Critical Review Teori Teori
Tempat Pusat Christaller dan
Relevansinya di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisis Lokasi dan Pola Ruang (TKP 341) Dosen Pengampu: Sri Rahayu, S.Si, M.Si.
Disusun oleh : Izzah Khusna 21040113140123
JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2014
1. Pendahuluan Pada zaman dahulu kala, jarak adalah suatu yang masih menjadi permasalahan besar bagi masyarakat dunia. Keterbatasan jenis transportasi kuno yang lama membuat kegiatan ekonomi mmenjadi lambat. Oleh karena itulah, Walter Christaller mencoba untuk menganalisis keadaan yang pada saat itu terjadi. Beliau menemukan sebuah teori lokasi yaitu memaparkan bagaimana hubungan antara jarak, biaya, dan waktu dapat dikendalikan secara efisien. Seiring berjalannya waktu, transportasi sebagai salah satu modal usaha telah mengalami perubahan. Teknologi canggih, jenis transportasi yang cepat, dan aksesibilitas yang tinggi membuat kegiatan manusia menjadi serba cepat dan seakan tiada batas. Lalu, bagaimana teori Christaller menghadapi perubahan seperti ini? Masih relevankah dengan kondisi sekarang? 2. Kajian Teori Teori Tempat pusat (Central Place Theory ) merupakan suatu tempat dimana produsen cenderung mengelompok di lokasi tersebut untuk menyediakan barang dan jasa bagi populasi di sekitarnya (. Teori ini pertama kali dirumuskan oleh Walter Christaller pada tahun 1933 dalam bukunya yang berjudul Central Places In Southern Germany . Dalam buku ini Christaller mencoba menjelaskan bagaimana susunan dari besaran kota, jumlah kota, dan distribusinya di dalam satu wilayah. Teori tempat pemusatan kemudian dikenal sebagai teori pertumbuhan perkotaan yang pada dasarnya menyatakan bahwa pertumbuhan kota tergantung spesialisasinya dalam fungsi pelayanan perkotaan, sedangkan tingkat permintaan akan pelayanan perkotaan oleh daerah sekitarnya akan menentukan kecepatan pertumbuhan kota (tempat pemusatan) tersebut. Teori central place ini didasarkan pada prinsip jangkauan (range) dan ambang batas (threshold). Range merupakan jarak jangkauan antara penduduk dan tempat suatu aktivitas pasar yang menjual kebutuhan komoditi atau barang. jumlah minimum penduduk atau konsumen yang Threshold adalah dibutuhkan untuk menunjang kesinambungan pemasokan barang atau jasa yang bersangkutan, yang diperlukan dalam penyebaran penduduk atau konsumen dalam ruang (spatial population distribution). Model Christaller tentang terjadinya model area perdagangan heksagonal adalah sebagai berikut: 1. Mula-mula terbentuk areal perdagangan suatu komoditas berbentuk lingkaranlingkaran. Setiap lingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari komoditas tersebut. 2. Kemudian digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditas tersebut yang lingkarannya boleh tumpang tindih. 3. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan yang tidak lagi tumpang tindih. 4. Tiap barang berdasarkan tingkat ordenya memiliki heksagonal sendiri-sendiri. Pusat hirarki yang lebih rendah berada pada sudut dari hirarki yang lebih tinggi sehingga pusat yang lebih rendah berada pada pengaruh dari tiga hirarki yang lebih tinggi darinya.
Sistem tempat pusat membentuk suatu hirarki yang teratur dimana keteraturan dan hierarki tersebut didasarkan pada prinsip bahwa suatu tempat menyediakan tidak hanya barang dan jasa untuk tingkatannya sendiri, tetapi juga semua barang dan jasa lain yang ordernya lebih rendah. Hirarki tempat pusat menurut teori ini dibedakan menjadi 3, yaitu: a. Tempat sentral yang berhirarki 3 (K = 3) merupakan pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa menyediakan barang-barang bagi daerah sekitarnya atau disebut juga sebagai kasus pasar optimal. b. Tempat sentral yang berhirarki 4 (K = 4) merupakan situasi lalu lintas yang optimum yakni daerah tersebut dan daerah sekitarnya yang terpengaruh oleh tempat sentral senantiasa memberikan kemungkinan jalur lalu lintas yang paling efisien. c. Tempat sentral yang berhirarki 7 (K = 7) merupakan situasi administratif yang optimum dimana tempat sentral ini mempengaruhi seluruh bagian wilayah-wilayah tetangganya. 3. Gambaran Umum Kota Jepara Secara geografis, Kabupaten Jepara terletak pada posisi 110º 9’48,02’’ sampai 110º58’37,40’’ BT dan 5º43’20,67’’ sampai 6º47’25,83’’ LS, sehingga merupakan daerah paling ujung sebelah utara dari Provinsi Jawa Tengah. Beribukota di Kecamatan Jepara dengan jarak tempuh ke ibukota provinsi sekitar 71 km dan dapat ditempuh dengan kendaraan lebih kurang 2 jam. Luas wilayah Kabupaten Jepara adalah 100,413,189 ha (1.004,132 km²). Wilayah tersempit adalah Kecamatan Kalinyamatan (2.3710,001 ha) sedangkan wilayah terluas adalah Kecamatan Keling (12.311,588 ha). Adapun batas-batas wilayah administrative Kabupaten Jepara adalah sebagai berikut: Sebelah Utara : Laut Jawa Sebelah Selatan : Kabupaten Demak Sebelah Timur : Kabupaten Kudus dan Kabupaten Pati Sebelah Barat : Laut Jawa
Gambar 3.1 Peta Administrasi Wilayah Kabupaten Jepara
Jarak ibukota kabupaten dengan Kecamatan Tahunan adalah 7 km, dan jarak terjauh adalah dengan Kecamatan Karimunjawa yaitu 90 km. Sedangkan jarak dari Kabupaten Jepara ke kota-kota terdekat adalah sebagai berikut: Kudus : 35 km Demak : 45 km Pati : 59 km Rembang : 95 km Blora : 131 Kabupaten Jepara memiliki banyak potensi, meliputi industri kerajinan meubel ukir di Kecamatan Jepara dan Tahunan, batik Troso di Kecamatan Pecangaan, wisata bahari di Pantai Bandengan, penghasil perikanan dan pertanian, wisata bahari unggulan di Kecamatan Karimunjawa, dan sebagainya 4.
Relevansi Critical Review
Teori Christaller di Kabupaten Jepara (Kecamatan Jepara sebagai tempat pusat) 1. Konsumen menanggung ongkos angkutan maka jarak ke tempat pusat dinyatakan dalam biaya dan waktu Tergantung jenis angkutan umum yang digunakan. Untuk angkot (angkutan kota) dan angdes (angkutan desa) adalah Tidak Relevan. Saat ini tanggungan ongkos tidak dipengaruhi oleh jarak. Sebab, ongkos angkutan adalah sama untuk jarak jauh maupun dekat. Misal: untuk menempuh dari Kecamatan Tahunan- Kecamatan Jepara (Ibukota kabupaten) (5 KM) memiliki ongkos yang sama jika menempuh dari Kecamatan Bangsri- Ibukota kabupaten (10 KM)
Untuk bus ekonomi dan jasa angkut adalah Relevan. Semakin jauh jarak yang ditempuh, semakin besar biaya harga yang dibayarkan. Misal: Untuk menempuh Kecamatan Kalinyamatan- Ibukota kabupaten dibutuhkan ongkos bus Rp.4000, sedangkan untuk menempuh Kecamatan Tahunan- Ibukota kabupaten dibutuhkan ongkos bus Rp. 2000
2. Jangkauan suatu barang ditentukan oeh jarak yang dinyatakan biaya dan waktu Tidak Relevan. Seiring berkembangnya teknologi, transportasi kian canggih, dan aksesibilitas yang tinggi untuk mendapatkan suatu barang tidak terlalu membutuhkan tenaga, biaya, dan waktu yang berlebihan. Jadi, jika suatu barang terdapat di tempat yang jauh, maka tidak berarti harga barang tersebut menjadi mahal. Kondisi ini berkaitan dengan kritik pada asumsi nomor tiga. Misal: Kegiatan industri pengolahan meubel di Kecamatan Tahunan memiliki karyawan dari berbagai kecamatan, namun upah/gaji/ongkos yang diterima oleh para karyawan tidak dibedakan berdasarkan jarak tempat tinggal mereka, melainkan kemampuan mereka. Salah satu faktornya adalah sebagian besar karyawan yang berasal dari tempat yang jauh memiliki kendaraan bermotor.
3. Konsumen memilih tempat pusat yang paling dekat untuk mendapatkan barang dan jasa Tidak Relevan. Semakin tinggi tingkat aksesibilitas dan teknologi yang berkembang, asumsi ini menjadi tidak relevan dengan kondisi masyarakat di Kabupaten Jepara. Misal: karena Kabupaten Jepara hanya memiliki swalayan dan tidak memiliki mall , masyarakat cenderung memilih berbelanja dan berekreasi di kota lain, seperti Kabupaten Kudus dan Kota Semarang. Sebagian besar kegiatan ini dilakukan oleh masyarakat ekonomi menengah ke atas. Namun, ternyata asumsi ini masih relevan terhadap masyarakat ekonomi menengah ke bawah (dengan tempat tinggal jauh dari ibukota kabupaten) yang lebih memilih berbelanja di t oko-toko sekitarnya (pasar). 4. Kota-kota berfungsi sebagai tempat pusat bagi wilayah sekitarnya Masih Relevan. Sebagai ibukota kabupaten, Kecamatan Jepara merupakan tempat pusat segala kegiatan bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Hal ini bisa dilihat dari kondisi fisik kecamatan yang sebagian besar merupakan kawasan perdagangan dan jasa, perkantoran, dan pendidikan. 5. Wilayah tersebut merupakan dataran yang rata yang mempunyai ciri-ciri ekonomis dan penduduk yang sama serta penduduknya juga tersebar secara merata. Tidak relevan. Meskipun hampir keseluruhan wilayah Kabupaten Jepara merupakan dataran rendah, namun persebaran kegiatan ekonomi dan penduduknya belum tersebar merata. Kawasan industri hanya terdapat di beberapa wilayah, seperti: Industri pengolahan meubel di Kecamatan Tahunan, Industri Tekstil (Troso) di Kecamatan Pecangaan. Sedangkan persebaran penduduknya di masing-masing kecamatan tidak merata. Berdasarkan data BPS tahun 2008, penduduk terpadat adalah Kecamatan Jepara dan Tahunan. Hal ini disebabkan aglomerasi kegiatan ekonomi masyarakat tersentral di kedua kecamatan ini. Sedangkan jumlah penduduk yang paling sedikit adalah Kecamatan Karimunjawa. Tabel 4.1 Jumlah Rumah, Penduduk, Luas Daerah, dan Kepadatan Penduduk per km²
Sumber: Jepara dalam Angka 2008/2009, RPIJM Kabupaten Jepara 2009-2013
5. Kesimpulan Berdasarkan hasil perbandingan asumsi teori Christaller dan kondisi masyarakat di Kabupaten Jepara, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar asumsi sudah tidak relevan lagi dengan apa yang saat ini terjadi di Kabupaten Jepara. Hal ini membuktikan bahwa sebagian masyarakat Jepara juga telah melakukan perubahan dengan menggunakan teknologi dan transportasi yang canggih. Saat ini, kendaraan bermotor bukan lagi barang mewah di kabupaten tersebut. Tingkat aksesibilitas yang semakin tahun kian meningkat juga andil mempengaruhi ketidakrelevannya teori Christaller di Kabupaten Jepara. Meskipun begitu, ternyata masih dua poin asumsi yang masih relevan dengan teori Christaller. Salah satu contoh kasusnya adalah ongkos bus ekonomi di Kabupaten Jepara yang berbeda-beda berdasarkan jarak. Hal ini kemungkinan besar disebabkan kenaikan harga bahan bakar minyak, sehingga berdampak pula terhadap biaya yang dibayarkan oleh penumpang. DAFTAR PUSTAKA Badan Pusat Statistik. 2013. Jepara dalam Angka 2012 dalam jeparakab.bps.go.id. Diakses pada tanggal 8 Desember 2014. Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman. 2013. Perencanaan Sanitasi Pokja Kabupaten Jepara (pdf) dalam http://ppsp.nawasis.info . Diunduh pada tanggal 8 Desember 2014. Waluya, Bagja. 2012. Teori, Konsep, Metode, dan Teknik Analisis Dasar Geografi Ekonomi (pdf) dalam file.upi.edu. Diunduh pada tanggal 8 Desember 2014.