PENIADAAN JASA BANK KONVENSIONAL; PENGHAPUSAN DANA NON HALAL BERDASARKAN MAQAHSID SYARIAH (Studi Pada Badan Amil Zakat Makassar)
RESKIANA 90400114142/AKUNTANSI.D
[email protected] I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk Islam yang sangat besar harusnya sangat berpotensi dalam jumlah pengumpulan dana zakat, tetapi realisasi yang terjadi tidak demikian, masih terdapat ketimpangan yang sangat besar antara potensi dan realisasi (Huda dan Sawarjuwono, 2013). Amelia (2012) menyatakan bahwa tumbuhnya lembaga-lembaga zakat merupakan cermin timbulnya kesadaran akan perlunya lembaga yang mampu mengelola zakat-zakat masyarakat. Organisasi Pengelola Zakat terdiri dari Badan Amil Zakat dan Lembaga Amil Zakat. Badan Amil zakat (BAZ) adalah organisasi pengelolazakat yang dibentuk oleh pemerintah terdiri atas unsure masyarakat dan pemerintah dengan tugas mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai dengan ketentuan agama, sedangkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) adalah institusi pengelolaan zakat yang sepenuhnya dibentuk oleh masyarakat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan, sosial atau kemasyarakatan umat Islam, dikukuhkan, dibina dan dildungi oleh pemerintah (Manunggal, 2011). Menurut Hisamuddin dan Shalikha (2014) Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) sebagai salah satu institusi yang dihadapkan dengan peningkatan kesadaran dan pengawasan masyarakat tentang pengumpulan zakat dan penyaluran zakat harus mengacu pada UU no.23 tahun 2011 dan penyusunan laporan keuangan wajib berdasarkan PSAK nomor 109 . Dengan adanya aturan tersebut diharapkan
ada perkembangan dan pertumbuhan dalam hal
pengelolaan zakat yang baik termasuk pencatatannya, sehingga kepercayaan masyarakat dapat meningkat untuk menyalurkan zakatnya melalui Lembaga Amil Zakat maupun Badan Amil Zakat. Hisamuddin dan Shalikha (2014) menyatakan bahwa dengan adanya perubahan aturan tersebut juga BAZNAS dan LAZ dapat 1
mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat lebih meningkat lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Selain dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, salah satu cara yang juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Organisasi Pengelola Zakat yaitu dengan menerapkan sistem pengendalian yang baik pada OPZ (Nikmatuniayah, 2014). Implementasi zakat di negara-negara muslim dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu: Pertama, sistem pembayaran zakat secara wajib (mandatory (mandatory system) system) di mana sistem pengelolaan zakat ditangani oleh negara dan terdapat sanksi bagi yang tidak membayar zakat dan yang kedua, sistem pembayaran zakat secara sukarela (voluntary (voluntary system system)) di mana wewenang pengelolaan zakat berada pada tangan pemerintah ataupun masyarakat sipil dan tidak terdapat sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan kewajiban (Huda dan Sawarjuono, 2013). Raziq dan Yanti (2013); Megawati dan Trisnawati (2014); Wati dkk (2016) menjelaskan bahwa pada awalnya Lembaga Amil Zakat di Indonesia menggunakan PSAK No. 45 tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba, namun seiring dengan perkembangan zaman dan adanya tuntutan untuk segera memiliki suatu standar yang baku dalam pelaporan LAZ, maka
Forum Zakat (FOZ) mengadakan kerjasama
dengan Ikatan Akuntan Indonesia untuk menyusun PSAK Zakat pada tahun 2007, dan pada tahun 2008, IAI telah menyelesaikan ED PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat yang resmi diberlakukan untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas pengelola zakat per 1 januari 2009. Akhirnya pada bulan Oktober 2011, ED PSAK Nomor 109 telah disahkan oleh IAI sebagai standarisasi pelaporan akuntansi zakat bagi OPZ. Menurut Raziq dan Yanti (2013) Akuntansi zakat merupakan akuntansi akuntansi yang digunakan oleh lembaga pengelola zakat yang telah disahkan oleh pemerintah baik berbentuk Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun berbentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kristin dan Umah (2011) menyatakan banyak orang menganggap bahwa salah satu fungsi akuntansi Islam yang palin penting adalah Akuntansi Zakat, bahkan ada yang menganggap Akuntansi Islam itu adalah untuk menghitung zakat. PSAK 109 Tentang Tentang Akuntasi Akuntasi Zakat dan Infak/sedekah merupakan suatu hal yang dinantikan pemberlakuannya yang diharapkan dapat terwujudnya keseragaman pelaporan, dan kesederhanaan pencatatan, sehingga publik dapat membaca laporan akuntansi pengelola zakat serta mengawasi pengelolaannya (Megawati dan
2
mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat lebih meningkat lagi dari tahun-tahun sebelumnya. Selain dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan, salah satu cara yang juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap Organisasi Pengelola Zakat yaitu dengan menerapkan sistem pengendalian yang baik pada OPZ (Nikmatuniayah, 2014). Implementasi zakat di negara-negara muslim dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu: Pertama, sistem pembayaran zakat secara wajib (mandatory (mandatory system) system) di mana sistem pengelolaan zakat ditangani oleh negara dan terdapat sanksi bagi yang tidak membayar zakat dan yang kedua, sistem pembayaran zakat secara sukarela (voluntary (voluntary system system)) di mana wewenang pengelolaan zakat berada pada tangan pemerintah ataupun masyarakat sipil dan tidak terdapat sanksi hukum bagi yang tidak menunaikan kewajiban (Huda dan Sawarjuono, 2013). Raziq dan Yanti (2013); Megawati dan Trisnawati (2014); Wati dkk (2016) menjelaskan bahwa pada awalnya Lembaga Amil Zakat di Indonesia menggunakan PSAK No. 45 tentang pelaporan keuangan organisasi nirlaba, namun seiring dengan perkembangan zaman dan adanya tuntutan untuk segera memiliki suatu standar yang baku dalam pelaporan LAZ, maka
Forum Zakat (FOZ) mengadakan kerjasama
dengan Ikatan Akuntan Indonesia untuk menyusun PSAK Zakat pada tahun 2007, dan pada tahun 2008, IAI telah menyelesaikan ED PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat yang resmi diberlakukan untuk penyusunan dan penyajian laporan keuangan entitas pengelola zakat per 1 januari 2009. Akhirnya pada bulan Oktober 2011, ED PSAK Nomor 109 telah disahkan oleh IAI sebagai standarisasi pelaporan akuntansi zakat bagi OPZ. Menurut Raziq dan Yanti (2013) Akuntansi zakat merupakan akuntansi akuntansi yang digunakan oleh lembaga pengelola zakat yang telah disahkan oleh pemerintah baik berbentuk Badan Amil Zakat (BAZ) ataupun berbentuk Lembaga Amil Zakat (LAZ). Kristin dan Umah (2011) menyatakan banyak orang menganggap bahwa salah satu fungsi akuntansi Islam yang palin penting adalah Akuntansi Zakat, bahkan ada yang menganggap Akuntansi Islam itu adalah untuk menghitung zakat. PSAK 109 Tentang Tentang Akuntasi Akuntasi Zakat dan Infak/sedekah merupakan suatu hal yang dinantikan pemberlakuannya yang diharapkan dapat terwujudnya keseragaman pelaporan, dan kesederhanaan pencatatan, sehingga publik dapat membaca laporan akuntansi pengelola zakat serta mengawasi pengelolaannya (Megawati dan
2
Trisnawati 2014). Istutik (2013) menjelaskan bahwa laporan keuangan lembaga amil menjadi salah satu media untuk pertanggungjawaban operasionalnya, yaitu dalam mengumpulkan dan menyalurkan dana zakat infak dan sedekah (ZIS), untuk itu agar laporan keuangan tersebut akuntabel dan transparan maka dibutuhkan standar akuntansi yang mengaturnya. Kristin dan Umah (2011) menjelaskan bahwa akuntabilitas organisasi pengelola zakat ditunjukkan dalam laporan keuangan tersebut, untuk bisa disahkan sebagai organisasi resmi, lembaga zakat harus menggunakan sistem pembukuan yang benar dan siap diaudit akuntan publik. Puspitasari dan Habiburrochman (2013) menjelaskan bahwa konsep akuntabilitas menempati posisi yang sangat penting bagi organisasi dalam menyajikan, melaporkan, dan mengungkapkan segala aktivitas serta sejauh mana laporan keuangan memuat semua informasi yang relevan yang dibutuhkan oleh masayrakat. Menurut Megawati dan Trisnawati (2014) (2014) dengan adanya PSAK 109 ini maka setiap OPZ akan memiliki standar pelaporan yang sama dan sifatnya mengikat. Transparansi dalam pengelolaan dana publik, dalam hal ini dana zakat, infak dan sedekah menumbuhkan kepercayaan muzaki untuk membayar zakat dan semakin meningkatkan motivasi muzaki untuk menunaikan kewajibannya. BAZNAS perlu fokus pada atribut yang top prioritas dalam rangka meningkatkan kinerjanya sehingga kesadaran muzaki untuk membayar zakat melalui lembaga amil dapat ditingkatkan dengan baik (Ayuniyyah, (A yuniyyah, 2014). Dalam meningkatkan pembayaran zakat pada Lembaga Amil Zakat, para muzaki harus dimotivasi bahwa pada dasarnya menunaikan zakat bukan hanya merupakan kewajiban, namun zakat bisa berbalik menjadi kebutuhan setiap umat muslim. Kebutuhan ini dapat dikategorikan sebagai kebutuhan agama dimana zakat dapat menjadi instrumen yang dapat lebih mendekatkan manusia dengan Allah SWT. Zakaria dan Malek (2014); dan Zakaria (2014) menyatakan bahwa Maqashid syariah menetapkan 5 elemen kebutuhan manusia yang penting dan harus dipenuhi yaitu agama, jiwa, keturunan, harta dan akal disesuaikan dengan konteks zamannya. Menurut Birton (2015) tujuan akhir maqasid syariah yaitu untuk mencapai kemaslahatan (mashlahah atau maslahat). Madania dan Nafik (2016) menyatakan bahwa konsep maqashid syariah pada hakekatnya didasarkan pada wahyu untuk mewujudkan kemasalahatan hidup umat manusia. Pemahaman mengenai jenis-jenis
3
zakat merupakan salah satu aspek dalam maqashid syariah zakat yang menentukan keberhasilan dalam pengumpulan dana zakat, pemahaman maqashid syariah juga berkaitan dengan pengelolaan dana zakat oleh pengelola lembaga amil zakat serta pemahaman maqashid syariah yang baik dan benar akan memberikan panduan bagi pengelola untuk dapat mengelola lembaga amil zakat, hal ini juga untuk menghindari tindakan penyelewengan dana zakat, begitu juga denga pemahaman akan konsep zakat itu sendiri (Madania dan Nafik 2016). Salah satu pembahasan dalam PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat adalah mengatur sumber penerimaan dan penyaluran dana non halal. Adapun ketentuan ED PSAK Nomor 109 tentang pengakuan dan pengukuran dana non halal, yaitu: pertama, penerimaan dana non halal adalah semua penerimaan dari kegiatan dan tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan dana non halal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah karena secara prinsip dilarang. Kedua, penerimaan dana non halal diakui sebagai dana non halal, yang terpisah dari dana zakat, dana infak/sedekah dan amil zakat. Aset non halal disalurkan sesuai dengan prinsip syariah. Ketiga, amil harus mengungkapkan keberadaan dana non halal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya. Badan/Lembaga Amil Zakat dalam pencatatan laporan keuangan harus menerapkan atau mengacu pada PSAK No. 109. Dalam pengelolaan zakat, amil harus menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil dan dana non halal secara terpisah dalam neraca karena peruntukkan, dan tujuannya jelas dalam syariat Islam, yakni hanya kepada 8 golongan/asnaf yang terdapat dalam al-Qur’an yang berhak menerima zakat, infak/sedekah lebih fleksibel lagi peruntukkannya asalkan tidak bertentangan dengan syariat, dan dana non halal berdasarkan ijtihad ulama hanya diperuntukkan untuk sarana kepentingan umum seperti MCK, jalan, atau tidak dapat dibagikan untuk konsumsi orang perorangan (Megawati dan Trisnawati 2014). Dalam proses kegiatan pengumpulan dana zakat yang dilakukan, BAZNAS dan LAZ memiliki rekening tidak hanya di bank syariah saja melainkan bank konvensional juga agar mempermudah penerimaan dana zakat dari berbagai sumber terutama sistem transfer melalui rekening bank konvensional sehingga mengakibatkan
4
munculnya dana non halal berupa pendapatan jasa giro atau bunga bank konvensional dan hal tersebut menurut prinsip syariah Islam adalah haram (Hisamuddin dan Shalikha, 2014). Menurut Raziq dan Yanti (2013) Entitas syariah berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional dalam rangka lalu lintas keuangan
dan
pembayaran
karena
secara
sistem
keuangan
belum
bisa
diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah sehingga statusnya adalah darurat. Menurut Raziq dan Yanti (2013) bahwa Menyalurkan dana non halal itu lebih utama dalam satu hal yang bermanfaat bagi kaum Muslimin dari pada membiarkannya berpindah ke tangan kaum kafir yang akhirnya akan mereka gunakan untuk bekerja sama dalam hal-hal yang diharamkan Allah. Menurut Raziq dan Yanti (2013) Dalam hukum asal muamalah segala sesuatu hukumnya boleh dilakukan kecuali ada ayat alquran atau al hadits yang melarangnya. Penerimaan zakat, infak, shodaqoh dari muzzaki melalui transfer bank konvensional pada saat tertentu bisa jadi terdapat unsur dana non halal yaitu berupa bunga bank, sedangkan bunga dari bank konvensional merupakan bagian dari riba dan riba adalah tidak sesuai dengan syariat (Hisamuddin dan Shalikha, 2014). Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkat (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah kepada Allah). Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal didalamnya. Allah memusnahkan riba dan menyuburkansedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran dan selalu berbuat dosa” (QS. Albaqarah: 275-276). Dengan merujuk pada ayat di atas maka hendaklah penerimaan dana non halal itu dihapuskan sehingga Lembaga Amil Zakat terlepas dari praktik ribawi. Menurut Mohsin (2015) Lembaga zakat merupakan salah satu lembaga keuangan alternatif yang membantu menghilangkan riba dari masyarakat muslim. Namun pada praktiknya justru Lembaga Amil Zakat terlibat dalam praktik ribawi dengan mengambil jasa bank konvensional sebagai lalu lintas keuangan dan pembayaran zakat dan infak/sedekah. Seiring dengan perkembangan zaman, lembaga keuangan 5
syariah atau perbankan syariah juga mengalami perkembangan yang cukup pesat sehingga penggunaan jasa bank konvensional tidak lagi bisa dikategorikan sebagai keadaan darurat. Pemahaman maqashid syariah yang baik dan benar akan memberikan panduan bagi pengelola untuk dapat mengelola lembaga amil zakat, hal ini juga untuk menghindari tindakan penyelewengan dana zakat, begitu juga dengan pemahaman akan konsep zakat itu sendiri (Madania dan Nafik 2016). Puspit asari dan Habiburrochman (2013) menjelaskan bahwa dana non-halal seharusnya tidak digunakan dalam praktik LAZ dan BAZ karena bertentangan dengan Al-Quran, seperti halnya konsep syariah menginginkan dalam segala proses transaksi syariah seharusnya menghindari hal-hal yang dilarang syariah. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti terdorong untuk mengkaji peniadaan jasa bank konvensional dalam rangka penghapusan dana non halal Organisasi Pengelola Zakat (OPZ). Hilangnya dana non halal pada Lembaga Amil Zakat maka nilai keislamannya akan lebih tercermin dan lebih diridhoi oleh Allah SWT. Selain itu, para muzaki lebih tenang karena zakat atau infak yang diberikan tidak akan memunculkan riba dan mustahikpun akan tenang dalam menerima zakat atau infak karena dana yang disalurkan kepadanya bersih dari dana non halal. Dengan demikian penelitian ini berkaitan dengan Sharia Enterprise Theory (SET). Diamana SET memiliki cakupan akuntabilitas yang lebih luas. Akuntabilitas yang dimaksud adalah akuntabilitas kepada Tuhan, manusia, dan alam (Husain dan W. Abdullah 2015). B. Rumusan Masalah
Dalam ED PSAK Nomor 109 menyebutkan dana non halal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, seperti penerimaan bunga bank dan jasa giro yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan dana non halal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat. Lembaga Amil Zakat berhubungan dengan lembaga keuangan konvensional dalam rangka lalu lintas keuangan dan pembayaran karena secara sistem keuangan belum bisa diselenggarakan oleh lembaga keuangan syariah sehingga statusnya adalah darurat (Raziq dan Yanti, 2013). Namun, saat ini perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya semakin berkembang dan perbankan syariah juga semakin banyak sehingga penggunaan jasa bank konvensional tidak lagi bisa dikategorikan sebagai keadaan darurat. Dengan demikian rumusan masalah dari penelitian ini adalah: 6
1.
Bagaimana meniadakan jasa bank konvensional pada Badan Amil Zakat Makassar?
2.
Bagaimana menghapuskan secara permanen penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat Makassar agar sesuai dengan maqashid syariah?
3.
Bagaimana pelaksanaan PSAK No 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah pada Badan Amil Zakat Makassar sesuai dengan maqashid syariah?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian berdasarkan perumusan masalah di atas, yaitu: 1.
Untuk meniadakan jasa bank konvensional pada Badan Amil Zakat Makassar.
2.
Untuk menghapuskan secara permanen penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat Makassar.
3.
Untuk mengetahui pelaksanaan PSAK No 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infaq/shadaqah pada Badan Amil Zakat Makassar sesuai dengan maqashid syariah.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini, yaitu: 1. Manfaat Teoretis: penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap Shariah Enterprise Theory (SET) dalam mengaplikasikan akuntansi zakat. Shariah Enterprise Theory (SET) petama kali dipopulerkan oleh Iwan Triyuwono (2000). Konsep Shariah Enterprise Theory oleh Iwan Triyuwono dikembangkan berdasarkan pada metafora zakat pada dasarnya memiliki karakter keseimbangan. Teori ini sangat menekankan adanya keseimbangan dimana pertanggungjawaban bukan hanya kepada sesama manusia, namun pertanggungjawaban kepada Tuhan, manusia dan alam. Pada penelitian sebelumnya teori ini banyak digunakan pada aspek CSR yang dilakukan oleh perbankan syariah, namun dengan adanya penelitian ini Shariah Enterprise Theory (SET) dapat pula diterapkan pada Badan Amil Zakat. 2. Manfaat Praktis: penelitian ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pengelola Badan Amil Zakat agar tidak lagi menerima dana non halal karena dana non halal merupkan dana yang diperoleh dari praktik ribawi yang tidak
7
mencerminkan nilai islam. Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi muzaki agar tidak lagi menggunakan jasa bank konvensional sebagai lalu lintas pembayaran agar tidak menimbulkan dana non halal. 3. Manfaat Regulasi: dalam PSAK No. 109 tentang Akuntansi Zakat terdapat ketentuan mengenai pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan dana non halal. adanya ketentuan ini mengindikasikan PSAK No 109 memperbolehkan adanya dana non halal pada Badan amil Zakat padahal dana non halal merupakan praktik ribawi yang dilarang dalam islam. Maka dari itu, sebaiknya PSAK No 109 menghilangkan ketentuan mengenai dana non halal, agar PSAK No 109 sejalan dengan ketentuan syariat islam atau sesuai dengan maqashid s yariah.
8
II.
TINJAUAN TEORETIS
A. Shariah Enterprise Theory
Shariah Enterprise Theory pertama kali diperkenalkan oleh Iwan Triyuwono pada tahun 2000. Shari’ah Enterprise Theory merupakan penyempurnaan teori dari enterprise
theory
yang
telah
diinternalisasi
dengan
nilai-nilai
Islam
guna
menghasilkan teori yang transendental dan lebih humanis yang dibagun bersarkan metafora zakat yang memiliki karakter keseimbangan yang tidak hanya peduli pada kepentingan individu (dalam hal ini pemegang saham), tetapi juga mencakup kepentingan stakeholders secara luas (Indriastusti dan Ifada, 2015; Hermawan dan Rini, 2016; Novarela dan Sari, 2015; Husain dan W. Abdullah, 2015; Samsiyah et al. 2013; dan Kalbarini, 2014). Bagian yang terpenting dan yang utama dari shari'ate enterprise theory yang harus mendasari setiap penetapan konsepnya adalah kesadaran akan Allah adalah pencipta dan pemilik tunggal dari seluruh alam (Konsep Tauhid). Maka dari itu sebagai penerima amanah, manusia hanyalah memiliki hak guna pakai dan bukannya hak milik, sehingga dituntut adanya pertanggungjawaban dalam menggunakan amanah itu dengan cara dan tujuan yang telah ditetapkan oleh Sang pemberi amanah (Soedarso, 2013). Pengembangan shariah enterprise theory memberikan sisi baru dalam dunia akuntansi yang berada dalam bentuk keseimbangan material dan spiritual (Husain dan W. Abdullah, 2015). Menurut Triyuwono (2007) Shariah enterprise theory (SET) dikembangkan atas dasar pemahaman memiliki kepedulian yang seimbang pada stakeholders yang luas, yaitu Allah, manusia dan alam. Allah menempati tempat sebagai stakeholder tertnggi karena Allah adalah Maha pencipta akan segala sesuatu. Dengan ditempatkannya Allah sebagai stakeholder tertinggi maka ketentuan akuntansi syari’ah hanya dibangun berdasarkan pada hukum-hukum Allah sehingga tidak lagi melenceng dari syarit. Manusia yang merupakan stakeholder kedua terdiri dari directstakeholder dan indirect-stakeholder. Direct-stakeholder merupakan pihak-pihak yang secara langsung memberikan kontribusi kepada persahaan. Sedangkan indirectstakeholder adalah pihak yang tidak memberikan kontribusi langsung kepada perusahaan namun secara syariah memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan oleh perusahaan. Stakeholder ketiga yaitu alam yang juga tak kalah penting. Alam merupakan pihak yang memberikan kontribusi bagi perusahaan dimana bumi sebagai 9
tempat berpijaknya atau tempat beroperasinya perusahaan. Selain itu, Allah telah menjadikan alam sebagai tempat tersedianya segala bahan yang dibutuhkan oleh perusahaan. Menurut Husain dan W. Abdullah (2015) Peran SET yang mengedepankan kesadaran akan ketuhanan akan memunculkan situasi dimana manusia sebagai pengolah alam akan selalu tersadarkan. Ditempatkannya Allah sebagai stakeholder tertinggi dari manusia dan kemudian menjadikan alam sebagai salah satu stakeholder yang juga tak kalah penting maka dalam suatu entitas tindak hanya melihat atau memperhatikan aspek individu saja namun harus berlandaskan sesuai dengan ketentuan syariah. Jika dikaitkan dengan konsep pengelolaan dana zakat maka pengelolaan dana tersebut bukan hanya pertanggungjawaban terhadap sesama manusia (antara muzaki, BAZ, dan Mustahik) namun pertanggungjawaban tersebut lebih condong kepada Allah SWT yang Maha pencipta. Manusia yang berada pada lingkup organisasi (Badan Amil Zakat) harus memiliki kesadaran bahwa segala yang ada dimuka bumi adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah sebagai pengemban amanah yang diberi tugas untuk mengolahnya sesuai dengan hukum Allah SWT. Maka, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan hukum Allah seperti adanya penerimaan dana non halal pada Organisasi Pengelola Zakat haruslah dihilangkan. B. Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah: PSAK No. 109
PSAK 109 tentang akuntansi zakat telah disahkan oleh Dewan Standar Akuntansi Keuangan pada tanggal 26 Februari 2008. Pernyataan ini diterapkan untuk: 1. Mengatur pengakuan, pengukuran, penyajian dan pengungkapan transaksi zakat infak/ sedekah 2. Untuk amil yang menerima dan menyalurkan zakat dan infak atau sedekah Menurut PSAK No. 109, akuntansi zakat memiliki beberapa karakteristik, yaitu: 1.
Zakat merupakan kewajiban syariah yang harus diserahkan oleh muzakki kepada mustahiq baik melalui amil maupun secara langsung. Ketentuan zakat mengatur mengenai persyaratan nisab, haul (baik yang periodik maupun yang tidak periodik), tarif zakat (qadar ), dan peruntukannya.
10
2.
Infak/sedekah merupakan donasi sukarela, baik ditentukan maupun tidak ditentukan peruntukannya oleh pemberi infak/sedekah.
3.
Zakat dan infak/sedekah yang diterima oleh amil haru dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip syariah dan tata kelola yang baik. Berdasarkan PSAK 109 tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah
pengakuan, pengukuran dan penyajuan akuntansi zakat dan infak/sedekah adalah sebagai berikut: 1.
Pengakuan awal zakat a. Penerimaan zakat diakui pada saat kas atau asset lainnya diterima. b. Zakat yang diterima dari muzakki diakui sebagai penambah dana zakat: 1) jika dalam bentuk kas maka sebesar jumlah yang diterima 2) jika dalam bentuk nonkas maka sebesar nilai wajar aset nonkas tersebut. Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan harga pasar. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang relevan. c. Zakat yang diterima diakui sebagai dana ami untuk bagian amil dan dana zakat untuk bagian nonamil. Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk masing-masing mustahiq ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah dan kebijakan amil. d. Jika muzakki menentukan mustahiq yang harus menerima penyaluran zakat
melalui amil maka aset zakat yang diterima seluruhnya diakui sebagai dana zakat. Jik atas jasa tersebut amil mendapatkan ujrah/fee maka diakui sebagai penambah dana amil. 2.
Pengukuran setelah pengakuan awal zakat Jika terjadi penurunan nilai aset zakat nonkas, jumlah kerugian yang ditanggung harus diperlakukan sebagai pengurang dana zakat atau pengurang dana amil tergantung dari sebab terjadinya kerugian tersebut. Penurunan nilai aset zakat diakui sebagai: a. Pengurang dana zakat, jika terjadi tidak disebabkan oleh kelalaian amil; b. Kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh kelalaian amil.
3.
Penyaluran zakat
11
Zakat yang disalurkan kepada mustahiq diakui sebagai pengurang dana zakat sebesar: a. Jumlah yang diserahkan, jika dalam bentuk kas; b. Jumlah tercatat, jika dalam bentuk asset nonkas. 4.
Penagkuan awal infak/ sedekah a. Infaq/shadaqah yang diterima diakui sebagai dana infaq/shadaqah terikat atau tidak terikat sesuai dengan tujuan pemberi infaq/shadaqah sebesar: 1) Jumlah yang diterima, jika dalam bentuk kas; 2) Nilai wajar, jika dalam bentuk nonkas. Penentuan nilai wajar aset nonkas yang diterima menggunakan hargapasar untuk aset nonkas tersebut. Jika harga pasar tidak tersedia, maka dapat menggunakan metode penentuan nilai wajar lainnya sesuai yang diatur dalam PSAK yang relevan. b. Infaq/shadaqah yang diterima diakui sebagai dana amil untuk bagian amil dan dana infaq/shadaqah untuk bagian penerima infaq/shadaqah. Penentuan jumlah atau persentase bagian untuk para penerima infaq/shadaqah ditentukan oleh amil sesuai dengan prinsip syariah dan kebijakan amil.
5.
Pengukuran setelah pengakuan awal infaq/shadaqah Infaq/shadaqah yang diterima dapat berupa kas atau aset nonkas. Aset nonkas dapat berupa aset lancar atau tidak lancar. Aset tidak lancar yang diterima oleh amil dan diamanahkan untuk dikelola dinilai sebesar nilai wajar saat penerimaannya dan diakui sebagai aset tidak lancar infaq/shadaqah. Penyusutan
dari
aset
tersebut
diperlakukan
sebagai
pengurang
dana
infaq/shadaqah terikat apabila penggunaan atau pengelolaanaset tersebut sudah ditentukan oleh pemberi. Amil dapat pula menerima aset nonkas yang dimaksudkan oleh pemberi untuk segera disalurkan. Aset seperti ini diakui sebagai aset lancar. Aset inidapat berupa bahan habis pakai, seperti bahan makanan; atau aset yangmemiliki umur ekonomi panjang, seperti mobil ambulance. Aset nonkas lancar dinilai sebesar nilai perolehan sedangkan aset nonkas tidak lancar dinilai sebesar nilai wajar sesuai dengan PSAK yang relevan. Penurunan nilai asset infaq/shadaqah tidak lancar diakui sebagai: (a) pengurang
dana
infaq/shadaqah,
jika
terjadi
bukan
disebabkan
oleh
kelalaianamil; (b) kerugian dan pengurang dana amil, jika disebabkan oleh
12
kelalaian amil. Dalam hal amil menerima infaq/shadaqah dalam bentuk aset (nonkas) tidak lancar yang dikelola oleh amil, maka aset tersebut harus dinilai sesuai dengan PSAK yang relevan. Dana infaq/shadaqah sebelum disalurkan dapat dikelola dalam jangka waktu sementara untuk mendapatkan hasil yang optimal. Hasil dana pengelolaan diakui sebagai penambah dana infaq/shadaqah. 6.
Penyaluran infaq/shadaqah Penyaluran
dana
infaq/shadaqah
diakui
sebagai
pengurang
danainfaq/shadaqah sebesar jumlah yang diserahkan jika dalam bentuk kas dan nilai tercatat aset yang diserahkan jika dalam bentuk aset nonkas. Penyaluran infaq/shadaqah kepada amil lain merupakan penyaluran yang mengurangi dana infaq/shadaqah
sepanjang
amil
tidak
akan
menerima
kembali
aset
infaq/shadaqah yang disalurkan tersebut. Penyaluran infaq/shadaqah kepada penerima
akhir
dalam
skema
dana
bergulir
dicatat
sebagai
piutang
infaq/shadaqah bergulir dan tidak mengurangi dana infaq/shadaqah. 7.
Dana non halal Penerimaan nonhalal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidaksesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yangberasal dari bank konvensional. Penerimaan nonhalal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah karena secara prinsip dilarang. Penerimaan non halal diakui sebagai dana nonhalal, yang terpisah dari dana zakat, dana infaq/sedekah dan dana amil. Aset nonhalal disalurkan sesuaidengan syariah.
8.
Penyajian akuntansi zakat dan infak/ sedekah yaitu Amil menyajikan dana zakat, dana infak/ sedekah, dana amil, dan dana nonhalal secara terpisah dalam neraca (laporan posisi keuangan). Adapun pengungkapan transaksi akuntansi zakat dan infak/sedekah adalah
sebagai berikut: 1. Zakat Amil harus mengungkapkan hal hal berikut terkait dengan transaksi zakat, tetapi tidak terbatas pada: a. Kebijakan penyaluran zakat, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima
13
b. Kebujakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan zakat, seperti presentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan c. Metode penentuan nilai wajar yang akan digunakan untuk penerimaan zakat berupa aset nonkas d. Rincian jumlah penyaluran dana zakat yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung mustahik e. Hubungan istimewa antara amil dan mustahik yang meliputi: 1) Sifat hubungan istimewa 2) Jumlah dan jenis aset yang disalurkan 3) Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode 2. Infak atau sedekah Amil harus megungkapkan hal-hal berikut terkait dengan transaksi infak atau sedekah, tetapi tidak terbatas pada: a. Metode penentuan nilai wajar yang digunakan untuk penerimaan infak atau sedekah berupa aset nonkas b. Kebijakan pembagian antara dana amil dan dana nonamil atas penerimaan infak atau sedekah, seperti presentase pembagian, alasan, dan konsistensi kebijakan c. Kebijakan penyaluran infak atau sedekah, seperti penentuan skala prioritas penyaluran, dan penerima d. Keberadaan dana infak atau sedekah yang tidak langsung disalurkan tetapi dikelola terleih dahulu, jika ada, maka harus diungkapkan jumlah dan presentase dari seluruh penerimaan infak atau sedekah selama periode pelaporan serta alasannya e. Penggunaan dana infak atau sedekah menjadi aset kelolaan yang diperuntukkan bagi yang berhak, jika ada, jumlah dan presentase terhadap seluruh penggunaan dana infak atau sedekah serta alasannya. f. Rincian julah penyaluran dana infak atau sedekah yang mencakup jumlah beban pengelolaan dan jumlah dana yang diterima langsung oleh penerima infak atau sedekah
14
g. Rincian dana infak atau sedekah berdasarkan peruntukannya, terikat dan tidak terikat h. Hubungan istimewa antara amil dengan penerima infak atau sedekah yang meliputi: 1) Sifat hubungan istimewa 2) Jumlah dan jenis aset yang dislurkan 3) Presentase dari aset yang disalurkan tersebut dari total penyaluran selama periode 3. Selain membuat pengungkapan amil mengungkapkan hal-hal berikut: a. Keberadaan dana nonhalal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya b. Kinerja amil atas penerimaan dan penyaluran dana zakat dan dana infak atau sedekah. Komponen laporan keuangan lengkap LAZ berdasarkan pada PSAK Nomor 109 sebagai berikut. 1. Laporan posisi keuangan. Amil menyajikan dalam laporan keuangan dengan memperhatikan ketentuan dalam SAK yang relevan mencakup, tetapi tidak terbatas pada, pos-pos berikut: a. Aset terdiri dari kas dan setara kas, piutang, efek, aset tetap dan akumulasi penyusutan. b. Liabilitas terdiri dari biaya yang masih harus dibayar dan liabilitas imbalan kerja. c. Saldo dana terdiri dari dana zakat, dana infak/sedekah, dan dana amil. 2. Laporan perubahan dana. Amil menyajikan laporan perubahan dana zakat, dana infak/sedekah, dan dana amil. Penyajian laporan perubahan dana mencakup, tetapi tidak terbatas pada, pos-pos berikut: a. Dana zakat yang meliputi: penerimaan dana zakat, penyaluran dana zakat baik kepada amil atau mustahik nonamil, saldo awal dana zakat dan saldo akhir dana zakat.
15
b. Dana infak/sedekah yang meliputi: penerimaan dana infak/sedekah baik infak/sedekah terikat (muqayyadah) maupun infak/sedekah tidak terikat (mutlaqah), penyaluran dana infak/sedekah baik infak/sedekah terikat (muqayyadah) maupun infak/sedekah tidak terikat (mutlaqah), saldo awal dana infak/sedekah, dan saldo akhir dana infak/sedekah; c. Dana amil yang meliputi: penerimaan dana amil yakni bagian amil dari dana zakat, bagian amil dari dana infak/sedekah, penerimaan lain; pengggunaan dana amil; saldo awal dana amil; dan saldo akhir dana amil. 3. Laporan perubahan aset kelolaan Amil menyajikan laporan perubahan aset kelolaan yang mencakup, tetapi tidak terbatas pada: a. Aset kelolaan yang termasuk aset tidak lancar dan akumulasi penyisihan; b. Aset kelolaan yang termasuk aset tidak lancar dan akumnulasi penyusutan; c. Penambah dan pengurangan; d. Saldo awal; e. Saldo akhir. 4. Laporan arus kas Amil menyajikan laporan arus kas sesuai dengan PSAK 2: Laporan Arus Kas dan SAK lain yang relevan. 5. Catatan atas laporan keuangan. Amil menyajikan catatan atas laporan keuangan sesuai dengan PSAK 101: Penyajian Laporan keuangan Syariah dan SAK lain yang relevan. C. Konsep Dasar Dana Non Halal
Dana non halal bukan merupakan pendapatan yang diterima oleh entitas syariah seperti dana dari hasil pencurian, korupsi, perjudian, dan lain-lain. Menurut hisamuddin dan sholikha (2014) Dana non halal adalah sumber dana kebajikan yang berasal dari bank syariah dengan pihak lain yang tidak menggunakan skema syariah. Dalam PSAK nomor 109 penerimaan dana non halal adalah semua penerimaan dari kegiatan yang tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Sedangkan menurut FOZ dalam Raziq dan Yanti (2013) dana non halal adalah adalah dana yang diperoleh dari bank konvensional dimana tidak menjadi suatu kesengajaan untuk disimpan melainkan 16
sebuah fasilitas yang disediakan bagi muzaki untuk mempermudah melakukan transaksi. Dari beberapa pengertian dana non halal diatas, maka dapat disimpulakan bahwa dana non halal adalah dana yang bersumber dari bunga bank dan jasa giro yang ditibulkan karena danya penggunaan jasa bank konvensional dalam lalu lintas pembayaran dana ZIS yang bukan merupakan suatu kesengajaan dalam menerianya melainkan karena adanya kondisi darurat. Dikatakan darurat karena pada umumnya masyarakat Indonesia menggunakan rekening bank konvensional, sehingga untuk mempermudah muzaki dalam membayar zakat maka Badan Amil Zakat melakukan kerja sama dengan pihak bank konvensional. Penyaluran dana non halal lebih utama bagi kaum muslim daripada membiarkan dana non halal tersebut jatuh ke tangan kau kafir yang nantinya akan menggunakan dana tersebut ke jalan yang dimurkai oleh Allah SWT (Raziq dan Yanti, (2013). Penyaluran dana non halal harus sesuai dengan prinsip syariah, agar dana non halal ini kelak tidak akan menjadi boomerang bagi kaum muslim itu sendiri. Penyaluran dana non halal harus menghindari adanya konsumsi dan fasilitas ibadah karena dana non halal hanya diperuntukkan untuk sarana kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, dan pengadaan tempat sampah (Megawati dan Trisnawati, 2014). Penerimaan dana non halal oleh amil dipisahkan dari dana zakat, dana infak, dan shodaqoh. Penerimaan bunga bank, jasa giro dan sebagainya diakui sebagai dana non halal menurut PSAK nomor 109. Dana non halal ini dipisahkan dari aset pada laporan keuangan amil karena aset dana non halal harus dikeluarkan/disalurkan sesuai dengan syariah. Dana non halal yang diterima oleh amil pada umumnya merupakan penerimaan dalam keadaan darurat yang tidak sesuai dengan syariat biasanya merupakan penerimaan yang bersumber dari pendapatan jasa giro bank dan bunga. Penerimaan zakat, infak, shodaqoh dari muzzaki melalui transfer bank konvensional itu pada saat tertentu bisa jadi terdapat unsur dana non halal yaitu berupa bunga bank. Sedangkan bunga dari bank konvensional merupakan bagian dari riba dan riba adalah tidak sesuai dengan syariat. Maka dari itu, amil harus memisahkan dana yang sifatnya darurat tersebut dari dana zakat, infak, dan shodaqoh. Dana non halal memang tidak dapat dihindari oleh amil dan dana tersebut yang diterima oleh amil tersebut harus segera dikeluarkan atau disalurkan dalam
17
bentuk bantuan umum untuk masyarakat seperti pembangunan jalan, renovasi toilet umum dan sebagainya. Amil mengungkapkan dana non halal tersebut dan mengklasifikasikan sesuai dengan sumber penerimaannya. Keberadaan dana non halal juga tidak boleh terlalu lama berada di amil dan secepat mungkin untuk dikeluarkan (Hisauddin dan Sholikha, 2014). D. Konsep Maqashid Syariah
Secara bahasa Maqashid Syariah terdiri dari 2 (dua) kata, maqashid dan syariah, dimana kata maqashid merupakan bentuk jamak dari maqshad yang berarti maksud dan tujuan, sedangkan syariah secara bahasa mempunyai arti jalan ke sumber mata air, yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim (sudrajat dan Sodiq, 2016). Menurut Al- Gazali dalam Birton (2015) Maqasid (tujuan) syariah adalah meningkatkan kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan iman, hidup, akal, keturunan dan harta dan apa saja yang memantapkan perlindungan kelima hal ini merupakan kemaslahatan umum dan dikehendaki. Madania dan Nafik (2016) menyatakan bahwa konsep maqashid syariah pada hakekatnya didasarkan pada wahyu untuk mewujudkan kemasalahatan hidup umat manusia. Sudrajat dan Sodiq (2016) menjelaskan bahwa tujuan penetapan hukum atau yang dikenal dengan istilah maqashid syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan keburukan, atau menarik manfaat dan menolak mudharat. Menurut Kara, Muslimin (2012) Asy-Syathibi membagi maqashid menjadi tiga kategori tingkatan kebutuhan yaitu: 1.
Dharuriyat, kebutuhan tingkat ‘primer” adalah sesuatu yan g harus ada untuk eksistensinya manusia atau dengan kata lain tidak sempurna kehidupan manusia jika
tidak
memenuhi
kelengkapan
kehidupan
manusia,
yaitu
secara
peringkatnya: agama, jiwa, akal, harta, dan keturunan. Kelima hal itu disebut aldharuriyat al-khamsah (dharuriyat yang lima). Kelima dharuriyat tersebut adalah hal yang mutlak harus ada pada diri manusia. Karenanya Allah swt menyuruh manusia untuk melakukan segala upaya keberadaan dan kesempurnaannya. Sebaliknya Allah swt melarang melakukan perbuatan yang dapat menghilangkan atau mengurangi salah satu dari lima dharuriyat yang lima itu. Segala perbuatan yang dapat mewujudkan atau mengekalkan lima unsure pokok itu adalah baik, dan karenanya harus dikerjakan. Sedangkan segala perbuatan yang merusak atau 18
mengurangi nilai lima unsur pokok itu adalah tidak baik, dan karenanya harus ditinggalkan. Semua itu mengandung kemaslahatan bagi manusia. 2.
Hajiyat, kebutuhan tingkat “sekunder” bagi kehidupan manusia yaitu sesuatu yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia, tetapi tidak mencapai tingkat dharuri. Seandainya kebutuhan itu tidak terpenuhi dalam kehidupan manusia, tidak akan meniadakan
atau
merusak
kehidupan
itu
sendiri.
Namun
demikian,
keberadaannya dibutuhkan untuk memberikan kemudahan serta menghilangkan kesukaran dan kesulitan dalam kehidupan mukallaf. 3.
Tahsiniyat, kebutuhan tingkat “tertier” adalah sesuatu yang sebaiknya ada untuk memperindah kehidupan. Tanpa terpenuhinya kebutuhan tersebut kehidupan tidak akan rusak dan juga tidak akan menimbulkan kesulitan. Keberadaan kebutuhan tingkat ini sebagai penyempurna dari dua tingkatan kebutuhan sebelumnya,
ia
bersifat
pelengkap
dalam
kehidupan
mukallaf,
yang
dititikberatkan pada masalah etika dan estetika dalam kehidupan. Menurut Madania dan Nafik (2016) Keberadaan konsep maqashid syariah ternyata dapat memberikan solusi dalam menjawab berbagai problem kekinian yang tidak diatur oleh wahyu secara tekstual dan kontekstual. Pemahaman mengenai jenis jenis zakat merupakan salah satu aspek dalam maqashid syariah zakat yang menentukan keberhasilan dalam pengumpulan dana zakat. Pemahaman maqashid syariah juga berkaitan dengan pengelolaan dana zakat oleh pengelola lembaga amil zakat. Pemahaman maqashid syariah yang baik dan benar akan memberikan panduan bagi pengelola untuk dapat mengelola lembaga amil zakat, hal ini juga untuk menghindari tindakan penyelewengan dana zakat, begitu juga dengan pemahaman akan konsep zakat itu sendiri (Madania dan Nafik, 2016). E. Evaluasi Kebijakan Penerimaan Dana Non Halal Pada BAZ Berdasarkan Maqashid Syariah
Badan Amil Zakat (BAZ) merupakan salah satu entitas nirlaba yang bertujuan untuk mengelola dan menyalurkan dana zakat kepada pihak yang membutuhkan sesuai dengan ketentuan syariah dan kegiatan operasionalnya jauh dari transaksi yang melanggar ketentuan syariah seperti transaksi ribawi (Raziq dan Yanti, 2013). Adanya penerimaa dana non halal pada Badan Amil Zakat akan menimbulakan pandangan negatif dimasyarakat tentang kepatuhan BAZ terhadap 19
syariah, terutama bagi masyarakat awam akan menimbulkan anggapan bahwa ada sebagian harta yang diterima atau disalurkan oleh BAZ yang tidak halal. Dana non halal bukan merupakan pendapatan atau dana yang secara sengaja diterima oleh entitas syariah seperti hasil korupsi, pencurian, perampokan yang diketahui sebelumnya oleh entitas syariah tersebut, melainkan dana non halal ini diterima oleh entitas syariah karena secara sistem entitas syariah otomatis menerima bunga bank akibat adanya penggunaan jasa bank konvensional sebagai lalu lintas pembayaran muzaki dalam membayar zakat dan infak/shadaqah. Penerimaan dana non halal oleh amil dipisahkan dari dana zakat, dana infak, dan shodaqoh. Penyaluran dana non halal harus sesuai dengan prinsip syariah, dimana penyaluran dana non halal harus menghindari adanya konsumsi dan fasilitas ibadah karena dana non halal hanya diperuntukkan untuk sarana kepentingan umum, seperti pembangunan jalan, dan pengadaan tempat sampah (Megawati dan Trisnawati, 2014). Namun, masalah haram tetap dinilai haram betapapun baik dan mulianya niat dan tujuan itu, bagaimanapun baiknya rencana, selama hal itu tidak dibenarkan oleh Islam, selamanya yang haram itu tidak boleh dipakai alat untuk mencapai tujuan yang terpuji, islam menginginkan tujuan yang suci dan caranya pun harus suci juga, oleh karena itu siapa yang mengumpulkan dana dengan jalan riba, maksiat, permainan haram, judi dan sebagainya yang dapat dikategorikan haram untuk mendirikan masjid atau untuk terlaksananya rencana-rencana yang lainnya, maka tujuan baiknya tidak akan menjadi syafaat baginya (Hisamuddin dan Sholikha, 2014). Badan Amil Zakat sebagai penghubung antara muzaki dan mustahiq bertanggungjawab atas pengelolaan dan penyaluran dana ZIS. Pengeloaan dan penyaluran dana ZIS mencakup kemaslahatan orang banyak maka pengelolaannya harus bersih dari transaksi ribawi dan sesuai dengan tujuan hukum islam atau dikenal dengan maqashid syariah. Dengan adanya pemahaman yang baik dan benar mengenai maqashid syariah maka akan memberikan panduan bagi amil untuk dapat mengelola Lembaga Amil Zakat, agar terhindar dari praktik ribawi. Islam menginginkan tujuan yang suci maka proses pencapaiannyapun harus suci, maka dari itu penerimaan dana non halal seharusnya tidak ada pada Badan Amil Zakat.
20
F. Evaluasi Ketentuan Dana Non Halal Pada PSAK No. 109 Berdasarkan Maqashid Syariah
Salah satu pembahasan dalam PSAK Nomor 109 tentang Akuntansi Zakat adalah mengatur sumber penerimaan dan penyaluran dana non halal. Adapun ketentuan PSAK Nomor 109 tentang pengakuan dan pengukuran dana non halal yaitu: 1.
(Ayat 32) Penerimaan dana non halal adalah semua penerimaan dari kegiatan dan tidak sesuai dengan prinsip syariah, antara lain penerimaan jasa giro atau bunga yang berasal dari bank konvensional. Penerimaan dana non halal pada umumnya terjadi dalam kondisi darurat atau kondisi yang tidak diinginkan oleh entitas syariah karena secara prinsip dilarang,
2.
(Ayat 33) Penerimaan dana non halal diakui sebagai dana non halal, yang terpisah dari dana zakat, dana infak/sedekah dan amil zakat. Aset non halal disalurkan sesuai dengan prinsip syariah.
3.
(ayat 34) Amil menyajikan dana zakat, dana infak/sedekah, dana amil, dan dana nonhalal secara terpisah dalam neraca (laporan posisi keuangan).
4.
(Ayat 41) Amil harus mengungkapkan keberadaan dana non halal, jika ada, diungkapkan mengenai kebijakan atas penerimaan dan penyaluran dana, alasan, dan jumlahnya. Adanya ketentuan dana non halal pada PSAK No. 109 mengindikasikan
bahwa dana non halal diperbolehkan. Hal ini mengundang pandangan masyarakat bahwa dana yang disalurkan terdapat dana yang tidak halal atau dana haram. Oleh karena itu akun dana non halal seharusnya tidak ada dalam laporan keuangan Badan Amil Zakat (BAZ). PSAK No 109 mengatur tentang Akuntansi Zakat dan Infak/shadaqah maka ketentuannyapun harus sejalan dengan tujuan hukum islam atau maqashid syariah. Penerimaan dana non halal dapat ditiadakan apabila BAZ tidak melakukan kerja sama dengan bank konvensional dan didukung oleh dipertegasnya PSAK No. 109 yang tidak memperbolehkan adanya dana non hala l. Zakat merupakan salah satu ibadah wajib dalam islam, maka tidak ada toleransi dalam hal peribadatan. Allah SWT. Berfirman: “Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku” (QS. Al-Kafirun:6)
21
Oleh karena itu BAZ dan PSAK harus mempertegas bahwa penerimaan dana non halal tidak diperbolehkan. Ketergantungan Badan Amil Zakat terhadap penggunaan jasa bank konvensional sangat tinggi sehingga peniadaan jasa bak konvensional pada BAZ sangat sulit dilakukan. Ketergantungan ini disebabkan oleh donator yang lebih memilih menggunakan rekening bank konvensional. Raziq dan Yanti (2013) menjelaskan bahwa keputusan supaya BAZ tidak menggunakan rekening bank konvensional tentunya diperlukan persiapan yang matang antara la in: 1. BAZ harus memahamkan donatur dan calon danatur mengenai hukum riba dan berinteraksi dengan lembaga riba seperti membuka rekening dibank konvensional yang menimbulkan penerimaan dana non halal hukumnya adalah haram. Hal ini bisa dilakukan dengan mengadakan seminar, misalnya dengan tema dibawah naungan keberkahan syariat Islam, indahnya hidup tanpa riba, dan lain sebagainya. 2. Forum Zakat (FoZ) seharusnya mampu membuat kesepakatan terhadap semua BAZ agar secara serentak dan bertahap tidak membuka rekening di bank konvensional misalnya dengan mencetuskan gerakan bebas ribawi atau gerakan bebas dana non halal. Jika hanya di lakukan oleh salah satu BAZ saja kemungkinan besar akan terasa berat. 3. Bank Indonesia dan Persatuan Bank Syariah Indonesia (PBSI) harus mampu menstimulus Bank Syariah di Indonesia agar meminimalisir kekurangankekurangan yang dimiliki agar mampu memberikan fasilitas yang minimal setara dengan fasilitas Bank Konvensional sehingga ketika BAZ hanya membuka rekening syariah, donatur mereka sudah cukup puas dalam pelayanan fasilitas bank syariah dalam menyalurkan zakatnya. 4. IAI harus bekerja sama dengan FoZ dengan mengeluarkan aturan dalam PSAK N0. 109 bahwa penerimaan dana non halal tidak diperbolehkan. G. Penelitian Terdahulu
Roziq dan Yanti (2013) melakukan penelitian yang berjudul: Pengakuan, Pengukuran, Penyajian dan Pengungkapan Dana Non Halal Pada Laporan Keuangan Lembaga Amil Zakat. Penelitian ini mengambil studi kasus pada LAZ Yatim Mandiri, LAZ Rumah Zakat, dan LAZ DD Surabaya dengan menggunakan metode 22
penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Berdasarkan pendekatan ini peneliti mengumpulkan, mempersiapkan, dan menganalisis data berupa laporan keuangan dan hasil wawancara dengan pihak manajemen keuangan organisasi. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa perlakuan dana non halal pada laporan keuangan LAZ Yatim Mandiri, LAZ Rumah Zakat, dan LAZ DD Surabaya belum sesuai dengan PSAK No. 109. Hisamuddin dan Sholikha (2014) melakukan penelitian yang berjdul Persepsi, Penyajian dan Pengungkapan Dana Non Halal pada BAZNAS dan PKPU Kaupaten Lumajang. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitaatif dengan pendekatan eksploratoris. Penelitian ini bertujuan dan berusaha menggali lebih dalam mengenai dana non halal pada BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang dalam pembuatan laporan keuangan telah sesuai dengan PSAK No. 109 dan telah mengelolan dan menyalurkan dana non halal sesuai dengan ketentuan syariah yaitu menghindari konsumsi dan fasilitas ibadah. Megawati dan Trisnawati (2014) dalam penelitiannya yang berjuudul: Penerapan PSAK No. 109 Tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah pada BAZ Kota Pekanbaru. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BAZ Kota Pekanbaru dalam pelaporan keuangannya telah sesuai dengan PSAK No. 109 Kristin dan Umah (2011) Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil Zakat (Studi pada LAZ DPU DT Cabang Semarang). Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian Kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder dengan menggunakan teknik pengumpulan data denan cara observasi langsung, wawancara dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menujukkan bahwa LAZ DPU DT Cabang Semarang belum sepenuhnya menerapkan PSAK No. 109. Instutik (2013) Analisis Implementasi Akntansi Zakat dan Infak/Sedekah (PSAK: 109) pada Lembaga Amil Zakat Di Kota Malang. Penelitian ini menggunakan metodologi penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif untuk menjelaskan kondisi factual bentuk dan komponen laporan keuangan yang dimiliki oleh lembaga amil sebagai cerminan pemehamannya terhadap PSAK No 109. Hasil
23
penelitian ini mnunjukkan bahwa Lembaga Amil Zakat Di Kota Malang belum menerapkan PSAK No 109 karena kurangnya pemahaman pengelola lembaga amil terhadap akntansi. Sahnaz, Sabrina (2016) Penerapan PSAK No 109 Tentang Pelaporan Keuangan Akuntansi Zakat, Infak/sedekah pada BAZNAS Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini bertujuan untuk melhat bagaimana penerapan laporan keuangan BAZNAS Provinsi SULUT apakah telah sesuai dengan PSAK No. 109. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa BAZNAS Provinsi SULUT belum menyusun laporan keuangan sesuai dengan PSAK no 109. H. Rerangka Pikir
Berdasarkan uraian landasan teori mengenai dana non halal pada Badan Amil Zakat dan ketentuan dana non halal pada PSAK No 109 yang ditinjau berdasarkan maqashid syariah, peneliti merumuskan paradigma pemikiran penelitian sebagai berikut: Peniadaan Jasa Bank Konvensional
Shariah Enterprise Theory
Maqashid Syariah
Dana Non Halal
Badan Amil Zakat (BAZ)
PSAK No. 109
Penghapusan Dana Non Halal
24
III.
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penalitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian kualitatif yang menggunakan studi interpretif. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif karena didasarkan pada dua alasan, pertama permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini membutuhkan sejumlah data lapangan yang bersifat aktual dan konseptual
dan
pemikiran – pemikiran
yang
mendalam
dalam
mengkaji
permasalahan yang ada. Kedua, pemilihan pendekatan ini didasarkan pada keterkaitan masalah yang dikaji dan tidak dapat dipisahkan oleh fakta alamiyah. Menurut Sudjana (2009) pemikiran kualitatif menghasilkan deskriptif dan analisis tentang kegiatan, proses, atau peristiwa – peristiwa penting. Penelitian ini akan menganalisis penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat dan mengkritisi adanya penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat Makassar. Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data – data dari Badan Amil Zakat Makassar yang berlokasi di Jl. Mesjid Raya, Parang Layang, Bontoala, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90165. B. Pendekatan penelitian
Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan
interpretif-phenomenology.
Pendekatan interpretif-phenomenology mengakui adanya kebenaran empiris yang memerlukan akal budi untuk melacak dan menjelaskan serta berargumentasi. Pendekatan interpretif beranggapan bahwa pemahaman suatu fenomena sosial dapat diperoleh dengan mempelajari suatu teks secara mendetail, dimana teks disini dapat diartikan sebagai suatu pembicaraan, tulisan atau gambar. Pendekatan ini lebih menekankan pada ketertibatan peneliti secara langsung dan intensif dalam kasus yang menjadi objek studinya, untuk menemukan makna yang paling dalam dari suatu fenomena. Tujuannya untuk memberikan gambaran apa adanya dan selengkap mungkin tentang fenomena tersebut, yaitu bagaimana sebuah fenomena terbentuk secara sosial (social constructed) (Efferin dkk 2004; 25). Bagi interpretif tidak semua realita yang terjadi di dunia nyata terlepas dari alam pikiran manusia.
25
C. Jenis dan sumber data
Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data subjek (self-report data) yang diperoleh dari wawancara dengan informan dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. Data Primer (Primary Data) Pemenuhan kebutuhan data primer secara tepat menjadi langkah awal penentuan validitas hasil penefitian. Dalam penelitian ini, data primer pada dasarnya adalah berupa data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara dengan informan. Informan yang akan dijadikan sumber data dalam kajian ini yaitu staf atau pengelola Badan Amil Zakat Makassar. 2. Data Sekundar (secondary data) Pada dasarnya kedudukan data sekunder dalam kajian ini memiliki kedudukan yang sama dengan data primer sebagaimana dijelaskan di atas. Sumber data sekunder meliputi: 1) Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.109, 2) Kebijakan Akuntansi Badan Amil Zakat, 3) Hasil penelitian dan kajian terdahulu yang dianggap relevan untuk kajian ini. D. Metode pengumpulan data
Untuk menganalisis dan menginterpretasikan data dengan baik, maka diperlukan data yang akurat dan sistematis agar hasil yang didapat mampu mendeskripsikan situasi objek yang sedang diteliti dengan benar. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Wawancara Wawancara digunakan sebagai tehnik pengumpulan data apabila peneliti
ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan juga apabila peneliti ingin mengetahui hal – hal dari responden yang lebih mendalam. Teknik pengumpulan data ini mendasarkan diri pada laporan tentang diri sendiri atau self report atau setidak – tidaknya pada pengetahuan dan atau keyakinan pribadi. Wawancara yang dilakukan adalah komunikasi secara langsung (tatap muka) antara pewawancara yang mengajukan pertanyaan secara lisan dengan responden yang menjawab pertanyaan secara langsung. Wawancara dilakukan dengan informan yang dianggap berkompeten dan mewakili.
26
2. Observasi Observasi Observasi/Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data dengan cara mengamati aktivitas dan kondisi obyek penelitian. Teknik ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai fakta dan kondisi di lapangan yang terdapat pada obyek penelitian, selanjutnya membuat catatancatatan hasil pengamatan tersebut. 3.
Studi Pustaka Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan penelusuran dengan menggunakan referensi dari buku, jurnal, PSAK dan perundangundangan terkait dengan objek penelitian untuk mendapatkan konsep dan datadata yang relevan dengan permasalahan yang dikaji sebagai penunjang penelitian.
4.
Internet searching Internet searching merupakan penelitian yang dilakukan dengan mengumpulkan berbagai tambahan referensi yang bersumber dari internet guna melengkapi referensi penulis serta digunakan untuk menemukan fakta atau teori berkaitan masalah yang diteliti.
E. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen utama penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti sebagai instrumen utama dalam penelitian akan menjadi pihak yang terjun langsung kelapangan serta harus berinteraksi dengan orang-orang yang berkaitan langsung dengan tujuan dari penelitian ini, serta pengumpulan data dilapangan dilakukan dengan menggunakan catatan lapangan berupa catatan tertulis dan alat perekam. Seperti telah disebutkan sebelumnya pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan. Jadi, meksudnya adalah memilih sampel dari orang-orang atau pihak-pihak yang mampu memberikan informasi sesuai dengan tujuan penelitian. F. Teknik Analisis Data
Proses analisis data dilakukan sejak pengumpulan data sampai selesainya proses pengumpulan data tersebut. Adapun proses-proses tersebut dapat dijelaskan ke dalam tiga tahap berikut:
27
1.
Reduksi data dilakukan dengan jalan memfokuskan perhatian dan pencarian materi penelitian dari berbagai literatur yang digunakan sesuai dengan pokok masalah yang telah diajukan pada rumusan masalah. Data yang relevan dianalisis secara cermat, sedangkan yang kurang relevan disisihkan.
2.
Penyajian data
yang
dilakukan
peneliti
dengan menggunakan metode
interpretif. diawali dengan menjelaskan rumusan masalah dengan persepsi penulis sebagai pengantar untuk menyinggung persepsi informan mengenai pertanyaan yang diajukan. Kemudian data yang di peroleh yang berhubungan dengan
rumusan
masalah
dijelaskan
terlebih
dahulu
kemudian
menghubungkannya dengan teori untuk bisa menjawab rumusan masalah. Karena penelitian ini menggunakan metode interpretif maka penyajian hanya sebatas pemaparan antara data yang diperoleh dengan teori untuk menjawab permasalahan. 3.
Penarikan kesimpulan. Dari pengumpulan data dan analisa yang telah dilakukan, peneliti mencari makna dari
setiap gejala yang diperolehnya dalam proses
penelitian, mencatat keterbatasan yang dihadapi dalam penelitian ini, dan implikasi positif yang diharapkan bisa diperoleh dari penelitian ini. G. Pengujian Keabsahan Data
Dalam penelitian kualitatif, pengujian keabsahan data untuk mendapatkan nilai kebenaran terhadap penelitian disebut juga dengan uji kredibilitas (credibility). Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data hasil penelitian kualitatif dapat dilakukan antara lain dengan cara perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan membercheck. Namun karena penelitian ini menggunakan berbagai sumber data dan teori dalam menghasilkan data dan informasi yang akurat, maka cara yang tepat digunakan adalah dengan menggunakan metode triangulasi. Triangulasi meliputi empat hal yaitu triangulasi metode, triangulasi antar peneliti, triangulasi sumber dan triangulasi teori. Namun peneliti hanya menggunakan dua dari empat jenis triangulasi untuk menyelaraskan dengan penelitian ini, yaitu : 1.
Triangulasi teori, pengunaan berbagai teori untuk memastikanbahwa data yang dikumpulkan sudah memasuki syarat, selanjutnya dibandingkan dengan perspektif teori yang relevan dalam hal ini shariah enterprise theory digunakan 28
untuk memaknai penerimaan dana non halal pada Badan Amil Zakat. Selain itu, triangulasi teori dapat meningkatkan kedalaman pemahaman selama teori tersebut juga dapat dikaji secara mendalam. 2.
Triangulasi data, menggunakan berbagai sumber data seperti dokumen, arsip, hasil wawancara, hasil observasi atau juga dengan mewawancarai lebih dari satu subjek yang dianggap memiliki sudut pandang yang berbeda dan menggali kebenaran informasi penelitian melalui sumber lain agar dapat memberikan bukti dan keandalan yang berbeda.
29
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an dan terjemahan. Amelia, Erika. 2012. Penyaluran Dana Zakat Produktif Melalui Pola Pembiayaan (Studi Kasus BMT Bainaul Ummah Bogor). Signifikan. 1(2): 79-92. Ayuniyyah, Q. 2011. Factors Affecting Zakat Payment Through Institution of Amil Muzaki’s Perspectives Analysis (Case Study of Badan Amil Zakat Nasional BAZNAS ). Jurnal Ekonomi Islam Al-Infaq. 2(2): 1-16. Birton. 2015. Maqasid Syariah Sebagai Metode Membangun Tujuan Laporan Keuangan Entitas Syariah. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 6(3): 421-431. Departemen Agama Republik Indonesia Efferin, Darmadji, dan Tan. 2004. Metode Penelitian untuk Akuntansi. SebuahPendekatan Praktis. Bayu Media. Malang, Jawa-Timur. Indonesia. Hermawan dan Rini. 2016. Pengelolaan Dana Zakat, Infaq, Dan Shadaqah Perspektif Shariah Enterprise Theory. Riset Akuntansi dan Keuangan Indonesia. 1(1): 1224. Hisamuddin, Nur dan I. H. Sholikha. 2014. Persepsi, Penyajian dan Pengungkapan Dana Non Halal pada BAZNAS dan PKPU Kabupaten Lumajang. Jurnal Zakat dan Wakaf . 1(1): 1-36. Huda, Nurul dan Suwarjuwono T. 2103. Akuntabilitas Pengelolaan Zakat Melalui Pendekatan Modifikasi Action Research. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 4(3): 376-388. Husain, Saddan dan W. Abdullah. 2015. Metafora Amanah Pengelolaan Dana Pihak Ketiga (DPK) Sebagai Penopang Asset Perbankan Syariah Ditinjau dari Aspek Trilogi Akuntabilitas (Studi Kasus Pada PT. Bank BNI Syariah Cabang Makassar). Iqtisaduna. 1(2): 40-64. Ikatan Akuntan Indonesia. 2008. ED Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan No. 109 Pelaporan Keuangan Akuntansi Zakat,infaq/sedekah. Jakarta. Indriastuti, Maya dan L.M. Ifada. 2015. Analisis Sistem Pengukuran Kinerja Perbankan Syariah. Conference in Business, Accounting and Management . 2(1): 309-319. Istutik. 2013. Analisis implementasi akuntansi zakat dan Infak/sedekah (PSAK:109) pada Lembaga Amil Zakat di Kota Malang. Jurnal Akuntansi Aktual . 2(1): 1924. Kalbarini, Rahmah Yulisa. 2014. Implementasi Akuntabilitas dalam Konsep Metafora Amanah Di Lembaga Bisnis Syariah (Studi Kasus : Swalayan Pamella Yogyakarta). Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan. 1(7): 506-517. Kara, Muslimin. 2012. Pemikiran Al-Syatibi Tentang Maslahah dan Implementasinya dalam Pengembangan Ekonomi Syariah. Assets. 2(2): 173-184. Kristin, Ari dan Umah U. K. 2011. Penerapan Akuntansi Zakat pada Lembaga Amil Zakat (Studi Pada LAZ DPU DT Cabang Semarang). Value Edded . 7(2): 68-97.
30
Madania, Citra Aisya dan Nafik Muhammad. 2016. Pemahaman Maqashid Syariah (Akal) Terhadap Kinerja Lembaga Zakat Yatim Mandiri di Surabaya. Jurnal Ekonomi Syariah Teori dan Terapan. 3 (3):187-202. Manunggal, Syarifuddin A.M. 2011. Signifikan Manajemen Zakat Produktif Dalam Praktik Badan Amil Zakat di Indonesia. AHKM. 13 (2):161-178. Megawati, Devi dan Trisnawati Fenny. 2014. Penerapan PSAK 109 Tentang Akuntansi Zakat dan Infak/Sedekah pada BAZ Kota Pekanbaru. Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan. 7(1): 40-59. Mohsin, Magda Ismail A. 2015. Potential of Zakat in Eliminating Riba and Eradicating Poverty in Muslim Countries {Case Study: Salary Deduction Scheme of Malaysia}. International Of Journal Islamic Management and Business. 1(1): 40-59. Nikmatuniayah. 2014. Komparasi Sistem Pengendalian Internal Pengelolaan Lembaga Amil Zakat. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 5(3): 498-510. Novarela, Dori dan I. M. Sari. 2015. Pelaporan Corporate Social Responsibility Perbankan Syariah dalam Perspektif Syariah Enterprise Theory. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Islam. 2(2): 145-160. Puspitasari, Yulifa dan Habiburrochman. 2013. Penerapan PSAK No. 109 atas Pengungkapan Wajib dan Sukarela. Jurnal Akuntansi Multiparadigma. 4(3): 479-494. Raziq, Ahmad dan Widya Yanti. 2013. Pengakuan, Pengukuran, Penyajian dan Pengungkapan dana Non Halal Pada Laporan Keuangan Lemabag Amil Zakat. Jurnal Akuntansi Universitas Jember . 11(2): 20-47. Samsiyah, Sambharakhresna dan Kompyurini. 2013. Kajian implementasi Corporate Social Responsibility Perbankan Syariah Ditinjau dari Shariah Enterprise Theory pada PT Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Bhakti Sumekar Cabang Pamekasan. Jurnal Infestasi. 9(1): 47-60. Soedarso, Elvyra HandaYani. 2013. Penilaian Kinerja Fisik (Iviateri) Koperasi Syari'ah Menurut Perspektif Shari'ate Enterprise Theory dengan Nilai Tambah Syari'ah dan Zakat sebagai Indikator. Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan. 1(3): 195215. Sudjana, Nana., 2009. Penilaian Hasil proses Belajar mengajar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sudrajat dan Sodiq. 2016. Analisis Penilaian Kinerja Bank Syariah Berdasarkan Indeks Maqasid Shari'ah (Studi Kasus Pada 9 Bank Umum Syariah Di Indonesia Tahun 2015). Bisnis. 4(1): 178-200. Triyuwono, Iwan. 2007. Mengangkat Sing Liyan Untuk Formulasi Nilai Tambah Syari’ah. SNA X, Unhas Makassar. Wati, Ayu M. P., Djoko Kristianto., dan M. R. Sunarko. 2016. Evaluasi Penerapan Sistem Informasi Akuntansi Penerimaan Kas Organisasi Nirlaba (Studi Kasus pada Lembaga Amil Zakat Nassional Nurul Hayat Cabang Solo). Jurnal Akuntansi dan Sistem Teknologi Informasi. 12(4): 428-438.
31
Zakaria, Mahen. 2014. The Influence of Human Needs in the Perspective of Maqasid alSyari’ah on Zakat Distribution Effectiveness. Asian Social Science. 10(3): 165173. Zakaria, Maheran dan N. A. A. Malek. 2014. Effects of Human Needs Based on the Integration of Needs as Stipulated in Maqasid Syariah and Maslow’s Hierarchy of Needs on Zakah Distribution Efficiency of Asnaf Assistance Business Program. Jurnal Pengurusan. 40: 41 – 52.
32