STRES DAN TRAUMA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI ISLAM
Pendahuluan
Setiap orang dalam kehidupannya pasti pernah memiliki problem yang dialaminya. Problem dihadapi oleh masing-masing tersebut amat bervariasi, dan biasanya tidak bisa terlepas dari pemenuhan kebutuhan (baik jasmani maupun ruhani) dari masing-masing individu. Setiap orang memiliki keinginan untuk dapat mencukupi kebutuhan (jasmaninya) secara mudah. Berbagai jalan dan usaha dilakukan untuk dapat memenuhi kebutuhannya tersebut. Tidak jarang, walaupun sudah dengan berbagai upaya, tetapi usahanya tersebut belum dapat mewujudkan apa yang diinginkannya. Kelelahan, kekesalan, kejenuhan, rasa putus-asa, gundah, dan sebagainya pun bercampur menjadi satu. Semuanya terasa amat sulit, terlebih bila dibarengi dengan problem-problem lain, seperti anak nakal, tidak mudah diatur, senantiasa bikin ulah di sekolah, sementara sang istri menuntut berbagai macam kebutuhan rumah tangga, tempat beras yang sudah kosong, minyak yang sudah habis, dan sebagainya. Kesemuanya sangat mendukung seseorang mengalami stres, frustasi, bahkan dapat mengakibatkan depresi dan gangguan jiwa. A.
Pengertian Stress
Menurut Djalaluddin Ancok sebagaimana disampaikan dalam buku yang disusunnya dengan Fuad Anshori (1995), stres adalah gangguan jiwa yang disebabkan oleh karena ketidakmampuan manusia untuk mengatasi konflik dalam diri, tidak terpenuhinya kebutuhan hidup, perasaan kurang diperhatikan (kurang dicintai) dan perasan rendah diri. 1 Dalam “ Kamus Filsafat dan Psikologi ”, ”, karya Sudarsono disebutkan bahwa stres adalah
ketegangan, tekanan, konflik, suatu rangsangan yang menegangkan psikologi maupun fisiologi dari suatu organisme; atau tekanantekanan fisik dan psikis yang menekan organ tubuh dan atau diri sendiri; atau suatu keadaan ketegangan psikologis karena adanya anggapan ketakutan atau kecemasan. (Sudarsono, 1993) Dalam banyak hal manusia akan cukup cepat untuk pulih kembali dari pengaruh-pengaruh pengalaman stres. Manusia mempunyai suplai yang baik dari energi penyesuaian diri untuk dipakai dan diisi kembali bila perlu (Alkaf, 1987).
Selain depresi, ada pula reaksi kejiwaan yang lain yang erat hubungannya dengan stres, yaitu rasa cemas (anxiety). Kecemasan dan depresi merupakan dua jenis gangguan kejiw yang satu dangan lainnya saling berkaitan. Seorang yang mengalami depresi seringkali ada komponen rasa kecemasan, demikian pula sebaliknya. Seorang yang mengalami depresi seringkali ada komponen rasa kecemasan, demikian pula sebaliknya (Alkaf, 1987). Tahapan-Tahapan Stres
Menurut Hans Selye, 1950 stress adalah respon tubuh yang bersifat non-spesifik terhadap setiap tuntutan beban di atasnya. Selye memformulasikan konsepnya dalam General Adaptation Syndrome (GAS). GAS ini berfungsi sebagai respon otomatis, respon fisik, dan respon emosi pada
seorang individu. Selye mengemukakan bahwa tubuh kita bereaksi sama terhadap berbagai stressor yang tidak menyenangkan, baik sumber stress berupa serangan bakteri mikroskopi, penyakit karena organisme, perceraian ataupun kebanjiran. Model GAS menyatakan bahwa dalam keadaan stress, tubuh kita seperti jam dengan system alarm yang tidak berhenti sampai tenaganya habis. Respon GAS menurut Navied J.S dkk (2005) ini dibagi dalam tiga fase, yaitu: a. Reaksi waspada (alarm reaction stage) Adalah persepsi terhadap stresor yang muncul secara tiba-tiba akan munculnya reaksi waspada. Reaksi ini menggerakkan tubuh untuk mempertahankan diri. Diawali oleh otak dan diatur oleh sistem endokrin dan cabang simpatis dari sistem saraf autonom. Reaksi ini disebut juga reaksi berjuang atau melarikan diri (fight-or-flight reaction). b. Reaksi Resistensi (resistance stage) Adalah tahap di mana tubuh berusaha untuk bertahan menghadapi stres yang berkepanjangan dan menjaga sumber-sumber kekuatan (membentuk tenaga baru dan memperbaiki kerusakan). Merupakan tahap adaptasi di mana sistem endokrin dan sistem simpatis tetap mengeluarkan hormon-hormon stres tetapi tidak setinggi pada saat reaksi waspada. c.
Reaksi Kelelahan (exhaustion stage) Adalah fase penurunan resistensi, meningkatnya aktivitas para simpatis dan kemungkinan deteriorasi fisik. Yaitu apabila stresor tetap berlanjut atau terjadi stresor baru yang dapat memperburuk keadaan. Tahap kelelahanditandai dengan dominasi cabang parasimpatis dari ANS. Sebagai akibatnya, detak jantung dan kecepatan nafas menurun. Apabila sumber stres menetap, kita dapat menngalami ”penyalit adaptasi” (disease of adaptation),
penyakit yang rentangnya panjang, mulai dari reaksi alergi sampai penyakit jantung, bahkan sampai kematian.
B. Dampak Stres Dalam Kehidupan Manusia
Tingkat stress yang tinggi yang berkelanjutan mempunyai berbagai dampak.baik secara fisik, psikis, maupun prilaku. Dampak stress di bagi dua yaitu dampak yang bersifat positif dan dampak yang bersifat negative. Dampak positif stress
Anggapan umum tentang stress adalah bahwa stress akan selalu memberikan dampak negative bagi seseorang. Namun menurut Peter Tyrer, dalam buku "Bagaimana Mengatasi Stress" dinyatakan bahwa stress tidak selamanya akan memberikan dampak negatif kepada seseorang, akan tetapi sebenarnya stress dapat merangsang seseorang untuk mengetahui akan keberadaan dirinya, serta memahami bahwa manusia itu adalah makhluk yang lemah (Tyrer, 1993). Dampak negatif stress
Stress berasal dari interaksi antara situasi tertentu, kemampuan respon, dengan reaksi emosional yang berada pada diri individu. Oleh karena itu, individu yang mengalami stress sering kali memberikan respon yang tidak rasional terhadap sekelilingnya atau lingkungannya (Makin & Lindley, 1997). Salah satu konsekuensi pentakit stress adalah keadaan tak berdaya yang mengarah kepada keputusasaan dan keterpurukan kesehatan pisik dan mental yang dapat menciptakan gangguan kejiwaan yang lebih parah sperti psikosis maupun psikopat serta dapat menimbulkan penyakitpenyakit tubuh seperti jantung, stroke dan lain-lain ( Agoes, 2003). Peran Agama dalam menghadapi stress
“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya” (Q.S. Ali Imran: 159).
Stres dan depresi yang dianggap sebagai penyakit di zaman kita, tidak hanya berbahaya secara kejiwaan, tetapi juga mewujud dalam berbagai kerusakan tubuh. Gangguan umum yang terkait dengan stres dan depresi adalah beberapa bentuk penyakit kejiwaan, ketergantungan pada obat terlarang, gangguan tidur, gangguan pada kulit, perut dan tekanan
darah. Tentu saja stres dan depresi bukanlah satu-satunya penyebab semua ini, namun secara ilmiah telah dibuktikan bahwa penyebab gangguan kesehatan semacam itu biasanya bersifat kejiwaan (Saefulloh, 2008). Secara lebih rinci lagi, nilai dan manfaat agama sebagai sarana mengatasi frustasi tergambar dalam beberapa pandangan sebagai berikut (Saefulloh, 2008): 1. Agama Menanamkan Rasa untuk Senantiasa Pasrah
Pasrah atau tawakal dengan sepenuh hati atas usaha yang diinginkannya seraya menyandarkan kepercayaan kepada Allah yang menentukan dan memutuskan segala sesuatu yang ada, termasuk usaha yang dilakukannya. Walaupun menanamkan pasrah tidak berarti keinginan mencapai tujuan/keinginan tanpa usaha. Tawakal dan berdoa diikuti dengan usaha memiliki peran yang besar, khususnya dalam memacu semangat seeorang untuk mencapai usaha yang diinginkannya. Dari pengamatan psikologis, tawakal yang benar-benar dilakukan seseorang akan menjadi sarana yang paling efektif untuk menggapai tujuan yang diinginkannya. Dengan tawakal yang dilakukan seseorang akan menyandarkan hasil usahanya pada kekuasaan yang maujud, di balik kekuasaan, kemurahan, dan kelembutan Allah SWT, di mana akan dikikis habis segala bentuk frustasi dan kemalasan. “Kemudian apabila kamu telah membulatkan tek ad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Q.S. ali -Imran : 159)
2. Tujuan Agama adalah Membawa Umatnya pada Kebahagiaan
Semua pasti sepakat bahwa tidak ada agama yang bertujuan untuk menyengsarakan umatnya. Semua agama yang ada di dunia ini, memiliki tujuan yang sama, yakni untuk memuliakan umatnya. Dengan beragama, seseorang akan merasa mulia paling tidak di mata kelompoknya. Manakala seseorang yang senantiasa menyandarkan perbuatannya kepada Allah, maka nilai yang akan muncul adalah kemuliaan di mata Allah. Mereka yakin bahwa semakin kita berserah kepada Allah dan mengikuti setiap ajaran atau nilai yang diajarkan, maka kita akan semakin mulia. Dasar inilah yang menjadikan seseorang senantasa berlindung kepada Allah SWT. Dengan berserah diri itulah, keamanan dan kenyamanan akan dapat terwujud, hilangnya rasa takut dalam dirinya, selain takut kepada Allah. Apabila seseorang menyadari bahwa apa yang ditakdirkan mengenainya tidaklah akan meleset darinya, dan apa yang meleset ditakdirkan darinya tidaklah akan mengenainya, maka jiwanya akan tenang. Hasil ketenangan jiwa inilah yang kemudian
melahirkan sikap untuk senantiasa menyerahkan segala sesuatu kepada Allah SWT, untuk menggapai kemuliaan sejati (Saefulloh, 2008).
3. Agama Senantiasa Senafas dengan Ilmu Pengetahuan
Maka renungkanlah al- Qur’an itu dan carilah keagungan makna-maknanya, sehingga memungkinkan Anda meraih pertemuan ilmu-ilmu klasik dan ilmu-ilmu modern dan seluruh permulaan-permulaannya di dalamnya. Perenungan terhadap al- Qur’an ini dimaksudkan untuk mencapai penggambaran ringkas ilmu-ilmu tersebut, sampai pengetahuan yang terinci, dan ini laksana samudera yang tak bertepi. Melalui al-Qur’an agama Islam memadukan insight (pengetahuan yang mendalam), ilmu pengetahuan, dan amal sosial dalam suatu formula untuk dipegang teguh oleh manusia. Artinya, Islam sangat mengedepankan ilmu pengetahuan dalam berinteraksi dan berkehidupan sosial. Dengan demikian, agama seharusnya tidak hanya menjadi sesuatu yang hanya dimanfaatkan untuk kepentingan manusia (something to use), tetapi lebih fungsional sebagai comprehensive commitment dan driving integrating motiveyang mengatur seluruh hidup seseorang (Rahmat, 1991). Dengan mengacu pada pernyataan tersebut, Islam tidak ada keraguan Islam yang senafas dengan peradaban. Perbedaan yang muncul dalam kehidupan masyarakat merupakan dinamisasi nilai-nilai keislaman yang saling mendukung dan saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya (Saefulloh, 2008). Syari’at Islam yang benar (sempurna dan universal) telah memerintahkan untuk
mempelajari semua ilmu pengetahuan yang memiliki nilai manfaat. Hal ini membuktikan bahwa Islam menjunjung tinggi ilmu pengetahuan. Kini sudah banyak disiplin ilmu yang senafas dengan upaya-upaya untuk mewujudkan bahwa nilai-nilai Islam senantiasa senafas dengan perkembangan zaman (Saefulloh, 2008). 4. Agama Memadukan Kepentingan Manusia secara Utuh (Ruh, Hati, dan Tubuh
Ruh, hati, dan tubuh adalah organ-organ dan aspek atau aksesoris manusia yang tidak dapat dipisahkan. Ketiganya menyatu tidak dapat terpisahkan dan saling membutuhkan. Ketiga aksesoris tersebut merupakan aspek yang paling penting dan diunggulkan dari aspek lainnya, serta kepentingan yang satu tidak merampas kepentingan yang lain. Segala sesuatunya berjalan dengan sangat cermat, harmonis dan seimbang. Sebab jika salah satunya tidak mendukung kegiatan lainnya, maka tidak akan menciptakan hasil yang diinginkan. Walaupun Islam memberikan perhatian yang besar kepada aspek penyucian
jiwa dan peningkatan ke derajat keberuntungan, namun ia tidak mengabaikan hak-hak indera (tubuh). Islam memberikan nuansa dan peran yang adil untuk setiap organ tubuh yang dimiliki (Saefulloh, 2008). Sebagai bukti bahwa Islam sangat menjunjung tinggi tiga aspek tersebut, antara lain adanya perintah untuk menjaga ruh dengan senantiasa menjalin komunikasi (i’tikaf,
dzikir, shalat, atau ritual keagamaan lainnya) kepada Tuhannya. Di samping itu menyirami hati dengan pikiran, perilaku. serta amal yang positif sehingga kedamaian dan ketenangan hati akan tumbuh mekar dengan segar. Sementara itu, untuk menjaga kebugaran tubuh, Islam mengajarkan kita untuk memakan makanan yang halal, sehat, minuman yang baik, dan diperbolehkan mengeksplorasi alam dan lingkungan unt uk “kesenangan” dirinya, sepanjang senafas dengan aturan agama (Saefulloh, 2008). 5. Agama Menjunjung Tinggi Akal Manusia
Islam sangat menjunjung tinggi akal sehat, menghargai perannya, mengangkat kedudukannya, tidak mengekangnya, serta tidak mengingkari aktivitasnya. Dalam berbagai ayat al-Qur’an, Islam justru menantang akal untuk mengamati di balik keberadaan dunia, yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada akal untuk “mengkritisi” segala ketetapan Tuhan berkaitan dengan alam semesta. Sesungguhnya
tujuan tantangan kepada akal tersebut agar manusia dapat memahami ketetapan Ilahi dengan memberdayakan akal sebagai sarananya, di samping untuk mengetahui rahasiarahasia alam semesta dan fakta-fakta kehidupan (Saefulloh, 2008) Islam meminta agar setiap insan mengamati langit dan bumi, merenungkan dirinya sendiri dan tanda-tanda kekuasan Allah SWT yang ada di sekitarnya. Dengan demikian, Islam adalah agama yang amat menghormati kedudukan dan peran akal manusia. Dalam suatu riwayat Islam memberikan kabar buruk bagi mereka yang tidak menggunakan akal, mereka melakukan “tradisi” ap a yang dilakukan leluhurnya (Saefulloh, 2008).
6. Agama Mengakui Perasaan Manusiawi dan Mengarahkannya ke Arah yang Benar
Perasaan adalah sesuatu yang bersifat naluri (insting), dan setiap manusia yang normal pasti memiliki perasaan. Islam bukanlah aqidah yang beku dan statis, melainkan aqidah yang hidup dan dinamis. Islam sangat mengakui perasaan manusiawi dan mengarahkannya kepada jalan yang benar sehingga mampu menjadi sarana untuk menuju kebaikan dan pengembangannya (Saefulloh, 2008). Melalui aqidah, agama Islam mengendalikan perasaan cinta, benci, dan perasaan lainnya yang perlu diproses untuk mendapatkan pertimbangan matang dari pemilik perasaan tersebut sehingga lahirlah sikap bijaksana, interaksi sosial yang tinggi, serta
landasan yang kokoh dalam menentukan pilihan atas dasar pertimbangan-pertimbangan yang benar (Saefulloh, 2008).
7. Aqidah Islam Fleksibel dan Mampu Menjawab Segala Problem Kehidupan
Islam diturunkan untuk memberikan rahmat bagi seluruh alam semesta, termasuk pula dalam menyelesaikan konflik dan problematika yang muncul dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama. Melalui agama problem permasalahan seseorang dapat dipertemukan dalam penyatuan jiwa antar-pemeluknya (Saefulloh, 2008).
C. Upaya Meningkatan Kekebalan Tubuh Menanggulagi Stres 1. Keimanan dan Ketaqwaan
Seperti kita ketahui bersama, bahwa yang menjadi sentral keimanan seseorang adalah keyakinan kepada Allah SWT. Maka satu hal yang wajar, bila setiap ada kegiatan keagamaan selalu ada stressing terhadap peningkatan keimanan. Hal ini disebabkan adanya pasang surut keimanan seseorang. Iman akan pasang manakala hubungan dengan Allah tidak pernah putus. Sebaliknya iman akan surut manakala tali hubungan dengan Allah sering terputus (Yusuf, 2009). Salah satu dari sekian banyak indikator yang dimiliki oleh manusia adalah adanya ambivalensi dalam menjalankan agama. Pemahaman mereka terhadap agama terkadang didominasi oleh perasaan, terkadang juga didominasi oleh daya pikir. Kondisi seperti ini sangat mudah membawa seseorang kepada ketidakstabilan iman atau keyakinan. Apabila kestabilan sudah tidak terjaga lagi maka tidaklah mustahil orang akan mudah jatuh ke lembah stres (Yusuf, 2009). Keimanan kepada Allah SWT, sebagaimana tata aturan agama adalah mencakup keyakinan bahwasanya Allah Sang P encipta, penata dan pemelihara alam semesta. Hidup, mati, kemuliaan, kelapangan serta kesempitan tergantung atas iradah- Nya. Di tanganNyalah keberhasilan dan kegagalan kita, bahkan menyangkut masalah jodoh atau mitra hidup kita. Berangkat dari sinilah, maka bagi seseorang yang benar-benar meyakini sederetan sifat dan kekuasaan Allah di atas, ketenangan jiwa, rasa aman dan kedamaian akan mudah terealisir. Ia tidak mudah putus asa atas kegagalannya. Hal ini karena dalam jiwa seorang mukmin telah terpatri sebuah keyakinan bahwasanya Allah adalah sandaran dalam kehidupan, Allah adalah Sang Penolong, juga Dzat yang menentukan keberhasilan dan kegagalan, inilah yang dikehendaki dengan keimanan (Yusuf, 2009)
Sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT: “Sesungguhnya orang-orang yang mengalahkan Tuhan kami adalah Allah, kemudian tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” (QS. Al -Ahqaf: 13).
Ayat di atas merupakan janji Allah SWT terhadap orang-orang yang telah berikrar bahwa Allah-lah Tuhan mereka, kemudian ikrar tersebut tetap mereka pegang dalam setiap gerak langkahnya. Janji Allah terhadap mereka adalah berupa penafian atau pelenyapan kekhawatiran dan kedukaan. Sejalan dengan Surat al-Ahqaf 13 di ata s, Rasulullah SAW juga mengisyaratkan kondisi orang mukmin, manakala menghadapi sebuah kegagalan atau musibah. Sebagaimana termaktub dalam hadist yang artinya sebagai berikut: ”Tidaklah berkumpul harapan dan kekhawatiran dalam hati seorang mukmin kecuali Allah yang Maha Perkasa dan Mulia memberinya harapan dan mengamankannya
dari
kekhawatiran.”
(HR.
Thabrani).
(Jalaludin
Abdurahman Ibnu Abu Bakar As-Suyuti, t.th: 141). Manusia yang benar-benar beriman tidak merasa khawatir serta gentar dalam menghadapi bencana dan cobaan. Ia tidak merasa takut tertimpa penyakit. Ia secara totalitas meyakini qadla dan qadar Allah. Ia juga meyakini bahwa kesenangan atau musibah yang menimpanya adalah semata-mata batu ujian dari Allah untuk mengetahui siapakah di antara mereka yang mensyukuri nikmat, dan siapa yang bersabar atas musibah yang menimpanya (Yusuf, 2009) Selanjutnya keimanan dalam prakteknya mesti disertai ketakwaan. Dalam arti memelihara kondisi jiwa dan raga untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah- perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Takwa juga dapat berarti kesadaran diri untuk patuh akan perintah yang menguntungkan dirinya, juga sadar untuk meninggalkan larangan yang apabila dilanggar akan mendatangkan madlarat baginya (Yusuf, 2009). Di samping itu, dalam takwa itu sendiri terkandung pemeliharaan dan pengendalian diri dari motif-motif dan emosi serta penguasaan nafsu sesuai dengan batas ajaran Islam. (Muhtarom, 1995). Hal ini mengandung maksud bahwa manusia yang bertakwa akan senantiasa mengisi dirinya dengan amal-amal saleh yang dengannya terpancar nur atau cahaya Allah. Dengan
cahaya Allah ini maka ia akan melangkah dengan penuh optimis dan dinamis. Dengan kata lain manusia yang bertakwa hatinya akan selalu hidup dan lapang menghadapi kegagalan yang ada. Sejalan dengan hal di atas, dalam kitab Ihya’ Ulumudin Imam Al -Ghazali dengan indah
mengibaratkan hati yang takwa laksana bumi nan subur, artinya bahwa sesungguhnya hati tatkala kosong dari (sesuatu) yang tercela, maka ( hati tadi) akan penuh dengan (sesuatu) yang terpuji. Dan bumi apabila bersih dari rerumputan, maka tumbuh di dalamnya berbagai macam. Tanaman (benih) dan berbagai macam tumbuhtumbuhan yang harum baunya (bunga) (Al-Ghazali, t.th: 40). Pendapat di atas memiliki arti bahwa takwa dapat memotivasi manusia muttakin untuk selalu memperbaiki diri dan mengembangkan potensi yang dimiliki dengan maksud agar dapat berbuat yang terbaik. Takwa yang seperti inilah yang menjadi kekuatan penggerak dan pengarah ke arah pengembangan diri yang lebih baik dan menjadi monitor terhadap perilaku yang kemungkinan menyimpang dari garis-garis agama (Yusuf, 2009) Jika konsep takwa seperti di atas direalisasikan dalam kehidupan, maka seorang manusia niscaya akan mempunyai kepribadian yang mantap, matang dan seimbang. Ia tidak akan mudah stres lantaran sebuah kegagalan karena ia mempunyai tujuan lebih utama yakni mardlatillah, bukan fasilitas-fasilitas duniawi semata (Yusuf, 2009). Hilangnya fasilitas hidup dari diri manusia muttakin tidak akan menimbulkan dirinya stres, hal ini dikarenakan sudah menjadi ciri orang yang bertakwa, yakni bersabar atas barang yang hilang. Sebagaimana dikatakan dalam Risalah Al-Qusyayri bahwa takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap, yaitu: tawwakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuas diri dengan apa yang telah dianugerahkan dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang (Yusus, 2009). Manusia yang benar-benar bertakwa akan senantiasa bercahaya hatinya dengan cahaya Allah, ini berarti bahwa Allah berkenan menyertai dalam setiap gerak langkahnya. Bila manusia tersebut dalam keadaan kehilangan, maka Allah akan berkenan menghibur bahkan menggantinya. Bila ia mengalami kesulitan dan kegagalan, maka Allah berkenan hadir membawa jalan keluar atau solusi. Ini karena ia telah berusaha dan beramal sesuai dengan rambu-rambu Allah, sehingga Allah-pun senang kepadanya. Dan sebagai bias dari rasa senang Allah terhadap manusia muttaki, Allah yang penepat janji berjanji memberinya jalan keluar dalam setiap problem yang ada (Yusuf, 2009).
“…. Dan barangsiapaberiman kepada Alloh dan hari akhir, dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia (Allah) akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS. Ath-Thalaq: 2) “… Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (QS. Ath-Thalaq : 4).
Dari tinjauan di atas maka dapat ditegaskan di sini bahwa barang siapa ingin mendapatkan jalan keluar dari berbagai kesulitan atau dimudahkan segala urusannya, maka ada satu jalan yanng mesti ia tempuh, yakni jalan ketakwaan kepada Allah. Selanjutnya perlu dikemukakan di sini bahwa keimanan dan ketakwaan kepada Allah menjadi modal dasar bagi konsep-konsep al-Qur’an selanjutnya (Yusuf, 2009). 2. Kesabaran
Islam sebagai pembawa kedamaian tidak menghendaki semua hal di atas. Islam tidak ingin melihat manusia mati dalam kehidupan, namun sebaliknya Islam menghendaki manusia mempunyai jiwa yang tegar dalam menghadapi segala musibah yang menimpa. Islam juga ingin melihat manusia memiliki jiwa yang progresif (Yusuf, 2009) Sejalan dengan keinginan-keinginan yang dikehendaki Islam di atas, D r. Ahmad Faried mengatakan : “Di dalam jiwa manusia tersimpan dua kekuatan, yaitu kekuatan ingin maju (progresif)
dan kekuatan untuk bertahan (defensif). Dan akibat sabar ialah menjadikan kekuatan progresif untuk diarahkan pada hal-hal yang bermanfaat dan kekuatan defensif digunakan untuk menahan diri dari hal-hal yang membahayakan. (Al-Qusyayri, 1994)
Oleh sebab itu, untuk masalah ini, al- Qur’an datang dengan konsep kesabaran. Dengan kesabaran, al- Qur’an mengajak manusia untuk menyadari bahwa mati, jodoh dan lainnya ada di tangan Allah. Dengan kesabaran, al- Qur’an mengajak kita untuk menyerahkan segala urusan kepada Allah SWT (Yusuf, 2009). Di samping itu, manusia yang sabar dalam musibah tidak akan mencari kambing hitam dan terlalu menyalahkan diri, ia akan selalu berpikir positif dan selalu mencari hikmah yang ada di balik musibahnya. Tidak selamanya kemuliaan dan kemewahan mengandung kesenangan dan kedamaian. Sebaliknya, kesengsaraan tidak selamanya identik dengan penderitaan atau kesusahan, tapi justru kadang mengandung hikmah atau faedah yang manusia tidak menyangka sebelumnya (Saefulloh, 2008).
Selain musibah, stres juga terkadang disebabkan adanya tekanan dan kegagalan. Namun bagi manusia yang sabar yang dibarengi iman yang kuat tidak akan mengalami stres atas tekanan dan kegagalan. Baik kegagalan yang disebabkan faktor individu maupun sosial. Hal ini karena kesabaran senantiasa mengajari manusia a kan ketangguhan dalam bekerja dan berupaya untuk merealisasikan tujuan-tujuan praktis dan ilmiah (Utsman Najati,1985 ). Manusia yang sabar tentu akan berpikir panjang, ia tidak akan duduk di sudut kamar, mengurung diri dan stres. Namun sebaliknya ia akan berfikir saya masih punya kesempatan, kegagalan bukanlah akhir perjalanan tapi awal dari keberhasilan. Di samping itu kesabaran dan ketangguhan erat kaitannya dengan kehendak yang kuat. Sedangkan kehendak yang akan senantiasa mengarahkan manusia untuk terus dan terus berusaha mencapai harapan atau tujuan, ia selalu berfikir bahwa suatu saat ia pasti akan berhasil (Saefulloh, 2008 ) Kesabaran akan mengarahkan manusia kepada tindak tawakal. Hal ini mempunyai nilai yang cukup mendasar, dalam arti seseorang yang tawakal secara implisit telah mempunyai sandaran dalam melangkahkan kakinya mencapai tujuan. “Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan kesabaran dan shalat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. (QS. Al-Baqarah : 153).”
Dari sini dapat diambil kesan bahwa seseorang yang sabar akan selalu disertai dan ditemani oleh Allah dalam setiap gerak langkahnya. Kemudian kata-kata menyertai dan menemani mengisyaratkan bahwa Allah akan siap membantu manusia yang sabar itu kapan dan dimanapun ia berada. Inilah yang peneliti maksudkan dengan sandaran yang kuat dan mendasar. Demikianlah eksistensi kesabaran sebagai alat penyembuh bagi stres yang dialami oleh manusia. Dan sebagai akhir dari sub bab ini peneliti mengajak pembaca untuk sejenak merenungkan dua pendapat di bawah ini: “Orang yang sabar akan mencapai derajat yang tinggi di dunia dan akhirat, sebab
mereka telah menjadi manusia yang disertai oleh Allah” (Al -Qusyayri, 1994). “Sabar dalam mencari pemenuhan hasrat adalah tanda kemenangan dan sabar dalam kesukaran adalah tanda keselamatan.” (Al -Qusyayri, 1994).
3. Ingat Akan Allah (Dzikir)
Dzikir atau dzikrullah merupakan cara yang paling esensial untuk menyembuhkan lemah iman. Yang juga merupakan upaya untuk membersihkan hati dan mengobatinya tatkala manusia sakit serta merupakan ruh amal yang shalih. Sebagaimana firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman (dengan menyebut nama Allah), dzikir yang sebanyak-banyaknya. (QS. Al- Ahzab: 41).”
“Dan sebutlah (nama) Allah sebanyak -banyaknya agar kamu beruntung. (QS. Al-Anfal : 4)”
Dzikrullah
merupakan
sesuatu
yang
diridhai-Nya,
menjauhkan
syetan,
menyingkirkan kesusahan, mendatangkan rizki, membuka pintu ma’rifah, merupakan tanaman sorga, bisa mengenyahkan perkataan yang tergelincir, hiburan bagi orangorang fakir yang menderita karena tidak mendapatkan shodaqoh, lalu Allah menggantinya dengan dzikir, dan sekaligus merupakan cermin ketaatan seseorang. Sedangkan tidak mau melaksanakan dzikrullah bisa menimbulkan kekerasan hati (Saefulloh, 2008). Selanjutnya secara totalitas dzikir berorientasi pada perbuatan mengingat Allah dan kebesaran-Nya yang wilayahnya melingkupi segala a spek ibadah dan perbuatan baik, seperti tasbih, tahmid, shalat, membaca al- Qur’an dan berdoa. Juga menghindari perbuatan-perbuatan yang jahat atau keji. Dengan pendek kata dzikir merupakan manifestasi dari iman dan takwa (Saefulloh, 2008). Urgenitas dari pada dzikir itu diketahui dari pelaku yang merasakan ketenangan dan ketentraman dalam jiwanya. Teknik ini sudah tidak diragukan l agi, sebab kegelisahan dan kecemasan yang dirasakan oleh seseorang ketika merasa lemah, teratasi saat mendapat sandaran atau penolong baginya ( Utsman Najati,1985). Suatu keadaan jiwa yang dapat dipastikan tentang diri seseorang adalah sarat akan goncangan (Zakiyah Darajat, 1975). Kondisi jiwa seperti ini disebabkan adanya tekanan yang begitu berat yang kemudian mempunyai pengaruh terhadap sosial-psikologisnya yang akhirnya dapat menyebabkan kegoncangan jiwa. Kegoncangan jiwa ini akan bertambah frekuensinya manakala orang tersebut merasakan sebuah kegagalan atau musibah. Sehingga tidak
dipungkiri lagi akan muncul ketidakstabilan jiwa emosi yang tidak jarang menimbulkan stres. Pada saat-saat seperti inilah seseorang sangat membutuhkan suatu sandaran yang dapat dijadikan kekuatan batin dalam menghadapi sebuah kegagalan dan musibah (Saefulloh, 2008) Hubungan hati dengan organ-organ tubuh yang lain laksana raja yang bertahta di atas singgasana yang dikelilingi oleh para punggawanya. Seluruh punggawa akan bergerak sesuai dengan perintah dan larangannya. Dengan kata lain hati merupakan reaktor pengendali atau remote kontrol sekaligus sebagai pemegang komando terdepan (Faried, 1993). Pendapat ini mempunyai maksud bahwa hati adalah sumber dari segala sikap dan perilaku. Bermula dari kondisi seperti inilah, maka Al- Qur’an menawarkan pada manusia yang mengalami stres dengan konsep dzikir atau mengingat Allah yang Maha Kuasa. Dengan konsep dzikir ini diharapakan suatu kondisi jiwa yang tenang dan damai, tidak kecewa dan stres. Sebagaimana firman Allah SWT: “(Yaitu) orang0orang yang beriman dan hati mereka emnjadi tenteram denga n mengingat Allah. Ingatlah hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (Ar -Raad: 28).
Keberadaan dzikir sebagai sarana mendapatkan sandaran jiwa tidak lain karena dzikir dapat menghadirkan perasaan dekat dengan Allah dan perasaan berada dalam perlindungan serta penjagaan-Nya. Dengan demikian lahirlah jiwa yang penuh percaya diri optimis, tenang dan progresif. Simuh (1996) menjelaskan bahwa hubungan manusia dengan Allah (hablullah), prinsip timbal balik ada di dalamnya. Bila seseorang selalu dzikir (mengingat Allah), maka ia akan menjadi orang yang dekat dan dicintai oleh Allah. Selanjutnya Simuh (1996) memperkuat ungkapannya bahwa tujuan dari pada dzikir adalah untuk menjalin ikatan batin, (kejiwaan) antara hamba dengan Allah (hablullah) sehingga timbul rasa cinta hormat dan jiwa muroqobah (merasa dekat dan diawasi oleh Allah). Hidup sangatlah identik dengan bergerak dan dinamis. Sesuatu yang hidup cenderung untuk bergerak dan aktif. Sedangkan sesuatu yang mati cenderung diam dan pasif. Bila pendapat ini kita kaitkan dengan pembahasan kita, maka akan didapat titik terang bahwa manusia yang mau berdzikir (mengingat Allah) tidak akan menjadi stres lantaran ia mengalami tekanan dan kegagalan atau musibah. Hal ini karena ia memiliki
cahaya kehidupan yang dapat memancarkan jiwa yang aktif, penuh optimis dan harapan. Ia tidak akan larut dalam suasana kedukaan, ia tidak akan mudah menyerah dan lemah saat menghadapi kegagalan dan musibah. Sebaliknya, ia akan terus dan terus bergerak dan maju sampai kemuliaan atau keberhasilan berada dalam genggamannya. Ia juga akan selalu mengharap ganti yang lebih baik dari sesuatu yang hilang (Saefulloh, 2008). Manusia yang terus menerus berdzikir, dengan sendirinya akan melupakan segala problem yang dihadapi. Yang ada dalam hatinya hanyalah Allah. Terjadinya pengalihan ingatan inilah yang kemudian menjadikan ia berkawan dengan Allah, tidak lagi berkawan dengan stres. Dari sini, maka ia akan kembali merasakan keseimbangan jiwa dan kegairahan hidup (Saefulloh, 2008). 4.
Menyimak Al-Quran
Karena stres juga termasuk penyakit lemah iman, maka yang selanjutnya untuk mengobatinya, dengan banyak menyimak Al-Quran Allah berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhan mu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. Yunus : 57)
“Dan Kami turunkan dari Al -Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al -Israa’ : 82)
Menyimak kandungan al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah SWT sebagai penerang bagi sesuatu dan cahaya yang ditunjukkan Allah kepada siapa saja yang dikehendaki dari hamba-hamba-Nya. Tidak dapat diragukan bahwa di dalam alQur’an ini terkandung cara penyembuhan yang agung dan obat yang mujarab
(Saefulloh, 2008).
Daftar Pustaka
Al-Qusyayri, Abdul Karim Ibnu Hawazin. (1994) Risalah Sufi Al-Qursyayri , Terjemahan Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka Pelajar Agoes, Achdiat dkk. (2003). Teori dan Manajemen Stress (Kontemporer Dan Islam). Taroda Faried, Achmad. (1993). Mensucikan Jiwa Konsep Ulama Salaf , Terjemah M. Azhari Hatim, Surabaya: Risalah Gusti Ancok, Djamaludin & Fuad Anshori. (1995) Psikologi Islami, Solusi Islam atas Problem-Problem Psikologi Cet II. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Alkaf, Idrus . (1987) Mengobati stres denga Dzikir dan Do’a . Semarang: Alina Press Makin, Peter E. & Lindley, Patricia A. (1997). Mengatasi Stress Secara Positif: Petunjuk Praktis Bagi Anda Yang Bekerja Di Bawah Tekanan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Muhtarom, Peran Agama Dalam Penanggulangan Stres , Semarang: Makalah disampaikan pada sarasehan mengatasi stres secara positif 22 April 1995 Nevid, J. F., dkk. (2005). Psikologi Abnormal . Jakarta: Erlangga Saefulloh, Arief. (2008). Jurnal Dakwah dan Komunikasi: Peran Agama Sebagai Sarana Mengatasi Frustasi dan Depresi: Sebuah Telaah Psikologis : Purwokerto
Simuh. (1996). Tasawuf Dan Perkembangannya Dalam Islam , Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Sudarsono. (1993) Kamus Filsafat dan Psikologi . Jakarta: Rineka Cipta. Tyrer, Peter. 1993. Mengatasi Insomnia. Jakarta : Penerbit Arcan Utsman Najati. (1985). Al-Qur’an Dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka Pelajar Yusuf, Mafirotun. (2009). Jurnal: Menanggulangi Stres Menurut Konsep Al Qur’an. Stain Pekalongan Zakiyah Daradjat. (1997). Pembinaan Remaja. Jakarta: Bulan Bintang