ali Ali Ha Hasb sball allah ah ini, ini, al-Ijmâ’ , qiyâs, qiyâs, istihsân, istihsân, istishâb, istishâb, marsalah mursalah, mursalah, al-’urf , madhhab sahabi, sahabi, shar’u man qablana dan sadd alal-dhari’ah termasuk dalam adillat al-ahkâm adillat al-ahkâm alal-shari’ah alal-ijtihâdiyyah. ijtihâdiyyah.48 Agaknya penetapan al-Ijmâ’ dan al-Ijmâ’ dan qiyâs sebagai dalîl yang dise disepa paka kati ti kehujjah kehujjahan anny nya a lebi lebih h dida didasa sark rkan an se seta tatu tusn snya ya sebagai dalîl di kalangan ahlus sunnah. Para ulama usûl alfiqh dar arii kala alangan ahlus sunnah memang sepakat menya me nyatak takan an bahwa bahwa al-Ijmâ’ dan qiyâs dapat dapat dijadi dijadikan kan sebagai dalîl shar’ , sekalipun sekalipun keberadaan keberadaannya nya sebagai sebagai dalîl tidak bisa berdiri sendiri sebagaimana al-Qur'an dan sunnah. Oleh leh sebab ebab itu, itu, untu untuk k menghi nghila lan ngkan kan keran eranccuan uan pengertian masâdir al-ahkâm alal-shar’iyyah dan manahiij alahkâm alal-shar’iyyah se seba baga gaim iman ana a diur diuraik aikan an di atas atas,, unit unit anal analis isis is yang yang dipi dipili lih h adal adalah ah,, pert pertam ama: a: sumb sumber er (masâdir ) hukum Islam dan kedua adalah metode (manâhij ( manâhij)) penggalian hukum Islam49. Mere Merevi view ew urai uraian an di atas atas dapa dapatt disi disim mpulk pulkan an bahw bahwa a kriteraia esensial sumber (mashadir) adalah “yang darinya huku hukumm-hu huku kum m isl islam am digali digali”. ”. Seda Sedang ngka kan n krit kriter eria ia es esen ensi sial al manah anahij ij adal adalah ah “yan “yang g deng dengan anny nya a huku hukum m-huk -hukum um isla islam m digali”. Dengan demikian demikian yang dapat dikategorika dikategorikan n sebagai sebagai masâdir adalah: masâdir adalah: 1. Al-Qur Al-Qur'an 'an yaitu yaitu wahyu wahyu Allah Allah yang yang dituru diturunka nkan n kepada kepada Muham Muhamma mad, d, yang ang terko erkod difik ifikas asik ikan an dala dalam m bent bentu uk nush ushush ush dalam alam mushaf , yang dikenal dengan mushaf Uthmâni mushaf Uthmâni.. 2. Al-Sun Al-Sunnah nah Apa yang yang disa disand ndar arka kan n kepa kepada da Na Nabi bi,, baik baik perk perkat ataa aan, n, perbuatan, ketetapan maupun sifat. Dengan kata lain apa yang dikatakan oleh Rasul selain al-Qur'an maupun contoh yang diberikannya. Al-Sunnah dengan al-Qur'an menempati posisi sentral dalam masâdir tashri’ al-islâmy , karena dari dua sumber inil inilah ah ajara jaran n Isla Islam m term terma asuk suk hukum ukumny nya a dig digali ali dan dan disarikan. Tidak terdapat perselisihan antara ulama usûl alfiqh konvensional dalam hal ini. Dan kata masâdir memang masâdir memang lebih tepat dikenakan kepada keduanya, yakni al-Qur'an 48 49
Ali Hasballah, Op.Cit., Op.Cit., hlm.15. Nasrun Haroen, Op.Cit., Op.Cit., hlm. 19.
18
dan al-Sunnah. Saat ini rujukan utama dalam al-Sunnah adalah al-kutub al-sittah, al-sittah, ada yang mengatakan al-kutub al-tis’ah.
B.MANAHIJ (METODOLOGI) Manâhij merupakan bentuk jamak dari kata manhaj yang yang berart berartii cara cara atau atau me metod tode. e. Nahjun berarti bayyinun wâdihun, wâdihun, al-minhâj adalah al-târi al-târiq q al-wâdi al-wâdih h.50 Karena manâhij lebih merupakan sebuah metode reasoning, reasoning, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai masâdir . Kalau masâdir merup erupak aka an sum sumber ber dari dari mater aterii hukum ukum atau atau deng dengan an memi me minj njam am istila istilah h filsa filsafat fat me meru rupa paka kan n obye obyek k mate materia riall, sementara manhaj adala adalah h me meto tode de dalam dalam me mend nder eriv ivas asii materi hukum tersebut atau dengan istilah filsafat disebut dengan obyek formal. formal. Term manhaj manhaj memang memang jarang diketemuka diketemukan n dalam lite litera ratu turr-li lite tera ratu turr klas klasik ik,, kare karena na term term itu itu hany hanya a dapa dapatt dikete diketemu mukan kan pada pada literat literatur ur kontem kontempor porer, er, sepert sepertii tulisa tulisan n 51 Abdullah Abdullah al-Dar’ân. al-Dar’ân. Literatur-lit Literatur-litaratu araturr klasik lebih sering sering menggunakan term adillat (dalil) untuk menyebut manâhij. Bahkan Abd al-Wahhâb Khallâf menyebut yang semestinya manhaj manhaj dengan dengan masâdir. masâdir.52 Kerancuan Kerancuan dalam penggunaa penggunaan n istilah istilah ini sudah sudah sem semest estiny inya a dihind dihindark arkan an se sehin hingga gga tidak tidak menimbulkan kesalahpahaman. Hal-h Ha l-hal al yang yang term termas asuk uk ke dalam dalam kate katego gori ri manâ manâhi hijj antara lain adalah: 1. Al-Qiyâs Al-Qiyâs Secara bahasa qiyâs berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, sesuatu, membandin membandingkan, gkan, atau menyamak menyamakan an sesuatu sesuatu dengan dengan yang yang lain. lain. Misaln Misalnya: ya: qistu qistu al-thau al-thaub b bi al-dhi al-dhirâ râ yang yang bera berart rti: i: “say “saya a me meng nguk ukur ur baju baju deng dengan an deng dengan an 53 hasta”. Ibnu Mandhur, Lisan al-‘Arab, al-‘Arab, hlm. 206-207, tth. Liha Lihatt karya karya dia dia yang yang berju berjudu dull al-Mad al-Madkha khall lî al-Fiq al-Fiqh h al-Isl al-Islâm âmy: y: Târîkhuhu, Qawâ’iduhu, Mabâdi’uhu al-‘Âmmah, al-‘Âmmah, Makatabah Makatabah al-Taubah, al-Taubah, T.th. T.tp., hlm. 80-171. 80-171. Term manhaj juga manhaj juga dapat dapat diketemukan diketemukan dalam tulisan karya Abd al-Wah al-Wahhâb hâb Ibrâhi Ibrâhim m ibnu ibnu Sulaimâ Sulaimân, n, al-Fikr al-Fikr al-Usû al-Usûly: ly: Dirâsa Dirâsah h Tahlîli Tahlîliyah yah Naqdiyyah, Naqdiyyah, Makkah al-Mukarramah, Dâr al-Shurûq. 52 Lihat karyanya yang berjudul Masâdir al-Tashrî’ fi Mâ lâ Nassa Fihi, Fihi, Kuwait, Dâr al-Qalam, 1973. 53 Al-Shaukâni, Op. Cit., hlm. 173; al-Âmidi, Op Cit , Jilid II, hlm. 2. 50 51
19
Secara Secara terminolo terminologi gi terdapat terdapat beberapa beberapa divinisi divinisi al-qiyâs yang yang dike dikemu muka kaka kan n ulam ulama a usûl usûl al-f al-fiq iqh h, se seka kali lip pun redaks redaksiny inya a berbed berbeda, a, tetapi tetapi me menga ngandu ndung ng penge pengerti rtian an yang sama. Mayo Mayorit ritas as ulam ulama a Shâf Shâfi’i i’iya yah, h,54 mendefinisikan qiyâs deng dengan an :Mem :Memba bawa wa (huk (hukum um)) yang yang (bel (belum um)) dike diketa tahu huii kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menet me netapk apkan an hukum hukum bagi bagi keduan keduanya, ya, atau atau me meniad niadaka akan n huku ukum bagi bagi kedu keduan anya ya,, dise diseb babka abkan n se sesu suat atu u yang yang menyatukan keduanya, baik hukum maupun sifat. 2. Al-A l-Al-Ij l-Ijm mâ’ Dari Dari se segi gi baha bahasa sa,, al-Ijmâ’ ’ bera berart rtii kese kesepa paka kata tan n atau atau konsensus. Tapi bisa berarti pula al-‘azmu ‘alâ al-shai (ketetapan (ketetapan hati untuk untuk melakukan melakukan sesuatu). sesuatu). Perbedaan Perbedaan antara antara penge pengertia rtian n petama petama dengan dengan penger pengertian tian kedua kedua terletak pada kuantitas orang yang berketetapan hati. Peng Pe nger erti tian an pert pertam ama a me meme merl rluk ukan an teka tekad d kelo kelomp mpo ok, sedangkan untuk pengertian kedua mencukupkan satu tekad saja.55 Secara terminologi, ada beberapa rumusan al-Ijmâ’ yang al-Ijmâ’ yang dike dikemu muka kaka kan n para para ulam ulama a usûl usûl al-f al-fiqh iqh..56 Imam Imam alalGhazâli,57 merumuskan al-Ijmâ’ dengan dengan “kesepakata “kesepakatan n umat Muhammad secara khusus tentang suatu masalah agama.” Al-Âmidi58 merumuskan al-Ijmâ’ al-Ijmâ’ sebaga sebagaii “kesep “kesepaka akatan tan sekelompok ahl al-halli wa al-‘aqdi dari umat Muhammad Muhammad pada pada suat suatu u masa masa terh terhad adap ap suat suatu u huku hukum m dari dari suat suatu u peristiwa atau kasus.” Rumusan al-Âmidi ini menunjukkan bahwa yang terlibat dalam al-Ijmâ’ al-Ijmâ’ tidak seti se tiap ap oran orang, g, me mela lain inka kan n oran orang-o g-ora rang ng tert terten entu tu yang yang disebut dengan ahl al-halli wa al-‘aqdi yang bertanggung ′
Abû Hâmid al-Ghazâli, al-Mustasfâ min ‘ilm al-Usûl, al-Usûl, Beirut, Dâr alKutub al-‘Ilmiyah, Jilid II, t.t, hlm. 54. 55 Saif al-Dîn al-Âmidi, Op. Cit., hlm.101; ‘Abdul Azîz al-Bukhâri, op. Cit, hlm. 946, dan al-Shaukâni, Op. Cit., hlm. 63. 56 Ibn al-Hâjib, Op. Cit., Jilid II, hlm. 29. Tajuddin Abdul Wahhâb ibn alSubkhi, Jam’u al-Jawâmi’ al-Jawâmi’ , Jilid II, hlm. 156; Saidfuddîn al-Âmidi, Op. Cit., hlm. 101; al-Shaukâni, Op. Cit., hlm.63 dan Abdul Qâdir Ibn Badrân al-Dimashqi, Op. Cit., hlm. 128. 57 Abû Hâmid al-Ghazâli, Op. Cit., Jilid I, hlm. 110. 58 Al-Âmidi, Loc. Cit. 54
20
jawab langsung langsung terhadap terhadap umat. umat. Oleh sebab sebab itu, orang awam tidak diperhitungkan dalam proses al-Ijmâ’ . 3. Madh Madhhab hab (Qaul) (Qaul) al-Sa al-Sahâb hâby y Madhhab sahâbi atau juga sering disebut dengan istilah qaul al-sahâbi, al-sahâbi, berar berarti ti “penda “pendapat pat para para sahaba sahabatt Ras Rasul ul saw. sa w.”” yang yang dima dimaks ksud ud “pen “penda dapa patt sa saha haba bat” t” adal adalah ah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil para para ulam ulama, a, baik baik beru berupa pa fatw fatwa a maupu aupun n kete keteta tapa pan n hukum, sedangkan ayat atau hadis tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Di samping belum adanya al-Ijmâ’ para sahabat yang menetapka menetapkan n hukum hukum tersebut. tersebut. Persoalan Persoalan yang dibahas dibahas para ulama usûl al-fiqh adalah, apabila pendapat para saha sa haba batt itu itu diri diriw wayat ayatka kan n deng dengan an jalu jalurr yang yang sa sahi hih, h, apakah wajib diterima, diamalkan dan dijadikan dalil? Para Para ulama ulama usûl usûl al-fiqh al-fiqh sepaka sepakatt me menya nyatak takan an bahwa bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak bisa dinalar logika atau ijtihad, dapat dapat diterima diterima sebagai sebagai hujjah. hujjah. Ke Kemu mudi dian an para para ulam ulama a usûl usûl al-f al-fiq iqh h juga juga se sepa paka katt bahw bahwa a pend pendap apat at sa saha haba batt secara jelas, atau pendapat sahabat yang tidak diketahui ada ada yang yang me meng ngin ingk gkar arin inya ya,, dapa dapatt dija dijadi dika kan n hujjah, hujjah, sepe se pert rtii kake kakek k berh berhak ak mener enerim ima a pem pembagi bagian an hart harta a warisan 1/6 harta yang ditinggalkan si mayat. 4. Shar’u Man Qablana Shar’u man qablana berarti shari’ah sebelum Islam. Para ahli usûl usûl al-f al-fiq iqh h mem emba bah has pers perso oalan alan ini ini dala dalam m kaitannya dengan shari’ah Islam, apakah hukum-hukum yang ada bagi umat sebelum Islam menjadi hukum juga juga bagi umat Islam. Para Para ulama ulama usûl usûl al-fiqh al-fiqh sepaka sepakatt me menya nyatak takan an bahwa bahwa seluruh shari’ah yang diturunkan Allah sebelum Islam melalu me laluii para para ras rasulul-Nya Nya telah telah dibata dibatalkan lkan se secar cara a umum umum oleh shari’ah Islam. Mereka juga sepakat mengatakan bahwa bahwa pembatala pembatalan n shari’ah se sebe belum lum Islam Islam itu itu tida tidak k seca se cara ra me meny nyel elur uruh uh dan dan rinc rinci, i, kare karena na masi masih h bany banyak ak hukum-hukum shari’ah se sebe belu lum m Isla Islam m yang yang masih sih berlaku dalam shari’ah Islam, seperti beriman kepada Allah llah,, huku hukum man bagi bagi oran orang g yang yang melak elakuk ukan an zina zina,,
21
hukuman qisâs dan huku hukum man bagi agi tin tindak dak pidan idana a pencurian. Ulama Ulama Ash’ariyah Ash’ariyah,, Mu’tazilah, Mu’tazilah, Shî’ah Shî’ah,, sebagia sebagian n ulama ulama Shâfi’iyah dan salah satu pendapat Imam Ahmad ibnu Hanbal Hanbal59 mengatakan mengatakan bahwa bahwa shari’ah sebelum sebelum Islam Islam tidak menjadi menjadi shari’ah bagi bagi Ras Rasulu ulullah llah dan umatny umatnya. a. Pend Pe ndap apat at ini ini juga juga dike dikemu muka kaka kan n Imam Imam al-G al-Gha hazâ zâli, li, alÂmidi, Ibnu Hazm al-Zâhiri dan Fakhruddîn al-Râzi, ahli fiqh Shâfi’i.60 Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa apabila shari’ah se sebe belum lum Isla Islam m itu itu diny dinyat atak akan an deng dengan an dalil dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Tetapi, Tetapi, apabila apabila hukum-huku hukum-hukum m itu bersifat bersifat umum maka maka huku hukum mnya nya juga juga berl berlak aku u umum umum bagi bagi se selu luru ruh h umat umat,, seperti hukuman qisâs dan puasa yang ada di dalam alQur'an.61 5. Al-‘urf Secara Secara etimo etimolog logii kata kata ‘urf bera berart rtii “yan “yang g baik” baik”.. Pa Para ra ulama usûl al-fiqh membedakan antara adat dengan ‘‘urf ‘‘urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untu untuk k me mene neta tapk pkan an huku hukum m shar’. Adat Adat didefi didefinis nisikan ikan 62 dengan: Sesuat Sesuatu u yang yang dikerj dikerjaka akan n sec secara ara berula berulangng-ula ulang ng tanpa adanya hubungan rasional. rasional. Lihat al-Bannâni, al-Bannâni, Op. Cit., hlm. 287; Ibnu Qudâmah, Raudat alNâdzir…Op. Cit., hlm. 400. 60 Alasan mereka adalah: 1). Ketika Rasulullah mengutus Mu’âdh ibnu Jabal untuk menjadi menjadi qâdi di Yama Yaman, n, Ras Rasul ulul ullah lah berta bertany nya a kepa kepada dany nya: a: “Baga Bagaim iman ana a engk engkau au me mene neta tapk pkan an huku hukum? m? Mu’âd Mu’âdh h me menja njawa wab: b: “den “denga gan n Kitâbul Kitâbullah lah”. ”. Jika tidak tidak ada dalam dalam Kitâbûll Kitâbûllah? ah?:: “Denga “Dengan n Sunnah Sunnah Ras Rasul” ul” Dan apabila dalam Sunnah Rasul juga tidak ada?:”Saya akan berijtihad.” Rasulullah memuji sikap Mu’âdh ini. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).Dalam kisah ini rasulullah tidak menganjurkan kepada Mu’âdh untuk merujuk shari’ah sebelum Islam. Apabila shari’ah sebelum Islam menjadi shari’ah bagi umat Islam, paling tidak Rasulullah akan menganjurkan Mu’âdh untuk merujuknya apabila hukum yang ia cari cari tidak tidak terd terdap apat at dala dalam m al-Qu al-Qur'a r'an n dan dan al-S al-Sun unnah nah.. 2) Shari’ah Islam merupakan shari’ah yang berlaku untuk seluruh umat manusia, sedangkan shari’ah umat sebelum Islam hanya berlaku bagi kaum tertentu. Dalam sabda Rasulullah dikatakan: “Para “Para Nabi diutus khusus ubtuk kaumnya dan saya diutus untuk seluruh umat manusia”. (H.R. al-Bukhâri, Muslim dan al-Nasâ i) 61 Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-fiqh, al-fiqh, Op. Cit., hlm. 308. 62 Ahmad Fahmi Abû Sunnah, al-‘‘urf al-‘‘urf wa al-‘Adat fi Ra’y al-Fuqahâ` al-Fuqahâ`,, mesir, Dar al-Fikr al-‘Araby, T.th., hlm. 8. 59
′
22
Defi Defin nisi isi ini ini menu enunjuk njukka kan n bahw ahwa apab apabil ila a sebua ebuah h perbua perbuatan tan dilaku dilakukan kan sec secara ara berula berulangng-ula ulang ng me menur nurut ut huku hukum m akal, akal, tidak tidak dinam dinamak akan an adat adat.. Difin Difinis isii ini ini juga juga menunjukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat amat luas, luas, yang yang me menya nyangk ngkut ut perma permasal salaha ahan n pribadi pribadi,, seperti kebiasaan seseorang dalam tidur, makan, dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu, atau perma permasal salaha ahan n yang yang me menya nyangk ngkut ut ora orang ng banyak banyak,, yaitu yaitu sesua se suatu tu yang yang berkait berkaitan an dengan dengan hasil hasil pemikir pemikiran an yang yang baik dan yang buruk. Adat juga bisa muncul dari sebab alami, seperti cepatnya anak menjadi baligh di daerah tropis atau cepatnya tanaman berbuah di derah tropis, dan untuk daerah dingin terjadi kelambatan seseorang menjadi baligh and kelamb kelambata atan n tanam tanaman an berbua berbuah. h. Di samping itu, adat juga bisa muncul dari hawa nafsu dan kerusa kerusakan kan akhlaq akhlaq,, sepert sepertii korups korupsi, i, sebaga sebagaima imana na adat adat juga bisa muncul muncul dari kasus-kasu kasus-kasuss tertentu, tertentu, seperti seperti perubahan budaya suatu daerah disebabkan pengaruh budaya asing. Adapun ‘‘urf menurut ulama usûl al-fiqh 63 adalah: Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam perkataan perkataan maupun maupun perbuatan perbuatan.. Berdasark Berdasarkan an definisi definisi ini, Must Mustafâ afâ Ahma Ahmad d al-Z al-Zar arqâ qâ `men `menga gata taka kan n bahw bahwa a ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf . Suat Suatu u ‘urf me menur nurut utnya nya harus harus berlaku berlaku pada pada keba kebany nyak akan an oran orang g di daer daerah ah itu, itu, buka bukan n prib pribad adii atau atau kelompok kelompok tertentu tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami sebaga sebagaima imana na yang yang berlak berlaku u dalam dalam kebany kebanyaka akan n adat, adat, tetapi tetapi muncu muncull dari dari suatu suatu pemikir pemikiran an dan pengal pengalama aman, n, sepert sepertii kebiasa kebiasaan an mayor mayorita itass masya masyarak rakat at pada pada daerah daerah tert terten entu tu yang yang me mene neta tapk pkan an bahw bahwa a untu untuk k me meme menu nuhi hi keperl keperluan uan rumah rumah tangga tangga pada pada suatu suatu perka perkawin winan an bisa bisa diam iambil bil dari dari mas aska kaw win yang yang dibe iberik rikan suam suamii dan penetapan ukuran tertentu dalam penjualan makanan. 6. Al-Is l-Isti tihs hsâ ân Seca Secara ra etim etimolo ologi gi,, isti istihs hsân ân bera berart rtii “men “menya yata taka kan n dan dan meyakini meyakini baiknya baiknya sesuatu”. sesuatu”. Tidak terdapat perbedaan perbedaan pendapat ulama usûl al-fiqh dalam mempergunakan lafz Ibid., Ibid., lihat lihat juga Mustaf Mustafa a Ahmad Ahmad al-Zarq al-Zarqa, a, al-Madk al-Madkhal hal ‘Ala al-fiqh al-‘Amm, beirut, dar al-fikr, Jilid II, 1968, hlm. 840. 63
23
istihsân dalam pengertian etimologi.64 Para mujtahid juga seri se ring ng mengg enggun unak akan an isti istih hsâ sân n dala dalam m peng penger erti tian an etimologi ini seperti ucapan imam al-Shâfi’i:65 Saya menganggap baik dalam persoalan hadiah (harta setelah terjadi talak) sebesar 30 dirham.
Secara Secara termin terminolo ologi gi Imam Imam al-Baz al-Bazdaw dawii (400-4 (400-482/ 82/101 101001079 079 M, ahli ahli usûl usûl al-f al-fiq iqh h Hanâ anâfi), fi),66 mendefinisikan istihsân dengan :Berpaling dari kehendak qiyâs kepada qiyâ iyâs yang leb lebih kuat atau pengkhu khususan qiyâs berdasarkan dalil yang lebih kuat. Menurutnya, dalam kasus-kasus tertentu metode qiyâs sulit sulit untuk untuk diterap diterapkan kan,, karen karena a ‘illat ‘illat yang yang ada lemah. lemah. Oleh leh se seb bab itu itu, perl perlu u dicar icarik ikan an meto etode lain lain yang yang mengandung motivasi hukum yang lebih kuat, sehingga hukum yang diterapkan pada kasus tersebut lebih tepat dan sejalan dengan tujuan-tujuan shar’. 7. Al-Ma Al-Masla slaha hah h (Al(Al-Ist Istisl islah) ah) Dari segi bahasa, maslahah sama dengan manfaat, baik dari dari segi segi lafz maupun maupun makna. makna. Maslahah juga juga berart berartii manfa anfaat at atau atau suat suatu u peke pekerj rjaa aan n yang yang menga engand ndun ung g manf manfaa aat. t. Apab Apabila ila dika dikata taka kan n bahw bahwa a perd perdag agan anga gan n itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa perdagangan itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.67 Secara terminologi, terdapat beberapa definisi maslahah yang yang dikemu dikemukak kakan an ulama ulama usûl usûl al-fiqh al-fiqh,, teta tetapi pi se selu luru ruh h definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam al-Ghazâli al-Ghazâli68, menge engem mukak ukakan an bahw bahwa a pada pada prin prinsi sipy pya a maslahah adal adalah ah “men “menga gamb mbil il manf manfaa aatt dan dan me meno nolak lak kemudarat kemudaratan an dalam rangka rangka memelihara memelihara tujuan-tuju tujuan-tujuan an shar’ . Dengan kata lain, ulama usûl al-fiqh secara semantistik, tida idak mencapai kata sepakat dalam lam memberika ikan Al-Sarakhsi, Usûl al-Sarakhsi, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1983, Jilid II, II, hlm. 200. Lihat al-Âmi al-Âmidi, di, Op.Cit.,hlm. Op.Cit.,hlm. Jilid III, hllm. 126. 65 Al-Bannâni, Sharh al-Mahalli ‘Alâ Jam’i al-Jawâmi’ , Jilid II, hlm. 188. Lihat al-Srakhsi, Loc.Cit . 66 Abd al-‘Azîz al-Bukhâri, Kashf al-Asrâr, Op. Cit., hlm.1223, Jilid II. Lihat juga Ibn Ibn al-Hâjib al-Hâjib,, Op. Cit.,hlm. Cit.,hlm. Jilid II, hlm. 282. 67 Husain Hâmid Hasan, Nazariyât alNazariyât al-Maslahah Maslahah…. ….Op. Op. Cit., hlm. 3-4. 68 Al-Ghazâli, Al-Mus Al-Ghazâli, Al-Mustasfâ tasfâ…Op. …Op. Cit., Jilid I, hlm. 286. 64
24
bata atasa san n dan dan defi defin nisi isi tent tentan ang g apa apa se sebe bena narn rnya ya itu itu maslahah. maslahah. Namun Namun pada pada datara dataran n substa substansi nsinya nya me merek reka a bisa isa dibila ilang telah lah sampai pada satu titik itik temu penyimpulan bahwa maslahah adalah suatu kondisi dari upaya mendatangkan sesuatu yang berdampak positif (manfa’ah) manfa’ah) serta menghindarkan diri dari hal-hal yang berdimensi negatif (madarah (madarah). ).69 Al-Shâtibi membuat formulai amat falsafi : “tidak ada di duni dunia a ini suat suatu u maslahah tanpa tanpa dibarengi dibarengi mafsadah, mafsadah, sebagaimana juga tidak tergambarkan adanya mafsadah tanpa mengandung unsur-unsur maslahah di dalamnya. Maka Maka untu untuk k menen enentu tuka kan n se sebu buah ah peri perist stiw iwa a huku hukum m dian ianggap ggap sebag ebagai ai maslahah atau mafsadah, mafsadah, dikem dikembal balikan ikan kepada kepada mana mana yang yang me menun nunjuk jukkan kan angka angka dominan di antara keduanya.70 Makan dan minu inum misal isaln nya, dian ianggap sebaga agai maslahah karena karena kesulitan-k kesulitan-kesulit esulitan an (baca: (baca: mafsadah) mafsadah) dalam memperolehnya tidak menunjukkan angka lebih dominan dibanding hakikat makan dan minum sebagai kebu kebutu tuha han n manu manusi sia a se seha hari ri-h -har ari. i. Begit Begitu u juga juga haln halnya ya dengan dengan berte bertemp mpat at tingga tinggal, l, bersu bersuam amii istri istri (nikah (nikah)) dan 71 lain-lain. Al-Sh l-Shât âtib ibii se sebe bena narn rnya ya buka bukan n oran orang g pert pertam ama a yang yang membuat membuat formulasi formulasi teori maslahah dengan dengan penekatan penekatan falsafi ini. Izzuddîn ibnu ‘Abd al-Salâm (w. 660 H) dan muridn idnya al-Q l-Qarâfi âfi (w. 684 H) sebelumnya jug juga membuat peryataan senada menyangkut teori maslahah duniawiyah ini.72
C. ALQOWA’ID: SEBAGAI LOGIKA DALAM EPISTEMOLOGI
HUKUM ISLAM Pembah Pembahasa asan n al-Qaw al-Qawa’id a’id ini biasan biasanya ya tersen tersendir dirii dan terpisah dari bahasan dalam kitab-kitab ushul fiqh. Tidak Al-Âmidi, Op. Cit., Juz I, hlm. 512; dan Nadhariyat al-Maqâsid ‘Inda alShâtibi, Shâtibi, karya Ahmad al-Raisûni, hlm., 234. 234. 70 Al-Shâtibi, al-Muwaffaqat, Juz al-Muwaffaqat, Juz II, II, hlm. 25 25 dan 26. 71 Ibid. 72 lihat Izzuddin ibnu Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al Anam, Anam, Juz I, hlm. 7 dan Sharh Tanqih al-Fusûl, hlm. 38. 69
25
diket iketah ahui ui se seca cara ra past pastii mengap ngapa a pem pembahas ahasan an yang yang sebe ebenarny arnya a sanga angatt filo filoso sofi fiss ini ini selal elalu u terp terpis isa ah dari dari pembahasan dalam kitab ushul fiqh pada umumnya. Hanya beberapa kitab ushul fiqh yang memasukkan pembahasan qawa’id ini dalam pembahasannya. Pembahasan al-qawa’id ini ini dqap dqapat at dite ditem mukan ukan dala dalam m bebe bebera rapa pa kita kitab b se sepe pert rti: i: Qawa’idul Ahkam fi Masholihil Anam karya, al-manntsur fi alQawa’id karya Badruddin Badruddin al-Zarkasy al-Zarkasyi, i, al-Q al-Qaw awa’ a’id id Li Ibni Ibni Rajab karya Zaenuddin Abdurrahman Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Tahrir wa Taqrir karya Taqrir karya Ibnu Humamiddin al-Iskandary. Alal-Iskandary. Al Asybah Asybah wa al-Nadhair al-Nadhair karya karya Al-Suyuthi, al-Fushul fi al-Ushul dan lain-lain.73 Al-qawa’id jama’ dari al-qa’idah sering diterjemahkan sebagai kaidah. Dan makna kaidah dalam bahasa indonesia diartikan sebagai patokan dasar. Paling tidak terdapat tiga jenis qawa’id qawa’id berdasark berdasarkan an pada posisi posisi epistemikn epistemiknya. ya. Yaitu al-q al-qaw awa’i a’id d al-Us al-Ushu huliy liyya yah, h, al-qa al-qawa wa’id ’id al-fiq al-fiqhi hiya yah h dan dan alQawa’id al-Fiqhiyah dan al-qawa’id al-lughawiyah. al -lughawiyah. 1. AL-QAWA AL-QAWA’ID ’ID AL-US AL-USHUL HULIYAH IYAH Qawa’id ini bekerja pada level ushul atau dalam istilah logika disebut premis mayor. Penyebutan ini sebenarnya kurang akurat karena ada perbedaan antara logika dalam filsafat dengan logika dalam epistemologi Hukum Islam. Contoh dari qawa’id ini adalah: a. Al-As Al-Ashlu hlu fi al-Amr al-Amrii li al-Wu al-Wujub jub.. Artin Artinya ya asa asall muasa muasall semua perintah adalah menunjukkan kewajiban. Hal ini karena perintah pada dasarnya adalah menuntut yang yang diperi diperinta ntah h untuk untuk me melaku lakukan kan suatu suatu perbua perbuatan tan.. Misal aqimussholah. aqimussholah. b. Al-Aslu Al-Aslu fi al-Asy al-Asyya’ ya’ al-Ibahah al-Ibahah hatta hatta yadulla yadulla al-dalilu al-dalilu ala ala tahrimihi. Artinya segala sesuatu pada hukum asalnya adalah serba boleh, sampai kemudian ada dalil yang mengh enghar aram amka kann nnya ya.. Misa Misal: l: kham khamrr pada pada awal awalny nya a adalah mubah tapi kemudian ada dalil yang mengahramkannya mengahramkannya sehingga menjadi haram. 2. AL-QAWA AL-QAWA’ID ’ID AL-FIQHI AL-FIQHIYAH YAH Qawa’id Qawa’id yang yang kedua kedua ini bekerj bekerja a pada pada level level furu’iy furu’iyyah yah fiqhi fiqhiya yah. h. Ini Ini tidak tidak bisa bisa dise disebu butt prem premis is mino minorr se sepe pert rtii 73
Lihat CD ROM al-Maktabah al-Syamilah al-Ishdar al-Tsani. al-Tsani.
26
dalalm logika karena memang sangat berbeda. Contoh dari qawa’id ini adalah: 1. Al-yaqin laa yuzaalu bi al-syak. Keyakinan tidak bisa dihi dihilan langk gkan an deng dengan an kera keragu guan an.. Misa Misal: l: yang yang se serin ring g dico iconto ntohkan kan adal adalah ah keti ketika ka mau shola holatt muncu uncull keraguan apakah batal atau tidak. Di sisi lain ada keyakin akinan an bahw ahwa wudlu telah lah dila ilakuk kukan. Maka kepu keputu tusa san n tida tidak k bata batall mung mungkin kin ditem ditempu puh h deng dengan an alas alasan an.. Bata Batall apa apa tida tidak k adal adalah ah kera keragu guan an.. Wudh Wudhu u adalah kepastian. Maka keraguan apakah sudah batal atau tidak tidak dapat menghapus keyakinan bahwa ia telah bersuci dengan wudhu. 2. Al-Dha Al-Dharur ruratu atu tuqadd tuqaddaru aru biqada biqadarih riha. a. Artiny Artinya a keadaa keadaan n dharurrat itu ukurannya adalah keadaan dharurat itu send se ndir irii dalam dalam arti arti se secu cuku kupn pnya ya.. Ka Kalau lau suda sudah h tida tidak k dharurat lagi maka keadaan dharurat hilang. Misalnya peng penggu guna naan an obat obat bius bius dan dan psiko psikotr trop opik ika a yang yang lai lain n untuk proses operasi. 3. AL-QAWA AL-QAWA’ID ’ID AL-LUG AL-LUGHAW HAWIYAH IYAH Qawa’id yang ketiga ini bekerja pada level semantik dan gram gramat atik ika a atau atau ling lingui uist stik ika. a. Ilmu Ilmu nahw nahwu u dan dan shar sharaf af menjadi instrument yang dominan. Misal Ma’anil Huruf. 1. Huruf uruf wawu awu kada kadang ng berf berfun ungs gsii se seba baga gaii ma’iy a’iyah ah sehing sehingga ga berart berartii dijumla dijumlahka hkan n kadang kadang me menga ngandu ndung ng arti “au” (atau). 2. Huruf uruf Ts Tsum umm ma dan dan Fa’ Fa’ me mesk skip ipun un sa sama ma-s -sam ama a ataf ataf teta tetapi pi me memi milik likii makn makna a dan dan fung fungsi si yang yang berb berbed eda. a. Tsumma Tsumma mengandun mengandung g arti kemudian kemudian dan menunjukkan ada jeda antara athif dan ma’thufnya. Sedangkan Fa’ mengandung makna kemudian tetapi menun me nunjuk jukkan kan sebab sebab akibat akibat dan tanpa tanpa adanya adanya jeda jeda antara atif dan ma’thufnya. Pembahasan yang sangat filosofis dari epistemologi hukum Isla Islam m ini ini se sebe bena narn rnya ya terl terlet etak ak di dala dalam m pemb pembah ahas asan an alalqawa qawa’id ’id ini. ini. Untu Untuk k dua dua kate katego gori ri qawa qawa’id ’id yang yang pert pertam ama a menun me nunjuk jukkan kan bagaim bagaimana ana hukum hukum isla islam m dibang dibangun un dengan dengan post postul ulat at-p -pos ostu tulat lat yang yang sa sang ngat at kaya kaya,, yang yang hal hal ini ini tida tidak k dijumpai di dalam kajian filsafat hukum manapun. Adapun qaw qawa’id a’id yang yang keti ketiga ga mes eski kipu pun n lebi lebih h dom dominan inan se seba baga gaii insrument kebahasaan cukup memegang peranan penting
27
dalam lam for formulasi dikesampingkan.
hukum
Islam,
sehing ingga
tidak
bisa
D. MADZHAB-MADZHAB EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM
Usûl Usûl al-f al-fiq iqh h (bac (baca: a: epis episte tem molog ologii Huku Hukum m Isla Islam m) merupakan representasi dari cabang ilmu Islam di mana formalitas metode dan gaya dalam presentasinya tampak menonjol.74. Adap Adapun un pers persoa oalan lan yang yang palin paling g pent pentin ing g dan dan mendasar dari usûl al-fiqh adalah persoalan epistemologi, kare karena na epist epistem emol olog ogii me memb mbah ahas as pers persoa oala lan n yang yang palin paling g mend me ndas asar ar dari dari pemi pemikir kiran an huku hukum m Islam Islam,, yait yaitu u pers persoa oalan lan sumber dan justifikasinya. Berdasarkan data sejarah, kajian atau pemahaman ajar ajaran an (bac (baca: a: epis episte temo molo logi gi huku hukum) m) dala dalam m Islam Islam se selal lalu u bertumpu pada upaya bagaimana memahami wahyu, dan wahyu itu sendiri berupa teks (nass ( nass)) baik al-Aqur’an maupun al-Hadis. Karena itu, semua karya-karya usûl al-fiqh sejak dahulu dahulu hingga hingga sekara sekarang ng pada pada dasarn dasarnya ya sel selalu alu beran berangka gkatt dari dari upayaupaya-upa upaya ya me memah maham amii sebuah sebuah nass, nass, dan itu juga yang terlihat pada pemikiran usûl al-fiqh sejak masa klasik sepe se pert rtii yang yang diaj diajuk ukan an oleh oleh Mâlik Mâlik,, Abû Abû Ha Hanîf nîfah ah (sep (seper erti ti terl terliha ihatt pada pada kary karyaa-ka kary rya a muri muridn dnya ya Shaib Shaiban any y dan dan Abû Abû Yûsuf) Yûsuf)75, al-Shâfi’i76, Ahmad Ibnu Hanbal77, al-Ghazâli78, al74
1964, 84.
N.J. Coulson, A Coulson, A History of Islamic Islamic law, law, Edinburg, Edinburg University,
Norman Norman Calder, Studie Studiess in Early Early Muslim Muslim Jurispr Jurisprude udence nce,, Oxfo Oxford, rd, Clarendon Press, 1993. 76 Baca antara lain Muhammad ibn Idrîs al-Shâfi’iy, al-Risâlah, al-Risâlah, Kairo, Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1940/1358; Wael B. Hallaq, “Was al-Shafi’i the Master Architect of Islamic Jurisprudence”, dalam International Journal of Midle East Studies 25, 25, 1993, hlm. 587-605; Ahmad Hassan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Jurisprudence, Islamabad, Islamic Research Institut, 1988, hlm. 178-220; George Makdisi, “The Juridical Theology of Shafi’i: Origins and Significance of Usûl al-fiqh” al-fiqh” dalam Studia Islamika 59, 59, 1984, hlm. 4-57; Norman Calder, Op. Cit . 77 Lih. Muhammad ibn ‘Alawwi ibn ‘Abbâs al-Mâliki, Sharî’atullâh alKhâlidah: Dirâsât fî Târîh al-Tashrî’ al-Ahkâm wa Madhâhib al-Fuqahâ al-A’lâm, al-A’lâm, Makkah, Matba’ah al-Rashîd, 1992, hlm. 236-238. George Makdisi, “The Hanbali School and Sufism”, dalam Humaniora Islamica 11, 11, 1974, hlm. 61-72. 78 Abû Hâmid al-Ghazâli, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Usûl, al-Usûl, Beirut, Dâr alKutub al-‘Ilmiyah, 1983. 75
28
Âmidi79, al-Shâ al-Shâtib tibii80, dan dan juga juga pemi pemiki kira ran n huku hukum m mode modern rn seperti yang diajukan Mahmûd Shaltût81, Yûsuf al-Qardawi82, ‘Ali ‘Ali Shari’a Shari’ati ti83, Mahm Mahmud ud Muha Muhamm mmad ad Ta Taha ha dan dan murid muridny nya a Abdu Abdulla llahi hi Ahme Ahmed d al-Na al-Na’im ’im84, Nasr Hamid Abu Zaid85, Muhammed Arkoun86, termasuk juga Muhammad Shahrur 87. Pertan Pertanyaa yaan n di depan depan pada pada pembah pembahasa asan n ontolo ontologi gi hukum hukum Islam Islam me menja njadi di relev relevan an,, apak apakah ah se sebu buah ah gaga gagasa san n kajia kajian n hukum Islam yang secara epistemologis tidak dimulai dari dan atas cara-cara memahami teks, seperti terlihat pada gagasan al-Tûfy88, bisa digolongkan pada kajian usûl al-fiqh? al-fiqh? Ini me meme merluk rlukan an perenu perenunga ngan n yang yang sunggu sungguh-s h-sung ungguh guh dari dari
Sayf al-Dîn al-Âmidi, Kitâb al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm, al-Ahkâm, Kairo, Dâr alKutub al-Khidiwiyah, 1914. 80 Abû Ishâq Ibrâhîm al-Shâtibi, al-Muwaffaqât fî Usûl al-Sharî’ah, al-Sharî’ah, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah; al-I’tisâm, al-I’tisâm, Kairo, al-Maktabah al-Tijâriyah; Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishak al-Syatibi’s Life and Thought , Islamabad, Islamic Research Institut, 1977; Wael B. Hallaq, “The Prima Primacy cy of The The Qur’a Qur’an n in Shat Shatib ibi’s i’s Lega Legall Theo Theory” ry”,, dala dalam m Islamic Islamic Studies Studies Presented to Charles J. Adams, Adams, Donald p Little dan Wael B. Hallaq (Ed.), E.J. Brill, 1991, hlm. 69-90, “On Inductive 81 Baca karyanya al-Islâm: Aqîdah wa Sharî’ah, Sharî’ah, Mesir, Dâr al-Qalam, t.t. 82 Yûsuf al-Qardawi, al-Ijtihâd fî al-Sharî’ah al-Islâmiyah Ma’a Nazarât Tahlîliyah fî al-Ijtihâd al-Mu’âsir , Kuwait, Dâr al-Qalam, t.th. 83 Ali Syari’ati, On The Sociology of Islam, Islam, Hamid Algar (terj.), Berkeley, Mizan Press, 1979, hlm. 39-69. 84 Konsep naskh yang yang umum umum bisa bisa dibaca dibaca dalam dalam Muhamm Muhammad ad Abû Zahrah, Op.cit.,, Op.cit.,, hlm. 184-197. Sedangkan konsep naskh baru baca Mahmud Muhammad Toha, The Second Message of Islam, Islam, Abdullahi Ahmed al-Na’im (terj.), Syracuse, Syracuse University Press, 1987. Pikiran Toha ini kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya dan semakin hari semakin mendapat perhat perhatian ian kalanga kalangan n ahli Islam; Islam; baca baca misaln misalnya ya Abdulla Abdullahi hi Ahmed Ahmed al-Na’i al-Na’im, m, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, Law, Syracuse, Syracuse University Press, 1990. 85 Nasr Hamîd Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, al-Qur’ân, Beirut, al-Markaz al-Saqâfi al-‘Araby, 1994; Naqd al-Khitâb al-Dîniy , Kairo, Sinâ li al-Nasr, 1992. 86 Baca Muhammad Muhammad Arkoun, Arkoun, Rethinking Rethinking Islam: Islam: Common Common Questions, Questions, Uncommon Answers, Answers, Boulder, Westview Press, 1994; Nalar Islami dan Nalar Modern, Modern, Rahayu S. Hidayat (terj.), Jakarta, INIS, 1994. 87 Baca Muhammad Shahrur, al-Kitâb wa al-Qur’ân: Qirâ’ah Mu’âsirah, Mu’âsirah, Kairo, Sinâ li al-nasr, 1992; untuk analisa terhadap karya tersebut baca Wael B. Hallaq, A Hallaq, A History History of Islamic Islamic Legal Legal Theory: Theory: An Introduct Introduction ion to Sunni Sunni Ushul al-Fiqh al-Fiqh, Cambridge, Cambridge University Press, 1997, hlm. hl m. 245-253. 88 Lih. Al-Tûfy, “Sharh “Sharh al-‘Arba’în al-‘Arba’în al-Nawawiya al-Nawawiyah h” dalam Mustafa Zaid, al-Mas al-Maslah lahah ah fi al-tash al-tashrî’ rî’ al-Islâ al-Islâmy my . Ka Kairo iro,, Ka Kairo iro Unive Universi rsity ty,, 1964 1964.. Al-Tû Al-Tûfy fy mengatakan bahwa selain nass dan ijma’masih ada sumber hukum islam yang lain yaitu maslahah – yang menurutnya bisa diketahui lewat akal -, bahkan maslahah ini ia nilai sebagai masâdir tertinggi. masâdir tertinggi. 79
29
para ahli hukum Islam serta mereka yang menekuni studi epistemologi hukumnya. Bagaimanapun juga, harus diakui bahwa epistemologi hukum Islam cenderung menyesuaikan diri untuk menguji polapola-po pola la yang yang ada, ada, dari dari pada pada me menc ncipt iptak akan an kelo kelomp mpok ok-89 kelompok teori yang berbeda. Dalam wacana usûl al-fiqh konvensional90, epist epistem emol olog ogii huku hukum m Islam Islam dala dalam m trad tradisi isi sunni sunni me menga ngacu cu kepada kepada dua sumbe sumber, r, yaitu yaitu al-Qur al-Qur’an, ’an, alHadis, dan beberapa manhaj berfikir seperti Ijma’ dan Qiyas dan lain-lain. lain-lain.91 Sumber utama adalah al-Qur’an, bila suatu kasus hukum tidak terdapat dalam al-Qur’an maka dicari dalam dalam hadi hadiss atau atau deng dengan an ca cara ra analo analogi gi deng dengan anny nya. a. Dan Dan apabila terjadi pertentangan antara al-Hadis dan al-Qur’an, maka al-Hadis harus tunduk kepada al-Qur’an, karena hadis tidak bisa menaskh menaskh al-Qur’an, demikian juga sumber hukum Islam lainnya harus tunduk dan dikembalikan kepada alQur’an Qur’an.. Namun Namun me menur nurut ut al-Tûf al-Tûfy, y, bila bila terjad terjadii kontra kontradik diksi si antara nass dan dan peme pemelih lihar araa aan n maslahah, maslahah, maka pemeliharaan maslahah harus didahulukan dari pada nass, nass, bukan dengan jalan pembatalan nass tetapi dengan jalan takhsîs atau bayân sebagaimana fungsi hadis terhadap alQur’an.92 Dan Dan dala dalam m trad tradis isii madhhab Hanbali, nass mene enempati ati posi posisi si dan dan pera peran n yang yang amat vita ital dala dalam m epistemologi hukum Islam.93 Tentang Tentang masâdir al-tashri’ di al-tashri’ di atas, al-Tûfy memberikan limitasi ruang lingkup nass hanya pada masalah-masalah ‘ibadah dan adapun masalah mu’amalah adalah lapangan akal dan hukum adat. Al-Tûfy mengatakan: Sesungguhnya kami telah lah gamb ambarkan bahwa maslahah berope beroperas rasii pada pada bidang bidang mu’âmalah dan sejenisnya, bukan pada bidang ‘ibâdah atau Abu Husayn Husayn al-Bas al-Basri, ri, al-Mu al-Mu’ta ’tama mad d fî Usûl Usûl al-Fi al-Fiqh qh,, Muhamm Muhammad ad Hamdullah et. al. (Ed.), Damasqus, 1964-1965. 90 Penyebutan konvensional disini untuk menunjuk sifat dari konvensi yait yaitu u se sebu buau auh h kese kesepa paka kata tan n yang yang tida tidak k tert tertul ulis is.. Sehi Sehing ngga ga ushs ushsul ul fiqh fiqh konvensional berarti ushul fiqh yang memiliki kesamaan esensial, dalam hal ini kesepa kesepakat katan an bahwa bahwa al-Qur’ al-Qur’an an dan al-Sunn al-Sunnah ah adalah adalah sumber sumber utama utama dalam dalam hukum Islam. 91 N.J. Coulson, Op.cit., hlm. 55-60, 78. Lih juga Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, Law, Oxford, Clarendon Press, 1964, hlm. 114-115. 92 Lih. Al-Tûfy, “Sharh “Sharh al-‘Arba’în al-‘Arba’în al-Nawawiya al-Nawawiyah h” dalam Mustafa Zaid, al-Maslahah fî al-Tashrî’ al-Islamy wa Najmuddîn al-Tûfy, hlm. 209. 93 Lih. Muhamad ‘Alawy, Sharî’atullah…, Op. Cit., Cit., hlm. 236-238. 89
30
semisalnya, karena bidang ‘ibâdah ‘ibâdah adalah hak khusus shar’ …adapun …adapun maslahah merupakan siyâs siyâsat atu u almukallaf (strategi mukallaf (strategi mukallaf ) dalam (menjaga) hak-hak mereka, dan maslahah tersebut merupakan hal atau sesua se suatu tu yang yang dapat dapat diketah diketahui ui ole oleh h me merek reka a me melalu laluii 94 hukum al-‘âdah dan hukum akal. Perrnyat Pe nyataa aan n ters terse ebut but merup erupak akan an taw tawaran aran yan yang menarik karena selama ini epistemologi hukum Islam selalu mengacu kepada nass. nass. Apa yang ditawarkan oleh al-Tûfy ini merup me rupaka akan n tawara tawaran n yang yang dekon dekonstr strukt uktif if 95, karena akan membongkar pondasi yang paling dasar dari epistemologi hukum Islam konvensional. Merupakan hal yang menarik di tengah-tengah upaya ulama ulama kontem kontempor porer er dalam dalam me melaku lakukan kan reform terhadap huku hukum m Isla Islam m. Ada bebe bebera rap pa pem pemikir ikir progr rogre esif sif yang yang mencoba mendekonstruksi96 pola pikir umat Islam, seperti Fazlur Fazlur Rahma Rahman n dengan dengan teori teori doble movement movement nya nya dan ia juga ingin meyakinkan meyakinkan umat Islam bahwa bahwa yang terpenting terpenting 97 dari nass (al-Qur’an) adalah pesan moralnya, bukan bunyi ujarnya. Dalam hal ini Rahman tampak sudah berani keluar dari bunyi nass dan berpaling kepada ide moral dari nass. nass. Demi Demiki kian an juga juga deng dengan an Abdu Abdulla llahi hi Ahme Ahmed d al-N al-Na’i a’im m yang yang menco me ncoba ba me mende ndekon konstr struks uksii konse konsep p naskh konvensional deng dengan an ca cara ra me menaskh naskhkan kan nass-nass nass-nass madaniyyah madaniyyah dengan nass-nass makkiyyah. makkiyyah.98 Najmuddin al-Tûfy, Op. Cit ., ., hlm. 240. Dekonstruksi adalah suatu demonstrasi tentang ketidaklengkapan atau ketidakkoherenan dari suatu posisi filosofis dengan menggunakan konsepkonsep atau prinsip-prinsip argumen yang makna dan fungsinya hanya diakui oleh posisi filosofis tersebut. Robert Audi (Ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy , 2nd Edition, Cambridge, Cambridge University Press, 1999, hlm. 209. 96 Deko Dekons nsttruks ruksii seca secara ra bahas ahasa a berar erarti ti disassemble, disassemble, atau pembongkaran. Namun dekonstruksi di sini diartikan sebagai pembebasan diri dari kekuasa kekuasaan an dan otorita otoritass sebuah sebuah wacana wacana.. Tentang Tentang penger pengertia tian n ini lihat lihat Muhammad Abed al-Jâbiri, Post Tradisionalisme Islam, Islam, Ahmad Baso (Terj.), LkiS, Yogyakarta. Yogyakarta. 2000, 2000, hlm. 35. Lihat pula Noeng Muhadjir, Muhadjir, Filsafat Ilmu: Telaah Sistematis Fungsional Komparatif , Edisi I, Yogyakarta, Penerbit Rake Sarasin, 1998. 97 Lih. Fazlurrahman, Islam, Islam, Chicago, University of Chicago Press, 1979. 98 Al-Na’im mengajak para ilmuan untuk menelaah balik epistemologi hukum Islam yang mendasarkan pada ayat-ayat Madaniyah yang konfrontatif, disk diskri rimi mina nati tiff diga digant ntii deng dengan an ayat ayat--ayat ayat Maki Makiyy yyah ah yang yang me meng ngan andu dung ng universalisme Islam. Ayat-ayat Madaniyah mendiskriminasikan wanita, bersifat konfron konfrontat tatif if terhada terhadap p non-m non-musli uslim m dan sifat sifat sektaria sektarian n lain, lain, sehingg sehingga a perlu perlu dibangun kembali fiqh dengan mendasarkan pada ayat-ayat Makkiyah yang universal. universal. Baca Abdullahi Ahmed al-Na’im, Toward Toward an Islamic Islamic Reformatio Reformation n, 94 95
31
Stru Strukt ktur ur epist epistem emol olog ogii Huku Hukum m Islam Islam konv konven ensio siona nall dibandingkan dengan epistemologu alternatif al-Tufy dapat dilihat pada ilustrasi berikut99. SKEMA EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM KONVENSIONAL Unifikasi ‘Ibâdah-Mu’âmalah Al-Qur’an Al-Qur’an dan Al-Sunnah Al-Sunnah (Mashadir)
Al-Ijmâ’ Al-Ijmâ’ Al-Qiyâs Al-Qiyâs Manahij lain Manahij lain Al-Qawa’id
HUKUM ISLAM HUKUM BIDANG MU’ÂMALAH HUKUM BIDANG IBADAH
SKEMA EPISTEMOLOGI HUKUM ISLAM NAJMUDDÎN AL-TÛFY
Defersifikasi ‘Ibâdah-Mu’âmalah ‘Ibâdah-Mu’âmalah
(al-ta’wîl ‘alâ al-nass fî al-‘ibâdah dan al-ta’wîl ‘alâ al-maslahah fî al-mu’âmalah) ‘Ibâdah al -Nass dan al-Ijmâ’ serta dalil lain
jika suatu ni’mah Hukum Islam jika
Maslahah dalam arti akhsîs dan bayân Mu’âmalah
t al-Maslahah
Ahmad Suaidy dan Amiruddin Arrani (terj.), Dekonstruksi Syari’ah, Syari’ah, Yogyakarta, Lkis, 1997. 99 Nur Aris, Op. Cit., hlm. 218-219. Dalam usul al-fiqh konvensional selain al-nass al-nass dan alal-ijmâ’ tidak bisa masuk dalam bidang ‘ubûdiyyah ‘ubûdiyyah,, seperti seperti halnya al-qiyâs al-qiyâs.. Dalil-dalil yang ada dalam kotak tidak boleh keluar/bertentangan dengan alal-nass, nass, semuanya harus tetap dalam koridornya.
32
Hukum Rasio Hukum Kebiasaan
Dari skema tersebut dapat dilihat bahwa bahwa masâdir di dalam fiqh konvensional semuanya masuk dalam lingkaran (koridor) al-nass, al-nass, serta tidak ada pemisahan antara ‘ibâdah ‘ ibâdah dan mu’âmalah, mu’âmalah, kedu kedua a bidan idang g hukum ukum ini ini samaama-sa sam ma mengacu ke al-nass dan dalil-dalil yang ada di bawahnya. Sedang Sedangkan kan pada pada skema skema pemikir pemikiran an al-Tûfy al-Tûfy terliha terlihatt bahwa bahwa maslahah terlepas dari al-nass dan bidang garapnya juga berbeda. Al-Nass Al-Nass dijad ijadik ikan an sa sand ndar aran an bida bidang ng ‘ibâdah sementara maslahah dijadikan sandaran bidang mu’âmalah. mu’âmalah. Garis putus-put putus-putus us menandakan menandakan adanya kesadaran kesadaran al-Tûfy al-Tûfy bahwa al-nass dan al-Ijmâ’ juga juga menga engatu turr mas asal alah ah mu’âmalah, mu’âmalah, sehingga kemungkinan terjadi persinggungan. Menuru Menurutt al-Tûfy al-Tûfy persing persinggun gungan gan itu bisa bisa sel selara arass dan bisa bisa pula tidak. kalau selaras tidak masalah, tetapi kalau tidak selaras maka dikembalikan pada masâdir yang masâdir yang sebenarnya, yaitu maslahah, maslahah, namun amun ia memberik erikan an catat atatan an agar gar pengembalian itu dianggap sebagai takhsîs atau bayân. bayân. Meskipun dalam epistemologi hukum Islam konv konven ensi sio onal nal tam tampak pak se sera raga gam, m, se sesu sung nggu guhn hnya ya tida tidak k demikia demikian. n. Ka Karen rena a di tengah tengah-te -tenga ngah h kesepa kesepakat katan an me merek reka a dalam posisi epistemik al-Qur’an dan al-Sunnah tensi dan kont kontet etas asii anta antarr berb berbag agai ai gaga gagasa san n di dala dalamn mnya ya sa sang ngat at dinamis. is. Ambil contoh saja bagaima imana te3rdqapat perbedaan sistem logic antara Imam Hanafi, Imam Malik dan Imam Imam al-Syaf al-Syafi’i. i’i. Oussam Oussama a Arabi Arabi me meme metak takan an sistem sistem logic logic ketiga master di dalam epistemologi hukum Islam tersebut deng dengan an ca cara ra yang yang baru baru dan dan cuku cukup p me mena nari rik. k. Ia mamp mampu u melih elihat at se sesu suat atu u yang yang selam elama a ini ini tid tidak terli erlih hat oleh leh akademisi pada umumnya atau agak kabur, dan dia melihat ketiganya dengan cara yang bebeda. Oussam Oussama a me membu mbuat at kateg kategori ori mazha mazhab b episte epistemo molog logii hukum hukum Islam Islam awal awal ini dengan dengan me mengh nghkai kaitka tkan n sikapsikap-sik sikap ap personal dan ungkapan-ungkapan personal dari serta aspeka spek-
33
aspek yang hidden, namun beberapa juga berdasarkan teks yang ada. Pertama, Oussama mengenalkan: 1. Critical Constructivism Abu Hanifah100 Sistem Logic yang ditawarkan Abu Hanifah adalah bahwa Hukum Islam dapat berubah setiap saat secara kritis, dan akan selalu dibangun dengan bangunan yang baru. 2. Pluralistic Pragmatism Imam Malik101 Malik menawarkan sistem logic bahwa Hukum Islam yang dipraktrikan bersifat variatif dan setiap kaum meyakini dan lekasan lekasanaka akan n apa yang yang me merek reka a yaknin yaknini. i. Sehing Sehingga ga hukum Islam bisa sangat beragam sesuai dengan daerah beragam pula. 3. Skeptical Hermeneutics Imam Syafi’i102 Sistem logic yang ditawarkan oleh al-Syafi’i, mene me nemp mpat atka kan n Huku Hukum m Islam Islam pda pda posi posisi si yang yang skep skeptis tis karena hukum Islam telah ada semuanya di dalam alnass (al-Qur’an dan al-Sunnah). Dengan metode qiyasnya hukum menjad jadi tetap meskipu ipun persoalan lan baru bermunculan. D. AXIOLOGICAL103 REVIEW: AL-MASLAHAH SEBAGAI NILAI
UNIVERSAL DALAM HUKUM ISLAM Berb Berbica icara ra tent tentan ang g aksi aksiol olog ogii se sebe bena narn rnya ya berb berbic icar ara a tentang teori nilai. Theory of value (the desired, preferred, good), investigation of its nature, criteria, and metaphysical status. Dalam aksiologi dikenal ada beberapa macam nilai seperti baik dan buruk, sarana dan tujuan, nilai aktual dan nilai potensial. Jenis nilai di dalam kajian ini yang memiliki koherensi logis adalah baik dan buruk serta ends dan meas (sarana dan tujuan). Kaita Ka itann nnya ya deng dengan an ilmu ilmu maka maka pemb pembah ahas asan anny nya a di arahkan apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak? Apabila anal analis isis is ini ini dite ditera rap pkan kan di dalam alam huku ukum Isla Islam m maka aka Oussama Arabi, The Early Islamic Legal Philosophy , University OF California, 1999, hlm. 27-29 101 Ibid.,hlm. 29-30 102 Ibid., hlm. 31-34 103 Axiology berasal dari bahasa Yunani bahasa Yunani axiā, "valu "value, e, wort worth"; h"; and, and, -logia -logia)) is the study of quality or value value.. It is often thought to include ethics and aesthetics.. Lihat Ontology, dalam www.wikipedia.com aesthetics 100
34
jawabannya jawabannya pasti. pasti. Bahwa Bahwa hukum hukum Islam tidak tidak munkgin munkgin bebas bebas nilai karena nilai merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dari huku hukum m Islam Islam.. Nilai Nilai baik baik dan dan buru buruk k me menj njad adii pija pijaka kan n ketika para fuqaha membagi beberapa macam hukum (efek nilai) nilai) dari dari perbua perbuatan tan mukall mukallaf, af, yaitu yaitu haram haram dan makru makruh h mengandung nilai keburukan. Wajib dan sunnah mengandung nilai kebaikan104. Berkaitan dengan ends dan means, hukum Islam pada dasa dasarn rnya ya adal adalah ah inst instru rum men (mea (means ns)) untu untuk k me menc ncap apai ai kem kemas asla laha hata tan n manus anusia ia.. Dan Dan mas asla laha hah h adal adalah ah unsu unsurr instrinsik yang menjadi tujuan (ends) dari hukum Islam itu sen se ndiri diri.. Bebera berapa pa kon konse sep p tela telah h diin iintro trodusi dusirr unt untuk menformulasikan aksiologi hukum Islam ini. Misalnya adalah al-Syatibi yang terkenal dengan sebutan Bapak Maqashid alSyari’ah. Nash sendiri dengan tegas menyebiutkan bahwa diutusnya Rasul tidak lain adalah untuk menciptakan rahmat untuk alam semesta ini (wa (wa maa arsalnaka illa rahmatan lil alamin). alamin). atau dari sebuah hadits Rasul yang menegaskan tidak tidak boleh boleh bahaya bahaya dan me memba mbahay hayaka akan n (laa laa dhar dharar ar wa dhirar ). ). Untuk hadits ini menurut al-Tufy adalah kunci dari agama Islam. Kita tidak boleh membahayakan diri sendiri dan me menba nbahay hayan an ora orang ng lain. lain. Mafhu Mafhum m mukha mukhalaf lafah ah adalah adalah kita diperintahkan untuk menciptakan maslahah pada diri sendiri dan pada orang lain. Sebenarnya kalau dicermati, antara rahmah dan maslahah adalah sesuatu yang sama dalam bahasa yang berbeda.
DAFTAR PUSTAKA Pembahasan aksiologis seperti ini sulit ditemukan di dalam kitabkitab ushul fiqh. penulis hanya baru menemukan bahsan seperti ini di dalam kitab al-Mu’tamad karya Abu Husain al-Basri al-Mu’tazili. Lihat pernyataannya 104
35
Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishaq al-Syatibi’s al-Syatibi’s Life and Thought Thought . Islamabad: Islamic Research Institute, 1997. Wael B Hallaq, A Hallaq, A History History of Islamic Islamic Legal Theories: Theories: An Introd Introduction uction to Sunni Usul Fiqh, Fiqh, Cambrige University Press, 1997. www.wikipedia.com. Alasda Alasdair ir Macinty Macintyre, re, Ontology , dala alam The Encyclop lopaedia of Philosophy, Kanada: Mac Millan, 1972. Hart, HLA, The Concept of Law, Law, 2nd Edition, New York, Oxford University Press, 1997. Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, Indonesia, Raja Grafindo Persada: Jakarta, Jakarta, 1997. 1997. Oussama Arabi, The Early Islamic Legal Philosophy , University OF California, 1999. Ahmad Hasan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Jurisprudence, Pakistan: Islamic Research Institute, 1988. Fazlurrahman, Islm Islmic ic Meod Meodol olog ogy y in Hist Histor ory y , Ka Kara rach chi: i: Ce Cent ntra rall Institute of Islamic Research, 1965. Al-Mu’tama Al-Mu’tamad d dalam CD ROM Almakatab Almakatabh h al-Syamilah al-Syamilah al0Isdar al Tsani Tsani Abdul Abdul Wa Wahha hhab b Khalaf Khalaf,, Ilmu Ilmu Ushul Ushul al-Fiq al-Fiqh, h, al-Dar al-Dar al-Kuwa al-Kuwaitiy itiyah: ah: Kairo, 1968. Jorge JE Gracia, Gracia, A Theory of Textuality ity: The Logic and Epistemology , Stat State e Unive Univers rsity ity of Ne New w Yo York rk:: New Yo York rk,, 1995. Karl R Popper dalam bukunya The Logic of Scientific Discovery . R. Audi (Ed.), The Cambridge Dictionary of Philosphy , 2nd Edition, Cambridge, Cambridge University Press, 1999 Miska M. Amien, Epis Episte temo molo logi gi Isla Islam m: Pe Peng ngan anta tarr Fils Filsaf afat at Pengetahuan Islam, Jakarta, UI Press, 1983. Juhaya Juhaya S. Praja, Praja, Aliran-Alira Aliran-Aliran n Filsafat dan Etika, Etika, Bandung, Yayasan Puara, 1997. Dagobert D. Runes, et,. All., Dictionary of Philosophy: AncientMedievel-Modern, Medievel-Modern, New Jersey, Littlefield Adams C.O., 1963. Louis O. Kattsof, Pengantar Filsafat , Soejono Soemargono (Terj.), Yogyakart Yogyakarta, a, Tiara Tiara Wacana, Wacana, 1996. 1996. M. Amin Amin Abdul Abdullah lah,, “Aspek “Aspek Episte Epistemo molog logis is Filsafa Filsafatt Islam” Islam”,, dalam dalam Irm Irma fati fatim mah (Ed. (Ed.), ), Fils Filsaf afat at Islam Islam:: Ka Kajia jian n Onto Ontolog logis is,, Epistemo Epistemologis, logis, Historis, Historis, Perspektif Perspektif , Yo Yogya gyakar karta, ta, Lembag Lembaga a Studi Filsafat Islam, 1992. Nur Aris, Epistemologi Hukum Islam Najmuddin Al-Tufy , Tesis tidak dipublikasikan, IAIN Walisongo, Semarang, 2001, hlm.22 al-Zarkashi, Badruddin Muhammad ibn Bahadur ibn Abdillah alShâfi’i, al-Bahru al-Muhît fi Usûl al-fiqh, al-fiqh, Juz I, Kuwait, Dâr alSafwah 1992.
36
Ibnu Manzur, Jamâluddîn ibn Muhammad, Lisân al-‘Arab, al-‘Arab, Mesir, AlDâr al-Misriyah li al-Ta lif wa al-Tarjamah, Juz 6, tth. Wahbah al-Zuhaili, Usûl al-fiqh al-Islâmy , Beirut, Dâr al-Fikr, 1986. Abdul Abdul Wa Wahhâ hhâb b Khallâf Khallâf,, ‘Ilm Usûl al-fiqh, al-fiqh, Kuwait, Dâr al-Qalam, 1978. Ali Hasballah, Usûl al-tashrî’ al-Islâmiy , Kairo, Dâr al-Ma’ârif, 1976. Zakiyyuddin Sha’ban, Usûl al-fiqh al-Islâmiy , Mesir, Dâr al-Ta lîf, 1065. Ali Has Hasan an ‘Abd ‘Abd al-Qâdir al-Qâdir,, Nazrah Nazrah al-‘Âm al-‘Âmmah mah fi Târikh Târikh al-Islâ al-Islâmy my , Kairo, Dâr al-Kutub al-Hadîthah, 1965. Muhammad Muhammad Yûsuf Mûsa, al-Madkhal al-Madkhal li Dirâsat Dirâsat al-fiqh al-Islâmy al-Islâmy , Mesir, Dâr al-Fikr al-‘Arabi, t.t. Ibnu Mandhur, Lisan al-‘Arab, t.th. t.th. al-M l-Madkhal lî al-F l-Fiqh al-I l-Islâm lâmy: Târîkh îkhuhu, Qawâ’id ’iduhu, Mabâdi’uhu al-‘Âmmah, al-‘Âmmah, Makatabah al-Taubah, T.th. T.tp. Abd al-Wahhâb Ibrâhim ibnu Sulaimân, al-Fikr al-Usûly: Dirâsah Tahlîl Ta hlîliya iyah h Naqdiy Naqdiyyah yah,, Makk Makkah ah al-M al-Muk ukar arra ram mah, ah, Dâr Dâr alalShurûq. karyanya yang berjudul Masâdir al-Tashrî’ fi Mâ lâ Nassa Fihi, Fihi, Kuwait, Dâr al-Qalam, 1973. Abû Hâmid al-Ghazâli, al-Mustasfâ min ‘ilm al-Usûl, al-Usûl, Beirut, Dâr alKutub al-‘Ilmiyah, Jilid II, t.t,. Tajuddin Tajuddin Abdul Abdul Wahhâb Wahhâb ibn al-Subkh al-Subkhi, i, Jam’u Jam’u al-Jawâmi’ al-Jawâmi’ , Jilid II,; Muhammad Abû Zahrah, Usûl al-fiqh, al-fiqh, Ahmad Fahmi Abû Sunnah, al-‘‘urf al-‘ ‘urf wa wa al-‘Adat fi Ra’y al-Fuqahâ` al-Fuqahâ`,, mesir, Dar al-Fikr al-‘Araby, T.th.. Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Madkhal ‘Ala al-fiqh al-‘Amm, beirut, dar al-fikr, Jilid II, 1968. Al-Sarakhsi, Usûl al-Sarakhs al-Sarakhsi, i, Beiru Beirut, t, Dâr al-Kutu al-Kutub b al-‘Ilm al-‘Ilmiya iyah, h, 1983. Al-Bannâni, Sharh al-Mahalli ‘Alâ Jam’i al-Jawâmi’ , Jilid II, Al-Shâtibi, al-Muwaffaqat, Juz al-Muwaffaqat, Juz II. II. Izzuddin ibnu Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Masalih al-Anam, al-Anam, Juz I, CD ROM al-Maktabah al-Syamilah al-Ishdar al-Tsani. al-Tsani. N.J. Co Couls ulson, on, A History History of Islamic Islamic law, law, Edin Edinbu burg rg,, Edin Edinbu burg rg University, 1964. Norman Norman Calder, Calder, Studie Studiess in Early Early Muslim Muslim Jurisp Jurisprud rudenc ence e, Oxford Oxford,, Clarendon Press, 1993. Muhammad ibn Idrîs al-Shâfi’iy, al-Risâlah, al-Risâlah, Kairo, Mustafâ al-Bâbi al-Halabi, 1940/1358; Waell B. Hal Wae Hallaq laq,, “Wa “Wass al-Sha al-Shafi’i fi’i the Maste Masterr Archit Architect ect of Islamic Islamic Jurisprude Jurisprudence”, nce”, dalam International Journal of Midle East Studies 25, 25, 1993 ′
′
37
Ahmad Hassan, The Early Development of Islamic Jurisprudence, Jurisprudence, Islamabad, Islamic Research Institut, 1988 George George Makdis Makdisi, i, “The Juridic Juridical al Theolo Theology gy of Shafi’i Shafi’i:: Origin Originss and Significance of Usûl of Usûl al-fiqh” al-fiqh” dalam Studia Islamika 59, 59, 1984 Muha Muhamm mmad ad ibn ibn ‘Alaw ‘Alawwi wi ibn ibn ‘Abb ‘Abbâs âs al-M al-Mâli âliki, ki, Sharî’atullâ Sharî’atullâh h alKhâlidah: Dirâsât fî Târîh al-Tashrî’ al-Ahkâm wa Madhâhib al-Fuqahâ al-A’lâm, al-A’lâm, Makkah, Matba’ah al-Rashîd, 1992 Geo George rge Makdi akdisi si,, “T “The he Hanba anbali li Sch School and and Sufi Sufism sm”, ”, dalam alam Humaniora Islamica 11, 11, 1974. Abû Hâmid al-Ghazâli, al-Mustasfâ min ‘Ilm al-Usûl, al-Usûl, Beirut, Dâr alKutub al-‘Ilmiyah, 1983. Sayf al-Dîn al-Âmidi, Kitâb al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm, al-Ahkâm, Kairo, Dâr alKutub al-Khidiwiyah, 1914. Abû Abû Ishâq Ishâq Ibrâhîm Ibrâhîm al-Shât al-Shâtibi, ibi, al-Muwaffa al-Muwaffaqât qât fî Usûl al-Sharî’ah al-Sharî’ah,, Beirut, Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah; al-I’tisâm, al-I’tisâm, Kairo, al-Maktabah al-Tijâriyah; Muhammad Khalid Mas’ud, Islamic Legal Philosophy: A Study of Abu Ishak al-Syatibi’s al-Syatibi’s Life and Thought Thought , Islamabad, Islamic Research Institut, 1977 Wael B. Hallaq, “The Primacy of The Qur’an in Shatibi’s Legal Theory”, Theory”, dalam Islamic Islamic Studie Studiess Presen Presented ted to Charle Charless J. Adams Adams, Donald p Little dan Wael B. Hallaq (Ed.), E.J. Brill, 1991 “On Inductive” Mahmud Mahmud Syaltut, Syaltut, al-Islâ al-Islâm: m: Aqîdah Aqîdah wa Sharî’a Sharî’ah h, Mesi Mesir, r, Dâr Dâr alalQalam, t.t. Yûsuf Yûsuf al-Qardawi, al-Qardawi, al-Ijtihâd fî al-Sharî’ah al-Islâmiyah Ma’a Nazarât Tahlîliyah fî al-Ijtihâd al-Mu’âsir , Kuwait, Dâr al-Qalam, t.th. Ali Syari’ Syari’ati, ati, On The The Soci Sociol olog ogy y of Isla Islam m, Ha Hami mid d Alga Algarr (ter (terj.) j.),, Berkeley, Mizan Press, 1979. Abdullahi Ahmed al-Na’im, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Rights, and International Law, Law, Syracuse, Syracuse University Press, 1990. Nasr Hamîd Abû Zaid, Mafhûm al-Nass: Dirâsât fî ‘Ulûm al-Qur’ân, al-Qur’ân, Beirut, al-Markaz al-Saqâfi al-‘Araby, 1994 Naqd al-Khitâb al-Dîniy , Kairo, Sinâ li al-Nasr, 1992. Baca Muhammad Arkoun, Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Answers, Boulder, Westview Press, 1994. Nalar Islami dan Nalar Modern, Modern, Rahayu S. Hidayat (terj.), Jakarta, INIS, 1994. Muhamm Muhammad ad Shahrur, Shahrur, al-Kit al-Kitâb âb wa al-Qur’ al-Qur’ân: ân: Qirâ’a Qirâ’ah h Mu’âs Mu’âsira irah h, Kairo, Sinâ li al-nasr, 1992 Wael B. Hallaq, A Hallaq, A History of Islamic Islamic Legal Legal Theory: Theory: An Introductio Introduction n to Sunni Ushul al-Fiqh, al-Fiqh, Cambridge, Cambridge University Press, 1997
38
Al-Tûfy, “Sharh “Sharh al-‘Arba’în al-Nawawiyah” al-Nawawiyah” dalam Mustafa Zaid, alMasla Maslaha hah h fi al-tas al-tashrî’ hrî’ al-Islâ al-Islâmy my . Ka Kair iro, o, Ka Kair iro o Unive Univers rsity ity,, 1964. Abu Abu Husay Husayn n al-Bas al-Basri, ri, al-Mu al-Mu’tam ’tamad ad fî Usûl Usûl al-Fiqh al-Fiqh,, Muham Muhamma mad d Hamdullah et. al. (Ed.), Damasqus, 1964-1965. Joseph Joseph Schacht, An Schacht, An Introductio Introduction n to Islamic Islamic Law, Law, Oxford, Clarendon Press, 1964. Robert Audi (Ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy , 2nd Edition, Cambridge, Cambridge University Press, 1999. Muham Muhammad mad Abed Abed al-Jâbi al-Jâbiri, ri, Pos Postt Tradis Tradisiona ionalism lisme e Islam Islam,, Ahma Ahmad d Baso (Terj.), LkiS, Yogyakarta. 2000. Noeng Noe ng Muhad Muhadjir, jir, Fils Filsaf afat at Ilmu: Ilmu: Te Telaa laah h Sist Sistem emat atis is Fung Fungsi sion onal al Komparatif , Edis Edisii I, Yo Yogy gyak akar arta ta,, Pe Pene nerb rbit it Ra Rake ke Sara Sarasi sin, n, 1998. Fazlurrahman, Islam, Islam, Chicago, University of Chicago Press, 1979. Abdullahi Ahmed al-Na’im, Toward an Islamic Reformation, Reformation, Ahmad Suaidy dan Amiruddin Arrani (terj.), Dekonstruksi Syari’ah, Syari’ah, Yogyakart Yogyakarta, a, Lkis, Lkis, 1997. 1997. Oussama Arabi, The Early Islamic Legal Philosophy , University OF California, 1999.