DATA DIRI PENULIS
Nama
: Desak Nyoman Tri Rani Putri
TTL
: Denpasar, 4 November 1994
TON
: III
No. Absen
: 13
NIM
: 1306305031
No. HP
: 08979187838
Asal Sekolah
: SMAN 4 Denpasar
Selonding, Akar Budaya Bali yang Disakralkan Desak Nyoman Tri Rani Putri
Ulasan Awal Bali adalah sebuah pulau kecil yang besar karena seni dan budayanya. Terkadang seseorang salah menafsirkan apakah Bali bagian dari Indonesia atau Indonesia yang merupakan bagian dari Bali. Analogi itu tentu secara tersirat menunjukkan betapa tersohornya pulau kecil ini di mata dunia. Seni dan budaya yang melahirkan tradisi-tradisi unik yang tidak akan ditemukan di tempat lain itulah yang membesarkan pulau kecil ini. Tradisi-tradisi unik tersebut mengalir dan menjiwai setiap relung kehidupan masyarakat Bali. Beragam tradisi yang lahir dari budaya dan seni ini berbentuk tarian, upacara, upakara, musik dan instrumennya. Lain halnya dengan tarian Bali yang sudah sangat terkenal dan bahkan berhasil menarik bangsa lain untuk turut mempelajarinya begitu juga dengan upacara dan upakara yang sangat identik dengan Bali, instrument musik di Bali sepertinya tertinggal beberapa langkah walaupun gaungnya masih ramai terdengar. Tidak banyak yang tahu akar dari budaya Bali yang mengembangkan banyak tradisi lainnya dan yang menjadi penunjang tradisi lainnya seperti tarian-tarian tersebut. Instrumen atau alat musik tersebut adalah Gamelan Selonding.
Sejarah dan Esensi Gamelan Selonding Selonding berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang bermula dari nama salunding. Arti Selonding timbul dari peniruan bunyi alitrasi karena bunyi dominan instrumen tersebut yaitu lungding-blunding. Sama halnya tiruan bunyi gamelan cengceng karena suaranya crengcreng1. Menurut cerita yang diyakini oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan Karangasem, turunnya gamelan ini konon didahului dengan suara gemuruh di atas desa Tenganan. Suara gemuruh itu datangnya bergelombang. Gelombang pertama mendekat ke bumi dan akhirnya turun di desa Bungaya dan selanjutnya di Desa Tenganan, ternyata di tempat tersebut ditemukan tiga bilah Gamelan Selonding, yang kini disungsung di Tenganan Pegringsingan sebagai lambang suci dan disakralkan. (Tusan,2001) Gamelan Selonding yang disakralkan pada suatu desa tidak boleh dimainkan oleh orang sembarangan, hanya orang yang sudah bersih (mewinten) yang boleh memainkannya. Bahkan di Desa Bungaya, pada saat Gamelan Selonding itu ditabuh tidak ada orang yang
boleh melihatnya kecuali para penabuh dan orang-orang tertentu (Bandem, 1986). Dari sinilah diketahui esensi dari Gamelan Selonding yang difokuskan hanya pada upacara keagamaan saja dan menuntut kesucian dari yang memainkannya.
Kondisi Kekinian Gamelan Selonding Tradisi Selonding yang dianggap sebagai akar budaya Bali tersebut menjadi kehilangan eksistensinya karena pensakralan yang dilakukan terhadapnya. Bahkan Gamelan Selonding tersebut telah dianggap “pratima” atau barang yang disucikan dan disimpan di dalam area suci (pura). Keterbatasan akhirnya timbul dari kesakralan tersebut yang membuat minimnya regenerasi dari seka-seka penabuh (pemain) Selonding karena gamelan tersebut sangat disakralkan hingga tidak boleh dipakai latihan dan hanya ditabuh (dimainkan) pada saat ada upacara keagaaman. Kondisi kekinian dari Gamelan Selonding menimbulkan pilihan yang dilematis, antara menjaga kesakralan dari Gamelan Selonding atau mengangkat kembali eksistensinya. Sulitnya menembus keyakinan masyarakat akan sakralnya Gamelan Selonding tidak bisa disalahkan karena mitos-mitos itulah yang turut menjaga keajegan Bali hingga kini. Sehingga eksistensi dari Selonding berusaha diangkat dengan upaya yang tidak bertentangan dengan kesakralannya. Upaya-upaya yang pernah dilakukan adalah renovasi Selonding Pura Besakih tahun 1992/1993 dan renovasi Selonding Pura Pasar Agung Besakih tahun 1993.
Ulasan Akhir Gamelan Selonding menunjukkan bukti bahwa local genius masih hidup dan bertahan dalam era modern. Di tengah himpitan budaya dan derasnya arus perubahan tidak membuat Gamelan Selonding yang dibatasi kesakralannya menjadi terlupakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya beberapa orang yang memiliki kepedulian besar terhadap kebudayaan ini, salah satunya adalah Wayan Pande Tusan yang menuangkan hasil penelitiannya dalam sebuah buku yang berjudul, Selonding, Tinjauan Gamelan Bali Abad X-XIV. Kenyataan itu secara tersirat berusaha menggugah segenap lapisan masyarakat Bali pada umumnya dan kaum pemuda pada khususnya. Karena sebuah budaya bisa bertahan atau tidak, terletak pada tangan penerusnya. Upaya-upaya yang telah digencarkan oleh generasi sebelumnya semestinya dapat menjadi amunisi untuk melanjutkan upaya pelestarian tersebut. Mengingat bahwa hanya perubahan yang abadi, maka seharusnya diadakan gerakan yang
inovatif dalam melestarikan Gamelan Selonding tanpa mengusik kesakralannya. Selama ini seringkali keterbatasan dari waktu dan tempat pemakaian Selonding menjadi alasan tidak bisa dipelajarinya gamelan ini, yang lama-kelamaan tumbuh menjadi tameng dari sebuah kemalasan. Menindaklanjuti hal tersebut sebuah gagasan yang diharapkan bisa dikembangkan adalah dengan menduplikasi gamelan ini agar dapat dipelajari oleh generasi muda tidak hanya di areal pura dan bukan hanya pada saat upacara berlangsung. Duplikasi tersebut tentunya dibuat dengan ketelitian yang tinggi dan tidak berorientasi komersial tetapi mengemban harapan agar terjadi regenerasi dari seka-seka yang mampu memainkan Gamelan Selonding ini. Gagasan tersebut hanya akan berakhir sebagai gagasan bila tidak ada keinginan dan kemauan seluruh pihak untuk mengangkat kembali eksistensi Gamelan Selonding dan begitu pula sebaliknya. Karena Gamelan Selonding adalah salah satu tradisi yang telah mengantarkan kita pada jenjang puncak budaya dan kembali pada masa terdahulu dimana musik tidak hanya menjadi pengiring sebuah gerakan melainkan menjadi sebuah refleksi dan harapan kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Bandem,I Made.1986. Prakempa Sebuah Lontar Gamelan Bali. Denpasar:ASTI Tusan, Pande Wayan. 2001. Selonding, Tinjauan Gamelan Bali Abad X-XIV.Denpasar___ 1 Pasek, Komang Antara. 2014. Wayan Tusan Menguak Tabir Selonding. dalam http://komangpasekantara.blogspot.com/2014/02/i-wayan-tusan-menguak-tabirSelonding.html (diakses pada tanggal 10 April 2015)