Status Ikhtiar
Sani, namanya begitu akrab di telinga teman-temannya. Kediamannya itu menjadi julukan sebagai gadis pendiam seribu bahasa. Setiap ada masalah yang menjelma, ia tak mau berbagi kepada siapa pun, hanya disimpan dalam hati, dalam-dalam, lalu membusuk dengan sendirinya. Itu semua diketahuin ya dari raut wajahnya; merah, lemah dan diam seribu bahasa. Langkah kaki terayun lemah, ditambah lagi matahari di sepenggal kepala yang begitu terik. Namun tidak menjadi penghalang Sani untuk menuju masjid. Desir angin sesekali membuat kerudung dan jilbabnya melambai-lambai, menyapa pepohonan di sekelilingnya. Kulitnya putih, terlihat dari wajah dan telapak tangannya. Bahkan banyak lelaki yang tertarik padanya, ditambah lagi ia gadis yang salihah. Tak berselang lama, masjid sudah terlihat tepat di serbang b ola mata Sani. Ayunan kakinya tak lagi lemah, tapi kuat, cepat. Terbesit Sani untuk melaksanakan shalat dhuha. Namun, tiba-tiba langkah kakinya terhenti. Ketika bola matanya tertuju kepada seorang lelaki, Reza. Saat itu Reza hendak keluar dari masjid juga. Hati Sani bergetar, gelombang darah yang mengalir terasa terhenti, bergeming. Wajahnya tertunduk dan berusaha secepat kilat bersembunyi di balik pohon cemara, yang rindang. Ia gunakan pohon yang berdiri tegak itu agar Reza tidak melihatnya. Matanya terpejam, malu dan gugup. “Ciee Sani,” Terdengar suara merambat dari belakang, “lagi merhatiin Reza ya?” Sani sangat mengenali suara itu, ya, Reni. Lagi, jantung Sani berdetak lebih cepat. “Kok kaya main petak umpet gitu.” Lanjutnya tertawa kecil. “Mm.. ng, ng, nggak. Siapa juga yang merhatiin Reza.” Jawab Sani gugup. “Ah, aku tau, dari dulu kamu suka kan sama Reza, kulihat dari tingkahmu.” Ucap Reni memojokan Sani. Tapi, Sani San i masih terdiam, tak ada kata yang mengalir dari mulutnya. “Udah, ungkapin aja langsung.! Nanti kerebut dulu sama cewek lain loh. Ehmm..” Dengan nada sinis, Reni berdehem menunjukan pada dirinya. Bahwa dia yang akan merebut Reza. Sani, masih menunjukan kediamannya, diam seribu bahasa. Seperti tak peduli sedikit pun apa yang telah dilontarkan Reni, ucapannya itu. “Apalagi, katamu. Tentang aturan cinta diam-diam, diam-diam, jaga pandangan, jangan berkhalwat. Aduh cinta aja ribet banget banget deh.” Wajah Sani bangkit, dari tadi tertunduk lemah, sekarang, tegak menghadap Reni, sangat dalam. Matanya mulai membesar, hatinya sedikit mulai kesel. Pandangannya tertuju ke dua mata Reni, sedari tadi bicara bica ra tak kenal lelah. Sementara, Reni merasa aneh melihat ekspresi Sani yang berbeda. Cemas. “Apa mau, kelak, kamu punya suami yang dulunya pernah mesra-mesra mesra-mesra dengan cewek lain,” Ucap Sani lantang, tapi lemah, “nggak kan?” “Iiih, ogah banget. Masa iya, punya suami yang dulunya pernah mesra-mesraan mesra-mesraan dengan den gan cewek lain, banyak pula.” Jawab Reni, badannya bergetar, geli. “Itu alasanku,” Ucap Sani singat. “ya sudah, aku ke masjid duluan ya Reni.” “Assalamu’alaikum..” “Wa’alaikum salam..” jawab Reni, bengong.
Hati Reni mulai gelisah, pikirannya penuh tanda tanya. Tidak mengerti apa yang diucapkan Sani tadi. Sementara Reza sudah menghilang tanpa jejak. Ayunan langkah Sani semakin jauh dari pohon cemara, Sani pun tak habis pikir apa yang telah ia ucapkannya itu, dan selalu melayang-layang dalam pikirannya, mencoba ditepis, tapi gagal. Sekarang, di hadapan Sani terlihat mulut masjid yang sudah menganga dari tadi, seolang mengucapkan selamat datang. Shalat Dhuha. Ya, Allah. Aku tahu, Engkau Maha Mendengar, dan Maha Mengetahui segala isi hati hamba. Engkau pun tahu apa yang sedang hamba rasakan, sebuah anugrah yang dulu Engkau beri. Kini, sudah menjelma bagai duri. Hatiku seperti terjatuh, ke dasar yang paling dalam, ketika ada seseorang yang mungkin sangat berarti dalam hidupku, dan kini Aku mencintainya, Reza. Namun rasa itu kupendam dalam diam, mungkin hanya Aku dan Engkau yang tahu. Karena cinta yang Engkau beri adalah sebuah fitrah yang suci, dan terus selalu dijaga. Ya, Allah. Jika Reza itu adalah jodohku yang diridhai-Mu, dekatkanlah padaku sesuai jalan-Mu. dan jika bukan jodohku, Aku yakin itu yang terbaik bagiku. Karena pilihan-Mu adalah yang terbaik. Kini ku hanya berharap pada-Mu, melalui doa yang tersipu malu. Derai air mata membasahi pipinya, ia latunkan doa diam-diam. Tengadahkan kedua tangan meminta doa akan memberi keajaiban yang tak bisa dibuat hanya dengan kedua tangan. Mukena putih yang ia pakai segera dilepaskan. Lalu, meninggalkan tempat curhat dengan Yang Maha Cinta. Wajah Sani mulai kembali bersinar, tegar, senyum ia bagikan kepada siapa yang ditemui saat itu, sapaan penuh kasih. “San, tumben tadi doamu lama banget, pasti lagi ngedoain Reza ya?” Tanya Reni, penasaran. “Hmm…” Sani tersenyum lebar. “hanya Allah dan aku yang tahu.” Reni pun membalas senyumannya, tapi tak selebar Sani. Keduanya mulai keluar dari masjid. “Sani, nanti aku ke rumahmu. ada yang ingin aku bicarakan.” “Iyah.” Jawab Sani singkat, keduanya mulai berpisah. Setelah shalat dhuha Sani langsung pulang ke rumah, dan akan menunggu temannya, Reni, untuk menemuinya. Sani tak mengetahui apa yang akan Reni bicarakan. Atau, tentang cinta, batin Sani. Terjadi perbincangan hangat di ruangan tamu, yang satu berbadan tinggi, tegak, kumis tebal menepel di antara hidung dan mulutnya. Di sampingnya, seorang wanita, agak tua, wajahnya bersinar. Sementara di hadapan mereka, ada seorang lelaki, muda, kulitnya putih, berwibawa, rambutnya hitam, lurus, tapi pendek. Ketiganya duduk di kursi kayu, dilapisi busa. Mereka membicarakan persoalan yang serius, hening. Namun, terkadang ruangan menggema, oleh suara lelaki berkumis tebal itu. “Jadi, antum serius?” “Insya Allah, aku serius, Pak, Bu.” Ucap lelaki itu, percaya diri. Ruangan kembali hening. Di luar, pintu pagar terbuka lebar, begitu pun pintu rumahnya, bahkan lebih lebar. terlihat Sani tercengang heran, biasanya pintu selalu tertutup. Dan pintu terbuka ketika saat didatangi tamu. Benar, Sani melihat motor di halaman rumahnya, ia seperti mengenali motor itu, sejenak berpikir. Reza. Untuk apa dia ke rumahku. Sani tak percaya, hatinya seperti disambar petir. Langk ahnya terhenti, seluruh tubuhnya bergetar, grogi. Reza. Batinnya lagi.
“Sepertinya Sani sudah datang,” Pak joko melihat Sani di depan pintu rumah “Sani, sini masuk! Ada yang ingin bertemu denganmu.” Seru Pak Joko dengan lantang. Terasa sangat berat Sani melangkahkan kakinya, walau selangkah. Namun ia tahu bahwa ia adalah wanita yang kuat. Ayolah kaki, melangkah. Wajah Sani masih tertunduk, memberi semangat kepada kakinya agar memasuki rumahnya, di dalamnya ada seorang lelaki, yang dicintainya, seperti ada dalam hatinya. Lama sudah, Sani pun memasuki ruangan. “Sani, ini ada Reza,” Pak Joko seolah memperkenalkan seseorang yang belum saling mengenal. Sani menatap Reza, begitu pun sebaliknya, tapi Sani begitu singkat. Wajah sani memerah, tersipu malu, jantungnya berdetak lebih cepat. “Hai, Sani. Maaf sebelumnya tidak memberitahumu dari awal kalau aku akan datang ke rumahmu,” Reza menyapa, senyum lebar di bibirnya. “sebenarnya sudah dari dulu ingin ke sini. Dengan izin Allah, akhirnya keinginanku tercapai juga.” Lanjutnya tersenyum kecil. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Sani, selain, Hmm.. bengong, tak percaya. Julukan gadis pendiam seribu bahasa, kembali menunjukan kediamannya. “Sani, ada kabar baik buatmu” Ucap Ibu Santi. “Kabar baik?” peluh Sani lemah. “Iya Sani,” Pak Joko menyambungnya “Reza, datang ke sini untuk melamarmu.” “Hah.. melamar!” Sani terkejut bukan kepalang. “Reza itu lelaki baik, pintar, salih lagi. Bapa sangat setuju kalau Reza melamarmu, menikah denganmu. Tak banyak ada lelaki seperti dia, yang mencintai seorang wanita, justru Bapaknya yang dideketin, bukan anaknya,” Jelas Pak Joko. “sekarang, bagaimana denganmu, Sani?” “Maaf San, kesannya memang begitu cepat. Tapi, tekadku sudah bulat, atas izin Allah, akhirnya aku memberanikan diri, sekarang.” Ucap Reza. Hati Sani seperti tenggelam di laut yang paling dalam. Masih tak percaya. Dan berdetak sangat cepat, seperti getaran meteor yang akan jatuh ke bumi. Bedanya, ia terjatuh ke dalam hati seorang lelaki, yang dicintainya. Tubuhnya bergeming. Pandangannya sunyi, sepi dan gelap. Ya Allah. doaku Engkau kabulkan. Tapi, apakah dengan secepat ini? Lelaki yang baik, untuk wanita yang baik. Brukk.. pingsan.