GAMBARAN TINGKAT GEJALA KECEMASAN PADA NARAPIDANA DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS IIA BANJARMASIN (Tinjauan Berdasarkan Kelompok Usia, Status Pernikahan, Lama Hukuman, Lama Hukuman yang Sudah Dijalani, Lama Sisa Hukuman) Rizkina Hayati Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Lambung Mangkurat
[email protected] ABSTRAK (*Bahasa Indonesia aja) Narapidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan dan kehilangan kemerdekaan di lembaga pemasyarakatan. Kehidupan sebagai narapidana merupakan stresor yang dapat mengakibatkan kecemasan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat gejala kecemasan pada narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin. Metode penelitian yang digunakan adalah studi deskriptif. Teknik pengambilan sampel adalah proportionate stratified random sampling dan sampel berjumlah 100 orang. Instrumen penelitian berupa biodata umum dan kuesioner Depression, Anxiety, and Stress Scale-42 (DASS-42). Hasil penelitian didapatkan 36% tidak cemas, 14% cemas ringan, 28% cemas sedang, 15% cemas berat, dan 7% cemas sangat berat. Gejala kecemasan mendominasi kelompok usia muda (91%), tidak menikah (68%), dan hukuman kurang dari tiga bulan (100%). Tidak terdapat perbedaan persentase kecemasan pada belum menjalani setengah masa pidana dan sudah menjalani setengah masa pidana (64%), serta sisa hukuman kurang dari setengah masa pidana dan lebih dari setengah masa pidana (64%). Kata kunci: gejala kecemasan, narapidana, lembaga pemasyarakatan, DASS-42 BOLEH PENDAHULUAN, RUMUSAN MASALAH
BOLEH
LATAR
BELAKANG
SAMA
LATAR BELAKANG MASALAH Direktorat Jenderal Pemasyarakatan melaporkan bahwa terdapat 123.342 narapidana di Indonesia pada bulan Maret 2016.2 Jumlah ini meningkat dari dua tahun sebelumnya, yaitu 111.311 pada tahun 2014 dan 115.844 pada tahun 2015. Terdapat 5.362 narapidana yang tercatat di Kanwil Kalimantan Selatan dengan
jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin adalah 1.723 orang. Jumlah narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin ini terdiri dari 1.694 narapidana dewasa laki-laki, 28 narapidana dewasa perempuan, dan 1 orang narapidana anak laki-laki.2 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara berdasarkan putusan peradilan. Warga binaan memiliki hak untuk mendapatkan kesejahteraan baik fisik maupun mental selama masa pembinaan. Sayangnya hal tersebut kurang mendapatkan perhatian. Kenyataannya narapidana banyak mengalami gangguan psikologis seperti cemas, stres, dan depresi ringan sampai berat.3 Penelitian oleh Butler dan Stephen menunjukkan bahwa lebih dari 36% narapidana mengalami kecemasan.5 Penelitian lain menunjukkan wanita yang belum menikah cenderung lebih cemas dibandingkan yang sudah menikah.6 Usia yang lebih muda cenderung lebih mudah mengalami stres dan kecemasan daripada usia tua. Penelitian oleh Lutfa dkk menunjukkan semakin bertambahnya usia, ada kecenderungan penurunan tingkat kecemasan.8 Jenis kejahatan secara tidak langsung berpengaruh terhadap kecemasan. Jenis kejahatan yang berat membuat hukuman yang didapatkan semakin lama. Hal ini mengakibatkan kecenderungan mengalami kecemasan semakin meningkat.3,9 Lama sisa hukuman juga mempengaruhi kecemasan. Narapidana yang menjelang bebas akan mengalami kecemasan. Kecemasan ini diakibatkan keinginan narapidana untuk segera bebas, tetapi kenyataannya stigma negatif
kepada mantan narapidana masih melekat. Akibatnya masyarakat akan mengucilkan mereka.3,9 Perasaan cemas merupakan hal yang fisiologis. Perasaan cemas yang berat dan persisten dapat mengakibatkan terganggunya aktivitas individu dan memiliki dampak negatif terhadap pekerjaan, sosial, dan kehidupan sehari-hari.11 Individu dengan gangguan cemas sering memiliki gangguan psikologis lain, seperti depresi dan memiliki kecenderungan untuk melakukan penyalahgunaan alkohol dan obatobatan lain.12 RUMUSAN MASALAH Bagaimana gambaran
tingkat gejala kecemasan pada narapidana di
Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin? TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat diberikan hukuman pidana.15 Tindak pidana merupakan suatu pelanggaran terhadap norma yang dilakukan karena kesalahan si pelanggar dan diancam dengan pidana untuk mempertahankan tata hukum dan menyelamatkan kesejahteraan hukum.16 Undang-Undang No. 12/1995 tentang Pemasyarakatan menyebutkan bahwa narapidana
adalah
terpidana
yang
hilang
kemerdekaan
di
lembaga
pemasyarakatan. Terpidana adalah seseorang yang dipidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperolah kekuatan hukum tetap.17,18 Lembaga pemasyarakatan merupakan tempat atau wadah pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan.18 Pembinaan yang dilakukan harus didasarkan pada minat, bakat dan watak maupun kebutuhan narapidana agar
pembinaan tersebut benar-benar bermanfaat dan dapat dijadikan bekal bagi narapidana itu sendiri setelah selesai menjalani hukumannya di suatu lembaga pemasyarakatan. Kehidupan di lembaga pemasyarakatan merupakan suatu tekanan, sehingga banyak menimbulkan masalah kejiwaan. Salah satu masalah kejiwaan tersebut adalah kecemasan.19 Kecemasan (anxiety) berasal dari bahasa latin angustus yang berarti kaku, dan ango, anci yang berarti mencekik.20 Kecemasan digambarkan sebagai suatu perasaan takut terhadap situasi atau objek yang jelas dari luar individu itu sendiri yang sebenarnya tidak membahayakan.21 Faktor risiko kecemasan antara lain: 8,21,23 a.
Usia Usia yang lebih muda cenderung lebih mudah mengalami stres dan
kecemasan daripada usia tua. Penelitian oleh Lutfa dkk menunjukkan semakin bertambahnya usia, ada kecenderungan penurunan tingkat kecemasan. b.
Jenis kelamin Wanita dua kali lebih sering mengalami kecemasan daripada pria. Hal ini
dipengaruhi oleh pengaruh hormon sehingga wanita lebih mudah mengalami cemas. c.
Tingkat pendidikan Orang dengan tingkat pendidikan sekolah dasar dan menengah cenderung
lebih banyak mengalami kecemasan daripada orang yang berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin dapat berpikir secara rasional dan dapat menahan emosi dengan baik.
d.
Status pernikahan Orang yang sudah menikah lebih sedikit mengalami gelisah dan cemas. Hal
ini dikarenakan rasa percaya yang dimiliki terhadap pasangan. Perasaan percaya membantu menangani setiap permasalahan dengan mudah. e.
Status ekonomi Status sosial ekonomi juga berkaitan dengan pola gangguan psikiatrik.
Masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah memiliki kecenderungan terjadinya gangguan jiwa seperti depresi dan cemas. f.
Sosial budaya Seseorang yang memiliki falsafah hidup yang jelas dan keyakinan agama
yang kuat lebih sulit mengalami kecemasan. Narapidana memiliki tingkat kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Kecemasan ini dapat timbul karena beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu perasaan berdosa dan bersalah, melakukan hal-hal yang berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani, maupun hal tidak jelas yang disertai rasa takut.28 Jenis kejahatan secara tidak langsung mempengaruhi kecemasan narapidana. Hal ini dikarenakan jenis kejahatan yang berat meningkatkan lama masa hukuman, sehingga kemungkinan terjadinya kecemasan tinggi. Narapidana yang menjelang bebas juga cenderung mengalami kecemasan dikarenakan kekhawatiran mengenai perasaan akan dikucilkan masyarakat dan tidak akan dipercaya masyarakat ketika bebas nanti.3,9 Teori mengenai kecemasan dijelaskan oleh Freud bahwa kecemasan merupakan konflik psikis yang tidak disadari. Kecemasan menjadi tanda bagi ego
untuk memberikan aksi penurunan rasa cemas. Kecemasan dapat menurun apabila mekanisme diri berhasil. Namun, konflik yang berkepanjangan mengakibatkan kecemasan berada pada tingkat tinggi.4 HIPOTESIS (*kalo ada) METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi deskriptif. Cara pengambilan sampel adalah proportionate stratified random sampling berdasarkan jenis kejahatan. Besar sampel adalah 100 orang yang terdiri atas 21 responden umum, 74 responden narkoba, tiga responden korupsi, dan dua responden illegal logging. Kriteria inklusi sampel penelitian yaitu bersedia menjadi responden, mampu membaca dan menulis, dan jujur. Penelitian ini menggunakan kuesioner Depression, Stress, and Anxiety Scale-42 (DASS-42). Kuesioner ini memiliki 42 pertanyaan, yang terdiri dari 14 pertanyaan mengenai depresi, 14 pertanyaan mengenai kecemasan, dan 14 pertanyaan mengenai stres. Tingkat gejala kecemasan pada DASS-42 terdiri atas normal (0-7), ringan (8-9), sedang (10-14), berat (15-19), dan sangat berat (≥20). HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Tingkat Gejala Kecemasan pada Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin Gejala Kecemasan Jumlah Tidak cemas 36 Cemas ringan 14 Cemas sedang 28 Cemas berat 15 Cemas sangat berat 7
Narapidana
di
Lembaga
Persentase (%) 36 14 28 15 7
Diagram di atas menunjukkan 66% responden mengalami gejala kecemasan. Kecemasan pada narapidana dapat disebabkan oleh banyak hal. Hal tersebut
diantaranya kurangnya perhatian baik secara fisik maupun mental, proses adaptasi yang kurang baik, kurangnya dukungan dari keluarga, kehidupan di lapas yang kurang nyaman, perasaan kehilangan kebebasan, dan khawatir terhadap stigma masyarakat terhadap dirinya. Narapidana menjalani kehidupan yang monoton, kasar, dan dibatasi. Kehidupan sebagai narapidana mengakibatkan kehilangan kebebasan, sehingga dapat mengakibatkan perasaan tertekan.3,6,9 Kecemasan pada narapidana terjadi bukan hanya karena kehidupan di lapas sebagai stresor. Namun, kecemasan juga dapat terjadi sebelum masuk lapas. Banyak orang yang melakukan kriminalitas sebagai cara untuk mengatasi keadaan yang membuatnya tertekan. Kurang efektifnya cara mengatasi stresor dapat dikategorikan sebagai koping yang destruktif.44 Tabel 2. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Kelompok Usia Kelompok usia Pemuda Dewasa
Tidak cemas n % 1 9 35 39
Ringan
Sedang
n
n
2 12
% 18 13
5 23
% 46 26
Berat n 1 14
% 9 16
Sangat berat n % 2 18 5 6
Total N 11 89
% 100 100
Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa gejala kecemasan pada pemuda lebih tinggi dibandingkan dewasa. Teori perkembangan emosi dan usia menyebutkan bahwa pada orang yang berusia lebih tua, kemampuan untuk menyadari, mengakui, dan merespon terhadap emosi orang lain lebih baik. Pada orang yang berusia lebih tua juga memiliki regulasi emosi yang lebih baik, sehingga proses adaptasi bisa berlangsung lebih baik.38
Tabel 3. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Status Pernikahan Status pernikahan
Menikah Belum menikah Bercerai/pasangan meninggal
Tidak cemas n % 21 40 8 28 7 37
Ringan
Sedang
n 9 3 2
n 14 9 5
% 17 11 11
Berat
% 26 32 26
n 8 5 2
% 15 18 10
Sangat berat n % 1 2 3 11 3 16
Total N 53 28 19
% 100 100 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang belum menikah memiliki persentase gejala kecemasan yang lebih tinggi dibandingkan responden yang sudah menikah maupun responden yang cerai atau pasangan meninggal. Hal ini disebabkan orang yang belum menikah mengalami kekhawatiran untuk menghadapi permasalahan secara sendirian.6 Tabel 4. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Lama Hukuman Lama hukuman BI B IIA B IIB
Tidak cemas N % 35 39 1 13 0 0
Ringan
Sedang
N 12 2 0
n 24 2 2
% 13 29 0
% 26 29 100
Berat n 15 0 0
% 16 0 0
Sangat berat n % 5 6 2 29 0 0
Total N 91 7 2
% 100 100 100
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecemasan paling banyak pada kelompok B IIB, diikuti oleh B IIA dan B I. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Kusumawardani (2014) yang menunjukkan bahwa semakin lama hukuman yang didapatkan, semakin besar kemungkinan kecemasan muncul. Kecemasan ini diakibatkan oleh lama hukuman yang akan dijalani dapat meningkatkan kondisi stres pada narapidana.9 Kecemasan narapidana dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktorfaktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin, status pernikahan, hukuman yang sudah dijalani, dan sisa masa pidana. Faktor lain yang memengaruhi hasil penelitian ini adalah ketidakseimbangan besar sampel pada masing-masing
kategori. Besar sampel pada kategori B I adalah 91 orang, kategori B IIA adalah 7 orang, dan B IIB adalah 2 orang.5,6,8,9 Tabel 5. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Lama Hukuman yang Sudah Dijalani Lama hukuman yang sudah dijalani < ½ masa pidana ≥ ½ masa pidana
Tidak cemas n % 25 36 11 36
Ringan
Sedang
n 9 5
n 16 12
% 13 16
% 23 39
Berat n 13 2
% 19 6
Sangat berat n % 6 9 1 3
Total n 69 31
% 100 100
Data di atas menunjukkan terdapat persamaan persentase responden yang mengalami gejala kecemasan antara responden yang belum menjalani setengah masa pidana dan yang sudah menjalani ≥ ½ masa pidana. Hal ini berkaitan dengan proses adaptasi pada narapidana. Narapidana yang sudah lama menjalani kehidupan di Lapas cenderung lebih beradaptasi terhadap stresor di Lapas. Proses adaptasi dapat berupa partisipasi dalam berbagai kegiatan di lapas, bersosialisasi dengan narapidana lain, kontak dengan pegawai di lapas, maupun interaksi dengan keluarga pada waktu kunjungan.39 Tabel 6. Tingkat Gejala Kecemasan pada Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Banjarmasin Berdasarkan Lama Sisa Hukuman Lama hukuman
sisa
< ½ masa pidana ≥ ½ masa pidana
Tidak cemas n % 11 36 25 36
Ringan n 5 9
% 16 13
Sedang n 12 16
% 39 23
Berat n 2 13
% 6 19
Sangat berat n % 1 3 6 9
Total N 31 69
% 100 100
Data di atas menunjukkan adanya kesamaan persentase responden yang mengalami gejala kecemasan antara responden yang memiliki lama sisa hukuman < ½ masa pidana dan ≥ ½ masa pidana. Semakin dekat seorang narapidana terhadap waktu bebasnya, semakin meningkat kecemasan yang dirasakan. Kecemasan ini diakibatkan keinginan narapidana untuk segera bebas, tetapi
kenyataannya stigma negatif kepada mantan narapidana masih melekat. Akibatnya masyarakat akan mengucilkan mereka. Selain itu, mereka juga memiliki kekhawatiran
mengenai
penerimaan
keluarga
dan
masyarakat
terhadap
dirinya.3,9,40 SIMPULAN 1.
dsgdhfghfghjfghfgbdbfdnhndxdgszx
DAFTAR PUSTAKA 1.
Ditjen PAS. Data terakhir jumlah penguni perkanwil. Sistem Database Permasyarakatan. [online]. 2016. (http://smslap.ditjenpas.go.id/,diakses 12 Maret 2016).
2.
Utari DI, Fitria N, Rafiyah I. Gambaran tingkat kecemasan pada warga binaan wanita menjelang bebas di Lembaga Pemasyarakatan Wanita Klas IIA Bandung. Universitas Padjajaran; 2012.
3.
Sadock BJ, Sadock VA. Kapan and Sadock’s comprehensive textbook of psychiatry. Lippincott William & Wilkins, 2010.
4.
Butler T, Stephen A. Mental illness among South Wales prisoners. Correction Health Services. 2007.
5.
Ramadhona A. Perbedaan tingkat kecemasan pada wanita menopause dengan wanita usia reproduksi di RW 1 Kelurahan Sukoharjo Kabupaten Sukoharjo [skripsi]. FKUSM; 2010.
6.
Yunitasari LN. Hubungan beberapa faktor demografi dengan tingkat kecemasan pasien pasca diagnosis kanker di RSUP dr. Kariadi Semarang. Med Hosp. 2012;1(2):129.
7.
Lutfa U, Maliya A. faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan pasien dalam tindakan kemoterapi di rumah sakit dr. Moewardi Surakarta. Berita Ilmu Keperawatan. 2008;1(4):188-189.
8.
Kusumawardani DA, Astuti TP. Perbedaan kecemasan menjelang bebas pada narapidana ditinjau dari jenis kelamin, tindak pidana, lama pidana, dan sisa masa pidana. Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro;2014.
9.
Dadi AF, Berihun AD, Teresa K, Nigussie Y, Telake A. Anxiety and associated factors among prisoners in North West of Amhara Regional State, Ethiopia. BMC Psychiatry.2016;16;83.
10. Rector NA, Danielle B, Kate K, Linda JM. Anxiety disorders: an information guide. Centre of Addiction and Mental Health. 2008. 11. Understanding anxiety disorders and effective treatment. American Psychological Association. 2010. 12. Nugroho H. Hubungan konsep diri dan kecemasan narapidana menjelang bebas di lembaga pemasyarakatan kelas IIA Wirogunan Yogyakarta [skripsi]. Universitas Sanata Dharma; 2015. 13. Badan Pusat Statistik. Statistik kriminal 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik, 2015. 14. Yunus M. Analisis yuridis pertanggungjawaban pelaku tindak pidana penyalahgunaan surat keterangan sahnya hasil hutan [thesis]. Universitas Lampung. 2013. 15. Wahyuni ER. Analisis kriminalisasi santet sebagai tindak pidana dalam konsep pasal 293 RUU KUHP tahun 2013. FHUnila. 2104. 16. Shofia F. Optimisme masa depan narapidana. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2009. 17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Jakarta 1995. 18. Bethan PH. Fungsi dan peran lembaga pemasyarakatan di LP Wirogunan Yogyakarta dalam pembinaan narapidana residivis [skripsi]. Universitas Atmajaya Yogyakarta. 2011. 19. Volkow ND. Drugs, brain, and addiction: the science of addiction. National Institute of Drug Abuse. 2010:5-6.
20. Maramis WF, AA Maramis. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press, 2009. 21. Gilhotra N, Dinesh D. Neurochemical modulation of anxiety disorders. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 2010;2(1):23. 22. Leonardo ED, Rene. Anxiety as a developmental Neuropsychopharmacology Review. 2008;33:134-40.
disorder.
23. Tottenham N, Margaret AS. A review of adversity, the amygdala and the hippocampus: a consideration of developmental timing. Frontier in Human Neuroscience. 2010;68:8-10. 24. O’Donovan A, George MS, Elissa SE, Thomas CN. Exaggerated neurobiological sensitivity to threat as a mechanism linking anxiety with increased risk for disease of aging. Neuroscience and Biobehavioral Reviews. 2013;37:97-8. 25. Maslim R. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik edisi ketiga. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya; 2007. 26. Maslim R. diagnosis gangguan jiwa, rujukan ringkas PPDGJ-III dan DSM-5. Jakarta: PT Nuh Jaya; 2013.
27. Talbot J. Prisoners’ voices: experiences of the criminal justice system by prisoners with learning disabilities and difficulties. Prison Reform Trust. 2008:27-29. 28. Compton WM, Yonette FT, Frederick SS, Bridget FG. Prevalence, correlates, disability, and comorbidity of DSM-IV drug abuse and dependence in the United States. Arch Gen Psychiatry. 2007;64:566-7. 29. Khalsa JH, Paul SH. Medical disorders and complications of alcohol and other drugs, pain, and addiction: an introduction. International Perspectives Addiction Treatment. 2014;88:1573-76. 30. Fava GA, Gath A, Belaise C, Guidi J, Offidani E. withdrawal symptoms after selective serotonin reuptake inhibitor discontinuation: a systematic review . Psychoter Psychosom. 2015;84:72-81.
31. Damanik ED. The measurement of reliability, validity, item analysis, and normative data of Depression Anxiety Stress Scale (DASS). University of Indonesia. 32. Crawford JR, Julie DH. The depression anxiety stress scales (DASS): normative data and latent structure in a large non–clinical sample. British Journal of Clinical Psychology. 2003;42:123. 33. Lovibond & Lovibond. Manual for the depression anxiety stress scales. Sydney: Psychology Foundation. 1995. 35. Putri DE, Erwina I, Adha H. Hubungan tingkat sosial dengan tingkat kecemasan narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Muaro Padang tahun 2014. Ners Jurnal Keperawatan 2014;10(1):118-135. 36. Harner, Hanlon, Garfinkel. Effect of iyengar yoga on mental health of incarcerated human: a feasibility study. Nursing Research 2010;59(6):389399. 37. Handayani PK, Fitri M. Pemetaan problem-problem psikologis narapidana di Lapas Kelas IIA Jember. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Jember. 2016. 38. Lewis M, Barret LF, Jones JM. Handbook of emotions third edition. New York: The Guilford Press. 2008. 39. Dhami MK, Ayton P, Loewenstein G. Adaptation to imprisonment: indigenous or imported? Criminal Justice and Behavior 2007;34(8):1086. 40. Shinkfield A. Inmates’ prerelease anxiety level. Australia: University Victoria;2010. 41. Ray JV. Psychopathy, additional beliefs, and white collar crime. Graduate Theses and Dissertations University of South Florida. 2007. 42. Alalehto T. White collar criminals: the state of knowledge. The Open Criminology Journal 2015;8:31-32
43. Department of Social Protection. Substance and drug dependency version 5.0. Bearing Point, Atos Health Care. 2010