2.3 Alasan penambahan
II.3.1 Asam asetil salisilat
Asam asetil salisilat merupakan golongan obat antiinflamasi nonsteroid yang berkhasiat sebagai analgesik dan antipiretik. Dimana senyawa ini memiliki efek samping terhadap saluran cerna antara lain iritasi lambung, mual, dan muntah, untuk menghindari efek samping tersebut dapat diatasi dengan memformulasikan asam asetil salisilat dalam bentuk sediaan suppositoria.
Penggunaan
suppositoria
mempunyai
keuntungan
dibandingkan dengan sediaan oral, salah satunya yakni tidak mengiritasi lambung, tidak menyebabkan rasa tidak enak (mual) (Tjay, 607 ; Ansel, 578).
Aspirin dan beberapa obat antiinflamasi lainnya banyak digunakan dalam bentuk suppositoria untuk meningkatkan meningkatkan bioavaibilitas. (Ravi, 2013)
Sebagian besar obat dalam sediaan oral akan diubah oleh hati secara kimi sehingga keefektifan sistemiknya seringkali berkurang. Sebaliknya sebagian besar obat yang sama dapat diabsorpsi dari daerah anorektal dan nilai terapetiknya masih dipertahankan (Lachman III, 1149)
Dosis aspirin dalam bentuk suppositoria yaitu 450-900 mg setiap 4 jam (Martindale36th, 23)
II.3.2 Oleum cacao
Minyak cokelat merupakan basis suppositoria yang paling banyak digunakan. Sebagian besar sifat minyak cokelat memenuhi persyaratan basis ideal karena tidak berbahaya (Lachman III, 1168).
Oleum cacao merupakan basis yang paling baik, disebabkan oleh aksi emolien, penyejuk, dan penyebarannya (Ansel, 581)
Minyak cokelat tidak diresorpsi dalm rektum. Minyak cokelat akan membentuk perusakan lemak dalam usus tidak terjadi (Voight, 285).
Lemak cokelat bersifat netral secara kimia dan fisiologi serta banyak digunakan. Titik lebur dari minyak cokelat yaitu 31 o-34oC (Voight, 281).
II.3.3 Cera alba
Cera alba digunakan sebagai bahan pengeras yang dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh peleburannya dari bahan yang ditambahkan (Ansel, 583).
Bahan-bahan seperti fenol (termasuk asam asetil salisilat) cenderung menurunkan titik lebur dari oleum cacao sewaktu bercampur dengan bahan tersebut. Jika titik lebur menurun sedemikian rupa sehingga tidak mungkin lagi dijadikan suppositoria yang padat dengan menggunakan oleum cacao sebagai basis tunggal, maka bahan pengeras (stiffening agent) seperti malam tawon (cera alba) ± 4% dapat dilebur dengan oleum cacao untuk mengimbangi pengaruh pelunakkan (Ansel, 583).
Obat- obat seperti minyak menguap, kresol, fenol, dan klorol hidrat sangat menurunkan titik leleh minyak coklat. Untuk memperbaiki kondisi ini biasanya digunakan malam atau spermaseti (Lachman, 1170).
Konsentrasi cera alba yang digunakan adalah 4%, karena apabila konsentrasinya kurang dari 4% dapat menurunkan titik leleh oleum cacao dan apabila konsentrasinya lebih 4% dapat menaikkan titik leleh diatas suhu tubuh (Widayanti, 3)
II.3.4 Alfa tokoferol
Oleum cacao mempunyai beberapa kelemahan, yaitu dapat menjadi te ngik. Oleh
karena
itu,
dibutuhkan
antioksidan
yang
berfungsi
untuk
menghambat autooksidasi dari oleum cacao yang dapat menyebabkan ketengikan. Contoh oksidasi efektif (antioksidan) salah satunya adalah alfa tokoferol (Ansel, 119 ; Pharmaceutical excipient booklet, 15).
Alfa tokoferol atau vitamin E merupakan antioksidan larut lemak, yang cara kerjanya dengan mendonorkan atom hidrogennya untuk berikatan dengan radikal bebas (Efflonora, 279).
Alfa tokoferol merupakan pelarut yang baik untuk obat yang kelarutannya rendah, dimana alfa tokoferol dalam formulasi ini untuk memperbaiki kelautan dari asam asetil salisilat yang sukar larut dalam air (Excipient 6th, 31).
Alfa tokoferol dalam basis lemak biasanya digunakan konsentrasi 0,0010,05% (Excipient 6th, 31).
Konsentrasi alfa tokoferol sebagai anti oksidan yaitu 0,05-0,75% (Voight, 640).