HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BUKU PANDUAN Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Kementrian Kesehatan RI 2010
1
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Kata Pengantar Sambutan Dirjen Bina Pelayanan Medik Daftar Istilah BAB I Pendahuluan A. Latar Belakang B. Tujuan C.II.Sasaran BAB Penanganan Bayi Baru Lahir A. Penilaian Bayi Baru Lahir B. Perawatan Tali Pusat C. Inisiasi Menyusu Dini D. Pemberian Profilaksis Konjungtivitis Neonatorum E. Pemberian Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir F. Pemeriksaan Fisis Bayi Baru Lahir BAB III. Skrining Bayi Baru Lahir A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir B. Skrining Hipotiroid Kongenital C. Skrining Retinopathy of prematurity BAB IV. Permasalahan Bayi Baru Lahir A. Tatalaksana Asfiksia Neonatorum B. Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah dengan Metode Kanguru C. Tatalaksana Hiperbilirubinemia Neonatal D. Tatalaksana Sepsis Neonatorum
3 5 5 5 5 6 6 7 8 11 13 14 20 20 35 44 49 49 55 59 70
BAB V. Penutup
87
Lampiran
88
2
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
123I 99mTc
AABR AAP ABD ABR ACOG AHA AIDS ANOVA APGAR ASI ASSR AVT BERA BOA BOT BST CDC CPA CPAP CRIB CRP CSF DPOAE ECMO ELISA EMG FiO2 G6PD GBS G-CSF GM-CSF HAI HIV I/T rasio IAP IgG IgM IMD IVIG KPD LDPE LLDPE LoE NICU OAE
Isotop radioaktif iodine yang digunakan pada pencitraan kedokteran nuklir Merupakan metastabil isomer nuklir dari technetium-99 Automated Auditory Brainstem Response American Academy of Pediatrics Alat Bantu Dengar Auditory Brainstem Response American Congress of Obstetricians and Gynecologists American Heart Association Acquired Immune Deficiency Syndrome Analysis Of Variance Appearance, Pulse, Grimace, Activity, Respiration Air Susu Ibu Auditory Steady State Response Audioverbal Therapy Brainstem Evoked Respons Audiometry Behavioral Observation Audiometry Behavioral Observation Test Bilirubin Serum Total Centers for Disease Control and Prevention Conditioned Play Audiometry Continuous Positive Airway Pressure Clinical Risk Index for Babies C-Reactive Protein Cerebrospinal Fluid Distortion Product Otoacoustic Emission Extra Corporeal Membrana Oxygenation Enzyme-linked Immunosorbent Assay Electromyography Fraksi oksigen dalam udara inspirasi dalam campuran gas Glucose-6 Phosphate Dehydrogenase Guillain-Barre Syndrome Granulocyte Colony Stimulating Factor Granulocyte-Macrophage Colony Stimulating Factor Health care-associated Infection Human Immunodeficiency Virus Perbandingan neutrofil imatur dengan total neutrofil Intrapartum Antimicrobial Prophylaxis Imunoglobulin G Imunoglobulin M Inisiasi Menyusu Dini Intravenous Immunoglubulin Ketuban Pecah Dini Low Density Polyethylene Linear Low Density Polyethylene Level of Evidence Neonatal Intensive Care Unit Otoacoustic Emission
3
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
PCR Polymerase Chain Reaction PMK Perawatan Metode Kanguru PO2 Tekanan Oksigen Parsial PVDC Polyvinylidene Chloride RCT Randomised Controlled Trials Rooming-in Rawat gabung ROP Retinopathy Of Prematurity SAD Sepsis Awitan Dini SAL Sepsis Awitan Lambat SIRS Systemic Inflammatory Response Syndrome SNAP Score for Neonatal Acute Physiology SNAPPE II SNAP Perinatal Extension SRT Speech Reception Threshold Surgical spirits Larutan campuran etil alkohol dengan metil alkohol TBC Tuberkulosis TBG Thyroid Binding Globulin TORCHS Toxoplasma Rubella Cytomegalovirus Herpes Syphilis TPAE Tekanan Positif Akhir Ekspirasi TSH IRMA TSH Immunoradiometric Assay TSH Thyroid Stimulating Hormone TT Transfusi tukar VRA Visual Reinforcement Audiometry VSD Ventricular Septal Defect VTP Ventilasi Tekanan Positif WHO World Health Organization
4
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
PANEL AHLI
1.
Prof. Dr. Asril Aminullah, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
2.
Dr. Indra Sugiarno, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
3.
Dr. Rinawati Rohsiswanto, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
4.
Dr. Jose R.L. Batubara, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
5.
Dr. Rosalina Dewi, SpA (K) Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Subbagian Perinatologi, IKA, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
6.
Dr. Ronny Suwento, SpTHT-KL Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PERHATI) Subbagian THT Komunitas, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
7.
Dr. Tri Juda Airlangga, SpTHT-KL Perhimpunan Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher (PERHATI) Subbagian THT Komunitas, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta
8.
Dr. Rita Sitorus, SpM (K), PhD Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia (PERDAMI) Subbagian Pediatri Oftalmologi, Departemen Ilmu Penyakit Mata, FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta
KONTRIBUTOR
Dr. Made Dyah Subdit Bayi, Binkesmas, Kementrian Kesehatan RI UNIT PENGKAJIAN TEKNOLOGI KESEHATAN INDONESIA
1.
Prof. DR. Dr. Eddy Rahardjo, SpAn, KIC Ketua I
2.
Dr. Santoso Soeroso, SpA, MARS Ketua II
3.
Dr. K. Muhammad Akib, SpRad, MARS Anggota
4.
Dr. Andi Wahyuningsih Attas, SpAn Anggota
5.
Drg. Anwarul Amin, MARS Anggota
5
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
6.
Dr. Diar Wahyu Indriarti, MARS Anggota
7.
Dr. Ady Thomas Anggota
8.
Dr. Ririn Fristikasari, M.Kes Anggota
9.
Dr. Titiek Resmisari Anggota
10. Dr. Henny Adriani Puspitasari Anggota 11. Dr. Maria Gita Dwi Wahyuni Anggota
6
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jumlah kematian perinatal di 33 propinsi di Indonesia tercatat sebesar 217 kasus. Kematian neonatal dini (0-6 hari) dilaporkan sebesar 142 kasus (78,5%). Proporsi terbesar kematian pada usia neonatal dini disebabkan oleh gangguan pernapasan (respiratory disorders), prematuritas dan sepsis. Kematian bayi neonatal lanjut (7-28 hari) tercatat 39 kasus dengan penyebab tersering adalah sepsis neonatorum (20%).1 Faktor kesehatan ibu saat hamil dan bersalin memberikan kontribusi terhadap kondisi bayi dalam kandungannya. Dari 217 kasus kematian perinatal, 96.8% disebabkan oleh gangguan kesehatan ibu ketika hamil. Penyakit yang sering dialami ibu hamil pada bayi yang lahir mati secara berturut-turut adalah hipertensi maternal (24%) dan komplikasi ketika bersalin (partus macet) sebesar 17.5%. Sedangkan gangguan kesehatan ibu hamil dari bayi meninggal berumur 0-6 hari adalah ketuban pecah dini (23%) dan hipertensi maternal (22%).1 Untuk menurunkan jumlah kematian neonatal, Health Technology Assessment telah menyusun beberapa kajian dengan fokus penanganan ibu hamil dan bayi baru lahir serta memberikan rekomendasi kepada praktisi klinis, manajemen rumah sakit dan pengambil kebijakan. Buku panduan ini disusun dengan mengacu kepada rekomendasi HTA terhadap bayi baru lahir sebagai panduan klinis praktis dalam praktik di rumah sakit. B. Tujuan Buku ini disusun sebagai panduan klinis praktis dokter spesialis/umum di Rumah Sakit dalam melakukan penatalaksanaan bayi baru lahir yang berbasis bukti. C. Sasaran 1. Departemen Ilmu Kesehatan Anak di RS Tipe A,B dan C 2. Dokter Spesialis Anak dan Spesialis lain yang terkait 3. Dokter Umum 4. Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
7
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB II PERAWATAN BAYI BARU LAHIR
A. Penilaian Bayi Baru Lahir Segera setelah bayi baru lahir, letakkan bayi di atas kain bersih dan kering yang disiapkan pada perut bawah ibu. Segera lakukan penilaian awal dengan menjawab 4 pertanyaan:2 1. Apakah bayi cukup bulan? 2. Apakah air ketuban jernih, tidak bercampur mekoneum? 3. Apakah bayi menangis? 4. Apakah tonus otot baik? Jika bayi tidak cukup bulan dan atau air ketuban bercampur mekoneum dan atau tidak menangis atau tidak bernapas atau megap-megap dan atau tonus otot tidak baik lakukan langkah resusitasi. (Lihat Bab II Permasalahan Bayi Baru Lahir Asfiksia Neonatorum).
Gambar 1. Bagan Alur Manajemen Bayi Baru Lahir Sumber: Buku Acuan Pelatihan Klinik Panduan Asuhan Persalinan Normal. 2009
8
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Setelah dilakukan penilaian, apabila bayi baru lahir langsung menangis atau bernapas spontan dan teratur dilakukan perawatan rutin.2,3 1. Berikan kehangatan 2. Bersihkan jalan napas 3. Keringkan 4. Nilai warna B. Perawatan Tali Pusat Tali pusat pada umumnya diklem dengan forsep bedah segera setelah lahir. Lebih baik jika membiarkan bayi menangis dengan baik beberapa kali sebelum melakukan klem tali pusat supaya bayi mendapatkan darah tambahan dari plasenta. Tambahan darah tersebut dapat mencegah anemia 4 Kajian defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan. sistematik yang dilakukan oleh The Cochrane Library terhadap 7 studi RCT, menunjukkan bahwa penundaan klem tali pusat (waktu maksimum penundaan adalah 120 detik) berhubungan dengan transfusi akibat anemia yang lebih rendah (3 studi, 111 bayi, Risiko Relatif (RR) 2.01, 95% Interval Kepercayaan (IK) 1.24 3.27) atau tekanan darah rendah (2 studi, 58 bayi; RR 2.58, 95% IK 1.17 5.67) dan lebih sedikit perdarahan intraventrikular (5 studi, 225 bayi; RR 5 1.74, 95% IK 1.08 - 2.81) dibandingkan klem lebih dini. Tali pusat diklem 3-4 cm dari permukaan perut bayi, setelah bayi dikeringkan dan dinilai maka forseps dapat diganti dengan klem tali pusat atau pengikat tali pusat steril. Setelah persalinan, tunggul tali pusat masih basah dan lembut sehingga merupakan tempat tumbuh yang ideal untuk bakteri. Setelah diklem selama 6 jam, seharusnya tunggul tali pusat mengering dan tidak ditutup dengan perban. Jika tali pusat tetap lembut dalam 24 jam atau menjadi basah dan berbau menusuk, maka tali pusat dirawat dengan “surgical spirits” setiap 3 jam.4
Gambar 2. Proses pelepasan tali pusat Sumber: www.medscape.com
Kajian sistematik yang dilakukan oleh Cochrane menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna insidens infeksi antara pemberian triple dye; klorheksidin; bubuk salisilat; bubuk green clay; bubuk katoxin; dan fusin
9
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
dibandingkan dengan perawatan tali pusat kering/plasebo. Studi menunjukkan bahwa tidak ada keuntungan menggunakan antibiotik atau antiseptik pada perawatan tali pusat dibandingkan dengan perawatan kering. Selain itu didapatkan bahwa rata-rata waktu pelepasan tali pusat pada: perawatan kering adalah 9 hari, bubuk 7 hari, alkohol 11 hari sedangkan 6 antibiotik 12 hari. Kunjungan rumah untuk perawatan tali pusat di negara berkembang harus dilakukan lebih sering, sehingga pelepasan tunggul tali pusat yang 7 lebih cepat akan menurunkan kunjungan dan biaya perawatan postnatal. C. Inisiasi Menyusu Dini
Rooming-in dalam 24 jam memperbesar kesempatan untuk terjadi bonding dan optimalisasi inisiasi menyusu dini. Selama memungkinkan, ibu dan bayi harus tetap disatukan selama rawat inap di RS. Untuk menghindari pemisahan yang tidak perlu, penilaian bayi baru lahir setelah periode postpartum idealnya dilakukan di kamar ibu. Suatu RCT menunjukkan bahwa wanita multipara yang bayinya dirawat di ruang terpisah memiliki rerata volume ASI yang lebih rendah secara bermakna daripada wanita yang roomin-in dengan bayinya (Kruskal-Wallis, H = 14.68, nilai p= 0.0021). Gambaran ini juga tampak pada wanita primipara, hanya saja perbedaannya tidak bermakna secara statistik (Kruskal-Wallis, H = 4.77, nilai p=0.19). Disebutkan pula bahwa rooming-in pada wanita multipara berhubungan 8 dengan peningkatan rerata volume ASI sebanyak 149 ml. Bayi-bayi dengan usia kehamilan 34-36 minggu atau lebih, dapat memenuhi semua kebutuhannya langsung dari ASI. Berdasarkan hasil penelitian refleks hisap dengan EMG, diketahui bahwa refleks hisap yang efektif baru timbul pada bayi dengan usia kehamilan 34 minggu. 9 Oleh sebab itu, bila memungkinkan bayi baru lahir diletakkan pada payudara ibu segera setelah dikeringkan dan dilakukan penilaian pada menit pertama karena:10 1. Penelitian menunjukkan bahwa semakin cepat bayi baru lahir dilekatkan pada payudara ibu, semakin besar keberhasilan ibu dalam menyusui. Hal ini didukung oleh suatu studi yang menunjukkan bahwa ibu yang bayinya menghisap dalam 2 jam pertama postpartum memiliki volume ASI yang lebih banyak secara bermakna pada hari keempat daripada yang tidak. Rerata volume ASI adalah 284 ml (SE:14 ml) dan 184 ml (SE:27 ml) dengan nilai p=0.0006. Bayi yang menyusu dalam 2 jam pertama pasca persalinan memiliki berat badan yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan bayi yang tidak menyusu yaitu 3547.9 g (SE = 62.3) versus 3290.5 g (SE =88.7) (ANOVA F 1,75 = 4.98, nilai p value = 0.0286.8 Stimulasi puting dengan penghisapan dapat mempercepat kala tiga dengan mempercepat oksitosin maternal yang merangsang kontraksi uterus. 2. Meyakinkan ibu bahwa bayi dalam keadaan sehat. Berikut ini langkah-langkah melakukan IMD yang dianjurkan :10 1. Dianjurkan suami atau keluarga mendampingi ibu saat persalinan. 2. Disarankan juga tidak menggunakan bahan kimia saat persalinan, karena akan mengganggu dan mengurangi kepekaan bayi untuk mencari puting susu ibu. 3. Begitu lahir, bayi diletakkan di perut ibu yang sudah dialasi kain kering. 4. Keringkan seluruh tubuh bayi termasuk kepala secepatnya, kecuali kedua tangannya. 5. Tali pusat dipotong lalu diikat.
10
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
6.
7. 8.
Vernix (zat lemak putih) yang melekat di tubuh bayi sebaiknya tidak dibersihkan karena zat ini membuat nyaman kulit bayi. (Gambar 3) Tanpa dibedong, bayi langsung ditengkurapkan di dada atau perut ibu sehingga terjadi kontak kulit bayi dan kulit ibu. Ibu dan bayi diselimuti bersama-sama. Jika perlu, bayi diberi topi untuk mengurangi pengeluaran panas dari kepalanya. (Gambar 4)
Kontak Kulit & Menyusu Sendiri penting bagi ibu bayi karena :10 1. Dada ibu menghangatkan bayi dengan tepat selama bayi merangkak mencari payudara. Ini akan menurunkan kematian karena kedinginan (hypothermia). (Gambar 5) 2. Saat merangkak mencari payudara, bayi memindahkan bakteri dari kulit ibunya, dan dia akan menjilat-jilat kulit ibu, menelan bakteri baik di kulit ibu. Bakteri baik ini akan berkembang biak membentuk koloni di kulit dan usus bayi, menyaingi bakteri jahat dari lingkungan. (Gambar 6) 3. Ikatan kasih sayang antara ibu-bayi akan lebih baik karena pada 1-2 jam pertama, bayi dalam keadaan siaga. Setelah itu biasanya bayi tidur dalam waktu lama. (Gambar 7) 4. Ibu dan bayi merasa lebih tenang. Pernapasan dan detak jantung bayi lebih stabil. Bayi akan lebih jarang menangis sehingga mengurangi pemakaian energi. (Gambar 8) 5. Makanan awal non ASI mengandung zat putih telur yang bukan berasal dari susu manusia, misalnya susu hewan. Hal ini dapat mengganggu pertumbuhan fungsi usus dan mencetuskan alergi lebih awal. 6. Bayi yang diberi kesempatan menyusu dini lebih berhasil menyusui eksklusif dan akan lebih lama disusui. 7. Hentakan kepala bayi ke dada ibu, sentuhan tangan bayi diputing susu dan sekitarnya, emutan dan jilatan bayi pada puting ibu merangsang pengeluaran hormon oksitosin. Proses menyusui bayi pertama kali dilakukan oleh ibu dalam 1 jam pertama pascapersalinan. Pada persalinan dengan tindakan misalnya seksio sesaria, proses IMD tetap dapat dilakukan. Dalam keadaan asfiksia, bayi diperbolehkan tidak mendapat IMD. Dalam keadaan ini bayi memerlukan pertolongan segera untuklife saving.
11
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Inisiasi Menyusu Dini
Gambar 3. Verniks kaseosa
Gambar 5. Kontak kulit ke kulit
Gambar 7.Bonding craw l
Gambar 4. Diberi topi
Gambar 6.Breast crawl
Gambar 8. Ibu dan bayi lebih tenang
Sumber: www.promkes.com
12
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
D. Pemberian Profilaksis Konjungtivitis Neonatorum Konjungtivitis neonatorum merupakan konjungtivitis pada bayi baru lahir yang terjadi dalam bulan pertama kehidupan, dengan manifestasi klinis berupa eritema dan edema pada kelopak mata dan konjungtiva palpebra, sekret purulen dengan gambaran satu atau lebih sel polimorfonuklear (PMN) pada pewarnaan Gram, yang dilihat dengan minyak emersi, dari apus konjungtiva.11 Konjungtiva bayi baru lahir steril, namun segera terkolonisasi oleh berbagai mikroorganisme baik patogen atau nonpatogen. Konjungtiva bayi rentan terinfeksi, tidak hanya karena rendahnya kadar agen nonbakterial dan protein (lisozim dan imunoglobulin A dan G), juga karena lapisan film air mata (tear film) dan alirannya baru terbentuk.12 Isenberg (1995) menemukan 4 faktor risiko perinatal terhadap konjungtivitis neonatorum yaitu vaginitis maternal, terdapat mekonium pada kelahiran, persalinan pada lingkungan nonsteril, dan endometritis pascapersalinan.13 Yetman dan Coody (1997) mengemukakan faktor risiko lain yaitu ketuban pecah dini/premature rupture of membrane (PROM), penyakit menular seksual (yang positif maupun suspek), trauma lokal pada mata sewaktu persalinan.14 Terdapat 2 tipe konjungtivitis neonatorum, yaitu aseptik dan septik.15 Tipe aseptik (konjungtivitis kimia) disebabkan oleh penggunaan tetes mata argentin nitrat untuk profilaksis. Tipe septik disebabkan oleh infeksi bakteri dan virus.16 Mayoritas penyebabnya adalah infeksi Chlamydia trachomatis disusul oleh Neisseria gonorrhea dengan mekanisme penularan selama persalinan melalui jalan lahir dari ibu yang terinfeksi. Perbandingan manifestasi klinis dapat dilihat pada tabel 1.11 Gonokokus merupakan agen penyebab infeksi yang paling virulen, dan merupakan penyebab tersering kebutaan pada lahir. tahun 11 pertama kehidupan– sehingga memerlukan profilaksis pada bayi baru 11 Tabel 1. Perbandingan manifestasi klinis konjungtivitis septik
Keterangan Onset Masa inkubasi
chlamydial conjunctivitis Lebih lambat 5-14 hari (kolonisasi pascakelahiran pada mata, tidak selalu menimbulkan infeksi)
Gejala klinis
40% neonatus terinfeksi terdapat sekret serous yang kemudian menjadi banyak dan purulen
gonococcal conjunctivitis Lebih cepat 2-5 hari (dapat terjadi lebih cepat pada kasus ketuban pecah dini/ premature rupture of membrane ) Biasanya terjadi bilateral, ditandai oleh sekret purulen yang hiperakut dan berat, edema kelopak mata dan kemosis
Keparahan
Sebagian besar kasus : ringan ( selflimited); dapat memberat dengan gejala : pembengkakan kelopak mata, kemosis, papillary reaction, pseudomembran, peripheral pannus dan keterlibatan kornea.
Lebih parah sebab mikroba mampu menembus epitel kornea intak. Jika tidak diobati, dapat terjadi edema epitel kornea dan ulserasi kornea, yang dapat berkembang menjadi perforasi kornea dan endoftalmitis.
Komplikasi
10-20% berkembang pneumonia pada anak infantile syndrome )
Kebutaan
menjadi ( pneumonia
Herpes simplex conjunctivitis terjadi bersamaan dengan infeksi herpes sistemik, ditandai vesikel di sekeliling mata dan umumnya terdapat keterlibatan kornea. Konjungtivitis kimia biasanya terjadi dalam 24 jam
13
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
pascaprofilaksis dengan larutan argentin nitrat, dapat sembuh sendiri dalam beberapa hari. Pembengkakan kelopak dikaitkan dengan mata merah, atau stenosis lakrimal (jarang). Konjungtivitis neonatorum yang disebabkan mikroba lainnya – seperti Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenza, Escherichia coli, Klebsiella sp dan Pseudomonas aeruginosa – umumnya bergejala ringan tanpa komplikasi kornea ataupun sistemik.11 Crede (1881) memperkenalkan penggunaan larutan argentin nitrat 2% sebagai metode pencegahan konjungtivitis neonatorum dan berhasil menurunkan insidens konjungtivitis gonokokal di Eropa dan AS. Penggunaannya hanya terbatas pada profilaksis konjungtivitis oleh infeksi Gonokokus; namun tidak efektif terhadap infeksi Klamidia. Metode ini tidak digunakan lagi karena menyebabkan konjungtivitis kimia. Profilaksis konjungtivitis neonatorum pada masa kini digantikan oleh eritromisin atau tetrasiklin ointment.11 Isenberg (1995) menemukan bahwa larutan 2.5% povidone iodine lebih efektif untuk profilaksis konjungtivitis neonatorum daripada terapi dengan larutan argentin nitrat 1% (P<0.001) atau 0.5% eritromisin ointment (P=0.008), serta kurang toksik dan lebih murah.13 Iyamu E dan Enabulele O (2003) menyatakanNeisseria gonorrhea masih sensitif terhadap eritromisin. Profilaksis dengan ointment eritromisin 0.5% yang dioleskan pada kedua mata beberapa jam setelah bayi lahir.17 Terapi yang adekuat sangat diperlukan sebab konjungtivitis neonatorum dapat menimbulkan komplikasi serius berupa kebutaan akibat ulserasi kornea dan pembetukan jaringan parut.11,13 Terapi diberikan berdasarkan manifestasi klinis dan diagnosis yang didapat dari pewarnaan Gram dan Giemsa. Terapi sistemik lebih diutamakan daripada terapi topikal, mengingat organisme penyebab ditularkanseksualnya. melalui hubungan seksual, penting untuk mengobati ibuinfeksi dan pasangan WHO merekomendasikan terapi untuk mengatasi infeksi baik oleh Gonokokus maupun Klamidia. Kejadian ko-infeksi sekitar 2%.18 Kasus gonococcal conjunctivitis memerlukan kultur sekret mata atau darah (juga cairan serebrospinal jika terjadi infeksi sistemik).19 Untuk Chlamydial conjunctivitis, WHO dan AAP merekomendasikan terapi oral dengan eritromisin sirup, dosis 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis terbagi, selama 14 hari.20 Atau terapi oral dengan trimethoprim 40 mg kombinasi dengan sulphamethoxazole 200 mg dua kali perhari selama 14 hari.21 Eritromisin atau tetrasiklin topikal dapat digunakan sebagai terapi tambahan. Kelebihan penggunaan eritromisin adalah kemampuan eradikasi karier nasofaring, sebagai terapi pneumonitis dan lebih efektif dibanding terapi 22 Terapi dengan topikal dalam hal mencegah kekambuhan konjungtivitis. azitromisin merupakan alternatif dari eritromisin – telah diteliti pada populasi endemis – penggunaan massal azitromisin dosis tunggal atau 3 hari menurunkan angka kesakitan akibat infeksi Chlamydia trachomatis.23,24 Untuk pasangan seksual yang terinfeksi, diterapi dengan doksisiklin oral 100 mg dua kali perhari selama 7 hari atau azitromisin oral 1 g sebagai terapi dosis tunggal.20 Gonococcal conjunctivitis diterapi dengan Penisilin G intravena (IV) dosis 100.000 U/kgBB/hari selama seminggu. Pada daerah dengan resistensi penisilin, terapi penggantinya adalah sefalosporin generasi ketiga yang digunakan selama 7 hari. Seftriakson oral dosis rendah merupakan terapi yang sangat efektif dan direkomendasikan oleh WHO (dosis tunggal 62.5 mg
14
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
untuk bayi dan 125 mg untuk ibu).25 Neonatus dapat diterapi dengan seftriakson dosis tunggal (25 atau 50 mg/kgBB) IV/IM (intramuskular). Dosis total tidak melebihi 125 mg.26 Sefiksim, seftriakson, sefalosporin generasi ketiga, dan florokuinolon – efektif untuk eradikasi Neisseria gonorrhea.27 Pilihan regimen terapi menurut Buku Saku WHO adalah (1) seftriakson (50 mg/kgBB; dosis total 150 mg IM dosis tunggal); (2) kanamisin (25 mg/kgBB; dosis total 75 mg IM dosis tunggal); (3) oxytetracycline eye ointment atau (4) chloramphenicol eye ointment.28 Kedua mata bayi sesering mungkin (setiap jam,19 atau setidaknya 4 kali perhari28) diirigasi dengan larutan normal saline untuk mengeliminasi sekret.11 Terapi pada Herpes simplex conjunctivitis dengan asiklovir dosis rendah (30 mg/kgBB/hari IV terbagi 3 dosis) selama setidaknya 2 minggu untuk mencegah infeksi sistemik. Terapi topikal dengan acyclovir ophthalmic solution dua kali perhari dapat ditambahkan.29 E. Pemberian Profilaksis Vitamin K1 pada Bayi Baru Lahir Permasalahan pada Perdarahan akibat Defisiensi Vitamin K (PDVK) adalah terjadinya perdarahan otak dengan angka kematian 10-50% yang umumnya terjadi pada bayi dalam rentang umur 2 minggu sampai 6 bulan, dengan akibat angka kecacatan 30-50%. Data dari Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 1990-2000 menunjukkan terdapatnya 21 kasus PDVK, 17 kasus (81%) mengalami komplikasi perdarahan intrakranial dengan angka kematian 19%. (Catatan Medik IKA-RSCM, tahun 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya PDVK antara lain ibu yang selama kehamilan mengkonsumsi obat-obatan yang mengganggu metabolisme vitamin K seperti, obat antikoagulan oral (warfarin); antikonvulsan (fenobarbital, fenitoin, karbamazepin); obat-obat obat-obat antituberkulosis (INH, rifampicin); sintesis vitamin K yang kurang oleh bakteri usus (pemakaian antibiotik, khususnya pada bayi kurang bulan); gangguan fungsi hati (kolestasis); kurangnya asupan vitamin K dapat terjadi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif, karena ASI memiliki kandungan vitamin K yang rendah yaitu <20 ug/L bila dibandingkan dengan susu sapi yang memiliki kandungan vitamin K 3 kali lipat lebih banyak (60 ug/L). Selain itu asupan vitamin K yang kurang juga disebabkan sindrom malabsorpsi dan diare kronik. 30,31,32,33,34 International Society on Thrombosis and Haemostasis, Pediatric/Perinatal Subcommittee seperti yang dilaporkan oleh Sutor dkk 24 (tahun 1999) dan Isarangkura dkk (Thailand, 1989) menyatakan bahwa pemberian vitamin K baik secara oral maupun IM sama efektif. Efikasi profilaksis oral meningkat dengan pemberian berulang 3 kali daripada dosis tunggal, dan efikasi lebih tinggi bila diberikan dalam dosis 2 mg daripada dosis 1 mg. Pemberian vitamin K oral yang diberikan tiap hari atau tiap minggu sama efektif dengan profilaksis vitamin K IM.34 REKOMENDASI HTA Semua bayi baru lahir harus mendapatkan profilaksis vitamin K1 dengan 1 mg dosis tunggal intramuskular. (Rekomendasi A) Sumber: Laporan HTA 2003-2006
15
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
F. Pemeriksaan Bayi Baru Lahir Waktu pemeriksaan bayi baru lahir adalah sebagai berikut:2 Bayi lahir di fasilitas kesehatan 1. Baru lahir, setelah IMD, pemberian vitamin K1 dan salep/tetes mata antibiotika 2. Usia 6-12 jam
Bayi lahir di rumah 1. Baru lahir, setelah IMD, pemberian vitamin K1 dan salep/tetes mata antibiotika 2. Sebelum bidan meninggalkan bayi
3. Dalam 1 minggu pascalahir, dianjurkan dalam 2-3 hari
3. Dalam 1 minggu pascalahir, dianjurkan dalam 2-3 hari
4. Dalam minggu ke 2 pascalahir
4. Dalam minggu ke 2 pascalahir
Anamnesis: 1. Keluhan tentang bayinya 2. Masalah kesehatan pada ibu yang mungkin berdampak pada bayi (TBC, demam saat persalinan, KPD > 18 jam, hepatitis B atau C, sifilis, HIV/AIDS, penggunaan obat). 3. Cara, waktu, tempat bersalin dan tindakan yang diberikan pada bayi jika ada. 4. Warna air ketuban 5. Riwayat bayi buang air kecil dan besar 6. Frekuensi bayi menyusu dan kemampuan menghisap Pemeriksaan fisis Prinsip: Pemeriksaan dilakukan dalam keadaan bayi tenang (tidak menangis). Pemeriksaan tidak harus berurutan, dahulukan menilai pernapasan dan tarikan dinding dada bawah, denyut jantung serta perut. Pemeriksaan fisis yang dilakukan Lihat postur, tonus dan aktivitas
Lihat kulit Hitung pernapasan dan lihat tarikan dinding dada bawah ketika bayi sedang tidak menangis. Hitung denyut jantung dengan meletakkan stetoskop di dada kiri setinggi apeks kordis. Lakukan pengukuran suhu ketiak dengan termometer.
Lihat dan raba bagian kepala
Keadaan normal Posisi tungkai dan lengan fleksi. Bayi sehat akan bergerak aktif. Wajah, bibir dan selaput lendir, dada harus berwarna merah muda, tanpa adanya kemerahan atau bisul. Frekuensi napas normal 40-60 kali per menit. Tidak ada tarikan dinding dada bawah yang dalam Frekwensi denyut jantung normal 120160 kali per menit. Suhu normal adalah 36,5 - 37,5º C Bentuk kepala terkadang asimetris karena penyesuaian pada saat proses persalinan, umumnya hilang dalam 48 jam. Ubun-ubun besar rata atau tidak membonjol, dapat sedikit membonjol saat bayi menangis.
16
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Lihat mata Lihat bagian dalam mulut. - Masukkan satu jari yang menggunakan sarung tangan ke dalam mulut, raba langit-langit. Lihat dan raba perut.
Lihat tali pusat Lihat punggung dan raba tulang belakang. Lihat lubang anus. - Hindari memasukkan alat atau jari dalam memeriksa anus - Tanyakan pada ibu apakah bayi sudah buang air besar
Lihat dan raba alat kelamin luar. - Tanyakan pada ibu apakah bayi sudah buang air kecil
Timbang bayi. - Timbang bayi dengan menggunakan selimut, hasil dikurangi selimut Mengukur panjang dan lingkar kepala bayi
Menilai cara menyusui, minta ibu untuk menyusui bayinya
Tidak ada kotoran/sekret Bibir, gusi, langit-langit utuh dan tidak ada bagian yang terbelah. Nilai kekuatan isap bayi. Bayi akan mengisap kuat jari pemeriksa. Perut bayi datar, teraba lemas. Tidak ada perdarahan, pembengkakan, nanah, bau yang tidak enak pada tali pusat.atau kemerahan sekitar tali pusat Kulit terlihat utuh, tidak terdapat lubang dan benjolan pada tulang belakang Terlihat lubang anus dan periksa apakah mekonium sudah keluar. Biasanya mekonium keluar dalam 24 jam setelah lahir. Bayi perempuan kadang terlihat cairan vagina berwarna putih atau kemerahan. Bayi laki-laki terdapat lubang uretra pada ujung penis. Teraba testis di skrotum. Pastikan bayi sudah buang air kecil dalam 24 jam setelah lahir. Berat lahir 2,5-4 kg. Dalam minggu pertama, berat bayi mungkin turun dahulu baru kemudian naik kembali. Panjang lahir normal 48-52 cm. Lingkar kepala normal 33-37 cm. Kepala dan badan dalam garis lurus; wajah bayi menghadap payudara; ibu mendekatkan bayi ke tubuhnya Bibir bawah melengkung keluar, sebagian besar areola berada di dalam mulut bayi Menghisap dalam dan pelan kadang disertai berhenti sesaat
Pemeriksaan secara detail pada bayi baru lahir yang dilakukan segera setelah bayi lahir adalah rutin dilakukan. Perlu dilakukan pemeriksaan untuk melakukan skrining kelainan bawaan. Menurut panduan dari National Institute for Health and Clinical Excelence(NICE), komponen skrining dengan pemeriksaan fisis meliputi:35 - pemeriksaan jantung - pemeriksaan tulang paha - pemeriksaan mata - pemeriksaan testis pada anak laki-laki Penyakit Jantung Bawaan Penyakit jantung bawaan meliputi spektrum penyakit yang luas, dari VSD yang dapat mengalami resolusi spontan hingga kondisi yang menyebabkan
17
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
kematian. Insidens keseluruhan sekitar 1 dalam 100 kelahiran hidup, tetapi insidens kondisi yang lanjut hanya 1 dalam 1000 kelahiran hidup. Pertimbangan dilakukan skrining adalah bahwa adanya tindakan bedah yang direncanakan akan memberikan keluaran yang lebih baik daripada bedah emergensi dalam halmortalitas dan morbiditas. Juga mengurangi stres pada orang tua. Program skrining dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisis semua elemen sistem kardiovaskular dan riwayat pemberian makanan. Ekokardiografi hanya sesuai dilakukan sebagai bagia penilaian yang lebih lanjut atau sebagai bagian penilaian anak dengan risiko tinggi seperti bayi dengan Down Syndrome. Sementara pemeriksaan oksimetri dapat memiliki peran penting dalam skrining. Metode awal apapun yang digunakan untuk modalitas skrining, sangat penting memberikan akses kepada klinisi berpengalaman untuk menegakkan diagnosis sehingga tindakan bedah dapat segera dilakukan.
Developmental Dysplasia of the Hip (DDH) Insidens kasus ini adalah 1-2 per 100 bayi lahir hidup. Penatalaksanaan bertujuan untuk melakukan stabilisasi panggul, diawali dengan penggunaan splint. Apabila hal tersebut gagal maka dibutuhkan pembedahan. Skrining dilakukan dengan pemeriksaan fisis menggunakan Metode Barlow dan Ortolani. Meskipun pemeriksaan dilakukan segera setelah bayi lahir dan diulang 6-8 minggu kemudian, kemungkinan adanya keterlambatan deteksi DDH tidak dapat dihilangkan. Penggunaan ultrasonografi dalam pemeriksaan panggul menunjukkan bahwa pemeriksaan ini lebih sensitif tetapi diduga berhubungan dengan pertimbangan penatalaksanaan yang berlebihan. Seperti diketahui bahwa penatalaksanaan dapat menyebabkan kerusakan panggul, maka ini harussecara menjadi dasar pertimbangan dan menjadi alasan penggunaan ultrasonografi universal tidak direkomendasikan. Namun tetap direkomendasikan bagi bayi dengan riwayat presentasi bokong (breech presentation) pada kehamilan atau riwayat keluarga garis pertama dengan DDH. Pemeriksaan mata Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat kelainan struktural pada mata, bukan memeriksa ketajaman penglihatan. Kelainan utama yang sering ditemukan adalah katarak dan retinoblastoma. Penyakit tersebut jarang (2-3 per 10.000 kelahiran hidup). Skrining didasarkan pada inspeksi mata dan pemeriksaan refleks fundus.
Cryptorchidism (Undescended Testes –UDT) Adesensus testis ditemukan pada 2% bayi laki-laki. Kondisi ini dianggap penting karena berhubungan dengan hipospadia dan adanya adesensus testis bilateral merupakan indikasi hiperplasia adrenal kongenital, juga meningkatkan risiko terjadinya torsi, subfertilitas dan keganasan. Terdapat perdebatan mengenai perlunya bayi dengan adesensus testis dilakukan tindakan untuk memperbaiki letaknya pada skrotum, belum terdapat bukti yang baik bahwa tindakan tersebut dapat mengubah risiko terjadinya keganasan dan bukti mengenai hubungannya dengan fertilitas masih inkonsisten. Telah menjadi kesepakatan bahwa pembedahan dilakukan sebelum anak mulai sekolah; banyak pihak yang merekomendasikan pembedahan antara usia 1 dan 2 tahun.
18
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 9. Algoritma pemeriksaan fisis bayi baru lahir menurut skrining NI PE Sumber : http://www.newbornphysical.screening.nhs.uk
19
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DAFTAR PUSTAKA
1 2 3 4 5
6
7
8
9
Pusat Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar 2008. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Buku Acuan Pelatihan Klinik Asuhan Persalinan Normal. Jakarta: 2009.( in press) Perkumpulan Perinatologi Indonesia (PERINASIA). Buku Panduan Resusitasi Neonatus. Edisi ke-5. Jakarta: PERINASIA, 2007. H.1-10. Perinatal Education Program.Newborn manual. Rabe H, Reynolds GJ, Diaz-Rosello JL.Database Early versus delayed umbilical cord clamping in preterm infants. Cochrane of Systematic Reviews 2004, Issue 4. Art. No.: CD003248. DOI: 10.1002/14651858.CD003248.pub2. (LoE 1A) Zupan J, Garner P, Omari AAA. Topical umbilical cord care at birth. Cochrane Database of Systematic Reviews 2004, Issue 3. Art. No.: CD001057. DOI: 10.1002/14651858.CD001057.pub2. (LoE 1A) Mugford M, Somchiwong M,Waterhouse I. Treatment of umbilical cords: a randomised trial to assess the effect of treatment methods on the work of midwives. Midwifery 1986;2:177–86. Bystrova K, Widström AM, Matthiesen AM, Ransjö-Arvidson AB, WellesNyström B, Vorontsov I, Uvnäs-Moberg K. Early lactation performance in primiparous and multiparous women in relation to different maternity home practices. A randomised trial in St. Petersburg. International Breastfeeding Journal 2007, 2:9. Carfoot S, Williamson P, Dickson R. A randomized controlled trial in the north of England examining the effects of skin-to-skin care on breastfeeding.
Midwifery. 2005;21:71-79. (Level of evidence Ia) 10 Zuraidah. Satu jam pertama yang menakjubkan. Diunduh dari URL: http://www.promkes.com. 11 Mallika PS, et al. Neonatal Conjungtivitis – A Review. Malaysian Family Phsycian 2008; Volume 3, Number 2. ISSN : 1985-2274. 12 Prescott LM, Harley JP and Klein DA. Microbiology. 4th ed. McGraw-Hills Co, USA;1999.p.780. 13 Isenberg SJ, Leonard MD, Wood M. A controlled trial of povidone-iodine as prophylaxis against ophthalmia neonatorum. The New England Journal of Medicine. 1995;332:562-6. 14 Yetman R and Coody D. Conjunctivitis: A practice guideline.J Pediatric Health Care 1997; 11(5):238-44. 15 Schaller UC, Klauss V. Is Crede’s prophylaxis for ophthalmia neonatorum still valid? Bull World Health Organ.2001;79(3):262-6. 16 Darvielle T. Chlamydia trachomatis infection in neonates and young children. Semin Pediatr Infect Dis.2005;5(4):235-44. 17 Iyamu E, Enabulele O. A Survey on Ophthalmia Neonatorum in Benin City, Nigeria (Emphasis on gonococcal ophthalmia). Online J Health Allied S cs. 2003;2:2. ISSN 0972-5997. 18 Guidelines for the management of sexually transmitted infections 2003. Accessed on 15 Aug 2007 at http://www.who.int/reproductivehealth/publicationa/rhs_01_01_mngt_stis/guidelines_mngt_stis.pdf 19 Canadian STD Guidelines Ophthalmia Neonatorum. SupplementNovember 1995 Vol. 21S4.
20
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
20 AAP, AAOP, Red Book: 2003 Report of the committee on Infectious Disease, 26th ed. ELK Grove Village, IL, 2003. 21 Barker R and Isenberg S. Is single dose ceftriaxone the best treatment for ophthalmia neonatorum in a resource poor setting? 22 Scott R Lambert, Conjunctivitis of the newborn (Ophthalmia Neonatorum). David Taylor & Creig S Hoyt. Pediatric Ophthalmology and Strabismus, Philadelphia, Elsevers Saunders, 2005, 146-8. 23 Solomon A, et al. Mass treatment with single-dose azithromycin for trachoma. NEJM 2004;351(19):1962-72. 24 Scémann J-F, et al. Longitudinal evaluation of three azithromycin distribution strategies for treatment of trachoma in a Sub-Saharan African country, Mali. Acta Tropica 2007;101:40-53. 25 Hoosen AA, Kharsany AB, Ison CA. Single low-dose ceftriaxone for the treatment of gonococcal ophthalmia –implications for the national programme for the syndromic management of sexually transmitted diseases. S AFR Med J. 2002;92(3):238-40. 26 Workowski KA, Levine WC. Sexually transmitted diseases treatment guidelines 2002. Centers for disease control and prevention. MMWR Recomm Rep 2002;51 (RR-6)1-78. 27 Population and Public Health Branch. Material Safety Data Sheet – Infectious substances. Health Canada 2001;1-4. 28 WHO Indonesia. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Jakarta; WHO.2009. 29 Whittey R, Arwin A, Prober C, et al. A Controlled trial comparing vidarabine with acyclovir in neonatal herpes simplex virus infection. N Engl J Med. 1991;324(7):444-9. 30 recommendations National health andonmedical research council Australia. Joint statement andK vitamin K to newborn infants to prevent vitamin deficiency bleeding in infancy. Oktober 2000. Didapat dari URL: http://www.health. gov.au /nhmrc/publications/pdf/ch39.pdf 31 Fetus and Newborn Committee ofThe Paediatric Society of NewZealand, The New Zealand College of Midwives, The New Zealand Nurses Organisation, The Royal New Zealand College of General Practitioners, The Royal Australian and New Zealand College of Obstetricians and Gynaecologists. Vitamin K prophylaxis in the newborn. Prescriber Update No.21:36-40. Didapat dari URL:http://www.medsafe.govt.nz/Profs/PUarticles/vitk.htm 32 British Columbia Reproductive Care Program. Vitamin K prophylaxis. Maret 2001.Didapat dari URL:http//www.rcp.gov.bc.ca/Guideline/Newborn/Master.Nb12.VitK.pdf 33 St John EB. Hemorrhagic disease of newborn. Juni 2002. Didapat dari URL:http://www.emedicine.com 34 Isarangkura PB, Chuansumrit A. Vitamin K deficiency in infants. Hematology 1999 Educational Program and Scientific Supplement of the IX Congress of the International Society of Haematology, Asian-Pacific Division. Bangkok, Thailand. 1999:154-9. 35 NICE. Newborn screening in the UK.
21
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB III SKRINING BAYI BARU LAHIR
A. Deteksi Dini Gangguan Pendengaran Pada Bayi Baru Lahir 1. Gejala gangguan pendengaran pada bayi dan anak Gejala gangguan pendengaran pada bayi sulit diketahui mengingat ketulian tidak terlihat. Biasanya keluhan orangtua adalah bayi tidak memberi respons terhadap bunyi. Umumnya orangtua melaporkan sebagai terlambat bicara (delayed speech), tidak memberi respons saat dipanggil atau ada suara/bunyi. Dapat pula sebagai keluhan perkembangan kosakata yang tidak sesuai dengan usia anak, berbicara tidak jelas, atau meminta sesuatu dengan isyarat. Gangguan pendengaran dibedakan menjadi : - tuli sebagian (hearing impaired) yaitu penurunan fungsí pendengaran tetapi masih bisa berkomunikasi dengan atau tanpa alat bantu dengar; - tuli total ( deaf) adalah gangguan fungsí pendengaran yang sedemikian terganggu sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat pengerasan bunyi. 2. Perkembangan sistem pendengaran Pada usia gestasi 9 minggu, mulai terbentuk ketiga lapisan pada gendang telinga, dan pada minggu ke-20 sudah terjadi pematangan koklea dengan fungsi menyamai dewasa dan dapat memberi respons terhadap suara. Pada saat yang sama, bentuk daun telinga sudah menyerupai daun telinga orang dewasa 30 walaupun masih pneumatisasi terus berkembang sampai usia 9 tahun. Pada usia gestasi minggu terjadi dari timpanum, demikian juga dengan liang telinga luar yang terus berkembang sampai usia 7 tahun. Perkembangan auditorik berhubungan erat dengan perkembangan otak. Neuron dibagian korteks mengalami pematangan dalam waktu 3 tahun pertama kehidupan dan masa 12 bulan pertama kehidupan terjadi perkembangan otak yang sangat cepat. Berdasarkan hal tersebut, maka upaya melakukan deteksi dini gangguan pendengaran sampai habilitasi dapat dimulai pada saat perkembangan otak masih berlangsung. 2.a. Perkembangan mendengar Usia 0 – 4 bulan
4 – 7 bulan
Kemampuan Auditorik Bila diberikan stimulus bunyi, respon mendengar yang terjadi masih bersifat refleks (behavioral responses) seperti: - Refleks auropalpebral (mengejapkan mata) - Heart rate meningkat - Eye widening (melebarkan mata) - Cessation (berhenti menyusu) - Grimacing (mengerutkan wajah) 4 bulan : memutar kepala pada arah horizontal; masih lemah (belum konsisten) 20
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
7 - 9 bulan 9 - 13 bulan
7 bulan : memutar kepala pada arah horizontal dengan cepat; namun pada arah bawah masih lemah Memutar kepala dengan cepat; mengidentifikasi sumber bunyi dengan tepat 12 bulan : keingintahuan terhadap bunyi lebih besar; mencari sumber bunyi yang berasal dari arah atas 13 bulan : dapat mengidentifikasi bunyi dari semua arah dengan cepat
2.b. Perkembangan Bicara dan Bahasa Perkembangan bicara seorang anak sejalan dengan pertambahan usianya dan perkembangan mendengar. Usia Neonatus 2 - 3 bulan 4 - 6 bulan
7 - 11 bulan
12 - 18 bulan 24 - 35 bulan
36 - 47 bulan
Kemampuan menangis ,suara mendengkur (cooing),suara berkumur (gurgles) tertawa dan mengoceh tanpa arti (babbling) : aaa, ooo mengeluarkan suara kombinasi vokal dan konsonan. - ocehan bermakna (true babling) atau lalling (pa..pa.., da..da) - memberi respons terhadap suara marah atau bersahabat - belajar menangis dengan suara yang bervariasi sesuai kebutuhan menggabungkan kata/suku kata yang tidak mengandung arti, seperti bahasa asing (jargon); usia 10 bulan : mampu meniru suara (echolalia) - mengerti kata perintah sederhana : kesini - mengerti nama obyek sederhana : sepatu, cangkir - menjawab pertanyaan sederhana - mengerti instruksi sederhana, menunjukkan bagian tubuh dan nama mainan - kata yang diucapkan antara 150 -300 kata - volume dan pitch suara belum terkontrol -mengenali warna, mengerti konsep besar - kecil, sekarang nanti - jumlah kata yang diucapkan mencapai 900– 1.200 kata -memberi respons pada 2 kalimat perintah yang tidak berhubungan seperti:ambil sepatu, letakkan gelas di atas meja - mulai bertanya kenapa dan bagaimana?
3. Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan pendengaran pada bayi dan anak dibedakan berdasarkan saat terjadinya yaitu : Masa Prenatal Dibagi menjadi genetik dan nongenetik seperti gangguan/kelainan masa kehamilan, kelainan struktur anatomi (atresia liang telinga, aplasia koklea), dan kekurangan zat gizi (misal : defisiensi Iodium).
21
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Yang paling penting adalah trimester I kehamilan, misalnya akibat infeksi bakteri atau virus (TORCHS). Disamping itu, beberapa jenis obat ototoksik dan teratogenik berpotensi menyebabkan gangguan pendengaran. Masa Perinatal Prematur , berat badan lahir rendah (< 2500 gram), hiperbilirubinemia, dan asfiksia. Masa Postnatal Adanya infeksi bakteri atau virus (rubela, campak, parotitis, infeksi otak), perdarahan telinga tengah, trauma tulang temporal yang mengakibatkan tuli saraf atau tuli konduktif.
Gangguan pendengaran pada masa prenatal dan perinatal biasanya adalah tuli sensorineural bilateral derajat berat/sangat berat. Faktor faktor risiko yang perlu dipertimbangkan dan telah ditetapkan oleh American Joint Committée on Infant Hearingpada tahun 2000 : Usia 0 – 28 hari : - Menjalani perawatan di NICU selama ≥ 48 jam - Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural atau tuli konduktif, misalnya sindroma Rubela; - Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran sensorineural yang menetap sejak masa anak-anak; - Kelainan kraniofasial termasuk kelainan morfologi pinna (daun telinga) atau liang telinga; - sitomegalovirus, Infeksi intra uterin, seperti TORCHS herpes dan sifilis). (toksoplasma, rubella, Usia 29 hari – 2 tahun : - Kecurigaan orangtua/pengasuh terhadap gangguan pendengaran, keterlambatan bicara, afasia atau keterlambatan perkembangan lain; - Riwayat keluarga dengan gangguan pendengaran yang menetap masa anak-anak; - Keadaan yang berhubungan dengan sindroma tertentu yang diketahui mempunyai hubungan dengan tuli sensorineural, tuli konduktif atau gangguan fungsi tuba Eustachius; Infeksi postnatal yang menyebabkan gangguan pendengaran sensorineural, termasuk meningitis bakterialis; - Infeksi intra uterin seperti TORCHS (toksoplasma, rubela, sitomegalovirus, herpes, sífilis); - Adanya faktor risiko tertentu pada masa neonatus, terutama hiperbilirubinemia yang memerlukan transfusi tukar, hipertensi pulmonal yang membutuhkan ventilator serta kondisi lainnya yang membutuhkan ECMO (extra corporeal membrana oxygenation); - Sindroma tertentu yang berhubungan dengan gangguan pendengaran yang progresif seperti sindroma Usher, neurofibromatosis dan lain-lain;
22
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
- Adanya kelainan neurodegeneratif seperti sindroma Hunter dan kelainan neuropati sensomotorik (Friederich’s ataxia, sindroma Charcot - Marie Tooth) - Trauma kapitis; - Otitis media yang berulang atau menetap disertai efusi telinga tengah minimal 3 bulan.
12 bulan -- belum dapat mengoceh b ( abbling) atau meniru 18 bulan -- tidak dapat menyebut 1 kata berarti 24 bulan -- perbendaharaan kata kurang dari 10 kata 30 bulan -- belum dapat merangkai 2 kata
4. Skrining gangguan pendengaran pada bayi baru lahir 4.1. Tujuan Menemukan gangguan pendengaran sedini mungkin pada bayi baru lahir agar dapat segera dilakukan habilitasi pendengaran yang optimal sehingga dampak negatif cacat pendengaran dapat dibatasi. 4.2. Prinsip dasar skrining pendengaran pada bayi Skrining pendengaran dilakukan dengan maksud membedakan populasi bayi menjadi kelompok yang tidak mempunyai masalah gangguan pendengaran (Pass/lulus) dengan kelompok bayi yang mungkin mengalami gangguan pendengaran (Refer/tidak lulus). pendengaran diagnosis karena kelompok PassSkrining /lulus dan kelompok bukan Refer/tidak lulus pasti masih ada 2selain kelompok lain, yaitu kelompok positif palsu (hasil refer namun sebenarnya pendengaran normal) dan negatif palsu (hasil pass tetapi sebenarnya ada gangguan pendengaran). Hasil skrining pendengaran harus diterangkan dengan jelas kepada pihak orangtua untuk mencegah kecemasan yang tidak perlu. Hasil skrining pendengaran yang telah dilakukan oleh suatu unit/kelompok masyarakat atau fasilitas kesehatan (RS, puskesmas, praktik dokter, klinik, balai kesehatan ibu dan anak/BKIA) harus dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memiliki sarana pemeriksaan pendengaran yang lengkap dan mampu melaksanakan habilitasi pendengaran dan wicara.
Ear spesific Frequency specific (penentuan ambang dengar pada setiap frekuensi)
23
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Berdasarkan fasilitas yang tersedia, skrining gangguan pendengaran dapat dikelompokkan menjadi : I. Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit hospital ( based hearing screening) II. Skrining gangguan pendengaran pada komunitas community ( based hearing screening) Skrining gangguan pendengaran di rumah sakit hospital ( based hearing screening) dikelompokan menjadi : 1. Universal Newborn Hearing Screening(UNHS) 2. Targeted Newborn Hearing Screening 1.Universal Newborn Hearing Screening(UNHS) Dilakukan pada semua bayi baru lahir (dengan atau tanpa faktor risiko terhadap gangguan pendengaran). Skrining awal dilakukan dengan pemeriksaan Otoacoustic Emission (OAE) sebelum bayi keluar dari rumah sakit (usia 2 hari). Bila bayi lahir pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki sarana OAE, paling lambat pada usia 1 bulan telah melakukan pemeriksaan OAE di tempat lain. Bayi dengan hasil skrining Pass (lulus) maupun Refer (tidak lulus) harus menjalani pemeriksaan BERA (atau BERA otomatis) pada usia 1– 3 bulan. Pada usia 3 bulan, diagnosis harus sudah dipastikan berdasarkan hasil pemeriksaan: OAE, BERA, timpanometri (menilai kondisi telinga tengah). Untuk bayi yang telah dipastikan mengalami gangguan pendengaran sensorineural, perlu dilakukan pemeriksaan ASSR (Auditory Steady State Response) atau BERA dengan stimulus tone burst, agar diperoleh informasi ambang dengar pada masing-masing frekuensi; haloptimal. ini akan membantu pengukuran alat bantu dengar yang Khusus untuk proses bayi yang tidak memiliki liang telinga (atresia) diperlukan pemeriksaan tambahan berupa BERA hantaran tulang ( bone conduction). Berdasarkan tahapan waktu tersebut di atas, habilitasi pendengaran sudah harus dimulai pada usia 6 bulan. Kriteria UNHS: 1. Mudah dikerjakan serta memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi sehingga kejadian refer minimal. 2. Tersedia intervensi untuk habilitasi gangguan pendengaran. 3. Skrining, deteksi dan intervensi yang dilakukan secara dini akan menghasilkan outcome yang baik. 4. Cost-effective. Kriteria keberhasilan : cakupan c( overage) 95 %, nilai refferal : < 4 % 2.Targeted Newborn Hearing Screening Skrining pendengaran yang dilakukan hanya pada bayi yang mempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran (Gambar 10). Kelemahan metode ini adalah sekitar 50 % bayi yang lahir tuli tidak
24
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
mempunyai faktor risiko. Model ini biasanya dilakukan di NICU (Neonatal ICU) atau ruangan Perinatologi.
SKRINING PENDENGARAN BAYI BARU LAHIR
Hospital based
UNIVERSAL NEWBORN HEARING SCREENING (UNHS) Semua bayi
Community based
TARGETED NEWBORN HEARING SCREENING Hanya bayi dengan faktor risiko
Gambar 10. Klasifikasi skrining pendengaran bayi baru lahir
4.3. Pemeriksaan skrining pendengaran Sampai saat ini pemeriksaan pendengaran yang terbaik adalah audiometri karena dapat memberikan informasi ambang pendengaran yang bersifat spesific frequency. Kelemahan pemeriksaan audiometri adalah besarnya faktor subyektif dan membutuhkan kerja sama (pasien kooperatif) dan membutuhkan respons yang dapat dipercaya dari pasien; akibatnya pemeriksaan audiometri tidak dapat dilakukan pada pasien berusia dibawah 6 bulan.
(1) Otoacoustic Emission(OAE) (2) Automated ABR ( BERA Otomatik) U.S Joint Committee on Infant Hearing Screening (JCIH 2000)
25
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pemeriksaan objektif (Elektrofisiologis)
Pemeriksaan subyektif (Behavioral)
OAE (mulai 2 hari)
Behavioral Observation Test Behavioral Observation Audiometry (0 – 6 bulan) Visual Reinforcement Audiometry (7 -30 bulan) Conditioned Play Audiometry (30 bulan – 5 tahun)
BERA Otomatis (≤ 3 bulan) Click (≥ 3 bulan) Tone burst (≥ 3 bulan) Bone conduction Timpanometri ASSR
Tes Daya Dengar /TDD modifikasi
a. Pemeriksaan obyektif a.1.Otoacoustic Emission (OAE) Menilai integritas telinga luar dan tengah serta sel rambut luar outer ( hair cells) koklea. OAE bukan pemeriksaan pendengaran karena hanya memberi informasi tentang sehat tidaknya koklea. Pemeriksaan ini mudah, praktis, otomatis, noninvasif, tidak membutuhkan ruangan kedap suara maupun obat sedatif. Hasil pemeriksaan mudah dibaca karena dinyatakan dengan kriteria Pass (lulus) atau Refer (tidak lulus). Hasil Pass menunjukkan keadaan koklea baik; sedangkan hasil Refer artinya adanya gangguan koklea sehingga dibutuhkan pemeriksaan lanjutan berupa AABR atau BERA pada usia 3 bulan. Hasil OAE dipengaruhi oleh gangguan (sumbatan) liang telinga dan kelainan pada telinga tengah (misalnya cairan). Untuk skrining pendengaran, digunakan OAE skrining OAE ( screener) yang memberikan informasi kondisi rumah siput koklea pada 4 - 6 frekuensi. Sedangkan untuk diagnostik digunakan OAE yang mampu memeriksa lebih banyak lagi frekuensi tinggi.
26
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
1. Pemeriksaan dilakukan pada bayi baru lahir yang berusia > 24 jam. 2. Lingkungan dan bayi harus tenang. 3. Liang telinga harus bersih dari kotoran (serumen) maupun cairan. 4. Menggunakan probe yang sesuai dengan ukuran telinga bayi. Pada bayi usia kurang dari 6 bulan digunakan probe khusus yang bergerigi (tree tip) untuk mencegah kolaps liang telinga. 5. Posisi probe mengarah ke membran timpani. 6. Bila hasil Refer, sebaiknya diulang beberapa kali sampai dipastikan memang hasilnya Refer.
Gambar 11. OAE Skrining 6 frekuensi
Gambar 1 2. OA E Dia nostik
a.2. Brainstem Evoked Response Audiometry (BERA) atau Auditory Brainstem Response (ABR) BERA menilai perubahan potensial listrik di otak yang timbul setelah pemberian stimulus suara. ABR berfungsi untuk menilai integritas saraf sepanjang jalur pendengaran. Pemeriksaan BERA yang dilakukan umumnya menggunakan stimulus suara jenis click, pemeriksaan ini tidak frequency spesific artinya hanya diketahui ambang respons pada frekuensi rata-rata (2000 - 4000 Hz). Agar dapat memperoleh ambang pada masing-masing frekuensi harus ditambahkan pemeriksaan BERA dengan stimulus tone burst. Pemeriksaan BERA sebaiknya dilakukan pada ruang kedap suara. Pada 27
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
bayi diperlukan sedatif untuk mencegah internal noise. Bila digunakan BERA otomatis, karena waktunya singkat dapat dilakukan tanpa sedatif. Respons neural terhadap stimulus bunyi yang diterima akan direkam komputer melalui elektroda pemukaan s( urface electrode) yang ditempelkan pada kepala (dahi dan prosesus mastoid). Parameter yang dinilai berdasarkan morfologi gelombang, amplitudo dan masa laten. Hasil penilaian adalah intensitas stimulus terkecil (desibel/dB) yang masih memberikan gelombang BERA. Ada 5 gelombang BERA yang dapat dibaca, masing masing menggambarkan respons dari bagian-bagian jaras auditorik mulai dari nervus akustikus sampai kolikulus inferior. Pada bayi yang paling mudah diidentifikasi adalah gelombang V (kolikulus inferior). Perlu diperhatikan agar pemeriksaan BERA pada bayi dibawah usia 3 bulan atau bayi lahir prematur, mungkin terjadi pemanjangan masa laten sehingga didapat kesan adanya tuli konduktif, pada kasus seperti ini perlu dilakukan BERA ulangan pada saat usia lebih dari 3 bulan dan dilakukan koreksi usia (pada prematur). Pemeriksaan BERA Otomatis Automated ( ABR) Merupakan pemeriksaan BERA otomatis sehingga tidak diperlukan analisis gelombang evoked potential karena hasil pencatatan mudah dibaca, berdasarkan kriteria pass atau refer (tidak lulus). Pemeriksaan ini sama dengan BERA konvensional yaitu menggunakan elektroda permukaan dengan pemberian stimulus click, mudah dilakukan, praktis, tidak invasif dan hanya dapat menggunakan intensitas 30 – 40 dB. Umumnya digunakan untuk keperluan skrining pendengaran. Pemeriksaan pendengaran secara obyektif perlumaka dilakukan dan disesuikan dengan usia anak. Apabila terdapat juga kelainan diperlukan pemeriksaan lebih lanjut yang disesuaikan dengan alur HTA Health ( Technology Assesment) skrining pendengaran bayi 2006.
Gambar 13. BERA Click
Gambar 14. BERA tone burst
Gambar 15. BERA Otomatis
28
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pemeriksaan Timpanometri Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai keadaan telinga tengah (normal, tekanan negatif, cairan) dan fungsi tuba Eustachius. Pada bayi berusia kurang dari 6 bulan digunakan timpanometri frekuensi tinggi (High Frequency Tympanometry) dengan pertimbangan pada usia tersebut liang telinga masih lentur/ kolaps sehingga menghalangi stimulus suara yang masuk. Gambar 16.Timpanogram
Auditory Steady State Response(ASSR) Dengan ASSR dapat dibuat prediksi atau estimasi audiometri (predicting audiometry) atau evoked potential audiometry karena dapat memberikan gambaran audiogram pada bayi dan anak. Hal ini dimungkinkan karena ASSR memberikan informasi ambang pendengaran pada frekuensi spesifik secara otomatis dan simultan, yaitu pada frekuensi 500, 1.000, 2.000 dan 4.000 Hz. Bila perlu dapat di setting untuk frekuensi lainnya. Stimulasi berupa bunyi modulasi yang kontinu berupa AM Amplitude (
Modulation) dan FM (Frequency Modulated) melalui insert phone. Intensitas stimulus dapat mencapai 127 dB HL. Selain dapat memberikan informasi ambang pendengaran, ASSR sangat bermanfaat untukfitting alat bantu dengar pada bayi dan menilai sisa pendengaran sebagai pertimbangan untuk implantasi koklea.
Gambar 17. Auditory Steady State Response 29
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
b. Pemeriksaan Subyektif Bila sarana pemeriksaan yang bersifat obyektif atau elektrofisiologis tidak tersedia, dapat dilakukan pemeriksaan subyektif yang mengandalkan respons behavioral sebagai reaksi bayi terhadap stimulus bunyi, antara lain pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA), Visual Reinforcement Audiometry (VRA)dan Conditioned Play Audiometry (CPA). Namun bila memungkinkan, tetap dianjurkan untuk mengkonfirmasi hasilnya dengan pemeriksaan obyektif. b.1. Pemeriksaan Behavioral Pemeriksaan pendengaran yang subyektif karena respon dari bayi dan anak tidak konsisten. Namun demikian pemeriksaanbehavioral memiliki kemampuan frequency spesific. Tentu saja, nilai sensitivitas dan spesifitasnya kurang dibandingkan pemeriksaan obyektif seperti OAE dan BERA. Idealnya dilakukan di ruang kedap suara, bila tidak tersedia dapat di ruangan biasa tetapi cukup tenang. Bila tidak tersedia sarana pemeriksaan yang lebih obyektif, dapat dimanfaatkan untuk bayi dibawah 6 bulan misalnya pemeriksaan Behavioral Observation Test (BOT) atau Behavioral Observation Audiometry (BOA). Pada anak usia 6 bulan atau lebih pemeriksaanbehavioral juga dapat dilakukan untuk konfirmasi pemeriksaan obyektif yang telah dilakukan, terutama bila menghadapi kendala untuk memperoleh pemeriksaan yang bersifat frequency spesific.
Behavioral Observation Audiometry(BOA) Tujuan : menentukan ambang pendengaran berdasarkan unconditioned responses terhadap bunyi; misalnya refleks behavioral. Untuk menilai bayi/anak 0 – 6 bulan. Frekuensi stimulus : range speech frequency. Persyaratan Pemeriksaan di ruang kedap suara/cukup tenang Respon bayi dinilai oleh 2 orang pemeriksa Stimulus berjarak 1 meter dari dari telinga, di belakang garis lapang pandangan Stimulus : Audiometer + loud speaker Intensitas stimulus dikalibrasi dengansound level meter Respon yang dinilai : respon behavioral /refleks ( unconditioned response): - mengejapkan mata (refleks auropalpebral ) -
ritme jantung bertambah cepat berhenti meyusu (cessation reflex) mengerutkan wajah (grimacing) 30
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Prosedur Pemeriksaan BOA Bayi dipangku dalam kondisi siap memberi respons/setengah tidur Dapat sambil menyusu Bila tidur nyenyak; bangunkan. Bila ketakutan : tunda. Orangtua tidak ikut mambantu respons Respons harus konsisten dan dapat diulang Pada saat terjadi respons, catat intensitas Bila respon (-) catat intensitas paling besar Keterbatasan : tidak menentukanthreshold (ambang pendengaran). Prosedur Behavioral Obsevation Test sama dengan BOA, tetapi menggunakan stimulus yang tidak terukur frekuensi dan intensitasnya( misalnya bertepuk tangan).
Visual Reinforcement Audiometry (VRA) Tujuan : Menentukan ambang pendengaran bayi 7 -30 bulan dengan menilai conditioned response (respons yang telah dilatih terlebih dahulu). Pemeriksaan ini dapat digunakan untuk menentukan ambang pendengaran. Keterbatasan : karena stimulus berasal dari pengeras suaraloudspeaker) ( , maka ambang yang diperoleh menunjukkan kondisi telinga yang lebih baik. Cara Pemeriksaan Bayi dilatih terlebih memberikan respons
dahulu khusus
untuk (misal
memutardengan kepala) terhadap bunyi kekerasan stimulus bunyi (intensitas) tertentu. Bila bayi memberikan respons, berikan hadiah berupa cahaya lampu. Kemudian pemeriksaan diulang dengan intensitas yang lebih rendah sampai tercapai ambang dengar yaitu stimulus terkecil yang masih menghasilkan respons. Gambar 18.Visual Reinforcement Audiometry (VRA) Keterangan Gambar 8
S : Speaker; VR : Visual reinforcer; P : Orang tua( memangku bayi); I : Bayi; A : Pemeriksa; TA : Observer
Conditioned Play Audiometry (CPA) Tujuan : Menilai ambang pendengaran berdasarkan respons yang telah dilatih (conditioned) melalui kegiatan bermain terhadap stimulus bunyi. Stimulus bunyi diberikan melalui ear phone sehingga dapat diperoleh 31
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
ambang pada masing masing frekuensi frequency-specific) ( dan masingmasing telinga (ear specific). Dengan teknik ini, dapat ditentukan jenis dan derajat ganggguan pendengaran. Dilakukan untuk anak usia 30 bulan– 5 tahun. Prosedur Pemeriksaan Terlebih dahulu anak dilatih memberikan respons melalui kegiatan bermain, misalnya memasukkan sebuah balok ke dalam kotak; bila anak mendengar suara dengan intensitas (kekerasan bunyi) tertentu. Selanjutnya intensitas diturunkan sampai diperoleh intensitas terkecil di mana anak masih memberikan respons terhadap bunyi. Bila suara diganti dengan ucapan (kata-kata) dapat juga ditentukan speech reception threshold (SRT). b.2. Tes Daya Dengar (Modifikasi) Merupakan pemeriksaan subyektif untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada bayi dan anak dengan menggunakan kuesioner berisikan pertanyaan- pertanyaan ada tidaknya respons (daya dengar) bayi atau anak terhadap stimulus bunyi. Pertanyaan berbeda untuk 8 kelompok usia. Untuk tiap kelompok usia, daftar pertanyaan terbagi menjadi 3 kelompok penilaian kemampuan; (1) Ekspresif, (2)Reseptif dan (3) Visual; masing-masing terdiri dari 3 pertanyaan dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”. Daftar pertanyaan Tes Daya Dengar (modifikasi) dapat dilihat pada lampiran 2. Cara penilaian 1. Bila semua pertanyaan (3 buah) dijawab “Ya” berarti tidak terdapat kelainan daya dengar (Kode N/normal). 2. Bila terdapat minimal 1 (satu) jawaban “Tidak” berarti kita harus hatihati terhadap kemungkinan gangguan daya dengar (Kode HTN/Hatihati Tidak Normal). Tes harus diulang 1 (satu) bulan lagi. 3. Bila semua jawaban adalah “Tidak” mungkin terdapat gangguan lain dengan atau tanpa kelainan daya dengar (ada gangguan lain dan tidak normal). 4. Bila semua jawaban pada kemampuan ekspresif dan reseptif adalah “Tidak” dengan kemampuan visual normal berarti ada kelainan pada daya dengar (Kode TN/Tidak Normal).
Anak dengan kode HTN, GTN, dan TN dicatat pada kemampuan mana anak tidak bisa mengerjakan; dan bila dilakukan tes dibawah kelompok usianya, sampai usia mana anak bisa mengerjakan tes tersebut. 4.4. Tindak Lanjut setelah Skrining Pendengaran Bayi yang tidak lulus skrining tahap kedua harus dirujuk untuk pemeriksaan audiologi lengkap termasuk pemeriksaan OAE,ABR dan , sehingga dapat dipastikan ambang pendengaran Behavioral pada keduaAudiometry telinga dan lokasi lesi auditorik. Diagnosis pasti idealnya telah selesai dikerjakan pada saat bayi berusia 3 bulan. Berdasarkan alur skrining pendengaran bayi HTA 2006 (Lampiran 1), bayi yang gagal pada skrining awal, dilakukan pemeriksaan timpanometri, 32
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tetap tidak lulus, segera dilakukan pemeriksaan BERA stimulus click + tone burst 500 Hz atau ASSR, sedangkan BERA bone conduction diperiksa bila ada pemanjangan masa laten (gangguan pendengaran konduktif). Sebaiknya pemeriksaan tersebut diatas dikonfirmasi dengan Behavioral Audiometry. Terhadap bayi yang lulus skrining awal, tetap dilakukan pemeriksaan DPOAE dan AABR pada usia 3 bulan. Bila tidak lulus, segera dilanjutkan dengan pemeriksaan audiologi lengkap. Untuk bayi yang lulus skrining namun mempunyai faktor risiko terhadap gangguan pendengaran, dianjurkan untuk follow up sampai anak bisa berbicara. 5. Diagnosis Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan THT, pemeriksaan pendengaran baik secara subyektif maupun obyektif, pemeriksaan perkembangan motorik, kemampuan berbicara serta psikologis. 6. Tatalaksana Apabila ditemukan adanya gangguan pendengaran sensorineural harus dilakukan habilitasi berupa amplifikasi pendengaran, misalnya dengan alat bantu dengar (ABD). Selain itu, bayi/anak juga perlu mendapat habilitasi wicara berupa terapi wicara atau terapi audioverbal (AVT) sehingga dapat belajar mendeteksi suara dan memahami percakapan agar mampu berkomunikasi dengan optimal. Rekomendasi dari American Joint Committee on Infant Hearing (JCIH)yang ditetapkan berdasarkan banyak penelitian menyatakan bahwa bila skrining pendengaran pada bayi telah dimulai pada usia 2 hari, kemudian diagnosis dipastikan pada usia 3 bulan sehingga habilitasi yang optimal dapat dimulai pada usia 6 bulan; maka pada usia 36 bulan kemampuan wicara anak tidak berbeda jauh dengan anak yang memiliki pendengaran normal. Dalam hal pemasangan ABD harus dilakukan seleksi ABD yang tepat dan proses fitting yang sesuai dengan kebutuhan sehingga diperoleh amplifikasi yang optimal. Proses fitting ABD pada bayi/anak jauh lebih sulit dibandingkan orang dewasa. Akhir-akhir ini ambang pendengaran yang spesifik pada bayi dapat ditentukan melalui teknik Auditory Steady State Response (ASSR), yang hasilnya dianggap sebagai prediksi audiogram, sehingga prosesfitting ABD bayi lebih optimal. Bila ternyata ABD tidak dapat membantu, salah satu alternatif adalah implantasi koklea. 7. Pencegahan Mengingat tingginya angka infeksi yang anak maka perlu dilakukan imunisasi pemeriksaan kehamilanpun dianjurkan Apabila diketahui kemungkinan adanya
dapat terjadi pada ibu hamil dan misalnya untuk rubela, sehingga untuk dilakukan secara teratur. faktor genetik , maka dianjurkan
untuk konseling genetik.
33
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA 1. Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi baru lahir dengan atau tanpa faktor risiko. (Rekomendasi B LoE IIb) 2. Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahir di RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS. (Rekomendasi C LoE IV) 3. Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dan dilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan. (Rekomendasi B LoE IIb) 4. Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan dengan alur sebagai berikut: (terlampir dalam lampiran 2). 5. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam hal penatalaksaan pasien. 6. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat. 7. Institusi pendidikan dan PERHATI-KL menyelenggarakan kursus, pelatihan, dan bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM berkaitan dengan skrining pendengaran pada bayi baru lahir.
Daftar Pustaka 1. Joint Committee on infant hearing. Year 2000 Position Statement : Principles 2.
3.
4. 5.
and Guidelines for Early Hearing Detection and Intervention Programs. Pediatrics 2000;106:789-817. Suwento R. Zizlavsky S, Hendarmin H. Gangguan pendengaran pada bayi dan anak. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit telinga hidung tenggorok. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. h. 31-42 Rehm HL, Willianson RE, Keana MA, Corey DP, Korf BR. Understanding the genetics of deafness, a guide for parents and families. Harvard Medical School Center for hereditary deafness. Diunduh dari: http://hearing.harvard.edu. Diakses tanggal 10 April 2004. Stach BA. Causes of hearing impairment. Dalam: Stach BA. Clinical Audiology: An introduction. San Diego: Singular Publishing Group; 1998. h. 117-61. Fatmawaty. Peranan Tes Daya Dengar (TDD) untuk deteksi dini gangguan pendengaran pada anak dengan keterlambatan wicara. Tesis S2 Departemen IKA FKUI/ RSCM.2006
34
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
B. Skrining Hipotiroid Kongenital Definisi Hipotiroid kongenital (HK) merupakan kelainan pada bayi sejak lahir yang disebabkan defisiensi sekresi hormon tiroid oleh kelenjar tiroid, dan 1 berkurangnya kerja hormon tiroid pada tingkat selular. HK merupakan salah satu penyebab terjadinya retardasi mental pada anak. HK merupakan suatu penyakit bawaan yang dapat disembuhkan secara total jika pengobatan dilakukan sejak dini. Di antara penyebab-penyebab retardasi mental yang dapat dicegah yang dapat dikenali melalui uji saring pada bayi baru lahir (BBL), HK merupakan penyebab yang tersering, sementara penyebab lain misalnyaphenylketonuria (PKU) lebih jarang.1 Epidemiologi 2 Di Indonesia dengan Angka kejadian HK di dunia adalah sekitar 1:3.500. populasi 200 juta penduduk dan angka kelahiran 2% berarti ada 4.000.000 bayi dilahirkan setiap tahunnya. Berdasarkan data tersebut setiap tahun di Indonesia diperkirakan lahir 1.143 bayi dengan HK. Di RSCM pada tahun 1992-2004 terdapat 93 kasus dengan perbandingan perempuan terhadap laki3 laki adalah 57:36 (61%:39%). Prevalensi HK di Jawa Barat adalah 1:3.885. Dalam suatu penelitian deskriptif retrospektif ditemukan 30 kasus HK di Poli Endokrinologi Anak dan Remaja FKUI/RSCM pada tahun 1992-2002 yang terdiri dari 9 anak laki-laki (30%) dan 21 anak perempuan (70%). Pada saat datang pertama kali didapatkan 53,3% kasus berumur 1-5 tahun. Hanya 3 4 kasus HK yang terdiagnosis di bawah umur 3 bulan. Etiologi Etiologi yang spesifik bervariasi pada berbagai negara, yang tersering 5
menurut Bourgeois yaitu: 1. Tiroid ektopik (25-50%) 2. Agenesis tiroid (20-50%) 3. Dishormogenesis (4-15%) 4. Disfungsi hipotalamus pituitari (10-15%) Manifestasi klinis Sebagian besar BBL dengan HK adalah asimtomatik karena adanya T4 transplasenta maternal. Pada sejumlah kasus defisiensi tiroid dapat menunjukkan gejala yang berat yang tampak pada minggu-minggu pertama kehidupan dan pada derajat defisiensi yang ringan gangguan baru bermanifestasi setelah usia beberapa bulan.6 Hipotiroid kongenital memberikan menifestasi klinis sebagai berikut: 1. Gangguan makan (malas, kurang nafsu makan, dan sering tersedak pada satu bulan pertama) 2. Jarang menangis, banyak tidur (somnolen), dan tampak lamban6 3. Konstipasi
4. 5. 6. 7. 8.
Tangisan parau (hoarse cry) 5,7 Pucat Berat dan panjang lahir normal, lingkar kepala sedikit melebar Ikterus fisiologis yang memanjang Lidah besar (makroglosia) sehingga menimbulkan gangguan pernafasan 35
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.
Ukuran abdomen besar dengan hernia umbilikalis Temperatur tubuh subnormal, seringkali <35ºC Kulit (terutama ekstremitas) dingin, kering dan berbercak Miksedema kelopak mata, regio genitalia, dan ekstremitas Frekuensi nadi lambat Murmur, kardiomegali, dan efusi perikardium Anemia (makrositik) yang membaik dengan terapi hematinik Letargi Coarse facial features 8 Fontanel anterior dan posterior paten dengan sutura kranialis lebar Retardasi perkembangan fisik dan mental
20. Hipotonia 21. Tanda ileus paralitik: hipomotilitas, distensi abdomen, dan hipertimpani Pada usia sekitar tiga hingga enam bulan gambaran klinis telah sepenuhnya terlihat.6 Diagnosis dan tatalaksana HK harus dilakukan sedini mungkin pada periode neonatal yaitu untuk mencapai perkembangan otak maupun pertumbuhan fisik yang normal, karena terapi efektif bila dimulai pada minggu-minggu pertama kehidupan.7 Skrining Hampir 90% kasus HK terdeteksi dengan uji saring, sedangkan selebihnya diketahui berdasarkan pemeriksaan klinis. Sebagian kecil anak dapat saja memiliki hasil pemeriksaan yang negatif tetapi selanjutnya ternyata dinyatakan menderita HK. Dokter harus mampu mengenali gejala klinis dan tanda hipotiroidisme serta riwayat gangguan tiroid pada keluarga yang mengindikasikan perlunya dilakukan uji tiroid lengkap, apapun hasil uji saringnya saat lahir. Pada BBL dari kehamilan multipel yang salah satunya didiagnosis HK maka terhadap bayi lainnya juga perlu dilakukan uji saring 7 ulang, bahkan bila perlu dilakukan uji tambahan. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan untuk mendeteksi dini HK adalah (1) kadar TSH; (2) kadar T4 atau free T4 (FT4). Pemeriksaan primer TSH merupakan uji fungsi tiroid yang paling sensitif. Peningkatan kadar TSH sebagai marka hormonal, cukup akurat digunakan 8 untuk menapis hipotiroid kongenital primer. Pemeriksaan pencitraan yang dapat menunjang diagnosis hipotiroid adalah sebagai berikut : 1. Scanning tiroid (menggunakan 99mTc atau 123I)6 2. Ultrasonografi (USG)6 3. Radiografi (Rontgen tulang/bone age) 5,6 4. Elektrokardiografi (EKG) dan ekokardiografi (ECG) 5. Elektromiografi (EMG)9 6. Elektroensefalogram (EEG)6 7. Brain Evoke Response Audiometry (BERA)9 8. Proton magnetic resonance spectroscopy6 Prosedur skrining Sampel darah dapat berupa darah kapiler dari tusukan tumit bayi heel ( stick); dari permukaan lateral atau medial dari tumit bayi (Gambar 20 dan 21). Sebaiknya darah diambil pada hari ke-3 s/d 5 untuk menghindarkan TSH 36
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
surge;3 skrining dilakukan sebelum pemulangan dari rumah sakit atau sebelum transfusi. Hasil false negative dapat terjadi pada bayi dengan kondisi 10 sakit berat atau setelah mendapat transfusi. Tetesan darah ditempelkan pada kertas saring Schleicher & Schuell #903TM (S & S 903). Setelah dibiarkan kering selama 3-4 jam, dapat dikirimkan perpos dalam amplop surat.8 Dengan demikian hasil bisa cepat diperoleh dan pada kasus positif memungkinkan pengobatan sebelum bayi berumur 1 bulan. Pada bayi prematur atau bayi yang sakit berat, pengambilan darah bisa ditangguhkan, tetapi tidak melebihi umur 7 hari.8 Deteksi dini HK akan mencegah keterlambatan perkembangan neurologis 11 dan retardasi mental akibat HK yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Cara pengambilan spesimen diperlihatkan dalam gambar berikut:
Gambar 19. Lokasi tusukan tumit
Gambar 20. Cara pengambilan
Gambar 21. Cara meneteskan darah pada kertas saring
spesimen
Gambar 23. Spesimen dibungkus dalam amplop
Gambar 22. Spesimen dikeringkan selama 3-4 jam pada suhu kamar
Sumber: Rustama DS
37
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Kriteria skrining Nilai TSH neonatus diperkirakan dengan metode ELISA menggunakan peroksidase yang dilabeli denganmonoclonal antibody antiTSH ke dalam micro well yang kemudian diukur kadarnya dengan menghitung tingkat absorpsinya. Nilai TSH yang mencapai 10 mIU/l dianggap normal, 10-20 12 mIU/L dianggap sebagai nilai batas dan >20 mIU/L dianggap abrnormal. Nilai tersebut dapat bervariasi, tergantung pada reagen yang digunakan. Tes uji saring dilakukan dengan pengukuran TSH IRMA, dengan double antibody radioimmunoassay, dan pemeriksaan T4 dengan coated tube radioimmunoassay. Reagen yang digunakan dalam bentuk kit (contoh kit Skybio Ltd dan DPC). Bila nilai TSH <20mIU/L dianggap normal; kadar TSH >20 mIU/L. dianggap abnormal dan perlu pemeriksaan lebih lanjut. Bila kadar TSH > 50 IU/L perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan TSH dan T4 serum. Bila kadar TSH tinggi, > 50 mIU/L; dan T 4 rendah, < 6 µg/dL, bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis. Semua bayi dengan kadar TSH diatas nilaicut-off dipanggil kembali/recall (Gambar 24).8 Mayoritas bayi hipotiroidisme primer mempunyai nilai TSH >80 IU/mL. Beberapa kondisi hipotiroidisme nonprimer yang berhubungan dengan nilai T4 rendah misalnya hipotiroidisme sekunder, thyroid binding globulin (TBG) rendah, terapi maternal (dengan lithium, iodida), prematuritas, penyakit berat, hipotiroidisme sementara yang idiopatik, dan tiroiditis maternal. Sebagian besar kelainan ini biasanya bersifat sementara. Frekuensi hipotiroidisme sekunder diperkirakan 1:60.000 dan sebagai akibat kelainan hipofisis atau hipotalamus. Nilai T4 yang rendah dengan TSH normal atau sedikit meningkat ditemukan pada bayi berat lahir rendah kemudian akan menjadi normal setelah status nutrisinya diperbaiki.13
Gambar 24. Algoritma skrining hipotiroid kongenital 8 38
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Follow up hasil skrining Follow up jangka pendek dimulai dari hasil laboratorium (hasil positif) dan berakhir dengan pemberian terapi hormon tiroid (tiroksin).Follow up jangka panjang diawali sejak pemberian obat dan berlangsung seumur hidup pada kelainan yang permanen. Hasil tes positif membutuhkan penilaian oleh klinisi dan petugas laboratorium yang kompeten dan menjamin diagnosis yang tepat dan akurat. Pada bayi dengan hasil tes positif, harus segera dipanggil kembali untuk pemeriksaan TSH dan T4 serum. Bayi dengan hasil TSH tinggi (≥ 50 mIU/L) dan T4 rendah (< 6 µg/dL), harus dianggap menderita HK sampai diagnosis pasti ditegakkan.
Penatalaksanaan selanjutnya adalah sebagai berikut : Anamnesis pada ibu, apakah ada penyakit tiroid pada ibu atau keluarga, atau mengkonsumsi obat antitiroid; Anamnesis tentang bayi; Pemeriksaan fisis untuk mencari tanda dan gejala HK (Tabel 2);
Tabel 2. Daftar isian pemeriksaan fisis follow up hasil skrining8 Gejala Letargi Konstipasi Kesulitan minum (sering tersedak) Kulit teraba dingin
Ya
Tidak
Tanda Kulit burik Ikterus Hernia umbilikalis
Ya
Tidak
Makroglosi Fontanel melebar Perut buncit Tangisan serak Kulit kering Refleks lambat Refleks lambat
Bila memungkinkan, lakukan pemeriksaan penunjang : Sidik tiroid (dengan 123I atau TC99m). Pencitraan, pemeriksaan pertumbuhan tulang (sendi lutut dan panggul). Tidak tampaknya epifisis pada lutut menunjukkan derajat hipotiroid dalam kandungan. Pemeriksaan anti tiroid antibodi bayi dan ibu, bila ada riwayat penyakit autoimun tiroid. Penjelasan/penyuluhan kepada orangtua bayi mengenai : penyebab HK dari bayi mereka, pentingnya diagnosis dan terapi dini untuk mencegah hambatan tumbuh kembang bayi,
• •
•
• •
• •
cara pemberian obat tiroksin, pentingnya pemeriksaan secara teratur sesuai jadwal yang dianjurkan dokter.
39
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Skrining untuk fasilitas terbatas Untuk tingkat pelayanan kesehatan dengan fasilitas terbatas, dapat dipergunakan neonatal hipotyroid index untuk skrining HK (Tabel 3). Skrining ini didasarkan pada penilaian terhadap klinis bayi; diagnosis HK ditentukan jika skor 4; bayi normal jika skor <2. Seluruh bayi dengan skor > 2 kemudian diperiksa nilai FT4 & TSHs. Pemeriksaan ini tidak valid setelah bayi berusia > 6 bulan. Tabel 3. Neonatal hypotiroid index 0
Manifestasi klinis
Skor
1.Gangguan makan
1
2. Konstipasi
1
3. Bayi tidak aktif
1
4.Hipotonia
1
5.Hernia umbilikalis (>0.5cm)
1
6.Makroglosia
1
7.Cutis marmorata
1
8.Kulit kering
1.5
9.Large fontanelle (>0.5cm)
1.5
10.Typical Fascies
3
Total 13 Sumber : Letarte, Garagorri (1989)
Pengobatan Setelah dikonfirmasi, terapi dengan hormon tiroid pada penderita HK harus diberikan secepat mungkin. Target terapi adalah mencapai kadar 4T 10 normal dalam 2 minggu dan TSH dalam 1 bulan. Bayi baru lahir biasanya membutuhkan dosis 8-15 µg/kg/hari; tujuan terapi adalah menormalisasi kadar TSH sesegera mungkin. Terapi untuk bayi cukup bulan dimulai dengan 50 µg/hari selama 1-2 minggu, kemudian dosis diturunkan menjadi 37.5 µg/hari (p.o.). Tablet levothyroxine sintetis dilarutkan dalam 5-10 ml air dan diminumkan kepada bayi dengan spuit pada 11 awal menyusu untuk memastikan seluruh obatnya terminum dengan baik. Dianjurkan untuk memberikan selang waktu minimal 1 jam antara terapi dengan konsumsi susu formula yang mengandung kedelai atau suplementasi besi dan serat.10,11 Pemberian ASI dapat dilanjutkan.10 Sebagai tanda bahwa bayi mendapatkan terapi yang mencukupi, kadar 4T harus segera mencapai nilai normal. Untuk mencapai kecukupan obat, dianjurkan selama pengobatan, nilai T4 berada diatas nilai tengah rentang kadar T4 normal, yaitu 130-206 nmol/L (10-16 µg/dL) dan nilai TSH < 5 mIU/L (0.5-2.0 mIU/L); FT4 18-30 pmol/L (1.4-2.3 ng/dL). Kondisi ini 40
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
dipertahankan terus selama terapi sampai bayi berusia 3 tahun. Dianjurkan memberikan dosis awal tidak kurang dari 10 ug/kg/hari, agar tercapai IQ mendekati normal.8,10 Setelah terapi, diharapkan kadar T4 meningkat mencapai > 10 µg/dL; FT4 > 2 ng/dl dalam 2 minggu pascaterapi inisial. TSH diharapkan normal dalam 1 bulan pascaterapi inisial. Pemeriksaan FT4 pada 1 minggu pascaterapi inisial dapat mengkonfirmasi peningkatan konsentrasi 4T serum. Dosis tiroksin harus disesuaikan dengan klinis bayi, serta konsentrasi FT 4 serum dan TSH.10 Tujuan terapi adalah mencapai tumbuh kembang normal dengan mempertahankan konsentrasi total T4 dan FT4 serum dalam nilai tengah rentang normal sepanjang 1 tahun pertama kehidupan bayi, dengan konsentrasi TSH serum yang optimal (0.5-2.0 mIU/L). Kegagalan mencapai target konsentrasi FT4 serum tersebut dalam 2 minggu pascaterapi dan atau kegagalan menurunkan nilai TSH sampai < 20 mIU/L dalam 4 minggu pascaterapi – harus dipikirkan bahwa bayi tidak mendapat dosis terapi yang adekuat.10 Segala upaya terapi untuk mencapai target tersebut, tetap harus mempertimbangkan efek samping dari pengobatan yang berlebihan terhadap bayi, serta harus dilakukan pemantauan konsentrasi FT 4 serum secara berkala. Kondisi hipertiroidisme yang berkepanjangan akibat terapi, terkait dengan kejadian premature craniosynostosis.10 Pada umumnya dosis tiroksin bervariasi tergantung berat badan dan disesuaikan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar 4T. Sebagai pedoman, dosis yang umum dipergunakan adalah : 0 6– bulan 6 12 – bulan
25-50 µg/hari 50-75 µg/hari
1 –5 tahun 50-100 µg/hari 5 –10 tahun 100-150 µg/hari > 10 –12 tahun 100-200 µg/hari
atau 8-15 µg/kg/hari atau 7-10 µg/kg/hari atau 5-7 µg/kg/hari atau 3-5 µg/kg/hari atau 2-4 µg/kg/hari
Pemantauan Pemantauan fungsi tiroid dengan pemeriksaan TSH dan T 4 atau FT4 dilakukan : Setelah pemberian tiroksin
Tiap 2 T4 normal
minggu,
1-12 bulan
Tiap 2 bulan
1-2 tahun
Tiap 3 bulan
32tahun – > 3 tahun
sampai
kadar
Tiap 4 bulan Tiap 6 bulan
Sebaiknya T4 dan TSH diperiksa setelah 2 minggu perubahan dosis tiroksin.
41
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
• • • • • •
Pemantauan lainnya meliputi : Pertumbuhan Perkembangan Fungsi mental dan kognitif Gejala kekurangan/kelebihan dosis tiroksin Tes pendengaran Umur tulang
Gambar 25. Alur follow up hasil skrining hipotiroid kongenital Sumber : Pedoman Umum Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital (Pokjanas Hipotiroid Kongenital Kementrian Kesehatan)
42
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Daftar Pustaka 1. Rustama DS, Fadil MR, Harahap ER, Primadi A. Newborn screening in Indonesia. Dalam: David-Padilla C, Abad L, Silao CL, Therell BL. Southeast Asian J Tropical Med and Public Health 2003; 34 Suppl 3:76-9. 2. Satyawirawan FS. Penapisan hipotiroid congenital. Dalam : Suryaatmadja M. Pendidikan berkesinambungan patologi klinik 2005. Jakarta: Departemen Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2005. H. 95-104. 3. Pulungan AB. Hipotiroid kongenital (HK). UKK Endokrinologi IDAI, Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI Jakarta. 4. Deliana M, Batubara JR, Tridjaja B, Pulungan AB. Hipotiroidisme kongenital di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta, tahun 19922002. Sari Pediatri 2003; 5(2):79-84. (Level of Evidence IIB, Grade of Recommendation B) 5. Bourgeois MJ. Congenital hypothyroidism. Department of Pediatrics, Division of Pediatric Endocrinology and Metabolism, Texas Tech University School of Medicine; 2004. h.1-13. 6. LaFranchi S. Thyroid function in preterm infant. Thyroid 1999; 9: 71-8 7. Newborn S. Prog 8. Komite Nasional Skrining Hipotiroid Kongenital. Pedoman Umum Pelaksanaan Skrining Hipotiroid Kongenital (SHK). Departemen Kesehatan; 2005. 9. (Deliana) 10. National Guideline Clearinghouse. Update of newborn screening and therapy for congenital hypothyroidism (2006). 11. Murray MA. Primary TSH screen for congenital hypothyroidism. Summer 2009;1(2):1-5. 12. (Satyawirawan (Devi) 13. FS.)
43
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
C. Skrining Retinopathy of Prematurity Definisi Retinopathy of Prematurity (ROP) adalah suatu kelainan retina dari bayi prematur berat badan lahir rendah (BBLR) yang dapat berpotensi mengakibatkan kebutaan. Epidemiologi Prevalensi ROP pada studi di Panti Netra di Indonesia melaporkan prevalensi ROP sebesar 1.1 %.1,2 Namun dengan meningkatnya harapan hidup bayi prematur dengan berat badan lahir sangat rendah di negara berkembang akibat kemajuan teknologi1 perawatan neonatus, ROP berkembang menjadi suatu masalah yang berarti. Faktor risiko Beberapa keadaan dilaporkan sebagai faktor risiko berkembangnya ROP pada bayi prematur/BBLR. Studi yang dilakukan Karna, dkk (2004) terhadap faktor risiko terjadinya ROP, dikatakan bahwa jenis kelamin, sindroma distress respiratori, terapi 36 minggu usia pasca konsepsi dan penggunaan steroid prenatal tidak menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap ROP berat. Kejadian ROP menurun pada usia kehamilan 26-28 minggu (OR:4.12, 95% IK: 1.05–16.11) dibandingkan pada usia kehamilan 25 minggu (OR:11.27, 95% IK: 2.61 –48.66). Dilaporkan juga bahwa pemberian oksigen lebih dari 2 minggu meningkatkan insidens ROP berat (OR:4.09, 95% IK: 1.52 –11.03).3 Shah VA (2005) menyatakan insidens ROP diantara bayi dengan berat lahir sangat rendah sebesar 29.2%. Terdapat hubungan bermakna antara ROP dan bayi dengan berat badan yang semakin rendah, semakin muda (imatur), atau sakit. Usia median untuk onset ROP adalah 35 minggu (dari 3140 minggu) usia postmenstrual. Bayi dengan usia gestasi < 30 minggu dan atau bayi dengan berat lahir < 1.000 g merupakan ambang batas risiko ROP. Faktor risiko utama untuk terjadinya hal tersebut antara lain preeklamsia maternal, berat lahir, dan kejadian perdarahan pulmonal, durasi ventilasi dan ventilasi tekanan positif yang berlanjut. Untuk mencegah ROP, diperlukan pencegahan terhadap kejadian prematuritas, mengontrol preeklamsia, serta 4 menggunakan ventilasi dan terapi oksigen secara bijaksana. Skrining Pada bayi aterm retina berkembang sempurna, dan ROP tidak dapat terjadi. Namun, pada bayi prematur, perkembangan retina yang berjalan dari papil nervus optikus ke anterior selama masa gestasi berlangsung secara tidak lengkap, dengan tingkat imaturitas retina bergantung terutama pada derajat prematuritas saat lahir. Perhatian dan perawatan yang efektif diperlukan, dimana bayi prematur yang berisiko mendapatkan pemeriksaan retina yang terjadwal baik. Pemeriksaan ini dianjurkan dilakukan oleh seorang spesialis mata yang terlatih dalam skrining ROP pada bayi risiko prematur. Demikian juga anak yang merawat bayi prematur dengan ini menyadari akanspesialis pengaturan jadwal ini.
44
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
a. Tujuan skrining Tujuan suatu program skrining yang efektif adalah untuk mengidentifikasi bayi prematur yang memerlukan terapi ROP (ROPthreshold, ROP prethreshold), tapi juga dengan meminimalisasi sejumlah pemeriksaan yang penuh stres ini bagi si bayi sakit. ROP merupakan kelainan yang berpotensi menyebabkan kebutaan, namun sebetulnya kebutaannya dapat dicegah. Identifikasi dini dilanjutkan dengan terapi yang dilakukan dalam kerangka waktu yang tepat, akan dapat mencegah kebutaan. Walaupun tanpa terapi, 85% kasus ROP dapat mengalami regresi spontan, dan dari 15% yang mengalami progresi , 85% di antaranya berespon baik dengan terapi laser ataupun krioterapi. b. Pedoman skrining Pedoman Skrining ROP ditetapkan pada banyak negara. Perlu diingat bahwa parameter skrining ini dapat berbeda antar negara yang satu dengan lainnya. Komite/Pokja Nasional ROP yang dibentuk pada Indonesia National ROP Workshops bulan Januari 2009 di Jakarta merekomendasikan beberapa hal berkaitan dengan bayi prematur dan ROP, diantaranya adalah Parameter 5 Skrining ROP pada bayi prematur sebagai berikut: - Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP - Pemeriksaan harus dimulaiselama minggu ke 4 atau pada usia postmenstrual 32-33 minggu - Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai permintaan neonatologis/spesialis anak Data bayi yang diperiksa harus dilakukan menurut standar pelaporan yang sudah ditetapkan dan dikeluarkan oleh Komite/Pokja Nasional ROP (lihat lampiran).6 c. Teknik Pemeriksaan Sarana /Prasarana: Dilatasi pupil dengan tetes mata siklopentolat 0.5% dan fenilefrin 2.5%, paling tidak 30 menit sebelum pemeriksaan. Oftalmoskopi indirek sebagai standar baku emas. RetCam 120, alternatif teknik baru skrining Penulisan dan penyimpanan data sesuai stand Informasi untuk orang tua oleh spesialis mata, dengan didampingi seorang staf NICU/ruang rawat intermediate •
• • • •
d. Pengakhiran skrining: Skrining dilanjutkan sampai tidak mempunyai risiko lagi terhadap berkembangnya ROP secara serius: • • • •
Regresi ROP dengan Vaskularisasi matur terapi secara lengkap di seluruh retina Matur sampai zona 3 tanpa ROP Usia gestasi 45 minggu dan tanpa adanya threshold perburukan ROP
disease atau 45
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
•
Regresi tanpa terapi dengan pemeriksaan yang stabil
e. Penundaaan skrining: Apabila keputusan untuk melakukan penundaan skrining dibuat atas alasan klinis, maka hal tersebut haruslah merupakan keputusan bersama antara dokter mata dengan tim dokter perinatologi dengan mempertimbangkan risiko penundaan tersebut. Keputusan tersebut harus ditulis dalam catatan medik bayi dengan menjelaskan secara jelas alasan ditundanya skrining dan pemeriksaan harus dijadwalkan kembali dalam segera setelah waktu pemeriksaan yang seharusnya.
Klasifikasi ROP The International Classification of ROP (ICROP) mengklasifikasikan kelainan pada ROP berdasarkan :7 lokasi keterlibatan retina berdasarkan zona (zona 1-3); stadium atau beratnya retinopati pada persambungan retina vaskuler dan avaskuler (stadium 1-5); luasnya keterlibatan retina berdasarkan arah jarum jam; ada/tidaknya dilatasi vena serta lekukan pembuluh darah polus posterior. (Gambar klasifikasi ROP, lihat lampiran)
Gambar 26. Klasifikasi Zona ROP Sumber: Kuschel C, Dai S. Retinopathy of Prematurity. Newborn Services Clinical Guideline. 2007.
Catatan penting: -
Kerjasama yang baik antara spesialis mata dan neonatologis/spesialis anak sangat penting untuk mendapatkan hasil yang baik Buatlah perencanaan jadwal yang baik untuk pemeriksaanfollow-up pada saat pasien akan dipulangkan: 46
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Dokter spesialis anak (neonatologis) dan dokter spesialis mata perlu membuat rencana follow-up pasien. Sebaiknya tunda pemulangan pasien apabila follow-up mata belum dijadwalkan. Buatlah pasien menyadari tanggung jawabnya untuk membawa bayinya pada pemeriksaan follow-up mata seperti dijadwalkan.
Tatalaksana Observasi8 Scleral Buckle Vitrektomi
Cryotherapy8 Laser8 Komplikasi Katarak Glaukoma Kerusakan kornea Atrofi nervus optikus Kerusakan pigmen fovea Miopia8 Strabismus8 Ablasi retina8
REKOMENDASI HTA 1. Bayi dengan berat lahir <1500g atau usia gestasi <34 minggu harus diperiksa untuk kemungkinan terjadinya ROP.(Rekomendasi C LoE IV) 2. Pemeriksaan harus dimulai selama minggu ke 4 postmenstrual 32-33 minggu. (Rekomendasi C LoE IV)
atau
pada
usia
3. Pemeriksaan terhadap bayi dengan berat lahir lebih besar atau usia gestasi lebih tinggi daripada yang disebutkan di atas dapat dilakukan sesuai permintaan neonatologis/spesialis anak.(Rekomendasi C LoE IV)
Sumber : Komite/Pokja Nasional ROP 2009
47
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Daftar pustaka
1 Sitorus RS, Abidin MS, Lorenz B, Prihartono. Prevalence of ROPin Indonesia: results from School for the Blind studies in Java island. Acta Medica Lithuanica 2006;13:204-6 2 Sitorus RS, Abidin MS, Prihartono J. Causesand temporal trends of childhood blindness in Indonesia: study at schools for the blind in Java. Br J Ophthalmol. 2007 Sep;91(9):1109-13 3 Karna P, Muttineni J, Angell L, Karmaus W. Retinopathy of prematurity and risk factors:a prospective cohort study. BMC Pediatrics 2005, 5:18. 4 Shah VA. Incidence, Risk Factors of Retinopathy of Prematurity Among Very Low Birth Weight Infants in Singapore. Ann Acad Med Singapore 2005;34:16978. 5 Indonesia National Committee on ROP. Report on The first National ROP Workshops. Jakarta, 2009. 6 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity. The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch Ophthalmol 2005; 123(7):991-999. 7 International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity. The international classification of retinopathy of prematurity revisited. Arch Ophthalmol 2005; 123(7):991-999. 8 The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Comparative Group. The Early Treatment for Retinopathy of Prematurity Study: structural findings at age 2 years. Br J Ophthalmology 2006;90:1378-82.doi: 10.1136/bjo.2006.098582.
48
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB IV PERMASALAHAN BAYI BARU LAHIR
A. Asfiksia Neonatorum Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000 – 2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh setelah pneumonia, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.1,2dunia Diperkirakan 1 juta anak malaria, yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir, kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.3 Data dari Riset Kesehatan Dasar Depkes tahun 2007 menyatakan bahwa kematian pada bayi baru 4 lahir usia 0-6 hari 35,9% disebabkan oleh gangguan pernafasan. WHO mendefinisikan asfiksia neonatorum sebagai kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.5 Dalam rangka menegakkan diagnosis, dilakukan anamnesis untuk mendapatkan faktor risiko terjadinya asfiksia neonatorum. Kemudian dilakukan pemeriksaan fisis sesuai dengan algoritma resusitasi neonatus, yaitu: 1) Bayi tidak bernafas atau menangis; 2) Denyut jantung kurang dari 100x/menit; 3) Tonus otot menurun; 4) Cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi; 5)BBLR. Tabel 4. Faktor risiko asfiksia neonatorum Faktor Faktor risiko antepartum risiko Primipara7 Penyakit pada ibu:3 Demam saat kehamilan - Hipertensi dalam kehamilan Anemia Diabetes mellitus Penyakit hati dan ginjal Penyakit kolagen dan pembuluh darah 3,7 Perdarahan antepartum Riwayat kematian neonatus sebelumnya7 Penggunaan sedasi, anelgesi atau anestesi3
intrapartum Malpresentasi7 Partus lama7 Persalinan yang sulit dan traumatik7 Mekoneum dalam ketuban3,7 Ketuban pecah dini3 Induksi Oksitosin Prolaps tali pusat3
Faktor risiko janin Prematuritas3,7 BBLR3,7 Pertumbuhan janin terhambat3,7 Kelainan kongenital3,7
49
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Ba i Lahir Ya
Cukup bulan? Air ketuban jernih ? Bernapas atau menangis ? Tonus otot baik ?
k i t
e d
Perawatan rutin : Berikan kehangatan Bersikan jalan nafas Keringkan Nilai warna kulit
Berikan kehangatan Posisikan, bersihkan jalan napas* (bila
0 3
perlu) Keringkan,rangsang, posisikan lagi
Evaluasi napas, frekuensi denyut jantung Bernapas, FJ>100, kemerahan Perawatan suportif dan warna Bernapas, FJ>100, sianosis
k i t
Apneu atau FJ<100
Beri tambahan oksigen sianosis menetap
e d 0 3
kemerahan
Berikan ventilasi tekanan positif*(VTP)
Ventilasi efektif FJ> 100 & kemerahan
FJ < 60
k i t
e d 0 3
Perawatan Pasca resusitasi
FJ > 60
Lakukan ventilasi tekanan positif* Kompresi dada FJ < 60 Berikan epinefrin*
Nilai kembali efektivitas : Ventilasi Kompresi dada Intubasi endotrakeal Pemberian epinefrin Pertimbangkan kemungkinan : Hipovolemia
FJ< 60 atau sianosis menetap atau ventilasi tidak berhasil FJ = Frekuensi Jantung *Intubasi endotrakeal dapat dipertimbangkan pada beberapa langkah
Pertimbangkan : Malformasi jalan napas Gangguan paru seperti pneumotoraks Hernia diafragmatika Penyakit jantung bawaan
Pertimbangkan untuk menghentikan resusitasi
Gambar 27. Algoritma resusitasi neonatu s6 50
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Penatalaksanaan resusitasi dasar pada penanganan segera asfiksia neonatorum dilakukan sesuai dengan algoritma tatalaksana asfiksia neonatorum yang direkomendasikan American Heart Association (AHA)/American Academy of Pediatrics (AAP)6, dengan melakukan beberapa penyesuaian: Tim resusitasi Di tingkat puskesmas, bidan harus dapat mengantisipasi, mengenali gejala asfiksia dan dapat memberikan resusitasi dasar dengan segera, bila diperlukan segera melakukan rujukan ke rumah sakit. Di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, tiap rumah sakit yang menolong persalinan harus memiliki tim 1.
resusitasi yang terdiri dari dokter dan paramedis yang telah mengikuti pelatihan 7 resusitasi neonatus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi. Alat resusitasi Di tingkat puskesmas, harus tersedia minimal balon mengembang sendiriself ( inflating bag/ ambu bag) bagi pelaksanaan ventilasi dalam resusitasi asfiksia neonatorum. Balon mengembang sendiri juga minimal harus ada sebagai cadangan dimanapun resusitasi dibutuhkan, bila sumber gas bertekanan gagal atau T-piece resusitator tidak berfungsi.8 Di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi, rumah sakit harus dilengkapi dengan alat ventilasi yang lebih canggih.Neopuff harus ada ditingkat ini. 2.
Penggunaan oksigen Penelitian Saugstad dkk9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran 11,12,13 bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopati. Penelitian Tan dkk14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti yang bisa dijadikan dasar untuk merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas 3.
sebagai aliran ganti bebas oksigen 100%, karena beberapa yang cadangan menggunakan oksigen tetap menggunakan oksigenpenelitian 100% sebagai pada lebih dari ¼ objek penelitiannya. Karenanya bila oksigen aliran bebas (O 2 21%) digunakan pada awal resusitasi bayi-bayi cukup bulan, oksigen 100% tetap harus tersedia sebagai cadangan bila resusitasi gagal. Penggunaan oksimeter untuk monitoring dan panduan pemberian oksigen Alat ini dapat mendeteksi hipoksia pada bayi sebelum bayi terlihat sianosis secara klinis.15 Oksimeter tidak dapat digunakan pada kondisi hipovolemia dan vasokontriksi. Keakuratannya ada pada kisaran saturasi oksigen 70-100% (± 2%). Dibawah 70% alat ini kurang akurat. Pada pemakaian klinis, oksimeter dapat mendeteksi hipoksia secara cepat sehingga dapat dapat dijadikan alat monitoring dan panduan untuk pemberian oksigen secara lebih akurat .15,16 Resusitasi pada bayi kurang bulan memerlukan tambahan tenaga terampil, termasuk petugas yang terlatih dalam melakukan intubasi endotrakeal, dan tambahan sarana untuk menjaga suhu tubuh. Jika bayi diantisipasi kurang bulan secara signifikan (misalnya <28 minggu), diperlukan plastik pembungkus (polyethylene) yang dapat dibuka-tutup serta alas hangat yang dapat dipindah17 pada neonatus dengan usia gestasi pindahkan siap pakai. Penelitian Vohra dkk <37 minggu atau berat lahir < 2.500 gram menunjukkan bahwa penggunaan plastik pembungkus dalam 10 menit pertama setelah lahir pada bayi usia gestasi < 28 minggu efektif, namun tidak terbukti efektif pada usia gestasi 28-31 minggu. 4.
51
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Bayi dibungkus plastik transparan dari ujung kaki sampai sebatas leher, kepala dikeringkan dan dibiarkan terbuka. Plastik yang digunakan adalah plastik transparan atau kantong pembungkus yang terbuat darilow density polyethylene (LDPE) atau linear low density polyethylene (LLDPE) atau polyvinylidene chloride 18 (PVDC) atau plastik membran semi-permeabel seperti Opsite® atau Tegaderm®. Inkubator transpor juga diperlukan untuk memindahkan bayi ke ruang perawatan setelah resusitasi. Blender oksigen diperlukan untuk memberikan konsentrasi oksigen antara 21% sampai 100%. Selang bertekanan tinggi menghubungkan oksigen dan sumber udara ke blender mengatur gas dari 21% ke 100%. Pengatur aliran dapat dihubungkan ke blender dengan kecepatan aliran 0 sampai 20 L/menit untuk mendapatkan konsentrasi oksigen yang dapat diberikan langsung ke bayi atau melalui alat tekanan positif. Secara garis besar hal-hal berikut harus diperhatikan pada resusitasi bayi kurang bulan : a. Menjaga bayi tetap hangat Bayi yang lahir kurang bulan hendaknya mendapatkan semua langkah untuk mengurangi kehilangan panas. b. Pemberian oksigen Saugstad dkk9,10 menyatakan bahwa penggunaan oksigen aliran bebas (21%) menurunkan risiko mortalitas dan hipoksik iskemik ensefalopat i 11,12,13 Sementara Tan dkk14 menyatakan bahwa saat ini belum cukup bukti untuk merekomendasikan penggunaan oksigen aliran bebas sebagai ganti oksigen 100%, karena beberapa penelitian yang menggunakan oksigen aliran bebas tetap menggunakan oksigen 100% sebagai cadangan pada lebih dari ¼ objek penelitiannya.19 Untuk menghindari pemberian oksigen yang berlebihan saat resusitasi
c.
pada bayi kurang bulan,dapat digunakan oksigen danyang oksimeter agar oksigen yang diberikan diatur blender dan kadar oksigen diserap bayijumlah dapat diketahui. Saturasi oksigen lebih dari 95% dalam waktu lama, terlalu tinggi bagi bayi kurang bulan dan berbahaya bagi jaringannya yang imatur .7 Ventilasi Bayi kurang bulan mungkin sulit diventilasi dan juga mudah cedera dengan ventilasi tekanan positif yang intermiten. Hal-hal berikut perlu dipertimbangkan:7 i.Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) Jika bayi bernapas spontan dengan frekuensi jantung diatas 100 x/menit tapi tampak sulit bernapas dan sianosis pemberian CPAP mungkin bermanfaat. CPAP diberikan dengan memasang sungkup balon yang tidak mengembang sendiri atau T-piece resuscitator pada wajah bayi dan mengatur katup pengontrol aliran atau katup Tekanan Positif Akhir Ekspirasi (TPAE) sesuai dengan jumlah CPAP yang diinginkan. Pada umumnya TPAE sampai 6 cmH2O cukup. CPAP tidak dapat digunakan dengan balon mengembang sendiri. ii.Tekanan terendah digunakan untuk memperoleh respons yang adekuat Jika VTP intermiten diperlukan karena apnu, frekuensi jantung kurang dari 100 x/menit, atau sianosis menetap, tekanan awal 20-25 cmH 2O cukup untuk sebagian besar bayi kurang bulan. Jika tidak ada perbaikan frekuensi jantung atau gerakan dada, diperlukan tekanan yang lebih tinggi. 52
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
iii.Pemberian surfaktan secara signifikan Bayi sebaiknya mendapat resusitasi lengkap sebelum surfaktan diberikan. Penelitian menunjukkan bayi yang lahir kurang dari usia kehamilan 30 minggu mendapatkan keuntungan dengan pemberian surfaktan setelah resusitasi, sewaktu masih di kamar bersalin atau bahkan jika mereka belum mengalami distres pernapasan. iv.Pencegahan terhadap kemungkinan cedera otak Setelah resusitasi, perlu dilakukan pemantauan kadar gula darah, kejadian apnu dan bradikardi pada bayi, jumlah oksigen dan ventilasi yang tepat, pemberian minum yang dilakukan secara perlahan dan hati-hati sambil mempertahankan nutrisi melalui intravena dan pemantauan kecurigaan tehadap infeksi. Pencegahan asfiksia neonatorum Pencegahan, eliminasi dan antisipasi terhadap faktor-faktor risiko asfiksia neonatorum menjadi prioritas utama. Bila ibu memiliki faktor risiko yang memungkinkan bayi lahir dengan asfiksia, maka langkah-langkah antisipasi harus dilakukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan 20, 21 seperti anjuran WHO untuk mencari dan mengeliminasi faktor-faktor risiko. Bila bayi berisiko lahir prematur yang kurang dari 34 minggu, pemberian kortikosteroid 24 jam sebelum lahir menjadi prosedur rutin yang dapat membantu maturasi paru-paru bayi dan mengurangi komplikasi sindroma distres pernapasan (respiratory distress syndrome).20 Pada saat persalinan, penggunaan partogram yang benar dapat membantu deteksi dini kemungkinan diperlukannya resusitasi neonatus. Penelitian Fahdhly dan Chongsuvivatwong22 terhadap penggunaan partogram oleh bidan di Medan menunjukkan bayi yang pemantauan dilahirkan dengan skor apgar 1 menit < 7 berkurang secara signifikan dengan partogram WHO. Adanya kebutuhan dan tantangan untuk meningkatkan kerjasama antar tenaga obstetri di kamar bersalin. Perlu diadakan pelatihan untuk penanganan situasi yang tak diduga dan tidak biasa yang dapat terjadi pada persalinan. Setiap anggota tim persalinan harus dapat mengidentifikasi situasi persalinan yang dapat menyebabkan kesalahpahaman atau menyebabkan keterlambatan pada situasi gawat.
53
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA 1. Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif.[Rekomendasi B LoE IIb] 2. Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang digunakan mengacu pada definisi WHO. Namun begitu, 3% bayi dengan asfiksia neonatorum yang mengalami komplikasi dan sesuai dengan 4 kriteria klinis asfiksia menurut AAP/ACOG perlu penanganan dan pemantauan dengan sarana yang lebih lengkap tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi.[Rekomendasi C LoE IV] 3. Dalam penatalaksanaan asfiksia neonatorum, direkomendasikan ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi di tingkat pelayanan dasar berupa oksigen, sungkup oksigen, balon mengembang sendiri, penghangat, pipa orogastrik, laringoskop, pipa endotrakeal, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin.[Rekomendasi C LoE IV] 4. Tenaga resusitasi di tingkat pelayanan dasar direkomendasikan dapat melakukan resusitasi dasar yang bersertifikasi terutama memberikan ventilasi yang adekuat. [Rekomendasi C LoE IV] 5. Fasilitas pelayanan kesehatan pada pelayanan primer direkomendasikan ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi berupa oksigen, balon mengembang sendiri, sungkup oksigen, penghangat, pipa orogastrik, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin. [Rekomendasi C LoE IV]
54
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
B. Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah dengan Metode Kanguru Perawatan metode kanguru (PMK) adalah perawatan untuk bayi baru lahir dengan melakukan kontak langsung antara kulit bayi dengan kulit ibu(skin-to-skin contact).23 Perawatan metode kanguru ini bermanfaat terutama untuk bayi kurang bulan. Terdapat dua tipe PMK: 1. PMK intermiten PMK yang dapat dilakukan saat bayi belum stabil (masih mendapatkan sokongan medis) Waktu: dilakukan saat ibu menjenguk bayinya, lama dikerjakan sebaiknya lebih dari 1 jam Tempat: perawatan bayi (NICU/Special care nursery) 2. PMK kontinu PMK yang dilakukan saat bayi sudah dalam keadaan stabil (tidak ada penyakit akut) Waktu: ibu dan bayi bersama dalam 24 jam Tempat : ruangan rawat khusus PMK kontinu Kriteria Pelaksanaan PMK PMK intermiten: Bayi kurang bulan yang masih memerlukan pemantauan kardiopulmonal, oksimetri, pemberian oksigen terapi, cairan intravena, dan pemantauan lain, keadaan tersebut tidak mencegah pelaksanaan PMK.24,25 PMK kontinu: Bayi yang memenuhi kriteria untuk dilakukan PMK adalah bayi prematur (kurang bulan), berat lahir ≤2000 gram, tidak ada kegawatan pernapasan dan sirkulasi, tidak ada kelainan kongenital yang berat, dan mampu bernapas sendiri. Ibu dapat memberikan nutisi (ASI dan formula secara oral maupun melalui pipa lambung) Meskipun 23demikian, pada sebagian besar kasus PMK dapat segera dilakukan setelah bayi lahir. Implementasi PMK Komponen PMK Terdapat empat komponen PMK yaitu : 1. Kangaroo position (posisi) 2. Kangaroo nutrition (nutrisi) 3. Kangaroo support (dukungan) 4. Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan ketat Kangaroo position (posisi) Bayi diletakkan diantara payudara dengan posisi tegak lurus, dada bayi menempel ke dada ibu. Posisi kanguru ini disebut juga dengan kontak kulit-ke-kulit, karena kulit bayi mengalami kontak seluas-luasnya secara langsung dengan kulit ibu .23,26
55
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 28. Memposisikan bayi untuk PMK 23 Sumber: World Health Organization. Kangaroo mother care.A practical guide. 1st ed. 2003.
Posisi bayi diamankan dengan kain panjang atau pengikat lainnya. Kepala bayi dipalingkan ke sisi kanan atau kiri, dengan posisi sedikit tengadah (ekstensi). Tepi pengikat tepat berada di bawah kuping bayi. Posisi kepala seperti ini bertujuan untuk menjaga agar saluran napas tetap terbuka dan memberi peluang agar terjadi kontak mata antara ibu dan bayi. Hindari posisi kepala terlalu fleksi atau ekstensi. Tungkai bayi haruslah dalam posisi ”kodok”; tangan harus dala m posisi fleksi.23 Kain diikatkan dengan kuat setinggi dada bayi agar bayi tidak tergelincir saat ibu bangun dari duduk. Perut bayi sebaiknya berada di sekitar epigastrium ibu dan diperhatikan agar tidak tertekan. Dengan cara ini bayi dapat melakukan pernapasan perut dan napas ibu akan merangsang bayi.23 Ibu dapat menggunakan baju berkancing depan. Bayi menggunakan popok dan topi. ibu tetap dapat melakukan pekerjaan ringan sehari-hari. Bila ibu ingin kekamar mandi atu melakukan aktivitas yang mengharuskan tidak dapat menggendong bayinya maka anggota keluarga lain dapat bergantian menggendong bayi tersebut. Ibu dapat tidur dengan kepala lebih tinggi menggunakan beberapa bantal dan tetap melaksanakan PMK. Kangaroo nutrition (nutrisi) Posisi kanguru sangat ideal bagi proses menyusui. PMK membuat proses menyusui menjadi lebih berhasil, proses menyusui menjadi lebih lama dan dapat meningkatkan volume ASI.23 Pemberian nutrisi pada saat melakukan PMK dapat ASI atau formula baik oral maupun melalui pipa lambung. Cara dan waktu pemberian nutrisi sesuai protokol untuk BBLR/neonatus kurang bulan. Kangaroo support (dukungan) Bentuk dukungan pada PMK dapat berupa dukungan fisik maupun emosional. Dukungan dapat diperoleh dari petugas kesehatan, seluruh anggota keluarga, ibu dan masyarakat. Tanpa adanya dukungan, akan sangat sulit bagi ibu untuk dapat 56
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
melakukan PMK dengan berhasil. Wanita hamil sebaiknya sudah diberikan informasi dan edukasi tentang PMK sejak kunjungan antenatal pertama. Edukasi yang diberikan kepada ibu di antaranya harus mengandung informasi mengenai pemantauan terhadap tanda bahaya. Berikut ini beberapa tanda bahaya: Kesulitan bernapas : dada tertarik ke dalam, merintih Bernapas sangat cepat atau sangat lambat Serangan apnea sering dan lama Bayi terasa dingin : suhu bayi di bawah normal walaupun telah dilakukan penghangatan Bayi teraba panas Sulit minum: bayi tidak lagi terbangun untuk minum, berhenti minum atau muntah Kejang Diare Kulit menjadi kuning Kangaroo discharge (pemulangan) dan pemantauan Pemulangan berarti ibu dan bayinya boleh pulang ke rumah dengan tetap menjalani PMK di rumahnya dan dapat dilakukan pemantauan oleh pusat pelayanan kesehatan terdekat dengan domisili keluarga. PMK dapat dipulangkan dari rumah sakit ketika telah memenuhi kriteria dibawah ini:23 Ibu dan bayi : Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi Bayi minum dengan baik Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari atau 20-30 g/hari) untuk sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan follow-up Tujuan tindak lanjut dan monitoring (pemantauan): 1. Memberikan pelayanan pada bayi berat lahir rendah/ prematur pascarawat inap yang telah menjalani Perawatan Metode Kanguru 2. Pemantauan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang menjalani PMK 3. Skrining gangguan pertumbuhan dan perkembangan bayi yang menjalani PMK di rumah 4. Memfasilitasi perawatan metode kanguru dari yang intermiten menjadi kontinu hingga bayi dapat dilepas dari PMK 5. Untuk mempromosikan pemberian ASI eksklusif 6. Mempromosikan dan melakukan imunisasi 7. Meningkatkan angka kesintasan BBLR Waktu yang baik saat ibu melakukan pemantauan adalah: 1. Dua kali kunjungan perminggu sampai dengan 37 minggu usia pascamenstruasi 2. Satu kali kunjungan perminggu setelah 37 minggu
57
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA 1. PMK terbukti dapat menstabilkan suhu bayi dengan menggunakan panas badan ibu dan sama efektif bahkan lebih baik dari inkubator.[Rekomendasi A LoE Ib] 2. PMK memberikan ibu kepercayaan diri dalam merawat bayi berat lahir rendah, PMK kontinu di RS lebih efisien dalam hal maka keperluan tenaga kesehatan khususnya perawat. Bayi yang belum dapat dilakukan PMK kontinu, dianjurkan untuk melakukan PMK intermitten untuk membiasakan ibu merawat bayi dengan PMK. [Rekomendasi A LoE Ia] 3. Ibu yang melakukan PMK mempunyai kadar stress hormone (kortisol) yang lebih rendah sehingga diasumsikan ibu dan bayi lebih tenang/tidak stress. [Rekomendasi A LoE Ia] 4. PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia terutama apabila bayi tersebut stabil keadaan klinisnya dan hanya memerlukan inkubator untuk perawatannnya. Pusat pelayanan primer seperti PUSKESMAS dapat meneruskan perawatan BBLR yang telah di pulangkan dari pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat pelayanan kesehatan sekunder dapatmelakukan PMK kontinu untuk BBLR yang masih menggunakan alat kesehatan minimal. PMK dapat dilakukan disemua level pelayanan kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia. [Rekomendasi A LoE Ia] 5. Kriteria definitif pemulangan terdiri dari :[Rekomendasi C LoE IV] Bayi mencapai berat badan minimum yakni 1500 g. Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi Bayi minum dengan baik Berat bayi selalu bertambah (sekurang-kurangnya 15g/kg/hari) untuk sekurang-kurangnya tiga hari berturut-turut Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan follow-up Bayi yang dipulangkan dengan berat badan < 1800 gram difollow-up setiap minggu dan dilakukan minimal di RS Umum Daerah, sedangkan dan bayi dengan berat badan >1800 gram dilakukanfollow-up setiap dua minggu; boleh dilakukan di Puskesmas. 6. Rekomendasi waktu pemantauan:[Rekomendasi C LoE IV] Dua kali kunjungan follow up perminggu sampai dengan 37 minggu usia pascamenstruasi. Kunjungan pertama paling lambat dalam 48 jam setelah pemulangan. Satu kali kunjungan follow up perminggu setelah 37 minggu.
58
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
C. Hiperbilirubinemia Neonatal Definisi dan Epidemiologi
Jaundice/kuning terjadi pada sekitar 60% bayi baru lahir yang sehat dengan usia gestasi ≥ 35 minggu.27,28 Sebagian besar kuning adalah jinak, akan tetapi karena potensi toksik dari bilirubin, semua bayi lahir harus dipantau untuk mendeteksi kemungkinan menjadi hiperbilirubinemia berat.27 Hiperbilirubunemia neonatal: adalah naiknya kadar bilirubin serum total (BST) melebihi normal, yaitu≥ 5 mg/dL (86 mol/L).28,29 Harvard of Public Health terdapat 42,7% (n=834) kasus hiperbilirubinemia pada bayiSchool dengan berat lahir <: 2.500 gram (RO=3,45 IK=3,01) dan 47,5% (n=777) kasus hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (usia gestasi < 37 minggu) (RO=4,34 IK=3,77).30 Hiperbilirubinemia neonatal berhubungan dengan penyakit lain seperti anemia hemolitik, kelainan endokrin metabolik, kelainan anatomi organ hati, dan infeksi.28 Di Indonesia, dua etiologi terbanyak penyakit hemolitik yang menyebabkan kuning pada bayi baru lahir, yaitu inkompatibilitas ABO dan defisiensi enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD).31 Etiologi dan Faktor Risiko Neonatus tanpa faktor risiko yang teridentifikasi, jarang mengalami peningkatan bilirubin serum > 12 mg/dL. Banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan level bilirubin serum. Tabel 2 menampilkan berbagai faktor risiko hiperbilirubinemia neonatal.28,32 Tertundanya pelepasan mekonium (sumbatan mekonium, tertundanya asupan minum, dan hipotiroidisme) akan meningkatkan risiko hiperbilirubinemia . 28,33 Bayi baru lahir dengan risiko tersebut perlu diobservasi ketat sepanjang mingguminggu awal kelahirannya.28 Kernikterus: konsekuensi neurologis akibat deposisi bilirubin tidak terkonjugasi pada jaringan otak (ganglia basal otak). Pada neonatus yang mengalami kernikterus, akan didapatkan nilai bilirubin yang sangat tinggi– dapat mencapai > 20-25 mg/dL.28,34 Faktor risiko neurotoksisitas hiperbilirubinemia serta dampak kernikterus terdapat pada tabel 3 dan 4.28 Penyebab hiperbilirubinemia neonatal dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok berdasarkan mekanisme akumulasi bilirubin, yaitu peningkatan produksi bilirubin, penurunan konjugasi bilirubin dan terganggunya proses eksresi bilirubin (Tabel 5).28 Tabel 5. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia neonatal.28,35 Faktor maternal Golongan darah ABO atau inkompatibilitas Rh Ibu menyusui (ASI ekslusif)
Faktor neonatal Trauma saat lahir : sefalhematoma, memar yang luas, persalinan dengan tindakan Obat-obatan : sulfisoxazole asetil dengan eritromisin suksinat (Pediazole), kloramfenikol 59
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
(chloromycetin) Obat-obatan : diazepam (Valium), Oksitosin Kehilangan berat badan yang masif (Pitosin) setelah kelahiran Etnis : Asia Timur, Native American Infeksi TORCH* Penyakit Maternal : DM Gestasional
Jenis kelamin laki-laki Polisitemia Prematuritas Saudara kandung dengan hiperbilirubinemia Ikterus dalam 24 jam pascakelahiran Penyakit autoimun atau hemolitik (contoh : defisiensi G6PD**)
*TORCH = toxoplasmosis, other viruses, rubella, cytomegalovirus, herpes (simplex) viruses. **G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.
Tabel 6. Faktor Risiko Neurotoksisitas Hiperbilirubinemia35 Penyakit hemolitik autoimun Defisiensi G6PD Asfiksia Sepsis Asidosis Albumin < 30 mg/dl
Tabel 7. Efek dari Toksisitas Bilirubin pada Neonatus28 Dini Letargi Asupan ASI yang buruk
Lanjut Iritabilitas Opistotonus
Suara tangisan dengan nada tinggi Hipotonia
Gagal nafas/apneu
Oculogyric crisis Hipertonia Demam
Kronis Athetoid cerebral palsy Kehilangan pendengaran frekuensi tinggi Paralisis terhadap lirikan ke atas Displasia gigi Retardasi mental ringan
Tabel 8. Klasifikasi Hiperbilirubinemia neonatal 36 Peningkatan Produksi Bilirubin Kausa hemolitik Karakteristik : peningkatan kadar bilirubin indirek, >6% retikulosit, konsentrasi hemoglobin <13 g/dl (130 g/L) Tes Coomb’s positif : inkompatibilitas faktor Rh, inkompatibilitas ABO, minor antigens Tes Coomb’s negatif : defek selaput lendir sel darah merah (sferositosis, eliptositosis), defek enzim sel darah merah (defisiensi G6PD*, defisiensi piruvat kinase), obat (Pediazole, streptomisin, vitamik K), abnormalitas sel darah merah (hemoglobinopati), sepsis Kausa nonhemolitik Karakteristik : peningkatan kadar bilirubin indirek, persentase retikulosit normal Kelainan ekstravaskular : sefalhematoma, memar, perdarahan SSP, swallowed blood Polisitemia : transfusi darah ibu -janin, transfusi darah antar janin kembar, keterlambatan penjepitan tali pusat Gangguan sirkulasi enterohepatik : fibrosis kistik, atresia ileum, stenosis pilorus, penyakit Hirschprung’s, ikterus karena ASI
Penurunan Bilirubin Direk Karakteristik : peningkatan level bilirubin indirek, persentase retikulosit normal 60
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Ikterus fisiologis Sindroma Chrigler-Najjar tipe 1 dan 2 Sindroma Gillbert Hipotiroidisme Ikterus karena ASI
Gangguan pada Eksresi Bilirubin Karakteristik : peningkatan bilirubin direk dan indirek, tes Coomb’s negatif, nilai bilirubin direk > 2 mg/dl (34 mol/L) atau > 20% dari total bilirubin serum, bilirubin direk pada urin Obstruksi bilier : atresia bilier, choledocal cyst, sklerosis kolangitis primer, batu empedu, keganasan, sindroma Dubin-Johnson, sindroma Rotor’s Infeksi : sepsis, infeksi saluran kemih, sifilis, toksoplasmosis, tuberkulosis, hepatitis, rubella, herpes Kelainan metabolisme : defisiensi alfa 1 antitripsin, fibrosis kistik, galaktosemia, glycogen storage disease , penyakit Gaucher’s, hipotiroidisme, penyakit Wilson’s, penyakit Niemann -Pick Abnormalitas : sindroma Turner’s, sindroma trisomi(Rifadin), kromosom 18 dan 21kortikosteroid, Obat-obatan : kromosom aspirin, asetaminofen, sulfa, alcohol, rifampisin eritromisin, Tetrasiklin *G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.
Diagnosis dan Manifestasi Klinis Ikterus fisiologis pada bayi baru lahir mengikuti pola tertentu, yaitu kadar bilirubin serum tertinggi mencapai 5-6 mg/dL (86-103 mol/L) dan dicapai pada hari ke-3 sampai 4 kemudian menurun pada 1 minggu pertama pascakelahiran; disebabkan antara lain karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit, imaturitas ambilan hepatik dan proses konjugasi, serta peningkatan sirkulasi enterohepatik.28,37 Pemberian ASI pada neonatus mungkin meningkatkan risiko terjadinya awitan dini ikterus fisiologis.28 Neonatus yang minum ASI memiliki kemungkinan 3-6 kali lebih besar untuk mengalami ikterus sedang (total bilirubin serum > 12 mg/dL) atau ikterus berat (total bilirubin serum > 15 mg/dL = 257 mol/L) daripada neonatus yang mendapat susu formula.28 Pada ikterus karena ASI awitan lambat, puncak peningkatan nilai bilirubin terjadi pada hari ke-6 sampai 14 pascakelahiran. Total bilirubin serum antara 12-20 mg/dL dan sifatnya nonpatologis. Penyebab ikterus karena ASI belum diketahui secara pasti, namun terdapat teori yang menyatakan suatu substansi dalam ASI yaitu β-glukoronidase dan asam lemak nonesterifikasi akan menghambat metabolisme bilirubin.37 Bilirubin serum akan menurun setelah 2 minggu pascakelahiran, namun mungkin bertahan tinggi dalam 1-3 bulan .28 Jika diagnosis ikterus karena ASI meragukan atau total bilirubin serum terus meningkat, maka pemberian ASI digantikan sementara dengan susu formula namun ibu tetap melanjutkan memerah ASI untuk mempertahankan kuantitas produksi ASI. Penggantian ASI dengan susu formula akan menurunkan bilirubin total dalam 48 jam (rata-rata 3 mg/dL/hari) – hal ini akan mengkonfirmasi diagnosis dan proses menyusui dihentikan.28 Meskipun menghentikan ASI akan menurunkan bilirubin dengan cepat dalam waktu 48 jam dan sekarang ini merupakan satu-satunya pemeriksaan diagnostik definitif, hal ini tidak selalu direkomendasikan.38 Ikterus patologis harus dicurigai jika kriteria ASI tidak terpenuhi. Manifestasi ikterus pascakelahiran, peningkatan total bilirubin bilirubin serum > 17 mg/dL pada neonatus
ikterus fisiologis atau ikterus karena patologis terjadi dalam 24 jam serum > 5 mg/dL/hari, dan total 39 Hal lain yang perlu cukup bulan. 61
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
dipertimbangkan antara lain kejadian ikterus yang memanjang, riwayat penyakit (sepsis, rubela, toksoplasmosis, perdarahan masif, eritroblastosis fetalis), dan peningkatan bilirubin direk serum > 2 mg/dL atau > 20% dari total konsentrasi bilirubin.28 Pemeriksaan fisis pada neonatus dengan ikterus dapat dilakukan dalam ruangan dengan pencahayaan yang baik dan pada kulitnya disinari cahaya putih (dapat pula dengan cahaya langsung dari jendela) untuk menilai warna kulit dan jaringan subkutan. Penyinaran dilakukan pada dahi, dada bagian tengah, lengan, tungkai, serta telapak tangan dan kaki. Ikterus biasanya dimulai dari bagian wajah kemudian turun ke batang tubuh sampai ekstremitas. Ikterus dapat hilang timbul menyerupai warna kulit. Ikterus tidak tampak jika total bilirubin serum < 4 mg/dL (68 mol/L).40 Gambar 3 menampilkan pelaporan penilaian ikterus secara visual. Penilaian dengan Skala Krammer berdasarkan zona batas pada kulit yang mengalami ikterus dan intensitas warna kulit (kuning atau oranye– kuning oranye=tidak terkonjugasi) – sesuai dengan pengukuran level bilirubin transkutaneus (TcB: transcutaneous bilirubin).40
Gambar 29. Skala Krammer dengan modifikasi41
Perkiraan total bilirubin serum dengan penilaian secara klinis yaitu mengenai wajah 5 mg/dL; dada bagian atas 10 mg/dL; abdomen 12 mg/dL; sedangkan jika meliputi sampai telapak tangan dan kaki > 15 mg/dL .28 Perkiraan yang konsisten dan dapat diandalkan untuk memperkirakan total bilirubin serum adalah ikterus terlihat di atas garis puting susu. Pada keadaan ini, nilai bilirubin akan bervariasi, namun < 12 mg/dL .40 Jika ikterus telah mencapai pertengahan dada ke bawah maka korelasi antara pengamatan visual dengan total bilirubin serum akan semakin tidak akurat. Hal ini disebabkan perbedaan warna kulit diantara etnis, lambatnya deposit pigmen pada kulit meski nilai bilirubin meningkat, perbedaan persepsi antarpengamat dan faktor lain yang menyulitkan prediksi secara tepat hanya melalui pengamatan visual.41 Pemeriksaan terhadap neonatus meliputi warna kulit (pucat), petekiae, pletora, ekstravasasi darah (misalnya sefalhematoma atau memar), hepatosplenomegali 62
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
(karena anemia hemolitik atau infeksi), tanda sepsis neonatorum, mikrosefali (infeksi kongenital), kehilangan berat badan, dan tanda dehidrasi. Pemeriksaan harus pula menggali adakah riwayat kelahiran kurang bulan dan kecil masa kehamilan pada neonatus.28,38 Gambar 4 menampilkan nomogram untuk menentukan risiko dari 2.840 bayi baru lahir dengan usia gestasi≥ 36 minggu dan berat lahir ≥ 2.000 gram / usia gestasi ≥ 35 minggu dengan berat lahir ≥ 2.500 gram berdasarkan nilai spesifik serum bilirubin menurut jam.42
*Tatalaksana Bilirubinemia42 ≤24 jam 25-48 jam 49-72 jam >72 jam
Fototerapi 10-12 (7-10) 12-15 (10-12) 15-18 (12-15) 18-20 (12-15)
Transfusi Tukar 20 (18) 20-25 (20) 25-30 (>20) 25-30 (>20)
Keterangan : nilai bilirubin dinyatakan dalam mg/dL – nilai tanda dalam kurung merupakan nilai bilirubin untuk neonatus dengan faktor risiko Gambar 30. Nomogram42
Penatalaksanaan Hiperbilirubinemia a. Fototerapi Sebagian neonatal Indonesia setiap bayi barubesar lahir unit cukup bulan di dengan BST memberikan ≥ 12 mg/dL fototerapi atau bayipada prematur dengan BST ≥10 mg/dL tanpa melihat usia. Berikut ini adalah pedoman terapi sinar pada bayi usia gestasi ≥ 35 minggu yang direkomendasikan oleh
63
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Subcommitte on Hyperbilirubinemia, American Academy of Pediatrics(Gambar 5).35
Gambar 31. Tatalaksana Fototerapi untuk neonatus dengan usia gestasi
≥
35 minggu35
Keterangan Gambar 31 : bilirubin total. Jangan dikurangi dengan bilirubin direk atau bilirubin o Gunakan terkonjugasi. o Faktor risiko : penyakit hemolitik isoimun, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi signifikan, instabilitas suhu, sepsis, asidosis, atau albumin < 3.0 g/dL (jika diukur). o Untuk neonatus 35-37 minggu dengan kondisi sehat, intervensi dapat mengacu pada garis di sekitar risiko sedang. o Terapi sinar konvensional/standar dapat dilakukan di RS atau di rumah jika kadar BST 2-3 mg/dl di bawah garis cut off point (35-50 mg/dl). Terapi sinar di rumah tidak dianjurkan pada bayi yang mempunyai faktor risiko. o Fototerapi intensif digunakan bila nilai BST sudah melampaui cut off point untuk fototerapi pada setiap kategori.
Fototerapi intensif: radiasi dalam spektrum biru-hijau (panjang gelombang 2 per nm (diukur pada kulit bayi antara 430-490 nm), setidaknya 30 W/cm secara langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radimeter spesifik dari manufaktur unit fototerapi tersebut .27 Belum ada standar pasti untuk menghentikan fototerapi, tetapi fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST sudah berada di bawahcut off point dari setiap kategori.27 Untuk bayi yang dirawat di RS pertama kali setelah lahir (umumnya dengan BST ≥ 18 mg/dL atau 308 mol/L) maka fototerapi dapat dihentikan bila kadar BST turun sampai di bawah 13-14 mg/dL(239 mol/L).27 Untuk bayi dengan penyakit hemolitik atau dengan keadaan lain yang difototerapi di usia dini dan dipulangkan sebelum bayi berusia 3-4 hari, 64
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
direkomendasikan untuk pemeriksaan ulang bilirubin 24 jam setelah dipulangkan.27 Untuk bayi yang dirawat di RS untuk kedua kalinya dengan hiperbilirubinemia dan kemudian dipulangkan, jarang terjadi kekambuhan yang signifikan sehingga pemeriksaan ulang bilirubin dilakukan berdasarkan indikasi klinis .27 Pernah dibandingkan antara pemberian fototerapi secara intermiten dan kontinu dan hasilnya bervariasi. Tidak ada bukti ilmiah yang dapat dipercaya dalam penggunaan fototerapi kontinu.27 Fototerapi dapat diinterupsi/dihentikan sesaat pada saat pemberian minum atau pemeriksaan fisis singkat. Bila kadar bilirubin mencapai zona transfusi tukar, fototerapi harus diberikan secara kontinu sampai terjadi penurunan BST yang diharapkan atau sampai dilakukan trasfusi tukar .27 Meskipun sinar matahari memberikan radiasi yang cukup pada gelombang 425-475 nm sebagai fototerapi, tetapi keterpaparan sinar matahari secara langsung harus dihindari terutama pada kondisi bayi telanjang sebab dapat meningkatkan risiko kulit terbakar.27 b. Transfusi tukar Transfusi tukar diindikasikan pada kernikterus, yang biasanya ditandai dengan nilai total bilirubin serum > 20 mg/dL karena adanya hemolisis .28 Transfusi tukar dipertimbangkan pada keadaan hiperbilirubinemia yang signifikan.28 Pada neonatus cukup bulan yang tidak mengalami hemolisis, cenderung toleran terhadap nilai total bilirubin serum yang tinggi, tatalaksana yang diutamakan adalah fototerapi.28 Transfusi tukar merupakan metode tercepat untuk menurunkan nilai total bilirubin serum. Prosedur ini jarang diperlukan jika fototerapi dilakukan dengan intensif. Pada kelainan hemolisis, anemia berat atau peningkatan total bilirubin serum yang tinggi (> 1 mg/dL perjam dalam < 6 jam), transfusi tukar merupakan tatalaksana yang direkomendasikan .28,33 Prosedur ini perlu dipertimbangkan pada ikterus nonhemolitik pada neonatus jika fototerapi gagal untuk menurunkan nilai bilirubin. 28,33 Komplikasi transfusi tukar antara lain emboli udara, vasospasme, infark, infeksi dan bahkan kematian. Oleh karena itu, fototerapi intensif harus lebih dulu diupayakan sebelum beralih pada transfusi tukar .28,33 Rasio bilirubin total berbanding albumin dapat digunakan sebagai pedoman tambahan untuk menentukan apakah terdapat indikasi transfusi tukar (Tabel 6).27,35,43 Tabel 9. Indikasi transfusi tukar berdasarkan rasio bilirubin : albumin pada usia gestasi dan kelompok risiko tertentu27,35,43 Usia gestasi dan kelompok risiko 38 minggu dan sehat > 38 minggu + hemolisis atau 35 – 37 6/7 dan sehat 35 37–6/7 + hemolisis
Rasio bilirubin : albumin 8.0 7.2 6. 8
Ikterus yang terjadi < 24 jam pada neonatus cukup bulan selalu dikategorikan sebagai ikterus patologis. Berdasarkan kenaikan nilai total bilirubin serum, 65
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
risiko hiperbilirubinemia neonatal dapat diklasifikasikan sebagai rendah, menengah, atau tinggi (lihat Gambar 31). Dengan asumsi bahwa nilai total bilirubin serum akan meningkat secara kontinu, maka dapat diprediksi nilai total bilirubin serum dan dapat dihitung dalam berapa hari lagi kemungkinan kejadian toksisitas akibat hiperbilirubin.28 Bagan 1 menjelaskan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk evaluasi ikterus pada neonatus, sementara bagan 2 menjelaskan algoritma manajemen dan kontrol sesuai rekomendasi American Academy of Pediatrics (2009) .35
Gambar 32. Hubungan antara konsentrasi hemoglobin darah, massa hemoglobin total dan persentase retikulosit Keterangan Gambar 32 : Setiap tabel menunjukkan hasil pengamatan pada bayi yang diberikan perlakuan yang sama. Setiap poin mewakili rerata perminggu pengamatan hidup pada masing-masing kelompok A. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus negatif: 4 bayi B. Transfusi tukar dengan darah yang memiliki rhesus positif: 3 bayi C. Beberapa transfusi kecil dengan endapan sel Rh negatif: 9 bayi. D. Penyembuhan spontan: 1 bayi
66
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 33. Algoritma Evaluasi Bayi Baru Lahir dengan Hiperbilirubinemia (Modifikasi dari Maisles et al35)
67
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Usia gestasi 35-37 minggu + faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya
A
Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS
Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)
Risiko tinggi
Risiko menengah tinggi
Evaluasi fototerapi (lihat Gambar 5) Pengukuran TSB dalam 4-8 jam
B
Evaluasi fototerapi (lihat Gambar 5) Pengukuran TSB/TcB dalam 4- 24jam
Risiko menengah rendah
Jika keluar RS dalam < 72 jam, kontrol dalam 2 hari Pertimbangkan pengukuran TcB/TSB saat kontrol
Risiko rendah
Jika keluar RS dalam < 72 jam, kontrol dalam 2 hari
Usia gestasi 35-37 minggu, tanpa risiko hiperbilirubinemia atau Usia gestasi ≥ 38 minggu + faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya
Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS
Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)
Risiko tinggi
Evaluasi fototerapi (lihat Gambar 5) Pengukuran TSB dalam 4-24 jam
Risiko menengah tinggi
Evaluasi fototerapi (lihat Gambar 5) Pengukuran TSB/TcB dalam
Risiko menengah rendah
Jika keluar RS dalam < 72 jam, kontrol dalam 2 hari
Risiko rendah
Jika keluar RS dalam < 72 jam, kontrol dalam 2-3
68
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
C
Usia gestasi ≥38 minggu tanpa faktor risiko hiperbilirubinemia lainnya
Pengukuran nilai TcB dan TSB sebelum keluar RS
Penilaian zona bilirubin (Gambar 4)
Risiko tinggi
Evaluasi fototerapi (lihat Gambar 5) Pengukuran TSB dalam 4-24 jam
Risiko menengah tinggi
Kontrol dalam 2 hari Pertimbangkan pengukuran TcB TSB saat
Risiko menengah rendah
Jika keluar RS dalam < 72 jam, kontrol dalam 2-3 hari
Risiko rendah
Jika keluar RS dalam < 72 jam, kontrol sesuai dengan usia ketika keluar RS atau pertimbangan selain ikterus (ASI)
Gambar 34. Algoritma Manajemen dan Kontrol Hiperbilirubinemia Neonatal 35
(Modifikasi dari Maisles et al )
Keterangan Bagan 2 : Evaluasi terhadap laktasi dan dukung ibu untuk menyusui bayinya. Pengulangan pengukuran TSB tergantung pada usia saat pengukuran dan perbandingan nilai TSB terhadap persentil 95 (lihat gambar 1). Semakin dini pengukuran TSB dan semakin tinggi nilainya, maka pengukuran ulang harus segera dilakukan. Pada saat kontrol, dokter akan melakukan pemeriksaan klinis sesuai standar.
Tatalaksana Hiperbilirubinemia pada Bayi Kurang Bulan Sekitar 80% bayi kurang bulan mengalami kuning pada minggu pertama kehidupan. Hal ini disebabkan makin muda usia gestasi, usia eritrosit lebih singkat serta kemampuan hepar untuk ambilan dan konjugasi bilirubin belum optimal.44 Kejadian kuning pada bayi kurang bulan memiliki awitan yang lebih dini, mencapai puncak lebih lambat, kadar puncak lebih tinggi 44 dan memerlukan lebih banyak waktu untuk menghilang (sampai dengan 2 minggu) . Di bawah ini adalah tabel indikasi tatalaksana fototerapi dan transfusi tukar pada bayi kurang bulan. 69
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Tabel 10. Indikasi Tatalaksana Fototerapi pada Bayi Kurang Bulan 45 Usia
< 24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
Berat <1.500 g Kadar Bilirubin (µmol/L) Risiko tinggi dan yang lainnya: > 70 >85 >120 >140
Berat 1.500-2.000 g Kadar Bilirubin (µmol/L) Risiko tinggi : >70 dan yang lainnya: > 70 >120 >155 >170
Berat > 2.000 g Kadar Bilirubin (µmol/L) >85 >140 >200 >240
Tabel 11. Indikasi Tatalaksana Transfusi Tukar pada Bayi Kurang Bulan 45 Usia
<24 jam 24-48 jam 49-72 jam >72 jam
Berat <1.500 g Kadar Bilirubin (µmol/L) >170 - 255 >170-255 >170-255 >255
Berat 1.500-2.000 g Kadar Bilirubin (µmol/L) >255 >255 >270 >290
Berat > 2.000 g Kadar Bilirubin (µmol/L) >270-310 >270-310 >290-320 >310-340
D. Sepsis neonatorum Dalam laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa 36% dari kematian neonatus disebabkan oleh 46 penyakit infeksi, diantaranya (1) sepsis, (2) pneumonia, (3) tetanus, dan (4) diare. Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero. Di negara berkembang termasuk Indonesia, mikroorganisme penyebabnya adalah batang Gram negatif.47,48 Sepsis neonatorum awitan dini memiliki kekerapan 3,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dengan angka mortalitas sebesar 15-50%.49 Kajian WHO dalam Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the treatment of neonatal sepsis (2002) menyatakan bahwa bakteri batang Gram-negatif, khususnya Klebsiella merupakan penyebab utama sepsis neonatorum, diikuti dengan Staphylococcus, dan Escherichia (Gambar 32 dan 33).50
70
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 32. Patogen pada neonatus 50
Gambar 35. Perubahan spektrum patogen pada sepsis neonatorum 50
Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (health care-associated infection).51,52 Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal.53 CDC (2008) telah mengganti istilah infeksi nosokomial menjadihealth careassociated infection (HAI). HAI didefinisikan sebagai kondisi sistemik atau lokal sebagai reaksi akibat adanya agen infeksi atau toksinnya; ditegakkan jika tidak ada bukti bahwa infeksi sedang terjadi atau sedang dalam masa inkubasi ketika bayi mulai dirawat di rumah sakit.54
71
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 10-20%. Di negara berkembang didominasi oleh mikroorganisme batang Gram negatif E. ( coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa).53 Faktor predisposisi HAI yang mencetuskan SAL antara lain BBLR, prematuritas, perawatan di NICU, penggunaan ventilator mekanis, prosedur invasif, dan pemberian cairan parenteral; sedangkan faktor risiko dari komunitas yang mencetuskan SAL antara lain buruknya higienitas, perawatan tali pusat, dan minum susu botol.55 Definisi sepsis neonatorum ditegakkan bila terdapat systemic inflammatory response syndrome (SIRS) yang dipicu oleh infeksi, baik tersangka infeksi suspected ( ) maupun terbukti infeksi (proven).56 Definisi SIRS dipakai untuk menjelaskan sindroma klinis yang ditandai oleh 2 atau lebih dari kriteria ini: (a) demam atau hipotermia, (b) takikardia, (c) takipneu atau hiperventilasi, dan (d) jumlah leukosit 57 Jika sepsis disertai abnormal atau meningkatnya morfologi leukosit abnormal. dengan disfungsi organ, hipoperfusi, atau hipotensi– sepsis dikategorikan sebagai sepsis berat. Syok septik terjadi jika terdapat hipotensi sebagai akibat tidak adekuatnya penggantian volume cairan tubuh.58 Tabel 12. Kriteria SIRS
Usia Neonatus
Suhu
Laju Nadi per menit
Laju napas per menit
Jumlah leukosit X 103/mm3
Usia 0-7 hari
>38,5ºC atau <36ºC >38,5ºC atau <36ºC
>180 atau <100
>50
>34
>180 atau <100
>40
>19,5 atau <5
Usia 7-30 hari
Catatan: Definisi SIRS pada neonatus ditegakkan bila ditemukan 2 dari 4 kriteria dalam tabel (salah satu di antaranya kelainan suhu atau leukosit) Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
Tabel 13. Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, syok septik Infeksi
Sepsis Sepsis berat
Syok septik
Terbukti infeksi (proven infection) bila ditemukan kuman penyebab atau Tersangka infeksi ( suspected infection) bila terdapat sindrom klinis (gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain). SIRS disertai infeksi yang terbukti atau tersangka. Sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular atau disertai gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neurologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi). Sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <65 mmHg pada bayi <7 hari dan <75 mmHg pada bayi 7-30 hari).
Sumber: Goldstein B, Giroir B, Randolph A.Pediatr Crit Care Med 2005; 6(1): 2-8
72
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Dalam hal penegakan diagnosis sepsis neonatorum mengalami kendala karena gejala dan tanda klinis sepsis tidak spesifik, yaitu dapat menyerupai keadaan lain yang disebabkan oleh keadaan non-infeksi. Dilain pihak, penegakan diagnosis secara dini berperan sangat penting karena dapat membantu menurunkan tingkat mortalitas. Ada sarana kesehatan yang menggunakan pendekatan diagnosis berdasarkan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut ke dalam risiko mayor dan risiko minor (Tabel 9).Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic work-up) sesegera mungkin.59 Tabel 14. Pengelompokan faktor risiko59 Risiko mayor 1. 2. 3. 4. 5.
Ketuban pecah > 24 jam Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C Korioamnionitis Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit Ketuban berbau
Risiko minor 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Ketuban pecah > 12 jam Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C Nilai Apgar rendah ( menit ke-1 < 5 , menit ke-5 < 7 ) Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) < 1500 gram. Usia gestasi < 37 minggu. Kehamilan ganda. Keputihan pada ibu. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinis, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi.60 Pemeriksaan penunjang seperti biakan darah untuk kultur kuman penyebab merupakan standar baku emas dalam menegakkan diagnosis sepsis. Namun demikian, terdapat beberapa kendala yaitu kultur kuman penyebab seringkali menunjukkan hasil yang tidak memuaskan. Selain itu, hasil pemeriksaan baru dapat diketahui setelah 48-72 jam. Hal yang penting juga diperhatikan bahwa kuman penyebab infeksi tidak selalu sama, baik antar klinik, antar waktu, ataupun antar negara. Tabel 15. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus Variabel Klinis Suhu tubuh tidak stabil Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen Letargi Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L ) Intoleransi minum Variabel Hemodinamik* (atau dapat digantikan dengan laju nadi, kualitas isi nadi dan pengisian kapiler) TD < 2 SD menurut usia bayi 73
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari ) TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan ) Variabel Perfusi Jaringan Pengisian kembali kapiler > 3 detik Asam laktat plasma > 3 mmol/L* Variabel Inflamasi Leukositosis ( > 34000x10 9/L ) Leukopenia ( < 5000 x 10 9/L ) Neutrofil muda > 10% Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2 Trombositopenia <100000 x 109/L C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal* Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal** IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL** 16 S rRNA gene PCR : positif** *sangat dianjurkan apabila fasilitas tersedia ** di Negara maju dan dalam penelitian Sumber : Haque KN.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9
Pada dasarnya, pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis sepsis dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu : Kelompok pemeriksaan penunjang konvensional, yang meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, kultur darah dan CRP. Kelompok pemeriksaan penunjang canggih : marker/petanda dan mediator. Berikut ini 10 langkah perencanaan penggunaan antibiotik: 1. Kultur darah (dan mungkin cairan serebrospinal dan atau urin) harus dimulai sebelum memulai terapi antibiotik; 2. Gunakan sedapat mungkin antibiotik spektrum sempit, seperti penisilin (piperacillin-tazobactam) dan aminoglikosida (amikasin); 3. Jangan memulai terapi dengan sefalosporin generasi ke tiga (sefotaksim, seftazidim) atau karbapenem (imipenem, meropenem); 4. Kembangkan kebijakan antibiotik lokal dan nasional untuk membatasi pengguanaan antibiotik spektrum luas yang mahal seperti imipenem untuk pengobatan empirik; 5. Percaya hasil kultur dan laboratorium mikrobiologi; 6. Peningkatan CRP bukan berarti sepsis; Franz AR (1999) menyatakan terdapatnya satu saja tanda klinis (yang menandakan infeksi) ditambah dengan CRP > 10 mg/L, maka dapat ditegakkan diagnosis septikemia neonatorum awitan dini atau lanjut pada neonatus usia berapapun yang dirawat di NICU.61,62 Philip dan Mills (2000) merekomendasikan neonatus (usia berapapun) dengan CRP ≥ 10 mg/L dan terdapatnya satu atau lebih tanda klinis dan atau satu atau lebih faktor risiko untuk infeksi; harus dipindahkan dari ruang rawat biasa ke NICU dan mendapatkan terapi antibiotik.63 7. Jika kultur darah steril dalam 2-3 hari, penghentian antibiotik hampir selalu aman dan tepat. 8. Usahakan untuk tidak menggunakan antibotik untuk waktu yang lama. 9. Obati sepsis bukan kolonisasi. 74
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Kolonisasi merupakan presentasi mikroorganisme pada kulit, membran mukosa, luka terbuka, atau pada eksresi/sekresi tetapi tidak menyebabkan tambahan gejala atau tanda klinis.54 10. Lakukan yang terbaik untuk pencegahan infeksi nosokomial dengan cara menggalakkan pengendalian infeksi, khususnya mencuci tangan. Terdapat kesulitan untuk menilai tingkat keparahan penyakit pada neonatus. Kondisi hipoglikemi, kesulitan makan per oral, dan kejang– tidak dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi kesehatan atau morbiditas pada neonatus. Sampai saat ini, berat lahir, usia gestasi, dan skor APGAR merupakan petanda morbiditas neonatus. Mulai dikembangkan pula sistem penilaian lain untuk mengukur tingkat keparahan penyakit neonatus, antara lain (a)Clinical Risk Index for Babies (CRIB); (b) Score for Neonatal Acute Physiology (SNAP); (c) Score for Neonatal Acute Physiology and SNAP Perinatal Extension(SNAP-II dan SNAPPE II).64,65,66 Tabel 16. Penilaian kondisi bayi dengan SNAP 65 Parameter Tekanan Darah (mmHg) Tinggi Rendah Frekuensi Nadi Tinggi Rendah Frekuensi Napas Temperatur oF PO2, mmHg Rasio PO2/FiO2* PCO2, mmHg Indeks oksigenasi Hematokrit, % Tinggi Rendah Hitung leukosit (x 1.000) I/T rasio Hitung netrofil absolut Hitung trombosit (x 1.000) Blood urea nitrogen, mg/dL Kreatinin, mg/dL Urin output, mL/kg/jam Bilirubin indirek (sesuai dengan berat badan) > 2 kg; mg/dL ≤ 2 kg; mg/dL Bilirubin direk, mg/dL Natrium, mEq/L Tinggi Rendah Kalium, mEq/L Tinggi Rendah Kalsium (terionisasi), mg/dL
2.5-3.5
1 poin
3 poin
5 poin
66-80 30-35
81-100 20-29
> 100 < 20
180-200 80-90 60-100 95-96 50-65 0.3-2.49 50-65
201-250 40-79 > 100 92-94.9 30-50 < 0.3 66-90
> 250 < 40 .... < 92 < 30 > 90
0.07-0.20
0.21-0.40
> 0.40
66-70 30-35 2.0-5.0 > 0.21 500-999 30-100 40-80 1.2-2.4 0.5-0.9
> 70 20-29 < 2.0 .... < 500 0-29 > 80 2.5-4.0 0.1-0.49
.... < 20 .... .... .... .... .... > 4.0 < 0.1
15-20 5-10
> 20 > 10
.... ....
2.0 ≥
....
....
150-160 120-130
161-180 < 120
> 180 ....
6.6-7.5 2.0-2.9
7.6-9.0 < 2.0
> 9.0 ....
75
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Tinggi Rendah Kalsium (total), mg/dL Tinggi Rendah Glukosa (atau dengan strip reagen), mg/dL Tinggi Rendah Bikarbonat serum, mEq/L Tinggi Rendah pH serum Kejang Apnu
Uji darah samar feses *FiO2 : fraction of inspired oxygen as a percent
≥ 1.4 0.8-1.0
.... < 0.8
.... ....
≥ 12 5.0-6.9
.... < 5.0
.... ....
150-250 30-40
> 250 < 30
.... ....
≥ 33 11-15 7.20-7.30
.... ≤ 10 7.10-7.19
.... .... < 7.10
Sekali Responsif dengan stimulasi
Berkali-kali Tidak responsif dengan stimulasi ....
.... Apnu komplit
Positif
....
Pencegahan dibagi atas pencegahan untuk sepsis awitan dini (SAD) dan sepsis awitan lambat (SAL). Pencegahan untuk SAD : Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini early-onset ( ) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%.67 Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan HAI antaralain :68 1. Pemantauan yang berkelanjutan 2. Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien 3. Bentuk ruang perawatan 4. Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai 5. Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan 6. Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral 7. Pemakaian kateter vena sentral yang minimal 8. Pemakaian antibiotik yang rasional 9. Program pendidikan : meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol. Terdapat rekomendasi dari the Centers for Disease Control and Prevention/ CDC (2002) mengenai kemoprofilaksis pada wanita hamil terhadap infeksi GBS onset dini pada neonatus. Terdapat indikasi pemberian antibiotik intrapartum untuk profilaksis infeksi GBS onset dini melalui skrining kultur prenatal universal terhadap setiap 69 wanita hamil pada usia gestasi 35-37 minggu (Bagan 3).
76
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 36. Indikasi Intrapartum Antimicrobial Prophylaxis Sumber : http://aapredbook.aappublication.org
77
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 37. Algoritma Intrapartum Antimicrobial Prophylaxis Sumber : http://aapredbook.aappublication.org
78
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Gambar 38. Protokol Sepsis Sumber : http://www.newbornwhocc.org
79
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
REKOMENDASI HTA 1. Sepsis neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif.[Rekomendasi B LoE IIb] 2. Penegakan diagnosis : Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor. Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan penunjang. Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi. Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis atau dugaan sepsis sangat penting. Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di tempat pelayanan kesehatan: Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang konvensional dianjurkan untuk melakukan : Skrining Infeksi maternal Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap,
pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio. Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR, prokalsitonin, dan lain-lain.
80
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
3. Penatalaksanaan Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik: Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis. Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS). Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp). Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan antibiotik tunggal E ( nterococci, Listeria). Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain : Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophagecolony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberianfresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin.[Rekomendasi A LoE Ia] 4. Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut: 1. Usia saat awitan penyakit 2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi. 3. Pola resistensi antibiotik pada masing-masing rumah sakit. 4. Farmakokinetik antibiotik. 5. Pencegahan Pencegahan secara umum : Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur. Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya,
misalnya
infeksi
TORCH, infeksi saluran kemih, dll. Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan. Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan anemia. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman persalinan kurang bulan. Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari : Persalinan yang bersih dan aman Stabilisasi suhu Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong Pemberian ASI dini dan eksklusif Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi.
81
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi GBS sebesar 86%. [Rekomendasi B LoE IIa] Pencegahan untuk SAL : berhubungan dengan infeksi nosokomial antara lain: Pemantauan yang berkelanjutan Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien Bentuk ruang perawatan Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral Pemakaian kateter vena sentral yang minimal Pemakaian antibiotik yang rasional Program pendidikan Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol. [Rekomendasi A LoE Ia]
82
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
DAFTAR PUSTAKA
1 Lawn JE, Cousens S, Zupan J; Lancet NeonatalSurvival Steering Team. 4 million neonatal deaths: When? Where? Why? Lancet. 2005;365 (9462):891–900. 2 London, Susan Mayor. Communicable disease and neonatal problems are still major killers of children. BMJ 2005;330:748 (2 April), doi:10.1136/bmj.330.7494.748-g 3 Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern Nepal: A Prospective, Community-Based Cohort Study. PEDIATRICS Vol. 121 No. 5 May 2008, pp. e1381-e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb) 4 Departemen Kesehatan RepublikIndonesia. Riset KesehatanDasar tahun 2007. 2008 5 World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical GuideRevision. Geneva, Switzerland: World Health Organization; 1999. Available at: www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.html.Accessed June 20, 2008. 6 American Heart Association& American Academy of Pediatrics. Buku Panduan Resusitasi Neonatus Edisi ke-5. 2006. 7 American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC, Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002.p. 196-7. 8 IDAI. Asfiksia Neonatorum.Standar Pelayanan Medis Kesehatan anak. 2004 : 272276. (level of evidence IV) 9 Saugstad OD, et.al. Resuscitation of Newborn Infants with 21% or100% Oxygen : An updated systematic review and meta-analysis. Neonatology 2008; 94(3):176-182 10 Saugstad OD, Ramji S., Vento M. Resuscitation of depressed newborn Infants with ambient air or pure oxygen : a meta-analysis. Biol Neonate. 2005;87(1):27-34. 11 Zhu JJ, Wu MY. Which is better to resuscitate asphyxiated newborn infants : room air or pure oxygen?. Zhonghua Er Ke Zha Zhi.2007 Sep;45(9):644-649. 12 Rabi Y, Rabi D, Yee W. Room air resuscitation of depressed newborn: a systematic review and meta-analysis. Resuscitation. 2007 Mar; 72(3):353-363. 13 Bajaj N, Udani RH, Nanavati RN. Room air vs 100 percent oxygen for neonatal resuscitation: a controlled clinical trial. J Trop Pediatr. 2005 Aug; 51(4):206-211. 14 Tan A, Schulze A, O'Donnell CPF, Davis PG. Resuscitation of Newborn infants with 100% oxygen or air : a systematic review and meta-analysis. The Lancet 2004; 364:1329-1333 (DOI : 10.1016/S0140-6736 (04)17189-4) 15 Fearnley SJ, Pulse Oximetry, Update in Anaesthesia, 1995: Issue 5.Dapat diakses pada www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u05/u05_003.htm 16 Jubran A, Pulse oximetry, Crit Care. 1999; 3(2): R11 –R17. Published online 1999 May 18. doi: 10.1186/cc341. 17 Vohra S, Roberts RS, Zhang B, Janes M, Schmidt B. Heat Loss Prevention (HeLP) in the delivery room: a randomized controlled trial of polyethylene occlusive skin wrapping in very preterm infants. J Pediatr. 2004;145 :750–753. 18 McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventions to prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birthweight infants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art. No.: CD004210. DOI:0.1002/14651858. CD004210.pub3. (Level of evidence Ia)
83
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
19 McCall EM, Alderdice FA, Halliday HL, Jenkins JG, Vohra S. Interventions to prevent hypothermia at birth in preterm and/or low birthweight infants. Cochrane Database of Systematic Reviews 2008, Issue 1. Art. No.: CD004210. DOI:0.1002/14651858. CD004210.pub3. (Level of evidence Ia) 20 Meneguel JF, Guinsburg R, Miyoshi MH, Peres CA, Russo RH, Kopelman BI, Camano L. Antenatal treatment with corticosteroids for preterm neonates: impact on the incidence of respiratory distress syndrome and intra-hospital mortality. Sao Paulo Med J 2003; 121(2):45-52. (Level of evidence IIb) 21 Berglund S, Grunewald C, Pettersson H, Cnattingius S. Severe asphyxia due to delivery-related malpractice in Sweden 1990–2005. BJOG 2008;115:316–323. (Level of evidence IIIb) 22 Fahdhy M, Chongsuvivatwong V. Evaluation of World Health Organization partograph implementation by midwives for maternity home birth in Medan, Indonesia. Midwifery. 2005 Dec;21(4):301-10.Epub 2005 Aug 1. 23 Department of Reproductive Health and Research, World Health Organization. Kangaroo mother care.A practical guide. 1st ed. Geneva : WHO, 2003. 24 London, M., Ladewig, P., Ball, J., & Bindler, R. (2006). Maternal and child nursing care (2nd ed.). Upper Saddle River, NJ: Pearson Prentice Hall. (p. 573, 791 - 793) 25 Robles, M. (1995). Kangaroo care: The human incubator for the premature infant. University of Manitoba, Women’s Hospital in the Health Sciences Centre: Winnipeg, MN. 26 Usman A, Irawaty S, Triyanti A, Alisjahbana A. Pencegahan Hipotermia pada Perawatan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) di Rumah dengan Metoda Kanguru. Unit Penelitian FK Unpad/RSHS. Bandung 1996. 27 Subcommitte on Hyperbilirubinemia. Clinical practice guidelies : Management of hyperbilirubinemia in the newborn 35 or more weeks gestasion. Pediatrics2004; 114: 297-316. 28 Porter ML. Dennis BL. Hyperbilirubinemia in the term of newborn. Am Fam Physician 2002;65:599–606,613–4. 29 Sarici SU. et al. An Early (Sixth-Hour) Serum bilirubin measurement is useful in predicting the development of significant hyperbilirubinemia and severe abo hemolytic disease in a selective high-risk population of newborns with abo incompatibility. American Academy of Pediatrics Journal. 2002;109(4);e53. 30 Linn S. et al. Epidemiology of neonatal hyperbilirubinemia. American Academy of Pediatrics Journal. 1985;75;770-774. 31 Suradi R, Monintja HE, Munthe BG, Suparno. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency in the dr. Ciptomangunkusumo general hospital.Pediatr Indones 1979: 19:30-40. 32 Jaundice and hyperbilirubinemia in the newborn. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson Textbook of pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:511-28. pediatrics. 16th ed. Philadelphia: Saunders, 2000:511-28. 33 Hiperbilirubinemia pada neonatus. Dalam :Pelayanan Obstetri dan Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK).2008;183-96. 34 Raunch D. Kernicterus. Diunduh dari http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/007309.htm. Diakses tanggal 10 Desember 2009. 35 Maisles MJ. Et al. Hyperbilirubinemia in the newborn infant≥ 35 weeks’ gestation: an update with clarifications. American Academy of Pediatrics Journal. Vol 124, Number 4. 2009;1193-8. 84
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
36 Siberry GK, Iannone R, eds. The Harriet Lane handbook: a manual for pediatric house officers. 15th ed. St. Louis: Mosby, 2000:257-8. 37 Gartner LM, Herschel M. Jaundice and breastfeeding. Pediatr Clin North Am 2001;48:389-99. 38 WHO Indonesia. Masalah-masalah bayi baru lahir:Ikterus. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di kabupaten/kota. Jakarta: WHO.2009;p 68-9. 39 Melton K, Akinbi HT. Neonatal jaundice. Strategies to reduce bilirubin-induced complications. Postgrad Med 1999;106:167-8,171-4,177-8. 40 Bhutani VK, Johnson LH, Keren R: Diagnosis and management of
41 42
43 44 45 46
47
48 49
50
51
52
hyperbilirubinemia in the term neonate: for a safer first week. Pediatr. Clin. North Am. 51, 843-861 (2004). Bhutani VK. Screening for Severe Neonatal Hyperbilirubinemia: Tests. Diunduh dari http://www.medscape.com. Diakses tanggal 10 Desember 2009. Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hourspesific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia in a healthy term and near-term newborns. Pediatrics. 1999;103:6-14 Treatment of Hyperbilirubinemia. Diunduh dari www.yalepediatrics.org. Diakses Mei 2007. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). Paket Pelatihan Pelayanan Obstetri dan Neonatal (PONEK): Asuhan Neonatal Esensial. 2008. The Royal Women’s Hospital Neonatal Services: Clinician’s Handbook. February 2009. WHO, Departement of Child and Adolescent Health and Development. www.who.int/child-adolescent-health/OVERVIEW/CHILD_HEALTH/map_00-03_ world.jpg. [Tingkat pembuktian IIIb] Gordon A, Jeffery HE. Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn infants. Available at: URL: http://www.nichd.nih.gov/cochrane/Gordon/GORDON.HTM [Tingkat Pembuktian Ia] Yurdakok M. Antibiotic use in neonatal sepsis. Turk J Pediatr 1994; 40(1): 17-33. [Tingkat Pembuktian IV] Schuchat A, Zywicki SS, Dinsmoor MJ, Mercer B, Romaguera J, O’Sullivan MJ, et al. Risk Factors and Opportunities for Prevention of Early-onset Neonatal Sepsis: A Multicenter Case-Control Study. Pediatrics 2000; 105: 21-26. [Tingkat Pembuktian IIb] Department of Child and Adolescent Health and Development World Health Organization. Explore simplified antimicrobial regimens for the treatment of neonatal sepsis. Meeting to explore simplified antimicrobial regimens for the treatment of neonatal sepsis (2002). Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR, Mupanemunda RH, Watkinson M, penyunting. Key topics in Neonatology. Washington DC: Bios Scientific Publisher Limited; 1999. h. 143-6. Mupanemunda RH, Watkinson M. Infection-Neonatal. In: Harvey DR,
Mupanemunda RH, Scientific Watkinson M, penyunting. Key h.topics in Neonatology. Washington DC: Bios Publisher Limited; 1999. 147-150. 53 Rodrigo I. Changing patterns of neonatalsepsis. Sri Lanka J Child Health 2002; 31: 3-8. 85
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
54 Horan TC, Andrus M dan Dudeck MA. CDC/NHSN surveillance definition ofhealth care–associated infection and criteria for specific types of infections in the acute care setting. Am J Infect Control 2008;36:309-32. doi:10.1016/j.ajic.2008.03.002. 55 Sankar JM, Agarwal R, Deorari AK, Paul VK. Sepsis in the Newborn. AIIMS- NICU protocols (2008). 56 Opal SM. Concept of PIRO as a new conceptual framework to understand sepsis. Pediatr Crit Care Med 2005; 6(3): Suppl: S55-60. 57 Angus DC, Wax RS. Epidemiology of sepsis: an update. Crit Care Med2001; 29 (Suppl): S109-16. 58 Levy MM, Fink MP, Marshall JC, Abraham E, Angus D, Cook D, et al. 2001
59 60 61
62
63
64
SCCM/ESICM/ACCP/ATS/SIS International Sepsis Definitions Conference. Crit Care Med 2003;31:1250-6. Pusponegoro HD, Hadinegoro SRS, Firmanda D, Tridjaja B, et al. Sepsis neonatorum. Dalam : Standard Pelayanan Medik IDAI.2004. h 286-90 Haque KN. Definitions of Bloodstream Infection in the Newborn.Pediatr Crit Care Med 2005; 6: S45-9. Franz AR, Kron M, Pohlandt F, Steinbach G. Comparison of procalcitonin with interleukin-8, C-reactive protein and differential white blood cell count for the early diagnosis of bacterial infections in newborn infants. Pediatr Infect Dis J 1999;18:666-71. Franz AR, Steinbach G, Kron M, Pohlandt F. Reduction of unnecessary antibiotics therapy in newborn infants using interleukin-8 and C-reactive as markers of bacterial infections. Pediatrics 1999;104:447-53. Phillip AGS, Mills PC. Use of C-reactive protein in minimizing antibiotic exposure; experience with infants initially admitted to a well-baby nursery. Pediatrics 2000;106:e4. G. Parry et al. CRIB II : an update of the Clinical Risk Index for Babiesscore.
Lancet 2003;361(9371):1789-91. 65 Ricardson DK et al. Score for Neonatal Acute Physiology : a physiology severity index for neonatal intensive care. Pediatrics 1993;91:617-23. 66 Richardson DK et al. SNAP-II and SNAPPE-II : Simplified newborn illness severity and mortality risk scores. Pediatr 2001; 138:92-100. 67 Benitz WE, Gould JB, Druzin ML. Antimicrobial Prevention of Early-onset Group B Streptococcal Sepsis: Estimates of Risk Reduction Based on a Critical Literature Review. Pediatrics 1999; 103; 78.[Tingkat Pembuktian IIa]. 68 Clark R. Power R, White R, bloom B, Sanchez P, Benjamin DK. Prevention and treatment of nosocomial sepsis in the NICU. Journal of perinatology 2004; 24: 446-53. [Tingkat Pembuktian Ia]. 69 Centers for Disease Control and Prevention. Prevention of perinatal group B streptococcal disease. Revised guidelines from CDC. MMWR Recomm Rep. 2002;51(RR-11):1-22.
86
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
BAB V PENUTUP
Penyusunan buku saku tatalaksana bayi baru lahir ini merupakan suatu proses rangkuman hasil-hasil HTA Indonesia beberapa tahun terakhir dilengkapi dengan topik-topik penting lainnya dalam perawatan bayi baru lahir. Buku saku ini dilengkapi dengan petunjuk praktis t(imeline) untuk mengingat waktu skrining bayi baru lahir. Keseluruhannya diharapkan memudahkan praktisi medis untuk mendapatkan gambaran tatalaksana holistik bayi baru lahir. Berkaitan dengan diseminasi hasil-hasil HTA Indonesia mengenai bayi baru lahir, maka buku saku ini diharapkan dapat melengkapi buku-buku panduan maupun pedoman yang telah dibuat sebelumnya dengan kajian yang berbasis-bukti. Diharapkan dengan terbitnya buku saku, para dokter di sarana pelayanan kesehatan primer dapat memanfaatkan buku ini dalam praktik klinis sehari-hari serta memacu para dokter untuk mengembangkan HTA di RS masing-masing.
87
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
LAMPIRAN
Lampiran 1. Level of Evidence dan Derajat Rekomendasi
Level of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan US Agency for Health Care Policy and Research.Level of evidence: Ia. Ib.
Meta-analysis of randomised controlled trials . Minimal satu randomised controlled trials.
IIa. Minimal penelitian non-randomised controlled trials. IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report IV.
Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi/Level of Evidence (LoE) : A. Evidence yang termasuk dalam level Ia dan Ib. B. Evidence yang termasuk dalam level IIa dan II b. C. Evidence yang termasuk dalam level IIIa, IIIb dan IV.
88
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Level of Evidence Health Technology Assessment (HTA) Tahun 2003-2008
Rekomendasi
Topik Profilaksis Vitamin K
Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir
Derajat Rekomendasi Semua bayi baru lahir harus mendapat profilaksis A vitamin K1. Ia Jenis vitamin K yang digunakan adalah vitamin A K1. Ia Cara pemberian vitamin K1 adalah secara A intramuskular atau oral. Ia Dosis yang diberikan untuk semua bayi baru lahir A 1 mg dosis tunggal intramuskular. Ia Skrining pendengaran dilakukan pada semua bayi B baru lahir dengan atau tanpa faktor risiko IIb Skrining dilakukan sebelum bayi meninggalkan RS pada bayi yang lahir di RS dan sebelum usia satu bulan pada bayi yang lahir selain di RS.
C IV
Diagnosis gangguan pendengaran ditegakkan sebelum usia tiga bulan dan dilanjutkan dengan tatalaksana sebelum usia enam bulan.
B IIb
Skrining pendengaran di Indonesia dilaksanakan dengan alur terlampir dalam lampiran 2. Departemen THT meningkatkan kerjasama dengan cabang ilmu terkait yaitu Departemen Ilmu Kesehatan Anak (Perinatologi dan Neurologi), Kebidanan dan Kandungan, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, dan ahli audiologi dalam hal penatalaksaan pasien. Departemen Kesehatan RI berdasarkan asupan dari PERHATI-KL menyusun kebijakan penyediaan fasilitas skrining pendengaran pada bayi dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi setempat. Institusi pendidikan dan PERHATI-KL menyelenggarakan kursus, pelatihan, dan bimbingan teknologi untuk meningkatkan jumlah dan kompetensi SDM berkaitan dengan skrining pendengaran pada bayi baru lahir. Sepsis Neonatorum
1. Sepsis neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka mortalitas yang cukup tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu
B
89
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif. 2. Penegakan diagnosis : Penegakan diagnosis Sepsis neonatorum dipilih dengan pendekatan standar klinis yang menggunakan faktor risiko dan mengelompokkan faktor risiko tersebut dalam risiko mayor dan risiko minor. Penegakkan diagnosis dilakukan secara klinis dengan disertai pemeriksaan penunjang. Selain itu penegakan diagnosis juga dapat mengacu pada usulan kriteria diagnosis menurut The International Sepsis Forum. Kriteria diagnosis sepsis didasarkan pada perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi. Penajaman tentang pemeriksaan klinis untuk menentukan diagnosis sepsis atau dugaan sepsis sangat penting. Pemeriksaan penunjang sangat tergantung dari ketersediaan fasilitas di tempat pelayanan kesehatan:
Di sarana yang memiliki fasilitas untuk pemeriksaan penunjang konvensional dianjurkan untuk melakukan : Skrining Infeksi maternal Pemeriksaan untuk bayi meliputi pemeriksaan darah perifer lengkap, pemeriksaan kultur/biakan, CRP dan IT ratio. Di sarana kesehatan yang memiliki fasilitas lengkap untuk pemeriksaan penunjang canggih, selain melakukan pemeriksaan penunjang konvensional seperti tersebut di atas, apabila terdapat indikasi dapat melakukan pemeriksaan penunjang canggih sesuai dengan fasilitas yang ada, seperti pemeriksaan IgG, IgM, sitokin, interleukin, PCR, prokalsitonin, dan lain-lain.
90
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
3. Penatalaksanaan Pada kasus tersangka sepsis, pemberian antibiotik diberikan tanpa harus menunggu hasil kultur darah. Sebaiknya diberikan kombinasi dua antibiotik: Dapat mencakup sebagian besar penyebab sepsis. Efek sinergis antibiotik (penisilin dan aminoglikosida untuk GBS). Beberapa mikro-organisme penyebab infeksi dapat berkembang menjadi mutan resisten selama terapi (Pseudomonas sp). Aktivitas bakterisidal serum yang lebih tinggi dibandingkan hanya menggunakan antibiotik tunggal (Enterococci, Listeria). Pada kasus sepsis neonatorum berat, selain pemberian antibiotik juga diberikan terapi suportif. Beberapa terapi suportif yang terbukti memberikan dampak positif antara lain : Pemberian intravenous immunoglobulin (IVIG), granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), transfusi tukar (TT), pemberianfresh frozen plasma, pemberian pentoxifilin. [Rekomendasi A] 4. Adapun kebijakan terapi antibiotik empirik akan berpengaruh pada pola resistensi kuman. Pemilihan jenis antibiotik empirik harus berdasarkan hal-hal berikut: 1. Usia saat awitan penyakit 2. Spesies bakteri yang paling sering menyebabkan infeksi. 3. Pola resistensi antibiotik pada masingmasing rumah sakit. 4. Farmakokinetik antibiotik. 5. Pencegahan Pencegahan secara umum : Melakukan pemeriksaan antenatal yang baik dan teratur. Skrining infeksi maternal kemudian mengobatinya, misalnya infeksi TORCH, infeksi saluran kemih, dll. Mencegah persalinan prematur atau kurang bulan. Meningkatkan status gizi ibu agar tidak mengalami kurang gizi dan anemia. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk ibu dengan ancaman 91
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
persalinan kurang bulan. Konseling ibu tentang risiko kehamilan ganda. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari : Persalinan yang bersih dan aman Stabilisasi suhu Inisiasi pernapasan spontan dengan melakukan resusitasi yang baik dan benar sesuai dengan kompetensi penolong
Pemberian ASI dini dan eksklusif Pencegahan infeksi dan pemberian imunisasi Membatasi tindakan/prosedur medik pada bayi Pencegahan untuk SAD : dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik. Dengan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan, dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini e ( arly-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi GBS sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan
infeksi GBS sebesar 86%.[Rekomendasi B ] berhubungan Pencegahan untuk SAL: dengan infeksi nosokomial antara lain: Pemantauan yang berkelanjutan Surveilans angka infeksi, data kuman dan rasio jumlah tenaga medis dibandingkan jumlah pasien Bentuk ruang perawatan Sosialisasi insidens infeksi nosokomial kepada pegawai Program untuk meningkatkan kepatuhan mencuci tangan Perhatian terhadap penanganan dan perawatan kateter vena sentral Pemakaian kateter vena sentral yang minimal Pemakaian antibiotik yang rasional Program pendidikan Meningkatkan kepatuhan pegawai berdasarkan hasil program kontrol. [Rekomendasi A] 92
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Asfiksia neonatorum
Perawatan Metode Kanguru
Asfiksia neonatorum merupakan masalah pada bayi baru lahir dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Perinatal dan Angka Kematian Neonatal Dini, masalah ini perlu segera ditanggulangi dengan berbagai macam cara dan usaha mulai dari aspek promotif, kuratif dan rehabilitatif. Secara umum definisi asfiksia neonatorum yang digunakan mengacu pada definisi WHO. Namun begitu, 3% bayi dengan asfiksia neonatorum yang mengalami komplikasi dan sesuai dengan 4 kriteria klinis asfiksia menurut AAP/ACOG perlu penanganan dan pemantauan dengan sarana yang lebih lengkap tingkat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Dalam penatalaksanaan asfiksia neonatorum, direkomendasikan ketersediaan alat-alat/bahan resusitasi di tingkat pelayanan dasar berupa oksigen, sungkup oksigen, balon mengembang sendiri, penghangat, pipa orogastrik, laringoskop, pipa endotrakeal, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin. Tenaga resusitasi di tingkat pelayanan dasar direkomendasikan dapat melakukan resusitasi dasar yang bersertifikasi terutama memberikan ventilasi yang adekuat. Fasilitas pelayanan kesehatan pada pelayanan primer direkomendasikan ketersediaan alatalat/bahan resusitasi berupa oksigen, balon mengembang sendiri, sungkup oksigen, penghangat, pipa orogastrik, kateter penghisap, kateter umbilikal dan obat-obat resusitasi seperti cairan kristaloid dan epinefrin. PMK terbukti dapat menstabilkan suhu bayi dengan menggunakan panas badan ibu dan sama efektif bahkan lebih baik dari inkubator. PMK memberikan ibu kepercayaan diri dalam merawat bayi berat lahir rendah, PMK kontinu di RS lebih efisien dalam hal maka keperluan tenaga kesehatan khususnya perawat. Bayi yang belum dapat dilakukan PMK kontinu, dianjurkan untuk melakukan PMK intermitten untuk membiasakan ibu merawat bayi dengan PMK. Ibu yang melakukan PMK mempunyai kadar stress hormone (kortisol) yang lebih rendah sehingga diasumsikan ibu dan bayi lebih
B IIb
C IV
C IV
C IV
C IV
A Ib A Ia
A Ia
93
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
tenang/tidak stress. PMK direkomendasikan untuk BBLR di Indonesia terutama apabila bayi tersebut stabil keadaan klinisnya dan hanya memerlukan inkubator untuk perawatannnya. Pusat pelayanan primer seperti PUSKESMAS dapat meneruskan perawatan BBLR yang telah di pulangkan dari pusat pelayanan sekunder atau tersier. Pusat pelayanan kesehatan sekunder dapat melakukan PMK kontinu untuk BBLR yang masih menggunakan alat kesehatan minimal. PMK dapat dilakukan disemua level pelayanan kesehatan di Indonesia sesuai dengan sarana dan prasarana yang tersedia. Kriteria definitif pemulangan terdiri dari : Bayi mencapai berat badan minimum yakni 1500 g. Kesehatan bayi secara keseluruhan dalam kondisi baik dan tidak ada apnea atau infeksi Bayi minum dengan baik Berat bayi selalu bertambah (sekurangkurangnya 15g/kg/hari) untuk sekurangkurangnya tiga hari berturut-turut Ibu mampu merawat bayi dan dapat datang secara teratur untuk melakukan follow-up Bayi yang dipulangkan dengan berat badan < 1800 gram difollow-up setiap minggu dan
C Ia
C IV
dilakukan minimal di RS Umum Daerah, sedangkan dan bayi dengan berat badan >1800 gram difollow-up setiap dua minggu boleh dilakukan di Puskesmas. Rekomendasi waktu pemantauan: Dua kali kunjungan follow up sampai dengan 37 minggu menstruasi. Kunjungan pertama paling lambat setelah pemulangan. Satu kali kunjungan follow up setelah 37 minggu
per minggu usia pasca
C IV
dalam 48 jam per minggu
94
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
LAMPIRAN LAMPIRAN 2. Skrining Pendengaran Bayi Baru Lahir
2.1. Alur Skrining Pendengaran Bayi
95
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
2.2. Modifikasi Tes Daya Dengar Umur kurang atau sampai 3 bulan No. 1.
2.
3.
Daftar Pertanyaan Ya Kemampuan ekspresif Apakah bayi dapat mengatakanaaaaa, ooooo? Apakah bayi menatap wajah dan tampak mendengarkan anda, lalu berbicara saat anda diam? Apakah anda dapat seolah-olah berbicara dengan bayi anda? Kemampuan reseptif Apakah bayi kaget bila mendengar suara (mengejapkan mata, napas lebih cepat)? Apakah bayi kelihatan menoleh bila anda berbicara di sebelahnya? Kemampuan visual Apakah bayi anda dapat tersenyum? Apakah bayi anda kenal dengan anda, seperti tersenyum lebih cepat pada anda dibandingkan orang lain?
Tidak
Umur lebih dari 3 bulan sampai 6 bulan No. 1.
Daftar Pertanyaan Kemampuan ekspresif Apakah bayi dapat tertawa keras? Apakah bayi dapat bermain menggelembungkan mulut seperti meniup balon?
2.
Kemampuan reseptif Apakah bayi memberi respons tertentu, seperti menjadi lebih riang bila anda datang? Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang tuanya, bunyikan bel di samping tanpa terlihat bayi, apakah bayi itu menoleh ke samping?
3.
Kemampuan visual Pemeriksa menatap maya bayi sekitar 45 cm, lalu gunakan mainan untuk menarik pandangan bayi ke kiri, kanan, atas dan bawah. Apakah bayi dapat mengikutinya? Apakah bayi berkedip bila pemeriksa melakukan gerakan menusuk mata, lalu berhenti sekitar 3 cm tanpa menyentuh mata?
Ya
Tidak
96
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Umur lebih dari 6 bulan sampai 12 bulan No. 1.
Daftar Pertanyaan Kemampuan ekspresif Apakah bayi dapat membuat suara berulang seperti mamamama, babababa? Apakah bayi dapat memanggil mama atau papa, walaupun tidak untuk memanggil orang tuanya?
2.
Kemampuan reseptif Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang tuanya, bunyikan bel di samping bawah tanpa terlihat bayi, apakah bayi langsung menoleh ke samping bawah? Apakah bayi mengikuti perintah tanpa dibantu gerakan badan, seperti stop, berikan mainanmu?
3.
Kemampuan visual Apakah bayi bayi mengikuti perintah dengan dibantu gerakan badan, seperti stop, berikan mainanmu? Apakah bayi secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba?
Ya
Tidak
Umur lebih dari 12 bulan sampai 18 bulan No. 1.
Daftar Pertanyaan Kemampuan ekspresif Apakah anak dapat memanggil mama atau papa, hanya untuk memanggil orang tuanya?
Ya
Tidak
Apakah anak mulai menggunakan kata-kata lain, selain kata mama, papa, anggota keluarga lain dan hewan peliharaan? 2.
Kemampuan reseptif Pemeriksa duduk menghadap bayi yang dipangku orang tuanya, bunyikan bel di samping bawah tanpa terlihat bayi, apakah bayi langsung menoleh ke samping bawah? Apakah anak mengikuti perintah tanpa dibantu gerakan badan, seperti stop, berikan mainanmu?
3.
Kemampuan visual Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba? Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua jari?
97
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Umur lebih dari 18 bulan sampai 24 bulan No. 1.
Daftar Pertanyaan Kemampuan ekspresif Apakah anak dapat mengucapkan dua atau lebih kata yang menunjukan keinginan, seperti susu, minum, lagi? Apakah anak secara spontan mengatakan 2 kombinasi kata, seperti mau bobo, lihat papa?
Ya
Tidak
2.
Kemampuan reseptif Apakah anak dapat menunjukkan paling sedikit satu
Daftar Pertanyaan Ya Kemampuan ekspresif Apakah anak mulai menggunakan kata-kata lain, selain kata mama, papa, anggota keluarga lain dan hewan peliharaan? Apakah anak mulai mengucapkan kata yang berarti “milik”, misal susu kamu, bonekaku? Kemampuan reseptif -Apakah anak dapat mengerjakan 2 macam perintah dalam satu kalimat, seperti ambil sepatudan taruh disini, tanpa diberi contoh? -Apakah anak dapat menunjuk minimal 2 nama benda di depannya (cangkir, bola, sendok)?
Tidak
anggota badan, misal mana hidungmu? Mana matamu? Tanpa diberi contoh? Apakah anak dapat mengerjakan 2 macam perintah dalam satu kalimat, seperti ambil sepatumu dan taruh disini, tanpa diberi contoh? 3.
Kemampuan visual Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba? Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua jari?
Umur lebih dari 24 bulan sampai 30 bulan No. 1.
2.
3.
Kemampuan visual - Apakah Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba? - Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua jari?
98
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Umur lebih dari 30 bulan sampai 36 bulan No. 1.
Daftar Pertanyaan Kemampuan ekspresif - Apakah anak sudah dapat mengucapkan kata depan. Seperti di atas, di dalam, di bawah? -Apakah anak dapat mengucapkan 2 atau 3 kalimat dalam pembicaraan?
2.
Kemampuan reseptif - Apakah anak dapat menunjuk minimal 2 nama benda di
3.
Ya
Tidak
Daftar Pertanyaan Ya Kemampuan ekspresif Apakah anak dapat menyebutkan nama benda dan kegunaannya? cangkir untuk minum, bola untuk dilempar, pensil warna untuk menggambar, sendok untuk makan? Apakah lebih dari tigaperempat orang mengerti apa yang dibicarakan anak anda? Kemampuan reseptif - Apakah anak dapat menunjukan minimal 2 nama benda di depannya sesuai fungsinya (misal untuk minum: cangkir, untuk dilempar: bola, untuk makan: sendok, untuk menggambar: pensil warna)? -Apakah anak dapat mengerjakan perintah yang disertai kata depan? (misal : sekarang kubus itu di bawah meja, tolong taruh di atas meja)? Kemampuan visual -Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba? -Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua jari?
Tidak
depannya (cangkir, bola, sendok)? - Apakah anak dapat menunjukan minimal 2 nama benda di depannya sesuai fungsinya (misal untuk minum: cangkir, untuk dilempar: bola, untuk makan: sendok, untuk menggambar: pensil warna)? Kemampuan visual Apakah anak secara spontan memulai permainan dengan gerakan tubuh, seperti pok ame-ame atau cilukba? Apakah anak anda menunjuk dengan jari telunjuk bila ingin sesuatu, bukan dengan cara memegang dengan semua jari?
Umur lebih dari 36 bulan No. 1.
2.
3.
99
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
LAMPIRAN LAMPIRAN 3 Skrining Retinopathy of Prematurity 3.1. Klasifikasi dan Gambaran ROP berdasarkan stadium Stadium 1
Demarcation line – batas yang tegas, mendatar, dan berwarna keputihan antara retina vascular dan avaskular (retina normal memiliki batas halus, nonlinear dan kasar/feathery)
Stadium 2
Elevated ridge – garis batas memiliki tiga dimensi
Stadium 3
Neovascularization – ekstraretinal, jaringan proliferative fibrovaskular
Stadium 4
Retinal detachment – dapat berupa eksudasi atau tarikan dan bisa terlepas sebagian atau total 4A – tidak terdapat keterlibatan makula
4B – makula terlepas
Stadium 5
Plus diseases
Total retinal detachment
Adanya dilatasi dan lengkung-lengkung kompleks dari pembuluh darah polus posterior pada sedikitnya dua kuadran retina. Hal ini berhubungan dengan penyakit yang berat dan hasil yang buruk. Lebih sering terjadi pada stadium lanjut dan zona lebih rendah.
100
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Pre-plus disease : lengkung arteri lebih kompleks dan dilatasi vena lebih daripada normal tetapi tidak terlalu berat untuk diklasifikasikan sebagai penyakit plus. Rush disease (Aggressive Posterior ROP, APROP) : Bentuk ROP yang berat dan jarang dengan peningkatan kompleksitas lengkungan dan dilatasi pembuluh darah terdapat pada keempat kuadran dari zona 1 dan terkadang zona 2. Bisa tidak berlanjut kdari stadium 1 ke stadium 3, tetapi cepat berlanjut ke stadium 4 atau 5. Sumber: Kuschel C, Dai S. Retinopathy of Prematurity. Newborn Services Clinical Guideline. 2007.
3.2. Gambar ROP dengan Retinal Camera (Ret Cam) A
B
Foto fundus untuk menggambarkan garis demarkasi pada stadium 1(A). Garis demarkasi dalam stadium 1 ROP (B).
C
Foto fundus memperlihatkan ROP stadium 2 pada persambungan retina vaskular dan avaskular.
101
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
D
Foto fundus memperlihatkan ROP stadium 3 moderat dengan ekstensi posterior sampai ke garis batas (tampak dilatasi pembuluh darah posterior).
E
Gambaran ROP Stadium 4B retinal detachment.
F
Gambaran ROP stadium 5.
102
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
G
Plus disease
Sumber : The International Classification of Retinopathy of Prematurity Revisited An International Committee for the Classification of Retinopathy of Prematurity. Arch Ophthalmol / Vol 123, July 2005.
3.3. Formulir Rekapitulasi Data Skrining ROP Periode …………. - ………… 20….
Rumah Sakit Dokter: 1. Spesialis anak: ………………….. 2. Spesialis mata: …………………..
Tabel 1. Situasi di NICU Jumlah dokter spesialis anak Jumlah perawat Jumlah inkubator Jumlah air-oxygen blenders Jumlah pulse oxymeters Jumlah flow devices Jumlah CPAP % jumlah bayi dengan oksigen yang dapat dimonitor a. b. c.
Jumlah bayi prematur yang lahir (hidup dan mati) dari bulan ……… - …….. 20….; Jumlah bayi prematur yang dilakukan skrining ROP dari bulan ……… - …… 20….; Jumlah bayi prematur yang mengalami ROP dari bulan …………..- ……… 20…;
103
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
Tabel 2. Data skrining Berat lahir Jumlah (gram) bayi lahir hidup
< 1.000 1.000-1.499 1.500-1.749 1.750-1.999 2.000+ TOTAL Usia gestasi (minggu)
Jumlah bayi lahir hidup
Survival* rates
Survival* rates
Jumlah bayi yang dilakukan skrining ROP
Jumlah bayi yang terdiagnosis ROP
Jumlah bayi yang mendapatkan terapi
Jumlah bayi yang dilakukan skrining ROP
Jumlah bayi yang terdiagnosis ROP
Jumlah bayi yang mendapatkan terapi
< 28 29-30 31-32 33-34 35+ TOTAL *jumlah bayi yang hidup sampai diizinkan untuk pulang dari NICU Contoh : jumlah bayi yang masih hidup ketika diperbolehkan pulang dari perinatologi RS A 10 bayi survival rates = 10
Tabel 3. Faktor risiko yang ditemukan pada bayi prematur Jumlah bayi* Jumlah bayi dengan diagnosis ROP** Sepsis atau infeksi berat yang disertai dengan gangguan hemodinamik Penggunaan O2 >7 hari atau O2 dengan konsentrasi tinggi (misalnya penggunaan head box, penggunaan O2 nasal, CPAP, Ventilator) Transfusi darah berulang Respiratory disease Apneu Asfiksia (APGAR score menit ke-5 < 3) Small for gestational age (berdasarkan kurva Lubchenco, terlampir) Bronchopulmobary dysplasia Patent ductus arteriosus Intraventricular haemorrhage Genetik (riwayat keluarga dengan prematur dan atau ROP) *jumlah keseluruhan bayi prematur dengan faktor-faktor risiko di atas 104
HTA Indonesia_2010_Buku Panduan Tatalaksana Bayi Baru Lahir Di Rumah Sakit
**jumlah bayi prematur dengan diagnosis ROP yang memiliki faktor-faktor risiko di atas Contoh: faktor risiko No.1, jumlah bayi 20 ; jumlah bayi dengan diagnosis ROP 5
Tabel 4. Staging Berat lahir (gram)
Immature Retina (n)
Pre Plus Disease (n)
Plus disease (n)
Aggressive Posterior ROP (n)
Regression of ROP (n)
Stage I (n)
Stage II (n)
Stage III (n)
Stage IV (n)
Stage V (n)
Immature Retina (n)
Pre Plus Disease (n)
Plus disease (n)
Aggressive Posterior ROP (n)
Regression of ROP (n)
Stage I (n)
Stage II (n)
Stage III (n)
Stage IV (n)
Stage V (n)
< 1.000 1.000-1.499 1.500-1.749 1.750-1.999 2.000+
TOTAL Usia gestasi (minggu)
< 28 29-30 31-32 33-34 35+ TOTAL
Zone classification Tabel Zone I Berat5. lahir (n) (gram) < 1.000 1.000-1.499 1.500-1.749 1.750-1.999 2.000+ TOTAL Usia gestasi Zone I (n) (minggu) < 28 29-30 31-32 33-34 35+ TOTAL
Zone II (n)
Zone III (n)
Zone II (n)
Zone III (n)
105