Candi Sojiwan atau Candi Sajiwan adalah sebuah candi Buddhis yang terletak di desa Kebon Dalem Kidul, Kidul, kecamatan Prambanan Prambanan,, kabupaten Klaten Klaten,, Jawa Tengah. Tengah. Sebuah ciri khas candi ini ialah adanya sekitar 20 relief relief di di kaki candi yang berhubungan dengan cerita-cerita Pancatantra cerita-cerita Pancatantra atau Jataka dari India India.. Dari 20 relief ini, tinggal 19 relief yang sekarang masih ada.
Candi ini terletak kurang lebih dua kilometer ke arah selatan dari Candi Prambanan, Prambanan, dari gerbang Taman Wisata Candi Prambanan meyeberang jalan raya Solo-Yogyakarta masuk ke jalan kecil menuju ke arah selatan, menyeberang rel kereta api, lalu pada perempatan pertama berbelok ke kiri (timur) sejauh beberapa ratus meter hingga candi terlihat di sisi selatan. Candi ini telah rampung dipugar pada tahun 2011.
Masa pembuatan Menurut beberapa prasasti beberapa prasasti yang sekarang disimpan di Museum Nasional Republik Indonesia di Jakarta, candi Sojiwan kurang lebih dibangun antara tahun 842 dan 850 Masehi, kurang lebih pada kurun yang sama dengan candi Plaosan di dekatnya. Prasasti Rukam berangka Rukam berangka tahun 829 Saka (907 M) yang kini disimpan di Museum Nasional, menyebutkan mengenai upacara peresmian perbaikan Desa Rukam oleh Nini Haji Rakryan Sanjiwana, sebelumnya desa ini hancur akibat letusan gunung berapi. Sebagai balasannya, warga Desa Rukam diberi kewajiban menjaga dan memelihara bangunan suci yang terletak di Limwung. Bangunan suci ini kemudian dikaitkan dengan candi Sojiwan, sementara tokoh pelindung yang disebutkan dalam prasasti ini: Nini Haji Rakryan Sanjiwana, disamakan dengan Ratu Pramodhawardhani Pramodhawardhani.. Candi dinamai berdasarkan Ratu ini, dan dipercaya dipersembahkan untuknya sebagai candi pe dharmaan.
Reruntuhan batu di candi Sojiwan yang masih dalam proses pemugaran
Penemuan kembali Candi Sojiwan untuk pertama kalinya ditemukan oleh para penjelajah Barat Barat pada pada tahun 1813 oleh Kolonel Colin Mackenzie, Mackenzie, seorang anak buah Raffles. Ia yang sedang meneliti peninggalan peninggalan kuno di sekitar daerah Prambanan, menemukan kembali sisa-sisa tembok yang mengelilingi candi ini.
Arsitektur candi
Candi ini bergaya arsitektur Jawa Tengah abad ke-9, terdiri atas tiga bagian, kaki atau dasar, tubuh candi, dan atap candi. Kompleks candi ini seluas 8.140 meter persegi, dengan bangunan utama berukuran 401,3 meter persegi dan tinggi 27 meter. Candi ini menghadap ke barat. Ditemukan arca dwarapala yang sudah rusak yang kini tersimpan di pos penjagaan di kompleks candi ini. Pada kaki candi ini terukir relief fabel kisah satwa Jataka mengelilingi kaki candi. Tangga candi di sisi timur diapit arca makara, hanya satu yang masih utuh, satu makara lainnya sudah hilang. Pada ujung atas tangga terdapat gawang pintu gerbang berukir kala. Tubuh candi aslinya penuh berukir sulur-sulur, akan tetapi karena banyak batu yang hilang maka batu pengganti polos yang dipasang. Ruangan bilik dalam kini kosong, hanya terdapat relung dan singgasana yang aslinya mungkin menyimpan arca Buddha atau Boddhisatwa yang kini sudah hilang. satu arca Buddha yang telah rusak dan hilang kepalanya ditemukan di candi ini dan kini tersimpan di pos penjagaan candi ini. Atap candi bersusun tiga yang bertingkat-tingkat. Pada tingkatan-tingkatan ini terdapat jajaran stupa-stupa. Bagian puncak candi dimahkotai stupa yang besar.
Relief-relief Pada kaki candi disajikan relief adegan yang dipetik dari cerita fabel Pancatantra atau jataka yang berada di candi Sojiwan. Jumlah relief sekitar 12 adegan. Cerita relief dibaca menuju ke selatan (mapradakṣiṇa). Sayang sekali kondisi relief-relief ini banyak yang sudah aus dan memprihatinkan.
Relief 1 (Dua pria yang berkelahi)
Dua pria yang berkelahi Relief ini menggambarkan dua orang pria yang sedang berkelahi satu sama lain. Pria sebelah kiri berada dalam posisi menyerang. Ia memegang sebuah pedang pada tangan kanann ya yang tegak berdiri ke atas. Tangan kirinya dikepalkan dan menuding kepada figur yang berada di sebelah kanan. Kaki kirinya berdiri dan memberi kesan seakan-akan menendang. Sedangkan figur yang duduk di sebelah kanan membelakangi figur yang satunya. Mulutnya terbuka, ia berambut keriting dan memakai sebuah kalung dan gelang. Tangan kirinya memegang sebuah payung. Posisi figur ini seolah-olah terganggu dan kontras terhadap figur yang satunya.
Ada kemungkinan cerita yang dilukiskan di sini adalah kisah "Dhawalamukha" yang dimuat dalam "Kathâsaritsâgara".
Relief 2 (Angsa dan kura-kura)
Relief sekarang sudah rusak dan hanya tersisa bagian kanannya saja Relief ini melukiskan fabel seekor kura-kura yang dibawa terbang oleh sepasang angsa. Pada relief ini terdapat lukisan cerita hewan atau fabel yang dikenal dari Pancatantra atau jataka. Cerita lengkapnya disajikan di bawah ini. Namun cerita yang disajikan di bawah ini agak berbeda versinya dengan lukisan di relief ini: Ada kura-kura bertempat tinggal di danau Kumudawati. Danau itu sangat permai, banyak tunjungnya beranekawarna, ada putih, merah dan (tunjung) biru. Ada angsa jantan betina, berkeliaran mencari makan di danau Kumudawati yang asal airnya dari telaga Manasasara.Adapun nama angsa itu, si Cakrangga (nama) angsa jantan, si Cakranggi (nama) angsa betina. Mereka itu bersama-sama tinggal di telaga Kumudawati. Maka sudah lamalah bersahabat dengan kura-kura. Si Durbudi (nama) si jantan, sedangkan si Kacapa (nama) si betina. Maka sudah hampir tibalah musim kemarau. Air di danau Kumudawati semakin mengeringlah. [Kedua] angsa, si Cakrangga dan si Cakranggi lalu berpamitan kepada kawan mereka si kura-kura; si Durbudi dan si Kacapa. Katanya: “Wahai kawan kami meminta diri pergi dari sini. Kami ingin pergi dari sini, sebab semakin mengeringlah air di danau. Apalagi menjelang musim kemarau.Tidak kuasalah kami jauh dari air. Itulah alasannya kami ingin terbang dari sini, mengungsi ke sebuah danau di pegunungan Himawan yang bernama Manasasana. Amat murni airnya bening dan dalam. Tidak mengering walau musim kemarau sekalipun. Di sanalah tujuan kami kawan.” Begitulah kata si angsa.Maka si kura-kurapun menjawab, katanya: “Aduhai sahabat, sangat besar cinta kami k epada anda, sekarang anda akan meninggalkan kami, berusaha untuk hidupmu sendiri. Bukankah (keadaannya) sama kami dengan anda, tidak bisa jauh dari air? Ke mana pun anda pergi kami akan ikut, dalam suka dan duka anda. Inilah hasil persahabatan kami dengan kalian. Angsa menjawab: “Baiklah kura-kura. Kami ada akal. Ini ada kayu, pagutlah olehmu tengah-tengahnya, kami akan memagut ujungnya sana dan sini dengan isteriku. Kuatlah
kami nanti membawa terbang kamu, [hanya] janganlah kendor anda memagut, dan lagi jangan berbicara. Segala yang kita atasi selama kami menerbangkan anda nanti, janganlah hendaknya anda tegur juga. Jika ada yan g bertanya jangan pula dijawab. Itulah yang harus anda lakukan, jangan tidak mentaati kata-kata kami. Apabila anda tidak mematuhi petunjuk kami tak akan berhasil anda sampai ke tempat tujuan, akan berakhir mati.”Maka demikianlah kata angsa. Lalu dipagutlah tengah-tengah kayu itu oleh si kura-kura, ujung dan pangkalnya dipatuk oleh angsa, di sana dan di sini, laki bini, kanan kiri.Segera terbang dibawa oleh angsa, akan mengembara ke telaga Manasasara, tempat tujuan yang diharapkannya. Telah jauh terbang mereka, sampailah di atas ladang Wilanggala.Maka adalah anjing jantan dan betina yang bernaung di bawah pohon mangga. Si Nohan nama si anjing jantan, si Babyan nama si betina. Maka mendongaklah si anjing betina, melihat si angsa terbang, keduanya sama menerbangkan kura-kura. Lalu katanya.“Wahai bapak anakku, lihatlah itu ada hal yang amat mustahil. Kura-kura yang diterbangkan oleh angsa sepasang!”Lalu si anjing jantan menjawab: “Sungguh mustahil kata-katamu. Sejak kapan ada kura-kura yang dibawa terbang oleh angsa? Bukan kura-kura itu tetapi tahi kerbau kering, sarang karu-karu! Oleh-oleh untuk anak angsa, begitulah adanya!” Begitulah kata si anjing jantan. Terdengarlah kata-kata anjing itu oleh kura-kura, marahlah batinnya. Bergetarlah mulutnya karena dianggap tahi kerbau kering, sarang karu-karu. Maka mengangalah mulut si kura-kura, lepas kayu yang dipagutnyam jatuhlah ke tanah dan lalu dimakan oleh serigala jantan dan betina.Si angsa malu tidak dipatuhi nasehatnya. Lalu mereka melanjutkan perjalanan melayang ke danau Manasasara.
Relief 3 (Perlombaan antara Garuda dan kura-kura)
Perlombaan antara Garuda dan kura-kura Relief ini melukiskan cerita perlombaan antara Garuda dan kura-kura menyeberangi samudra. Akhirnya Garuda kalah karena disiasati oleh para kura-kura. Pada relief ini kita bisa menyaksikan seekor burung Garuda dan kura-kura di belakangnya dan di antara kakinya. Cerita lengkapnya seperti dimuat dalam kitab Tantri disajikan di bawah ini:
Alkisah adalah seekor kura-kura tua yang menjadi pemimpin sekelompok kura-kura. Ia sangat berprihatin karena setiap hari anggota kelompoknya pasti ada yang dimangsa oleh Garuda. Maka ia berpikir-pikir mencari siasat. Lalu ia berdiskusi dengan kura-kura lainnya supaya lolos dari sang Garuda. Lalu si kura-kura tua memiliki sebuah siasat. Mereka bertaruhan dengan sang Garuda. Bercepat-cepatan terbang menyeberang laut. Kalau kalah, maka semua kura-kura tetap dimakan sang Garuda. Namun jika menang, mereka akan berhenti menjadi makanan sang Garuda. Para kura-kura ragu bagaimana bisa mengalahkan sang Garuda, bahkan bertaruhan akan menyeberang lautan. Maka sang kura-kura tua menjawab bahwa mereka tidak usah khawatir, ia punya siasat. Katanya: “Pasti akan kalahlah sang Garuda oleh kalian. Turutilah semua katak u. Berjajarlah satu sama lain di dalam laut. Isilah lautan dengan penuh sampai di pinggir olehmu. Kalau sang Garuda memanggil, menyahutlah dulu yang di depan sang Garuda, semuanya begitu satu-satu sampai di pinggir. Sapalah duluan, siapapun yang dijumpai olehnya.” Begitulah inti diskusi mereka diharapkan supaya tidak dimangsa lagi. Maka tersusunlah mereka di dalam lautan lalu datanglah sang Garuda meminta makanannya. Sahut si kura-kura tua, katanya: “Aduh wahai sang Raja Burung, nanti akan saya berikan makanan anda. Lawanlah kami dulu. Memang kami ingin bertaruhan dengan anda. Bercepat-cepatan menyeberang laut. Kalau kami kalah, ya anda dapat memakan kami. Tetapi jika anda kalah, berhentilah memangsa kami sampai dengan keturunan kami di masa depan!” Begitulah kata si kura-kura, tertawalah sang Garuda, kemudian katanya: “Wahai kurakura asal kalian patuhi omonganmu saja. Kalian berani menantangku bertaruhan? Kapankah kalian bisa menang? Pastilah kalah!” Begitu kata mereka berdua dan keduanya setuju. Segeralah kemudian melayang sang Garuda, sedangkan semua kura-kura sudah tersusun sebelumnya dari batas dan pinggir lautan. Sampai sudah sang Garuda di tengah laut dan memanggillah ia si kura-kura yang dengan segera menyahutinya. Masing-masing yang dijumpainya dari depan sama-sama mendahului teriakan sang Garuda: “Hah anda tertinggal wahai sang Garuda!” Begitulah kata semua kura-kura menjawab. Sang Garuda berkata: “Aduh cepat sekali kalian, sungguh lelah saya!” Kemudian ia melayang. Ia mempercepat penerbangannya. Baru saja kelihatan tepi lautan pantai utara olehnya. Terlihat si kura-kura sudah sampai dan bersantai-santai, katanya dengan tenang: “Aduh lama Tuan saya menunggu kedatangan anda. Saya capai dan lesu, terhenti melaju sampai kedatangan Tuan.” Sahut sang Garud a: “Aduh kalian sungguh kencang. Saya mengaku kalah.” Maka sang Garuda sungguh sudah berhenti memangsa kura-kura bahkan sampai sekarang juga.
Relief 4 (Kera dan buaya)
Kera dan buaya Relief ini melukiskan cerita seekor kera yang menyiasati seekor buaya sehingga dapat menyeberangi sungai. Cerita ini merupakan cerita jataka.
Pada jataka bahasa Pali nomor 208, cerita ini disebut sebagai Śumşumāra jātaka kisahnya adalah sebagai berikut. Alkisah ketika sang Brahmadatta merupakan raja Benares, sang Bodhisattwa lahir sebagai raja kera dan hidup pada tepi sungai Gangga. Seekor buaya betina melihatnya dan ingin memakan jantungnya. Maka untuk menangkapnya, yang jantan ingin menyiasatinya dengan menawarkannya menyeberangi sungai Gangga di punggungnya di mana ia dapat menemukan banyak buah-buahan yang sedap. Si kera menerima tawarannya. Pada tengah sungai si buaya mengaku bahwa ia telah menipu si kera. Lalu si kera untuk menyelamatkan dirinya, bersiasat. Ia mengatakan bahwa jantungnya telah digantungkan pada sebuah pohon. Kemudian ia bisa mengambilkannya kalau si buaya mengantarkannya ke tepi sungai. Lalu sang Bodhisattwa menertawakan si buaya.
Relief 5 (Tikus dan ular)
Tikus dan ular Relief ini melukiskan cerita persahabatan antara seekor tikus dengan seekor ular . Persahabatan mereka tidaklah lestari. Cerita ini secara rinci adalah sebagai berikut:
Alkisah adalah seekor tikus yang ditangkap oleh seorang pemburu. Tikus ini akan dipakainya sebagai makanan ular, hewan piaraannya. Maka si ular ingin memakannya tetapi si tikus meminta jangan dulu. Katanya kalau sudah memakannya si ular menjadi gemuk dan akan dimakan oleh si pemburu. Sebaiknya berteman saja denga n si tikus dan mendengarkan nasehatnya. Si tikus menyuruhnya untuk menggigit tutup keranjang di mana mereka ditaruh. Maka loloslah mereka dan setelah beberapa saat si ular lapar dan memakan si tikus.
Relief 6 (Serigala dan wanita serong)
Serigala dan wanita serong Pada relief ini terdapatkan adegan seekor serigala, sebuah kolam dan seorang wanita. Di kolam bisa terlihat ikan dan setangkai bunga teratai. Serigala ini melihat ke arah kanan, ekor si serigala ini ditandai dengan garis-garis untuk menunjukkan bahwa ekornya berbulu. Lalu sang wanita yang duduk berjongkok di sebelah kanan melihat ke dalam air. Kemungkinan besar yang dilukiskan pada relief ini adalah sebuah cerita jataka yang disebut sebagai Culla-Dhanuggahajātaka dan merupakan jataka nomor 374. Moral cerita ini adalah
“kehilangan keberuntungan”. Kisah yang terkandung dalam jataka ini adalah sebagai berikut: Alkisah adalah seorang petani tua yang sangat kaya. Istrinya adalah seorang wanita muda cantik. Ia tidak merasa tenang di rumah dan pada suatu hari ketika sedang berjalan-jalan, ia berjumpa dengan seorang penyamun licik. Si penyamun ini berpura pura seolah-olah ia jatuh cinta. Sang wanita termakan siasatnya dan keesokan harinya mengambil semua harta benda suaminya dan bersama si penyamun melarikan diri. Lalu mereka berada di tepi sebuah sungai dan si penyamun berkata kepada si wanita untuk menyerahkan harta bendanya kepadanya supaya ia tidak kesusahan ketika menyeberang sungai. Bahkan bajunya diminta supaya ia tidak kebasahan kalau menyeberang sungai. Setalah itu si penyamun melarikan diri, sementara itu sang wanita yang sudah telanjang tertinggal di tepi sungai meratapi nasibnya. Tak lama kemudian ada seekor serigala yang menggondol daging di moncongnya. Serigala ini lalu melihat seekor ikan di sungai dan dagingya dijatuhkannya karena tergiur. Namun akhirnya ikannya menyelam dan dagingnya diambil oleh seekor burung pemangsa. Maka sang wanita yang melihat adegan ini menertawakannya. Si serigala
yang mendengarnya mencemoohnya dan mengataka n bahwa ini adalah kasus maling teriak maling dan sang wanita ini lebih bodoh dari padanya.
Relief 7 (Raja dan putri patih)
Raja dan putri patih Pada relief ini kita bisa melihat seorang wanita yang duduk bersila sementara ia memangku kepala seorang pria yang sedang bertiduran. Relief ini oleh para pakar diidentifikasikan sebagai relief dari cerita bingkai Tantri Kâmandaka.
Relief 8 (Gajah dan kambing)
Gajah dan kambing
Gajah
Relief 9 (Manusia singa)
Manusia singa
Relief 10 (Serigala dan banteng)
Serigala dan banteng Relief ini menceritakan cerita seekor serigala yang mengikuti seekor banteng karena mengira bahwa buah zakar si banteng ini merupakan buah benaran dan menunggu sampai matang lalu jatuh dan bisa dimakan.
Relief 11 (Kinnara)
Kinnara
Pada relief ini terdapat lukisan kinnara, atau sejenis makhluk sorgawi. Makhluk ini biasanya dihubungkan dengan kebahagiaan berumah-tangga. Selain di Sojiwan, relief ini banyak ditemukan di candi-candi di Jawa Tengah lainnya.
Relief 12 (Singa dan banteng)
Singa dan banteng Relief ini melukiskan pertempuran seekor singa melawan seekor banteng.
ejarah Candi Kalasan. Candi Kalasan oleh sebagian orang juga dikenal dengan nama Candi Kalibening.
Candi ini terletak di sebuah desa kecil di pinggiran kota Yogyakarta yaitu Desa Kalibening, Kabupaten Sleman, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Lebih tepatnya dengan koordinat 7° 46′ 2.33″S 110° 28′ 20.04″E .
Lokasinya yang hanya berjarak sekitar 15 km dari pusat kota Yogyakarta membuat candi mungil ini termasuk salah satu obyek wisata yang lumayan banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Selain itu letaknya yang tidak jauh dari candi Prambanan juga membuat para wisatawan akan mampir mengunjungi candi ini selalin mengunjungi candi Prambanan yang jauh lebih megah. Letaknyapun tidak terlampau sulit untuk dijangkau, dan bisa ditempuh dengan kendaraan sekitar 15 – 30 menit dari Yogyakarta, dan sekitar 5 - 10 menit dari Candi Prambanan.
Sejarah Candi Kalasan - Latar Belakang Sejarah Candi Kalasan berawal dari sebuah prasasti bernama Prasasti Kalasan, berbahasa Sanskerta
ditemukan tidak jauh di lokasi candi. Prasasti itu ditulis dengan menggunakan huruf Pranagari, dan berangka tahun 778 Masehi. Pada prasasti itu disebutkan mengenai pembangunan sebuah tempat suci untuk menghormati Dewi Tara, dan sebuah Vihara bagi para pendeta Budha. Pembangunan ini disebutkan berlangsung pada masa pemerintahan Maharaja Te japurnapana Panangkaran atau yang disebut juga sebagai Rakai Panangkaran yang berasal dari dinasti Syailendra.
Sejarah Candi Kalasan - Bersatunya 2 Dinasti Terbesar Di Nusantara Pada masa sekitar tahun 750 – 850 Masehi ada 2 dinasti besar yang menguasai Jawa Tengah. Di bagian utara dikuasai oleh Dinasti atau Wangsa Sanjaya yang beragama Hindu. Sedangkan di wilayah selatan dikuasai oleh Dinasti Syailendra yang beragama Buddha. Dua kekuatan dinasti besar tersebut telah membuat candi-candi yang ada di kedua wilayah mempunyai 2 corak yang sangat berbeda. Akhirnya kedua dinasti besar itu dipersatukan dengan sebuah pernikahan antara Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya dan Pramodawardhani, anak dari Maharaja Samarattungga dari Wangsa Syailendra. Pernikahan tersebut terjadi pada sekitar tahun 838 – 851 Masehi.
Sejarah Candi Kalasan Berdasarkan Prasasti Kalasan , para pemuka agama telah menganjurkan Rakai Panangkaran untuk membangun sebuah Vihara bagi para pendeta Buddha, dan juga sebuah tempat pemujaan untuk dew i Tara. Maka kemudian Rakai Panangkaran memberikan Desa Kalasan sebagai tempat untuk didirikannya sebuah Vihara dan juga sebuah tempat pemujaan Dewi Tara tersebut. Seorang sejarawan dari negeri Balanda ber nama Van Rumond mengadakan sebuah penelitian pada tahun 1928, dan dia mengungkapkan fakta mengenai Sejarah Candi Kalasan, yaitu bahwa sebenarnya jauh sebelum candi ini dibangun telah dibangun juga bangunan lain di sekitar situs candi ini. Bangunan itu diperkirakan adalah sebuah bangunan suci berupa vihara. Bangunan berupa vihara tersebut diyakini dibangun di tempat yang sama dengan candi. Dan berdasarkan penelitian dari bentuk candi juga disimpulkan bahwa vihara ini berukurang sekitar 45 x 45
meter, dan disimpulkan juga bahwa c andi ini setidaknya telah mengalami 3 kali pembangunan atau perbaikan. Berdasarkan dari beberapa bukti sejarah, kemudian juga disimpulkan bahwa keberadaan Candi Kalasan ini juga merupakan tanda bahwa Kerajaan Sriwijaya yang me nguasai bumi Sumatera ternyata juga telah memperluas kekuasaannya di tanah Jawa. Rakai Panangkaran kemudian diketahui menjadi raja Kerajaan Mataram Hindu yang kedua. Berdasarkan prasasti Kalasan tersebut, seorang peneliti bernama Prof.DR.Casparis meyakini bahwa pada saat itu candi ini dibangun secara bersama antara Hindu dan Buddha. Candi Kalasan ini telah dipugar sebanyak 2 kali yaitu pada tahun 1927 dan 1929.
Arsitektur Candi Prambanan
Candi Kalasan merupakan sebuah candi dengan persegi panjang
dengan ukuran sekitar 34 meter x 45 meter. Namun dengan alas di bawahnya yang memiliki bentuk bujur sangkar berukuran 45 x 45 meter dengan perkiraan ketinggian 20 meter dari permukaan tanah, maka diperkirakan candi ini memiliki tinggi keseluruhan sekitar 34 meter. Walaupun bangunan ini memiliki 4 buah pintu dengan 2 buah tangga, akan tetapi hanya pintu yang di timur yang dapat dimasuki menuju ke dalam candi. Badan candi berbentuk bujur sangkar dengan banyak lekukan yang didalamnya pada mulanya berisi berbagai bentuk arca. Namun banyak dari arca terse but telah hilang atau rusak. Sedangkan di bagian dalam candi terdapat sebuah ruangan yang berisi semacam alas dari batu yang diyakini sebelumnya adalah tempat untuk meletakkan patung Dewi Tara. Patung Dewi Tara sendiri sudah tidak berada pada tempatnya. Diperkirakan patung Dewi Tara ini berupa sebuah patung dari perunggu dengan tinggi sekitar 6 meter. Atap candi berbentuk persegi delapan yang dihiasi dengan patung Buddha dan stupa-stupa kecil dengan tinggi sekitar 4,6 meter sebanyak 52 buah.
Sejarah Candi Kalasan - Uniknya Candi Kalasan
Satu hal yang cukup unik yang bisa ditemukan dari Sejarah Candi Kalasan ini yaitu Vajralepa atau Bajralepa, yaitu semacam lapisan plester untuk melapisi bagian luar candi terutama pada reliefnya. Bajralepa ini sangat jarang ditemui pada bangunan candi lainnya di Indonesia. Namun bajralepa ini bisa ditemui di sebuah candi yang berada tak jauh dar i candi Kalasan, yaitu Candi Sari. Kedua candi ini memiliki kemiripan arsitektur. Selain bajralepa, hal menarik lainnya adalah candi ini memiliki relief yang dipahat dengan sangat halus sekali. Reliefnya berupa sulur-sulur, ceruk, relung, stupa, dan juga pahatan arca-arca manusia kerdil yang disebut dengan G ana. Walaupun banyak sekali potongan batu yang telah melalui proses pemugaran dan penataan ulang, namun ternyata banyak sekali bagian candi yang telah hilang. Ini membuat masih banyak sekali bagian candi yang hanya diletakkan begitu saja, dan tidak sesuai dengan posisinya sedia kala. Namun lepas dari itu Candi Kalasan merupakan salah satu situs sejarah yang sangat indah dan layak untuk dikunjungi. -Sejarah Candi Kalasan—
Candi Kalasan Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Candi Kalasan yang berada tidak jauh dari Candi Prambanan
Candi Kalasan atau Candi Kalibening [1] merupakan sebuah candi yang dikategorikan sebagai candi umat Buddha terdapat di desa Kalasan, kabupaten Sleman, provinsi Yogyakarta, Indonesia.
7°46′2,33″LU 110°28′20,04″BT
Candi ini memiliki 52 stupa dan berada di sisi jalan raya antara Yogyakarta dan Solo serta sekitar 2 km dari candi Prambanan. Pada awalnya hanya candi Kalasan ini yang ditemukan pada kawasan situs ini, namun setelah digali lebih dalam maka ditemukan lebih banyak lagi bangunan bangunan pendukung di sekitar candi ini. Selain candi Kalasan dan bangunan - bangunan pendukung lainnya ada juga tiga buah candi kecil di luar bangunan candi utama, berbentuk stupa. Berdasarkan prasasti Kalasan bertarikh 778 yang ditemukan tidak jauh dari candi ini menyebutkan tentang pendirian bangunan suci untuk menghormati Bodhisattva wanita, Tarabhawana dan sebuah vihara untuk para pendeta.[2][1] Penguasa yang memerintah pembangunan candi ini bernama Maharaja Tejapurnapana Panangkaran (Rakai Panangkaran) dari keluarga Syailendra. Kemudian dengan perbandingan dari manuskrip pada prasasti Kelurak tokoh ini dapat diidentifikasikan dengan Dharanindra[3] atau dengan prasasti Nalanda adalah ayah dari Samaragrawira[4]. Sehingga candi ini dapat menjadi bukti kehadiran Wangsa Syailendra, penguasa Sriwijaya di Sumatera atas Jawa.[5] Dalam Prasasti Kalasan berhuruf Pre Nagari, berbahasa Sanksekerta ini menyebutkan para guru sang raja Tejapurnapana Panangkaran dari keluarga Syailaendra berhasil membujuk raja untuk membuat bangunan suci bagi Dewi Tara beserta biaranya bagi para pendera sebagai hadiah dari Sangha. Profesor Dr Casparis. menafsir berdasarkan prasasti Kalasan itu, Candi Kalasan dibangun bersama antara Budha dan Hindu. Sementara itu Van Rumond, sejarahwan dari Belanda meyakini bahwa di situs yang sama pernah ada bangunan suci lain yang umurnya jauh lebih tua dibanding Candi Kalasan, sesuai hasil penelitian yang dilakukannya pada tahun 1928. Bangunan suci itu berbentu wihara yang luasnya 45 x 45 meter. Ini berarti bangunan candi mengalami tiga kali perbaikan. Sebagai bukti, menurutnya, terdapat empat sudut kaki candi dengan bagian yang menonjol. Pada bagian selatan candi terdapat dua relief Bodhisattva, sementara pada atapnya terdiri dari 3 tingkat. Atap paling atas terdapat 8 ruang, atap tingkat dua berbentuk segi 8, sedangkan atap paling bawah sebangun dengan candi berbentuk persegi 20 yang dilengkapi kamar-kamar setiap sisinya.
Daftar isi
1 Beberapa Keistimewaan dan Bentuk dari Candi Kalasan 2 Pranala luar 3 Rujukan 4 Galeri
Beberapa Keistimewaan dan Bentuk dari Candi Kalasan
Pada candi Kalasan ini memiliki lapisan penutup candi yang dinamakan Bajralepa, yaitu semacam plesteran di ukiran batu halus. Detil dari hiasan Bajralepa ini yang merupakan salah satu ciri Candi Kalasan, yang juga dijumpai pada Candi Sari. Denah bangunan Candi Kalasan berbentuk persegi. Atapnya segi delapan dan puncaknya berbentuk dagoba (stupa). Keadaannya sudah sangat rusak. Hanya bagian selatan yang masih utuh. Disebut-sebut, bilik pusatnya dahulu memiliki arca p erunggu setinggi 6 meter yang kini hilang. Sedangkan ketiga biliknya juga kosong. Tubuh dan atap candi dihias dengan ukiran-ukiran yang sangat indah. Terdiri dari relung-relung, sulur-sulur, arca-arca Budha, dagoba-dagoba dan arca Gana, yaitu manusia kerdil berperut buncit yang biasanya memikul barang. Mengenai hiasan ini, Bernet Kempers dalam bukunya, Indonesia Selama zaman Hindu, halaman 25, menyebutkan bahwa cara pembuatan hiasan yang cukup rapi dan memikat ini menunjukkan bahwa pada masa pembuatan candi ini memiliki pemahat dan ahli plester bangunan yang sangat cakap. Ditambahkan menurut Bernet, Candi Kalasan dulunya ditutup oleh stucco seluruhnya, seperti juga candi-candi yang lain. Sedangkan penghalusan bagian -bagian candi ditambahkan batu penutup yang terbuat dari batu kapur . Di dalam bangunan candi yang nampak sekarang, ternyata ada kontruksi yang lebih tua. Karena itu beberapa ahli mengatakan bahwa banguna yang ada sekarang itu merupakan banguan tambahan di sekitar abad ke-9. Bangunan aslinya jelas memiliki usia yang lebih tua daripada itu. Denah kaki Candi Kalasan terletak di atas lapik berbentuk bujur sangkar. Dasar candi juga berbentuk bujur sangkar. Pada kaki candi terdapat makara. Di sekeliling kaki ada hiasan jambangan. Tubuh candi bujur sangkar dengan penampil-penampil yang menjorok ke luar di tengah sisinya. Dilengkapi sebuah singasana yang dihiasi singha berdiri diatas punggung sekeor gajah. Bagian luar candi, terdapat relung yang dihiasi gambar dewa memegang bunga teratai. Pada setiap pintu masuk terdapat hiasan kepala kala yang dijenggernya terdapat kuncup bunga. Pohon dewata ada diatasnya dan para penghuni kahyangan memainkan bunyi-bunyian seperti rebab, gendang, kerang dan cemara. Atap candinya terdapat hiasan Gana. Atap nya berbentuk segi delapan dan bertingkat dua. Di tingkat pertama terdapat arca Budha. Pada keliling candi terdapat bangunan stupa setinggi 4,6 meter sebanyak 52 buah. Keindahan candi Kalasan ini masih bisa dinikmati terutama pada bagian selatan candi. Terdapat Banaspati yang besar, lajur yang tegak lurus dihiasi dengan sulur-sulur dan makara-makara, yang merupakan termasuk hasil kesenian Jawa pada masa Hindu yang terbaik. Keistimewaan lain adalah Makaranya menghadap kedalam dan keluar dan diatas kepala Kala terdapat lukisan berbentuk atap candi yang menjulang tinggi.
Bila candi ini dilihat dari dalam, candi ini disusun dari tumpukan batu-batuan yag saling terkait dan melebar kebawah. Sekalipun candi ini telah dipugar pada tahun 1927 dan pada tahun 1929, namun masyarakat tetap akan menemui kesulitan untuk melihat keindahan Candi Kalasan ini. Itu karena ada bagian bagian yang terpaksa tidak dapat dikembalikan seperti sediakala, disebabkan karena banyak batu -batu aslinya yang hilang. Candi Kalasan atau biasa disebut juga Candi Tara merupakan bangunan suci yang dipersembahkan bagi Dewi Tara dan biara bagi para pendeta. Candi Kalasan juga di bangun sebagai penghargaan atas perkawinan Pancapana dari dinasti Sanjaya dengan Dyah Pramudya Wardhani dari dinasti Syailendra. Candi Kalasan ini selesai di bangun pada tahun 778M, sehingga merupakan Candi Budha tertua di Yogyakarta. Candi Kalasan atau Candi Tara terletak di Kalibening, Desa Tirtomartani, Ke camatan Kalasan, Kabupaten Sleman. yaitu berada kira-kira 2KM di sebelah barat dari Candi P rambanan tepatnya 10 meter disebelah selatan jalan raya yang menghubungkan Jogja – Solo, dari Jogja sekitar 15 kilometer disebelah timur, sehingga Candi Kalasan ini mempunyai akses, sarana dan prasarana yang sangat memadai. Candi Kalasan atau Candi Tara di bangun atas perintah Rakai Panangkaran, sebagaimana dalam prasasti kuno yang ditemukan tidak jauh dari candi. Prasasti tersebut dibuat pada tahun 700 saka atau 778 Masehi dengan huruf Pranagari dan sansekerta yang memberikan penjelasan bahwa pendirian candi bermula dari usulan para Guru Sang Raja yang kem udian berhasil membujuk Raja Tejahpurna Parapkarana (Kariyana Panangkara), mustika Keluarga Syailendra (Syailendra Wangsatikala), yang juga bisa ditafsirkan bahwa telah dibangun oleh dua raja secara bersama-sama yaitu raja dari wangsa Syailendra dan raja dari Mataram Hindu yang tidak diketahui namanya di zaman wangsa Syailendra, untuk membangun sebuah bangunan suci bagi Dewa Tara yaitu penghormatan “Bodhisattva” yaitu
Wanita Tara dan sebuah biara bagi para pendeta. Kemudian raja m enghadiahkan Desa Kalasan kepada para biara dan tahun 778 masehi dianggap sebagai tahun pembuatan Candi Klasan. Biara yang disebut dalam prasasti ini diperkirakan adalah Candi Sari yang berlokasi sekitar 300 meter sebelah utara Candi Kalasan. Candi Kalasan dan Candi Sari terkenal sebagai candi yang indah hiasannya dan sangat halus pahatan batunya. Ada keistimewaan dari Candi Kalasan dan Candi Sari yang tidak terdapat pada candi lainnya, yaitu pada pelapis ornamen-ornamen dan relief pada dinding luarnya yang dikenal se bagai “Vajralepa” suatu bahan berwarna kuning yang terbuat dari getah bebe rapa tanaman dengan fungsi sebagai perekat dan pelindung terhadap kerusakan dan menjaga ukiran serta memperindah relief dindingnya. Dari kata Vajralepa, hingga kini orang Jawa ketika membangun dan melapisi tembok rumahnya biasa disebut dengan istilah “Ng-Lepa” atau “Nglepo”.
Napak Tilas di Candi Kalasan / Candi Tara Bangunan Candi Kalasan atau Candi Tara mempunyai tinggi 34 meter, panjang dan lebar 45 meter. Terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian bawah atau kaki candi, t ubuh candi dan atap candi. Bagian terbawah candi merupakan kaki candi yang berdiri di sebuah alas batu yang berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 45 meter dan sebuah batu le bar. Candi Kalasan ini memiliki stupa-stupa dengan tinggi sekitar 4,6 meter, berjumlah 52 buah disekelilingnya.
Tubuh candi berbentuk bujur sangkar dengan beberapa penampilan yang menjorok keluar ditengah sisinya. Pada bagian tenggara terdapat bilik yang dapat dimasuki melalui bilik penampil sisi timur. Didalam bilik tersebut terdapat sebuah singgasana bersandaran yang dihiasi pola singa berdiri diatas punggung seekor gajah. Pada bagian luar tubuh candi terdapat relung yang dihiasi figur tokoh dewa dalam posisi berdiri dengan memegang bunga teratai. Rakai Panangkaran yang juga konseptor Candi Borobudur menjadikan Candi Kalasan atau Candi Tara ini begitu indah. Pada setiap pintu masuk dari sisi utara dan selatan terdapat hiasan “kala”, mungkin ini juga menjadi asal mula nama “Kalasan”. Dibagian jengger terdapat hiasan kuncup-kuncup bunga, daun-
daunan, dan sulur-suluran. Bagian atas dihiasi pohon dewata dan lukisan awan beserta penghuni khayangan yang sedang memainkan bunyi-bunyian diantaranya pembawa gendang, rebab, kerang, dan camara. Bagian atap candi terdapat kubus yang dianggap sebagai puncak gunung semeru, disekitar kubus terdapat beberapa stupa. Batas antara atap dan tubuh candi te rdapat hiasan bunga makhluk kayangan yang berbadan kerdil disebut “Gana”. Bagian atap Candi Kalasan ini berbentuk segi delapan dan terdiri
dari dua tingkat. Pada masing-masing sisi ditingkat pertama terdapat arca Budha yang melukiskan manusia Budha dan di tingkat dua melukiskan Yani Budha. Candi Kalasan ini pulalah yang menjadi salah satu bangunan suci yang menginspirasi Atisha, yaitu seorang Budhis asal India yang pernah mengunjungi Kalasan dan Borobudur dan menyebarkan Budha ke Tibet.