HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN BAHASA 1. Pendahuluan
Di dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) filsafat didefinisikan sebagai: 1. pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi tentang hakikat segala yang ada, sebab asal, dan hukumnya; 2. teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3. ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemologi; 4. falsafah. Merunut kepada etimologinya kata filsafat berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani, yaitu ’mencinta ntai’ i’ dan sophia ’kebij ’kebijaks aksana anaan; an; penget pengetahu ahuan’ an’.. Dari defini definisi si yang yang philein ’menci tercantum di dalam KBBI dan asal kata filsafat memberikan implikasi bahwa filsafat memiliki hubungan yang erat dengan ilmu pengetahuan. Hubung Hubungan an keduan keduanya ya tampak tampak pada pada fungsi fungsi filsaf filsafat. at. Filsaf Filsafat at memili memiliki ki fungsi fungsi analitis, yaitu berupaya menjelaskan dan mengkaji metode, hukum, prosedur, kaidahkaidah teoritis, termasuk penelitian, dan fungsi sintesis (atau spekulatif), yang berupaya membuat membuat dugaan-dug dugaan-dugaan aan yang rasional, rasional, dengan dengan melampaui melampaui batas-batas batas-batas fakta-fakta fakta-fakta ilmiah, untuk menyatukan semua pengalaman manusia ke dalam suatu keseluruhan yang komprehensif dan bermakna sehingga akhirnya memunculkan filsafat ilmu. Filsaf Filsafat at tidak tidak dapat dapat berkem berkemban bang g subur subur tanpa tanpa ilmu ilmu dan ilmu pun tidak akan akan tumbuh kokoh tanpa kritik dari filsafat. Banyak persoalan filsafat memerlukan landasan ilmiah supaya pembahasannya tidak dangkal dan keliru. Sebaliknya, ketergantungan ilmu ilmu kepa kepada da fils filsafa afatt tamp tampak ak keti ketika ka ilmu ilmu meny menyus usun un kera kerang ngka ka kons konsep epsi sion onal al dan dan metodologis. Ilmu menyediakan khasanah bahasan faktual dan deskriptif yang amat berguna bagi pengembangan gagasan filsafat (Sumarsono, 2004, 15). Bagaimana kaitan filsafat ilmu dengan bahasa? Bahasa dijadikan sebagai sarana bagi filsafat ilmu untuk alat komunikasi verbal yang dipakai dalam seluruh proses berpikir ilmiah dan alat berpikir dan komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kepada orang lain. Di samping itu, bahasa sendiri dapat menjadi objek kajian filsafat ilmu ilmu,, yang yang kemu kemudi dian an memu memunc ncul ulka kan n filsa filsafa fatt baha bahasa sa.. Dari Dari urai uraian an di atas atas dapa dapatt disimpulkan bahwa terdapat kaitan antara filsafat dengan ilmu pengetahuan sehingga mengha menghasil silkan kan filsaf filsafat at ilmu ilmu penget pengetahu ahuan an serta serta kaitan kaitan filsaf filsafat at ilmu ilmu dengan dengan bahasa bahasa sehingga menghasilkan filsafat bahasa. Dalam tulisan ini dibahas filsafat ilmu secara sekilas kemudian dikaitkan dengan bahasa dan diakhiri dengan bahasan ringkas filsafat bahasa.
2. Sekilas Tentang Filsafat Ilmu dan Hubungannya Dengan Bahasa 2.1 Definisi Filsafat Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan adalah keseluruhan bentuk upaya kemanusiaan seperti perasaan pikiran, pengalaman, panca indra dan intuisi untuk mengetahui sesuatu. Berdasarkan jenisnya pengetahuan dibagi menjadi dua, yaitu knowledge artinya mengetahui tanpa memperhatikan objek, cara dan kegunaannya dan science artinya mengetahui dengan memperhatikan objek, cara dan kegunaannya. Melihat pada cakupannya pengetahuan dapat dikatakan sebagai keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tetang dunia dan segala isinya, termasuk manusia dan kehidupannya. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dikarakteristikkan sebangia pengetahuan yang telah dibakukan secara sistematik, sistematik dan reflektif, dan pengetahuan tersebut dapat dipertanggung jawabkan. Dari karakteristik ilmu pengetahuan melahirkan syarat-syarat ilmu pengetahuan sebagai berikut: berobjek baik material atau pun formal, bermetode sebagai cara atau sistem pendekatan, bersistem sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat, bersifat universal sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh, tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat, dan bersifat universal sebagai kebenaran yang bersifat menyeluruh dan berlaku di semua tempat mencakupi ruang dan waktu (disarikan dari bahan kuliah filsafat ilmu pengetahuan, Lasiyo, 2009). Bagaimana kaitannya ilmu pengetahuan dengan filsafat? Secara etimologis filsafat berasal dari kata philein (cinta) dan sophia (kebijaksanaan). Bijaksana diartikan sebagai dorongan atau kehendak yang mengarah kepada kebaikan, akal budi digunakan untuk kebenaran, dan adanya penyelarasan segala tindakan, ucapan, dan pikiran selaras dengan rasa mengarah pada keindahan. Dari segi fungsi dan kedudukannya, filsafat digunakan sebagai ilmu pengetahuan dan pandangan hidup. Kedudukan filsafat sebagai ilmu karena filsafat mempelajari tentang kenyataan yang paling umun dan kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti : logika, etika, estetika dan teori pengetahuan. Dari uraian tentang ilmu pengetahuan dan filsafat maka dapat ditarik sebuah definisi filsafat ilmu pengetahuan. Filsafat ilmu pengetahuan adalah
•
Segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi kehidupan manusia. •
Cabang filsafat untuk memahami hakikat ilmu pengetahuan dan menjembatani
ilmu yang satu dengan yang lainnya. •
Objek materialnya adalah ilmu pengetahuan. Beberapa ahli filsafat memberikan definisi tentang filsafat ilmu pengetahuan
(Liang Gie, ), di antaranya: A. Robert Ackermann
Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam kerangka ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat pendapat demikian itu. B. Lewis White Beck
Filsafat ilmu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. C. A. Cornelius Benyamin
Cabang pengetahuan filsafat yang merupakan telaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu,
khususnya
metode-metodenya,
konsep-konsepnya
dan
praanggapan-
praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan iltelektual. D. Michel V. Berry.
Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah, dan hubungan-hubungan antara percobaan danteori, yakni tentang metode ilmiah. E. May Brodbeck
Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu. F. Stephen R. Toulmin
Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsurunsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah-prosedur-prosedur pengamanan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, peraanggapan peranggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi
kesahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodeologi praktis, dan metafisika. 2.2 Bagaimana Cara Memperoleh Pengetahuan (Epistemologi)
Epistemologi berasal dari kata: episteme dan logos,
episteme berarti
pengetahuan dan logos berarti kata, pikiran, percakapan, atau ilmu. Epistemologi sering diartikan sebagai Theory of Knowledge atau Teori Pengetahuan. Berdasarkan kedudukannya dalam filsafat maka epistemologi
merupakan cabang filsafat yang
membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan (Surajiyo, 2005). Menurut John Hospers dalam bukunya An Introduction to Philosophical
Analysis mengemukakan enam alat untuk memperoleh pengetahuan, yaitu: 1. Pengalaman indra ( sense experience) 2. Nalar (reason ) 3. Otoritas (authority ) 4. Intuisi (intuition ) 5. Wahyu ( revelation ) 6. Keyakinan ( faith ) 2.3 Bahasa Sebagai Sarana untuk Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Sarana atau alat yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan meliputi bahasa, logika, matematika, dan statistika. Bahasa dipakai sebagai alat komunikasi verbal yang dipakai untuk berpikir ilmiah serta menyampaikan hasil berpikir tersebut kepada orang lain. Dengan demikian, hubungan bahasa dengan ilmu pengetahuan dapat diwujudkan lewat komunikasi ilmiah. Tujuan dari komunikasi ilmiah adalah memberi informasi pengetahuan dan sifatnya reproduktif. Oleh karena itu, dalam komunikasi ilmiah bahasa yang digunakan harus jelas dan menggunakan batasan atau pengertian tertentu sehingga mencerminkan jalan pikir atau hasil pemikiran yang jelas. 2.4 Bahasa Sebagai Objek Kajian Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Dari uraian di atas jelaslah bahwa bahasa merupakan sarana yang digunakan dalam memperoleh ilmu pengetahuan dan mengkomunikasikan ilmu pengetahuan. Selain itu, bahasa juga merupakan salah satu objek kajian dalam ilmu pengetahuan ilmiah, yaitu ilmu linguistik. Berikut bagan penggolongan ilmu:
Penggolongan Ilmu Pengetahuan
A. Ilmu Teoritis B. Ilmu Praktis
1. RagamIlmu
Pembagian Sistematis Pengetahuan Ilmiah
I. 2. Jenis Ilmu
Ilmu matematika Ilmu fisika Ilmu biologis Ilmu psikologis Ilmu sosial sosial Ilmu linguistik Ilmu interdisipliner
Dari bagan di atas terlihat bahwa ilmu linguistik merupakan salah satu jenis ilmu yang merupakan bagian dari pengetahuan ilmiah. Bahasa juga merupakan salah satu sarana dan objek kajian dalam filsafat. Sebagai objek kajian dalam filsafat melahirkan filsafat bahasa. Hubungan bahasa dengan filsafat menimbulkan pertanyaan: Bagaimana hubungan bahasa dengan filsafat dan bagaimana kontribusi filsafat terhadap pengembangan ilmu linguistik? 3. Hubungan Bahasa dengan Filsafat 3.1 Kontribusi Filsafat dalam Pengembangan Linguistik
Kebanyakan pakar dalam mengupas hubungan ilmu bahasa dan filsafat selalu menempatkan filsafat kedalam posisi yang prestisius. Hal ini tidaklah aneh mengingat filsafat adalah roh dari semua ilmu termasuk ilmu bahasa. Kajian bahasa pertama kalipun justru dilakukan oleh filosof dan bukan oleh ahli bahasa. Pada jaman dulu, para filosof memecahkan berbagai macam problem filsafat melalui pendekatan analisis bahasa. Sebagai contoh problem filsafat yang menyangkut pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan mendasar seperti yang ada, realitas, eksistensi, sensi substansi, materi, bentuk kausalitas, makna pernyataan dan verifikasinya (Katsoff, 1989:48-63) dan pertanyaan-peranyaan fundamental lainnya dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis data bahasa. Tradisi ini oleh para ahli sejarah filsafat disebut sebagai Filsafat Analitik, yang berkembang di Eropa terutama di Inggris abad XX. Semua ahli filsafat sepakat bahwa ada hubungan yang sangat erat antara filsafat dan bahasa terutama yang berhubungan dengan peran pokok filsafat sebagai analisator konsep-konsep. Konsep-konsep yang dianalisa filsafat memiliki raga kuat karena berbentuk istilah-istilah bahasa dan karenanya, tidak bisa tidak, filosof harus memahami makna “apa itu bahasa” yang selalu digunakan dalam memahami konsep-konsep tersebut. Sejak zaman Yunani kuno, sudah muncul paham Phusis yang menyatakan bahwa bahasa bersifat alamiah (fisei atau fisis), yaitu bahasa mempunyai hubungan dengan asal-usul, sumber dalam prinsip-prinsip abadi dan tidak dapat diganti di luar manusia itu sendiri dan karena itu tidak dapat ditolak. Dengan demikian dalam bahasa ada keterkaitan antara kata dan alam. Tokoh paham natural ini diantaranya Cratylus dalam Dialog Pluto (Solikhan, 2008:55) Paham naturalis ini mendapat penentangan dari paham Thesis yang berpendapat bahwa bahasa bersifat konvensi (nomos). Bahasa diperoleh dari hasil-hasil tradisi, kebiasaan berupa tacit agreement (persetujuan diam). Bahasa bukan pemberian Tuhan, melainkan bersifat konvensional. Pendapat ini diwakili oleh Hermoganes dalam Dialog Pluto (Kaelan, 1998:29) Dikotomi spekulatif tentang hakikat bahasa fusie dan nomos merupakan pusat perhatian filosof pada saat itu. Demikian juga dikotomi analogi dan anomali merupakan diskursus filosofis yang mendasar mengingat bahasa merupakan sarana utama dalam filsafat terutama dalam logika. Golongan analogi yang dianut kelompok Plato dan
Aristoteles mengatakan bahwa alam ini memiliki keteraturan demikian juga manusia yang terefleksi dalam bahasa. Oleh karena itu bahasa memiliki keteraturan dan disusun secara teratur. Sebaliknya, kaum Anomalis berpendapat bahwa bahasa tidak memiliki keteraturan. Mereka mununjukkan bukti kenyataan sehari-hari mengapa ada kata yang bersifat sinonim, dan homonim, mengapa ada unsur kata yang bersifat netral, dan jika bahasa itu bersifat universal seharusnya kekacauan itu dapat diperbaiki. Dalam pengertian inilah bahasa pada hakekatnya bersifat alamiah (Parera dalam Solikhan, 2008: 55). Perbedaan-perbedaan perspektif tentang bahasa dan segala hal yang berkaitan namun tetap berada dalam payung bahasa, yang dilakukan oleh para filosof ternyata memiliki kontribusi yang demikian besar terhadap kemajuan dari ilmu bahasa. Perbedaan-perbedaan ini memunculkan adanya diskusi, dialog, bahkan debat. Diskusi, dialog, dan dan debat inilah yang menyuntikkan darah segar pada para filosof untuk selalu melahirkan inovasi-inovasi dan revisi-revisi terhadap teori lama yang berkenaan dengan bahasa. Dimulai dengan dimunculkannya filsafat bahasa oleh para filosof yaitu pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat bahasa, sebab, asal dan hukumnya (yang kemudian menjadi embrio dari lahirnya ilmu bahasa atau linguistik) (Sallyanti, 2004:1), maka lahirlah ilmu bahasa atau linguistik yang kita kenal dewasa ini. 3.2 Esensi Bahasa
Orang Yunani kuno dan orang kuno lainnya mempunya bakat ingin mengetahui hal-hal yang oleh orang-orang lain dianggap sebagaimana semestinya. Dengan berani dan gigih, mereka membuat spekulasi mengenai definisi, asal mula, sejarah, dan struktur bahasa. Pengetahuan tradisional kita mengenai bahasa sebagian besar adalah berkat mereka (Bloomfield, 1995:2). Keingin tahuan ini terlihat dari apa yang disampaikan Herodotus, yang menulis pada abad kelima sebelum Masehi, ia menuliskan bahwa Raja Psammetichus di Mesir pernah mengasingkan dua orang bayi yang baru lahir di sebuah taman, untuk mengetahui mana bangsa dan bahasa tertua di dunia. Ketika bayi-bayi tersebut mulai berbicara, mereka mengucapkan kata bekos, yang ternyata dari bahasa Frigia yang berarti “roti” (Yule, 1985: 2).
Penelitian seperti yang dilakukan Raja Psammetichus ini melahirkan beberapa pengetahuan baru tentang bahasa, yang kadang dari pengetahuan ini memunculkan adanya perdebatan. Bagi Raja Psammetichus, berdasarkan hasil penelitiannya ia menjumpai bahwa ternyata bangsa dan bahasa tertua adalah bangsa dan bahasa Frigia. Namun, bagi peneliti-peneliti kuno lainnya belum tentu demikian. Raja James IV dari Scolandia pada 1500 M berdasarkan hasil penelitiannya yang serupa menyebutkan bahwa bahasa Ibranilah sebagai bahasa tertua di dunia. (Yule, 1985: 2) Raja Psammetichus dan dan Raja James IV tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat karena hal itu tidaklah mungkin. Kedua raja tersebut hidup di dua era berbeda dan di wilayah yang berbeda pula. Psammetichus tinggal di Yunani dan hidup sebelum masehi sedangkan James IV tinggal di Britania Raya jauh setelah Masehi. Yang membuat mereka sama adalah, dua tokoh ini dikenal memiliki ketertarikan kuat terhadap misteri bahasa. Ketertarikan ini muncul akibat dari kuatnya pengaruh filsafat yang menjadi pegangan hidup mereka. Beberapa definisi bahasa tercipta dari hasil pemikiran dan penelitian para filosof kuno ini. Sebagian besar filosof tersebut sependapat bahwa bahasa adalah sistem tanda. Dikatakan bahwa manusia hidup dalam tanda-tanda yang mencakup segala segi kehidupan manusia, misalnya bangunan, kedokteran, kesehatan, geografi, dan sebagainya. Definisi bahasa yang lain seperti yang diungkapkan Plato lewat Socrates: “Bahasa adalah pernyataan pikiran seseorang dengan perantaraan onomata dan rhemata yang merupakan cerminan dari ide seseorang dalam arus udara lewat mulut” (Kaelan, ...). 3.3 Hakikat Bahasa
Dalam dialog Cratylusnya, Plato membicarakan asal mula kata, dan khususnya soal apakah hubungan kata-kata dengan benda yang dirujuknya adalah alami ataukah hanya merupakan hasil kesepakatan saja. Dialog itu menjadi bahan perselisihan yang telah berlangsung satu abad antara kaum Analogis dan Anomalis (Bloomfield, 1995:2). Bagaimanapun sengitnya perdebatan antara dua kubu tersebut, pemikiran pemikiran yang muncul tentang bahasa menyadarkan para filosof bahwa bentuk-bentuk bahasa berubah dalam perjalanan waktu. Secara perlahan tapi pasti, mereka akhirnya menemukan hakikat sejati dari bahasa yang terefleksikan lewat wujud-wujud dan
perubahannya. Di bawah ini adalah beberapa hakikat bahasa yang telah ditemukan oleh para filosof. (a) Bahasa Sebagai Sistem
Hakikat ini sebenarnya telah diyakini oleh pengikut paham anomalis namun hakikat ini menjadi jelas setelah kaum Sofis pada abad ke-5 merumuskan kesistematisan bahasa secara empirik. Salah satu tokoh dari kaum Sofis adalah Pitagoras. Ia membedakan tipe-tipe kalimat atas: narasi, pertanyaan, jawaban, perintah, laporan, doa, dan undangan (Parera, 1991:36-37). Plato juga menegaskan kesistematisan bahasa dengan memberikan perbedaan kata dalam Onoma dan Rhema. Onoma dapat berarti nama atau nomina, dan subyek. Rhema dapat berarti frasa, verba, dan predikat. Onoma dan Rhema merupakan anggota dari logos yang berarti kalimat atau frasa atau klausa (Parera, 1991:37). Ide bahwa bahasa memiliki sistem juga didukung oleh Aristoteles. Sejalan dengan pendahulunya Plato, ia tetap membedakan dua kelas yakni Onoma dan Rhema, tetapi ia menambahkan satu lagi yang disebut Syndesmoi. Syndesmoi ini kemudian digolongkan ke dalam “penghubung partikel”. Kata-kata lebih banyak bertugas dalam hubngan sintaksis. Aristoteles selalu bertolak dari logika. Ia memberikan pengertian, definisi, dan makna dari sudut pandang logika. Selain membedakan Onoma, Rhema, dan Syndesmoi, Aristoteles juga membedakan jenis kelamin kata (Gender). Ia membedakan tiga jenis kelamin kata atas maskulin, feminin dan neuter atau netral. Ia juga mengakui bahwa rhema menunjukkan pula pada tense atau waktu, yaitu Rhema dapat menunjukkan apakah pekerjaan telah selesai, belum selesai dan sebagainya (Parera, 1991:37). Keyakinan bahwa bahasa merupakan sebuah sistem diyakini kebenaranya hingga sekarang terutama oleh para ahli linguistik. Banyak aliran-aliran yang pada intinya menganalisa sistem-sistem dalam bahasa bermunculan dan memperkaya keragaman linguistik. (b) Bahasa Sebagai Lambang
Eaerns Cassirer, seorang sarjana dan seorang filosof mengatakan bahwa manusia adalah mahluk bersimbol (animal symbolicum). Hampir tidak ada kegiatan yang tidak terlepas dari simbol atau lambang. Termasuk alat komunikasi verbal yang disebut bahasa. Satuan-satuan bahasa misalnya kata adalah simbol atau lambang (Chaer,
2007:39). Kalau ide atau konsep untuk menyatakan kematian adalah bendera hitam (dalam bentuk tanda), dan ide atau konsep ketuhanan dilambangkan dengan gambar bintang (dalam bentuk gambar), maka lambang-lambang bahasa diwujudkan dalam bentuk bunyi, yang berupa satuan-satuan bahasa, seperti kata atau gabungan kata yang sifatnya arbriter. Dalam bahasa Indonesia, binatang berkaki empat yang bisa dikendarai dilambangkan dengan bunyi kuda, dalam bahasa Inggris berupa bunyi yang ditulis
horse dan dalam bahasa Belanda berupa bunyi yang ditulis paard . (c) Bahasa Adalah Bunyi
Hakikat bahasa sebagai bunyi di kupas dengan seksama oleh Kaum Stoik. Kaum Stoik merupakan kelompok filosof atau logikus yang berkembang pada permulaan abad ke-4 SM. Kontribusi mereka cukup besar dalam menganalisis bahasa, walaupun mereka belum lepas dari pandangan logika. Kaum ini membicarakan bentuk-bentuk bermakna bahasa dengan cara membedakan tiga aspek utama dari bahasa yaitu (1) tanda atau simbol yang disebut semainon, dan ini adalah bunyi atau materi bahasa (2) makna, atau apa yang disebut lekton dan (3) hal-hal eksternal yang disebut benda atau situasi itu atau apa yang disebut sebagai pragma (Parera, 1991:38). Kaum ini memiliki ketertarikan yang sangat tinggi pada bunyi atau phone, dan mereka membedakan antara legein, yaitu tutur bunyi yang mungkin merupakan bagian dari fonologi sebuah bahasa namun tidak bermakna, dan propheretai atau ucapan bunyi bahasa yang memiliki makna. (d) Bahasa itu Bermakna
Penelitian sitematis tentang konsep ”bahasa itu bermakna” juga dilakukan oleh Kaum Stoik. Dalam bidang lekta, atau makna, mereka mempunyai pandangan yang berbeda dengan analisis logika Aristoteles yang kurang sistematis dan sering absurd maknanya. Aristoteles hanya mengakui adanya onoma dan onomata. Semua perubahan dari onoma sesuai dengan fungsinya tidak ia akui. Ia sebut itu kasus saja. Hal ini disebabkan oleh karena dasar logika Aristoteles dengan silogismenya yang hanya menggunakan kode huruf A, B, dan C dan tidak mempergunakan bentuk-bentuk onoma secara praktis dalam contoh. Kaum Stoik mengatakan bahwa kasus itupun Onoma yang sesuai dengan fungsinya. Lalu mereka membedakan atas kasus nominatif – genetif – datif – akusatif
dan sebagainya. Hal yang sama juga berlaku bagi Rhema. Walaupun Aristoteles telah membedakan rhema dalam tense, ia tetap berbicara tentang sesuatu yang tidak komplit. Kaum Stoik dalam hal ini membedakan rhema dan kategorrhema, yang dalam pengertian kita sekarang memiliki makna finit dan infinit. (Parera, 1991:38). (e) Bahasa Bersifat Universal
Kaum Modiste adalah filosof jaman pertengahan yang menaruh perhatian besar pada tata bahasa. Mereka disebut demikian karena ucapan mereka yang terkenal dengan nama De modis Sicnficandi. (Parera, 1991:46). Merekapun mengulang pertentangan lama antara Fisis dan Nomos, antara Analogi dan Anomali. Mereka menerima konsep Analogi karena menurut mereka bahasa bersifat reguler dan universal (Parera, 1991:46). Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri yang sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Karena bahasa itu berupa ujaran, maka ciriciri universal dari bahasa yang paling umum dijumpai adalah bahwa bahasa-bahasa di dunia mempunyai bunyi bahasa yang umum yang terdiri dari konsonan dan vokal. Bahwa sebuah kalimat pada bahasa-bahasa di dunia tersusun dari kata-kata yang memiliki fungsi dan peran tertentu. Kesamaan sifat dan ciri inilah yang kemudian dikenal sebagai universalitas bahasa. 3.4 Peranan Filsafat dalam Mengembangkan Ilmu Bahasa
Umur kajian tentang bahasa itu sudah tua. Dimulai sejak zaman Yunani kuno hingga jaman modern. Setiap periode perkembangan kajian bahasa, filsafat berperan secara signifikan. Pada awalnya, filosoflah yang mengkaji bahasa dan memberikan definisi, kategori, membedakan jenis, bentuk dan sifat, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Setelah linguistik mampu berdiri sendiri menjadi satu bidang ilmu yang kukuh, peranan filsafat masih tetap mengakar kuat. Meskipun bukan lagi filosof yang mengkaji bahasa karena telah diambil alih oleh linguis, namun dimensi-dimensi filsafat masih tetap melekat kuat di dalamnya. Hal ini disebabkan oleh masih tetap diyakininya filsafat bahasa sebagai roh dari ilmu bahasa dalam menemukan teori-teori kebahasaan baru oleh para linguis.
Daftar Pustaka Sumarsono, 2004, 15 (Liang Gie, ), Surajiyo, 2005 John Hospers An Introduction to Philosophical Analysis Katsoff, 1989:48-63 Solikhan, 2008:55 Kaelan, 1998:29 Sallyanti, 2004:1 Bloomfield, 1995:2 Yule, 1985: 2 Parera, 1991:36-37 Chaer, 2007:39
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER
HUBUNGAN FILSAFAT ILMU DENGAN BAHASA
RIANI NIM 10/305589/PSA/02184
PROGRAM STUDI LINGUISTIK FAKULTAS ILMU BUDAYA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010