BAB l
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
'Aqidah adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan
sedikit pun bagi orang yang meyakininya. Keyakinan itu dapat menimbulkan
berbagai perilaku. Apabila kita berkeyakinan pada hal-hal yang baik maka
perilaku kita juga ikut baik (perilaku terpuji). Dan begitu pula
sebaliknya, apabila kita berkeyakinaan kepada hal-hal yang buruk maka
perilaku kita juga ikut buruk atau tercela, misalnya dzolim.
Era sekarang adalah era yang penuh dengan kecanggihan elektronik yang
juga sering disebut era digital. Dimana kebenaran yang bisa diterima adalah
kebenaran yang bisa dibuktikan oleh akal, banyak sekali orang yang
mendewakan akalnya padahal akal kita mempunyai sekala yang sangat
terbatas. Sekarang zaman semakin maju bisa banyak penciptaan teknologi
yang serba canggih sehingga memudahkan kita dalam melakukan aktifitas,
namun juga di barengi oleh krisis moral seperti sifat-sifat yang semakin
subur bahkan ini menyerang semua Negara, mulai dari Negara maju ataupun
berkembang.
Sejak awal, Islam datang menyeru umat manusia untuk lepas dari
kungkungan kedzaliman dan kelaliman. Menyerukan persamaan derajat manusia
di muka bumi ini, serta merubuhkan seluruh warisan-warisan jahiliyah yang
identik dengan kedholiman. Tak ada lagi kesewenang-wenangan kaum yang kuat,
kelaliman penguasa serta kebengisan golongan yang terpandang. Karenanya,
tidak heran kalau dalam waktu yang relatif sangat singkat, Islam mendapat
tempat istimewa di hati manusia. Khususnya mereka yang lemah dan tertindas.
Hal ini tergambar dari ucapan seorang Rib'iy bin Amir tatkala berdiri
gagah di hadapan panglima tentara Persia, Rustum:
الله ابتعثنا لنخرج من شاء من عبادة العباد إلى عبادة الله، ومن ضيق الدنيا
إلى سعتها، ومن جور الاديان إلى عدل الاسلام
Artinya : Sungguh Allah Ta'ala mengutus kami untuk membebaskan manusia dari
penghambaan kepada sesama menuju penghambaan hanya kepada Allah, melepaskan
lilitan belenggu kesempitan dunia menuju kebebasan, serta mengeluarkan
mereka dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.[1]
Sebuah pernyataan jujur, lahir dari hati ksatria yang tulus, hingga
tetap membekas sekalipun kesombongan dan kecongkakan berupaya mencegatnya.
Ketahuilah, harta, darah dan kehormatan seorang muslim haram atas muslim
yang lain. Dalam konteks apapun, tidak dibenarkan merampas harta,
menumpahkan darah atau mencemarkan kehormatan seorang muslim kecuali dengan
alasan kebenaran. Ini dipertegas oleh Sabda Rasulullah SAW ketika haji
wada' (perpisahan):
فَإِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ بَيْنَكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا فِي
بَلَدِكُمْ هَذَا
Artinya : Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram (untuk
ditumpahkan, dirampas dan dicemarkan), seperti haramnya hari kalian ini, di
negeri ini (makkah), dan bulan kalian ini.[2]
Dalam makalah ini, kami akan membahas lebih lanjut tentang hadits yang
terdapat dalam kitab al-Mustadrok ala al-Shahihain dalam bab Kitab al-Iman.
Hadits no. 27, 28, dan 29. Tentang Kedzaliman.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana penjelasan mengenai kedzaliman menurut hadits no. 27?
2. Apa saja akibat dari sifat-sifat buruk menurut hadits no. 28?
3. Bagaimana penjelasan fakhsya' (berbuat kerusakan) menurut hadits no. 29?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui penjelasan mengenai kedzaliman menurut hadits no. 27.
2. Untuk mengetahui akibat dari sifat-sifat buruk menurut hadits no. 28.
3. Untuk mengetahui penjelasan fakhsya' (berbuat kerusakan) menurut hadits
no. 29.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HADITS NOMOR 27
۲۷/۲۷- حَدَثَناَهُ عَلِيٌّ بْنُ عِيسَى, ثَناَ اْلحُسَيْنُ بنُ مُحَمَّدٍ بنُ زِيَادٍ, ثَناَ عَبْدُ اللهِ بْنُ
عُمَرَ بْنُ أَباَّنَ, ثَناَ حُسَينُ بْنُ عَلِيٍّ, عَنِ اْلفَضِيْلِ بْنِ عِياَضٍ, عَنِ اْلأَعْمَشِ, عَنْ عَمْرٍو بْنِ مَرَّةَ,
عَنْ عَبْدُ اللهِ بْنِ اْلحاَرِثِ, عَنْ زُهَيْرِ بْنِ اْلأَقْمَرِ, عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قاَلَ: قاَلَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِتَّقُواْ الظُّلْمَ" فَذَكَرَ اْلحَدِيْثَ بِطُوْلِهِ.
َولِهَذِهِ الزِياَدَاتِ الَّتِى ذَكَرْناَ هَا عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو شاَهِدٌ صَحِيْحٌ عَلَى شَرْطٍ ۱۲/۱
مُسْلِمٌ مِنْ رِوَايَةِ أَبِى هُرَيْرَةَ.
Dari Ali Ibn Isa, dari Husain Ibn Muhammad Ibn Ziyad, dari Abdullah
Ibn Umar Ibn Aban, dari Husain Ibn Ali, dari Fadhil Ibn Iyad, dari A'masy,
dari Amir Ibn Marrah, dari Abdullah Ibn al-Harits, dari Zuhair Ibn Aqmar,
dari Abdullah Ibn Amr, dia berkata: Rasulullah SAW, bersabda: "Berhati-
hatilah dengan kedzaliman." Maka al-Bukhari menyebutkan hadits dengan
panjang (lengkap).
Tambahan lafadz hadits ini yang kami sebutkan dari Abdillah Ibn Amr
adalah hadits Sahid dan Shahih bersyarat. Dari kitab Muslim Juz 1 hal 12
dari riwayat Abu Hurairah.[3]
Kezaliman adalah kerusakan di dalam fitrah manusia, karena Allah SWT
menciptakan fitrah manusia senantiasa cenderung kepada kebaikan dan
menjauhi keburukan. Tapi, karena fitrah dapat menjadi lemah dikarenakan
rusaknya pendidikan yang diterima seseorang, hawa nafsu, kepentingan, dan
sebab-sebab yang lain, maka manusia tidak jarang menuju ke arah yang tidak
benar dan bertentangan dengan fitrah, meskipun fitrah orang ini masih dapat
menampakkan diri pada waktu-waktu tertentu.[4]
Penyebab seseorang melakukan kezaliman:
1. Merasa ada kekurangan dan kelemahan di dalam diri.
Karena orang yang zalim tidak memiliki sifat-sifat yang baik,
dan dia mengetahui hal ini, maka dia justru mengkompensasinya dengan
melakukan perbuatan zalim. Karena itulah Allah tidak mungkin berbuat
zalim, karena Dia Mahasempurna dalam segala aspek dan tidak membutuhkan
apa pun. Karena itu, untuk apa Dia berbuat zalim.
Di dalam hadits diterangkan,
إِنَّماَ يَحْتاَجُ إِلَى اْلظُّلْمِ اْلضَعِيْفُ.
Yang merasa perlu berbuat zalim hanyalah orang yang lemah.
2. Tidak dapat mengendalikan syahwat.
Allah hanya menciptakan yang baik-baik saja. Syahwat Dia berikan
kepada manusia demi kebaikan manusia. Cinta pada diri sendiri membuat
orang mau memperhatikan dan menjaga dirinya. Cinta pada harta membuat
orang mau bekerja untuk memperolehnya. Cinta pada lawan jenis membuat
orang dapat menjaga kelangsungan umat manusia.
Tapi, jika syahwat ini melewati batasannya, maka itu karena
perbuatan manusia semata-mata dan itu akan menjadi penyebab
kesengsaraannya. Orang yang tidak dapat mengendalikan syahwat boleh jadi
akan berbuat zalim, merasa dirinya lebih tinggi dari orang lain,
menyusahkan orang lain, bahkan membunuh orang lain, karena dia menyangka
hal itu akan memuaskan syahwatnya.
Allah SWT berfirman:
(((((((( ((((( (((( ((((((((((( ((( (((((((((( (((((((((
(((((((( (((((((((( (((( ((((((((((( ((( (((((((( (((( ((((((( (((((((
(((((((((( (((((((( ( (((((((((( ((((((((( ((((((((( (((( (((((((((((
((((( (((((((((( ((((((((((( (((((
116. Maka mengapa tidak ada dari umat-umat yang sebelum kamu
orang-orang yang mempunyai keutamaan yang melarang daripada
(mengerjakan) kerusakan di muka bumi, kecuali sebahagian kecil di antara
orang-orang yang telah Kami selamatkan di antara mereka, dan orang-orang
yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada
mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.[5]
3. Mempertahankan kekuasaan
Cinta pada kekuasaan adalah salah satu nafsu manusia yang paling
berbahaya. Orang yang terkena penyakit cinta pada kekuasaan akan
berusaha mempertahankan jabatan dan kedudukannya dengan berbagai cara,
hingga dengan membunuh, memberangus suara orang lain, dan menelantarkan
orang lain sekalipun karena dia menyangka bahwa hal ini akan
melanggengkan kursinya. Padahal, keadilanlah yang melanggengkan
seseorang pada kedudukan dan jabatannya, dan bukannya kezaliman.
Nabi saw bersabda:
إِنَّ اْلمُلْكَ يَبْقَى مَعَ اْلكُفْرِ وَلاَ يَبْقَى مَعَ اْلظُلْمِ.
"Kekuasaan itu dapat langgeng sekalipun sang penguasa kafir
kepada Allah, tapi tidak akan langgeng jika sang penguasa berbuat
zalim."
4. Mental jongos.
Maksudnya, seseorang berbuat zalim demi seseorang yang
dituankannya. Seseorang yang bermental jongos akan berusaha menjaga
kepentingan tuannya agar tetap bertahan sebagai tuan. Dia bersedia
melakukan kezaliman dan kejahatan apa pun semata-mata agar tuannya
memandang dirinya pantas menjadi jongos sang tuan.[6]
B. HADITS NOMOR 28
۲۸/۲۸ أَخْبَرَناَهُ أَبوُ اْلحُسَيْنِ مُحَمَّدٌ بْنُ أَحْمَدَ اْلقِنْطِرِيْ, ثَناَ أَبوُ قِلاَبَةَ, ثَناَ أَبوُ
عَاصِمٍ, عَنْ اْبنِ عَجْلاَنَ.
وَحَدَّثَناَ أَبوُ بَكْرٍ بْنِ إِسْحَاقَ-وَاللَّفْظُ لَهُ- أَخْبَرَناَ أَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيْمَ بْنُ مَلْحَانَ,
ثَناَ ابْنُ بَكِيْرٍ, حَدَّثَنِي اللَّيْثُ, عَنْ مُحَمَّدٍ بْنِ عَجْلاَنَ, عَنْ سَعِيْدٍ بْنِ أَبِيْ سَعِيْدٍ اْلمَقْبَرِي,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"إِيَّاكُمْ وَاْلفَحْشَ وَاْلتَفَحُّشَ,
فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبَّ اْلفَاحِشَ اْلمُتَفَحِّشَ, وَإِيَّاكُمْ وَاْلظُلْمَ, فَإِنَّهُ هُوَ اْلظُلُمَاتُ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ,
وَإِيَّاكُمْ وَاْلشُحَّ فَإِنَّهُ دَعَا مَنْ قَبْلَكُمْ فَسَفَكُوْا دِمَاءَهُمْ, وَدَعَا مَنْ قَبْلَكُمْ فَقَطَعُوْا أَرْحَامَهُمْ,
وَدَعَا مَنْ قَبْلَكُمْ فَاسْتَحَلُّوْا حُرُمَاتِهِمْ.
Mengabarkan kepadaku Husain Ibn Ahmad al-Qinthiri, dari Abu Qilabah,
dari Abu Ashim, dari Ibn 'Ajlan, dari Abu Bakar Ibn Ishaq – dan lafadz
hadits darinya – mengabarkan kepadaku Ahmad Ibn Ibrahim Ibn Mahlan, dari
Ibn Bakir, dari Laits, dari Muhammad Ibn 'Ajlan, dari Sa'id Ibn Abi Sa'id
al-Maqbari, dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Jauhilah
orang-orang yang berbuat kerusakan dan kerusakan (yang lebih berat) maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan dan
kerusakan (yang lebih berat). Dan jauhilah kedzaliman, maka sesungguhnya
(kedzaliman) itu menyebabkan kegelapan di hari kiamat. Dan jauhilah rasa
pelit, maka sesungguhnya (rasa pelit) itu mendorong orang-orang sebelummu
untuk menumpahkan darah mereka. Dan mendorong orang-orang sebelummu untuk
memutus persaudaraan mereka. Dan mendorong orang-orang sebelummu untuk
menghalalkan (merusak) kehormatan mereka.[7][8][9][10][11]
Akhlaqul madzmumah memang sangat tidak baik jika dimiliki oleh
seseorang. Akhlak seperti itu akan menyebabkan kerugian bagi diri sendiri
maupun bagi orang lain. Dalam hadits diatas disebutkan bahwa berbuat
kerusakan, kedzaliman, dan rasa pelit menjadi penyebab banyak hal buruk di
jaman dahulu. Seperti pertumpahan darah, putusnya persaudaraan, bahkan
merelakan harta dan kehormatannya demi memenuhi hawa nafsu.
Saat ini telah tercermin hal-hal seperti yang dicontohkan dalam
hadits. Kasus-kasus korupsi yang semakin marak di dalam negeri tanpa ada
rasa malu saat melakukannya. Terjadinya saling bunuh dengan saudara kandung
sendiri demi seorang wanita ataupun harta warisan. Hal-hal seperti ini akan
menyebabkan kerusakan (fakhsya') yang saling berkaitan, membawa kerusakan
yang jauh lebih besar.
Perbuatan yang buruk tidak akan pernah membuahkan kebaikan di dunia
maupun di akhirat. Sebaliknya, segala sesuatu yang diperoleh melalui jalan
yang salah, baik itu berupa harta, pangkat, jabatan dan lainnya, pasti akan
berujung kebinasaan dan kehinaan. Banyak mudharat bagi orang-orang yang
melakukannya, di antaranya:
1. Sikap buruk akan memadamkan cahaya penuntun yang dibutuhkan seorang
hamba pada hari itu. Allah Ta'ala mengabarkan keadaan orang-orang
munafik yang dholim terhadap diri mereka sendiri ketika terusir dari
keinginan mendapat imbasan cahaya orang-orang beriman. "Pada hari
ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada
orang-orang yang beriman:
(((((( ((((((( (((((((((((((((( (((((((((((((((((( (((((((((
(((((((((( ((((((((((( (((((((((( ((( ((((((((( ((((( (((((((((((
(((((((((((( ((((((((((((((( (((((( (((((((( ((((((((( ((((((( (((((
((((( (((((((((( ((((( ((((((((((( (((((((((((( ((( ((((((((
((((((((((( ((((
13. pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan
berkata kepada orang-orang yang beriman: "Tunggulah Kami supaya Kami
dapat mengambil sebahagian dari cahayamu". dikatakan (kepada mereka):
"Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (untukmu)".
lalu diadakan di antara mereka dinding yang mempunyai pintu. di
sebelah dalamnya ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada
siksa.[12]
2. Perbuatan buruk membuat pelakunya bangkrut pada hari kiamat.
Sungguh, manusia paling celaka dan merugi adalah mereka yang datang
pada hari kiamat dengan limpahan amal kebaikan, namun sayangnya amal-
amal itu tidak mendatangkan sedikitpun manfaat baginya. Mereka
sebagaimana disifatkan oleh Allah dalam kitab-Nya.
((((((((( ((((((((( ((( (((((((( (((((( ((((((((( (((
3. bekerja keras lagi kepayahan,
4. memasuki api yang sangat panas (neraka),[13]
Termasuk diantaranya, mereka yang kerap melakukan tindakan kedholiman
terhadap orang lain. Rasulullah Shalllallahu 'Alaihi Wasallam
bersabda:
أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لاَ دِرْهَمَ لَهُ وَلاَ مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ
الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلاَةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا
وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ
حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ
"Tahukah kalian siapa orang yang bangkrut?. Para sahabat menjawab :
"Orang yang bangkrut di antara kami adalah mereka yang tidak memiliki
dirham dan tidak pula perhiasan". Kemudian beliau bersabda: "Orang
yang bangkrut dari umatku adalah mereka yang datang pada hari kiamat
kelak dengan pahala shalat, puasa, dan zakat. Akan tetapi ia pernah
mencela ini, menuduh ini, makan harta ini, membunuh itu, memukul itu.
Maka diambil amal kebaikan-kebaikannya dan diberikan kepada orang-
orang ia dholimi. Jika kebaikan milikmua telah habis, maka diambil
kesalahan-kesalahan (orang yang ia dholimi) kemudian dipikulkan ke
atas pundaknya. Baru kemudian ia di campakkan ke dalam api
neraka".[14]
3. Doa orang terdholimi pasti diijabah oleh Allah, sekalipun berasal
dari orang fajir.
Ibnu Abbas ra berkata, ketika Rasulullah SAW mengutus Mu'adz bin
Jabal ke Yaman, beliau berpesan kepadanya:
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللَّهِ حِجَابٌ
Artinya : "Takutlah terhadap doa orang yang terdholimi, sesungguhnya
tidak ada antara dia dan Allah Ta'ala tabir penghalang".[15]
Doa orang tertindas pasti memperoleh ijabah dari Allah Ta'ala kendati
keluar dari lisan pelaku dosa dan maksiat. Hal ini dipertegas oleh
Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah.ra secara
marfu':
دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ مُسْتَجَابَةٌ وَإِنْ كَانَ فَاجِرًا فَفُجُورُهُ عَلَى نَفْسِهِ
Artinya : "Doa orang yang terdholimi pasti makbul, kendatipun ia
seorang yang fajir (pelaku maksiat), karena kefajiran tersebut untuk
dirinya sendiri".[16]
Bahkan, akan dijawab oleh Allah Ta'ala walaupun keluar dari lisan
orang kafir, sebagaimana diriwayatkan dari Anas bin Malik, Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda:
اتَّقُوا دَعْوَةَ الْمَظْلُومِ وَإِنْ كَانَ كَافِرًا فَإِنَّهُ لَيْسَ دُونَهَا حِجَابٌ
Artinya : "Takutlah terhadap doa orang yang terdholimi, kendati
berasal dari orangkafir, sesungguhnya tidak ada antara dia dan Allah
Ta'ala tabir penghalang".[17]
Dari keterangan ini, cukup untuk kita takut akan rintihan dan
munajat orang-orang lemah dan tertindas di sekitar kita. Doa yang
mereka lantunkan adalah doa yang sanggup menggetarkan pintu-langit.
Semuanya akan dijawab oleh-Nya, sekalipun berasal dari para pelaku
maksiat dan orang kafir.
Cara untuk menghindari perbuatan dzalim
Cara untuk menghindari perbuatan dzalim yaitu :
1. Selalu berusaha untuk mengingat dan mendekatkan diri Allah.
2. Meyakini bahwa Allah selalu melihat perilaku yang kita lakukan
setiap saat.
3. Meyakini bahwa Allah akan membalas segala perbuatan yang dilakukan.
Apabila yang kita lakukan baik maka Allah akan membalas dengan hal yang
baik dan begitu pula sebaliknya.[18]
C. HADITS NOMOR 29
۲۹/۲۹حَدَّثَناَ أَبُوْ بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنُ أَيوُبَ اْلفَقِيهُ, ثَناَ مُحَمَّدٌ بْنُ غَالِبٍ, ثَناَ
مُحَمَّدٌ بْنُ سَابِقٍ, ثَناَ إِسْرَائِيْلُ, عَنْ أَعْمَشَ, عَنْ إِبْرَاهِيْمَ, عَنْ عَلْقَمَةَ, عَنْ عَبْدِ اللهَ, عَنِ
النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "لَيْسَ اْلمُؤْمِنُ بِالطَّعَانِ وَلاَ اللََّعَانِ وَلاَ اْلفَاحِشِ وَلاَ
اْلبَذِيْءِ".
هَذَا حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ عَلَي شَرْطِ اْلشَيْخَيْنِ, فَقَدْ اِحْتَجَا بِهَؤُلاَءِ الرُوَاةِ عَنْ آخَرِهِمْ, ثُمَّ لَمْ
يُخْرِجَاهُ, وَأَكْثَرُ مَا يُمْكِنُ أَنْ يُقَالَ فِيْهِ أَنَّهُ لاَ يُوْجَدُ عِنْدَ أَصْحَابِ اْلأَعْمَشِ وَإِسْرَائِيْلَ بْنِ
يُوْنُسَ اْلسَبِيْعِيْ كَبِيرِهِمْ وَسَيِّدِهِمْ, وَقَدْ شَارَكَ اْلأَعْمَشُ فِي جَمَاعَةٍ مِنْ شُيُوْخِهِ فَلاَ يُنْكِرُ لَهُ
اْلتَفَرُّدُ عَنْهُ بِهَذَا اْلحَدِيْثِ.
Dari Abu Bakar Ahmad Ibn Ishaq Ibn Ayub al-Faqih, dari Muhammad Ibn
Ghalib, dari Muhammad Ibn Sabiq, dari Israil, dari A'masy, dari Ibrahim,
dari 'Alqamah, dari Abdullah, dari Nabi SAW bersabda: "Tidak termasuk orang
mukmin, orang-orang yang mencela, para pelaknat, para perusak, dan orang-
orang yang keji".[19][20][21][22][23][24][25][26][27]
Sudah sangat jelas disebutkan dalam hadits diatas. Bahwa Nabi Muhammad
SAW melarang berbagai sifat tercela. Beliau bahkan menganggap seorang
muslim yang melakukan sifat tercela tersebut bukan termasuk golongan orang
mukmin, yang berarti tidak akan selamat dari siksa api neraka. Dari hadits
ini, ada banyak contoh perbuatan buruk, namun penulis ingin mencoba
menjelaskan salah satu perbuatan buruk yaitu berbuat kerusakan (fakhsya').
Al-Fahsya' (الفحشاء ) dalam tafsir DEPAG-RI diartikan dengan perbuatan
keji. Arti seperti ini kurang jelas dan tegas. Bila kita buka dalam kamus
Al Munawwir, artinya sangat tegas-jelas dan banyak, dari sekian arti
tersebut tidak ada yang baik. Al-Fahsya' adalah suatu sikap/amalan yang
buruk, jelek, jorok, cabul, kikir, bakhil, kata-kata kotor, kata yang tidak
bisa diterima oleh akal sehat, dan kata fail / pelakunya diartikan
zina.[28]
( (((( (((( (((((((( (((((((((((( ((((((((((((( ((((((((((( (((
(((((((((((( (((((((((( (((( (((((((((((((( ((((((((((((( (((((((((((( (
(((((((((( (((((((((( ((((((((((( ((((
90. Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.[29]
Untuk membahas fakhsya' lebih jauh karena dalam ayat ini mempunyai
pesan yang sangat lengkap terkait dengan fakhsya'. Dalam ayat ini penulis
mencoba memahaminya melewati tafsiran Ibnu 'Abbasb, at Thabari dan Ibnu
Katsir. Diawali dengan tafsiran Ibnu 'Abbas dengan tafsiran kata-perkata
sebagi berikut:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat; dan Allah melarang dari perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran".
Tafsir ayat diambil dari tafsiran Ibnu 'Abbas
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ "Sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat
adil, dan adil disini difahami untuk bertauhid mengesakan
Allah"
وَالإِحْسَان "diarikan melaksakan fardu-fardu dan dikatan berbuat baik
kepada semua manusia"
وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى "diartikan silaturrahim atau membagikan hak-hak
bagi kerabat"
وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ "melarang dari semua perbuatan maksiat"
وَالْمُنْكَرِ "sesuatu yang tidak dikenal oleh syariat yaitu Al Qur'an dan
sunnah
وَالْبَغْيِ "terus menerus berbuat aniyaya"
يَعِظُكُمْ "Allah melarang kalian berbuat fakhsya' dan baghi"
لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ "agar kalian mengambil pelajaran dengan mengikuti Al
Qur'an"[30]
At Thabari menjelaskan penafsirannya tentang ayat ini adalah bahwa
sesungguhnya Allah telah menurunkan kitab kepada Muhammad dan diperintahan
untuk berlaku adil. Adil adalah "sadar" yang dalam kesadarnnya itu mengakui
dzat-dzat yang telah member nikmat dan bersyukurlah terhadap anugahnya dan
pujilah Dia yang member nikmat. Dan adil juga diartikan tidak menyembah
berhala yang tidak mempunyai hak untuk dipuji. Sesungguhnya hanya orang
yang bodoh yang memuji berhala-berhala tersebut, dan dia tidak memberikan
nikmat maka tidak pantas untuk di syukuri.maka wajib hukumnya untuk
bersaksi tiada Tuhan selain Allah. Melihat penjelasan at Thabari memang
tidak beda dengan penafsirannya Ibnu 'Abbas bahwa adil adalah bersaksi
bahwa tiada Tuhan selain Allah.[31]
Ibnu Katsir membagi hukum perintah bahwa adil itu syariah dan berbuat
bagus itu sunnah.yang di dukung dari:
(((((( ((((((((((( (((((((((((( (((((((( ((( (((((((((( ((((( (
((((((( (((((((((( (((((( (((((( (((((((((((((( (((((
126. dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan Balasan
yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu[846]. akan tetapi jika
kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang
sabar.
[846] Maksudnya pembalasan yang dijatuhkan atas mereka janganlah
melebihi dari siksaan yang ditimpakan atas kita.[32]
((((((((((( ((((((((( ((((((((( (((((((((( ( (((((( ((((( ((((((((((
((((((((((( ((((( (((( ( ((((((( (( (((((( ((((((((((((( ((((
40. dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka
barang siapa memaafkan dan berbuat baik[1345] Maka pahalanya atas
(tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim.
[1345] Yang dimaksud berbuat baik di sini ialah berbuat baik kepada
orang yang berbuat jahat kepadanya.[33]
((((((((((( (((((((((( ((((((( (((( ((((((((( ((((((((((( ((((((((((((
(((((((((((( ((((((((( ((((((((( (((((((((( (((((((((( ((((((((((
((((((((((( ((((((((((((( ((((((( ( ((((( (((((((( ((((( (((((( (((((((((
((((( ( ((((( (((( ((((((( (((((( ((((((( (((( (((((((((((((( ((((
((((((((((((( ((((
45. dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak
itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara
menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang
zalim.[34]
Dalam Ibnu katsir falfawaahisa sesuatu yang diharamkan dan mungkar
adalah wujud dzahir perbuatan dari sesuatu yang diharamkan.[35]
Sudah menjadi rahasia umum bahwa manusia modern menderita kerusakan
jiwa yang dapat ditelusuri pada kuantifikasi dan intelektualisasi realitas,
kemudian karena kerusakan jiwa maka berpotensilah untuk berprilaku fahsya.
Memang perbuatan fahsya' telah muncul beribu-ribu abad yang lalu yang
kemudian berkembang dan semakin merajai, dan menjadi hal yang biasa.
Penulis mencoba merumuskan penyebab dari sekian banyak menjadi dua
yaitu:
1. Kerusakan jiwa
2. Kultur barat yang dominan, khususnya pada abad terakhir ini, mengenal
hanya dua bentuk ilmu pengetahuan : kongkret (indrawi) dan abstrak
(konseptual)
Kita mempunyai kesan-kesan indra, dan kita mempunyai gagasan-gagasan.
Pernyataan "kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Tuhan" dipandang
bukan sebagai pernyataan fakta indrawi ataupun hipotesis valid yang
disimpulkan dari pengalaman indrawi melainkan pernyataan dari imajinasi
agama. Menurut prasangka budaya barat, baik pernyataan itu memberikan
inspirasi atau hiburan, pernyataan itu imajiner dan apa yang imajiner
berarti tidak riel.
Dengan kerusakan jiwa yang dipengaruhi oleh budaya itu menjadi
penyebab seseorang untuk mempunyai berperilaku fakhsa conth: karena jiwa
kita telah rusak maka secara psikologis kita akan mudah sekali merah dan
secara otomatis akal tidak bisa berfungsi secara normal.untuk melakukan
pencegahan penulis menghubungkan dengan ayat al Quran yang diatatas
sebenarnya sudah ada didalm kandungan ayat diatas namun penulis memberikan
solusi awal yaitu dengan cara :
1. Mulailah mengenali emosi diri-sendiri
2. Belajarlah mengendalikan emosi, jangan sampai kita yang dikendalikan
emosi. Kalau dalam agama islam melakukannya dengan shalat karena
dalam shalat kita sebenarnya disuruh untu mengistirahatkan akal dan
hati untuk perkara dunia.[36]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam ajaran Islam, Dzalim merupakan perilaku tercela yang harus
dihindari setiap Mu'min. Karena sesungguhnya perbuatan dzalim dapat
merugikan pelakunya atau yang didzalimi dalam kehidupan dunia maupun
akhirat. Agar setiap Mu'min tidak terjebak pada perbuatan dzalim maka
harus memahami salah satu sifat tercela ini (dzalim), kemudian secara
konsisten menjaga diri agar tidak terjerumus pada perbuatan dzalim.
Berbuat kerusakan (fakhsya') jauh lebih buruk dibandingkan dengan
berbuat dzalim. Fakhsya' bukan hanya mencelakai diri sendiri dan orang
lain saja. Namun juga menimbulkan efek buruk seperti hilangnya moral,
adanya pertumpahan darah, hingga melepaskan kehormatan.
Setiap perbuatan tercela itu akan menimbulkan banyak madhorot, jadi
jauhilah perbuatan-perbuatan yang tercela sehingga kita dapat menjadi
orang-orang yang baik dihadapan manusia dan Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq.
Nasution, Ahmad Taufik. Metode Penjernihan Hati : Melejitkan
Kecerdasan Emosi dan Spiritual melalui Rukun Iman. 2005. Bandung: Al Bayan.
Sayyid Ja'far asy-Syirazi, azh-Zhulm wa azh-Zhalimun al-Ma'ayir wa al-
'Awaqib,. t.t.
Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, juz 4. t.t.
Al Maktabah as Syamilah, Tafsir at Thabari, t.t.
Al Maktabah as Syamilah, Tafsir Ibnu Katsir. t.t.
Al Maktabah as Syamilah, Tafsir Ibnu 'Abbas. t.t.
Al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, juz 10. t.t.
At-Tirmidzi, kitab al-Faidh. t.t.
At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi. t.t.
Ibn Abi Dunya, as-Shamtu Mukhtashiran. t.t.
Ibn Hibban, Shahih Ibn Hibban. t.t.
Ibnu Katsir, al-Bidayah Wa al-Nihayah, Juz 7. t.t.
Imam Bukhari, al-Adab al-Mufrad. t.t.
Syaikh al-Albani, al-Silsilah al-Shahihah. t.t.
Musnad Ahmad, juz 2. t.t.
http://berandakeluarga.wordpress.com/2009/02/11/3-tips-menghadapi-
godaan-keimanan/ diakses 8 April 2014.
http://id.wikipedia.org/wiki/Zalim, diakses 8 April 2014.
http://maktabah-jamilah.blogspot.com/2010/04/sholat-itu-mencegah-
perbuatan-keji-dan.html, diakses 8 April 2014.
-----------------------
[1] al-Bidayah Wa al-Nihayah, Ibnu Katsir, 7/47.
[2] HR. Imam Bukhari no: 65, Muslim no: 2137, Abu Daud no: 1628, al-
Tirmidzi no: 2085Ibnu Majah no: 3046.
[3] Menyambung keterangan dari hadits dalam kitab al-Mustadrak ala al-
Shahihain, bab Kitab al-Iman, No. 26.
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Zalim
[5] Al-Qur'an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. Huud: 116.
[6] Terjemahan dari azh-Zhulm wa azh-Zhalimun al-Ma'ayir wa al-'Awaqib,
Sayyid Ja'far asy-Syirazi.
[7] Dikatakan dalam kitab al-Talkhish: diriwayatkan oleh Laits dan Nabil.
[8] Dan di takhrij oleh Ibn Abi Dunya dalam kitab as-Shamtu Mukhtashiran,
No. 319.
[9] Ibn Hibban dalam kitab shahihnya, No. 1566 (mawarid).
[10] Abu Dawud dalam kitab sunannya, juz 4 hal. 58. Dari Ibn Handhaliyah.
[11] Ahmad dalam musnadnya, juz 2 hal. 159 dari Amru Ibn Ash.
[12] Al-Qur'an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. al-Hadiid: 13.
[13] Ibid, Q.S. al-Ghasyiyah: 3-4.
[14] HR. Muslim no 4678, al-Tirmidzi no: 2342, Ahmad no: 7686, al-Thabarani
no: 561.
[15] HR. Bukhari no: 1401, Muslim no: 27, Abu Daud no: 1351, al-Tirmidzi
no: 567, al-Nasaai no: 2475.
[16] HR. Ahmad no: 8440. Hadits ini Hasan.
[17] HR. Ahmad no: 12091, dan dishohihkan oleh Syaikh al-Albani dalam al-
Silsilah al-Shahihah no: 767.
[18] http://berandakeluarga.wordpress.com/2009/02/11/3-tips-menghadapi-
godaan-keimanan/ diakses 8 April 2014.
[19] Adh-Dhahabi diam (tidak memberikan komentar) tentang hadits ini dalam
kitab al-Talkhish.
[20] Dikatakan dalam kitab al-Faidh: at-Tirmidzi berkata bahwa hadits ini
Hasan Gharib. Namun tidak disebutkan sebab dan mani'nya.
[21] Ibn Qatthan berkata: hadits ini tidak layak dianggap sahih, karena
didalamnya terdapat Muhammad Ibn Sabiq al-Baghdadi, dan Ia dha'if (cacat),
walaupun hadits ini masyhur. Barangkali sebagian ulama' menganggapnya
tsiqah.
[22] Imam Daruqutni berkata: hadits ini Marfu' dan Mauquf. Dan condong pada
Mauquf.
[23] At-Tirmidzi dalam kitab sunannya No.1977. dia berkata: Hadits ini
Hasan Gharib.
[24] Al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubra, juz 10 hal. 193 dan 243.
[25] Ibn Hibban dalm kitab shahihnya, salah satu nomor dianggap Ihsan, dan
No. 48 dianggap Mawarid.
[26] Ditakhrij oleh Imam Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. No. 312 dan 332.
[27] Dan di takhrij oleh Ibn Abi Dunya dalam kitab as-Shamtu Mukhtashiran,
No. 324.
[28] http://maktabah-jamilah.blogspot.com/2010/04/sholat-itu-mencegah-
perbuatan-keji-dan.html, diakses 8 April 2014.
[29] Al-Qur'an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. an-Nahl: 90.
[30] Al maktabah as Syamilah, tafsir Ibnu 'Abbas.
[31] Al Maktabah as Syamilah tafsir at Thabari
[32] Al-Qur'an In Word Version 1.2.0 by Mohamad Taufiq, Q.S. an-Nahl: 126.
[33] Ibid, Q.S. as-Syura: 40.
[34] Ibid, Q.S. al-Maidah: 45.
[35] Al Maktabah as Syamilah Tafsir Ibnu Katsir.
[36]Ahmad Taufik Nasution. Metode Penjernihan Hati : Melejitkan Kecerdasan
Emosi dan Spiritual melalui Rukun Iman. 2005. Bandung: Al Bayan.