388/KP/I/2010-2011 LAPORAN KERJA PRAKTEK PT. AETRA AIR JAKARTA
ANALISIS PROSES PENGOLAHAN AIR MINUM INSTALASI PENGOLAHAN AIR BUARAN PT. AETRA AIR JAKARTA
Disusun oleh:
Camelia Indah Murniwati 15307066
PROGRAM STUDI TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN LINGKUNGAN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2010
i
LEMBAR PENGESAHAN
ANALISIS PROSES PENGOLAHAN AIR MINUM INSTALASI PENGOLAHAN AIR BUARAN PT. AETRA AIR JAKARTA
Disusun oleh: Camelia Indah Murniwati 15307066
Disetujui untuk Institut Teknologi Bandung oleh:
Koordinator Kerja Praktek,
Dosen Pembimbing,
Dr. Moch. Chaerul, S.T., M.T.
Ir. Idris Maxdoni Kamil, MSc., Ph.D
NIP. 132327356
NIP. 130809420
ii
ABSTRAK
Instalasi Pengolahan Air Buaran menggunakan air baku yang berasal dari Kanal Tarum Barat yang masuk secara gravitasi. IPA Buaran terdiri dari dua instalasi yaitu Buaran I dan Buaran II. Unit pengolahan air yang ada di IPA Buaran adalah bangunan penyadap air baku, saringan kasar, saringan halus, bak pengaduk, pulsator, saringan pasir cepat, dan reservoir. Proses yang terjadi adalah koagulasi pada bak pengaduk, flokulasi dan sedimentasi pada pulsator, penyaringan pada saringan pasir cepat, disinfeksi dengan klor, dan netralisasi dengan kapur. Bahan kimia yang umum digunakan adalah koagulan, khlor, dan kapur. Untuk menjaga proses yang terjadi agar berjalan dengan baik dan memperoleh air minum sesuai dengan standar diperlukan pemeriksaan secara berkala pada sampel air baku, air pulsator, air filter, dan air minum yang dihasilkan. Parameter yang diperiksa antara lain kekeruhan, pH, sisa khlor, organik, amonia, besi, dan mangan. Standar kualitas air baku diatur dalam S.K. Gub. DKI 582/1995 namun IPA Buaran memiliki standar berdasarkan Perjanjian Kerja Sama untuk air baku yang akan diolah. Kualitas air minum
yang dihasilkan harus mengikuti standar
PERMENKES 907/MENKES/SK/VII/2002. Untuk memenuhi standar tersebut, IPA Buaran memiliki standar operasional di masing-masing unit. Kontaminan utama yang mempengaruhi operasional IPA Buaran adalah kekeruhan, amonia, organik, besi, dan mangan.
Kata kunci: Instalasi Pengolahan Air Buaran, bangunan penyadap air baku, saringan kasar, saringan halus, bak pengaduk, pulsator, saringan pasir cepat, reservoir
iii
ABSTRACT
Buaran Water Treatment Plant uses raw water entering by gravity from West Tarum Canal. Buaran WTP consists of two installations, Buaran I and Buaran II. The existing water treatment unit in Buaran WTP is intake, coarse screen, fine screen, mixing basin, pulsator, rapid sand filter, and reservoir. The processes that occured are coagulation in the mixing basin, flocculation and sedimentation in the pulsator, filtration in the rapid sand filter, disinfection with chlorine, neutralization with lime. Chemicals that commonly used are coagulants, chlorine, and lime. To keep the process going to run well and get drinking water in accordance with drinking water standards, periodic checks on samples of raw water, pulsator water filter water, and drinking water are required. The parameters that are checked include turbidity, pH, residual chlorine, organic matter, ammonia, iron, and manganese. Raw water quality standards are regulated in S.K. Gub. DKI 582/1995 but Buaran WTP has a standard based on an agreement for raw water that will be processed. The quality of clean water should follow the standard in PERMENKES 907/MENKES/SK/VII/2002. To meet this standard, Buaran WTP has operational standards in every unit. Contaminants that affect operational of Buaran WTP are turbidity, ammonia, organic matter, iron, and manganese.
Key words: Buaran Water Treatment Plant, intake, coarse screen, fine screen, mixing basin, pulsator, rapid sand filter, reservoir
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberi segala nikmat sehingga saya dapat melakukan kerja praktek dan menyelesaikan laporan kerja praktek yang berjudul Analisis Proses Pengolahan Air Minum PT. Aetra Air Jakarta di Instalasi Pengolahan Air Buaran. Laporan kerja praktek ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam menempuh program sarjana S1 Program Studi Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Pada kesempatan ini saya ingin mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak H.M. Limbong, sebagai Senior Manajer Production Trunk Main (PTM), 2. Ibu Angelika Mustika Sari, sebagai Manajer PTM-Planning & Monitoring, 3. Bapak Djoni Heryanto, sebagai Manajer IPA Buaran, 4. Ibu Nini Triatmi, sebagai Career & Employee Development Manager, 5. Ibu Ismalainah, sebagai Supervisor Production & TM Planning, 6. Bapak Djanu Ismanto, sebagai Supervisor Production Operation, 7. Ir. Idris Maxdoni Kamil, MSc., Ph.D, sebagai dosen pembimbing kerja praktek TL ITB, 8. Dr. Ir. Agus Jatnika Effendi, sebagai Ketua Program Studi sarjana TL ITB, 9. Dr. Moch. Chaerul, S.T., M.T., sebagai koordinator mata kuliah kerja praktek TL ITB, 10. Orang tua saya, Papa Jaka dan Mama Ida serta adik saya, Faisal yang telah mendoakan dan mendukung saya, 11. Ibu Titi yang mengurus kelengkapan surat KP, 12. Ibu Sri yang meminjamkan buku perpustakaan, 13. Ibu Narmi, Ibu Rini, Ibu Sri, Pak Irsan, Ibu As, Ibu Andika, Mba Fitri, Pak Angga, Pak Irawan, Pak Ari, Pak Muhrojin, Pak Mahrudin, Pak Tarno sebagai teman satu ruangan yang memberikan bimbingan selama kerja praktek. 14. Pak Weddy, Pak Miskat, Pak Rizal, Pak Aay, Pak Sunaryo, Pak Fauzi, Pak Horizon, Pak Nurkhozin, Pak Mulyanto, Pak Joslan, Pak Sutikno, Pak
v
Tugiran, Pak Pardi yang ada di laboratorium proses yang telah memberikan penjelasan tentang proses produksi. 15. Pak Iman, Pak Budi, Pak Haji Akhmad, Pak Sunaryo, Pak Indra, Pak Ari, Pak Darmanto, Pak Latief, Pak Teguh yang telah memberi penjelasan tentang pengoperasian unit pengolahan. 16. Ibu Endang, Ibu Efita, Mba Rizma, Mas Putra, Mba Dian, Mba Maya, Pak Darsono, Pak Firman, Pak Tisna yang ada di laboratorium kualitas yang mengajarkan tentang pengecekan kualitas air. 17. Ibu Maya, Ibu Lili, Pak Gede, Ibu Puji, Pak Sumantri, Pak Ardi yang membimbing sewaktu di IPA Pulo Gadung, 18. Pak Sodik dan Pak Rudi yang mengajak sampling air distribusi di rumah warga, 19. Pak Arief yang mengajak ke rumah pompa Pasar Rebo dan Pusat Distribusi Cilincing, 20. Pak Fudoli yang mengantarkan ke Jatiluhur untuk melihat air baku, 21. Pak Suharto dan Pak Parno dari bagian maintenance, 22. Pak Talkhis dan Pak Riyadi yang menjelaskan tentang pelarutan kapur dan jembatan timbang, 23. Ibu Desi yang memberi bimbingan sewaktu di Pusat Distribusi Cilincing, 24. Ibu Sawitri, Ibu Etty, Ibu Uni, Ibu Andri yang juga memberikan bimbingan dan arahan selama kerja praktek, 25. Mas Faisal yang setiap hari menyediakan air minum di meja saya, 26. Abang Ojeg Dodi dan Amin yang sering mengantar ke kantor, 27. Semua pihak yang juga membantu dalam pelaksanaan kerja praktek dan penyusunan laporan yang namanya belum disebutkan. Dalam penyusunan laporan ini, masih banyak kekurangan karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, sangat diharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat bagi saya dan para pembaca sekalian. Jakarta, Juli 2010
Penulis
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
i
LEMBAR PENGESAHAN
ii
ABSTRAK
iii
ABSTRACT
iv
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
x
BAB I PENDAHULUAN
1
1.1
Latar Belakang
1
1.2
Tujuan
1
1.3
Metodologi
2
1.4
Ruang Lingkup
2
1.5
Sistematika Pembahasan
3
BAB II PROFIL PERUSAHAAN
4
2.1
Sejarah Singkat PT. Aetra Air Jakarta
4
2.2
Definisi, Rasional Nama dan Logo Brand Aetra
4
2.3
Latar Belakang Perubahan Brand TPJ Menjadi Aetra
5
2.4
Visi, Misi, Nilai dan Sub Nilai PT. Aetra Air Jakarta
5
2.5
Struktur Organisasi PT. Aetra Air Jakarta
7
2.6
Sarana Bangunan Pendukung Instalasi Produksi Buaran
16
2.7
Siklus Hidup Manajemen
27
BAB III PROSES PENGOLAHAN AIR MINUM IPA BUARAN
30
3.1
Air Baku
30
3.2
Diagram Alir IPA Buaran
34
3.3
Intake
35
3.4
Mixing Basin
40
vii
3.5
Pulsator
44
3.6
Rapid Sand Filter
50
3.7
Ground Reservoir
53
3.8
Pompa
56
3.9
Waste Basin
60
3.10
Sludge Drying Bed
61
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
63
4.1
Screening
63
4.2
Sedimentasi
63
4.3
Koagulasi
64
4.4
Flokulasi
66
4.5
Filtrasi
67
4.6
Disinfeksi
69
4.7
Pengolahan Besi dan Mangan
71
4.8
Proses Penghilangan Amonia
74
4.9
Reservoir
77
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN PROSES PENGOLAHAN AIR MINUM TAHUN 2009
78
5.1
Air Baku
78
5.2
Air Pulsator
87
5.3
Air Filter
94
5.4
Air Minum
101
BAB VI PENUTUP
109
6.1
Kesimpulan
109
6.2
Saran
110
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Parameter Pemeriksaan Air Baku
18
Tabel 2.2 Parameter Pemeriksaan Air Minum
19
Tabel 3.1 Standar Air Baku Berdasarkan S.K. Gub 582 Tahun 1995
34
Tabel 3.2 Standar Air Baku Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama
34
Tabel 3.3 Dosis Koagulan di Buaran
42
Tabel 3.4 Jumlah Pengoperasian Pulsator
46
Tabel 3.5 Pengoperasian Pulsator di Buaran
48
Tabel 3.6 Reservoir Air Minum Buaran II
56
Tabel 3.7 Jumlah pompa yang dapat dioperasikan berdasarkan ketinggian muka air pada masing-masing reservoir
58
Tabel 3.8 Dimensi Surge Tower
58
Tabel 3.9 Reservoir pada Pusat Distribusi Cilincing
59
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Struktur Board of Director PT. Aetra Air Jakarta
11
Gambar 2.2 Struktur Operation Director
12
Gambar 2.3 Struktur Production & Trunk Main
13
Gambar 2.4 Struktur Organisasi IPA Buaran
14
Gambar 2.5 Struktur Organisasi PTM – PM
15
Gambar 2.6 Site Plant IPA Buaran
16
Gambar 2.7 Gedung Operasional Buaran
17
Gambar 2.8 Laboratorium Kualitas
17
Gambar 2.9 Laboratorium Proses
21
Gambar 2.10 Kontainer Khlorin
22
Gambar 2.11 Evaporator Portacel dan WT
23
Gambar 2.12 Sistem Spiral pada Evaporator Portacel
23
Gambar 2.13 Regulator
23
Gambar 2.14 Khlorinator untuk Pre, Inter, dan Post
24
Gambar 2.15 Injektor
24
Gambar 2.16 Netralisasi
24
Gambar 2.17 Tempat Penyimpanan Kapur Powder
25
Gambar 2.18 Inlet Kapur Powder
25
Gambar 2.19 Bak Pencampuran Kapur Powder dengan Air
25
Gambar 2.20 Mixer Kapur
25
Gambar 2.21 Saturator
26
Gambar 2.22 Pompa Kapur
26
Gambar 2.23 Siklus Hidup Manajemen
29
Gambar 3.1 Skema Aliran Air Baku
30
Gambar 3.2 Waduk Ir. H. Djuanda (Jatiluhur)
30
Gambar 3.3 Diagram Alir Proses pengolahan Air IPA Buaran
35
Gambar 3.4 Daerah Pelayanan
35
Gambar 3.5 Bar Screen
36
Gambar 3.6 Coarse Screen
36
Gambar 3.7 Fine Screen
37
x
Gambar 3.8 Pembubuhan Karbon Aktif
37
Gambar 3.9 Pembubuhan Pre Khlor
38
Gambar 3.10 Pembubuhan Pre Lime
38
Gambar 3.11 Emergency Valve
39
Gambar 3.12 Pompa Sampel Air Baku
39
Gambar 3.13 Valve flowmeter air baku untuk Buaran I
40
Gambar 3.14 Flowmeter
40
Gambar 3.15 Mixing Basin
41
Gambar 3.16 Mixer
41
Gambar 3.17 Terjunan Hidrolis
41
Gambar 3.18 Pembubuhan Koagulan
43
Gambar 3.19 Tangki beserta pompa Alum
43
Gambar 3.20 Tangki beserta pompa LT7994
43
Gambar 3.21 Tangki beserta pompa PAC
44
Gambar 3.22 Pembubuhan pre khlor pada mixing basin
44
Gambar 3.23 Pulsator
44
Gambar 3.24 Pulsator yang sedang dikuras
45
Gambar 3.25 Dasar Pulsator
45
Gambar 3.26 Ruang Vakum
46
Gambar 3.27 Pipa Utama dari Mixing Basin Menuju Ruang Vakum
46
Gambar 3.28 Sludge Extraction
47
Gambar 3.29 Pembuangan Lumpur melalui Sludge Extraction
47
Gambar 3.30 Pembuangan Lumpur melalui Sludge Drain
47
Gambar 3.31 Air bersih untuk flushing dasar pulsator
48
Gambar 3.32 Skema Pulsator IPA Buaran
49
Gambar 3.33 Titik Pembubuhan Intermediate Khlor
50
Gambar 3.34 Pompa Sampel Air Pulsator
50
Gambar 3.35 Lapisan Pasir
50
Gambar 3.36 Nozzle pada dasar bak
51
Gambar 3.37 Bak Filter yang masih beroperasi dengan baik
52
Gambar 3.38 Bak Filter yang sudah mengalami clogging
53
Gambar 3.39 Pompa Sampel Air Filter
53
xi
Gambar 3.40 Reservoir Buaran II
54
Gambar 3.41 Pembubuhan Post Khlor pada pipa kuning
54
Gambar 3.42 Titik Pembubuhan Post Lime
55
Gambar 3.43 Pengambilan Sampel Air Minum
55
Gambar 3.44 Pompa Distribusi Buaran I
57
Gambar 3.45 Pompa Transmisi Buaran II
57
Gambar 3.46 Surge Tower Buaran
58
Gambar 3.47 Sludge Basin
60
Gambar 3.48 Waste Basin
61
Gambar 3.49 Lumpur basah;Lumpur mengering;Lumpur sudah diangkut 62 Gambar 4.1 Skema Pulsator
67
Gambar 4.2 Keseinbangan antara Cl2, HOCl, dan OCl- dan hubungannya dengan nilai pH pada T = 25oC
75
Gambar 4.3 Grafik Khlorinasi dengan breakpoint (Khlorinasi titik retak)
76
Gambar 5.1 Diagram Kontaminan dalam Air Baku Tahun 2009
79
Gambar 5.2 Grafik Kekeruhan Air Baku Tahun 2009
79
Gambar 5.3 Grafik Amonia Air Baku Tahun 2009
81
Gambar 5.4 Grafik Organik Air Baku Tahun 2009
83
Gambar 5.5 Grafik pH Air baku Tahun 2009
83
Gambar 5.6 Grafik Besi Air Baku Tahun 2009
84
Gambar 5.7 Grafik Mangan Air Baku Tahun 2009
86
Gambar 5.8 Grafik Kekeruhan Air Pulsator Buaran I Tahun 2009
87
Gambar 5.9 Grafik Kekeruhan Air Pulsator Buaran II Tahun 2009
87
Gambar 5.10 Grafik pH Air Pulsator Buaran I Tahun 2009
92
Gambar 5.11 Grafik pH Air Pulsator Buaran II Tahun 2009
92
Gambar 5.12 Grafik Residu Khlor Air Pulsator Buaran I
93
Gambar 5.13 Grafik Residu Khlor Air Pulsator Buaran II
93
Gambar 5.14 Grafik Kekeruhan Air Filter Buaran I Tahun 2009
95
Gambar 5.15 Grafik Kekeruhan Air Filter Buaran II Tahun 2009
95
Gambar 5.16 Grafik pH Air Filter Buaran I Tahun 2009
96
Gambar 5.17 Grafik pH Air Filter Buaran II Tahun 2009
96
xii
Gambar 5.18 Grafik Residu Khlor Air Filter Buaran I
97
Gambar 5.19 Grafik Residu Khlor Air Filter Buaran II
97
Gambar 5.20 Grafik Besi Air Filter Buaran I Tahun 2009
98
Gambar 5.21 Grafik Besi Air Filter Buaran II Tahun 2009
98
Gambar 5.22 Grafik Mangan Air Filter Buaran I Tahun 2009
99
Gambar 5.23 Grafik Mangan Air Filter Buaran II Tahun 2009
99
Gambar 5.24 Grafik Organik Air Filter Buaran I Tahun 2009
100
Gambar 5.25 Grafik Organik Air Filter Buaran II Tahun 2009
100
Gambar 5.26 Grafik Amonia Air Filter Buaran I Tahun 2009
101
Gambar 5.27 Grafik Amonia Air Filter Buaran II Tahun 2009
101
Gambar 5.28 Grafik Kekeruhan Air Minum Buaran I Tahun 2009
102
Gambar 5.29 Grafik Kekeruhan Air Minum Buaran II tahun 2009
102
Gambar 5.30 Grafik pH Air Filter Buaran I Tahun 2009
103
Gambar 5.31 Grafik pH Air Filter Buaran II Tahun 2009
103
Gambar 5.32 Grafik Residu Khlor Air Minum Buaran I Tahun 2009
104
Gambar 5.33 Grafik Residu Khlor Air Minum Buaran II Tahun 2009
104
Gambar 5.34 Grafik Besi Air Minum Buaran I Tahun 2009
105
Gambar 5.35 Grafik Besi Air Minum Buaran II Tahun 2009
105
Gambar 5.36 Grafik Mangan Air Minum Buaran I Tahun 2009
106
Gambar 5.37 Grafik Mangan Air Minum Buaran II Tahun 2009
106
Gambar 5.38 Grafik Amonia Air Minum Buaran I Tahun 2009
107
Gambar 5.39 Grafik Amonia Air Minum Buaran II Tahun 2009
107
Gambar 5.40 Organik Air Minum Buaran I Tahun 2009
108
Gambar 5.41 Organik Air Minum Buaran II Tahun 2009
108
xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Air bersih merupakan kebutuhan yang sangat penting untuk kehidupan manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, air bersih digunakan untuk mandi, mencuci, memasak, dan kegiatan penting lainnya. Sumber air bersih terbatas karena banyak sumber yang sudah tercemar. Oleh karena itu, air tersebut harus diolah terlebih dahulu sebelum dikonsumsi. Sumber air baku yang digunakan Aetra berasal dari Waduk Jatiluhur. Air tersebut dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat (Kali Malang). Di sepanjang aliran sungai itu, masyarakat seringkali membuang sampah di sungai, sehingga air baku tercemar. Setelah sampai di Instalasi Pengolahan Air (IPA) Aetra Jakarta, air baku tersebut melewati serangkaian proses pengolahan sampai menjadi air minum yang siap didistribusikan ke pelanggan. Untuk memenuhi pasokan air bersih bagi pelanggan, Aetra memproduksi air dengan standar kualitas air minum. Standar kualitas air minum tersebut dapat dicapai dengan melakukan proses yang baik terhadap air baku. Proses pengolahan yang dilakukan terhadap air baku tersebut seharusnya sesuai dengan kualitas air baku. Dengan semakin meningkatnya pencemaran terhadap air baku, proses yang dilakukan juga harus ditingkatkan mutunya. Oleh karena itu, evaluasi proses pengolahan air minum perlu dilakukan.
1.2 Tujuan Adapun tujuan pelaksanaan kerja praktek di PT. Aetra Air Jakarta antara lain: 1. Melengkapi pengetahuan teoritis yang diperoleh melalui perkuliahan dengan penambahan pengetahuan dan pengalaman praktis di lapangan. 2. Mengetahui kualitas air baku yang digunakan oleh Aetra. 3. Mempelajari proses pengolahan air baku sampai menjadi air minum yang siap didistribusikan ke pelanggan.
1
4. Mempelajari kinerja instalasi pengolahahan air yang ada. 5. Mengetahui kontaminan apa saja yang mempengaruhi operasional instalasi. 6. Mengetahui kualitas air minum yang dihasilkan oleh Aetra.
1.3 Metodologi Metodologi pengerjaan laporan ini adalah sebagai berikut:
Studi Literatur.
Pengumpulan data primer melalui dua macam cara, yaitu: o Interview (wawancara) Yaitu tanya jawab dengan pegawai atau orang yang bersangkutan secara lisan. o Field Research (Metode Observasi) Yaitu melakukan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Pengumpulan data sekunder, meliputi gambaran umum perusahaan, tata letak dan diagram alir proses, dan data kualitas air.
Analisis data, meliputi analisis data kualitas air baku sampai menjadi air minum.
1.4 Ruang Lingkup Ruang lingkup kerja praktek ini meliputi:
Orientasi, meliputi pengenalan hal-hal umum seperti sejarah PT. Aetra Air Jakarta dan struktur organisasi.
Studi lapangan, meliputi pengenalan terhadap unit-unit yang ada di instalasi Buaran, mempelajari diagram alir proses, mempelajari cara penentuan dosis bahan kimia dan pembubuhannya di lapangan, mempelajari parameter-parameter apa saja yang diperiksa pada air proses.
Pembahasan dibatasi pada analisis proses pengolahan air minum, kualitas air baku, kualitas air proses meliputi air pulsator, air filter, dan
2
air minum yang dihasilkan berdasarkan parameter-parameter tertentu sepanjang tahun 2009.
1.5 Sistematika Pembahasan BAB I Pendahuluan, meliputi latar belakang, tujuan, metodologi, ruang lingkup, dan sistematika pembahasan dari pengerjaan laporan kerja praktek. BAB II Profil Perusahaan, meliputi sejarah singkat PT. Aetra Air Jakarta, definisi, rasional nama dan logo brand Aetra, latar belakang perubahan brand TPJ menjadi Aetra, visi, misi, nilai dan subnilai Aetra, struktur organisasi, dan sarana bangunan pendukung instalasi produksi Buaran. BAB III Proses Pengolahan Air Bersih IPA Buaran, meliputi air baku, diagram alir IPA Buaran, intake, mixing basin, pulsator, rapid sand filter, ground reservoir, pompa, waste basin, dan sludge drying bed. BAB IV Tinjauan Pustaka, meliputi uraian yang didapatkan dari literatur. BAB V Analisis dan Pembahasan, meliputi evaluasi proses pengolahan air minum yang mengkaji kualitas air baku, air pulsator, air filter, dan air minum berdasarkan parameter-parameter tertentu sepanjang tahun 2009. BAB VI Penutup, mencakup kesimpulan yang didapat dan saran-saran yang diusulkan sehubungan dengan proses pengolahan air minum.
3
BAB II PROFIL PERUSAHAAN
2.1 Sejarah Singkat PT. Aetra Air Jakarta Pada awalnya, Aetra adalah Thames PAM Jaya (TPJ), perusahaan yang berada di bawah RWE Thames Water yang berpusat di Inggris. TPJ menandatangani 25 tahun perjanjian kerja sama dengan PDAM DKI Jakarta (PAM Jaya) pada bulan Juni 1997, dan mulai beroperasi pada tanggal 1 Februari 1998 untuk mengelola, mengoperasikan, memelihara serta melakukan investasi guna mengoptimalkan sistem pasokan air bersih bagi warga di wilayah timur DKI Jakarta yang meliputi: Sebagian wilayah Jakarta Utara, sebagian Jakarta Pusat, dan seluruh wilayah Jakarta Timur dengan Kali Ciliwung sebagai perbatasan wilayah operasionalnya. Pada tahun 2007, Acuatico Pte. Ltd. mengambil alih operasi kerja TPJ, melanjutkan sisa perjanjian Thames Water, dengan nama baru yaitu Aetra. Melalui visinya, Aetra berupaya untuk selalu meningkatkan kehidupan masyarakat, setiap saat.
2.2 Definisi, Rasional Nama, dan Logo Aetra Aetra adalah sebuah brand pengelola dan penyedia air bersih yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas melalui sarana penyediaan air minum berkualitas dengan pelayanan terbaik. Nama Aetra berasal dari kalimat Bahasa Indonesia Manajemen Air Timur Jakarta. Nama ini merupakan singkatan sekaligus inti dari pentingnya keberadaan brand Aetra bagi masyarakat yang berada di cakupan wilayahnya. Logo Aetra secara keseluruhan membentuk riak air yang dinamis dan tersirat bentuk stilasi manusia sebagai perlambangan semangat Aetra yang selalu ingin mengedepankan kesejahteraan hidup manusia menjadi lebih baik. Hidup yang lebih baik dapat diwujudkan melalui kerja sama yang baik antara Aetra dengan target audiensnya. Hal ini disimbolkan dengan dua tangan yang saling berjabat dan membentuk simbol hati. Paduan warna biru dan jingga menghasilkan harmonisasi yang memberi nuansa kedewasaan dalam bertindak dan semangat yang tak pernah padam.
4
2.3 Latar Belakang Perubahan Brand TPJ menjadi Aetra Acuatico Pte. Ltd. sebagai pemegang saham Aetra saat ini memiliki komitmen kuat untuk meningkatkan pelayanan kepada para pelanggan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat pada umumnya. Guna mencapai hal itu, Acuatico melakukan perubahan pada arah strategi bisnisnya, mengubah nama brand perusahaan dari TPJ menjadi Aetra, serta menetapkan secara jelas lingkup bisnisnya. Adapun tujuan khusus dilakukannya perubahan tersebut adalah untuk menyatukan, memotivasi, dan memberi inspirasi kepada seluruh jajaran karyawan Aetra dalam berkomunikasi dengan pelanggannya demi meningkatkan kualitas hidup para pelanggan dan masyarakat secara umum.
2.4 Visi, Misi, Nilai dan Sub Nilai PT. Aetra Air Jakarta Visi Aetra adalah meningkatkan kehidupan masyarakat setiap saat. Adapun penjabaran visi Aetra dalam perspektif bisnisnya adalah menjadi perusahaan pengelola dan penyedia air bersih yang dikelola secara profesional, menguntungkan, dan mampu memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggannya. Misi Aetra adalah secara konsisten menyediakan pelayanan yang terbaik dengan melakukan perbaikan yang berkesinambungan dalam segala hal yang dilakukan. Misi Aetra merupakan bentuk komitmen untuk selalu berupaya meningkatkan standar kualitas Aetra dalam menyediakan dan memberikan pelayanan air bersih, melindungi komunitas, dan lingkungan demi meningkatkan kesejahteraan hidup rekan, pelanggan, dan masyarakat menjadi lebih baik. Aetra memiliki filosofi dan semangat tunggal untuk meningkatkan kehidupan masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, semua orang di dalam perusahaan terikat dan wajib untuk berkomitmen teguh kepada usaha yang berkesinambungan
untuk
meningkatkan
kehidupan
masyarakat
melalui
penyediaan dan pengelolaan air bersih dan berkualitas setiap harinya, demi masa depan yang lebih baik. Komitmen itu terwujud dalam tata perilaku, ekspresi, dan cara berkomunikasi terhadap audiensnya (rekan, pelanggan, dan masyarakat).
5
Nilai-nilai Aetra yaitu: 1. Orientasi terhadap Pelanggan Dalam melaksanakan pekerjaan diwujudkan melalui perilaku yang mencerminkan sikap: a. Andal b. Responsif c. Jujur d. Bisa dipercaya Semua individu dalam perusahaan harus menjadi lebih andal dan responsif dalam menanggapi setiap keluhan dan/atau hal lain yang berkaitan dengan peningkatan pelayanan terhadap pelanggan, serta mengutamakan kejujuran agar mendapat kepercayaan, kemudian menjaganya. 2. Profesionalisme Sikap profesionalisme tercermin dalam sub nilai: a. Memiliki integritas b. Meningkatkan keahlian c. Mengutamakan kualitas d. Kerja sama dalam tim Untuk dapat meningkatkan kehidupan pelanggan dan masyarakat setiap saat, semua individu dalam perusahaan perlu memiliki integritas terhadap pekerjaannya, berkesinambungan meningkatkan keahliannya, mengutamakan kualitas hasil kerja yang maksimal, serta mampu bekerja sama dalam tim. 3. Respek terhadap Komunitas dan Lingkungan Perilaku respek tersebut dijabarkan dalam sikap: a. Peduli b. Berkesinambungan c. Progresif d. Proaktif Semua
individu
dalam
perusahaan
secara
berkesinambungan
perlu
mengembangkan sikap peduli terhadap rekan, pelanggan, masyarakat umum dan
6
lingkungan, serta bersikap progresif dan proaktif untuk menjaga keberlangsungan lingkungan sekitar demi meningkatkan kehidupan masyarakat yang lebih baik.
2.5 Struktur Organisasi PT. Aetra Air Jakarta 2.5.1
Board of Director (BOD) Board of Director PT. Aetra Air Jakarta terdiri dari President Director,
Operation Director, Finance Director, dan Business Services Director. Board of Director merupakan suatu tim direksi PT. Aetra Air Jakarta.
2.5.2
Operation Director Operation Director membawahi Production & Trunk Main Senior
Manager, Customer Management Senior Manager, Project Management Group Senior Manager.
2.5.3
Production Trunk Main Production Trunk Main dipimpin oleh seorang Senior Manager.
Production & Trunk Main (PTM) Senior Manager bertugas memastikan tercapainya target harga pokok air yang efisien, dengan kualitas, kuantitas dan kontinuitas melalui
pengelolaan proses produksi air dan melalui jalur pipa
utama ( Trunk Main ) secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target penjualan air berdasarkan rencana tahunan perusahaan yang ditetapkan. Production & Trunk Main (PTM) Senior Manager memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu 2 Water Treatment Plant Manager, Production & TM Planning & Controlling Manager , Trunk Main Manager, dan Maintenance Manager.
2.5.4
IPA Buaran IPA Buaran dipimpin oleh seorang manager yang membawahi tiga
supervisor yaitu Production Operation Supervisor, Routine Maintenance Supervisor, dan Production Support Supervisor. Para Supervisor tersebut membawahi para leader. Selanjutnya, para leader membawahi para operator shift dan operator nonshift.
7
Seorang Manager IPA Buaran bertugas memastikan tercapainya target produksi air baik dari segi kualitas, kapasitas dan kontinyuitas dengan pengoperasian IPA secara efektif dan efisien, sebagaimana yang telah ditetapkan melalui pengelolaan fungsi pengolahan dan pengoperasian secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target produksi dan Trunk Main Group berdasarkan target perusahaan. Manager IPA Buaran ini didampingi oleh seorang Administration Staff yang bertugas memastikan tersedianya kebutuhan fungsi administrasi kegiatan WTP Department sesuai ketentuan, system dan prosedur melalui kegiatan administrasi, dokumentasi, untuk mendukung kelancaran operasional WTP Department berdasarkan Standard Operating Procedure (SOP) yang berlaku. Seorang
Production
Operation
Supervisor
bertugas
memastikan
tercapainya target pengoperasian Water Treatment Plant yang efektif dan efisien yang menghasilkan produksi air yang memenuhi standar kualitas, kapasitas dan kontinyuitas sebagaimana yang telah ditetapkan ,melalui pengelolaan fungsi pengolahan dan pengoperasian secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target Water Treatment Plant berdasarkan target perusahaan. Production Operation Supervisor membawahi 8 leader yang terdiri dari 4 Operation Leader dan 4 Lab Process Leader. Seorang
Routine
Maintenance
Supervisor
bertugas
Memastikan
tercapainya target perawatan rutin di Water Treatment Plant yang efektif dan efisien yang dapat menunjang kelangsungan proses produksi air yang memenuhi standar kualitas, kapasitas dan kontinyuitas sebagaimana yang telah ditetapkan ,melalui pengelolaan fungsi pengolahan dan pengoperasian secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target Water Treatment Plant berdasarkan target perusahaan. Routine Maintenance Supervisor memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu ME Routine Maintenance Leader dan Unit Process Routine Maintenance Leader. Seorang Production Support Supervisor bertugas memastikan tercapainya target persiapan bahan kimia, peralatan dan unsur penunjang lainnya pada kegiatan produksi air minum di Water Treatment Plant yang efektif dan efisien, untuk dapat menunjang kelangsungan proses produksi air yang memenuhi standar
8
kualitas, kapasitas dan kontinyuitas sebagaimana yang telah ditetapkan ,melalui pengelolaan fungsi penyiapan secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target Water Treatment Plant berdasarkan target perusahaan. Production Support Supervisor memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu Equipment Leader dan Raw Material Preparation Leader.
2.5.5
Production Trunk Main – Planning & Monitoring (PTM – PM) PTM – PM dipimpin oleh seorang manager. PTM Planning & Monitoring
Manager bertugas memastikan tercapainya target dari aktivitas
Planning,
Controlling dan Monitoring di PTM Group terlaksana dengan baik melalui pengelolaan fungsi Perencanaan, Pelaksanaan, Pengawasan, Monitoring, Post Project Review dan Registrasi Asset secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target PTM Group berdasarkan target perusahaan. PTM Planning & Monitoring Manager memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu Production & TM Planning Supervisor, Production & Network Controlling Supervisor dan WQ Laboratory Supervisor. Seorang PTM Planning Supervisor bertugas memastikan tercapainya target Perencanaan Operasi Produksi & Trunk Main, serta perencanaan biaya pelaksanaan perbaikan , perawatan dan rehabilitasi (OPEX) , dan pelaporan di PTM Group yang efektif dan efisien , serta menghasilkan produk yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang telah ditetapkan ,melalui pengelolaan fungsi perencanaan secara optimum sesuai dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target PTM Planning & Monitoring Department berdasarkan target PTM Group. Production & TM Planning Supervisor memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu Production Analyst, GIS Operator, TM Quantity Estimation Officer, PTM Reporting Analyst. Seorang Production
& Network Controlling
Supervisor bertugas
memastikan tercapainya pelaksanaan pemantauan operasi produksi air minum melalui pematauan Water Quality, WTP Output, pressure & flow, dan performansi Trunk Main sesuai dengan SOP yang berlaku guna mendukung
9
pencapaian
target
Production TM Planning & Monitoring
Department.
Production & Network Controlling Supervisor memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu WQ Monitoring Leader, Pressure & Flow Measurement Leader, TM Performance Analyst. Seorang WQ Laboratory Supervisor bertugas memastikan tercapainya target pemeriksaan kualitas air baku dan air minum secara efektif dan efisien yang menghasilkan data yang memenuhi standar kualitas sebagaimana yang telah ditetapkan ,melalui
pengelolaan fungsi laboratorium secara optimum sesuai
dengan strategi perusahaan guna mendukung pencapaian target yang
disesuaikan dengan
PTM Group
target perusahaan. WQ Laboratory Supervisor
memiliki fungsi yang secara struktural langsung bertanggung jawab kepadanya yaitu Lab Analyst dan Reagent Lab Equipment Officer.
10
Board of Director PT. Aetra Air Jakarta
Gambar 2.1 Struktur Board of Director PT. Aetra Air Jakarta
11
Organization Chart – Level 1
Gambar 2.2 Struktur Operation Director
12
Organization Chart – Operation Directorate (Production & Trunk Main Group)
Gambar 2.3 Struktur Production & Trunk Main
13
Gambar 2.4 Struktur Organisasi IPA Buaran
14
Gambar 2.5 Struktur Organisasi PTM – PM
15
2.6 Sarana Bangunan Pendukung Instalasi Produksi Buaran Instalasi Buaran dilengkapi dengan bangunan pendukung. Tujuan dibangunnya bangunan-bangunan pendukung di IPA Buaran adalah untuk membantu pemrosesan air minum dan pendistribusian air bersih.
Gambar 2.6 Site Plant IPA Buaran
16
2.6.1
Stasiun Pompa Distribusi Stasiun pompa distribusi adalah suatu bangunan yang dilengkapi dengan
pemasangan pompa-pompa distribusi untuk memompakan air bersih dari reservoir ke pipa distribusi menuju para konsumen dengan kapasitas pemompaan sebesar 5000 l/detik atau 432.000 m3/hari.
2.6.2
Bangunan Operasi Bangunan operasi adalah bangunan yang dibuat di tengah-tengah lokasi
instalasi Buaran dan merupakan pusat pengendali dari seluruh operasi Instalasi Buaran yang terdiri dari: -
Lantai Basement, tempat pemasangan kabel-kabel, pemasangan pipapipa dan pasageway.
-
Lantai Dasar, dipergunakan untuk fasilitas Laboratorium Kimia dan bacteriologi serta ruang administrasi perkantoran.
-
Lantai Atas, dipergunakan untuk ruang analisa kualitas laboratorium dari air yang diolah dan ruangan kegiatan administrasi perkantoran.
Gambar 2.7 Gedung Operasional Buaran 2.6.2.1 Laboratorium Kimia dan Bakteriologi Laboratorium Kimia dan Bakteriologi merupakan laboratorium tempat pemeriksaan parameter lengkap untuk air baku dan air minum.
Gambar 2.8 Laboratorium Kualitas
17
TARGET OPERS. SK.GUB.DKI
NO.
1
PARAMETER
TURBIDITY
SATUAN
582/1995
BUARAN
Skala NTU
100
1750
C
Suhu air normal
Suhu air normal
o
2
TEMPERATURE
3
COLOUR
Skala TCU
100
150
4
CONDUCTIVITY
μmhos/cm
500
500
JUML. ZAT PADAT TERLARUT
5
(TDS)
mg/l
500
500
6
SUSPENDED SOLID
mg/l
100
1750
7
AIR RAKSA (MERCURY)
mg/l
0,001
0,001
8
AMONIA
mg/l
1,0
2,0
9
ARSENIC
mg/l
0,05
0,05
10
BARIUM
mg/l
1,0
1,0
11
BESI (IRON)
mg/l
2,0
10,0
12
CADMIUM
mg/l
0,01
0,01
13
CHROMIUM 6+
mg/l
0,05
0,05
14
MANGANESE
mg/l
0,5
0,5
15
NITRATE-N
mg/l
10
10
16
NITRITE-N
mg/l
1,0
1,0
17
pH
mg/l
6.5 - 8.5
6.5 - 8.5
18
SELENIUM
mg/l
0,01
0,01
19
SENG (ZINC)
mg/l
1,0
1,0
20
SULPHATE
mg/l
100
400
21
SULPHIDE
mg/l
0,1
0,1
22
TEMBAGA (COPPER)
mg/l
0,1
0,1
23
ALDRIN & DIELDRIN
μg/l
0,017
0,017
24
KHLORDANE
μg/l
0,003
0,003
25
DDT
μg/l
0,042
0,042
26
1,2 Dikhloroethana
μg/l
0,001
0,001
27
Pentakhlorofenol
μg/l
0,05
0,05
28
HEPTAKHLOR & HEPTHAKHLOREPOXIED
μg/l
0,018
0,018
29
KHLOROFORM CARBON EXTRACT
μg/l
0,5
0,5
30
GAMMA-HCH (LINDANE)
μg/l
0,056
0,056
31
BENZENE
μg/l
Nihil
Nihil
32
METHOXYKHLOR
μg/l
0,035
0,035
33
SURFACTANT (BLUE METHILENT)
mg/l
1
1
ORGANIC MATTER
mg/l
15
15
34
18
35
BOD
mg/l
10
10
36
COD
mg/l
20
20
37
TOTAL COLIFORM ( x 103 )
no/100 ml
10
10
38
3
E. COLI ( x 10 )
no/100 ml
2
2
39
ACTIVITY ALPHA
Bq/l
-
-
40
ACTIVITY BETA
Bq/l
-
-
Tabel 2.1 Parameter Pemeriksaan Air Baku Untuk air baku, parameter yang dianalisis setiap hari adalah daya hantar listrik, amonia, besi, mangan, kandungan organik, total coliform, E. Coli. Parameter yang dianalisis setiap minggu adalah total hardness, nitrit, nitrat, sulfat, SS, TDS, BOD, COD. Parameter yang dianalisis setiap bulan adalah air raksa, arsenik, barium, kadmium, kromium 6+, selenium, seng, sulfat, sulfida, surfactant, tembaga. Parameter yang diperiksa setiap 6 jam adalah kekeruhan, pH, temperatur, warna. Parameter lainnya diperiksa setiap 3 bulan. FREKUENSI
STANDARD AIR
PENGAMBILAN
PARAMETER
SATUAN
SAMPLE
6 JAM
MINUM PERMENKES* 907/MENKES/SK/VII/2002
TASTE ODOUR
-
TIDAK BERASA
-
TIDAK BERBAU
SKALA TURBIDITY
NTU
5
-
6.5-8.5
C
SUHU UDARA +/-3 oC
skala tcu
15
FREE KHLORINE
mg/l
0.6-1.0
BESI (IRON)
mg/l
0,3
PH TEMPERATURE COLOUR
24 JAM
CONDUCTIVITY AMONIA ALUMINIUM
1 MINGGU
o
umhos/cm
-
mg/l
1,5
mg/l
0,2
E. COLI
no/100 ml
0
TOTAL COLIFORM
no/100 ml
0
T.HARDNESS
mg/l
500
MANGANESE
mg/l
0,1
NITRITE-NO2
mg/l
3
NITRATE-NO3
mg/l
50
ORGANIC MATTER
mg/l
10
CALCIUM
mg/l
-
19
1 BULAN
3 BULAN
TDS
mg/l
1000
AIR RAKSA (MERCURY)
mg/l
0,001
ARSENIC
mg/l
0,01
BARIUM
mg/l
0,7
CADMIUM
mg/l
0,003
KHLORIDE
mg/l
250
CHROMIUM,6+
mg/l
0,05
CYANIDE
mg/l
0,07
FLUORIDE
mg/l
1,5
SELENIUM
mg/l
0,01
SENG (ZINC)
mg/l
3
SODIUM
mg/l
200
SULPHATE
mg/l
250
SULPHIDE
mg/l
0,05
SURFACTANT (DETERGENT)
mg/l
-
TEMBAGA (COPPER)
mg/l
1
ALDRIN & DIELDRIN
μg/l
0,03
BENZENE
μg/l
10
KHLORDANE
μg/l
0,2
KHLOROFORM
μg/l
200
DDT
μg/l
2
1,2- DIKHLOROETHANE
μg/l
30
HEPTHAKHLOREPOXIED
μg/l
0,03
GAMMA-HCH (LINDANE)
μg/l
2
METHOXYKHLOR
μg/l
20
PENTAKHLOROPHENOL
μg/l
9
ACTIVITY ALPHA
Bq/l
0,1
ACTIVITY BETA
Bq/l
1,0
HEPTAKHLOR &
Tabel 2.2 Parameter Pemeriksaan Air Minum 2.6.2.2 Laboratorium Proses Laboratorium Proses dilengkapi dengan keran air yang berasal dari air baku, air pulsator Buaran I dan II, air filter Buaran I dan II, air minum Buaran I dan II. Pemeriksaan yang dilakukan setiap jam adalah kekeruhan air, sisa khlor, dan pH. Selain itu, pada laboratorium proses ini dilakukan penentuan dosis bahan kimia koagulan yang akan dibubuhkan melalui jar test. Setelah didapat dosis bahan kimia yang tepat melalui jar test, ditentukan dosis pembubuhan. Umumnya, dosis hasil jar test tidak tepat sama dengan dosis
20
pembubuhan pada instalasi karena keadaan lapangan yang tidak tepat sama dengan skala laboratorium. Biasanya dosis bahan kimia pembubuhan di lapangan lebih besar dari hasil jar test. Setelah ditentukan dosis bahan kimia dalam ppm, ditentukan pembubuhannya dalam liter/menit berdasarkan debit air baku yang masuk dalam m3/jam dan berat jenis bahan kimia. Setelah mendapatkan besarnya pembubuhan dalam liter/menit, besarnya pembubuhan tersebut dimasukkan ke dalam persamaan pompa bahan kimia yang sedang digunakan sehingga didapat stroke pompa dalam persen (%). Pompa bahan kimia yang digunakan kemudian diatur stroke pompanya berdasarkan hasil perhitungan.
Gambar 2.9 Laboratorium Proses Berdasarkan pengukuran residu khlor setiap jam pada air pulsator, air filter, dan air minum maka dapat diketahui besarnya khlor yang ditambahkan pada pre, inter, post khlorinasi agar residu khlor pada air minum tetap memenuhi standar yaitu sebesar 0,6-1,0 mg/l untuk Buaran I dan 0,3-0,4 mg/l untuk Buaran II. Setelah ditentukan dosis khlorin dalam ppm pada pre, inter, dan post khlorinasi masing-masing untuk Buaran I dan Buaran II, ditentukan pemakaian khlor dalam kg/24 jam. Khlorinator pada bangunan khlor kemudian diatur besarnya pemakain khlor dalam kg/24 jam berdasarkan hasil perhitungan. 2.6.3
Bangunan Alum Bangunan alum adalah suatu bangunan gudang tempat penyimpanan dan
pemrosesan pembubuhan Aluminium Sulfat dan pembubuhan Polymer ke sistem proses pengolahan. Setelah dosis pembubuhan alum ditentukan dan stroke pompa alum dihitung, dilakukan pengaturan stroke pada pompa alum.
21
2.6.4
Bangunan Khlorinasi Bangunan khlorinasi adalah suatu bangunan gudang tempat penyimpanan
dan pemrosesan pembubuhan gas khlor yang dilengkapi dengan deteksi kebocoran yang akan memberikan informasi isarat sedini mungkin bila terjadi kebocoran gas khlor tersebut. Bangunan khlorinasi terdiri dari kontainer, evaporator, khlorinator, dan ruang netralisasi.
2.6.4.1 Kontainer Gedung khlor dilengkapi dengan gedung kontainer. Ruangan ini berisi tabung-tabung yang berisi khlor likuid. Terdapat dua line yaitu line A dan line B. Masing-masing line memiliki 3 tabung khlor yang terpasang. Satu line bekerja sedangkan satu line yang lain sebagai cadangan. Line tersebut dilengkapi dengan timbangan dan pengukur tekanan sehingga dapat segera diketahui jika khlor di dalam tabung habis. Dalam satu line, tabung khlor yang bekerja satu buah. Jika tabung tersebut habis maka dipakai tabung kedua, dan seterusnya sampai tabung ketiga. Jika semua tabung dalam line habis maka dipakai line yang berikutnya.
Gambar 2.10 Kontainer Khlorin 2.6.4.2 Evaporator Pada evaporator, khlor yang berbentuk likuid diubah menjadi berbentuk gas dengan pemanasan pada suhu 70-80oC. Sistem evaporasi ada dua yaitu sistem spiral dengan alat portacel dan sistem plat tabung dengan alat WT. Jika suhu kurang dari 70oC maka akan terjadi pembekuan khlor. Jika suhu lebih dari 80oC akan terjadi pelelehan pipa.
22
Gambar 2.11 Evaporator Portacel dan WT
Gambar 2.12 Sistem Spiral pada Evaporator Portacel 2.6.4.3 Khlorinator Khlorinator merupakan tempat pengaturan dosis pre, intermediate, dan post khlorinasi. Setelah khlor melalui evaporator, gas yang terbentuk dilewatkan melalui regulator menuju khlorinator. Regulator berfungsi mengatur tekanan gas dari evaporator menuju khlorinator. Khlor yang sudah berbentuk gas diatur dosisnya dalam satuan kg/hari. Setelah diatur dosisnya, khlor yang berbentuk gas tersebut diinjeksikan dengan air melalui injektor.
Gambar 2.13 Regulator
23
Gambar 2.14 Khlorinator untuk Pre, Inter, dan Post Khlorinasi
Gambar 2.15 Injektor 2.6.4.4 Netralisasi Netralisasi merupakan tempat penyedotan gas khlor jika terjadi kebocoran. Di masing-masing ruangan dilengkapi dengan lubang-lubang ventilasi yang tersambung dengan pipa-pipa menuju tabung netralisasi. Blower akan menghisap udara tersebut. Udara yang mengandung gas khlor yang bocor akan masuk ke suatu tabung lalu disemprotkan dengan caustic soda secara otomatis. Udara yang sudah netral kemudian keluar melalui cerobong di bagian atas tabung. Jika terjadi kebocoran, alarm akan berbunyi.
Gambar 2.16 Netralisasi Untuk mendeteksi bagian mana yang mengalami kebocoran gas khlor, digunakan amonia. Petugas harus mengenakan alat pelindung diri lengkap untuk memasuki ruangan yang mengalami kebocoran. Kemudian, petugas membawa amonia di dalam botol yang terbuka dan mendekatkannya pada bagian-bagian pipa. Jika timbul asap di salah satu bagian pipa maka dapat disimpulkan bahwa bagian pipa tersebut mengalami kebocoran gas khlor. 24
2.6.5
Bangunan kapur Bangunan kapur merupakan bangunan tempat penyimpanan kapur powder
dan lime milk. Untuk kapur powder, terlebih dahulu dicampurkan dengan air di dalam bak. Setelah itu, kapur powder yang telah tercampur dengan air masuk ke dalam saturator melalui saluran resirkulasi. Kemudian, masuk ke dalam bak untuk dicampurkan kembali dengan air sampai menjadi larutan kapur jenuh. Larutan kapur jenuh tersebut kemudian disalurkan ke pre dan post. Untuk kapur cair atau lime milk, tidak melalui saturator, tetapi langsung disalurkan melalui pipa.
Gambar 2.17 Tempat Penyimpanan Kapur Powder
Gambar 2.18 Inlet Kapur Powder
Gambar 2.19 Bak Pencampuran Kapur Powder dengan Air
Gambar 2.20 Mixer Kapur
25
Gambar 2.21 Saturator
Gambar 2.22 Pompa Kapur 2.6.6
Power Substation dan Power Distribution Power Substation dan Power Distribution adalah suatu bangunan gardu
tenaga listrik untuk dipergunakan kebutuhan tenaga listrik Instalasi Produksi Buaran I & Instalasi Produksi Buaran II sebesar 9.800 KVA -
Tenaga listrik yang diperoleh dari PLN sebesar 200.000 KVA, 3 fase melalui 2 main transformer (1 unit transformer stand by) dan masingmasing transformer berkapasitas 7.500 KVA.
-
Selanjutnya tegangan diturunkan menjadi 3, 15 KVA yang dipergunakan untuk keperluan pompa distribusi dan keperluan tegangan yang lebih rendah.
2.6.7
Waste Water Basin Waste Water Basin adalah suatu bangunan tempat penampungan dan
pembuangan cucian filter (backwash dan surface wash water), dialirkan melalui pipa berdiameter 1.500 mm. Fungsi dari waste water basin ini adalah untuk memproses lumpur-lumpur dan air buangan dari backwash dan surface wash water, dengan maksud agar hasil dari proses pengolahan air buangan/lumpur
26
tersebut setelah dibuang di sungai tidak menimbulkan pencemaran pada badan sungai. -
Pada waste water basin (penampungan air buangan) dilengkapi dengan pompa-pompa dan pompa darurat yang diselamkan.
-
Lumpur-lumpur dari hasil proses dialirkan ke dalam danau sehingga setelah dibuang ke sungai tidak menimbulkan pencemaran.
2.6.8
Service Building Service building pada awalnya adalah suatu bangunan sebagai sarana
pelengkap untuk kegiatan lanjutan dari proyek pembangunan Instalasi Produksi Buaran II. Akan tetapi, bangunan ini sekarang dipergunakan sebagai sarana kegiatan perkantoran. 2.7 Siklus Hidup Manajemen Struktur organisasi, sistem manajemen, dan tata kelola perusahaan yang baik dan benar serta sehat dan juga harus jelas (clear), adil (fair), meningkatkan motivasi dan terencana merupakan kunci pembentukan kompetensi, pola pikir, pola perusahaan, dan pola perilaku unggul karyawan. Oleh karena itu, perusahaan harus memiliki kebijakan, strategi, SOP (Standard Operation Procedure), instruksi kerja dan panduan perilaku agar mereka bisa berinteraksi dan berperilaku kepada sesama karyawan atau pelanggan dan juga adanya KPI (Key Performance Indicator) untuk semua level karyawan. Manajemen pun terus berusaha menyempurnakan proses perubahan dalam organisasi Aetra dengan merumuskan sejumlah konsep kebijakan dan strategi yang menyangkut organisasi; rekrutmen, seleksi dan penempatan; sistem pelatihan dan pengembangan; dan hubungan industrial. Pada sisi organisasi, manajemen Aetra menggariskan kebijakan antara lain kepatuhan perundang-undangan, manajemen SDM berbasis kompetensi dan jumlah lapis tidak lebih dari enam. Setiap jabatan struktural memiliki rentang kendali minimal 2 dan maksimal 6 (baik struktural maupun fungsional). Semua karyawan juga harus memahami dan mengaktualisasikan nilai-nilai perusahaan. Kemudian, digariskan pula strategi, di antaranya model organisasi divisionalfungsional, Supporting Business Unit (SBU) dan melakukan survei opini
27
karyawan sekali dalam setahun. Survei opini karyawan ini perlu dilakukan guna mengukur kepuasan kerja karyawan maupun manajemen dalam melakukan tugas sehari-hari. Sehingga, apabila terjadi ketidakpuasan, diharapkan manajemen mencari solusi untuk memperbaikinya. Pada sisi rekrutmen, seleksi, dan penempatan, manajemen Aetra memformulasikan kebijakan di antaranya penerimaan calon karyawan baru dan penempatan karyawan harus mengacu kepada kesesuaian dengan persyaratan jabatan yang telah ditetapkan dalam uraian jabatan (distinct job profile). Setiap karyawan wajib menjalankan penugasan yang telah diberikan oleh perusahaan, dan perusahaan memberikan kesempatan yang sama kepada karyawan untuk mengikuti proses seleksi dan penempatan. Adapun strategi yang ditempuh antara lain berupa jalur rekrutmen internal dan rekrutmen eksternal. Untuk rekrutmen eksternal dilakukan melalui head hunting, media massa, media online, dan outsourcing. Pada sisi pelatihan dan pengembangan, kebijakan yang digariskan Aetra antara lain berupa kegiatan training yang dikelola oleh Human Capital Group. Karyawan wajib mengikuti pelatihan mandatory, karyawan baru wajib mengikuti orientasi perusahaan, dan karyawan yang akan memasuki masa pensiun memperoleh pembekalan training masa persiapan pensiun. Sedangkan strategi yang ditempuh di antaranya berupa class room training, on the job training, assignment, E-learning, Coaching & Counseling, Pelatihan Berjenjang, Training Pemenuhan Gap Kompetensi, dan Training untuk Pengembangan Karir. Pada sisi hubungan industrial, manajemen Aetra menggariskan kebijakan bahwa setiap line manager berkewajiban melakukan tindakan penegakan disiplin dengan mekanisme pemberian teguran lisan disertai bukti peneguran, pemberian Surat Peringatan (SP). SP-1 dan SP-2 harus dilaksanakan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Setiap karyawan yang telah memperoleh SP-2 dan masih melakukan pelanggaran yang sama akan diberikan SP-3, atau mereka yang melakukan pelanggaran lain yang memenuhi persyaratan pelanggaran berat, dapat langsung diberikan SP-3 (pemecatan) oleh Human Capital Group. Dengan semangat untuk terus menumbuhkembangkan profesionalisme hingga unit-unit terkecil, tata kelola Aetra didasarkan pada pengelolaan
28
perusahaan yang sehat sesuai prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Prinsipnya, setiap langkah serta proses penetapan kebijakan dan keputusan harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip GCG. GCG merupakan tata kelola perusahaan yang tercermin dari adanya transparansi (transparancy), tanggung jawab (responsibility), kemandirian (independent), akuntabilitas (accountability), dan keadilan (fairness). Bagi Aetra, GCG adalah syarat higienis dari lingkungan kerja dan mengarahkan manajemen perusahaan agar tidak salah urus (mismanagement). Dengan GCG, corporate culture akan terimplementasi dengan baik. GCG yang berjalan selaras dengan budaya perusahaan, akan menciptakan kondisi saling membantu dan saling memiliki persepsi yang sama. Dengan persepsi yang sama, pola pikir (mind set) yang sama, tentu akan menjadi lebih mudah untuk mewujudkan visi dan misi perusahaan.
Gambar 2.23 Siklus Hidup Manajemen
29
BAB III PROSES PENGOLAHAN AIR MINUM IPA BUARAN
3.1 Air Baku Instalasi Pengolahan Air Buaran didesain pada tahun 1987 untuk tingkat kekeruhan air baku sampai 1000 NTU. Panduan pengoperasian instalasi yang diberikan oleh Degremont menyatakan bahwa IPA Buaran dapat mengolah kekeruhan air baku di atas 2500 NTU hanya selama 2 jam saja.
Gambar 3.1 Skema Aliran Air Baku
Gambar 3.2 Waduk Ir. H. Djuanda (Jatiluhur) Aetra menggunakan sumber air baku yang berasal dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II), yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat (Kali Malang). Aetra harus membayar
30
sejumlah uang kepada pihak PJT II sesuai dengan besarnya pengambilan air baku yang tercatat dalam flowmeter. Pihak Aetra dan pihak PJT II harus selalu berkoordinasi dalam pengambilan air baku ini agar tuntutan kuantitas, kualitas, dan kontinuitas dapat terpenuhi. Air baku dari bendungan Jatiluhur mengalir melalui sungai dan pintu-pintu air menuju Instalasi Pengolahan Air (IPA) Aetra di Buaran, Kalimalang, Jakarta, dan selanjutnya mengalir ke Instalasi Pengolahan Air di Pulo Gadung. Sebelum sampai di Jakarta, air baku tersebut juga digunakan terlebih dahulu untuk irigasi persawahan. Di sepanjang aliran sungai itu, masyarakat seringkali membuang sampah di sungai, sehingga air baku tercemar. Instalasi Buaran adalah tempat penyadapan air pertama sepanjang Kanal Tarum Barat dan air langsung masuk ke dalam proses pengolahan air secara gravitasi. Hal ini menambah seriusnya masalah kekeruhan air baku yang ada. Masalah akan bertambah berat ketika curah hujan cukup tinggi di daerah penampungan air hujan bagian hulu kanal. Tingkat kekeruhan di Kanal Tarum Barat dewasa ini sangat tinggi dan sangat berfluktuasi karena pengaruh Kali Bekasi, Kali Cikarang, dan Kali Cibeet. Kekeruhan dalam air disebabkan oleh zat-zat yang tersuspensi (tidak larut dalam air). Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa tingkat kekeruhan mulai dari 10 sampai dengan 15640 NTU dengan rata-ratanya sebesar 278 NTU. Kualitas air baku tersebut di luar kendali Aetra, karenanya Aetra harus membuat tindakan atau prosedur standar untuk menjaga proses tetap berjalan tanpa gangguan bahkan selama tingkat kekeruhan yang tinggi. Air baku yang berasal dari Kanal Tarum Barat mengandung amonia karena pengaruh adanya pabrik di sepanjang aliran. Selain itu, senyawa amonia juga bisa berasal dari air limbah domestik atau air limbah kotoran binatang yang terurai oleh mikroorganisme membentuk senyawa amonia. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kandungan amonia di dalam air baku tersebut mulai dari 0,037 sampai dengan 5,13 mg/l dengan rata-ratanya sebesar 0,43 mg/l.
31
Air baku Kanal Tarum Barat juga mengandung organik yang tinggi. Zat organik ini berasal dari kegiatan alamiah seperti penguraian dedaunan atau dari kegiatan industri seperti zat organik dari zat warna tekstil. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kandungan organik di dalam air baku tersebut mulai dari 0,15 sampai dengan 300,82 mg/l dengan rata-ratanya sebesar 12,43 mg/l. Besi di dalam air ada yang terlarut dan tersuspensi. Besi merupakan unsur yang banyak terdapat di dalam tanah, tetapi hanya sedikit yang terlarut dalam air. Bentuk besi di dalam air dalam bentuk valensi +2 dan +3, tergantung kepada pH dan potensial redoks di dalam air. Dalam lingkungan reduktor (potensial elektrode negatif), besi dalam air dalam bentuk Fe+2 yang larut. Jika potensial redoks di dalam air naik, maka Fe+2 akan teroksidasi membentuk Fe+3, yang akan membentuk Fe(OH)3 yang kelarutannya kecil, akibatnya di dalam air akan tersuspensi dalam bentuk kekeruhan air, yang berwarna kuning kecoklatan. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kandungan besi total di dalam air baku tersebut mulai dari 0,07 sampai dengan 44,52 mg/l dengan rata-ratanya sebesar 2,64 mg/l. Mangan di dalam air ada yang terlarut dan tersuspensi. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa kandungan mangan total di dalam air baku tersebut mulai dari 0 sampai dengan 6,08 mg/l dengan rata-ratanya sebesar 0,37 mg/l. Warna sejati atau true color, yaitu warna di dalam air yang disebabkan oleh adanya senyawa organik yang larut, seperti pelapukan dedaunan atau ranting pohon. Kemungkinan zat organik penyebab air berwarna tersebut dapat berupa senyawa yang toksik, yang dapat membahayakan kesehatan. Untuk proses disinfeksi dengan pembubuhan khlor ke dalam air yang berwarna, dikhawatirkan akan terbentuk senyawa trihalometan (khloroform) yang diketahui bersifat karsinogenik. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa warna sejati di dalam air baku tersebut mulai dari 4,27 sampai dengan 74,28 TCU dengan rata-ratanya sebesar 16,18 TCU.
32
pH merupakan parameter untuk menyatakan suatu keasaman air. Data pH air baku diperlukan untuk proses pengolahan air, misalnya pengolahan air dengan proses koagulasi. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa pH di dalam air baku tersebut mulai dari 6,00 sampai dengan 7,90 dengan rata-ratanya sebesar 6,94. Daya hantar listrik, atau electric conductivity adalah kemampuan air untuk menghantar arus listrik. Hal ini disebabkan karena adanya mineral yang terlarut dalam air yang terionisasi. Adanya ion-ion tersebut di dalam air berkemampuan untuk menghantarkan arus listrik. Semakin tinggi kemampuan menghantarkan arus listrik, berarti semakin banyak ion yang ada di dalam air sehingga tujuan dari pengukuran konduktivitas adalah untuk mengetahui banyak ion-ion yang terlarut dalam air atau banyak mineral yang terlarut. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa konduktivitas di dalam air baku tersebut mulai dari 164 sampai dengan 1775 µmhos/cm dengan rata-ratanya sebesar 288 µmhos/cm. Ion sulfat dalam air merupakan salah satu anion major yang umumnya terdapat di dalam air alam. Dalam penyediaan air minum, sulfat merupakan parameter penting, karena dampak dari anion sulfat bersifat laxative yang dapat mengganggu pencernaan jika dalam konsentrasi berlebih. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa sulfat di dalam air baku tersebut mulai dari 24 sampai dengan 118 mg/l dengan rata-ratanya sebesar 55 mg/l. Berdasarkan hasil pencatatan kualitas air baku Kanal Tarum Barat pada tahun 2009 menunjukkan bahwa di dalam total coliform air baku tersebut mulai dari 1000/100ml sampai dengan lebih dari 201000/100ml. Total coliform merupakan indikator pencemaran suatu badan air karena terdiri dari bakteri E. coli yang seharusnya ada di saluran pencernaan manusia.
33
Parameter
Satuan
Maks
Turbidity
NTU
100
pH
6,5-8,5
Amonia
mg/l
1
Organic
mg/l
15
Mangan
mg/l
0,5
Iron
mg/l
2
Color
TCU
150
Cond.
µmhos/cm
500
T.Coli
10000/100 ml
E.Coli
2000/100 ml
Sulfat
mg/l
100
Tabel 3.1 Standar Air Baku Berdasarkan S.K. Gub. DKI No. 582 Tahun 1995 Parameter
Satuan
Maks
Turbidity
NTU
1750
pH
6,5-8,5
Amonia
mg/l
2
Organic
mg/l
15
Mangan
mg/l
0,5
Iron
mg/l
10
Color
TCU
150
Cond.
µmhos/cm
500
T.Coli
10000/100 ml
E.Coli
2000/100 ml
Sulfat
mg/l
400
Tabel 3.2 Standar Air Baku Berdasarkan Perjanjian Kerja Sama (PKS) 3.2 Diagram Alir IPA Buaran Instalasi Pengolahan Air Buaran berlokasi di sebelah selatan Jl. Inspeksi Kali Malang berdekatan dengan Kanal Tarum Barat di Timur Jakarta. Instalasi Pengolahan Air Buaran terdiri dari Instalasi Buaran I dan Instalasi Buaran II. Fungsi dari instalasi ini adalah untuk mengolah air baku yang diambil dari Kanal
34
Tarum Barat melaui serangkaian unit-unit proses yang ada pada diagram alir proses di atas, mendistribusikan air bersih ke seluruh wilayah Timur Jakarta dan mentransmisikannya ke Pusat Distribusi Cilincing (PDC). Air bersih dari PDC didistribusikan ke seluruh wilayah Jakarta Utara.
Gambar 3.3 Diagram Alir Proses pengolahan Air IPA Buaran Kapasitas total rata-rata dari Instalasi Buaran adalah 5,0 m3/detik dengan fasilitas yang memadai untuk mendistribusikan kebutuhan puncak (tertinggi) tiap jam dari setiap sistem distribusi untuk Wilayah 6 sebesar 2,0 m3/detik dan menyalurkan kebutuhan maksimum harian dari sistem transmisi ke Pusat Distribusi Cilincing dengan kapasitas 3,0 m3/detik untuk melayani Wilayah 3.
Gambar 3.4 Daerah Pelayanan 3.3 Intake Air baku masuk melalui bar screen ke intake secara gravitasi. Intake dilengkapi dengan saringan kasar dan saringan halus. Pada intake terdapat pembubuhan pre khlorin, prelime, dan karbon aktif. Intake dilengkapi dengan valve pengatur debit air baku, emergency valve dan pompa sampel air baku yang menuju laboratorium.
35
Unit bar screen berada di depan Instalasi Pengolahan Air Buaran tepat di tepi Kanal Tarum Barat atau Kali Malang. Pengoperasian bar screen tidak diatur oleh Aetra tetapi diatur oleh PJT II. Pemeliharaannya pun diatur oleh PJT II.
Gambar 3.5 Bar Screen
Gambar 3.6 Coarse Screen Setelah melewati bar screen, air baku melewati coarse screen. Air baku tersebut terbagi menjadi dua aliran menuju coarse screen Buaran I dan coarse screen Buaran II. Coarse screen berfungsi menyaring sampah kasar yang terbawa oleh air baku. Pengoperasian dilakukan secara manual dan otomatis. Coarse screen dijalankan minimal 1 kali setiap shift sampai bersih. Pada keadaan tertentu dimana terlihat sampah terkumpul di kanal intake, maka dijalankan tanpa melihat jadwal. Sampah yang menempel pada screen akan jatuh pada suatu penampungan kemudian sampah tersebut akan disemprotkan dengan air dari salah satu sisi sehingga sampah akan menuju suatu keranjang yang berada di ujung penampungan sampah. Sampah yang berada di dalam keranjang tersebut selanjutnya dibuang ke tempat sampah. Setelah melewati coarse screen, air baku melewati fine screen Buaran I dan fine screen Buaran II sesuai dengan aliran. Fine screen berfungsi menyaring sampah halus yang terbawa oleh air baku. Coarse screen dioperasikan minimal 2
36
kali setiap shift (6 kali sehari). Lamanya operasi tergantung kondisi air baku. Jika tidak banyak kotoran, biasanya dioperasikan selama 3-5 menit. Sampah yang menempel pada screen akan jatuh pada suatu penampungan kemudian sampah tersebut akan disemprotkan dengan air dari salah satu sisi sehingga sampah akan menuju suatu keranjang yang berada di ujung penampungan sampah. Sampah yang berada di dalam keranjang tersebut selanjutnya dibuang ke tempat sampah.
Gambar 3.7 Fine Screen Setelah melewati fine screen, sebagian kecil air baku dialirkan menuju laboratorium proses melalui pipa dengan bantuan pompa. Sedangkan air baku yang lain mengalami pembubuhan bahan kimia pertama yaitu karbon aktif, pre khlor, dan prelime. Pada intake terjadi pembubuhan karbon aktif jika air baku tercemar berat yaitu air berwarna, berasa, dan berbau dan biasanya mengandung organik tinggi. Jika terjadi pembubuhan karbon aktif pada intake, maka pre khlorinasi tidak dilakukan di intake tetapi di mixing basin. Hal ini bertujuan agar karbon aktif yang sudah ditambahkan tidak bereaksi dengan khlorin sehingga karbon aktif bisa bekerja secara efektif menghilangkan rasa dan bau. Karbon aktif yang dibubuhkan berjenis serbuk. Serbuk karbon aktif tersebut dicampurkan dengan air kemudian dibubuhkan. Dosis yang dibubuhkan belum terhitung secara pasti.
Gambar 3.8 Pembubuhan Karbon Aktif
37
Pada intake, juga terjadi pembubuhan pre khlor. Pembubuhan pre khlorin yang utama adalah di intake. Akan tetapi, pada keadaan tertentu pembubuhan pre khlorin dilakukan di mixing basin. Pembubuhan pre khlorin pada mixing basin dilakukan apabila terjadi gangguan pada pembubuhan pre khlorin di intake atau terjadi pembubuhan karbon aktif di intake. Dosis pre khlorin yang dibubuhkan berdasarkan jumlah amonia yang ada di dalam air baku. Untuk amonia < 0,5 mg/l maka pre khlor yang dibubuhkan sebesar 10 kali kandungan amonia. Untuk amonia > 0,5 mg/l maka pre khlor yang dibubuhkan sebesar 7 kali kandungan amonia. Dosis pre khlor yang ditambahkan diatur di gedung khlorin yaitu pada khlorinator. Dosis pre khlor yang sudah ditentukan kemudian dikalikan dengan besarnya debit air baku yang masuk sehingga nantinya didapat suatu nilai dalam satuan kg/hari pre khlor yang dibubuhkan.
Gambar 3.9 Pembubuhan Pre Khlor Pembubuhan prelime dilakukan di intake. Pembubuhan prelime dilakukan untuk meningkatkan pH air baku untuk mencapai pH optimum untuk proses koagulasi. Kisaran pH untuk koagulasi yang terbaik adalah 6,8-7,4. Kesulitan yang sering dialami dalam pembubuhan prelime adalah terjadinya pengendapan lime pada saluran sehingga saluran menjadi tersumbat dan pembubuhan tidak lancar. Pengaturan dosis prelime yang dibubuhkan dilakukan di gedung lime. Lime yang digunakan bisa berbentuk kapur atau disebut kapur powder dan bentuk cair atau lime milk. Jika menggunakan kapur powder maka harus dilarutkan dahulu dengan air. Lime milk dapat lebih cepat menaikkan pH daripada kapur powder.
Gambar 3.10 Pembubuhan Prelime
38
Setelah melewati pembubuhan bahan kimia, air baku melewati emergency valve. Emergency valve ada dua buah yaitu untuk Buaran I dan Buaran II. Emergency valve digunakan apabila terjadi pemadaman listrik oleh PLN. Emergency valve secara otomatis akan menutup saluran masuk air baku jika terjadi pemadaman listrik dari PLN. Jika tidak ada emergency valve maka air baku dapat terus masuk secara gravitasi ketika terjadi pemadaman listrik dari PLN. Hal ini dapat menyebabkan genangan atau luapan air pada unit-unit pengolahan air selanjutnya karena unit-unit tersebut tidak beroperasi dengan adanya pemadaman listrik dari PLN. Pompa sampel air baku berada di tengah emergency valve. Jumlah pompa sampel air baku adalah dua buah. Pompa tersebut memompakan contoh air yang akan diperiksa dari lokasi titik sampling ke laboratorium. Titik sampling untuk air baku berada di titik setelah fine screen dan sebelum pembubuhan pre khlorin, prelime, dan karbon aktif. Oleh karena itu, air baku yang ada di laboratorium belum mengandung khlorin, kapur, maupun karbon aktif.
Gambar 3.11 Emergency Valve
Gambar 3.12 Pompa Sampel Air Baku Setelah melewati emergency valve, air baku melewati valve flowmeter air baku. Valve flowmeter air baku berfungsi mengukur dan mengontrol aliran air baku. Valve tersebut juga berfungsi menutup aliran air baku yang masuk jika terjadi pemadaman listrik dari PLN dan emergency valve mengalami gangguan 39
atau tidak bekerja otomatis. Jumlah valve flowmeter air baku ada dua buah, masing-masing untuk Buaran I dan Buaran II. Valve tersebut akan membuka atau menutup sesuai permintaan debit yang masuk ke Buaran I atau Buaran II. Valve ini bisa dijalankan secara otomatis dan manual. Berdasarkan pencatatan debit air baku yang masuk pada tahun 2009, debit air baku yang masuk ke Buaran I berkisar antara 290 sampai dengan 101160 m3/jam dengan rata-rata debit yang masuk sebesar 8992 m3/jam. Debit air baku yang masuk ke Buaran II berkisar antara 645 sampai dengan 95200 m3/jam dengan rata-rata debit yang masuk sebesar 8576 m3/jam. Debit air baku yang masuk tergantung dari debit aliran air baku di Kanal Tarum Barat dan besarnya bukaan valve air baku.
Gambar 3.13 Valve flowmeter air baku untuk Buaran I
Gambar 3.14 Flowmeter 3.4 Mixing Basin Mixing basin adalah tempat untuk pengadukan atau pencampuran bahan kimia (koagulan) dengan air baku agar didapat pencampuran yang merata (homogen). Tujuan dari zat koagulan adalah untuk mengikat menjadi satu partikel-partikel halus yang terdapat di dalam air baku, sehingga lebih mudah untuk
dipisahkan
melalui
proses
penjernihan
dan
penyaringan.
Untuk
menggabungkan partikel, pendekatan yang dilakukan adalah mengurangi gaya
40
tolak elektrosatis yang membuat partikel koloid stabil dengan penambahan koagulan yang memiliki muatan berbeda dengan partikel koloid. Pendekatan yang kedua adalah memperpendek atau menumbukkan partikel yang telah berkurang muatan elektrostatisnya melalui pengadukan. Terdapat dua tahap koagulasi. Pertama terjadi di sekitar rapid mixer yang terdiri dari dua buah pengaduk cepat (mixer), kedua terjadi di terjunan hidraulis. Jumlah mixing basin ada dua buah yaitu mixing basin Buaran I dan mixing basin Buaran II. Masing-masing mixing basin mempunyai dua buah mixer. Jenis impeller yang digunakan pada mixing basin adalah turbine mixer. Setelah air melewati proses koagulasi tahap pertama, air menuju terjunan hidraulis yaitu tempat koagulasi II. Masing-masing mixing basin memiliki empat bak pembagi tempat terjadinya koagulasi II oleh terjunan hidrolis.
Gambar 3.15 Mixing Basin
Gambar 3.16 Mixer
Gambar 3.17 Terjunan Hidrolis
41
Koagulan yang digunakan adalah alum cair, PAC, dan Sudflock A 820. Koagulan pembantu yang digunakan adalah LT7994. Campuran koagulan yang digunakan tergantung kekeruhan. Jika kekeruhan < 100 NTU, koagulan yang digunakan adalah alum cair. Jika kekeruhan 100-200 NTU,
koagulan yang
digunakan alum cair dan PAC atau alum cair dan LT7994. Jika kekeruhan > 200 NTU, koagulan yang digunakan adalah Sudflock A 820 dan LT7994. Dosis (mg/l)
Kekeruhan Air Baku (NTU)
Alum
LT7994
<100
40
-
100-150
40
0,1
151-200
45
0,2
201-500
45
0,3
501-1000
55
0,5
1001-1500
65
0,6
1501-2000
90
1
2001-3000
115
1,3
3001-4000
135
1,4
4001-6000
140
1,6
6001-9000
160
2
9001-12000
160
2,2
>12001
170
2,2
Catatan: Jika tingkat kekeruhan kurang dari 100 NTU, dosis koagulan boleh 50 ppm alum saja, atau dengan alum dan polymer. Tabel 3.3 Dosis Koagulan di Buaran Kombinasi koagulan dan koagulan pembantu yang tepat didasari atas pengujian (jar test) yang dilakukan di laboratorium. Perhitungan dosis alum dalam liter per menit didapat dengan cara mengalikan dosis alum yang didapat dari hasil jar test dengan debit air baku yang masuk dalam m3 per jam dan berat jenis alum kemudian dibagi 60. Stroke pompa didapat dengan memasukkan dosis alum (Liter/menit) ke dalam persamaan salah satu pompa yang digunakan. Pompa
42
alum ada enam buah. Pompa alum tersebut kemudian diatur besar stroke-nya di ruang alum.
Gambar 3.18 Pembubuhan Koagulan
Gambar 3.19 Tangki beserta pompa Alum
Gambar 3.20 Tangki beserta pompa LT7994 Pada mixing basin juga terjadi pembubuhan pre khlor. Pembubuhan pre khlor di mixing basin dilakukan jika ada pembubuhan karbon aktif di intake sehingga tidak ada pembubuhan pre khlor di intake. Selain itu, pembubuhan pre khlor di mixing basin juga dilakukan jika terjadi gangguan pada pembubuhan pre khlor di intake. Dosis pre khlorin di mixing basin sama dengan dosis pre khlorin di intake. Dosis pre khlorin yang dibubuhkan berdasarkan jumlah amonia yang ada di dalam air baku. Untuk amonia < 0,5 mg/l maka pre khlor yang dibubuhkan sebesar 10 kali kandungan amonia. Untuk amonia > 0,5 mg/l maka pre khlor yang dibubuhkan sebesar 7 kali kandungan amonia. Pembubuhan pre khlorin pada
43
mixing basin terjadi di bak mixer atau bak tempat koagulasi I. Dosis pre khlor yang ditambahkan diatur di gedung khlorin yaitu pada khlorinator. Dosis pre khlor yang sudah ditentukan kemudian dikalikan dengan besarnya debit air baku yang masuk sehingga nantinya didapat suatu nilai dalam satuan kg/hari pre khlor yang dibubuhkan.
Gambar 3.21 Tangki beserta pompa PAC
Gambar 3.22 Pembubuhan pre khlor pada mixing basin 3.5 Pulsator Buaran I dan II masing-masing memiliki empat penjernih jenis pulsator. Jadi jumlah keseluruhan ada 8 pulsator, yang masing-masing dapat menampung air sebanyak 1500 m3. Ukuran masing-masing pulsator adalah 23,35 x 42 m, kedalaman air 4,2 m dan mempunyai kapasitas 2375 m3/jam.
Gambar 3.23 Pulsator
44
Pulsator ini terdiri dari tangki berdasar rata, dengan rangkaian pipa berlubang didasarnya dimana air baku dialirkan untuk memastikan distribusi yang merata di keseluruhan dasar pulsator. Serangkaian saluran terbuka dengan lubanglubang didasarnya, di atas bak, memungkinkan meratanya pengumpulan air yang sudah agak jernih, sehingga dapat dihindari perbedaan aliran di setiap bagian.
Gambar 3.24 Pulsator yang sedang dikuras
Gambar 3.25 Dasar Pulsator Pada tahap pengisian, permukaan air dalam ruang hampa udara, naik secara bertahap. Pada saat mencapai 0,6 sampai 1 meter di atas permukaan air di pulsator, sebuah relai listrik membuka katup sehingga ruang hampa terhubung dengan udara terbuka. Dengan demikian, tekanan udara mendesak air yang ada di dalam ruang hampa dan terdorong ke pulsator. Unit-unit ini biasanya dikalibrasikan sehingga ruang hampa dapat dikosongkan ke pulsator dalam waktu 10 hingga 20 detik, dimana dibutuhkan waktu 20 hingga 30 detik untuk mengisinya kembali. Pembukaan dan penutupan katup udara dikendalikan oleh tinggi permukaan air dalam ruang. Pada akhir saluran yang keluar dari pulsator, terdapat titik pembubuhan intermediate khlor. Air secara merata didistribusikan ke filter/saringan.
45
Pulsator adalah sebagai tempat terjadinya flokulasi dan sedimentasi. Flokulasi adalah proses terbentuknya flok akibat dengan adanya pembubuhan bahan koagulan, dari proses flokulasi tersebut akan dihasilkan gumpalan partikel lumpur. Sedimentasi adalah proses pengendapan flok-flok yang terjadi secara gravitasi, proses pengendapan ini terjadi karena berat jenis flok lebih berat dari berat jenis air. Aliran Air Baku
Jumlah Pulsator yang
(m3/jam)
beroperasi
Kurang dari 1980
Stop
1980-2970
1
3960-5950
2
5940-8910
3
8910-11880
4
Catatan: Buaran I dan II masing-masing memiliki empat pulsator Tabel 3.4 Jumlah Pengoperasian Pulsator Jika waktu pengosongan pulsator lebih dari 20 detik maka lumpur di dalam bak hampa udara diperiksa dengan cara membuka katup pembuangan lumpur bak hampa udara. Lumpur di bak hampa udara harus dibuang secara periodik. Selain itu, jika waktu pengosongan pulsator lebih dari 20 detik maka waktu pulsasi diatur.
Gambar 3.26 Ruang Vakum
Gambar 3.27 Pipa Utama dari Mixing Basin Menuju Ruang Vakum
46
Masing-masing pulsator memiliki 6 buah sludge extraction dan 6 buah sludge drain, dan 6 buah bottom flushing. Lumpur yang berada di tengah pulsator akan masuk ke sludge extraction sedangkan lumpur yang berada di kanan dan kiri pulsator akan masuk ke sludge drain. Bottom flushing berfungsi untuk mencuci bagian dasar pulsator sehingga membantu lumpur-lumpur yang melekat di dasar agar masuk ke dalam sludge drain. Untuk setiap tingkat kekeruhan memiliki siklus pembuangan lumpur dan siklus pencucian dasar yang berbeda. Pembuangan lumpur dan pencucian dasar ini akan secara otomatis bekerja menurut perintah yang diatur pada panel. Semakin tinggi kekeruhan maka semakin sering pembuangan lumpur terjadi. Akan tetapi, jika kekeruhan sangat tinggi dan lumpur pada pulsator pun sangat banyak maka valve sludge extraction dan valve sludge drain dibuka secara manual oleh operator karena frekuensinya lebih sering dan pembukaan otomatis sudah tidak bisa terpenuhi. Lumpur-lumpur dari pulsator tersebut akan dialirkan ke waste basin.
Gambar 3.28 Sludge Extraction
Gambar 3.29 Pembuangan Lumpur melalui Sludge Extraction
Gambar 3.30 Pembuangan Lumpur melalui Sludge Drain 47
Kekeruhan
Siklus Pembuangan Lumpur
Siklus Pencucian Dasar
Air Baku
Pembukaan
Penutupan
Interval Pembukaan Frekuensi
(NTU)
(Detik)
(Menit)
(Menit)
(Detik)
(Menit)
<100
30
50
151,5
30
240
101-150
30
40
121,5
30
120
151-200
30
30
91,5
30
120
201-500
30
20
61,5
30
60
501-1000
30
8
25,5
30
30
1001-2000
30
7
22,5
30
30
2001-3000
30
6
19,5
30
30
3001-4000
30
2,5
9
30
30
4001-5000
30
1
4,5
30
30
>5000
30
0,5
3
30
30
Tabel 3.5 Pengoperasian Pulsator di Buaran
Gambar 3.31 Air bersih untuk flushing dasar pulsator Dalam pengoperasian pulsator, terjadi aliran ke atas yang menyebabkan terbentuknya selimut lumpur atau sludge blanket. Selimut lumpur terbentuk pada reaktor aliran ke atas dimana flok yang mempunyai kecepatan mengendap yang sama dengan kecepatan up-flow (Vup) melayang atau tertahan. Flok yang melayang tersebut semakin lama semakin banyak sehingga membentuk massa flok melayang yang disebut sludge blanket atau selimut lumpur. Selimut lumpur berperilaku seperti porous bed. Aliran melalui selimut lumpur akan kehilangan tekanan yang juga dapat dimanfaatkan sebagai flokulator. Lumpur dari zona selimut lumpur tidak boleh terbawa ke filter dan zona selimut lumpur tidak boleh menghilang. Jika lumpur dari zona selimut lumpur terbawa ke filter maka dilakukan pemeriksaan terhadap pembuangan lumpur dan
48
pencucian dasar pulsator, waktu pulsasi, aliran air ke dalam pulsator, dosis koagulan. Jika kecepatan aliran ke atas terlalu besar, kecepatan pengendapan partikel tidak lagi memadai untuk memastikan mengendapnya massa total yang membentuk kohesi pada selimut lumpur. Jika zona selimut lumpur menghilang maka dilakukan pemeriksaan pembuangan lumpur dan pencucian dasar pulsator, pengurangan penggunaan PAC dan peningkatan dosis alum jika diperlukan, pemeriksaan pulsasi di dalam ruang/bak hampa udara. Air dari pulsator kemudian masuk ke kanal-kanal kecil yang ada di atas pulsator melalui lubang-lubang kecil di sisi kanal. Selanjutnya air tersebut akan mengalir ke filter. Sebelum sampai di filter, terjadi pembubuhan intermediate khlor. Dosis yang dibubuhkan tergantung besarnya residu khlor yang ada di air bersih yang diperiksa setiap jamnya. Jika residu khlor di air bersih belum memenuhi target maka dosis intermediate khlor ditambahkan. Jika residu khlor di air bersih berlebih maka dosis intermediate khlor dikurangi. Pengaturan dosis intermediate khlor terjadi di gedung khlor yaitu pada khlorinator atas permintaan dosis dari laboratorium proses. Dosis intermediate khlor yang sudah ditentukan kemudian dikalikan dengan besarnya debit air baku yang masuk sehingga nantinya didapat suatu nilai dalam satuan kg/hari intermediate khlor yang dibubuhkan.
Gambar 3.32 Skema Pulsator IPA Buaran Sebagian air pulsator yang telah mengalami pembubuhan intermediate khlor dialirkan ke laboratorium proses dengan bantuan pompa. Air pulsator yang
49
dipompakan yaitu air pulsator Buaran I dan Buaran II. Air pulsator tersebut akan diperiksa kekeruhan, pH, dan residu khlor setiap jam.
Gambar 3.33 Titik Pembubuhan Intermediate Khlor
Gambar 3.34 Pompa Sampel Air Pulsator 3.6 Rapid Sand Filter Dari pulsator, air proses yang telah menjalani proses produksi selanjutnya dialirkan ke dalam bak saringan pasir cepat. Di dalam bak saringan pasir cepat ini, flok-flok dan zat lainnya yang masih terbawa dalam aliran akan tersaring dan terikat dalam saringan pasir ini. Bak saringan pasir cepat terdiri dari unsur-unsur: 1. Lapisan pasir dan kerikil dengan ukuran tertentu yang berguna untuk mengikat lumpur-lumpur halus dan zat-zat yang membahayakan bagi kesehatan. Pasir diganti secara berkala.
Gambar 3.35 Lapisan Pasir
50
2. Nozzle dengan ukuran diameter dan jarak tertentu yang berfungsi untuk menahan agar lapisan kerikil dan pasir tidak terbawa dalam aliran. Nozzle ini juga berfungsi untuk memberikan tekanan udara dan tekanan air yang merata pada saat pencucian saringan pasir dilaksanakan.
Gambar 3.36 Nozzle pada dasar bak Pengoperasian filter pada dasarnya dilakukan secara lokal dengan melihat kondisi aktual dari penyaringan dan pencucian filter. Untuk mengendalikan filter secara lokal disediakan meja pengendali di setiap filter. Buaran I dan Buaran II masing-masing memiliki 16 bak filter, jadi total bak filter yang ada di IPA Buaran adalah 32 bak. Jumlah filter yang harus dioperasikan didasari oleh aliran produksi. Disain kecepatan aliran adalah 2,75 m3/det, aliran maksimal adalah 3,3 m3/det (120% dari pengoperasian normal). Jumlah minimal filter yang harus dioperasikan adalah delapan, agar dapat menampung air untuk pencucian dengan pompa backwash. Secara
periodik,
bak
saringan
pasir
dibersihkan
dengan
jalan
memompakan udara agar endapan-endapan lumpur dapat teraduk secara merata kemudian dipompakan air bersih hasil penyaringan dengan pompa backwash agar endapan lumpur yang telah teraduk dan bercampur dengan air bersih dapat terbuang dengan jalan melimpaskan melalui bak saringan tersebut menuju bak air kotor. Setelah bak saringan cukup bersih, pompa backwash dimatikan kemudian proses produksi dijalankan kembali. Pada saat backwash, tombol pada meja pengendali dalam posisi draining. Valve air dari pulsator dan air yang menuju filter ditutup, sedangkan valve draining dibuka. Valve udara dibuka sehingga udara keluar secara merata melalui nozzle dan kotoran-kotoran yang menempel pada pasir dan kerikil dapat terangkat.
51
Kemudian valve air bersih dibuka sehingga kotoran-kotoran yang sudah terlepas dapat terbilas dengan air menuju pembuangan. Umumnya, backwash dilakukan 2 hari sekali. Akan tetapi, frekuensi backwash tergantung dari kekeruhan air baku, kinerja pulsator, dan polimer yang digunakan. Jika air baku sangat keruh maka flok yang terbentuk akan sangat banyak. Kemungkinan besar flok tersebut ada yang tidak terendapkan pada pulsator sehingga terbawa ke filter. Kotoran-kotoran yang menempel pada pasir akan bertambah banyak sehingga sangat cepat terjadi clogging yaitu air tidak dapat tersaring lagi. Selain itu, jika polimer digunakan sebagai bahan pembantu koagulasi dan dosis yang ditambahkan berlebih maka polimer tersebut akan melekat pada pasir karena sifat polimer yang sangat lengket sehingga terjadi clogging. Filter siap untuk dicuci jika: -
Tinggi muka air di tanki elevasi sesuai dengan yang ditetapkan atau lebih tinggi.
-
Permukaan air pada bak air kotor adalah sesuai dengan yang ditetapkan atau lebih rendah.
-
Filter yang beroperasi adalah lebih dari delapan buah.
-
Tenaga listrik sudah siap.
Gambar 3.37 Bak Filter yang masih beroperasi dengan baik Jika tingkat kekeruhan air baku > 4000 NTU, filter harus dicuci setiap 24 jam sekali. Jika tingkat kekeruhan air penyaringan > 1 NTU maka dilakukan pemeriksaan kehilangan tekanan di setiap filter, waktu terakhir filter dikuras/dicuci, dan kedalaman pasir pada filter. Air yang telah melewati saringan pasir cepat kemudian dialirkan melalui syphon menuju reservoir. Sebagian air filter dari Buaran I dan Buaran II dipompakan ke laboratorium proses. Air filter tersebut diperiksa kekeruhan, pH,
52
dan residu khlor setiap jam. Air filter yang ke laboratorium proses kemudian dikembalikan ke reservoir.
Gambar 3.38 Bak Filter yang sudah mengalami clogging
Gambar 3.39 Pompa Sampel Air Filter 3.7 Ground Reservoir Air yang telah disaring masuk ke dalam reservoir air bersih melalui pipa/saluran air bersih, dimana bahan kimia untuk pengontrolan pH dan disinfeksi akhir dibubuhkan. Khlor adalah zat disinfektan yang sangat kuat, yang digunakan untuk membunuh organisme penyebab penyakit di dalam air. Larutan kapur ditambahkan untuk menaikkan pH air yang mengalir keluar instalasi, karena pipa distribusi akan rusak bila terkena air asam. Setelah dilakukan disinfeksi, air dipompa keluar untuk didistribusikan. Buaran memiliki dua buah reservoir yaitu reservoir untuk Buaran I dan reservoir untuk Buaran II. Kapasitas masing-masing reservoir adalah 13400 m3. Dimensi masing-masing reservoir adalah 29 x 63 x 4 meter. Reservoir tersebut dikuras secara berkala. Pada reservoir terjadi pembubuhan post khlor. Banyaknya khlor yang dibubuhkan tergantung besarnya residu khlor di reservoir. Residu khlor untuk Buaran I berkisar antara 0,5-1,0 mg/l. Residu khlor untuk Buaran II berkisar antara 0,3-0,4 mg/l. Air bersih yang ada di Buaran I selanjutnya langsung didistribusikan ke konsumen sehingga residu khlor yang ada harus cukup agar air 53
bersih tersebut tetap terjaga dari bakteri-bakteri patogen yang mungkin saja ada pada pipa-pipa distribusi. Air bersih yang ada di reservoir Buaran II selanjutnya akan ditransmisikan ke Pusat Distribusi Cilincing (PDC) dan terjadi pembubuhan khlor di PDC tersebut. Tempat pembubuhan post khlor adalah di pipa air bersih setelah filter dan menuju reservoir. Dosis post khlor yang ditambahkan diatur di gedung khlorin yaitu pada khlorinator. Dosis post khlor yang sudah ditentukan kemudian dikalikan dengan besarnya debit air baku yang masuk sehingga nantinya didapat suatu nilai dalam satuan kg/hari post khlor yang dibubuhkan.
Gambar 3.40 Reservoir Buaran II
Gambar 3.41 Pembubuhan Post Khlor pada pipa kuning Pada titik masuk air bersih ke reservoir terjadi pembubuhan post lime. Dosis lime yang dibubuhkan tergantung dari pH air minum yang dihasilkan dan dosis tersebut diatur di ruang kapur sesuai permintaan dari laboratorium proses. Lime yang dibubuhkan berbentuk cair atau powder. Pembubuhan kapur pada titik masuk air bersih ke reservoir dapat menyebabkan naiknya kekeruhan air bersih. Secara teori jika kekeruhan larutan kapur adalah 20 NTU, maka akan menaikkan kekeruhan air bersih sebesar 0,2 NTU, tetapi karena terdapat masalah di pompa kapur, dosis kapur tidak dapat secara tepat dikontrol. Oleh karena itu operator harus memastikan bahwa overflow larutan kapur yang masuk ke reservoar adalah larutan kapur jenuh.
54
Sebagian air minum yang ada di reservoir Buaran I dan Buaran II dipompakan ke laboratorium proses untuk diperiksa kekeruhan, pH, dan residu khlor setiap jam. Air minum yang ke laboratorium proses tersebut kemudian dialirkan kembali ke reservoir.
Gambar 3.42 Titik Pembubuhan Post Lime
Gambar 3.43 Pengambilan Sampel Air Minum Elevasi air dalam reservoir: -
Elevasi maksimum (HH) : 12,1 – Alarm menyala. Sama dengan elevasi 6 pada kontrol panel.
-
Maksimum normal (H) : 11,83. Sama dengan pada elevasi 5,8 di panel.
-
Minimum normal (L) : 9,7. Sama dengan pada elevasi 4 di panel.
-
Elevasi minimum (LL) : 8,4. Sama dengan pada elevasi 3,2 di panel. Pompa akan berhenti secara otomatis kira-kira 4 meter dari struktur paling atas reservoir.
55
Debit Air Debit Air Baku
Debit Air
Debit Air
Minum
Lama
Minum
Lama
Minum
Lama
m3/jam
l/det
l/det
jam
l/det
jam
l/det
jam
11880
3300
3000
12,41
2000
2,86
1000
1,62
10800
3000
3000
Balance
2000
3,72
1000
1,86
10000
2778
3000
16,75
2000
4,79
1000
2,09
9500
2639
3000
10,31
2000
5,83
1000
2,27
9000
2500
3000
7,44
2000
7,44
1000
2,48
8500
2361
3000
5,83
2000
10,31
1000
2,73
8000
2222
3000
4,79
2000
16,75
1000
3,05
7500
2083
3000
4,06
2000
44,67
1000
3,44
7000
1944
3000
3,53
2000
67,00
1000
3,94
6500
1806
3000
3,12
2000
19,14
1000
4,62
6000
1667
3000
2,79
2000
11,17
1000
5,58
5500
1528
3000
2,53
2000
7,88
1000
7,05
5000
1389
3000
2,31
2000
6,09
1000
9,57
4500
1250
3000
2,13
2000
4,96
1000
14,89
4000
1111
3000
1,97
2000
4,19
1000
33,50
Tabel 3.6 Reservoir Air Minum Buaran II 3.8 Pompa Untuk mendistribusikan air minum kepada konsumen, dipergunakan pompa distribusi yang dipakai secara bergantian dengan kapasitas 5000 l/detik yang ditunjang oleh pompa distribusi sebanyak: -
5 unit, 3600 m3/jam, head 16 m (pompa transmisi)
-
4 unit, 2880 m3/jam, head 50 m
-
2 unit, 1440 m3/jam, head 50 m
Sistem distribusi air bersih (Buaran I), mulai dari stasiun pompa distribusi ke sambungan konsumen, dirancang untuk mendistribusikan air yang telah diolah dengan tekanan air optimal sesuai dengan kebutuhan air. Kapasitas sistem distribusi Buaran I adalah 2000 l/det. Dalam sistem distribusi ini, tersedia sistem pengendali tekanan dan aliran manual dengan menggunakan beberapa unit pompa
56
yang berkapasitas besar maupun kecil dengan katup pengendali aliran dan pengukur aliran serta perlengkapannya. Operator dapat mengendalikan sistem distribusi secara manual, sesuai dengan permintaan, di rumah pompa distribusi. Air bersih dari reservoir Buaran I ini akan didistribusikan ke gudang air di Pasar Rebo dan selanjutnya didistribusikan ke konsumen.
Gambar 3.44 Pompa Distribusi Buaran I Desain aliran untuk transmisi utama (Buaran II) adalah berdasarkan aliran maksimum harian, dan ukuran saluran transmisi didesain untuk kapasitas 3000 l/det. Ditambah air dari Instalasi Cakung di masa mendatang dengan kapasitas 1500 l/det. Air bersih yang berasal dari Buaran II ditransmisikan ke Pusat Distribusi Cilincing (PDC) melalui tiga surge tower. Pertama, air bersih dipompakan ke surge tower I yang ada di Buaran. Selanjutnya air tersebut melalui surge tower II yang ada di Caman dan kemudian melalui surge tower III yang ada di Walikota dengan sistem gravitasi sampai akhirnya ke PDC.
Gambar 3.45 Pompa Transmisi Buaran II
57
Elevasi Muka Air di
Jumlah Pompa yang
Panel
beroperasi
3,2-4,0
1 Pompa Besar
4,0-5,2
2 Pompa Besar
5,2-6,0
3 Pompa besar
Catatan: satu pompa besar sama dengan dua pompa kecil Tabel 3.7 Jumlah pompa yang dapat dioperasikan berdasarkan ketinggian muka air pada masing-masing reservoir
Gambar 3.46 Surge Tower Buaran Perpipaan terdiri dari 3 jalur, yaitu: 1. Surge tower 1 ke surge tower 2, diameter 1500 mm, panjang 2,6 km. 2. Surge tower 2 ke surge tower 3, diameter 1650 mm, panjang 4,2 km. 3. Surge tower 3 ke pusat distribusi, diameter 1650 mm, panjang 7,2 km. Menara 1
Menara 2
Menara 3
7,0
10,0
10,2
-
5,0
5,0
36,1
29,2
25,45
-
9,4
12,45
1.390
2.290
1.080
Diameter -
Luar (m)
-
Dalam (m)
Tinggi -
Luar (m)
-
Dalam (m)
Volume Efektif (m3)
Tabel 3.8 Dimensi Surge Tower
58
Aliran Masuk
Aliran Distribusi
Durasi
m3/jam
l/det
(l/det)
(jam)
10800
3000
3000
Balance
10800
3000
2250
12,2
10800
3000
1500
6,11
10800
3000
750
4,07
7200
2000
3000
9,17
7200
2000
2250
36,67
7200
2000
1500
18,33
7200
2000
750
7,33
3600
1000
3000
4,58
3600
1000
2250
7,33
3600
1000
1500
18,33
3600
1000
750
36,67
Tabel 3.9 Reservoir pada Pusat Distribusi Cilincing Pusat Distribusi Cilincing (PDC) merupakan bagian dari sistem pengolahan Instalasi Buaran. Dari Buaran II, air bersih dialirkan ke PDC melalui tiga menara (surge tower) ke bak penerima (receiving chamber) di PDC. Kapasitas bak penerimaan tersebut adalah 3000 m3. Pompa distribusi adalah sistem bertekanan dengan reservoir yang dilengkapi dengan pengontrol gelombang tekanan. Terdapat dua pengendali gelombang tekanan di sumur pompa. Kapasitas reservoir PDC adalah 33000 m3. Dengan kapasitas yang sedemikian besar, PDC tidak perlu mengurangi distribusi meskipun Buaran mengurangi aliran ke PDC untuk beberapa jam. Adalah penting untuk menjalin komunikasi dengan Instalasi Buaran, terutama jika kekeruhan air sangat tinggi, sehingga dapat mempengaruhi produksi di Instalasi Buaran. Elevasi air pada reservoir: -
Elevasi maksimum (HH): 9,5 – Alarm menyala. Pada elevasi 10,1 air akan meluap.
-
Maksimum normal (H): 8,5
59
-
Elevasi normal (L): 4,1 – Alarm menyala.
-
Elevasi minimum (LL): 2,6
-
Elevasi minimum pada sumur pompa: 1,5
3.9 Waste Basin (Bak Air Kotor) Fungsi dari bak air kotor adalah untuk mengumpulkan, mengendapkan, dan membuang bahan buangan hasil dari proses pengolahan air. Bak air kotor terdiri dari dua bagian, yaitu bak untuk lumpur dari pulsator dan bak air untuk sisa pencucian filter dan pulsator.
Gambar 3.47 Sludge Basin Bak untuk lumpur dari pulsator yaitu dari sludge extraction dan sludge draining terdiri dari 2 bak untuk Buaran I dan 2 bak untuk Buaran II dengan total kapasitas untuk Buaran I dan Buaran II masing-masing adalah 600 m3. Dasar bak berbentuk kerucut sehingga lumpur dapat terkonsentrasi di tengah bak dan dapat dengan mudah dipompakan. Lumpur yang tersimpan dalam bak buangan lumpur dipompa ke bak pengering dengan menggunakan pompa pembuang lumpur dan/atau pompa lumpur. Pompa yang digunakan adalah pompa PSLU dan PSD. Setiap bak memiliki 3 pompa PSLU dan 2 pompa PSD. Bak air untuk sisa pencucian filter dan pulsator terdiri dari dua bak untuk Buaran I dan dua bak untuk Buaran II dengan total kapasitas untuk Buaran I dan Buaran II masing-masing adalah 1200 m3. Di dalam bak terdapat mixer yang berfungsi mencampurkan lumpur-lumpur yang mengendap di dalam bak sehingga bisa tercampur dan terbuang. Bekas air pencuci filter disimpan dalam bak air kotor dan dibuang ke Kali Jati Kramat dengan menggunakan pompa air kotor.
60
Pompa yang digunakan adalah pompa PWW dan PES. Setiap bak memiliki 2 pompa PWW. Pompa PES merupakan pompa emergency.
Gambar 3.48 Waste Basin Buaran memiliki kanal lumpur dan bak air kotor yang terbatas (kapasitas total adalah 1800 m3). Ketika kekeruhan air baku tinggi, Instalasi menghasilkan banyak lumpur dan air buangan dari pencucian filter. Jika jumlah ini melebihi kapasitas, Instalasi Buaran harus dimatikan untuk beberapa jam. Tindakan ini menyebabkan hilangnya zona selimut lumpur di pulsator. Ketika instalasi dijalankan kembali dengan ekspansi yang cepat, menyebabkan flok terbawa ke filter. Zona selimut lumpur baru akan terbentuk kembali setelah beberapa jam.
3.10
Sludge Drying Bed Sludge drying bed atau bak pengering lumpur berfungsi mengeringkan
lumpur yang dihasilkan dari Sludge Extraction (SE) dan Sludge Draining (SD). Jumlah bak pengering lumpur adalah 8 buah. Dimensi masing-masing bak adalah 60 m x 5 m x 0,5 m. Total volume lumpur dalam 1 bak adalah 150 m3. Total volume lumpur dalam 8 bak adalah 1200 m3. Lumpur dari SE dan SD yang sudah dikumpulkan di waste basin kemudian dipompakan menuju sludge drying bed. Pada ujung bak pengering terdapat saluran menuju Kali Jati Kramat yang mengalirkan air yang sudah terpisah dari lumpur. Sebagian air yang terkandung dalam lumpur akan menguap. Lama kelamaan lumpur tersebut akan mengering. Setelah lumpur kering, lumpur kering tersebut di angkut dan dikumpulkan pada satu tanah lapang dan nantinya dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah. Bak yang sudah kosong lalu diisi kembali dengan lumpur.
61
Kolam pengering lumpur tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menampung lumpur dari bak pembuangan lumpur, terutama pada saat kekeruhan air baku sangat tinggi. Maka pada periode ini, lumpur dipompa keluar langsung ke kali Jati Kramat yang akan menyebabkan pendangkalan di kali tersebut. Untuk mengatasi masalah ini diperlukan fasilitas pengolahan air kotor yang memadai.
Gambar 3.49 Lumpur basah; Lumpur mengering; Lumpur sudah diangkut
62
BAB IV TINJAUAN PUSTAKA
4.1 Screening Pada intake terdapat unit operasi utama yaitu screen. Screen adalah alat yang terdiri dari bukaan yang umumnya berukuran seragam yang digunakan untuk menahan padatan yang ada pada air baku. Fungsi utama penyaringan adalah menyingkirkan material kasar dari aliran yang dapat merusak peralatan pada unit berikutnya,
mengurangi
keefektivan
proses
secara
keseluruhan,
atau
mengkontaminasi aliran. Ada dua tipe umum screen yaitu coarse screen dan fine screen. Coarse screen memiliki ukuran bukaan 6 – 150 mm (0,25 – 6 in) sedangkan fine screen memiliki bukaan kurang dari 6 mm atau kurang dari 0,25 in (Metcalf & Eddy, 2003). Coarse screen berfungsi untuk menyaring sampah kasar sedangkan fine screen berfungsi untuk menyaring sampah halus.
4.2 Sedimentasi Fungsi dari sedimentasi adalah menyisihkan zat tersuspensi dalam bentuk TSS (Total Suspended Solid) atau settleable solid dengan memanfaatkan gaya gravitasi. Pada unit ini tidak ada penambahan bahan kimia. Dilihat dari zat yang diendapkan dalam bangunan penyediaan air minum, ada dua jenis unit sedimentasi yaitu sebagai berikut: Prasedimentasi, untuk partikel diskrit dalam bentuk lumpur kasar dan halus (settleable solid) dan pasir. Sedimentasi, untuk partikel dalam bentuk flok hasil flokulasi TSS dan partikel koloid. Konfigurasi utama dari unit sedimentasi ada tiga yaitu horizontal rectangular basin, upflow sedimentation tanks, dan upflow reactor clarifiers with sludge blanket. Horizontal rectangular basin sering digunakan karena stabilitas hidrauliknya, toleran terhadap shock loading, dan mudah dalam pengoperasiannya (Kawamura, 1991). Modifikasi dari jenis sedimentasi adalah plate settler dan tube
63
settler. Fungsi dari modifikasi tersebut adalah memperpendek tinggi jatuh partikel yang akan diendapkan yang akan meningkatkan beban hidrolis. Prasedimentasi berfungsi mengurangi beban TSS sehingga kebutuhan akan koagulan pada unit koagulasi bisa dikurangi. Prasedimentasi disarankan untuk digunakan bila sumber air baku berupa sungai dengan fluktuasi kekeruhan yang tinggi. Selama ini unit prasedimentasi yang banyak digunakan adalah tipe segiempat dengan aliran horizontal. Bangunan prasedimentasi terdiri dari zona inlet, zona sedimentasi, dan zona outlet serta dilengkapi dengan pipa inlet, pipa outlet, dan pipa pembuangan lumpur. Dalam mendesain suatu bak prasedimentasi, harus diketahui terlebih dahulu sifat padatan dari suatu air baku. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis settleable solid dari suatu air sungai dengan menggunakan tangki Camp. Dari analisis tersebut dapat diketahui kecepatan mengendap partikel. Suatu bak prasedimentasi dengan ukuran dan debit aliran air baku yang diolah tertentu dapat diketahui besarnya surface loading. Dengan diketahuinya kecepatan mengendap partikel dan surface loading maka dapat diketahui efisiensi penyisihan dari suatu bak prasedimentasi. Efisiensi penyisihan juga dipengaruhi oleh jenis aliran (laminer atau turbulen) dan kestabilan aliran (stabil atau tidak stabil). Bak prasedimentasi yang ideal apabila aliran laminer dan stabil. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mendesain bak sedimentasi adalah kecepatan mengendap antar spesifikasi air baku, keberadaan ganggang oleh karena itu perlu diberi atap untuk menghalangi sinar matahari yang dapat meningkatkan pertumbuhan ganggang, temperatur antara air yang masuk dengan air yang berada di bak karena perbedaan temperatur bisa mengacaukan aliran. Kondisi di lapangan tidak ideal berbeda dengan kondisi di laboratorium yaitu pengendapan dengan tangki Camp yang kondisinya ideal. Oleh karena itu, efisiensi penyisihan di lapangan selalu lebih kecil daripada efisiensi penyisihan di laboratorium.
4.3 Koagulasi Partikel koloid dan partikel tersuspensi yang halus tidak mungkin diendapkan secara gravitasi karena diameter partikel yang sangat kecil
64
menyebabkan kecepatan mengendap yang sangat kecil. Selain itu partikel koloid bersifat stabil karena bermuatan elektro statis. Untuk mengatasi hal tersebut, diupayakan agar partikel bergabung sehingga kecepatan mengendap lebih besar dan dapat diendapkan secara gravitasi. Koagulasi adalah proses destabilisasi muatan koloid dan padatan tersuspensi, termasuk bakteri dan virus dengan koagulan. Pengadukan cepat merupakan bagian dari koagulasi. Pengadukan cepat bertujuan untuk secara cepat dan seragam mendispersikan bahan kimia koagulan ke dalam air yang alan diolah. Keefektivan pengadukan cepat sangat penting ketika menggunakan koagulan logam seperti alum dan ferric chloride karena hidrolisis koagulan tersebut terjadi hanya dalam waktu sedetik dan kemudian adsorpsi ke partikel koloid sangatlah cepat (Kawamura, 1991). Untuk menggabungkan partikel, pendekatan yang dilakukan adalah mengurangi gaya tolak elektrostatis melalui penambahan koagulan dan memperpendek jarak antar partikel atau menumbukkan partikel yang telah berkurang muatan elektrostatisnya melalui pengadukan. Tumbukan memerlukan waktu dan energi yang cukup. Agar tumbukan yang terjadi semakin banyak maka gradien kecepatan (G) perlu diperbesar. Gradien kecepatan atau velocity gradien (G) adalah perbedaan kecepatan dari suatu titik ke titik lain. Dalam pengadukan cepat, kecepatan maksimal pengadukan tidak terlalu dibatasi. Gradien kecepatan, G (s-1) dan waktu pengadukan, t (s) yang paling efektif adalah G x t = 300 – 1600 (Kawamura, 1991). Koagulator atau pengaduk atau mixer berfungsi mencampur secara merata koagulan dengan air baku. Ada tiga jenis pengaduk yaitu: Pengaduk hidrolis, memanfaatkan disipasi energi akibat aliran air. Contoh pengaduk hidrolis adalah terjunan, hydraulic jump, baffled channel, dan flash mixer. Pengaduk mekanis, memanfaatkan energi dari pengaduk dengan tenaga mekanik atau elektrik. Contoh pengaduk mekanis adalah pengaduk menggunakan stirrer atau blade. Pengaduk pneumatis, memasukkan udara bertekanan yang berasal dari kompresor ke dalam reaktor (pada dasar reaktor).
65
4.4 Flokulasi Flokulasi merupakan proses pengadukan lambat. Pengadukan lambat ini berfungsi menggabungkan partikel koloid yang telah terdestabilisasi (beberapa di antaranya telah membentuk mikro flok) untuk saling bergabung membentuk flok yang lebih besar sehingga kecepatan pengendapan menjadi lebih besar dan secara teknis dapat diendapkan. Berbeda dengan koagulasi dimana kecepatan aliran relatif tidak dibatasi, dalam flokulasi kecepatan aliran (termasuk kecepatan aliran relatif terhadap blade untuk flokulator mekanis) dibatasi. Pembatasan kecepatan aliran dimaksudkan untuk mencegah pecahnya flok yang terbentuk akibat gaya gesek (shearing stress) aliran air. Desain bak flokulasi berdasarkan dua kriteria yatu waktu detensi (t) dan tingkat energi pencampuran (G). Kriteria desain untuk tangki flokulasi berbentuk segi empat adalah G x t = 104-105 atau G = 10 – 70 s-1 dan waktu detensi sebesar 20 – 30 menit (Kawamura, 1991). Ada tiga jenis flokulator yaitu flokulator hidrolis, flokulator mekanis, dan sludge blanket flocculator. Flokulator hidrolis dalah flokulator dengan baffled channel yang terdiri dari horizontal flow dan up-down flow. Jenis flokulator hidrolis yang umum digunakan adalah baffled channel dengan horizontal flow. Jenis tersebut memiliki keuntungan yaitu cocok untuk debit medium (100 – 300 L/s), sederhana dalam operasi dan pemeliharaan, dan perkembangan pembentukan flok dapat dilihat dengan jelas. Sedangkan, kerugiannya adalah memerlukan lahan yang cukup luas. Untuk memperoleh pembentukan flok yang baik, maka reaktor dibagi menjadi tiga kompartemen dengan nilai G dan G.td yang menurun secara gradual. Dalam flokulator mekanis, energi pengadukan diperoleh dari energi listrik (motor) yang digunakan untuk memutar pengaduk. Keuntungan flokulator mekanis terletak pada kemudahan dan fleksibilitas dalam pengaturan nilai G. Kerugian flokulator mekanis adalah memerlukan energi yang lebih besar dan pemeliharaan yang mahal. Dalam sludge blanket flokulator, sludge blanket atau selimut lumpur terbentuk pada reaktor aliran ke atas dimana flok yang mempunyai kecepatan mengendap yang sama dengan kecepatan up-flow (Vup) melayang atau tertahan.
66
Flok yang melayang tersebut semakin lama semakin banyak sehingga membentuk massa flok melayang yang disebut sludge blanket atau selimut lumpur. Selimut lumpur berperilaku seperti porous bed. Aliran melalui selimut lumpur akan kehilangan tekanan yang juga dapat dimanfaatkan sebagai flokulator. Sludge blanket flokulator terjadi pada pulsator. Pengadukan dengan pulsator adalah mengakumulasikan flok pada bagian dasar suatu bak pengendap. Untuk dapat memperbesar flok, air yang sudah terkoagulasi dikejut secara berkala dengan mengalirkan air baku secara tiba-tiba di inlet. Dengan sentakan ini flok yang kecil tertumbuk satu sama lain kemudian menghasilkan flok yang lebih besar. Flok yang telah membesar dan jenuh dibuang secara kontinu ke saluran pembuang.
Gambar 4.1 Skema Pulsator 4.5 Filtrasi Filtrasi adalah proses penyaringan partikel secara fisik, kimia, dan biologi untuk memisahkan atau menyaring partikel yang tidak terendapkan di sedimentasi melalui media berpori. Mekanisme penjernihan dalam filter terdiri dari mechanical straining atau penyaringan mekanis, sedimentasi, dan adsorpsi. Selama proses filtrasi, zat-zat pengotor dalam media penyaring akan menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pori-pori media sehingga kehilangan tekanan akan meningkat. Media yang sering digunakan adalah pasir, karena mudah diperoleh dan ekonomis. Selain pasir, media penyaring lain yang dapat
67
digunakan adalah karbon aktif, athracite, coconut shell, dan lain-lain. Diharapkan dengan penyaringan, akan dapat dihilangkan kekeruhan tersebut secara total. Filtrasi diperlukan untuk menyempurnakan penurunan kadar kontaminan seperti bakteri, warna, rasa, bau, dan besi sehingga diperoleh air yang bersih memenuhi standar kualitas air minum. Filter dibedakan menjadi dua macam yaitu saringan pasir lambat dan saringan pasir cepat. Saringan pasir lambat dikembangkan pada tahun 1829 oleh James Simpson pada perusahaan air minum Inggris. Saringan pasir cepat dikembangkan di USA selama periode tahun 19001910. Saringan pasir cepat lebih banyak dimanfaatkan dalam sistem pengolahan air minum. Filter juga dapat diklasifikasikan berdasarkan cara pengalirannya, yaitu gravity filter dan pressure filter (Joko,2010).
4.5.1 Saringan Pasir Lambat (Slow Sand Filter) Saringan ini didesain dengan kecepatan penyaringan lambat, namun dapat menyaring zat pengotor hingga diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan saringan pasir cepat. Sistem pencuciannya dengan cara scrapping lapisan atas, namun memakan waktu hingga 1-2 bulan. Luas permukaannya lebih besar dibandingkan dengan penyaringan pasir cepat. 4.5.2 Saringan Pasir Cepat (Rapid Sand Filter) Kecepatan penyaringan pasir cepat relatif lebih besar, pencuciannya menggunakan backwash, atau air dialirkan dari bawah media ke arah atas, dan memakan waktu 1-2 hari. Rapid sand filter yang digunakan dalam pengolahan air biasanya pada tipe gravitasi dan umumnya ditempatkan pada kolam dari beton yang terbuka. Filter saringan dapat dikelompokkan sesuai dengan tipe media yang digunakan antara lain: 1. Single media filter (saringan satu media) Saringan yang menggunakan satu media, biasanya pasir atau crushed anthracite coal. 2. Dual media filter (dua media saringan) Saringan dengan menggunakan dua media, biasanya dengan pasir dan crushed anthracite coal.
68
3. Multi media filter (banyak media) Media yang menggunakan banyak media biasanya pasir , crushed anthracite coal, dan garnet.
4.6 Disinfeksi Disinfeksi adalah usaha untuk mematikan mikroorganisme yang masih tersisa dalam proses, terutama ditujukan kepada yang patogen. Terdapat bermacam-macam cara disinfeksi.
Kimia o Larutan Kaporit o Gas Khlor o Gas Ozon
Fisika o Gelombang mikro o Ultraviolet
Kemampuan dari disinfektan ini adalah sebagai berikut: 1. Menghilangkan bau 2. Mematikan alga 3. Mengoksidasi Fe (II) manjadi Fe (III) sehingga konsentrasi di air turun 4. Mengoksidasi Mn 5. Mengoksidasi H2S menjadi H2SO4 6. Mengoksidasi nitrit menjadi nitrat 7. Mengoksidasi amonia menjadi senyawa amin 8. Mengoksidasi fenol menjadi senyawa phenolat yang tidak berbahaya. Faktor yang mempengaruhi efisiensi disinfeksi adalah: 1. Waktu kontak 2. Konsentrasi disinfektan 3. Jumlah mikroorganisme 4. Temperatur air 5. pH 6. Adanya senyawa lain dalam air
69
4.6.1 Khlorinasi Senyawa khlor dapat mematikan mikroorganisme dalam air karena oksigen yang terbebaskan dari senyawa asam hypokhlorus mengoksidasi beberapa bagian yang penting dari sel-sel bakteri sehingga rusak. Teori lain menyatakan bahwa proses pembunuhan bakteri oleh senyawa khlor, selain oleh oksigen bebas juga disebabkan oleh pengaruh langsung senyawa khlor yang bereaksi dengan protoplasma. Beberapa percobaan menyebutkan bahwa kematian mikroorganisme disebabkan reaksi kimia antara asam hipoclorous dengan enzim pada sel bakteri sehingga metabolismenya terganggu. Senyawa khlor yang digunakan sebagai disinfektan adalah hipoklorit dari kalsium dan natrium, khloroamin, khlor dioksida, dan senyawa kompleks dari khlor. Senyawa khlor dalam air akan bereaksi dengan senyawa organik maupun anorganik tertentu membentuk senyawa baru. Beberapa bagian khlor akan tersisa yang disebut sisa khlor. Pada mulanya sisa khlor merupakan khlor terikat, selanjutnya jika dosis khlor ditambah maka sisa khlor terikat akan semakin besar, dan pada suatu ketika tercapai kondisi break point chlorination. Penambahan dosis khlor setelah titik ini akan memberi sisa khlor yang sebanding dengan penambahan khlor. Keuntungan dicapainya break point yaitu:
Senyawa amonium teroksidir sempurna
Mematikan bakteri patogen secara sempurna
Mencegah pertumbuhan lumut
Proses khlorinasi dapat terjadi sebagai berikut: 1. Penambahan khlor pada air yang mengandung senyawa nitrogen akan membentuk senyawa khloramine yang disebut khlor terikat. Pembentukan khlor terikat ini bergantung pada pH. Pada pH normal khlor terikat (NCl3) tidak akan terbentuk kecuali jika break point telah terlampaui. NH3 + HOCl → NH2Cl + H2O NH2Cl + HOCl → NHCl2 + H2O NHCl2 + HOCl → NCl2 + H2O 2. Pada air yang bebas senyawa organik akan terbentuk khlor bebas yaitu asam hipokhlorous (HOCl) dan ion hipokhlorit (OCl-), yang berfungsi dalam proses disinfeksi. 70
Cl2 + H2O → HOCl + H+ + ClHOCl → H+ + OClKondisi optimum untuk proses disinfeksi adalah jika hanya terdapat HOCl. Adanya OCl- akan kurang menguntungkan. Kondisi optimum ini dapat tercapai pada pH < 5.
4.7 Pengolahan Besi dan Mangan Keberadaan besi dalam air bersamaan dengan mineral mangan tetapi besi didapatkan lebih sering daripada mangan. Berdasarkan survei air tanah yang pernah dilakukan di beberapa Kota Illinois (USA) tahun 1963 pernah didapatkan bahwa konsentrasi besi kira-kira 10 kali konsentrasi mangan. Pada dasarnya besi dalam air dalam bentuk Ferro (Fe2+) atau Ferri (Fe3+). Hal ini tergantung dari kondisi pH dan oksigen terlarut dalam air. Pada pH netral dan adanya oksigen terlarut yang cukup , maka ion ferro yang terlarut dapat teroksidasi menjadi ion ferri dan selanjutnya membentuk endapan. Ferri hidroksida yang sukar larut, berupa presipitat yang biasanya berwarna kuning kecoklatan, oleh karena pada kondisi asam dan aerobik bentuk ferrolah yang larut dalam air. Pada pH di atas 12 ferri hidroksida dapat terlarut kembali membentuk Fe(OH)4. Prinsip penurunan kadar besi adalah proses oksidasi dan pengendapan. Adapun prosesnya adalah besi dalam bentuk ferro dioksidasi terlebih dahulu menjadi bentuk ferri, kemudian pengendapan dengan membentuk endapan ferri hidroksida. Proses ini mudah terjadi pada kondisi pH 7 dimana kelarutannya minimum. Persamaan reaksi: Fe(HCO)3 + O2 → Fe(OH)2 +2CO2 + O2 Fe(OH)2 + 2H2O + O2 → Fe(OH)3 + H2O + O2 + H+ Jadi penurunan kadar besi dalam air pada hakikatnya mengubah dari bentuk yang larut dalam air menjadi yang tidak larut dalam air. Oleh karena itu hasil dari reaksi oksidasi ini selalu menghasilkan endapan. Mengingat hal ini, dalam penerapannya biasanya disertai penyaringan. Proses penyaringan ini dilakukan apabila kadar besi lebih rendah dari 5 mg/l.
71
Penyebab utama tingginya kadar besi dalam air: 1. Rendahnya pH air pH air normal yang tidak menyebabkan masalah adalah 7. Air yang mempunyai pH < 7 dapat melarutkan logam termasuk besi. 2. Temperatur air Kenaikan temperatur air akan meningkatkan derajat korosif. Di Indonesia temperatur air minum masih diperbolehkan adalah sama dengan temperatur
udara
seperti
disebut
dalam
Kepmenkes
RI
No.907/Menkes/SK/VII/2002. 3. Adanya gas-gas terlarut dalam air Yang dimaksud gas-gas tersebut adalah O2, CO2, dan H2S. Beberapa gas terlarut tersebut akan bersifat korosif. 4. Bakteri Secara biologis tingginya kadar besi terlarut dipengaruhi oleh bakteri besi yaitu bakteri yang dalam hidupnya membutuhkan makanan dengan mengoksidasi besi sehingga larut. Jenis ini adalah bakteri Crenotrik, Leptotrik,
Callitonella,
Siderocapsa,
dan
lain-lain.
Bakteri
ini
mempertahankan hidupnya membutuhkan oksigen dan besi. Proses penghilangan besi dengan cara oksidasi dapat dilakukan dengan tiga macam cara dan menggunakan berbagai bahan oksidan (oksidator): 1. Oksidasi dengan udara (Aerasi) Sejauh ini metode yang telah umum digunakan untuk proses penyisihan besi ataupun mangan adalah proses aerasi yang dilanjutkan dengan proses sedimentasi dan filtrasi. Aerasi merupakan proses pengolahan air dengan cara mengontakkan dengan udara. Aerasi secara luas telah digunakan untuk pengolahan air yang mempunyai kandungan besi dan mangan terlarut tinggi (mengurangi kandungan zat padat terlarut). Zat-zat tersebut memberikan rasa pahit pada air, menghitamkan pemasakan beras dan memberikan noda hitam kecoklatan pada pakaian yang dicuci. Lebih jauh, aerasi adalah pencampuran udara dengan air sehingga terjadi perubahan konsentrasi zat-zat yang mudah menguap di dalam air. Aerasi dilakukan
72
untuk menambah jumlah oksigen terlarut dalam air. Dengan tersedianya oksigen terlarut dapat meningkatkan karakteristik fisik dan kimia air, keadaan ini dapat dilihat dari bertambahnya oksigen, di lain pihak berkurangnya konsentrasi zat-zat yang mudah menguap. Proses aerasi bertujuan untuk: a. Perpindahan gas (Gas transfer), proses ini terjadi pada: i. Menghilangkan CO2 yang terlarut dalam air, dengan cara melepaskan CO2 ke udara, dengan proses ini sekaligus menaikkan pH air ii. Menghilangkan gas amoniak (NH3); H2S dengan kondisi tertentu, b. Proses oksidasi, contoh pada proses penghilangan besi dan mangan terlarut menjadi besi endapan (tersuspensi halus) dengan jalan oksidasi dengan oksigen. Reaksi pada proses oksidasi besi: 4Fe2+ (aq) + O2 (aq) + 10H2O (l) → 4Fe(OH)3 (s) + 8H+ (aq) Fe(OH)3 merupakan garam yang sukar larut dan cenderung mengendap. Sesuai dengan reaksi tersebut, maka untuk mengoksidasi setiap 1 mg/l zat besi dibutuhkan 0,14 mg/l oksigen dan setiap 1 mg/l mangan dibutuhkan 0,29 mg/l. Pada pH rendah, kecepatan reaksi oksidasi besi dengan oksigen (udara) relatif lambat, sehingga pada praktiknya untuk mempercepat reaksi dilakukan dengan cara menaikkan pH air yang akan diolah. 2. Oksidasi dengan bahan oksidator khlorin Khlorin (Cl2) dan ion hipokhlorit (OCl-) adalah merupakan bahan oksidator yang kuat sehingga meskipun dalam kondisi pH rendah dan oksigen terlarut sedikit, dapat mengoksidasi dengan cepat. Reaksi oksidasi antara besi dan mangan dengan khlorin adalah sebagai berikut: 2Fe2+ + Cl2 + 6H2O → 2Fe(OH)3 + 2Cl- + 6H+ Mn2+ + Cl2 + H2O → MnO2 + 2Cl- + 4H+ Berdasarkan reaksi tersebut di atas, maka untuk mengoksidasi setiap 1 mg/l zat besi dibutuhkan 0,64 mg/l khlorin dan untuk 1 mg/l mangan
73
dibutuhkan 1,29 mg/l khlorin. Tetapi pada praktiknya pemakaian khlorin ini lebih besar dari kebutuhan teoritis karena adanya reaksi-reaksi samping yang mengikutinya. Di samping itu bila kandungan besi dalam air baku yang jumlahnya besar, maka jumlah khlorin yang diperlukan dan endapan yang terjadi juga besar sehingga beban flokulator, bak pengendap, filter menjadi besar pula. Penggunaan khlorin sebagai oksidator biasanya untuk mengolah air dengan kandungan besi dan mangan kurang dari 2 mg/l. Pembentukan Fe3+ dan Mn 4+ tergantung pada pH. Pada pH 7,5 khlor berbentuk 50% asam hipokhlorit (HOCl) dan 50% ion hipokhlorit (OCl-). 3. Oksidasi dengan kalium permanganat Untuk menghilangkan besi dan mangan dalam air, dapat pula dilakukan dengan mengoksidasinya dengan memakai oksidator kalium permanganat dengan persamaan reaksi sebagai berikut: 3Fe2+ + KMnO4 + 7H2O 3Fe(OH)3 + MnO2 + K+ +5H+ 3Mn2+ + 2KMnO4 + 2H2O 5MnO2 + 2K+ + 4H+
4.8
Proses Penghilangan Amonia Selain dapat membasmi bakteri dan mikroorganisme seperti amuba,
ganggang, dan lain-lain, khlor dapat mengoksidasi ion-ion logam seperti Fe2+, Mn2+, menjadi Fe3+, Mn4+ dan memecah molekul organis seperti warna. Selama proses tersebut, khlor sendiri direduksi sampai menjadi khlorida (Cl-) yang tidak mempunyai daya disinfeksi. Di samping ini khlor juga bereaksi dengan amonia. Kalau khlor sebagai gas Cl2 dilarutkan dalam air, maka akan terjadi reaksi hidrolisa yang cepat seperti berikut ini: ↔
Cl2 + H2O
H+
+
Cl-
+
HOCl
(1)
(khlorida) (asam hipokhlorit) Asam hipokhlorit pecah sesuai reaksi berikut: OCl-
HOCl ↔
+
H+
(2)
(hipokhlorit)
74
Ion khlorida (Cl-) tidak aktif, sedangkan Cl2, HOCl, dan OCl- dianggap sebagai bahan yang aktif. HOCl yang tidak terpecah adalah zat pembasmi yang paling efisien bagi bakteri
Gambar 4.2 Keseinbangan antara Cl2, HOCl, dan OCl- dan hubungannya dengan nilai pH pada T = 25oC Dari gambar jelas terlihat bahwa proses disinfeksi lebih efisien pada suasana netral atau bersifat asam lemah. Namun tetap dianggap bahwa “khlor tersedia bebas” adalah: [Cl2] + [OCl-] + [HOCl] Zat amonia dalam air akan bereaksi dengan khlor atau asam hipokhlorit dan membentuk monokhloramin, dikhloramin, atau trikhloramin tergantung dari pH, perbandingan konsentrasi pereaksi, dan suhu. Reaksi-reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: NH3 + HOCl ↔
NH2Cl
+
H2O
pH≥7
(3)
+
H2O
4≤pH≤6
(4)
(monokhloramin) NH2Cl + HOCl ↔
NHCl2 (dikhloramin)
NHCl2 + HOCl ↔
NCl3 +
H2O
pH<3
(5)
(trikhloramin) Bila pH larutan ≥ 7, terbentuk monokhloramin (reaksi 3), dan sekaligus sedikit dikhloramin. Antara 4 ≤ pH ≤ 6 dikhloramin terutama terbentuk (reaksi 4). Khloramin juga terbentuk sebagai hasil reaksi antara khlor dan salah satu jenis amin organis seperti protein.
75
Bila cukup banyak NH3 dalam larutan maka NH2Cl cukup stabil. Namun bila kelebihan khlor, NH2Cl pecah hingga terbentuk gas N2 dengan reaksi sebagai berikut: 2NH2Cl + HOCl ↔ N2 + 3HCl + H2O
(6)
Reaksi 3 berlangsung cepat sedangkan reaksi-reaksi lainnya agak lambat sehingga faktor waktu kontak menjadi penting. Semua khlor yang tersedia di dalam air sebagai khloramin disebut “khlor tersedia terikat”, sedang [Cl2] + [OCl] + [HOCl] disebut “khlor tersedia bebas”. Khlor tersedia bebas + khlor tersedia terikat = jumlah khlor tersedia = khlor aktif dalam larutan. Klo tersedia terikat juga mempunyai daya disinfeksi, walaupun tidak seefisien khlor tersedia bebas. Grafik khlorinasi (khlor aktif vs khlor yang telah dibubuhkan) berbentuk khusus. Pada gambar, Y merupakan kadar khlor aktif yang dianjurkan oleh sumber literatur untuk membasmi bakteri. Garis tebal pada absis merupakan jumlah khlor yang perlu dibubuhkan, namun demikian garis tebal sebelah kiri (daerah B dan C) lebih baik dihindarkan karena adanya khloramin dapat menyebabkan rasa farmase pada air dan kurang efisien sebagai disinfektan. Daerah A merupakan daerah konsumsi khlor untuk beberapa zat pereduksi, sedang pada daerah B dan C terutama monokhloramin terbentuk yang merupakan sebagian khlor aktif. Di daerah C dengan konsumsi khlor, monokhloramin yang ada diubah menjadi gas N2 (reaksi 6). Kebutuhan khlor adalah jumlah khlor yang perlu dibubuhkan untuk mencapai breakpoint (D). Di daerah E yang sudah melewati breakpoint (titik retak D) hanya khlor tersedia bebas terbentuk karena pada titik tersebut semua zat amonia sudah diubah menjadi gas N2 yang keluar dari larutan sebagai gelembung; namun sedikit khloramin tetap tertinggal.
Gambar 4.3 Grafik Khlorinasi dengan breakpoint (Khlorinasi titik retak)
76
Kadar khlor tersedia bebas naik secara seimbang dengan banyaknya khlor yang dibubuhkan. Kadar khlor aktif (residu) yang dibubuhkan sesudah titik D tergantung dari mutu bakteriologis air bersih yang diinginkan (sesudah khlorinasi), jarak yang harus ditempuh air bersih sampai ke konsumen (karena khlor aktif sedikit demi sedikit direduksi), pH dan sebagainya.
4.9 Reservoir Reservoir distribusi merupakan bangunan penampungan air minum sebelum dilakukan pendistribusian ke pelanggan/masyarakat, yang dapat ditempatkan di atas permukaan tanah maupun di bawah permukaan tanah. Bangunan reservoir umumnya diletakkan di dekat jaringan distribusi pada ketinggian yang cukup untuk mengalirkan air secara baik dan merata ke seluruh daerah konsumen.
77
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN PROSES PENGOLAHAN AIR MINUM TAHUN 2009
5.1 Air Baku Air baku Instalasi Pengolahan Air Buaran berasal dari Kanal Tarum Barat. Air baku tersebut mengandung kontaminan yang jumlahnya rata-rata bertambah setiap tahunnya. Air yang digunakan oleh Instalasi Pengolahan Air Minum memiliki syarat-syarat yang diatur dalam SK. Gub. DKI 582/1995. Dalam SK Gub DKI 582/1995 tersebut ditetapkan batasan-batasan maksimal kontaminan yang boleh ada dalam air baku. Selain itu, Instalasi Buaran juga memiliki standar Perjanjian Kerja Sama (PKS) mengenai batasan-batasan maksimal kontaminan air baku yang akan diolah. Secara berkala, Instalasi Buaran melakukan pemeriksaan terhadap parameter-parameter air baku. Pemeriksaan dilakukan setiap hari, setiap 6 jam, setiap sebulan, dan setiap 3 bulan tergantung dari parameter yang diperiksa. Dari seluruh sampel air baku yang diperiksa, ada sejumlah sampel yang gagal yaitu sampel yang mengandung kontaminan yang jumlahnya melebihi standar PKS. Kualitas air baku mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Jumlah sampel dan kontaminan yang tidak memenuhi standar air baku meningkat dari tahun ke tahun. Nilai maksimum dari kontaminan meningkat dari tahun ke tahun. Durasi dari puncak kontaminan meningkat dari tahun ke tahun. Penurunan kualitas air baku disebabkan adanya pencemaran di badan air yaitu Kanal Tarum Barat. Penduduk di sekitar Kanal Tarum Barat semakin bertambah dari tahun ke tahun sehingga menyebabkan semakin banyaknya limbah yang dibuang ke badan air. Selain limbah domestik dari rumah penduduk, limbah industri dari pabrik – pabrik yang berada di Cikarang dan sekitarnya juga dibuang ke Kanal Tarum Barat. Limbah yang dibuang ke Kanal tarum Barat umumnya tidak diolah terlebih dahulu sehingga melebihi baku mutu efluen dan baku mutu aliran. Hal ini mengakibatkan Kanal Tarum Barat sudah tidak mampu lagi melakukan self purification sehingga kualitas air baku dari Kanal Tarum Barat menurun. Setiap tahun, sekitar 25% sampel tidak memenuhi standar kualitas air baku SK Gub. DKI
78
582/1995. Pada tahun 2009, dari 1465 sampel air baku yang diperiksa, 380 sampel tidak memenuhi standar. Pada tahun 2009, peringkat atas kontaminan dalam air baku adalah Total coliform, diikuti dengan Eschericia coli, organik, mangan, kekeruhan, COD, BOD, amonia, suspended solid, daya hantar listrik, dan Hg. Eschericia coli pertama kali dicek dan dilaporkan oleh Aetra pada tahun 2009 tetapi mungkin ada di tahun-tahun sebelumnya. Eschericia coli merupakan indikasi bahwa sumber air baku terkontaminasi dengan bakteri feces. Dari berbagai kontaminan dalam air baku di atas, terdapat tiga peringkat atas kontaminan yang menpengaruhi operasional Instalasi Pengolahan Air Aetra. Ketiga kontaminan tersebut adalah kekeruhan, organik, dan amonia.
Gambar 5.1 Diagram Kontaminan dalam Air Baku Tahun 2009 Kekeruhan air baku maksimum cenderung meningkat dari tahun ke tahun. SK Gub 582/1995 menyatakan nilai maksimum dari kekeruhan air baku untuk instalasi pengolahan air minum harus 100 NTU, sedangkan standar operasional untuk IPA Buaran 1750 NTU. Kekeruhan tinggi dalam air baku mempengaruhi biaya bahan kimia dan kapasitas air yang diolah.
Gambar 5.2 Grafik Kekeruhan Air Baku Tahun 2009 79
Pada tahun 2009, kekeruhan rata-rata air baku adalah 278 NTU dan kekeruhan maksimum air baku mencapai 15640 NTU. Berdasarkan data sampling air baku di Instalasi Buaran pada tahun 2009, 97% sampel memenuhi standar PKS untuk parameter kekeruhan. Pada Januari sampai dengan Mei 2009, kekeruhan rata-rata air baku cenderung meningkat. Pada Juni sampai dengan Agustus 2009, kekeruhan rata-rata air baku cenderung menurun. Pada September sampai dengan Desember 2009, kekeruhan rata-rata air baku kembali meningkat. Kekeruhan air baku bisa dipengaruhi oleh musim. Pada musim penghujan, kekeruhan air baku cenderung meningkat. Hal ini disebabkan oleh zat padat yang terbawa oleh aliran air hujan kemudian masuk ke saluran air baku. Kekeruhan air baku yang tinggi di IPA Buaran umumnya disebabkan oleh hujan yang terjadi di hulu. Kekeruhan air baku yang tinggi mempengaruhi kinerja unit-unit pengolahan yang ada di IPA Buaran. Pada awalnya, IPA Buaran didesain untuk kekeruhan air baku sampai dengan 1000 NTU. Akan tetapi, dewasa ini kekeruhan air baku bisa mencapai > 10000 NTU. Selain itu, Instalasi Buaran adalah tempat penyadapan air pertama sepanjang Kanal Tarum Barat dan air langsung masuk ke dalam proses pengolahan air secara gravitasi tanpa adanya bak prasedimentasi. Hal ini menambah seriusnya masalah kekeruhan air baku yang ada. Kualitas air baku tersebut di luar kendali Aetra, karenanya Aetra harus membuat tindakan atau prosedur standar untuk menjaga proses tetap berjalan tanpa gangguan bahkan selama tingkat kekeruhan yang tinggi. Hal yang dilakukan jika kekeruhan air baku sangat tinggi adalah mengurangi debit air baku yang masuk. Dengan berkurangnya debit air baku maka berkurang pula debit air bersih yang didistribusikan ke konsumen. Selain mengurangi debit, hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan pemilihan bahan kimia koagulan yang sesuai untuk kekeruhan tinggi seperti Sudflock dan Magnaflock. Kekeruhan air baku yang tinggi menyebabkan lumpur yang dihasilkan dari pulsator menjadi banyak. Hal ini menyebabkan seringnya frekuensi pembuangan lumpur melalui sludge extraction dan sludge draining menuju waste basin dan sludge drying bed. Sedangkan, kapasitas waste basin dan sludge drying bed yang
80
dimiliki Aetra terbatas. Oleh karena itu, sebagian lumpur langsung dibuang ke Kali Jati Kramat. Hal ini menyebabkan pendangkalan di Kali Jati Kramat. Kekeruhan air baku yang tinggi ini bisa diatasi dengan bak prasedimentasi. Instalasi Buaran tidak memiliki bak prasedimentasi dikarenakan pada saat awal mendesain, kekeruhan air baku tidak terlalu tinggi. Akan tetapi, sekarang ini kekeruhan air baku tinggi karena dipengaruhi oleh Kali Bekasi, Kali Cikarang, dan Kali Cibeet yang bermuara ke Kanal Tarum Barat. Dengan adanya bak prasedimentasi di awal proses, partikel diskrit yaitu partikel yang mudah mengendap secara gravitasi seperti pasir dapat mengendap sehingga dapat mengurangi kekeruhan dan mengurangi beban pengolahan di tahap selanjutnya. Unit prasedimentasi memang sangat dianjurkan untuk kekeruhan air baku > 10000 NTU. Efisiensi pemisahan kekeruhan dapat mencapai 40-60%. Selain kekeruhan, kontaminan lain yang mempengaruhi operasional Instalasi adalah amonia. Amonia maksimum dan amonia rata-rata cenderung meningkat dari tahun ke tahun. SK Gub. DKI 582/1995 menyatakan nilai maksimum amonia dalam air baku untuk instalasi pengolahan air minum harus 1,0 mg/l, sedangkan standar operasional untuk IPA Buaran 2,0 mg/l. Pada tahun 2009, rata-rata amonia di dalam air baku sebesar 0,43 mg/l. Pada bulan Januari sampai dengan Mei, jumlah amonia cenderung menurun. Pada bulan Juli sampai dengan September jumlah amonia cenderung meningkat. Pada bulan Oktober sampai dengan Desember, jumlah amonia cenderung menurun. Jumlah amonia maksimum pada tahun 2009 terjadi di bulan September yaitu mencapai 5,13 mg/l. Berdasarkan data sampling air baku di Instalasi Buaran pada tahun 2009, 96% sampel memenuhi standar PKS untuk parameter amonia.
Gambar 5.3 Grafik Amonia Air Baku Tahun 2009 81
Amonia di dalam air baku tinggi pada musim kemarau. Amonia yang melebihi ambang batas menyebabkan air baku yang dipasok dari Kanal Tarum Barat berwarna hitam dan baunya sangat menyengat. Kondisi kualitas air baku yang menurun tersebut akibat menurunnya volume air baku dari Curug. Akibatnya, aliran air baku dari Kali Bekasi yang berpotongan dengan Kanal Tarum Barat meningkat tajam. Pencemaran air dari hulu tersebut ditambah dengan kondisi Tarum Kanal Barat yang sampai saat ini masih banyak tercemar. Hal ini menyebabkan parameter amonia sangat tinggi. Akibatnya, air pun menjadi berwarna hitam dan mengeluarkan bau yang menyengat. Selain diakibatkan oleh berlangsungnya musim kemarau, keadaan air baku dengan amonia yang sangat tinggi juga bisa disebabkan karena adanya perbaikan pompa air baku oleh PJT II. Perbaikan pompa ini menyebabkan penurunan volume air baku dari Curug. Kualitas air baku memang sangat dipengaruhi oleh aktivitas yang berlangsung sepanjang aliran sungai. Mulai dari Waduk Jatiluhur hingga mengalir sampai ke Jakarta melalui Tarum Kanal Barat (Kalimalang) yang juga dilintasi oleh Kali Bekasi. Sepanjang saluran tersebut, pencemaran masih belum mampu dinetralisasi. Jumlah amonia air baku mempengaruhi jumlah pemakaian gas khlor dan mempengaruhi proses oksidasi dan disinfeksi. Semakin banyak amonia yang ada di dalam air baku maka semakin banyak gas khlor yang digunakan sedangkan kapasitas khlorinator yang ada terbatas. Amonia di dalam air akan teroksidasi membentuk senyawa nitrit. Adanya senyawa nitrit dalam air minum dapat mengganggu kesehatan. Kontaminan yang juga sangat mempengaruhi operasional Instalasi Buaran adalah organik. Organik maksimum dan organik rata-rata cenderung meningkat dari tahun ke tahun. SK Gub. DKI 582/1995 menyatakan nilai maksimum organik dalam air baku untuk instalasi pengolahan air minum harus 15 mg/l, sama dengan standar operasional untuk IPA Buaran. Organik rata-rata pada tahun 2009 adalah 12,43 mg/l. Organik maksimum mencapai 300,82 mg/l yang terjadi pada bulan Oktober. Berdasarkan data sampling air baku di Instalasi Buaran pada tahun 2009, 81% sampel memenuhi standar PKS untuk parameter organik.
82
Jumlah organik air baku juga mempengaruhi jumlah pemakaian gas khlor. Semakin banyak organik yang ada di dalam air baku maka semakin banyak gas khlor yang digunakan sedangkan kapasitas khlorinator yang ada terbatas. Jika kandungan organik tinggi, dilakukan pembubuhan karbon aktif di intake. Organik akan hilang dengan proses adsorbsi. Pada saat terjadi pembubuhan karbon aktif di intake, pembubuhan pre khlor tidak dilakukan di intake tetapi dilakukan di mixing basin. Hal ini dilakukan karena apabila karbon aktif dibubuhkan di tempat yang sama dengan pre khlor maka proses penghilangan organik menjadi tidak efektif. Karbon aktif dan khlor akan bereaksi.
Gambar 5.4 Grafik Organik Air Baku Tahun 2009
Gambar 5.5 Grafik pH Air baku Tahun 2009 pH air baku penting untuk diketahui sebagai dasar penentuan dosis pembubuhan kapur. SK Gub. DKI 582/1995 menyatakan batasan pH air baku untuk instalasi pengolahan air minum harus 6,5-8,5, sama dengan standar operasional untuk IPA Buaran. pH rata-rata air baku pada tahun 2009 adalah 6,9.
83
pH maksimum air baku mencapai 7,9 dan pH minimum air baku mencapai 6,0. pH akan mempengaruhi proses koagulasi. Berdasarkan data sampling air baku di Instalasi Buaran pada tahun 2009, 100% sampel memenuhi standar PKS untuk parameter pH. Koagulan hanya akan bekerja pada batasan pH yang sesuai. Untuk koagulan alum, pH yang asam menyebabkan flok yang terbentuk ringan. Jika flok terlalu ringan maka flok tersebut akan naik ke atas dan dapat terbawa ke aliran air menuju filter. Sedangkan, pH yang terlalu basa menyebabkan tidak terbentuknya flok. Oleh karena itu, pembubuhan prelime di intake perlu dilakukan agar pH air mencapai pH optimum untuk proses koagulasi. pH juga mempengaruhi proses penghilangan besi dan mangan. Besi dan mangan yang terlarut di dalam air secara efektif akan teroksidasi menjadi besi dan mangan yang tidak terlarut pada pH netral yaitu pH 7. Selain itu, nilai pH juga mempengaruhi keseimbangan Cl2, HOCl, dan OCl- di dalam air. Cl2, HOCl, dan OCl- dianggap sebagai bahan yang aktif. Pada grafik keseimbangan antara Cl2, HOCl, dan OCl- dan hubungannya dengan nilai pH pada T=25oC, terlihat bahwa proses desinfeksi lebih efisien pada suasana netral atau bersifat asam lemah. SK Gub. DKI 582/1995 menyatakan nilai maksimum besi dalam air baku untuk instalasi pengolahan air minum harus 2,0 mg/l, sedangkan standar operasional untuk IPA Buaran 10,0 mg/l. Pada tahun 2009, besi total rata-rata air baku adalah 2,64 mg/l. Besi total maksimum terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar 44,52 mg/l. Berdasarkan data sampling air baku di Instalasi Buaran pada tahun 2009, 100% sampel memenuhi standar PKS untuk parameter besi.
Gambar 5.6 Grafik Besi Air Baku Tahun 2009 84
Besi di dalam air ada yang terlarut dan tersuspensi. Besi merupakan unsur yang banyak terdapat di dalam tanah, tetapi hanya sedikit yang terlarut dalam air. Bentuk besi di dalam air dalam bentuk valensi +2 dan +3, tergantung kepada pH dan potensial redoks di dalam air. Dalam lingkungan reduktor (potensial elektrode negatif), besi dalam air dalam bentuk Fe+2 yang larut. Jika potensial redoks di dalam air naik, maka Fe+2 akan teroksidasi membentuk Fe+3, yang akan membentuk Fe(OH)3 yang kelarutannya kecil, akibatnya di dalam air akan tersuspensi dalam bentuk kekeruhan air, yang berwarna kuning kecoklatan. Dalam bentuk ikatan besi dapat berupa Fe2O3, Fe(OH)2, Fe(OH)3 atau FeSO4 tergantung dari unsur lain yang mengikatnya. Dinyatakan pula bahwa besi dalam air adalah bersumber dari dalam tanah sendiri di samping dapat pula berasal dari sumber lain, diantaranya dari larutnya pipa besi, reservoir air dari besi atau endapan – endapan buangan industri. Kelarutan besi dalam air juga dipengaruhi oleh pH. pH rata-rata air baku adalah 6,9. pH air rendah akan berakibat terjadinya proses korosif sehingga menyebabkan larutnya besi dan logam lainnya dalam air, pH yang rendah kurang dari 7 dapat melarutkan logam. Dalam keadaan pH rendah, besi yang ada dalam air berbentuk ferro dan ferri, dimana bentuk ferri akan mengendap dan tidak larut dalam air serta dapat dilihat dengan mata sehingga mengakibatkan air menjadi berwarna,berbau dan berasa. Kandungan besi yang diperbolehkan dalam air adalah 0,1 – 1,0 mg/l. Kandungan besi yang melebihi 0,5 mg/l mengakibatkan warna air menjadi kemerah-merahan, memberi rasa tidak enak pada minuman, membentuk endapan pada pipa logam dan bahan cucian. Kandungan besi yang banyak di dalam air baku akan mengakibatkan banyaknya oksidator yang digunakan untuk mengubah besi yang terlarut dalam air menjadi besi yang tidak terlarut sehingga besi tersebut bisa disisihkan dengan pengendapan pada unit pulsator dan penyaringan pada rapid sand filter. Oksidator yang digunakan adalah koagulan dan gas khlorin. Selain itu, oksidasi besi juga terjadi pada terjunan hidrolis karena adanya proses aerasi. SK Gub. DKI 582/1995 menyatakan nilai maksimum mangan dalam air baku untuk instalasi pengolahan air minum harus 0,5 mg/l, sama dengan standar operasional untuk IPA Buaran. Pada tahun 2009, mangan total rata-rata air baku
85
adalah 0,37 mg/l. Mangan total maksimum terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 6,08 mg/l. Berdasarkan data sampling air baku di Instalasi Buaran pada tahun 2009, 85% sampel memenuhi standar PKS untuk parameter mangan. Keberadaan unsur mangan biasanya bersama-sama dengan unsur besi. Mangan di dalam air ada yang terlarut yaitu Mn2+ dan yang tidak terlarut yaitu Mn4+. Dalam kondisi aerob mangan dalam perairan terdapat dalam bentuk MnO2 dan pada dasar perairan tereduksi menjadi Mn2+ atau dalam air yang kekurangan oksigen (DO rendah). Oleh karena itu pemakaian air berasal dari dasar suatu sumber air, sering ditemukan mangan dalam konsentrasi tinggi. Pada pH agak tinggi dan kondisi aerob terbentuk mangan yang tidak larut seperti, MnO2, Mn3O4, atau MnCO3 meskipun oksidasi dari Mn2+ itu berjalan relative lambat. Secara visual dalam air yang banyak mengandung mangan berwarna kehitam – hitaman. Sedangkan aktifitas mangan dalam air sama dengan besi.
Gambar 5.7 Grafik Mangan Air Baku Tahun 2009 Sama halnya dengan besi, kandungan mangan yang banyak di dalam air baku akan mengakibatkan banyaknya oksidator yang digunakan untuk mengubah mangan yang terlarut dalam air menjadi mangan yang tidak terlarut sehingga mangan tersebut bisa disisihkan dengan pengendapan pada unit pulsator dan penyaringan pada rapid sand filter. Oksidator yang digunakan adalah koagulan dan gas khlorin. Selain itu, oksidasi mangan juga terjadi pada terjunan hidrolis karena adanya proses aerasi.
86
5.2 Air Pulsator Setelah melewati pulsator, sampel air pulsator sebagian dialirkan ke laboratorium proses untuk diperiksa kekeruhan, pH, dan sisa khlor setiap jamnya. Pemeriksaan dilakukan pada air pulsator Buaran I dan Buaran II.
Gambar 5.8 Grafik Kekeruhan Air Pulsator Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.9 Grafik Kekeruhan Air Pulsator Buaran II Tahun 2009 Kekeruhan maksimum air pulsator berdasarkan trigger IPA Buaran adalah 5 NTU. Kekeruhan rata-rata air pulsator Buaran I pada tahun 2009 adalah 4,23 NTU sedangkan kekeruhan rata-rata air pulsator Buaran II pada tahun 2009 adalah 3,32 NTU. Kekeruhan maksimum air pulsator Buaran I mencapai 44,60 NTU sedangkan kekeruhan maksimum air pulsator Buaran II mencapai 48 NTU. Berdasarkan data sampling air pulsator yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 77% sampel memenuhi standar kekeruhan yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 89% sampel memenuhi standar kekeruhan yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Dalam operasional di lapangan selama ini pada saat-saat kekeruhan air baku sangat tinggi, pihak Instalasi sendiri telah mengantisipasinya dengan
87
mengatur debit masuk air ke unit pulsator. Selain mengatur debit juga dengan variasi dosis koagulan untuk derajat kekeruhan yang tinggi, kemudian waktu pengurasan dari sludge extractor, waktu pengurasan bottom flush, dan waktu penggelontoran. Kekeruhan air pulsator dipengaruhi oleh dosis koagulan yang dibubuhkan. Dosis koagulan yang dipilih pada saat jar test adalah dosis yang mampu menurunkan kekeruhan air sampai kurang dari 5 NTU. Sludge blanket yang terbentuk pada pulsator diusahakan stabil dan mampu menahan flok yang terbentuk agar tidak lolos dan lepas ke saluran pengumpul/gutter. Pembentukan lapisan sludge blanket ini dalam prakteknya sangat dipengaruhi oleh jenis koagulan yang dipakai dan kekeruhan air baku yang diolah. Semakin keruh air baku yang diolah maka pembentukan sludge blanket menjadi semakin cepat. Lapisan sludge blanket yang stabil adalah yang mampu menahan flok yang terbentuk untuk saling berikatan dan mampu berfungsi sebagai penyaring air yang baik. Selama proses pembentukan sludge blanket, hal yang dapat diamati antara lain adalah pengaruh berat lumpur atau flok yang nantinya akan membentuk lapisan blanket ini. Seperti telah diuraikan sebelumnya kekeruhan air baku memegang peranan dalam pembentukan blanket sehubungan dengan besarnya volume flok yang dapat terbentuk. Ada hal lain yang juga penting yaitu berat jenis lumpur yang terbentuk. Berat jenis jangan sampai terlalu berat karena lumpur akan mengendap di bagian bawah dan juga jangan terlalu ringan karena akan sulit untuk saling berikatan ; kedua hal tersebut akan menyebabkan timbulnya blanket yang tidak stabil dan tidak homogen, di samping waktu pembentukan menjadi lama. Untuk itulah flok harus cukup ringan agar mudah naik ke atas dan pada ketinggian tertentu dapat membentuk ikatan dengan flok-flok lainnya. Pengkondisian asam pada pembentukan flok akan membuat berat jenis lumpur menjadi lebih ringan. Hal ini dapat diamati pada saat pembubuhan koagulan, idealnya akan terjadi penurunan pH yang cukup besar pada bak mixing sampai dengan 1,0 derajat. Untuk itu, pengkondisian asam dapat diatur dengan pengecekan penurunan pH pada tahap ini. Yang harus diperhatikan adalah semakin asam air pada stage ini akan menyebabkan lumpur semakin ringan,
88
apabila terlalu ringan akan menyebabkan flok cenderung sulit untuk berikatan, dan demikian pula sebaliknya apabila kondisi kurang asam. Hal lain yang berpengaruh adalah kecepatan ke atas proses yang dipengaruhi oleh debit masuk dan ketinggian pulsasi. Apabila kecepatan ke atas terlalu besar, maka flok cenderung terlalu cepat naik dan waktu kontak menjadi singkat, sedangkan apabila terlalu lambat akan menyebabkan flok menjadi berat dan cenderung mengendap di dasar pulsator. Jika sludge blanket yang ada di dalam pulsator terlalu tinggi maka lumpur yang dihasilkan di pulsator bisa terbawa ke aliran air pulsator yang menuju filter sehingga air pulsator keruh. Hal ini bisa terjadi jika kekeruhan air baku sangat tinggi. Selain itu, pengaturan pengoperasian pulsator juga mempengaruhi tingginya sludge blanket. Jika besarnya pulsasi terlalu besar maka lumpur akan naik ke atas permukaan air dan terbawa dengan air pulsator. Kekeruhan yang tinggi pada air pulsator akan menyebabkan peningkatan beban lumpur di filter dan meningkatnya frekuensi pencucian filter. Hal yang dilakukan jika kekeruhan air pulsator > 5 NTU pada kondisi air baku normal adalah memeriksa tinggi selimut lumpur, memeriksa apakah ada flok yang terbawa ke filter, melakukan jar test serta memeriksa apakah dosis koagulan sudah tepat, melakukan pemeriksaan pengoperasian pulsator. Hal yang dilakukan jika kekeruhan air pulsator > 5 NTU dan naik selama terjadi kenaikan cepat di kekeruhan air baku adalah melakukan pembuangan lumpur secara manual jika diperlukan. Sebagai koagulan, alum memiliki sifat yang menguntungkan, selain harganya relatif murah juga mempunyai kemampuan untuk membentuk flok yang amat baik. Flok yang terbentuk dengan alum ini bersifat ringan dan amat mudah untuk berikatan. Pada kekeruhan yang ringan alum sangat cocok untuk membentuk ikatan flok yang stabil, sedangkan pada operasi dengan kekeruhan tinggi alum memiliki keterbatasan akibat flok yang terbentuk terlampau ringan sehingga lebih cepat untuk naik ke atas sebelum seluruhnya berikatan dan stabil membentuk lapisan blanket seperti yang diharapkan. Berdasarkan literatur, alum memiliki jangkauan kerja yang masih bisa dianggap efisien yaitu antara kekeruhan ringan (20 NTU) sampai dengan kekeruhan 3000 NTU. Setelah melampaui 3000 NTU, dosis koagulan dan hasil kekeruhan air olahan
89
menunjukkan hasil yang jelek, yaitu terlalu berlebihnya dosis alum membuat flok menjadi sangat ringan sehingga kualitas air olahan tidak memenuhi persyaratan, di samping asamnya air olahan yang dihasilkan. Untuk kekeruhan yang tinggi digunakan kombinasi alum dan PAC sebagai koagulan. Pertimbangan pemakaian PAC sebagai kombinasi pada kekeruhan yang tinggi ialah mengingat harga PAC cenderung relatif lebih mahal dibandingkan dengan alum sehingga antara biaya operasi dan hasil menjadi kurang efisien apabila air baku masih berada pada kekeruhan yang tinggi. Pertimbangan pemakaian kombinasi koagulan pada kekeruhan tinggi adalah sebagai berikut. Pada kekeruhan air baku yang tinggi, jumlah flok yang terbentuk akan jauh lebih banyak. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kualitas air olahan apabila jumlah flok yang banyak ini tidak sempat tertahan oleh sludge blanket maka dengan tujuan untuk menghambat laju ke atas dari flok-flok ini ialah memperbesar ukuran flok tersebut dan memperbesar specific gravity lumpur dengan mengurangi kadar asam pada bak mixing tepatnya dengan mengurangi jumlah alum sebagai koagulan. Dengan memanfaatkan sifat PAC yang mampu untuk menghasilkan flok dalam ukuran yang lebih besar, serta sifatnya yang tidak menambah asam pada lumpur sehingga flok yang dihasilkan akan cenderung lebih berat. Kombinasi antara alum dan PAC sebagai koagulan berdasarkan literatur memberikan hasil yang amat baik. Besarnya harga operasi dengan pemakaian PAC dapat dikompensasikan dengan baiknya hasil air olahan yang memiliki derajat pH dalam batas yang disyaratkan. Hal ini menunjukkan bahwa biaya operasional selanjutnya akan berkurang, seperti bekerjanya filter dan pengkondisian pH. Selain didukung dengan pemakaian dosis dan jenis koagulan yang sesuai dengan kebutuhan, ada faktor lain dalam sistem paket ini yang juga memegang peranan penting. Faktor tersebut antara lain pengaturan pulsasi, waktu pengurasan lumpur, dan waktu flushing. Pulsasi yang baik akan memberikan denyutan yang dibutuhkan oleh kerja sistem proses sehingga proses berjalan dengan baik dan memberikan hasil yang memuaskan. Ketinggian pulsasi untuk jenis koagulan menunjukkan perbedaan. Pada pemakaian alum saja sebagai koagulan, untuk kekeruhan tinggi, pulsasi
90
dijaga agar berlangsung cepat yang berarti jarak jatuh menjadi berkurang.. Hal ini sesuai dengan sifat alum yang halus dan ringan. Apabila pulsasi berjalan lambat dengan tekanan ke atas sebagai hasil pulsasi menjadi besar akibatnya flok yang terbentuk karena ringannya akan terdorong ke atas dengan kecepatan naik yang besar, sedangkan besarnya jumlah flok yang terbentuk pada kekeruhan tinggi ini sebelum sempat saling berikatan di sludge blanket akan terdorong terus ke atas dan pada akhirnya mengekspansi ke saluran pengumpul dan menyebabkan turunnya kualitas air olahan. Sedangkan untuk kombinasi koagulan dan PAC untuk kekeruhan tinggi, pulsasi dijaga agar memberikan tekanan ke atas yang besar, mengingat flok yang dihasilkan lebih berat, untuk mengangkat flok agar dapat naik dan berikatan pada blanket serta agar lapisan sludge blanket ini dapat melimpah ke extractor. Faktor lain adalah waktu pengurasan lumpur. Seiring dengan terjadinya pulsasi pada sistem ini, lapisan teratas dari sludge blanket akan terdorong dan melimpah menuju extractor untuk kemudian pada saat extractor cukup penuh dilakukan pembuangan sejumlah lumpur. Dalam pembuangan ini harus diperhatikan mengenai kestabilan lapisan blanket yang terbentuk agar jangan sampai pada saat pembuangan lumpur, blanket tersebut terganggu. Yang diperhatikan di sini ialah berapa lama waktu yang diperlukan antara jarak pengurasan, jangan sampai sludge blanket yang terbentuk ikut terbawa keluar atau jangan sampai lebih banyak air yang dibuang dibandingkan lumpur. Sesuai dengan kekeruhan air baku, semakin keruh air baku maka semakin sering dilakukan pembukaan katup untuk pengurasan. Selain dipengaruhi oleh kekeruhan air baku, waktu pengurasan juga dipengaruhi oleh dosis koagulan dan kombinasinya. Dari data penelitian terlihat bahwa dengan alum pengurasan lebih sering/cepat dilakukan dibandingkan dengan penggunaan kombinasi alum dan PAC. Perbedaan ini dianalogikan dari keterangan sebelumnya yaitu hasil pembentukan flok dengan alum lebih ringan dibandingkan dengan kombinasi alum-PAC, sehingga flok yang terbentuk lebih mudah naik dan lebih cepat melimpah melalui extractor. Faktor lainnya adalah waktu flushing. Untuk membantu mengangkat flok yang mengendap di bawah serta menambah gaya dorong ke atas khususnya pada
91
penggunaan kombinasi koagulan, dilakukan flushing pada dasar pulsator dengan memasukkan air bersih. Setelah flushing sebagian flok yang tertahan di bawah akan naik dan tertahan pada blanket, kemudian melimpah ke extractor. Sedangkan untuk flok yang mengendap dan menjadi lumpur pada saat flushing akan lebih encer untuk kemudian dibuang keluar sebagai lumpur, sehingga pada pulsator tidak terjadi endapan lumpur yang berlebihan pada bagian dasarnya. Hasil olahan pulsator ini juga mempengaruhi unit proses selanjutnya seperti pada filter. Semakin jelek hasil olahan dari pulsator akan menyebabkan semakin seringnya dilakukan pencucian filter. Pada saat-saat tertentu bahkan pulsator tidak lagi memungkinkan untuk dioperasikan mengingat efisiensi antara hasil dan usaha yang dilakukan tidak memadai. pH rata-rata air pulsator Buaran I pada tahun 2009 adalah 6,7 sedangkan pH rata-rata air pulsator Buaran II pada tahun 2009 adalah 6,6. pH maksimum air pulsator Buaran I mencapai 7,5 sedangkan pH minimum air pulsator Buaran I mencapai 6,0. pH maksimum air pulsator Buaran II mencapai 7,4 sedangkan pH minimum air pulsator Buaran II mencapai 6,0.
Gambar 5.10 Grafik pH Air Pulsator Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.11 Grafik pH Air Pulsator Buaran II Tahun 2009
92
pH air pulsator cenderung menurun karena adanya penambahan koagulan alum yang bersifat asam. Akan tetapi, hal ini dapat diatasi dengan penambahan prelime di intake sehingga pH air tidak melonjak turun drastis dan masih dalam batasan pH 6,5-8,5. Terkadang pH air pulsator kurang dari 6,5. Hal ini disebabkan tidak lancarnya pembubuhan prelime pada intake. Masalah yang sering terjadi pada pembubuhan prelime adalah adanya pasir dan residu dalam kapur powder yang mengganggu kinerja pompa dan endapan kapur yang mengeras sehingga menyebabkan perpipaan tersumbat. pH yang terlalu rendah di awal proses mengakibatkan pembubuhan post lime akan lebih banyak agar pH air bersih normal. pH yang rendah akan mengakibatkan terjadinya korosi pada pipa-pipa penyaluran. Air pulsator haruslah mengandung residu khlor sesuai trigger IPA Buaran yaitu 0,1-0,5 mg/l. Residu khlor rata-rata pada air pulsator Buaran I pada tahun 2009 sebesar 0,2 mg/l dan untuk Buaran II sebesar 0,5 mg/l. Residu khlor maksimum pada air pulsator Buaran I pada tahun 2009 sebesar 1,5 mg/l dan untuk Buaran II sebesar 2,5 mg/l. Residu khlor minimum pada air pulsator Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009 sebesar 0,1 mg/l.
Gambar 5.12 Grafik Residu Khlor Air Pulsator Buaran I
Gambar 5.13 Grafik Residu khlor Air Pulsator Buaran II
93
Residu khlor yang terkandung di dalam air pulsator berasal dari pembubuhan pre khlor di intake dan intermediate khlor di saluran sesudah pulsator. Residu khlor < 0,1 mg/l akan mengurangi kemampuan proses penurunan mangan dan besi. Hal yang dilakukan adalah menaikkan dosis pre dan inter khlorin. Residu khlor > 0,5 mg/l akan menimbulkan bau khlor di ruang galeri pulsator dan filter. Hal yang dilakukan adalah menurunkan dosis inter khlor dan menaikkan dosis pre khlor.
Berdasarkan data sampling air pulsator yang
dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 96% sampel memenuhi standar sisa khlor yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 64% sampel memenuhi standar sisa khlor yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Khlorin merupakan oksidator. Khlorin mengoksidasi amonia, organik, dan logam-logam seperti besi dan mangan. Besi Ferro (Fe2+) dan Mangan Manganous (Mn2+) adalah terlarut, bentuk yang tidak terlihat, mungkin terdapat dalam air sumur atau air yang anaerobik. Apabila berkontak dengan khlorin, bentuk ini teroksidasi berubah perlahan menjadi bentuk yang tidak terlarut, bentuk kelihatan nyata, besi teroksidasi, Ferri (Fe3+) dan Mangan Mangani (Mn4+). Besi dan mangan teroksidasi tersebut dapat seluruhnya dihilangkan dengan proses pengendapan dan penyaringan. Demikian pula senyawa lain yang sudah teroksidasi oleh khlorin akan dapat dihilangkan dalam proses pengendapan. Pada IPA Buaran, proses pengendapan terjadi pada pulsator. Khlor juga bereaksi dengan amonia membentuk monokhloramin, dikhloramin, atau trikhloramin tergantung dari pH. Selama proses, khlor sendiri juga direduksi menjadi khlorida (Cl-) yang tidak mempunyai daya desinfeksi. 5.3 Air Filter Kekeruhan maksimum air filter berdasarkan trigger IPA Buaran adalah 0,6 NTU. Kekeruhan rata-rata air filter Buaran I pada tahun 2009 adalah 0,67 NTU sedangkan kekeruhan rata-rata air filter Buaran II pada tahun 2009 adalah 0,64 NTU. Kekeruhan maksimum air filter Buaran I pada tahun 2009 adalah 9,15 NTU sedangkan kekeruhan maksimum air filter Buaran II pada tahun 2009 adalah 19,40 NTU.
94
Senyawa yang sudah teroksidasi oleh khlor akan hilang dengan cara penyaringan. Selain itu, lumpur yang terbawa dari pulsator atau partikel-partikel yang tidak terendapkan dalam pulsator akan tersaring. Semakin banyak senyawa yang teroksidasi dan semakin banyak flok yang terbawa ke filter maka semakin berat kerja filter. Filter lama kelamaan akan mengalami clogging.
Gambar 5.14 Grafik Kekeruhan Air Filter Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.15 Grafik Kekeruhan Air Filter Buaran II Tahun 2009 Clogging dapat cepat terjadi jika air pulsator banyak mengandung lumpur sehingga banyak partikel yang akan tersaring dan cepat membuat pasir tersumbat sehingga harus dibackwash. Selain itu, polimer-polimer yang berlebih juga akan melekat pada pasir sehingga terjadi clogging. Pada kekeruhan air filter yang tinggi, desinfeksi menjadi tidak efektif. Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 59% sampel memenuhi standar kekeruhan yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 63% sampel memenuhi standar kekeruhan yang ditetapkan oleh IPA Buaran. pH air filter diusahakan mencapai trigger IPA Buaran yaitu 6,3-7,2. Ratarata pH air filter Buaran I dan Buaran II adalah 6,8. pH maksimum air filter
95
Buaran I adalah 7,5 sedangkan pH minimum sebesar 6,0. pH maksimum air filter Buaran II adalah 7,5 sedangkan pH minimum sebesar 6,3.
Gambar 5.16 Grafik pH Air Filter Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.17 Grafik pH Air Filter Buaran II Tahun 2009 Nilai pH air filter menunjukkan berapa banyak kapur yang harus ditambahkan untuk mencapai target pH air bersih. Jika pH < 6,3, dilakukan penambahan dosis kapur. Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009, 100% sampel memenuhi standar pH yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Air filter haruslah mengandung residu khlor sesuai trigger IPA Buaran yaitu 0,05-0,5 mg/l. Residu khlor rata-rata pada air filter Buaran I pada tahun 2009 sebesar 0,1 mg/l dan untuk Buaran II sebesar 0,2 mg/l. Residu khlor maksimum pada air filter Buaran I pada tahun 2009 sebesar 1,7 mg/l dan untuk Buaran II sebesar 1,5 mg/l. Residu khlor minimum pada air filter Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009 sebesar 0,1 mg/l. Jika residu khlor < 0,05 mg/l, proses oksidasi menjadi tidak optimal. Hal yang dilakukan adalah menambah dosis intermediate khlor. Jika residu khlor > 0,5 mg/l, dapat terjadi kerusakan pada peralatan akibat dari uap khlor. Hal yang dilakukan adalah mengurangi dosis intermediate khlor. 96
Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 100% sampel memenuhi standar sisa khlor yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 99% sampel memenuhi standar sisa khlor yang ditetapkan oleh IPA Buaran.
Gambar 5.18 Grafik Residu Khlor Air Filter Buaran I
Gambar 5.19 Grafik Residu Khlor Air Filter Buaran II Instalasi Buaran menetapkan trigger besi dalam air filter adalah 0,1 mg/l. Pada tahun 2009, besi total rata-rata air filter Buaran I adalah 0,07 mg/l. Besi total maksimum Buaran I terjadi pada bulan November yaitu sebesar 1,66 mg/l. Untuk Buaran II, besi total rata-rata air filter adalah 0,07 mg/l sedangkan besi total maksimum air filter adalah 1,53 mg/l yang terjadi pada bulan November. Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009, 82% sampel memenuhi standar besi yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Besi yang terkandung dalam air baku yang mengalami oksidasi menjadi besi yang tidak terlarut dalam air terakhir kali dihilangkan melalui unit filter. Awalnya besi yang teroksidasi oleh gas khlorin akan mengendap di unit pulsator namun tidak semua besi tersebut sudah teroksidasi. Masih ada sebagian besi yang
97
terlarut di dalam air sehingga tidak terendapkan dan terbawa ke unit selanjutnya yaitu unit filter.
Gambar 5.20 Grafik Besi Air Filter Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.21 Grafik Besi Air Filter Buaran II Tahun 2009 Instalasi Buaran menetapkan trigger mangan dalam air filter adalah 0,07 mg/l. Pada tahun 2009, mangan total rata-rata air filter Buaran I adalah 0,05 mg/l. Mangan total maksimum Buaran I terjadi pada bulan Januari yaitu sebesar 1,12 mg/l. Untuk Buaran II, mangan total rata-rata air filter adalah 0,05 mg/l sedangkan mangan total maksimum air filter adalah 1,12 mg/l yang terjadi pada bulan Januari. Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009, 84% sampel memenuhi standar mangan yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sama halnya dengan besi, mangan yang terkandung dalam air baku yang mengalami oksidasi menjadi mangan yang tidak terlarut dalam air terakhir kali dihilangkan melalui unit filter. Awalnya mangan yang teroksidasi oleh gas khlorin akan mengendap di unit pulsator namun tidak semua mangan tersebut sudah
98
teroksidasi. Masih ada sebagian mangan yang terlarut di dalam air sehingga tidak terendapkan dan terbawa ke unit selanjutnya yaitu unit filter.
Gambar 5.22 Grafik Mangan Air Filter Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.23 Grafik Mangan Air Filter Buaran II Tahun 2009 Instalasi Buaran menetapkan trigger organik dalam air filter adalah 10 mg/l. Pada tahun 2009, organik rata-rata air filter Buaran I adalah 3,88 mg/l. Organik maksimum Buaran I terjadi pada bulan November yaitu sebesar 9,57 mg/l. Untuk Buaran II, organik rata-rata air filter adalah 3,89 mg/l sedangkan organik maksimum air filter adalah 9,99 mg/l yang terjadi pada bulan September. Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009, 100% sampel memenuhi standar organik yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Organik dalam air baku dihilangkan dengan oksidasi. Organik tersebut dioksidasi oleh gas khlor yang dibubuhkan pada intake dan saluran sesudah pulsator. Organik yang telah teroksidasi dapat dihilangkan dengan pengendapan dan penyaringan. Pengendapan terjadi di unit pulsator. Penyisihan organik pertama kali terjadi di unit pulsator ini. Organik yang belum tersisihkan di unit
99
pulsator akan tersaring di unit filter. Jika hasil olahan air dari pulsator baik maka kerja unit filter menjadi ringan.
Gambar 5.24 Grafik Organik Air Filter Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.25 Grafik Organik Air Filter Buaran II Tahun 2009 Instalasi Buaran menetapkan trigger amonia dalam air filter adalah 0,05 mg/l. Pada tahun 2009, amonia rata-rata air filter Buaran I adalah 0,13 mg/l. Amonia maksimum Buaran I terjadi pada bulan Juli yaitu sebesar 2,07 mg/l. Untuk Buaran II, amonia rata-rata air filter adalah 0,11 mg/l sedangkan amonia maksimum air filter adalah 1,85 mg/l yang terjadi pada bulan Juli. Berdasarkan data sampling air filter yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 46% sampel memenuhi standar amonia yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 49% sampel memenuhi standar amonia yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Amonia di dalam air filter sudah lebih sedikit dibandingkan dengan amonia yang ada di dalam air baku. Amonia yang ada di dalam air baku pertama kali bereaksi dengan khlor atau asam hipokhlorit yang ada di intake. pH air baku berkisar antara 6,0 – 7,9 dengan rata-rata 6,9. Dengan kisaran pH tersebut, amonia di dalam air akan berubah menjadi monokhloramin (NH2Cl) dan dikhloramin (NHCl2) setelah bereaksi dengan khlor. Khloramin juga dapat terbentuk sebagai hasil reaksi antara khlor dan salah satu jenis amin organis seperti protein.
100
Amonia yang berada di dalam air yang belum bereaksi dengan khlor juga akan bereaksi dengan khlor setelah adanya pembubuhan inter khlorin di saluran sesudah pulsator. Amonia yang masih ada tersebut akan berubah menjadi monokhloramin dan dikhloramin. Dengan demikian amonia dalam air akan kembali berkurang. Bila terdapat cukup banyak amonia dalam larutan maka monokhloramin cukup stabil. Namun bila kelebihan khlor, monokhloramin pecah hingga terbentuk gas N2. Semua khlor
yang tersedia di dalam air sebagai
khloramin disebut khlor tersedia terikat. Khlor tersedia terikat ini juga mempunyai daya desinfeksi, walaupun tidak seefisien khlor tersedia bebas (Cl2, OCl-, HOCl).
.Gambar 5.26 Grafik Amonia Air Filter Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.27 Grafik Amonia Air Filter Buaran II Tahun 2009
5.4 Air Minum Air minum yang dihasilkan dari hasil pengolahan air oleh Instalasi Buaran merupakan air yang berkualitas air minum sesuai dengan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002. Berdasarkan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002, kekeruhan air minum maksimum adalah 5 NTU. Sedangkan trigger Instalasi Buaran untuk kekeruhan air minum adalah 1 NTU. Pada tahun 2009, kekeruhan
101
rata-rata air minum Buaran I adalah 0,72 NTU dan kekeruhan rata-rata air minum Buaran II adalah 0,61 NTU. Kekeruhan maksimum air minum Buaran I mencapai 17,70 NTU sedangkan kekeruhan maksimum air minum Buaran II mencapai 7,60. Kekeruhan yang tinggi pada air minum kemungkinan disebabkan oleh penambahan post lime. Pembubuhan kapur pada titik masuk air minum ke reservoir dapat menyebabkan naiknya kekeruhan air minum. Secara teori jika kekeruhan larutan kapur adalah 20 NTU, maka akan menaikkan kekeruhan air minum sebesar 0,2 NTU, tetapi karena terdapat masalah di pompa kapur, dosis kapur tidak dapat secara tepat dikontrol. Oleh karena itu operator harus memastikan bahwa overflow larutan kapur yang masuk ke reservoar adalah larutan kapur jenuh. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan disinfeksi menjadi tidak efektif. Berdasarkan data sampling air minum yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 84% sampel memenuhi standar kekeruhan yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu kekeruhan sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 91% sampel memenuhi standar kekeruhan yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu kekeruhan sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002.
Gambar 5.28 Grafik Kekeruhan Air Minum Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.29 Grafik Kekeruhan Air Minum Buaran II tahun 2009
102
Berdasarkan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002, batasan pH air minum adalah 6,5-8,5. Sedangkan trigger Instalasi Buaran untuk pH air minum adalah 6,7-7,5. Pada tahun 2009, pH air minum rata-rata Buaran I dan Buaran II adalah 6,9. pH air minum maksimum Buaran II adalah 7,5 sedangkan pH minimumnya adalah 6,1. pH air minum maksimum Buaran I adalah 7,7 sedangkan pH minimumnya adalah 6,0. pH air minum dipengaruhi oleh pembubuhan post lime. Pembubuhan post lime dilakukan agar pH air minum tidak asam karena pipa air minum tidak kuat jika suasana asam. Berdasarkan data sampling air minum yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 96% sampel memenuhi standar pH yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel
memenuhi
baku
mutu
pH
sesuai
dengan
Permenkes
907/MENKES/SK/VII/2002. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 97% sampel memenuhi standar pH yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu pH sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002.
Gambar 5.30 Grafik pH Air Minum Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.31 Grafik pH Air Minum Buaran II Tahun 2009
103
Berdasarkan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002, batasan residu khlor air minum adalah 0,6-1,0 mg/l. Sedangkan trigger Instalasi Buaran untuk residu khlor air minum Buaran I adalah 0,6-1,0 mg/l dan residu khlor air minum Buaran II adalah 0,3-0,4 mg/l. Trigger Instalasi Buaran II untuk residu khlor lebih kecil karena akan ada penambahan khlorin di Pusat Distribusi Cilincing. Pada tahun 2009, residu khlor rata-rata air minum Buaran I adalah 0,9 mg/l. Residu khlor maksimum air minum Buaran I adalah 2,5 mg/l sedangkan residu khlor minimum air minum Buaran II adalah 0,1 mg/l. Untuk Buaran II, residu khlor air minum rata-rata adalah 0,5 mg/l. Residu khlor maksimum air minum Buaran II adalah 2,5 mg/l sedangkan residu khlor minimum air minum Buaran II adalah 0,1 mg/l.
Gambar 5.32 Grafik Residu Khlor Air Minum Buaran I
Gambar 5.33 Grafik Residu Khlor Air Minum Buaran II Residu khlor air minum harus cukup jumlahnya agar air minum yang disalurkan
ke
konsumen
tetap
terlindung
dari
bakteri
patogen
yang
membahayakan kesehatan selama di dalam pipa distribusi. Residu khlor air
104
minum tergantung pada dosis pembubuhan post khlor. Oleh karena itu, penentuan dosis post khlor harus tepat. Jika residu khlor air minum terlalu kecil atau terlalu besar, perlu diperhatikan juga dosis khlor pada pre dan intermediate. Berdasarkan data sampling air minum yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 71% sampel memenuhi standar sisa khlor yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 37% sampel memenuhi standar sisa khlor yang ditetapkan oleh IPA Buaran. Pada air minum ini, residu khlor yang ada merupakan khlor yang digunakan untuk pembasmian kuman. Dengan kata lain, breakpoint chlorination sudah tercapai. Breakpoint chlorination (khlorinasi titik retak) adalah jumlah khlor yang dibutuhkan sehingga semua zat yang dapat dioksidasi teroksidasi, amonia hilang sebagai gas N2, masih ada residu khlor aktif terlarut yang konsentrasinya dianggap perlu untuk pembasmian kuman.
Gambar 5.34 Grafik Besi Air Minum Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.35 Grafik Besi Air Minum Buaran II Tahun 2009 Instalasi Buaran menetapkan trigger besi total dalam air minum adalah 0,1 mg/l. Berdasarkan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002, besi total maksimum air minum adalah 0,3 mg/l. Pada tahun 2009, besi total ratarata air minum Buaran I adalah 0,04 mg/l. Besi maksimum Buaran I terjadi pada bulan Februari yaitu sebesar 0,28 mg/l. Untuk Buaran II, besi total rata-rata air minum adalah 0,04 mg/l sedangkan besi total maksimum air minum adalah 0,29 mg/l yang terjadi pada bulan Januari. Berdasarkan data sampling air minum yang
105
dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 92% sampel memenuhi standar besi yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu besi sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 91% sampel memenuhi standar besi yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu besi sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002. Instalasi Buaran menetapkan trigger mangan total dalam air minum adalah 0,05
mg/l.
Berdasarkan
907/MENKES/SK/VII/2002,
standar
air
minum
Permenkes
mangan total maksimum air minum adalah 0,1
mg/l. Pada tahun 2009, mangan total rata-rata air minum Buaran I adalah 0,02 mg/l. Mangan maksimum Buaran I terjadi pada bulan September yaitu sebesar 0,31 mg/l. Untuk Buaran II, mangan total rata-rata air minum adalah 0,02 mg/l sedangkan mangan total maksimum air minum adalah 0,11 mg/l yang terjadi pada bulan Januari. Berdasarkan data sampling air minum yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 85% sampel memenuhi standar mangan yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu mangan sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 93% sampel memenuhi standar mangan yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu mangan sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002.
Gambar 5.36 Grafik Mangan Air Minum Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.37 Grafik Mangan Air Minum Buaran II Tahun 2009 106
Instalasi Buaran menetapkan trigger amonia dalam air minum adalah 0,03 mg/l. Berdasarkan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002, amonia maksimum air minum adalah 1,5 mg/l. Pada tahun 2009, amonia rata-rata air minum Buaran I adalah 0,02 mg/l. Amonia maksimum Buaran I terjadi pada bulan September yaitu sebesar 1,03 mg/l. Untuk Buaran II, amonia rata-rata air minum adalah 0,03 mg/l sedangkan amonia maksimum air minum adalah 1,37 mg/l yang terjadi pada bulan September. Berdasarkan data sampling air minum yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I pada tahun 2009, 85% sampel memenuhi standar amonia yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu amonia sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002. Sedangkan untuk Instalasi Buaran II, 79% sampel memenuhi standar amonia yang ditetapkan oleh IPA Buaran dan 100% sampel memenuhi baku mutu amonia sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002.
Gambar 5.38 Grafik Amonia Air Minum Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.39 Grafik Amonia Air Minum Buaran II Tahun 2009 Amonia yang terkandung di dalam air minum lebih berkurang dari sebelumnya. Hal ini terjadi karena adanya pembubuhan post khlor. Amonia yang tersisa akan bereaksi dengan khlor tersebut membentuk monokhloramin dan dikhloramin.
Bila kandungan khlor berlebih, monokhloramin akan berubah
menjadi gas N2.
107
Berdasarkan standar air minum Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002, organik maksimum air minum adalah 10 mg/l. Pada tahun 2009, organik rata-rata air minum Buaran I adalah 3,22 mg/l. Organik maksimum Buaran I terjadi pada bulan April yaitu sebesar 7,02 mg/l. Untuk Buaran II, organik rata-rata air minum adalah 3,23 mg/l sedangkan organik maksimum air minum adalah 7,92 mg/l yang terjadi pada bulan Desember. Berdasarkan data sampling air minum yang dihasilkan oleh Instalasi Buaran I dan Buaran II pada tahun 2009, 100% sampel air minum Buaran I dan Buaran II memenuhi baku mutu organik sesuai dengan Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002.
Gambar 5.40 Organik Air Minum Buaran I Tahun 2009
Gambar 5.41 Organik Air Minum Buaran II Tahun 2009
108
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan 1. Instalasi Pengolahan Air Buaran menggunakan air baku yang berasal dari Waduk Jatiluhur yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II yang dialirkan ke Jakarta melalui saluran terbuka Kanal Tarum Barat (Kali Malang). 2. Air baku yang ada tercemar karena masyarakat seringkali membuang limbahnya ke kali. Kontaminan utama air baku adalah kekeruhan, amonia, organik, besi dan mangan. 3. Masalah utama air baku adalah kekeruhan. Kekeruhan sangat mempengaruhi operasional Instalasi Buaran. Kekeruhan air baku mempengaruhi dosis koagulan yang dibubuhkan dan kapasitas air yang diolah. 4. Unit pengolahan yang ada di Instalasi Buaran adalah intake, mixing basin, pulsator, rapid sand filter, dan reservoir. 5. Proses yang terjadi adalah koagulasi pada mixing basin, flokulasi dan sedimentasi pada pulsator, filtrasi pada rapid sand filter, disinfeksi, dan netralisasi. 6. Bahan kimia yang digunakan dalam pengolahan air di Instalasi Buaran adalah koagulan seperti alum cair, PAC, magnaflok LT7994, atau sudflok, oksidator khlor sebagai desinfektan, kapur powder atau kapur cair untuk pengaturan pH, karbon aktif jika kandungan organik dalam air baku tinggi. 7. Pemeriksaan sampel air baku, air pulsator, air filter, air bersih pada Instalasi Buaran I dan Buaran II dilakukan setiap jam untuk parameter kekeruhan, pH, dan sisa khlor. Pemeriksaan ini dilakukan sebagai kontrol terhadap proses yang sedang berlangsung agar sesuai dengan standar yang ditentukan. Parameter lain yang diperiksa pada air baku, air pulsator, air filter, dan air minum antara lain adalah amonia, organik, besi, dan mangan.
109
8. Kualitas air minum yang dihasilkan Aetra merupakan air standar
kualitas
air
minum
sesuai
dengan
Permenkes
907/MENKES/SK/VII/2002. 9. Air minum Instalasi Buaran I disimpan di dalam reservoir sebelum didistribusikan ke konsumen. Sedangkan, air minum Buaran II disimpan dalam reservoir kemudian disalurkan ke Pusat Distribusi Cilincing melalui surge tower lalu didistribusikan ke konsumen. 10. Instalasi Buaran memiliki waste basin sebagai tempat penyimpanan sementara lumpur-lumpur hasil pengolahan air dan air pengurasan filter maupun pulsator. Lumpur tersebut diolah terlebih dahulu dengan cara dikeringkan di sludge drying bed sedangkan supernatannya disalurkan ke Kali Jatikramat.
6.2 Saran 1. Untuk mengurangi beban pengolahan pada pulsator, pengolahan pendahuluan seperti prasedimentasi bisa dilakukan sehingga kekeruhan air baku menjadi berkurang. 2. Pada kekeruhan air baku yang sangat tinggi dan meningkat secara cepat, penentuan dosis koagulan yang tepat perlu dilakukan. Kapasitas air baku perlu diperhatikan agar air minum yang dihasilkan sebanding dengan proses yang dilakukan. Selain itu pengaturan pulsasi perlu diperhatikan agar flok yang terbentuk tidak terbawa ke filter. Pembuangan lumpur pulsator secara manual dilakukan secara cepat dan tepat apabila pembuangan otomatis sudah tidak cukup. 3. Dalam pembubuhan bahan kimia, penentuan dosis sebaiknya setepat mungkin. Bahan kimia yang terlalu banyak dalam air akan mengganggu kesehatan. Oleh karena itu, operator harus teliti. 4. Pembubuhan karbon aktif di intake sebaiknya dihitung dosisnya secara tepat. 5. Pengurasan pulsator dan pencucian filter perlu dilakukan secara teratur agar proses berjalan dengan lancar. Akan tetapi, perlu diperhatikan
110
pengaturan air untuk pengurasan atau pencucian agar tidak terlalu berlebih. 6. Pemeriksaan serta perawatan unit-unit pengolahan seperti valve pada pembuangan lumpur pulsator perlu dilakukan secara teratur karena adanya valve yang mampat atau lumpur tidak dapat keluar padahal valve dalam keadaan terbuka. 7. Seluruh lapisan masyarakat hendaknya peduli terhadap lingkungan dengan tidak membuang sampah atau limbah ke kali atau sungai terutama yang dijadikan sebagai air baku untuk instalasi pengolahan air minum.
111
DAFTAR PUSTAKA
Alaerts, G dan Sri Simestri Santika. Metoda Penelitian Air. 1984. Surabaya: Usaha Nasional. http://abahjack.com/air-bersih.html#more-89 http://advancebpp.wordpress.com/2009/04/16/mengatasi-zat-besi-fe-tinggi-dalamair/ http://smk3ae.wordpress.com/2008/07/20/besi-fe-dan-mangan-mn-dalam-eustaria/ http://www.airminumisiulang.com/news/47/cara_menghilangkan_menurunkan_za t_besi_fe_dalam_air http://www.serambinews.com/news/view/25174/atasi-pencemaran-sungaiselamatkan-air-baku-pdam Instruksi Kerja IPA Buaran Japarin, Syahril. Win the War BREAK THE SILO BOOST THE HiLo. 2010. Jakarta: Gibon Books. Joko, Tri. 2010. Unit Produksi dalam Sistem Penyediaan Air Minum. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kawamura, Susumu. 1991. Integrated Design of Water Treatment Facilities. Canada: John Wiley & Sons, Inc.
Metcalf & Eddy. 2003. Wastewater Engineering Fourth Edition. Singapore: Mc Graw Hill Book Co. Modul Praktikum Mata Kuliah Laboratorium Lingkungan Teknik Lingkungan ITB
Permenkes 907/MENKES/SK/VII/2002 PDAM DKI Jakarta dan Laboratorium Teknik Penyehatan dan Lingkungan Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Optimasi Kinerja Pulsator Instalasi Produksi Air Minum Buaran I. 1996. Jakarta.
Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta 582 Tahun1995