LAPORAN KASUS : DESTROYED : DESTROYED LUNG YANG BERHUBUNGAN DENGAN TB PARU, YANG MENYERUPAI GAMBARAN CONGENITAL CYSTIC ADENOMATOID MALFORMATION Hendra Herizal*, Rama Nusjirwan** * Residen PPDS-1 Bedah Umum Fakultas Kedokteran UNPAD/RSHS ** Divisi Bedah Toraks dan Kardiovaskular, Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran UNPAD/RSHS
Abstrak
Destroyed lung merupakan suatu keadaan terminal dan irreversible pada parenkim paru dan jarang terjadi pada anak-anak. Paru yang terlibat akan kehilangan fungsi. Hal ini terlihat dari absennya kemampuan perfusi dan ventilasi. Keadaan ini terjadi oleh karena penyakit-penyakit paru yang menimbulkan peradangan kronis pada parenkim, dan salah satunya oleh infeksi tuberculosis. Pada keadaan infeksi tuberculosis, akan terjadi proses granuloma nekrosis yang menetap dan dapat meluas hingga ke pleura. Ketika proses kerusakan ini telah menyeluruh, makan destroyed lung merupakan komplikasi akhir dari infeksi tuberculosis. Adanya shunting Adanya shunting menyebabkan darah kotor bercampur dengan darah bersih, sehingga tindakan pembedahan merupakan merupakan manajemen yang paling efektif pada keadaan ini. Dalam tulisan ini, dilaporkan seorang anak laki-laki 5 tahun, dengan diagnosis destroyed lung ec. TB paru, dengan diagnosis bandung congenital cyst adenomatoid malformation malformation disertai malnutrisi berat. Pasien ini datang dengan keluhan sesak nafas. Keluhan disertai panas badan, batuk, pilek. Dari pemeriksaan fisik didapatkan gerakan hemitoraks kiri tampak tertinggal, dengan suara nafas menurun pada sisi tersebut. Juga didapatkan perkusi pekak dan penurunan fremitus vocal pada hemitoraks kiri. Dilakukan pemeriksaan rontgen toraks dan CT-Scan, didapatkan gambaran paru kiri telah mengalami kerusakan yang irreversible. Terlihat gambaran lesi kistik multiple berbagai macam ukuran, diameter 0.5-3 cm dengan sebagian dinding yang menebal di hampir seluruh lapangan paru kiri. Gambaran tersebut mirip dengan congenital cyst adenomatoid malformation. malformation. Dilakukan operasi torakotomi serta pneumektomi sinistra. Intraoperatif ditemukan paru kiri yang permukaannya melekat pada rongga pleura, mudah dilepaskan. Paru teraba keras dan tidak tampak pergerakan respirasi. Pada gambaran histopatologi paru terlihat jaringan ikat fibrokolagen yang fibrotik bersebukan masif sel radang limfosit dan perdarahan. Tampak struktur tuberkel yang terdiri dari proliferasi epiteloid sebukan limfosit, sel datia langhans dan nekrosis sentral. Temuan ini sesuai dengan gamba ran tuberkulosis paru.
PENDAHULUAN Destroyed lung merupakan kondisi yang jarang terjadi pada anak-anak, dan mengakibatkan perubahan ireversibel pada parenkim paru. Kondisi ini disebabkan paling sering oleh penyakit yang menyebabkan inflamasi kronik pada paru inflamasi seperti bronkiektasis, tuberkulosis, pneumonia nekrosis, abses paru, infeksi jamur, gangren paru-paru, penyempitan bronkus, cacat bawaan, dan infeksi mycobacterium selain tuberkulosis. Pneumonectomy untuk penyakit paru-paru inflamasi merupakan keputusan yang kompleks. Tujuannya adalah untuk mengatasi komplikasi pada destroyed lung dan untuk meningkatkan kualitas keseluruhan hidup pasien. Hanya pasien bergejala yang setuju untuk operasi, dengan gambaran batuk produktif, hemoptisis, infeksi saluran nafas berulang, dan empiema kronis, dan pasien dengan destroyed lung yang dibuktikan dengan CT scan, menjalani pneumonectomy. Semakin berkembangnya obat-obat antituberkulosis telah meningkatkan angka kesembuhan TB paru. Namun, prevalensi tuberkulosis paru tetap tinggi di banyak wilayah di dunia, dan pneumonectomy sering diperlukan untuk tatalaksana penyakit aktif atau sekuelenya, seperti destroyed lung , tuberkulosis empiema, dan stenosis bronchial.
LAPORAN KASUS Seorang anak laki-laki, berumur 5 tahun, datang ke IGD RS Hasan Sadikin Bandung pada tanggal 10 Desember 2012 dengan keluhan utama sesak nafas yang semakin bertambah. Keluhan disertai dengan demam, batuk, pilek dan lemah badan sejak seminggu sebelumnya. Tidak disertai adanya nafas mengorok, mengi, kebiruan disekitar mulut, kejang, ataupun penurunan kesadaran. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada keluhan. Pasien dibawa ke Puskesmas dan dirujuk ke RSHS. Sebelumnya pasien memiliki riwayat pernah didiagnosis dengan TB paru, dan berobat ke Rumah Sakit namun tidak menyelesaikan pengobatan secara tuntas. Riwayat kontak dengan penderita batuk berdarah, yaitu ibu penderita yang baru meninggal 7 bulan yang lalu, karena batuk darah. Riwayat penurunan berat badan ada, yaitu turun 3 kg dalam 6 bulan. Riwayat imunisasi sebelumnya tidak lengkap. Dari pemeriksaan fisik, pasien terlihat sakit berat dan status gizi tergolong severe malnourished. Kesadaran masih baik dengan hemodinamik baik. Nafas terlihat sesak dengan frekwensi nafas 56 kali per menit dan saturasi oksigen 91 %. Terlihat adanya nafas cuping hidung, retraksi suprasternal dan retraksi interkosta. Pasien tidak terlihat sianosis pada saat datang. Pada pemeriksaan toraks, terlihat pergerakan kedua hemitoraks tidak simetris, yang kiri terlihat tertinggal dan terlihat retraksi interkosta hebat pada kedua hemitoraks. Suara nafas kedua hemitoraks terdengar menurun, namun pada hemitoraks kiri hamper tidak terdengar suara nafas. Pada perkusi terkesan redup pada hemitoraks kiri. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah. Didapatkan Hb: 9 g/dL, Hematokrit
: 26 %, Leukosit
: 11.200 /mm3 dan Trombosit : 325.000 mm 3, hitung jenis leukosit : 0/2/1/80/11/6. Na: 123, K: 3,6 mEq/L.
Dilakukan pemeriksaan foto toraks, dicurigai pasien menderita CCAM dan juga adanya proses infeksi pada paru.
A Gambar 2.
B
Foto toraks tanggal 10 desember 2012; A dan B berturut-turut adalah foto toraks proyeksi
AP dan lateral kiri; tampak
bayangan rongga lusen bersepta multipel, berdinding tebal disertai
perbercakan di sekitarnya di lapang atas sampai bawah paru kiri Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan saat pasien di IGD, ditegakkan diagnosis dengan bronkopneumonia + suspek TB paru + Marasmus + Hiponatremia + Anemia ec underlying disease + suspek Congenital Cystic Adenomatoid Malformation
Pada saat itu, diputuskan untuk dilakukan tindakan perawatan dan dilakukan oksigenasi, koreksi elektrolit, antibiotik, OAT (INH 1 x 100 mg po; Rifampisin 1 x 150 mg po; Pirazinamid 1 x 350 mg po), serta terapi nutrisi.
Pada hari rawatan ke-6 dilakukan CT-scan toraks. CT-Scan toraks pada tanggal 17 Desember 2012
Gambar 3.
CT Scan toraks dengan kontras; pada lung window tampak Lesi kistik multiple berbagai
macam ukuran, berdiameter 0,5-3 cm dengan sebagian dinding yang menebal di hampir seluruh paru kiri disertai bagain padat di posteriornya yang menyebabkan diafragma kiri terdorong ke inferior; Infiltrat dengan gambaran ground glass di seluruh lapang paru kanan; tidak tampak pembesaran KGB
Selanjutnya pasien didiagnosis dengan bronkopneumonia + suspek TB paru + Marasmus + Hiponatremia + Anemia ec underlying disease + suspek Congenital Cystic Adenomatoid Malformation seta didiagnosis banding dengan destroyed left lung, dan pasien direncanakan untuk dilakukan torakotomi kiri.
Pada hari rawatan ke-29, dilakukan prosedur operasi. Saat operasi, ditemukan paru kiri yang permukaannya melekat pada rongga pleura, namun masih mudah dilepaskan. Paru teraba kering dan tidak tampak pergerakan respirasi. Saat itu diputuskan untuk dilakukan pneumektomi paru kiri.
Gambar 4.
Gambaran makroskopik paru kiri; Sebuah jaringan paru ukuran 14x11x 4 cm, permukaan
berbenjol-benjol tidak rata. Pada lemalelasi pada seluruh jaringan paru permukaan kusam, nekrosis sebagian seperti perkejuaan, rapuh. Pada irisan penempang penampang padat putih kecoklatan. Tidak ditemukan gambaran kistik pada paru kiri. Dilakukan pemeriksaan histopatologi, terlihat jaringan paru terdiri dari jaringan ikat fibrokolagen yang fibrotik bersebukan masif sel radang limfosit dan perdarahan. Tampak struktur tuberkel yang terdiri dari proliferasi epiteloid sebukan limfosit, sel datia Langhans dan central nekrosis. Tampak pula sedikit alveoli yang dilapisi sel pneumosit yang sebagain besar mengalami atelektasis. Struktur bronkus dilapisi epitel pseudostratified bersilia inti dalam batas normal dan tampak pula struktur pula struktur tulang
rawan dalam batas normal. Tidak ditemukan gambaran sel ganas. Sediaan 5 buah KGB dilapisi kapsul jaringan ikat. Subkapsuler terdiri dari tuberkel-tuberkel seperti tersebut diatas. Tampak sisa folikel limfoid dan fokus-fokus perdarahan. Tidak ditemukan gambaran sel ganas. Disimpulkan suatu tuberkulosis paru sinistra serta imfadenitis tuberkulosis pada kelenjar getah bening perihiler. Pasien ini didiagnosis akhir dengan destroyed left lung ec. TB paru dengan bronkopneumonia dan malnutrisi berat yang telah dilakukan pneumektomi kiri. Pasien segera dapat diekstubasi setelah menjalani operasi dan selanjutnya dirawat di ruang intensif selama 6 hari. Selama perawatan, tidak didapatkan komplikasi yang serius. Tidak ditemukan sesak dan pasien dapat beraktivitas, walaupun dengan status nutrisi belum mebaik. Pasien tetap dirawat oleh departemen penyakit anak untuk perbaikan gizi dan optimalisasi keadaan umum. Namun sayangnya, setelah perawatan 3 minggu, terjadi aspirasi makanan pada pasien, satu hari setelahnya, pasien meninggal.
DISKUSI Destroyed lung merupakan fenomena stadium akhir yang menyebabkan perubahan ireversibel pada parenkim paru, namun sebenarnya jarang terjadi pada anak-anak. Paru-paru yang terlibat akan kehilangan fungsi, dengan absennya proses perfusi dan ventilasi yang disebabkan oleh penyakit paruparu inflamasi seperti bronkiektasis, tuberkulosis, pneumonia nekrosis, abses paru, infeksi jamur, gangren paru-paru, penyempitan bronkus, cacat bawaan, dan infeksi mycobacterium selain tuberculosis. Bronkiektasis merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit kronis dan supuratif pada anak (72,2 %), sehingga menjadi dasar patologi tersering berkembangnya kejadian destroyed lung pada anak. Sementara, pada kejadian TB, berkembangnya destroyed lung berhubungan dengan pengobatan yang tidak adekuat atau terputusnya pengobatan, resistensi terhadap obat maupun follow up terhadap kondisi penyakit yang tidak baik. Destroyed lung menyebabkan morbiditas yang memanjang bahkan dapat terjadi komplikasi yang mengancam hidup seperti hemoptisis masif, empiema, infeksi sekunder fungal, amiloidosis sekunder, septicemia, pulmonary-systemic shunting . Kaseasi, likuefaksi, kavitasi, kerusakan paru progresif dan fibrosis merupakan proses patologi yang dilalui paru pada perjalanan penyakit TB. Perjalanan hingga terjadi destroyed lung, dapat ditemukan pada pasien dengan TB yang resisten terhadap obat-obat antimikrobakteri, atau pasien yang tidak mendapatkan terapi TB secara benar. Pada satu penelitian, yang melibatkan 55 pasien dengan destroyed lung yang didasari TB, 23,6 % pasien yang terdiagnosis destroyed lung merupakan pasien baru dan datang tanpa riwayat pengobatan sebelumnya, sementara 28,6 % pasien telah resisten terhadap pengobatan TB, dan sisanya pasien dengan TB relaps atau riwayat putus obat sebelumnya. Keterlibatan paru kiri merupakan sisi yang paling sering terjadi destroyed lung (81,8 %). Hal ini kemungkinan disebabkan karakteristik anatomi dari bronkus utama kiri yang lebih panjang dan sempit dibandingkan dengan yang kanan. Terhambatnya aliran darah ke paru yang mengalami kerusakan dapat berakibat kerusakan paru yang lebih progresif. Selanjutnya, adanya infeksi paru akan memperparah kerusakan terhadap jaringan. Gangguan aliran darah ke paru-paru juga mengakibatkan menurunnya tingkat agen kemoterapi yang dapat mencapai lokasi yang terkena dampak, dengan demikian, tidak efektif membunuh basil tuberkulum.
Hal ini akan berhubungkan dengan kambuhnya TB dan kegagalan pengobatan dengan MDR - TB, terutama pada pasien dengan destroyed left lung. Ada beberapa indikasi tindakan pembedahan pada kasus TB, salah satunya adalah destroyed lung. Indikasi lainnya yaitu adanya infeksi mikosis atau hemoptisis berat yang mengancam nyawa. Untuk destroyed lung, pneumonectomy terbukti menjadi manajemen yang paling tepat dan efektif. Walau demikian, pneumektomi merupakan suatu tindakan mayor dan memiliki beberapa komplikasi, bahkan sampai kematian. Sehingga persiapan sebelum operasi harus diperhatikan dengan baik,. Perbaikan status nutrisi dan tatalaksana keadaan infeksi sebelumnya mutlak diperlukan. Pada anak-anak yang menjalani pneumonectomy, ukuran paru yang tersisa akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi. Pada pasien termuda (usia 3-14 tahun), Peters dkk, mengamati bahwa sedikit herniasi paru mengakibatkan rendahnya volume residu udara dan kapasitas vital yang sangat baik serta kapasitas pernapasan maksimal. Dalam studi lain, didapatkan pada pasien post-pneumektomi, pada follow up jangka panjang, dapat melakukan kegiatan rutin tanpa kesulitan. Hasil tes fungsi pernafasan, disesuaikan dengan volume fungsional paru-paru yang tersisa itu, mendapatkan hasil yang baik. Derajat ringan disfungsi pernapasan restriktif ditemukan pada sebagian besar kasus. Pasien yang menjalani pneumonectomy pada usia muda memiliki kapasitas vital yang lebih baik daripada mereka yang menjalani prosedur yang sama pada usia yang lebih tua. Hal ini diyakini bahwa paru-paru yang tersisa lebih mampu untuk berekspansi pada pasien yang lebih muda. Temuan ini didukung oleh sejumlah studi yang telah mencatat pertumbuhan kompensasi dengan hiperplasia pada anak muda, sementara hipertrofi dan dilatasi pada anak-anak yang lebih tua. Pada pasien ini, ditemukan adanya riwayat pengobatan TB yang terputus serta kontrol penyakit yang tidak baik. Keadaan ini diperburuk dengan status nutrisi yang terkesan malnutrisi berat dan adanya infeksi penyerta. Pada saat datang, keadaan umum pasien sangat buruk, adanya sesak, otot-otot bantu nafas serta gambaran laboratorium yang buruk menandakan telah terjadi respiratory distress. pasien didiagnosis dengan destroyed lung berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi. Pasien ini selanjutnya dilakukan perawatan, baik untuk memperbaiki status nutrisi, penanganan terhadap infeksi penyerta serta bantuan suportif selama kedua permasalan tersebut teratasi. Setelah perbaikan keadaan umum tercapai, dilakukan tindakan pneumektomi pada pasien ini, dan dilakukan
perawatan di ruang intensif setelah tindakan. Selama perawatan, tidak ditemukan komplikasi pada pasien dan terkesan kompensasi dari paru yang tersisa cukup baik. Pasien tetap dirawat untuk perbaikan status gizi dan terapi TB dilanjutkan. Namun, follow jangka panjang tidak dapat dilakukan pada pasien ini oleh karena pasien meniggal 3 minggu setelah perawatan oleh karena aspirasi makanan.
KESIMPULAN Pengobatan yang tidak tuntas dan tidak memadai untuk TB, serta terputusnya follow up, mendasari berkembangnya destroyed lung. Destroyed lung tergambar dari paru yang benar-benar kehilangan fungsi. Ketika destroyed lung sudah berkembang, maka reseksi harus dilakukan untuk mencegah komplikasi, meskipun pada beberapa pasien tidak terlihat gejala yang signifikan. Pasien harus dipersiapkan dengan baik selama periode pra operasi dalam hal status gizi dan proses infeksi untuk meminimalkan komplikasi pasca operasi. Anak-anak dengan mudah dapat mentoleransi pneumonectomy dengan baik. Pada akhirnya, paru yang tersisa akan berkembang untuk mengkompensasi hilangnya paru yang diagkat. Anak-anak memperoleh toleransi latihan yang baik dan volume paru-paru yang lebih tinggi sebagai hasil dari pertumbuhan paru dan status gizi yang lebih baik dalam jangka panjang. Mereka yang menjalani pneumonectomy dan memiliki paru-paru yang tersisa sehat cenderung memiliki keluarga biasa, sosial, dan kehidupan kerja. Dalam jangka pendek, pasien tidak harus memiliki deformasi tulang besar.
Daftar pustaka 1.
Kosar A, Orki A, Kiral H, Demirhan R, Arman B. Pneumonectomy in Children for Destroyed Lung: Evaluation of 18 Cases. Ann Thorac Surg. 2009 Oct 6; 89:226-231
2.
Eren S, Eren MN, Balcı AE. Pneumonectomy in children for destroyed lung and the long-term
consequences. J Thorac Cardiovasc Surg. 2002 Dec 10; 126:574-81 3.
Bai L, Hong Z, Gong C, Yan D, Liang Z. Surgical treatment efficacy in 172 cases of tuberculosisdestroyed lungs. Eur J Cardiothorac Surg. 2011 may 2; 41:335 –340
4.
Rajasekaran S, Vallinayagi V, Jeyaganesh D. Unilateral Lung Destruction : a Computed Tomographic Evaluation. Ind. J. Tub., 1999 Dec 30; 46:183
5.
Swaminathan S, Rekha B. Pediatric Tuberculosis: Global Overview and Challenges. Clinical Infectious Diseases. 2010; 50(S3):184 –S194
6.
Shah A, Agarwal AK. Diagnostic Problems in Chilhood Tuberculosis. Ind. J. Tub., 1997 ; 44: 47