CONTOH KASUS MALPRAKTIK DALAM DUNIA KEDOKTERAN YANG TERJADI DI INDONESIA A. PENDAHULUAN
Sebagai calon bidan yang ahli dan professional dalam melayani klien, sudah menjadi suatu kewajiban kita untuk mengetahui lebih dahulu apa saja wewenang yang boleh kita lakukan dan wewenang yang seharusnya ditangani oleh seorang dokter SpOG sehingga kita harus meninjau agar tindakan kita tidak menyalahi PERMENKES yang berlaku. Akhir-akhir ini sering kita menemukan menemukan dalam pemberitaan media massa adanya peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis bidan yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada bidan, dokter dan tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis. Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang bidan/dokter. Perlu diketahui dengan sangat, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum tentang standar profesi kebidanan yang bisa mengatur kesalahan profesi. Melihat fenomena di atas, maka kami melalui makalah ini akan membahas tentang salah satu kasus malpraktik di Indonesia. B. PEMBAHASAN 1. Pengertian Malpraktek Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau bidan untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956). Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi kesehatan. Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. 2. Jenis-Jenis Malpraktek
1.
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice. Criminal malpractice Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : a. Perbuatan tersebut tersebut merupakan perbuatan perbuatan tercela. b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah yang berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan. • Criminal malpractice yang bersifat sengaja misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). • Criminal malpractice yang bersifat ceroboh misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
2.
3.
• Criminal malpractice yang bersifat lalai misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan. Civil malpractice Seorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepaka ti (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain: a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan. b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya. c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna. d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. liability. Dengan prinsip prinsip ini maka rumah rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya. Administrative malpractice Tenaga bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi. C. KASUS
Radar Malang, Kamis 10 Agustus 2006 SUNGSANG, LAHIR KEPALA PUTUS Dunia kedokteran di Malang Raya gempar. Seorang bidan bernama Linda Handayani, warga Jl. Pattimura Gg I Kota Batu, melakukan malpraktik saat menangani proses persalinan. Akibatnya, pasien bernama Nunuk Rahayu (39) tersebut terpaksa melahirkan anak ketiganya dengan hasil mengerikan. Bayi sungsang itu lahir dengan leher putus. Badan bayi keluar duluan sedangkan kepalanya tertinggal di dalam rahim. Kejadian ini membuat suami Nunuk, Wiji Muhaimin (40) kalut bukan kepalang. Bayi yang diidamidamkan selama 9 bulan 10 hari itu ternyata lahir dengan cara yang sangat memprihatinkan. “Saya sedih sekali, tak tega melihat anak saya,” ujar Muhaimin. Terkait kronologi kejadian ini, pria berkumis tebal tersebut menjelaskan, istrinya Selasa sore lalu mengalami kontraksi. Melihat istrinya ada tanda-tanda melahirkan, Muhaimin membawa istrinya ke bidan Linda Handayani, yang tak terlalu jauh dari tempat tinggalnya. Begitu memasuki waktu shalat Magrib, dia pulang untuk shalat. Muhaimin mengaku tidak punya firasat apa-apa sebelum peristiwa tersebut terjadi. Selama ini dia yakin kalau istrinya akan melahirkan normal. “Nggak ada firasat apa-apa. apa -apa. Ya normal-normal normal- normal saja,” katanya. Kemarin, istrinya masih belum bisa diwawancarai. Pasalnya, Nunuk masih terbaring lemah di BKIA. Ia tampaknya masih tidur dengan pulas. Kemungkinan, pulasnya tidur Nunuk tersebut akibat pengaruh obat bius malam harinya. Menurut Muhaimin, dia sangat sedih ketika melihat bayinya tanpa kepala dengan ceceran darah di leher. Dia merasa antara percaya dan tidak melihat kondisi itu. Namun, dia sedikit lega bisa melihat anaknya ketika badan dan kepalanya disatukan. Menurut dia, bayi itu sangat mungil dan cantik, kulitnya masih merah, dan rambutnya ikal. “Saya ciumi dan usap wajahnya, sambil menangis,” kata Muhaimin dengan mata berkaca kaca. Meski kejadian ini dirasakan sangat berat, Muhaimin akhirnya bisa juga menerima dan menganggap ini
takdir Tuhan. Tetapi untuk kasus hukumnya, dia tetap menyerahkan ke yang berwenang. Dia berharap kasus ini bisa ditindaklanjuti dengan seadil-adilnya. Dari penuturan beberapa warga sekitar, sebenarnya bidan Handayani adalah sosok bidan yang berpengalaman dan senior. Dia sudah praktik puluhan tahun. Dengan demikian, masyarakat juga merasa kaget mendengar kabar mengerikan itu datang dari bidan Handayani. Kabar ini juga menyentak kalangan DPRD kota Batu. Menurut ketua Fraksi Gabungan Sugeng Minto Basuki, bidan Handayani memang sangat terkenal di Batu. Kata dia, umurnya sudah 60 tahun lebih. Namun, atas kasus ini dia meminta dinas kesehatan melakukan recovery lagi terhadap para bidan yang ada di Batu. Dengan demikian kasus mengerikan semacam ini tidak akan terulang lagi. “Saya juga meminta polisi segera mengusut kasus ini. Kalau perlu izin praktiknya dicabut,” katanya. ( www.opensubscriber.com www.opensubscriber.com))
D. ANALISA KASUS Faktor yang sangat berpengaruh saat kita mau melahirkan adalah faktor kepercayaan dan kenyamanan pada siapa dan dimana kita akan melahirkan. melahirkan. Artinya pada seorang bidanpun bidanpun kalau memang kondisi ibu dan bayinya tidak bermasalah dan sang ibu merasa percaya dan nyaman insya allah akan baik-baik saja. Hanya yang perlu diperhatikan adalah seorang bidan mempunyai keterbatasan dalam melakukan tindakan, walaupun dia mampu secara ilmu pengetahuan dan pengalamannya. Ada beberapa tindakan yang hanya boleh dilakukan oleh seorang dokter saat menolong persalinan. Jika sang bidan tetap melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan, itu sudah termasuk malpraktek kecuali bidan yang praktek ditempat yang terpencil dan tidak ada dokter atau tempat rujukan sangatlah jauh dari tempat praktek bidan dan persalinan sudah harus segera dilakukan (permenkes pasal14) . Tapi jika memungkinkan maka segera segera lakukan tindakan rujukan karena kadang bidan apalagi yang sudah senior merasa yakin dan bisa melakukan tindakan yang dilarang dan terjadi sesuatu hal, maka itu akan jadi masalah besar. Misalnya seperti kasus bayi sungsang yang kepala putus,penolongnya adalah bidan senior yang berusia 60th dan terkenal dimasyarakat.
E. UPAYA DALAM MENCEGAH KASUS MALPRAKTIK Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya malpraktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni: a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya bukan perjanjian akan berhasil. b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
F. KESIMPULAN Dari data kajian yang telah kita peroleh dapat disimpulkan bahwa seorang bidan harus berhati-hati dalam memberikan pelayanan pada pasiennya. Sehingga pelayanan atau tindakah yang kita berikan tidak merugikan pasien dan berdampak pada kesehatan pasien. Oleh karena itu bidan harus selalu memperhatikan apa yang dibutuhkan pasien sehingga kita mampu memberikan pelayanan yang komprehensif dan berkualitas Bidan harus mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang cukup mendalam agar setiap tindakannya sesuai dengan standar sta ndar profesi dan kewenangannya. Bidan tidak diberikan kewenangan dalam melakukan tindakan menolong persalinan letak Sungsang karena Bidan Linda secara Undang-Undang Kesehatan dan Etika Profesi Profesi tidak mempunyai kewenangan kewenangan untuk memberikan pertolongan persalinan patologis Bidan tidak mempunyai kewenangan dalam Menolong Persalinan Persalinan letak Sungsang karena risiko yang ditimbulkannya ditimbulkannya sangat besar, secara hak pasien pasien telah dirugikan, terutama tentang persyaratan pasien memperoleh pelayanan kesehatan secara aman.
Dalam kasus tertentu pasien tidak memperoleh hak secara utuh dalam memperoleh informasi tentang kondisi kesehatan karena kelalaian/kesalahan diagnosis Bidan Linda sehingga pasien tidak bisa menentukan atau menolak pelayanaan apa yang sebaiknya diperolehnya. Bidan Jika melakukan pertolongan persalinan letak Sungsang akan memperoleh sangsi hukum sesuai Undang-Undang kesehatan yang dilanggar serta sangsi Administratif tentang pelanggaran Kode Etik dan profesi Kebidanan. SUMBER : http://storehousegue.blogspot.com/2012/05/makalah-kajian-kasus-malpraktik-dalam.html
G. SARAN
Jika telah terjadi kesalahan tindakan medis, apakah pasien dan keluarga pasien tidak menuntut, bertanya dan marah dengan tindakan mereka (dokter, bidan dan perawat). Apakah hanya mereka saja yang boleh melakukan hal semaunya untuk pasien, toh pasien bukan kelinci percobaan untuk kesembuhan suatu penyakit. Pasien pun masih memiliki hak untuk bertanya, dan mendapatkan informasi lebih banyak tentang penyakit mereka dan tindakan medis yang dilakukan untuk diri mereka. Toh badan yang akan disembuhkan bukan badan dokter, perawat atau bidan tapi milik pasien dan itu sifatnya pribadi. Ketika itu semua terjadi, kesalahan terjadi karena tindakan medis yang keliru, berulang kali IDI dan IBI terus melindungi anggotanya, kenapa mereka tidak mau mengungkapkan hal sebenarnya. Dimana hati dan tanggung mereka terhadap profesi mereka padahal mereka telah melakukan sumpah profesi, dan ada hukum serta balasan untuk sumpah yang dilanggar. Dimana lagi kepercayaan masyarakat untuk berobat dan menyembuhkan penyakit mereka???? Kini saatnya semua pihak bersatu STOP MALPRAKTIK, jadilah konsumen yang pintar. Terhadap dugaan malpraktik medic, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum, atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan pasal 08 KUHP memasukkkan perkara pidana sekaligus tuntutan ganti rugi secara perdata.
OLEH : ASNELLA NOVITRIA 111000213461006
PRODI D III ADMINISTRASI RUMAH SAKIT FAKULTAS KESEHATAN DAN MIPA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT T.A 2012/2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Tak lupa juga saya mengucapkan terima kasih kepada dosen Mata Kuliah ini yang teah memberikan tugas ini kepada saya sebagai upaya untuk menjadikan manusia yang berilmu dan berpengetahuan. Selanjutnya mengenai Contoh Kasus Malpraktik ini penting untuk diketahui dan dipahami oleh mahasiswa, terutama mahasiswa dengan jurusan Administrasi Rumah Sakit untuk menambah wawasannya. Setiap manusia tak luput dari kesalahan, maka saya memohon maaf atas segala kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini. Kritik dan Saran yang membangun saya harapkan dari pembaca sekalian untuk memperbaikinya.
28 November 2012
Penulis
DAFTAR ISI Kata Pengantar ………………………………………………………………………. Daftar isi ……………………………………………………………………………… BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………... 1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………. 1.3 Tujuan Penulisan ………………………………………………………………... BAB II PEMBAHASAN …………………………………………………………….. 2.1 Pengertian Malpraktik Medik …………………………………………………... 2.2 Aspek hukum Malpraktik Medik ………………………………………………. 2.3 Faktor-faktor yang mendukung terjadinya Malpraktik Medik ………………….. 2.4 Contoh Kasus Malpraktik Medik ………………………………………………. 2.5 Analisa dari Kasus Malpraktik Medik ………………………………………….. BAB III PENUTUP ………………………………………………………..................
i ii 1 1 3 3 4 4 5 5 6 8 10
3.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………
10
3.2 Saran ……………………………………………………………………………..
10
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………..
12
BAB I PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Tindakan malpraktik medik adalah salah satu cabang kesalahan di dalam bidang professional. Tindakan malpraktik medik yang melibatkan para dokter dan tenaga kesehatan lainnya banyak terdapat jenis dan bentuknya, misalnya kesilapan melakukan diagnosa, salah melakukan tindakan perawatan yang sesuai dengan pasien atau gagal melaksanakan perawatan terhadap pasien dengan teliti dan cermat.
Di beberapa negara maju seperti United Kingdom, Australia dan Amerika Serikat, kasus malpraktik medik juga banyak terjadi bahkan setiap tahun jumlahnya meningkat. Misalnya, di negara Amerika Serikat pada tahun 1970-an jumlah kasus malpraktik medik meningkat tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya dan keadaan ini terus meningkat hingga pada tahun 1990-an.
Keadaan di atas tidak jauh berbeda dengan negara Indonesia, dalam beberapa tahun terakhir ini kasus penuntutan terhadap dokter atas dugaan adanya malpraktik medik meningkat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Bahkan disetiap media masa dan elektronik setiap harinya memberitakan tentang kasus malpraktik medik yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya baik di rumah sakit di kota besar maupun rumah sakit tingkat daerah.
Mengamati pemberitaan media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang beberapa bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/ tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain, dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian medis.
Ada berbagai faktor yang melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam bagian tubuh), dan faktorfaktor lainnya.
Lepas dari fenomena tersebut, ada yang mempertanyakan apakah kasus-kasus itu terkategori malpraktik medik ataukah sekedar kelalaian (human error) dari sang dokter? Untuk diketahui, sejauh ini di negara kita belum ada ketentuan hukum ihwal standar profesi kedokteran yang bisa mengatur kesalahan profesi. Dan sebenarnya kasus malpraktek ini bukanlah barang baru. Sejak bertahun-tahun yang lalu, kasus ini cukup akrab di Indonesia.
Menurut Coughlin’s Dictionary Of Law , “malpraktek bisa diakibatkan karena sikap kurang keterampilan atau kehati-hatian didalam pelaksanakan kewajiban professional, tindakan salah yang sengaja atau praktek yang bersifat tidak etis”.
Kasus malpraktik merupakan tindak pidana yang sangat sering terjadi di Indonesia. Malpraktik pada dasarnya adalah tindakan tenaga profesional yang bertentangan dengan SOP, kode etik, dan undang-undang yang berlaku, baik disengaja maupun akibat kelalaian yang mengakibatkan kerugian atau kematian pada orang lain. Biasanya malpraktik dilakukan oleh kebanyakan dokter di karenakan salah diagnosa terhadap pasien yang akhirnya dokter salah memberikan obat.
Sudah banyak contoh kasus yang malpraktik yang terjadi di beberapa rumah sakit, kasus yang paling sering di bicarakan di media-media diantaranya adalah kasus prita mulyasari. Ia mengaku adalah korban malpraktik di rumah sakit Omni internasional. Tidak hanya kasus Prita saja, masih banyak lagi kasus-kasus lain. Pihak rumah sakit berlindung pada nama besarnya. Sesungguhnya Prita hanya berbicara tentang kebenaran dan hak sebagai seseorang yang dirugikan. Dalam pengakuannya Prita pernah berobat di rumah sakit Omni Internasional tersebut. Tapi ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat perlakuan medis yang tidak layak. Ia mengungkapkan
hal ini pada teman-temannya melalui media internet dan tanpa disangka hal ini membuat Prita terlilit kasus pencemaran nama baik. II.
Rumusan Masalah
Pada
hakikatnya
penulis
mengarahkan
langkah-langkah
yang
dijadikan
pokok
permasalahan dalam pembuatan makalah ini agar sasaran yang hendak dicapai dapat terwujud. Pokok permasalahan tersebut yaitu: 1. Apa pengertian dari Malpraktik medik..? 2. Apa aspek Hukum dari Malpraktik medik..? 3. Apa saja faktor-faktor yang mendukung terjadinya Malpraktik medik..? 4. Berikan contoh Kasus Malpraktik medik..? 5. Jelaskan analisa dari Kasus Malpraktik medik..!
III.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah diatas dapat diketahui tujuan dari pembuatan makalah, yaitu: 1. Untuk mengetahui tentang pengertian Malpraktik medik. 2. Untuk mengetahui dan memahami aspek-aspek hukum dari malpraktik medik. 3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung terjadinya malpraktik medik. 4. Untuk mengetahui dan memahami contoh kasus yang berkaitan dengan malpraktik medik. 5. Untuk menganalisis contoh kasus malpraktik tersebut.
BAB II PEMBAHASAN
I.
Pengertian Malpraktik Medik
Istilah Malpraktik digunakan pertama kali oleh Sir William Blackstone pada tahun 1768. Ia menyebutkan dalam tulisannya bahwa: “…that, malapraxis is great misdemeanour and offence at common law, whether it be for curiosity or experiment, or by neglect; because it breaks the trust which the party had placed in his physician, and tends to the patient’s destruction…”
Menurut berbagai sumber, malpraktek merupakan perbuatan yang tidak melakukan profesinya sebagaimana yang diajarkan di dalam profesinya, misalnya seorang dokter, insinyur, pengacara, akuntan, dokter gigi, dokter hewan, dan lain-lain. Oleh karena itu, istilah malpraktek sebenarnya tidak hanya digunakan untuk profesi kedokteran saja tetapi dapat digunakan untuk semua bidang profesi, dan jika digunakan untuk profesi kedokteran seharusnya dipakai istilah malpraktek medik.
Malpraktek dapat terjadi akibat ketidaktahuan, kelalaian, kurangnya ketrampilan, kurangnya ketaatan kepada yang diajarkan dalam profesinya atau melakukan kejahatan untuk mendapatkan keuntungan di dalam melaksanakan kewajiban profesinya, adanya perbuatan salah yang disengaja, maupun praktek gelap atau bertentangan dengan etika.
Dan pada umumnya, timbulnya suatu gugatan adanya dugaan malpraktik medik adalah karena terjadinya suatu peristiwa yang bersifat negatif. Dengan kata lain, terjadi suatu peristiwa di
mana setelah dilakukannya suatu tindakan medik, ternyata keadaan pasien menjadi bertambah buruk, menderita kesakitan yang lebih hebat, menjadi lumpuh, koma, bahkan meninggal.
II.
Aspek Hukum Malpraktik Medik
Berdasarkan jenisnya, tindakan malpraktik medik terbagi ke dalam dua bentuk pertanggungjawaban. Pertama, pertanggungjawaban profesi kedokteran, yaitu pelanggaran etika kedokteran dan pelanggaran disiplin kedokteran. Kedua, pertanggungjawaban hukum (malpraktik yuridis), yang terbagi juga menjadi tiga yaitu malpraktik pidana (criminal malpractice), malpraktik perdata ( sivil malpractice) dan malpraktik administratif (administrative malpractice).
Masing-masing kriteria pertanggungjawaban hukum dan profesi kedokteran tersebut di atas mempunyai jalur penyelesaian yang berbeda, dasar hukum yang berbeda dan ditangani oleh lembaga peradilan yang berbeda pula.
III.
Faktor-faktor yang mendukung terjadinya malpraktik medik
Ada 3 hal yang dapat menyebabkan seorang tenaga kesehatan melakukan tindakan malpraktik medik, yaitu apabila tidak melakukan tindakan medisi sesuai dengan :
1. Standar Profesi Kedokteran Dalam profesi kedokteran, ada tiga hal yang harus ada dalam standar profesinya, yaitu kewenangan, kemampuan rata-rata dan ketelitian umum.
2. Standar Prosedur Operasional (SOP) SOP adalah suatu perangkat instruksi/ langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu.
3. Informed Consent
Substansi informed consent adalah memberikan informasi tentang metode dan jenis rawatan yang dilakukan terhadap pasien, termasuk peluang kesembuhan dan resiko yang akan dialami oleh pasien.
IV.
Contoh kasus malpraktik medik
Kasus I : “Prosedur Invasive Jantung Terbuka…Tapi Salah Pasien”
Invasif jantung adalah salah satu metode operasi yang minimal mengurangi komplikasi setelah operasi dan selain itu, metode tersebut dapat menekan hambatan psikologis pasien dan dalam operasi jantung invasif, dokter hanya membuat sayatan minimal hanya sekitar 5 cm ke bagian samping dari dada sehingga tidak terlalu sakit dan penyembuhannya lebih cepat.
Joan Morris (nama samaran), seorang nenek berusia 67 tahun, diminta bantuannya dalam suatu pembelajaran di rumah sakit untuk cerebral angiography (ilmu mengenai darah pada otak). Sehari setelahnya, secara tidak sengaja dia "terpaksa" dijadikan objek studi mengenai invasive cardiac electrophysiology.
Setelah sesi angiography, pasien ini dipindahkan ke ruangan yang lain yang bukan merupakan ruangan asalnya. Kesalahan yang "direncanakan" terjadi keesokan harinya saat paginya pasien ini dibawa untuk suatu prosedur jantung terbuka. Dia berada di atas meja operasi yang mestinya bukan untuk dia selama satu jam. Para dokter membuat irisan pada pangkal pahanya, menusuk sebuah arterinya, menyambungnya ke sebuah pipa pembuluh lalu ke atas ke jantungnya (suatu prosedur yang mengakibatkan resiko tinggi terjadinya pendarahan, infeksi, serangan jantung, dan stroke).
Kemudian tiba-tiba telepon berdering, dan seorang dokter dari bagian lain bertanya "Apa yang kalian lakukan dengan pasienku?" Tidak ada yang salah dengan jantungnya. Kardiologis yang melakukan prosedur itu mencek data wanita itu dan baru menyadari kesalahan fatal telah terjadi. Studi itu langsung distop, setelah rekondisi wanita malang itu akhirnya dikembalikan ke kamar asalnya, beruntungnya, dalam kondisi yang masih stabil.
Kasus II : “Kasus Malpraktek dalam Bidang Orthopedi ”
Seorang pasien menjalani suatu pembedahan di sebuah kamar operasi. Sebagaimana layaknya, sebelum pembedahan dilakukan anastesi terlebih dahulu. Pembiusan dilakukan oleh dokter anastesi, sedangkan operasi dipimpin oleh dokter ahli bedah tulang (orthopedy). Operasi berjalan lancar. Namun, tiba-tiba sang pasien mengalami kesulitan bernafas. Bahkan setelah operasi selesai dilakukan, pasien tetap mengalami gangguan pernapasan hingga tak sadarkan diri. Akibatnya, ia harus dirawat terus menerus di perawatan intensif dengan bantuan mesin pernapasan (ventilator). Tentu kejadian ini sangat mengherankan. Pasalnya, sebelum dilakukan operasi, pasien dalam keadaan baik, kecuali masalah tulangnnya. Akan tetapi, ternyata kedapatan bahwa ada kekeliruan dalam pemasangan gas anastesi (N2O) yang dipasang pada mesin anastesi. Harusnya gas N2O, ternyata yang diberikan gas CO2. Padahal gas CO2 dipakai untuk operasi katarak. Pemberian CO2 pada pasien tentu mengakibatkan tertekannya pusat-pusat pernapasan sehingga proses oksigenasi menjadi sangat terganggu, pasien jadi tidak sadar dan akhirnya meninggal. Ini sebuah fakta penyimpangan sederhana namun berakibat fatal.
V.
Analisa dari kasus malpraktik medik
Kasus I
Permasalahan dalam kasus ini ialah tindakan seorang Dokter yang tidak teliti dan tidak hati-hati dalam melakukan tugasnya yaitu tidak mencek data pasien sebelum melakukan operasi. Tindakan seperti ini bisa menimbulkan akibat yang fatal bagi pasien. Tapi, untung saja dalam kasus di atas ini hal itu belum terjadi dan kondisi pasien masih dalam keadaan stabil.
Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk kelalaian dari petugas kesehatan yang meletakkan pasien di atas meja operasi yang seharusnya bukan untuk si pasien. S ehingga si Dokter pun melakukan operasi pada pasien yang salah. Dan kasus ini termasuk ke dalam kategori kesalahan dalam kasus perdata yang kesalahannya tidak disengaja.
Kasus II
Ada sebuah kegagalan dalam proses penetapan gas anastesi. Dan ternyata, di rumah sakit tersebut tidak ada standar-standar pengamanan pemakaian gas yang dipasang di mesin anastesi. Padahal seharusnya ada standar, siapa yang harus memasang, bagaimana caranya, bagaimana monitoringnnya, dan lain sebagainya. Idealnya dan sudah menjadi keharusan bahwa perlu ada sebuah standar yang tertulis (misalnya warna tabung gas yang berbeda), jelas, dengan formulir yang memuat berbagai prosedur tiap kali harus ditandai dan ditandatangani. Seandainya prosedur ini ada, tentu tidak akan ada, atau kecil kemungkinan terjadi kekeliruan. Dan kalaupun terjadi akan cepat diketahui siapa yang bertanggungjawab. Jadi, contoh kasus malpraktik yang ke-II ini merupakan suatu bentuk kelalaian berat (culpa lata) dari tenaga kerja yang ada di rumah sakit, bukan hanya tenaga medis, tetapi juga tenaga dalam bidang logistik, dalam bidang perencanaan, dan lain-lain yang menimbulkan dampak yang sangat buruk bagi pasien yaitu kematian. Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien. Kelalaian ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya. Dan tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang.
BAB III PENUTUP
I.
Kesimpulan
Contoh kasus malpraktik medik di atas ialah suatu contoh bentuk kelalaian dari seorang Dokter terhadap pasiennya dan adanya sikap kurang hati-hati dalam melakukan tugasnya. Dan kasus I tersebut termasuk ke dalam Kategori Kesalahan dalam kasus perdata yang kesalahannya tidak disengaja. Sedangkan kasus II ini merupakan suatu bentuk kelalaian atau kurangnya ketelitian dari dokter ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian pelayanan kesehatan terhadap pasien. Dan Kelalaian itu juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya.
II.
Saran
Menurut pendapat saya supaya kejadian tersebut tidak terjadi lagi, diharapkan supaya seorang Dokter itu harus bersikap hati-hati, bersikap sewajarnya dalam melakukan tugasnya dan harus teliti dalam melakukan observasi terhadap pasien supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti contoh kasus di atas ini. Dan seharusnya seorang petugas kesehatan itu harus mencek data pasien sebelum melakukan operasi.
Selain itu kasus malpraktek ini dapat dicegah apabila pihak pasien, dok ter dan rumah sakit saling menghormati hak dan kewajiban masing-masing. Realisasi perlindungan hak pasien dapat dilakukan antara lain dengan cara mewajibkan dokter memberikan informasi yang jelas dan lengkap kepada pasien, serta memberi kesempatan kepada pasien untuk memilih melalui hak persetujuan atau penolakan atas tindakan medis.
Upaya pencegahan terjadinya malpraktik tersebut dapat juga dilakukan melalui pembenahan majemen rumah sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA Ide, Alexandra. 2012. Etika dan Hukum dalam Pelayanan Kesehatan. Yogyakarta: Grasia Book Publisher. http://www.google.co.id/url?url=http://www.duniaremaja.net/catatan/contoh-kasus-malpraktekdiindonesia.html&rct=j&sa=U&ei=3WmzUICiI83LrQegkoEg&ved=0CC4QFjAH&sig2=rnBaluftuNaAxvQvyxfKA&q=kasus+malpraktek+di+indonesia&usg=AFQjCNHji0MbEpm51eN_zso lnJh7Yv5AFg http://internetweb159.wordpress.com http://dintap.blogspot.com/2011/06/kasus-malpraktek.html http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/132085774_1412-4009.pdf http://isidunia.blogspot.com/2011/11/10-kasus-malpraktek-dunia-kedokteran.html
Home » Makalah » MAKALAH MALPRAKTEK MAKALAH MALPRAKTEK
Written By taufiq ismail on Minggu, 09 November 2014 | 14.28
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan hak-haknya merupakan salah satu indikator positif meningkatnya kesadaran hukum dalam masyarakat. Sisi negatifnya adalah adanya kecenderungan meningkatnya kasus malpraktek dikalangan kedokteran, diadukan atau bahkan dituntut pasien yang akibatnya seringkali membekas bahkan mencekam para tenaga kedokteran yang pada gilirannya akan mempengaruhi proses pelayanan kesehatan dimasa yang akan datang. Masalahnya tidak setiap upaya pelayanan kesehatan hasilnya selalu memuaskan semua pihak terutama pasien, yang pada gilirannya
dengan mudah menimpakan beban kepada pasien bahwa te lah terjadi malpraktek. Kasus malpraktek yang sering dipahami sebagai kelalayan dokter juga harus dianalisis lebih dalam terkait alat-alat kedokteran yang menjadi penunjang keberhasilan pada prose s pelayanan kesehatan. Terkait kasus-kasus yang muncul mengenai malpraktek, kasus yang baru-baru ini terjadi adalah dugaan kasus malpraktek Mauren di Rumah Sakit Awal Bros Tangerang Banten. Mengingat semakin maraknya kemunculan kasus-kasus malpraktek yang terjadi akhir-akhir ini bersamaan dengan semakin meningkatnya kemajuan dalam pelayanan medis, maka kasus malpraktek ini harus dikaji sebagai sebuah kasus kriminalitas yang terjadi akibat suatu kelalayan dan propesionalitas tenaga kedokteran. 1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat masih adanya pelayanan kesehatan oleh tenaga medis yang kurang memuaskan pada pasien. Maka permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah tentang permasalahan malpraktek tenaga medis dan upaya pencegahannya.
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan pengertian malpraktek 2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek kedokteran 3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek 4. Menjelaskan tentang tanggung jawab secar a hukum 5. Memahami upaya pencegahan malpraktek dan mengetahui cara menghadapi
tuntutan hukum.
1.4 Manfaat Penulisan
1. Menambah wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang kesehatan terutama
yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis. 2.
Memahami permasalahan yang berkaitan dengan malpraktek tenaga medis serta upaya-upaya untuk mencegahnya.
3. Memahami tuntutan hukum terhadap malpraktek tenaga medis.
BAB II KAJIAN TEORI
2.1 Pengertian Malpraktek
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti
harfiahnya demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi. Sedangkan difinisi malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de L os Angelos, California, 1956).
Berlakunya norma etika dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma terse but. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893). 2.2 Malpraktek Dibidang Hukum
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative malpractice.
1. Criminal malpractice Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni : a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan terce la. b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens re a) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).
a.
Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional): Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang, maupun yang dahulu diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan atau denda paling banyak enam ratu rupiah. Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata pengaduan orang itu.
b.
Pasal 346 sampai dengan pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan: Seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
c.
Pasal 348 KUHP menyatakan: Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan. Ayat (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan. e.
Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan, yang berbunyi: Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun. Ayat (3) Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun. Ayat (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. Ayat (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.
a.
Pasal 347 KUHP menyatakan: Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
b. Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika seorang dokter, bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana kejahatan dilakukan.
Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses kelahiran.
a.
Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-luka berat. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati : Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
b.
Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun. Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan
atau pencaharian selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. c.
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
2. Civil malpractice Seorang bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji).
Tindakan bidan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan. b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya. c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
3. Administrative malpractice Bidan dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hukum administrasi. 2.3 Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan Kesehatan Dari definisi malpraktek adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau tenaga keperawatan
(perawat dan bidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California,
1956). Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi kelalaian bidan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang ukurannya adalah lazim dipergunakan diwilayah tersebut. Andaikata akibat yang tidak diinginkan tersebut terjadi apakah bukan merupakan resiko yang melekat terhadap suatu tindakan medis tersebut (risk of treatment) karena perikatan dalam transaksi teraputik antara bidan dengan pasien adalah perikatan/perjanjian jenis daya upaya (inspaning verbintenis) dan bukan perjanjian/perjanjian akan hasil (resultaat verbintenis). Apabila bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah memenuhi unsur tidak pidanya yakni : a. Apakah perbuatan (positif act atau negatif act) merupakan perbuatan yang terce la b. Apakah perbuatan tersebut dilakukan dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya kealpaan). Selanjutnya apabila bidan dituduh t elah melakukan kealpaan sehingga me ngakibatkan pasien meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati ataupun kurang praduga. Dalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :
a.
Cara langsung Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni : Duty (kewajiban) Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien, bidan haruslah bertindak berdasarkan: 1) Adanya indikasi medis, 2) Bertindak secara hati-hati dan teliti, 3) Bekerja sesuai standar profesi, 4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan me nyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan. c.
Direct Causation (penyebab langsung)
d.
Damage (kerugian) Bidan untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya, dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).
Cara tidak langsung Cara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab bidan
Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence. Misalnya ada kasus saat bidan akan memotong tali pusat bayi, saat memotong tali pusat ikut terluka perut pasien tersebut. Dalam hal ini perut yang luka dapat dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikan kesalahan bidan, karena: a.
Perut bayi tidak akan terluka apabila tidak ada kelalaian tenaga perawatan.
b. Memotong tali pusat bayi adalah merupakan/berada pada tanggung jawab bidan. c.
Pasien/bayi tidak mungkin dapat memberi andil akan kejadian tersebut.
2.4 Tanggung Jawab Hukum
Seperti dikemukakan di depan bahwa tidak setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin dapat
dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain: 1. Contractual liability Tanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan. 2. Vicarius liability Vicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya. 3. Liability in tort Liability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
2.5 Upaya Pencegahan dan Menghadapi
Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatan. Dengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni: a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian ber bentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis). b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent. c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis. d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter. e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memper hatikan segala kebutuhannya. f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum Apabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan. Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan : a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mem punyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan. b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrindoktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa. c. Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya. Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalildalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat. d. Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk m embuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Ilustrasi Kasus Pihak RS Awal Bros Beberkan Kasus Maureen Chairul
04 Mar 2011 (Tangerang, Kompas.com) Dugaan kasus malpraktik yang terjadi di Rumah Sakit Awal B ros Tangerang, Banten terhadap bayi Maureen Angela berusia delapan bulan yang kini kehilangan jari kelingkingnya, masih perlu pembuktian. Tim Kementerian Kesehatan juga telah diturunkan untuk mengawasi penyelesaian kasus tersebut. Dalam jumpa pers yang digelar di lantai 5 RS Awal Bros Tangerang, Kamis {3/3) sekitar pukul 13.00 WIB, Dr Elizabeth yang menangani Maureen menjelaskan, Maureen datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) pada 16 November 2010 dengan alasan ndak sadar, kejang, nafas tersengal-sengal, denyut jantung sangat cepat, demam tinggi, kekurangan cairan berat, gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh. Menurutnya, tim dokter yang bertugas di IGD saat itu mengambil langkah-langkah medis untuk mengatasi ke gawat daruratan tersebut "Maureen diberi cairan bicnat yang disuntikkan jarum infus. Karena kandungan pH darahnya asam, m aka diberi cairan bicnat sebelum dilakukan tindakan, kami telah meminta persetujuan keluarga dan telah disetujui, papar Elizabeth. Jarum infus yang terpasang di tangan Maureen dibalut dengan perban agar jarum tidak lepas. "Langkah yang sama juga dilakukan bagi pasien anak. Pemantauan dilakukan dengan baik terbukti aliran infus berj alan dengan baik," ungkapnya. Setelah itu, kondisi Maureen berangsur-angsur membaik dan nyawanya terselamatkan. "Dengan membaiknya kesehatan Maureen, maka kemungkinan tangan Maureen ber gerak-gerak sehingga mengakibatkan cairan infus merembes ke tangan," paparnya. Rembesan itu mengakibatkan kerusakan pada ujung jari kelingking kanan. Kerusakan jaringan tersebut merupakan suatu hal yang sangat tidak diharapkan terjadi. "Semua yang kami lakukan itu adalah upaya untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun sampai dari resiko memang dapat terjadi dalam suatu proses pengobatan terhadap siapa saja," kilahnya. Namun, sangat disayangkan Elizabeth dan pihak RS Awal Bros tidak memberi kesempatan kepada wartawan untuk bertanya lebih jauh. "Kami selaku manajemen rumah sakit akan senantiasa menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan keluarga pasien," katanya mengakhiri keterangan persnya. Secara ter pisah, Direktur Bina Upaya Rujukan Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan dr Chairul Rajab Nasution mengatakan, kasus dugaan malpraktik di RS Awal Bros itu perlu pembuktian secara obyektif. "Kita harus membuktikan secara obyektif, apakah ini kasus sebab akibat penyakit sebelumnya atau karena ada kelalaian yang dilakukan oleh tim medis," kata Chairul kepada wartawan di Kantor Kementerian Kesehatan, Kamis (3/3) sekitar
pukul 15.00 WIB. Dia mengatakan, Kemenkes telah melakukan koordinasi terhadap kasus dugaan malpraktik yang menimpa anak Maureen Angela. "Jika ada yang salah, Kementerian Kesehatan pasti akan melakukan tindakan tegas sesuai dengan kesalahan yang terbukti," kata Chairul. Untuk pembuktian itu, harus melalui beberapa proses melalui Komite Medik Rumah Sakit untuk membuktikan secara diagnostik medik. Sedangkan Kementerian Kesehatan sebagai regulator akan melihat secara administratifnya. RS, dokter Rumah Sakit Awal Bros, Kota Tangerang, belum menerima surat panggilan dari Kepolisian Resor Metro Tangerang Kota terkait pelaporan sang dokter oleh orang tua Maureen (8 bulan). Dokter yang merawat Maureen itu dilaporkan Linda Kurniawati (33) dan Budi Kuncahya (39) ke Polda Metro Jaya, tapi dilimpahkan ke Polrestro Tanger ang Kota. "Belum ada panggilan dari polisi untuk dokter RS. Kami menunggu proses hukum berjalan," kata juru bicara Rumah Sakit Awal Bros, dokter Elizabeth, saat dihubungi wartawan, Rabu (9/3/2011). Dokter RS dilaporkan atas dugaan perawatan dari sang dokter yang menyebabkan dua ruas jari kelingking Maureen putus. Pihak RS Awal Bros berupaya menjalin komunikasi dengan keluarga Maureen. Usaha tersebut sebagai iktikad baik RS yang dahulu bernama RS Global Medika untuk tidak mengabaikan penderitaan yang dialami Maureen. "Keluarga pasien terakhir kali kontak dengan kami pada tanggal 28 Februari 2011 saat Maureen kontrol kesehatan rutin tiap akhir bulan," kata Elizabeth. Sementara, ibu korban, Linda, mengatakan, belum tahu perkembangan kasus hukum dokter yang merawat anaknya. Keluarga masih menunggu proses hukum berjalan. Linda mengatakan, terakhir kali datang ke RS Awal Bros pada 28 Februari 2011 lalu. Pihak RS menjanjikan akan melakukan operasi 3-6 bulan mendatang. "Tapi, belum tahu untuk biaya operasi, apakah gratis atau membayar lagi. Padahal, kami sudah keluar uang sampai puluhan juta rupiah," ucap Linda. Seperti diberitakan, Maureen adalah korban dugaan tindak malapraktik di RS Awal Bros pada November 2010. Akibat diberikan cairan keras, yakni bicnat di infusnya, tangan Maureen membengkak, membiru, hingga bernanah. Dokter bedah plastik sempat menyarankan jari Maureen diamputasi. Namun, saran itu akhirnya tidak dilakukan hingga dokter bedah plastik menjalani operasi pertama untuk m engangkat nanah di punggung telapak tangan Maureen. Setelah operasi itu, jari di tangan kanan Maureen semakin mengerucut sampai akhirnya pada bulan Desember 2010 dua ruas kelingking Maureen te rputus.
3.2 Analisis Kasus
Masalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Dugaan kasus malpraktek yang terbaru adalah kasus malpraktek mauren yang mengalami putusnya dua jari kelingking mauren. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi. Masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran. Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang. Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan. Inovasi pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien. Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat diatasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi. Salah satu upaya untuk menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan) untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini sangat perlu tidak hanya ntuk melindungi dari kesewenangan tenaga kesehatan seperti doter atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan
perundang-undangan malpraktek. Kasus Mauren mauren memang harus dianalisi oleh pihak-pihak terkait untuk menentukan dugaan-dugaan yang muncul dan penyelesaian yang diajukan untuk mengatasi kasus ini.
3.3 Malpraktek Ditinjau dari Segi Hukum
1. Sangsi hukum Jika perbuatan malpraktik yang dilakukan dokter terbukti dilakukan dengan unsur kesengajaan (dolus) dan ataupun kelalaian (culpa)seperti dalam kasus malpraktek dalam bidang orthopedy yang kami ambil, maka adalah hal yang sangat pantas jika dokter yang bersangkutan dikenakan sanksi pidana karena dengan unsur kesengajaan ataupun kelalaian telah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu menghilangkan nyawa seseorang. Perbuatan tersebut telah nyata-nyata mencoreng kehormatan dokter sebagai suatu profesi yang mulia. Pekerjaan profesi bagi setiap kalangan terutama dokter tampaknya harus sangat berhati-hati untuk mengambil tindakan dan keputusan dalam menjalankan tugas-tugasnya karena sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tuduhan malpraktik bukan hanya ditujukan terhadap tindakan kesengajaan (dolus) saja.Tetapi juga akibat kelalaian (culpa) dalam menggunakan ke ahlian, sehingga mengakibatkan kerugian, mencelakakan, atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Selanjutnya, jika kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan tindakan medik yang tidak memenuhi SOP yang lazim dipakai, melanggar Undangundang No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, maka dokter tersebut dapat terjerat tuduhan malpraktik dengan sanksi pidana. Dalam Kitab-Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa orang lain. Pasal 359, misalnya menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360 Kitab-UndangUndang Hukum Pidana (KUHP), (1) ‘Barang siapa karena kealpaannya menyeba bkan orang lain mendapat
luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun’. (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan o rang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga
timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian selama waktu tertentu,
diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah. Pemberatan sanksi pidana juga dapat diberikan terhadap dokter yang terbukti melakukan malpraktik, sebagaimana Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), “Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusannya diumumkan.” Namun,
apabila kelalaian dokter tersebut terbukti merupakan malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat dilakukan. Berdasarkan Pasal 361 Kitab-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang me nimbulkan kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan kerugian yang diakibatkan oleh ke lalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi: “Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati- hatinya.”
2. Kepastian hukum Melihat berbagai sanksi pidana dan tuntutan perdata yang tersebut di atas dapat dipastikan bahwa bukan hanya pasien yang akan dibayangi ketakutan. Tetapi, juga para dokter akan dibayangi kecemasan diseret ke pengadilan karena telah melakukan malpraktik dan bahkan juga tidak tertutup kemungkinan hilangnya profesi pencaharian akibat dicabutnya izin praktik. Dalam situasi seperti ini azas kepastian hukum sangatlah penting untuk dikedepankan dalam kasus malpraktik demi terciptanya supremasi hukum. Apalagi, azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan
sama di depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa memihakmihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila (1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim dipakai. (2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki). (3) Melanggar UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.
3.4 Malpraktek Ditinjau dari Segi Etika
Ditinjau dari Sudut Pandang Etika (Kode Etik K edokteran Indonesia /KODEKI) Etika punya ari yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah hal-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sitem tentang motifasi, perilaku dan perbuatan m anusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental: bagaimana saya harus hidup dan bertindak?. Bagi seorang sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti kewajiban dan tanggungjawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan terhormat. Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “ seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai denga standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang dokter dalam
melakukan kegiatan kedokterannya seebagai seorang proesional harus sesuai dengan ilmu kedokteran mutakhir, hokum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter hrus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”. Arinya dalam setiap tindakan dokter harus betu juan
untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran kode etik (KODEKI) sangatlah perlu ditingkatkan untuk menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat/pengacara, notaris, akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk memeriksa dan mem utus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik. Dalam hal ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Jika ternyata terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode etik.
Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga dapat dikategorikan malpraktik maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut. Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum hanyalah lembaga yudikatif. Dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawabannya. Baik secara pidana maupun perdata. Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi menghindar dari tanggung j awab hokum profesinya.
3.5 Malpraktek Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
Ditinjau dari Sudut Pandang Agama. Adapun agama –agama memandang malpraktek, khususnya yang menyebabkan kematian atau bisa pasien kehilangan nyawanya. Menurut pandangan Islam. Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam). Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri, tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri.
Dari sini dapat kita katakana bahwa, sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang oada akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek adalah suatu pelanggaran.
BAB VI PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Atas dasar beberapa uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan sehubungan dengan masalah malpraktek bidan, adalah sebagai berikut: 1. Kasus malapraktek merupakan suatu kasus yang menarik, y ang sering dialami oleh masyarakat, dan yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya kasus malpraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya berita-berita tentang malpraktek tenaga medis di mass media karena kegagalannya dalam berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien, menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga perpaduan antara kedua hal te rsebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan atau sengketa. 2. Sedangkan altrnatif untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum memadai, sehingga kasus-kasus malpraktek dijumpai kandas di pemeriksaan sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan alternatif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malpraktek tersebut, sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat, khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
3.2 Saran
1. Kiranya pihak aparat penegak hukum, sebagai pencari peneg akan hukum yang aktif di dalam masyarakat, kiranya dapat berperan aktif dan melihat dengan jeli indikasi-indikasi kasus malapraktek ini. 2. Selanjutnya, sebagai rangkaian dalam keaktifannya dalam mencari penegakan hukum, Ke jaksaan sebagai Penuntut Umum dan sebagai pengawasan penyidik sesuai dengan isi KUHP, dapat meningkatkan peranannya dengan jalan membina kerja sama yang erat dengan pihak penyidik (polisi) untuk dapat membongkar kasus-kasus malapraktek yang selama ini masih banyak yang ter-tutup, baru kem udian tugas bagi hakim untuk lebih teliti dan obyektif dalam mengambil vonisnya. 3. Perlu juga untuk menambah pengetahuan bagi para penegak hukum ini, khususnya pengetahuan dalam bidang kebidanan, sehingga jika terjadi kasus malapraktek mereka dapat menyidik, menuntut dan memutus perkara dengan tepat sesuai dengan kemampuan/pengetahuannya. Hal ini dapat ditempuh dengan cara mengadakan seminar-seminar atau diberikan semacam pendidikan khusus yang menyangkut masalah kebidanan, khususnya hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan kejadian-kejadian yang timbul di sekitar malapraktek. Atau minimal mereka diberikan suatu pegangan/pedoman tentang hokum untuk profesi bidan dan segala aspeknya. Dari hal ini diharapkan agar nantinya setiap kasus malpraktek dapat benar-benar diselesaikan dengan tuntas. 4. Diharapkan tenaga medis akan lebih waspada dan hati-hati dalam melaksanakan tugasnya, masyarakat menjadi aman dan puas atas pelayanannya dan penegak hukum dapat lancar dalam bertugas, akhirnya penegakan hukum dapat berjalan sebagaimana kita harapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ameln, F., 1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafikatama Jaya, Jakarta. Mariyanti, Ninik, 1988, Malpraktek Kedokteran, Bina Aksara, Jakarta.
Undang undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;