i
ii
ii
ILMU PENGETAHUAN BUMI DAN ANTARIKSA
JILID I
iii
Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa
Penulis
: Prof. Dr. Madlazim, M.Si. dan Drs. Supriyono, M.Sc., dan Mukhayyarotin N.R. Jauhariyah, M.Pd.
Desain Cover
: Mukhayyarotin N.R. Jauhariyah, M.Pd.
Ilustrasi/Lay Out
: Mukhayyarotin N.R. Jauhariyah, M.Pd.
Penelaah
: Dr. Wasis, M.Si. dan Eko Hariyono, M.Pd.
Editor
: Dra. Hermin Budiningarti, M.Pd.
Desain cover menggunakan software TBS Cover Editor versi 2.2.4.262
iv
Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa sehingga kami dapat menyelesaikan buku materi Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) ini dengan baik. Buku materi IPBA ini didesain sebagai salah satu bentuk media pembelajaran untuk mahasiswa yang mempelari tentang Bumi dan antariksa. Buku materi ini menyediakan 3 (tiga) bab utama yang terdiri dari Bumi, Sistem Tata Surya, serta Asteroid dan Komet. Bab I tentang Bumi mengulas tentang interior bumi, hidrosfer, litoster, lempeng tektonik, atmosfer, medan magnet bumi, dan kejadian-kejadian alam di bumi. Adapun Bab II tentang Sistem Tata Surya mengulas tentang asal mula tata surya, anggota sistem tata surya, model skala sistem tata surya, benda-benda astronomi kecil, planet, satelit, dan medium antar planet. Sedangkan Bab III tentang Asteroid dan Komet membahas tentang orbit dan keadaan fisis asteroid, asteroid dan permasalahan mekanika angkasa, penemuan komet, orbit dan sifat fisis komet, serta kejadian luar angkasa yang menakjubkan. Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu dan terlibat dalam pengembangan buku materi IPBA ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Ucapan terima kasih terutama kami sampaikan kepada UNESA dan IDB 7 in 1 sebagai donor penelitian kami dalam pengembangan buku ajar ini. Tiada gading yang tak retak. Tiada yang sempurna melainkan Yang Maha Sempurna. Kritik dan saran yang membangun demi perbaikan buku materi IPBA ini senantiasa kami harapkan. Akhir kata, semoga buku materi IPBA ini bermanfaat.
Penulis,
Agustus 2014
v
Daftar Isi Bab I
Bumi 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7
Bab II
Bab III
vi
Bagaimana Struktur Interior Bumi? Bagaimana Penyebaran Hidrosfer dan Perannya dalam Kehidupan? Lapisan Litosfer Terdiri dari Apa Saja? Apakah Lempeng Tektonik Itu? Bagaimana Atmosfer Membentuk Siklus Energi? Bagaimana Bumi Menghasilkan Medan Magnet? Kejadian-Kejadian Alam di Bumi
1 4 6 12 24 31 58 67
Sistem Tata Surya
103
2.1 Bagaimana Asal Mula Terbentuknya Tata Surya? 2.2 Sistem Tata Surya Beranggotakan Apa Saja? 2.3 Bagaimana Model Skala Sistem Tata Surya? 2.4 Apakah Benda-Benda Astronomi Kecil di Tata Surya Itu? 2.5 Planet Apa Sajakah yang Ada di Dalam Sistem Tata Surya? 2.6 Apa Itu Satelit? 2.7 Berupa Apakah Medium Antar Planet Dalam Sistem Tata Surya?
106 110 129 132 135 138 139
Asteroid dan Komet
141
3.1 Bagaimana Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid? 3.2 Apakah Asteroid Itu? Bagaimanakah Permasalahan Mekanika Angkasa? 3.3 Bagaimana Komet Ditemukan? 3.4 Bagaimana Orbit dan Karakteristik Fisis Komet? 3.5 Kejadian Luar Angkasa yang Menakjubkan
144 147 148 152 160
Bumi Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa merupakan salah satu bidang Ilmu Fisika yang mempelajari Bumi dan Antariksa. Pada Bab I ini akan dibahas ilmu pengetahuan tentang Bumi. Materi Bumi ini akan membahas tentang: 1. Interior Bumi , menjelaskan tentang struktur lapisan-lapisan bumi yang terdiri dari kerak bumi ( crust ), mantel bumi (mantle), dan inti bumi (core). 2. Hidrosfer , merupakan lapisan air di bumi yang meliputi sungai, danau, laut, gletser, air tanah, dan uap air yang terdapat di udara. 3. Litosfer , merupakan lapisan batuan yang berada di dalam bumi. 4. Lempeng Tektonik , membahas tentang teori tektonik lempeng yang menjelaskan sifat bumi yang dinamis serta membahas tentang jenis-jenis pergeseran lempeng. 5. Atmosfer , merupakan lapisan udara yang menyelimuti bumi. Dalam kajian ini akan dibahas lapisan-lapisan atmosfer dan siklus energi di atmosfer. 6. Medan Magnet Bumi , menjelaskan tentang teori Dynamo medan magnet bumi serta menjelaskan kedinamisan medan magnet bumi. 7. Kejadiann-Kejadia Alam di Bumi, menjelaskan tentang kejadiankejadian alam di bumi yang meliputi gunung api, gempa bumi, dan tsunami.
Ilustrasi di samping menunjukkan lapisan-lapisan di bawah permukaan bumi. (Sumber: www.anneahira.com)
1
Halaman ini sengaja dikosongi
2
Bab I Halaman insengaja dikosongi
Bumi
TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah melakukan pembelajaran tentang Bumi, mahasiswa dapat memahami topik: 1.1 Interior Bumi 1.2 Hidrosfer 1.3 Litosfer 1.4 Lempeng Tektonik 1.5 Atmosfer 1.6 Medan Magnet Bumi 1.7 Kejadian-Kejadian Alam di Bumi
Ilustrasi di atas menunjukkan struktur lapisan bumi yang terdiri dari inti bumi (core), mantel bumi (mantle), dan kerak bumi (crust). (sumber ilustrasi: www.anneahira.com)
3
Bumi merupakan planet di dalam jagad raya ini yang dihuni oleh manusia. Bumi sebagai benda ciptaan Tuhan memiliki karakteristik tersendiri. Bumi bersifat dinamis layaknya kehidupan manusia yang dinamis. Kedinamisan bumi dengan struktur yang dimilikinya menyebabkan adanya gejala-gejala alam yang menjadi perhatian khusus bagi penghuninya, manusia. Dalam kajian tentang bumi ini akan dibahas lebih detail tentang interior bumi, hidrosfer, litosfer, lempeng tektonik, atmosfer, medan magnet bumi dan kejadian-kejadian alam di bumi.
1.1 Bagaimana Struktur Interior Bumi?
Gambar 1.1 Struktur Interior Bumi (Trefil dan Hazen, 2010).
Bumi pada awalnya dianggap sebagai suatu struktur yang seragam. Namun seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan fakta-fakta tentang fisik bumi yang berhasil dikumpulkan, didapatkan bahwa bumi terdiri dari lapisan-lapisan batuan dengan komposisi mineral dan u nsur kimia 4
yang berbeda-beda (Gambar 1.1). Lapisan-lapisan batuan bumi, yang terdiri dari kerak bumi (crust), mantel bumi (mantle), dan inti bumi (core), juga dibedakan berdasarkan sifat Fisika seperti wujud zat (cair atau padat) dan seberapa kuat lapisan tersebut (Fariel et al, 1989; Trefil dan Hazen, 2010; Tarbuck dan Lutgens, 2012). Kerak Bumi
Kerak bumi adalah lapisan terluar dari bumi (Montgomery, 1989). Terdapat dua tipe kerak bumi, yaitu kerak benua dan kerak samudera. Kerak samudera memiliki ketebalan sekitar 7 km, mengandung batuan beku basal. Sedangkan kerak benua memiliki ketebalan rata-rata 35 km bahkan dapat melebihi 70 km di beberapa daerah pegunungan. Tidak seperti kerak samudera yang memiliki kandungan unsur kimia yang relatif homogen, kerak benua mengandung beraneka jenis batuan yang didominasi oleh batuan granit pada bagian teratas. Kerak benua memiliki massa jenis rata-rata sebesar 2,7 g/cm3 dan berumur sekitar 4 milyar tahun, sedangkan kerak samudera berusia lebih muda (180 juta tahun atau kurang), dan memiliki massa jenis rata-rata lebih besar daripada kerak benua, yaitu sekitar 3 g/cm3 (Tarbuck dan Lutgens, 2012). Mantel Bumi
Lebih dari 82 persen volume bumi adalah mantel bumi dengan ketebalan hampir 2900 m. Batas antara kerak dan mantel bumi ditandai oleh perubahan komposisi kimia batuan. Tipe batuan yang mendominasi bagian terluar dari mantel bumi adalah peridotite, yang kaya akan logam magnesium dan besi. Mantel bumi dibagi menjadi dua: mantel atas (upper mantle) dan mantel bawah (lower mantle). Mantel atas dibedakan lagi menjadi 2 bagian, bagian atas yaitu litosfer, dan bagian bawah berupa astenosfer . Litosfer sebenarnya mencakup kerak bumi dan bagian teratas dari mantel bumi. Litosfer tersusun oleh batuan padat dan keras dengan suhu yang relatif dingin, ketebalan litosfer sekitar 100 km. Di bawah litosfer, terdapat bagian yang lebih lemah yaitu astenosfer yang memiliki ketebalan 250 km. Bagian atas dari astenosfer memiliki temperatur yang mampu melelehkan sebagian kecil batuan penyusunnya. Zona yang sangat lemah ini, menyebabkan litosfer dapat bergerak bebas. Kenyataan ini yang diusung teori lempeng tektonik, bahwa litosfer mengapung, bergeser dan bertumbukan satu sama lain di atas lapisan astenosfer yang lemah. Sangat penting diketahui bahwa kekuatan batuan penyusun bumi merupakan fungsi komposisi penyusun batuan, temperatur, dan tekanan (Tarbuck dan Lutgens, 2012). Misalnya, batuan pada litosfer akan semakin panas dan lentur seiring bertambahnya kedalaman. Pada kedalaman tempat lapisan teratas astenosfer berada, sebagian batuan mencapai titik lelehnya. Hal itulah yang menyebabkan astenosfer menjadi lemah. Kedalaman 660 km hingga 2900 km dari permukaan bumi adalah mantel bawah (lower mantle) yang bersifat padat karena kenaikan tekanan (diakibatkan oleh berat batuan diatasnya), mantel bawah secara 5
berangsur-angsur bertambah keras seiring bertambahnya kedalaman. Di samping keras, batuan di mantel bawah juga sangat panas. Inti Bumi
Inti bumi berkomposisi Fe-Ni (Ferro-Nickel) dan dibedakan menjadi dua daerah dengan sifat yang sangat berbeda, yaitu inti bumi bagian luar (outer core) yang merupakan lapisan cair dengan ketebalan 2260 km, dan inti bumi bagian dalam (inner core) dengan ketebalan 1216 km yang walaupun bertemperatur sangat tinggi tetap padat karena tekanan yang sangat besar (Tarbuck dan Lutgens, 2012). 1.2 Bagaimana Penyebaran Hidrosfer dan Perannya dalam Kehidupan?
Hidrosfer merupakan lapisan air di bumi yang meliputi sungai, danau, laut, gletser , air tanah, dan uap air yang terdapat di udara. Hidrosfer berperan sangat penting bagi bumi. Melalui interaksinya dengan atmosfer dan litosfer, hidrosfer memiliki siklus hidrologi yang berperan dalam menjaga keseimbangan energi di alam. Proses fisis yang terjadi melibatkan proses radiasi, perubahan wujud zat, dan sifat termal dari hidrosfer itu sendiri. Selain itu, peran hidrosfer adalah memenuhi kebutuhan air bersih dan air minum untuk manusia. Oleh sebab itu, pengelolaan hidrosfer sebagai sumber mata air juga sangat penting agar dapat dimanfaatkan dengan baik. Untuk memahami peranan hidrosfer dengan baik, dapat dipahami pada penjelasan berikut ini. Penyebaran Hidrosfer di Permukaan Bumi
Secara umum, total air yang tersimpan di bumi adalah 1,4 milyar km3 (70% dari permukaan bumi). Penyebaran air ini dapat dijelaskan pada Tabel 1.1. Tabel 1.1 Penyebaran air di bumi
Penyimpan Samudera / Lautan Gunung Es dan Glasier Air Tanah Danau Permukaan Tanah Atmosfer Sungai Biosfer
6
Volume air (juta per kubik) 1370 29 9,5 0,125 0,065 0,013 0,0017 0,0006
Persentase dari jumlah keseluruhan 97,25 2,05 0,68 0,01 0,005 0,001 0,0001 0,00004
Secara geologis, lapisan hidrosfer dapat dijumpai di beberapa bagian bumi sebagai berikut: a. Samudera Samudera menutupi 71% bagian dari permukaan bumi. Karena permukaan air yang begitu luas, maka samudera memiliki peranan penting dalam penyerapan radiasi panas matahari, serta penyerap emisi karbon terbesar yang dihasilkan dari pernapasan dan akt ivitas makhluk hidup. Hal inilah yang menjaga kestabilan suhu bumi agar tidak terlalu panas ataupun dingin untuk ekosistem di dalamnya. b. Air Permukaan Air permukaan merupakan bagian dari permukaan bumi yang dialiri oleh air, diantaranya danau, sungai, gunung es, dan air tanah. Bagian ini merupakan sumber pemenuhan kebutuhan air bagi manusia. Misalnya digunakan untuk sumber air bersih dan air minum, pembangkit listrik, dan irigasi pertanian.
Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan siklus air yang mengalami perubahan wujud melalui beberapa proses fisis alamiah secara terus menerus. Siklus inilah yang menghubungkan antara atmosfer, litosfer, dan hidrosfer. Dilihat dari prosesnya, siklus hidrologi dapat dibagi menjadi tiga yaitu siklus pendek, siklus sedang, dan siklus panjang. Pada prinsipnya tidak ada perbedaan yang mendasar diantara tiga siklus tersebut. Ketiganya sama-sama memiliki tahap evaporasi, kondensasi, presipitasi, dan infiltrasi.
Gambar 1.2 Diagram siklus hidrologi menunjukkan transfer molekul air antara laut dan darat. Angka-angka dalam kurung menunjukkan volume air yang siklus melalui daratan Amerika Serikat dalam jutaan meter kubik setiap hari (Trefil dan Hazen, 2010). 7
Siklus hidrologi diawali dengan penguapan air laut (evaporasi) dan penguapan air dari jaringan tumbuhan (transpirasi) karena radiasi panas matahari. Uap air bergerak ke atas karena tekanan yang lebih rendah. Uap air yang mengumpul akan menjadi awan dan mengalami penjenuhan. Penjenuhan dapat terjadi karena penambahan air, tumbukan, dan kombinasinya. Kemudian awan berkondensasi dan mengubah uap air menjadi butir air yang halus. Butir air yang halus yang telah mengalami level di atas kondensasi, akan melepaskan kalor latennya dan jatuh ke bumi menjadi hujan. Air hujan yang jatuh akan diserap kembali oleh vegetasi di bumi (presipitasi) dan mengalir menjadi air sungai kemudian dapat mengalir kembali ke lautan. Air hujan juga dapat diserap oleh tanah melalui pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah (infiltrasi). Dari air yang dievaporasi di lautan, 90% kembali ke lautan dan 10% terbawa oleh angin dan jatuh menjadi air bawah tanah, air tanah, air permukaan, dan air larian (yang mengalir ke daerah lebih rendah). Air Tanah
Air tanah merupakan air yang terdapat di bawah permukaan bumi pada pori-pori tanah, pasir, kerikil, dan batuan yang jenuh terisi air. Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air mendefinisikan air tanah sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah. Sedangkan menurut ahli lain, air tanah adalah air yang bergerak di dalam tanah yang terdapat di dalam ruang antar butir-butir tanah yang meresap ke dalam tanah dan bergabung membentuk lapisan tanah yang disebut akuifer. Lapisan yang mudah dilalui oleh air tanah disebut lapisan permeable, seperti lapisan yang terdapat pada pasir atau kerikil, sedangkan lapisan yang sulit dilalui air tanah disebut lapisan impermeable, seperti lapisan lempung atau tanah liat. Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air tanah disebut akuifer. Macam-macam akuifer adalah sebagai berikut: a. Akuifer Bebas (Unconfined Aquifer ) yaitu lapisan lolos air yang hanya sebagian terisi oleh air dan berada di atas lapisan kedap air. Permukaan tanah pada akuifer ini disebut dengan water table, yaitu permukaan air yang mempunyai tekanan hidrostatik sama dengan atmosfer. b. Akuifer Tertekan (Confined Aquifer ) yaitu akuifer yang seluruh jumlah airnya dibatasi oleh lapisan kedap air, baik yang di atas maupun di bawah, serta mempunyai tekanan jenuh lebih besar daripada tekanan atmosfer. c. Akuifer Semi Tertekan (Semi Confined Aquifer ) yaitu akuifer yang seluruhnya jenuh air, dimana bagian atasnya dibatasi oleh lapisan semi lolos air dan di bagian bawahnya merupakan lapisan kedap air. d. Akuifer Semi Bebas ( Semi Unconfined Aquifer ) yaitu akuifer yang bagian bawahnya merupakan lapisan kedap air, sedangkan bagian atasnya merupakan material berbutir halus, sehingga pada lapisan penutupnya masih memungkinkan adanya gerakan air. Dengan
8
demikian akuifer ini merupakan peralihan antara akuifer bebas dengan akuifer semi tertekan. Berikut merupakan gambar lapisan tanah beserta bagian-bagiannya yang telah dijelaskan pada paragraf di atas.
Gambar 1.3 Lapisan tanah dan bagian-bagiannya.
Akuifer mengandung air berasal dari proses siklus hidrologi seperti yang telah dijelaskan pada kajian sebelumnya. Akuifer dapat menyimpan dan meneruskan air dalam jumlah yang cukup. Air ini mengandung materialmaterial hasil kontak antara air hujan dan udara. Untuk lebih jelasnya pengisian air dalam akuifer dapat dilihat pada Gambar 1.4.
Gambar 1.4 Precipitation – Runoff – Infiltration Aquifer Recharge – Evaporation – Transpiration.
Proses ini diawali dengan peresapan ( precipitation) dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi, kemudian air ini bergerak sepanjang permukaan tanah dan mengalir ke tempat yang lebih rendah hingga kemudian ke laut (runoff ), ), selain itu air hujan juga dapat meresap ke dalam tanah melalui pori-pori tanah (infiltration). Pada proses inilah pengisian akuifer otomatis terjadi. Air disimpan di dalam tanah dan batuan-batuan yang ada di bawahnya. Kemudian air tanah dan air permukaan akan menguap (evaporation), serta air yang dimiliki tanaman juga dapat menguap (transpiration) karena panas matahari dan siklus hidrologi berputar secara kontinu.
9
Sifat-sifat Hidrolik Akuifer a. Porositas Porositas dapat diartikan sebagai perbandingan antara volume ruang antar butir terhadap volume total batuan. = × 100% 100% (1.1)
Keterangan: n = porositas V v = volume ruang V = volume total batuan Porositas juga dapat dinyatakan dalam ’acre-feet ’acre-feet ’, ’, yang berarti volum yang dinyatakan sebagai luas dalam ’acre ’acre’’ dan ketebalan reservoir dalam kaki (feet). Selain itu dikenal juga istilah porositas efektif, yaitu apabila bagian rongga-rongga di dalam batuan berhubungan, sehingga dengan demikian porositas efektif efektif biasanya lebih kecil daripada rongga pori-pori total yang biasanya berkisar berkisar dari 10 sampai sampai 15 persen. persen. Porositas efektif (n (ne) adalah porositas batuan yang dapat melewatkan
fluida. Untuk menghitung porositas efektif dapat dipakai rumus V p=V/ne, dengan ne adalah porositas efektif, v p adalah kecepatan fluida di media berpori dan v adalah kecepatan fluida total. Nilai dari porositas total umumnya lebih besar atau sama dengan porositas efektif.
Gambar 1.5 Porositas antar batuan
Di lapangan bisa didapatkan perkiraan secara visual dengan menggunakan peraga visual. Penentuan ini bersifat b ersifat semi–kuantitatif dan dipergunakan dipergunakan suatu skala sebagai berikut:
a. b. c. d. e. f.
0 – 5% dapat di abaikan (negligible ( negligible)) 5 – 10 % buruk ( poor ) 10 – 15% cukup ( fair ) 15 – 20 % baik ( good ( good ) 20 – 25% sangat baik ( very good ) 25% istimewa (excellent (excellent )
b. Konduktivitas Hidrolik Konduktivitas hidrolik atau permeabilitas adalah sebuah koefisien perbandingan yang menjelaskan tingkatan di mana air dapat bergerak melalui media permeabel. Atau dengan kata lain se buah koefisien yang
10
menggambarkan kecepatan air yang dapat melaju melalui media permeabel dalam unit waktu dan unit unit gradien hidrolik. Penentuan permeabilitas ini didasarkan pada percobaan Darcy, dan mendapatkan hasil penentuan permeabilitas sebagai berikut: (1.2) dengan Q adalah debit air yang masuk (m3/s), K adalah permeabilitas (m/s), A adalah luas penampang (m2), L adalah panjang penampang (m), ha adalah tinggi air awal (m), dan hb adalah tinggi air akhir (m). Dari definisi di atas tidak dijelaskan hubungan antara permeabilitas dan porositas. Memang sebetulnya tidak ada hubungan antara permeabilitas dengan porositas. Batuan yang permeable selalu sarang ( porous porous), tetapi sebaliknya, batuan yang sarang belum tentu permeable. Hal ini disebabkan karena batuan yang berporositas lebih tinggi belum tentu pori-porinya berhubungan satu dengan yang lain. Juga sebaliknya dapat dilihat, bahwa porositas tidak tergantung dari besar butir, dan permeabilitas merupakan suatu fungsi fungsi yang langsung terhadap besar butir. butir.
=−
c. Transmisibilitas
Transmisibilitas merupakan kecepatan aliran di bawah satu unit gradien hidrolik melalui sebuah penampang pada seluruh tebal jenuh suatu akuifer. Rumus yang digunakan untuk menghitungnya menghitungnya adalah: (1.3) Keterangan: T = Transmisivitas (m2/s) K = Konduktivitas Konduktivitas Hidrolik (m/s) b = Tebal akuifer (m)
=.
d. Storativitas
Storativitas adalah kemampuan atau kapasitas akuifer dalam menyimpan dan melepaskan sejumlah volume air per unit area per unit perubahan muka air. Untuk akuifer tidak tertekan, storativitas dapat dihitung menggunakan rumus: (1.4) Keterangan: S = storativitas h = ketebalan akuifer yang penuh dengan air (m) Ss = specific storage (m-1) Sy = specific yield
= + ℎ
e. Specific Storage dan Storage dan Specific Yields Specific Storage adalah volume air dari formasi yang penuh dengan
air yang tersimpan atau keluar dari penyimpanan karena adanya gaya tekan dari akuifer dan gaya tekan dari air untuk setiap unit perubahan muka air tanah. Specific storage dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (1.5) dengan: S s = specific storage
= (+ )
11
= massa jenis air (kg/m ) = percepatan gravitasi (m/s ) = kompresibilitas akuifer (m /N) = kompresibilitas air (m /N) = porositas 3
2
2
2
Specific yields adalah
rasio dari volume air yang keluar dari batu yang penuh air akibat gaya gravitasi terhadap volume total dari batuan. Secara visual, pengertian specific yields dapat dilihat pada Gambar 1.6, dimana kondisi A adalah ketika batu masih penuh dengan air dan B adalah setelah air yang ada keluar akibat gravitasi. Satuan dari specific yields adalah persen. Specific yields dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: (1.6) ∆∆ dengan: S y = specific yields = perubahan volume air dalam storage (m3) = perubahan head (m) = luas daerah aliran akuifer (m2)
=
∆ ∆ℎ
Gambar 1.6 Specific Yields
1.3 Lapisan Litosfer Terdiri dari Apa Saja?
Gambar 1.7 Kerak (Crust ), Mantel ( Mantle), dan Inti (Core) (Lang, 2011).
12
Gambar 1.8 Lapisan l itosfer bumi (geolitosfer.blogspot.com).
Lapisan litosfer Bumi terdiri dari 3 bagian yaitu kerak bumi, mantel bumi, dan inti bumi. Pada mantel bumi dibedakan menjadi 2 lagi mantel atas dan mantel bawah begitupun juga dengan inti bumi ada inti bawah dan inti atas, keduanya dipisahkan oleh batas peralihan. Rapat massa, temperatur, dan tekanan sebanding dengan kedalaman dari lapisan bumi. Susunan interior bumi dapat diketahui berdasarkan sifat-sifat fisika bumi (geofisika). Sebagaimana telah diketahui bahwa bumi memiliki sifat-sifat fisik seperti adanya gaya tarik bumi (gravitasi bumi), kemagnetan, kelistrikan, rambatan gelombang (seismik), dan sifat-sifat yang lainnya. Seorang geofisikawan dapat menciptakan penampang bumi. Ilmu gempa bumi terdahulu mempelajari tentang definisi dan kandungan pada batas lempeng. Kemudian berkembang pada sifat mekanis perbatasan lempeng, seperti perilaku material-material. Seperti air dan minyak, keduanya memiliki sifat mekanis yang sama yaitu sama-sama cairan. Namun pada suatu kasus, air dan es memiliki komposisi yang sama tapi air merupakan cairan yang memiliki sifat mekanis yang jauh berbeda dengan es yang berbentuk padat.
Gambar 1.9 Komposisi dan lapisan mekanis str uktur bumi.
13
a. Kerak Bumi Kerak bumi merupakan bagian terluar dari litosfer bumi yang terdiri dari kerak samudera dan kerak benua yang tersusun dari batuan-batuan yang padat dan memiliki ketebalan antara 15-40 km. Di bawah kerak bumi terdapat lapisan peralihan MOHO yaitu lapisan yang membatasi kerak dan mantel bumi yang memiliki ketebalan ± 500 km. Lapisan terluar bumi dengan ketebalan yang paling rendah, yakni 70 km - 40 mil ketebalan diatas laut dan 3 km – 2 mil ketebalan dibawah laut.
Gambar 1.10 Lapisan kerak bumi dan lapisan Mohorovičić
Mohorovičić atau ”Moho” adalah batas t erbawah yang memisahkan kerak bumi dengan mantle atas. Hal ini ditemukan oleh Andrija Mohorovičić pada tahun 1909, dan Moho merupakan tanda dari pergantian kecepatan gelombang seismik P. Ada dua tipe dari kerak bumi yaitu kerak benua dan kerak lautan. Kerak benua memiliki kerapatan rata-rata bebatuannya sekitar 2,7 g/cm3 dengan ketebalan sekitar 35-40 km dan tipe batuan pada lapisan ini adalah batuan granit. Sedangkan kerak lautan memiliki kerapatan sekitar 3,0 g/cm3 dengan ketebalan skitar 7-10 km dan tipe batuan yang dominan adalah batuan basal. 98% bagian dari kerak bumi terdiri atas 8 elemen. Oksigen merupakan elemen terbesar yang ada di kerak bumi. Hal ini menunjukkan bahwa pentingnya mineral silikat (SiO2) pada suatu unsur. Seperti halnya atom yang besar, oksigen menempati 93% volume kerak bumi. Dan untuk unsur yang lainnya memiliki presentase Besi (Fe) 30%, Silikon (Si) 15%, Magnesium (Mg) 10%, dan unsur lainnya sebesar 10%.
Gambar 1.11 Kandungan mineral bumi.
14
b. Mantel Bumi
Mantel bumi merupakan bagian kedua dari lapisan litosfer bumi. Seperti yang dikemukakan di atas bahwa lapisan mantel bumi dibedakan menjadi dua. Lapisan atas memiliki ketebalan 40-400 km. Keadaan ini dapat diketahui dari kecepatan sekunder dan primer yang rendah. Kemudian lapisan peralihan yang memiliki ketebalan ±80 km. Lapisan mantel bagian bawah memiliki ketebalan 900-2700 km. Lapisan mantel ini adalah isi dari 67% massa bumi dan merupakan lapisan yang diisi oleh material cair dan kental. Di bawah mantel bumi terdapat lapisan peralihan Gutenberg yang terletak sekitar 2900 km dari permukaan bumi. Mantel terdiri dari bebatuan yang sering disebut dengan peridotite yang memiliki ketebalan antara 100-150 km, batuan ini cukup panas untuk mengalir. Ada tiga bagian dari mantel yaitu bagian teratas, transisi, dan terendah. c. Inti Bumi
Inti bumi merupakan lapisan ketiga dari litosfer dan merupakan inti dari litosfer bumi. Inti luar memiliki kedalaman 2880-4980 km. Inti dalam memiliki kedalaman lebih dari 5000 km. Inti dalam dan Inti luar dipisahkan oleh lapisan peralihan Lehman. Merupakan sebuah bola kaya zat besi dengan radius 3.471 km. Memiliki dua komponen yang memiliki periaku berbeda terhadap gelombang seismik. 1) Inti luar Mengandung cairan besi, nikel, dan sulfur. Dengan ketebalan dari inti luar sebesar 2.233 km dan mempunyai kerapatan -10 sampai -12 g/cm 3. 2) Inti dalam Mengandung padatan seperti besi (Parker, et all ., 1996), namun sesungguhnya adalah dari perpaduan besi-nikel (Bukowinski, 1976, 1979). Memiliki jarak ketebalan atau radius sebesar 1.220 km dengan kerapatan -13 g/cm3 (Masters & Sharer, 1990) dan suhu sebesar 5.500oK (Stixrude dan Brown, 1998). Aliran pada inti bumi mengandung medan magnet. Model Penurunan Densitas Bumi
Variasi densitas terhadap kedalaman bumi dapat diturunkan secara sederhana dengan menggunakan persamaan Adams-Williamson. Persamaan ini diturunkan berdasarkan asumsi asumsi bahwa: a. bumi terdiri dari lapisan lapisan tipis, b. setiap lapisan mempunyai sifat homogen (tidak ada perubahan fisis dalam arah lateral) Dengan asumsi tersebut maka persamaan Adams-Williamson dapat diturunkan seperti berikut: Untuk tekanan ( ) dari ke maka (1.7) dengan: : percepatan gravitasi pada jari-jari r : densitas pada jari-jari r
( ) ()
+( ) =− ()
15
: ketebalan lapisan tipis Dalam persamaan (1.7), tanda minus menunjukkan bahwa tekanan P bertambah dengan berkurangnya jari-jari r Diferensiasi persamaan (1.7) menghasilkan (1.8) dengan: (1.9) : konstanta gravitasi bumi : massa bumi sampai dengan radius r Subtitusi persamaan (1.9) ke persamaan (1.8) menghasilkan
= −()() g( r ) =
= () =
() Dari persamaan modulus bulk ( ) berikut diperoleh: = = / =
(1.10) (1.11)
dengan V = Volume
= = = − = − Sehingga persamaan (1.11) menjadi − = − = = / −/ =
dengan
(1.12)
= − 4 34 = − 3 maka = = = (1.13) Subtitusi persamaan (1.13) ke persamaan (1.8) menjadi = ρ(r) = ρ(r)ϕ (1.14) Keterangan: α : v (Kecepatan gelombang primer) β : v (Kecepatan gelombang sekunder)
p s
Persamaan (1.14) dikenal sebagai persamaan Adams-Williamson yang dapat digunakan untuk menurunkan kurva densitas sebagai fungsi dari kedalaman. Untuk menggunakan persamaan ini maka terlebih dahulu perlu diketahui harga densitas di permukaan bumi. Berdasarkan persamaan (1.14), dapat diketahui bahwa besarnya densitas bumi akan terus bertambah terhadap berkurangnya jari-jari Bumi. Dengan semakin 16
dalam atau mendekati pusat bumi maka densitasnya semakin besar (Widiyantoro, 2007). Model Termal Bumi
Bagian dalam (interior) Bumi merupakan bagian yang memiliki temperatur yang tinggi. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya letusan gunung api, sumber mata air panas, dan kondisi yang dirasakan oleh pekerja tambang ketika masuk ke dalam bumi akan terasa panas. Panas bumi itu terasa karena ada proses perpindahan panas atau proses transfer panas bumi. Proses transfer panas bumi ada 3 macam yaitu: a. Konduksi
Perpindahan energi termal melalui proses konduksi yaitu perpindahan energi termal yang diikuti dengan pergerakan materi. Mekanisme konduksi bergantung pada struktur molekul suatu benda. Logam merupakan konduktor panas yang baik sebab mempunyai elektron bergerak yang memfasilitasi transfer panas. Sebaliknya batuan merupakan konduktor yang kurang baik karena batuan terdiri dari campuran beberapa mineral. b. Konveksi
Perpindahan panas oleh pergerakan suatu fluida (baik cair maupun gas) disebut konveksi. Karena adanya pergerakan materi-materi, maka konveksi merupakan proses transfer panas yang lebih efisien daripada konduksi. Proses tektonik lempeng juga berhubungan dengan pergerakan material di dalam mantel bumi. Oleh sebab itu, mantel bumi memiliki sifat seperti fluida. c. Radiasi
Suatu benda memancarkan energi dalam bentuk radiasi elektromagnetik. Dua benda yang saling berhadapan akan mengalami pertukaran energi dalam bentuk radiasi termal sampai temperatur kedua benda sama. Jumlah transfer panas melalui proses radiasi hanya akan signifikan jika benda yang beradiasi tersebut mempunyai temperatur tinggi (Widiyantoro, 2007). Sumber Panas Bumi
Sumber panas Bumi prinsipnya terbagi 2 kategori yaitu sumber panas purba (primordial) dan panas yang disebabkan oleh peluruhan beberapa isotop radioaktif dengan waktu paruh panjang. a. Panas Primordial
Kajian panas primordial sangat bergantung pada hipotesa pembentukan bumi. Yang termasuk panas primordial yaitu energi akresi, kompresi adiabatik, energi pembentukan inti bumi dan peluruhan isotop radioaktif dengan waktu paruh pendek. Energi akresi merupakan energi yang berasal dari proses tumbukan yaitu perubahan energi kinetik menjadi energi termal. Kompresi adiabatik merupakan penyebab penting kenaikan temperatur internal bumi. Pada saat terjadi peristiwa akresi, bagian dalam Bumi mengalami kompresi. Efek dari kompresi ini menyebabkan bagian terdalam dari bumi menjadi lebih panas. Proses pembentukan inti bumi terjadi bila benda dengan densitas yang besar akan turun ke pusat bumi 17
dan menimbulkan gesekan dengan materi di sekitarnya. Dari gesekan tersebut timbullah energi termal. Di bumi terdapat isotop radioaktif dengan waktu paruh yang relatif pendek yaitu Aluminium, Klorin dan Besi. Ketiga isotop tersebut akan berkontribusi efektif menghasilkan energi termal jika waktu paruhnya lebih panjang dari proses akresi. b. Peluruhan isotop radioaktif dengan waktu paruh panjang
Sumber utama panas dalam Bumi berasal dari peluruhan isotopisotop dengan waktu paruh relatif panjang, terutama adalah isotop yang keberadaannya cukup banyak dan waktu paruhnya sebanding dengan umur bumi. Empat contoh utama yaitu 40K dengan waktu paruh 1,3 x 10 9 tahun, 232Th dengan waktu paruh 13,9 x 10 9 tahun, 235U dengan waktu paruh 0,71 x 10 9 tahun, dan 238U dengan waktu paruh 4,5 x 10 9 tahun. Panas Bumi diperkirakan sekitar 50%-80% berasal dari peluruhan radioaktif. Sehingga panas primordial maksimal hanya 50%. Penurunan Model Geotherm Sederhana
Temperatur dalam kolom batuan ditentukan oleh beberapa parameter internal maupun eksternal. Parameter internal antara lain: konduktivitas, spesifik panas, densitas, dan panas radioaktif. Sedangkan parameter eksternal meliputi aliran panas dalam kolom batuan, temperatur di permukaan dan laju material yang ditambahkan pada atau dikurangkan dari puncak kolom (deposisi atau erosi). Geotherm merupakan profil temperatur terhadap kedalaman bumi. Jika kolom 1 dimensi dianggap tidak ada deposisi maupun erosi, dan aliran panasnya konstan maka kolom tersebut lambat laun akan mencapai keseimbangan termal yang temperatur di setiap titik tetap. Profil temperatur kedalaman dalam kondisi ini disebut equilibrium geotherm. Dalam kondisi setimbang maka: dan
= 0
= −
(1.15)
dengan T : temperatur t : waktu k : konduktivitas termal A : luas area : operator Laplace Untuk kasus 1-D persamaan di atas menjadi (1.16) Persamaan diferensial orde 2 di atas dapat diselesaikan dengan memberikan 2 kondisi batas sebagai berikut. Diasumsikan bahwa di permukaan z = 0 dan semakin ke bawah z semakin bertambah, sedangkan kedua pasang kondisi batas tersebut adalah: a. T = 0 pada z = 0 b. Aliran panas di permukaan pada z = 0 adalah (1.17)
∇
=−
Q=−k = −Q
18
Di sini Q bernilai negatif sebab panas diasumsikan mengalir ke atas sedangkan z positif ke arah bawah. Integrasi dari persamaan (1.16) adalah (1.18)
= − +c
di mana merupakan konstanta integrasi. Oleh karena maka
= pada z=0,
= Subtitusi persamaan (1.19) ke (1.18) menjadi = − +
(1.19)
(1.20) Integrasi kedua kali semua ruas persamaan (1.20) terhadap z menjadi (1.21) dengan merupakan kontanta integrasi. Melihat batas kondisi pada poin a yaitu T = 0 pada z = 0 maka nilai . Oleh karena itu temperatur dalam kolom menjadi (1.22) Dari persamaan (1.22) dapat diketahui hubungan temperatur dengan kedalaman adalah berbanding lurus. Semakin dalam tempat dari suatu permukaan bumi maka temperaturnya semakin tinggi (Widiyantoro, 2007).
= − + + =0 T=− z + z
Prinsip Arus Konveksi dalam Fluida
Konveksi mantel bumi sering digambarkan dengan contoh bagaimana sup mendidih di dalam suatu panci. Contoh ini merupakan contoh yang baik karena merupakan gambaran dari model konveksi mantel. Konveksi pada mantel bumi jauh lebih kompleks dibandingkan dengan contoh tersebut. Kerumitan sistem mantel tersebut dikarenakan Bumi memiliki bentuk yang sferik (seperti bola) yang pepat pada kutubnya dan sumber pemanas yang tidak bersal dari inti bumi saja melainkan dari isotop radioaktif yang terdapat di dalam mantel bumi ( internal heating ). A’ C’ C
A
D
B
(a)
(b)
Gambar 1.12 a) Gambaran terjadinya variasi densitas lateral yang diilustrasikan dengan pemanasan fluida dalam kolom tabung b) Aliran konveksi pada fluida ketika tabung diangkat.
Syarat fundamental terjadinya konveksi dalam suatu fluida adalah adanya variasi densitas secara lateral. Variasi densitas secara lateral ini 19
digambarkan oleh Gambar 1.12. Pada Gambar 1.12, bagian a menggambarkan proses pemanasan suatu fluida dengan menggunakan tabung yang memiliki 2 kolom yaitu kolom AB dan CD. Sumber pemanas tepat di bawah B, maka maka fluida pada kolom AB akan mengalami ekspansi yang lebih kuat daripada yang berada pada kolom ko lom CD (A’ lebih tinggi dari C’). Hal ini menyebabkan tekanan di A lebih besar daripada di C meskipun ketinggian kolom AB dan CD sama. Adanya perbedaan ekspansi maka kolom A’B mempunyai volume yang lebih besar dari kolom C’D dengan massa yang sama. Maka kolom A’B memiliki densitas yang lebih rendah dari kolom C’D. Jika di A dibuat sebuah lubang maka fluida akan keluar sehingga tekanan di B menurun. Jika pada B dan D diberi diberi lubang maka fluida fluida akan mengalir dari D menuju ke B. Apabila kedua kolom tabung ini diambil dan pemanasan tetap berlangsung maka fluida akan mengalami sirkulasi akibat adanya perbedaan densitas dalam arah lateral (lihat pada Gambar 1.12 b). Penggambaran proses konveksi pada fluida yang lebih kompleks yaitu pada pemanasan fluida dalam tangki dangkal yang merata dan pendinginan pada permukaan fluida tersebut merata. Pemanasan yang sangat kecil akan menghasilkan gradien temperatur secara vertikal yang merata dan tidak diikuti oleh pergerakan fluida sehingga panas mengalir ke atas dengan proses konduksi. Dalam kondisi ini, lapisan lapisa n bagian bawah lebih panas sehingga densitasnya lebih rendah tetapi tidak terjadi konveksi karena tidak ada perubahan densitas secara horisontal. Penambahan panas akan mengurangi densitas lapisan di bawah dan menambah daya apung ( bouyancy), sehingga ketidak-seragaman (irregularity) densitas dalam lateral yang sedikit akan mengakibatkan materi yang lebih ringan naik. Ketidak-seragaman ini terbentuk spontan setelah pemanasan dan saat itulah konveksi mulai terjadi. ter jadi. Pola konveksi ini memiliki sel berbentuk heksagonal. Kumpulan dari sel heksagonal ini disebut dengan ’Sel Bernard’. Pola konveksinya disebut dengan pola konveksi Bernard dimana fluida akan mengalami tiga tipe kelakuan saat dipanaskan yaitu 1) sebelum konveksi terjadi, transfer t ransfer panas berlangsung secara konduksi; 2) sel Bernard terbentuk dan stabil; dan 3) terjadi konveksi yang tidak teratur dan turbulen, setiap gerak dalam aliran fluida di setiap titiknya berubah secara cepat baik besar maupun arahnya. ara hnya. Penjelasan mengenai konsep konveksi secara kuantitatif dijelaskan oleh Rayleigh yang menyatakan bahwa konveksi tidak bergantung pada satu atau dua sifat fluida melainkan kombinasi dari beberapa sifat fluida. Kombinasi dari beberapa sifat fluida dijadikan suatu kuantitas yang disebut ” Rayleigh Number ” ( Ra Ra). Kuantitas ini yang digunakan untuk memprediksi kondisi konveksi yang akan terjadi. Berikut penjabaran mengenai ” Rayleigh Number ”. ”. ∆ (1.23) Keterangan = koefisien volume dari ekspansi termal (K -1) = perbedaan temperatur (K) (K) = percepatan gravitasi (m/detik 2) = kedalaman lapisan fluida (m)
Ra =
∆ 20
= densitas densitas (kg/m3) = difusivitas difusivitas termal (m2/detik) = viskositas dinamik (Pa detik) Berikut keterangan penting mengenai persamaan 1.23 (Widiyantoro, 2007): a. Koefisien volume dari ekspansi termal ( ) adalah ekpansi dari suatu benda dalam volume per derajat kenaikan temperatur dari benda relatif terhadap volume awal, sehingga satuannya menjadi K -1. Mantel bumi mempunyai nilai = ± 2 x 10 -5 K -1 berarti kenaikan temperatur sebesar 1 K akan meningkatkan volume sebesar 2 x 10 -5 x volume awal. b. Kompresi suatu fluida menyebabkan penambahan suhu dengan bertambahnya kedalaman. Hal ini disebut dengan gradien temperatur adiabatik. Gradien ini akan bernilai konstan sebelum terjadinya konveksi. Gradien temperatur untuk mantel bumi adalah 0,25 K/km. Sehingga penambahan temperatur adiabatik dari batas mantel paling atas ke batas mantel paling pa ling bawah sangat signifikan yaitu yaitu 750 K. Maka pada kedalaman (z) tertentu ∆ = (sebenarnya) − (adiaba (adiabatik) tik). c. Percepatan gravitasi g untuk seluruh mantel bumi dapat dianggap konstan yaitu 10 m/detik2. d. Kedalaman (z) dari lapisan fluida secara implisit implisit menunjukkan menunjukkan volume kolom fluida dari unit penampang dalam kondisi konveksi. Suku z3 mempunyai satuan m3. e. Difusifitas termal () dari suatu fluida ditentukan oleh konduktivitas termal (k) dari fluida dibagi densitas dikalikan dengan kapasitas panas spesifik (c).
=
(1.24)
f. Viskositas dinamik dapat diterangkan dengan skema deformasi fluida seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1.13.
Gambar 1.13 Deformasi dari suatu fluida digambarkan sebagai pergeseran dari lapisan-lapisan yang membatasi fluida tersebut, lempeng yang di bawah tetap diam sedangkan lempeng yang di atas bergeser. Sudut geser (θ) merupakan ukuran dari viskositas dinamik untuk gaya (F) yang diberikan.
Dalam Gambar 1.13 terdapat lapisan fluida yang berada di antara dua lempeng yang sejajar. Untuk menggeser lempeng yang di atas sejajar dengan lempeng yang di bawah maka diperlukan F dalam arah x dan gaya ini harus dipertahankan guna menjaga pergeseran pergesera n lempeng yang di atas 21
berlanjut. Jika fluida dianggap d ianggap sebagai lapisan-lapisan yang tipis t ipis maka akan terjadi perubahan kecepatan yang rata dalam fluida tersebut yaitu mulai dari nol tepat di atas lempeng yang diam sampai v max tepat di bawah lempeng yang bergeser di atas lapisan fluida tersebut. Gradien kecepatan (∆ /∆) berbanding lurus dengan F dan berbanding terbalik dengan luas penampang lempeng (A), sehingga ∆ ∆
∞
(1.25)
Konstanta perbandingan ini didefinisikan sebagai viskositas viskositas dinamik d inamik ( ) dari fluida tersebut
∆ ∆
=
(1.26)
Karena gaya per satuan luas merupakan tekanan ( P ) maka persamaan (1.26) menjadi
∆ ∆
=
(1.27)
Sehingga
=
∆
(1.28)
∆
memiliki satuan Poise (P), dengan I P = 0,1 Pa detik g. Dari persamaan ” Rayleigh Number Number ”, ”, terlihat bahwa fluida merupakan parameter yang tidak berdimensi
Model-Model Konveksi Mantel a. Model Satu Lapis
(a)
(b)
Gambar 1.14 a) Model konveksi satu lapis ( whole mantle convection) convection ) b) Penggambaran Penggambaran sederhana sederhana model model konveksi konveksi satu lapis. lapis.
Para ahli seismologi meyakini bahwa konveksi pada mantel bumi merupakan konveksi satu lapis (whole ( whole mantle convection). convection ). Hal ini didasari oleh observasi bahwa lempeng-lempeng besar mempunyai dimensi horizontal antara 2000 km sampai 5000 km, bahkan lempeng Samudera Pasifik mencapai sekitar 10.000 km. Konveksi yang berhubungan dengan de ngan pergerakan lempeng ini diperkirakan mempunyai mempunyai dimensi vertikal yang sebanding dengan dimensi horisontalnya. Sel konveksi ini dibatasi oleh lapisan dingin di at asnya (litosfer) dan lapisan 22
panas di bawahnya yang disebabkan oleh pemanasan dari inti bumi (Gambar 1.14). Sistem lapisan ini disebut ’lapisan batas termal’ (thermal boundary layers) (Widiyantoro, 2007).
b. Model Konveksi Dangkal
Gambar 1.15 Model konveksi mantel dangkal (Widiyantoro, 2007).
Beberapa para ahli lain mengutarakan pendapat bahwa konveksi hanya terjadi pada batas kedalaman sekitar 700 km saja. Para ahli geokimia berpendapat bahwa konveksi mantel dangkal merupakan proses ko nveksi yang hanya terjadi di mantel bumi bagian atas saja sesuai dengan kedalaman seismisitas. Sedangkan mantel bumi bagian bawah dianggap mempunyai viskositas yang jauh lebih besar dibandingkan dengan viskositas mantel atas. Sehingga mantel bawah tidak mempunyai sifat seperti fluida. Model geokimia menunjukkan bahwa tidak ada transfer materi melewati batas mantel, yang terjadi hanya transfer panas. Model ini mengindikasikan bahwa kerak continen terekstraksi dari mantel bumi bagian atasnya saja (sampai kedalaman 700 km) (Widiyantoro, 2007).
c. Model Dua Lapis
Gambar 1.16 Model konveksi dua lapis (Widiyantoro, 2007).
Dalam konveksi model dua lapis, pengertian mengenai mantel bumi bagian bawah memiliki viskositas yang sangat tinggi tidak berlaku lagi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mantel bawah dapat bersifat 23
seperti fluida. Oleh sebab itu t erjadi rekonsiliasi bahwa konveksi mantel dapat terjadi di dalam mantel bumi bagian atas dan bawah secara terpisah. Hal ini berarti bahwa batas antara mantel atas dan bawah pada kedalaman sekitar 700 km merupakan pemisah yang tidak dapat ditembus oleh aliran konveksi baik yang berasal dar i mantel atas maupun mantel bawah (Widiyantoro, 2007).
d. Model Hybrid Ilmuwan terus meneliti serta mengembangkan teori baru mengenai model konveksi yang dialami oleh lempeng. Model konveksi yang dimaksud adalah model konveksi hibrida. Dalam model konveksi ini dijelaskan bahwa lempeng litosfer oseanik atau lempeng samudera yang menunjam akan tertahan di batas mantel bumi bagian atas dan bagian bawah di sekitar kedalaman 660 km yang diakibatkan oleh adanya kontras viskositas antara mantel atas dan mantel bawah. Jika subduksi lempeng litosfer terus berlangsung maka akan terjadi penumpukan massa di sekitar kedalamn 660 km. Akibat gaya gravitasi maka sebagian massa tersebut akan masuk ke mantel bawah dan ikut aliran konveksi di mantel bawah. Dengan demikian terjadilah konveksi di seluruh mantel. Hal ini berarti bahwa batas antar mantel atas dan mantel bawah bukan menjadi penghalang (barrier ) bagi slab litosfer untuk menembus mantel bawah, tetapi bersifat menahan (resistive) terhadap laju slab tersebut (Widiyantoro, 2007).
Gambar 1.17 Model konveksi hibrida (Widiyantoro, 2007).
1.4 Apakah Lempeng Tektonik itu? Teori Lempeng Tektonik Beberapa dekade yang lalu, revolusi pemahaman mengenai bumi dimulai sejak kemunculan hipotesis tentang pergeseran benua (continental drift) yang menyatakan bahwa benua bergerak. Ide ini kemudian berkembang menjadi sebuah teori yang dikenal dengan teori lempeng tektonik. Teori ini menyuguhkan model yang paling komprehensif bagi ahli geologi untuk mempelajari aktivitas internal bumi.
24
Gambar 1.18 Pergeseran benua di Bumi (Trevil & Hazen, 2010).
Gambar 1.18 menjelaskan tentang pergeseran benua di Bumi. Dua ratus juta tahun yang lalu semua benua dikelompokkan menjadi super benua tunggal yang disebut Pangaea dan dunia hanya berisi satu laut (atas). Benua kemudian bergeser jauh dari Pangaea, bergerak ke bagian belakang piring untuk posisi mereka sekarang menempati (tengah). Bagian bawah diagram menggambarkan geografi dunia 50 juta tahun dari sekarang. Secara garis besar lempeng tektonik bumi dibagi menjadi dua, yaitu lempeng samudera (oceanic crust ) dan lempeng benua ( continental crust ). Lempeng samudera merupakan dasar laut yang memiliki ketebalan 5-8 km dan memiliki komponen penyusun yaitu kaya akan lapisan basal. Sedangkan lempeng benua merupakan daratan tempat tinggal makhluk hidup yang kaya akan lapisan granit. Lempeng benua memiliki ketebalan 30-40 km. Dilihat dari komposisi penyusunnya, lempeng samudera memiliki berat jenis yang lebih besar dibandingkan dengan lempeng benua. Istilah geologi untuk lempeng samudera merupakan lapisan sima dan lempeng benua merupakan lapisan sial (Jpb dkk, 2013). Teori Tektonik Lempeng yaitu teori yang menjelaskan sifat bumi yang dinamis. Teori ini menyatakan bahwa lempeng-lempeng yang ada di kerak bumi saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Berdasarkan teori lempeng tektonik, litosfer dipecah menjadi beberapa bagian yang disebut dengan lempeng. Gambar 1.19 menunjukkan beberapa contoh lempeng yang ada di Bumi. Lempeng Bumi bertindak seperti kulit yang sangat keras dan kaku. lempeng-lempeng tektonik ini terus menerus bergerak menumpang di atas astenosfer yang bersifat seperti fluida. Lebih 25
dari satu lusin lempeng terdapat di bumi dan yang terbesar adalah lempeng pasifik (Tarbuck and Lutgens, 2012). Lempeng-lempeng ini berjumlah 13 yaitu: (1) Lempeng Pasific, (2) Lempeng Euroasia, (3) Lempeng India-Australia, (4) Lempeng Afrika, (5) Lempeng Amerika Utara, (6) Lempeng Amerika selatan, (7) Lempeng Antartika, (8) Lempeng Nasca, (9) Lempeng Arab, (10) Lempeng Karibia, (11) Lempeng Philippines, (12) Lempeng Scotia, (13) Lempeng Cocos (Noor, 2011).
Gambar 1.19 Ilustrasi beberapa lempeng bumi (Trefil & Hazen, 2010). Pergerakan Lempeng
Litosfer Bumi ini dibagi menjadi berbagai lempeng (Gambar 1.20). Lempeng-lempeng tersebut bergerak dalam arah yang ditunjukkan oleh anak panah dengan rata-rata sekitar sepersepuluh dari satu meter per tahun. Litosfer menyelam ke dalam astenosfer yang mendasari zona subduksi. Hal ini ditandai dengan garis tebal dengan segitiga, membentuk Ring of Fire yang terkenal di sekitar tepi Pasifik dan Pelat Nazca. Sebagian besar gempa bumi dan aktivitas vulkanik benua terkonsentrasi di sepanjang zona subduksi. Akibat arus konveksi pada mantel bumi, lempeng-lempeng yang terapung di astenosfer secara terus menerus bergerak relatif satu sama lain dengan sangat lambat (rata-rata 5 cm per tahun). Gerakan lempeng yang disebabkan adanya arus konveksi menyebabkan lempeng tektonik bumi bergerak secara dinamis selama milyaran tahun. Ada 3 tipe pergerakan lempeng, yaitu: pergerakan lempeng konvergen, pergerakan lempeng divergen, dan pergerakan lempeng transform (Tarbuck dan Lutgens, 2012). Pergerakan lempeng erat kaitannya dengan pembentukan struktur di permukaan bumi, salah satunya berupa gunung api. Pergerakan lempeng tersebut menyebabkan adanya batas-batas 26
pertemuan lempeng. Batas-batas lempeng tersebut terdapat tiga macam antara lain convergent boundaries, divergent boundaries dan transform boundaries. Adanya batas lempeng menyebabkan timbulnya gejala alam yang diamati dan dikaji antara lain: gempa bumi, aktivitas gunung berapi, pembentukan gunung, gunung, dan d an pembentukan palung pembentukan palung laut (Wallace, (Wallace, 1995).
Gambar 1.20 Pergerakan Lempeng Bumi (Lang, 2011). Jenis Pergerakan Lempeng Tektonik
Lempeng tektonik dapat bergerak secara dinamis. Sesuai dengan penjelasan sebelumya, sebelumya, pergerakan lempeng tektonik dipengaruhi dipengaruhi oleh arus konveksi yang terjadi di dalam mantel bumi. Pergerakan lempeng bumi terjadi secara horizontal. Pergerakan antar lempeng tektonik tersebut akan menciptakan suatu gesekan maupun benturan cukup keras. Pergerakan lempeng tersebut menyebabkan adanya batas-batas pertemuan lempeng. Batas-batas lempeng tersebut terdapat tiga macam antara lain convergent boundaries, divergent boundaries dan transform boundaries . a. Convergent Boundaries (Batas Boundaries (Batas Konvergen)
Konvergensi, yaitu gerakan saling bertumbukan antar lempeng tektonik. Zona atau tempat terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik benua dengan benua disebut zona konvergen. konvergen. Pergerakan Lempeng konvergen terjadi pada lempeng yang bergerak saling mendekati sampai akhirnya bertumbukan dan menyebabkan salah satu dari lempeng masuk (tersubduksi) ke dalam mantel, akibatnya terjadi pengurangan area dari lempeng tersebut. Zona atau tempat terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik disebut zona konvergen. Terdapat 3 kombinasi dari zona konvergen, yaitu: 1) Pertemuan antara dua lempeng samudera yang mengakibatkan salah satu lempeng tersubduksi ke arah mantel. mante l. 2) Pertemuan antara lempeng samudera dan lempeng benua yang mengakibatkan lempeng samudera tersubduksi ke arah mantel. mante l. 3) Pertemuan antara dua lempeng benua yang mengakibatkan terjadinya lipatan yang semakin lama areanya semakin luas dan semakin tinggi. Pada tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng benua, salah satu lempeng benua menunjam lempeng benua yang lain. Sehingga 27
material lempeng benua yang yang tidak terlalu padat tidak cukup berat untuk untuk meleleh dan tenggelam masuk ke astenosfer. Wilayah di bagian yang bertumbukan mengeras dan menebal. Aktivitas tersebut membentuk deretan pegunungan non vulkanik (mountain ( mountain range). range). Contoh tumbukan antara lempeng benua India dengan lempeng benua Eurasia yaitu terbentuknya pegunungan lipatan muda Himalaya yang merupakan pegunungan tertinggi di dunia dengan puncak tertingginya, Mount Everest. Contoh lain, tumbukan lempeng benua Italia dengan lempeng benua Eropa yang menghasilkan terbentuknya Pegunungan Alpen. Gambar 1.21 menunjukkan ilustrasi tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng benua.
Gambar 1.21 Tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng benua akan membentuk pegunungan pegunungan non vulkanik vulkanik (Trefil (Trefil dan Hazen, Hazen, 2010).
Tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng samudera terjadi ketika suatu lempeng samudera menunjam ke bawah lempeng benua. Lempeng ini masuk ke lapisan astenosfer yang suhunya lebih tinggi sehingga meleleh. Aktivitas ini mengakibatkan pada lapisan atas litosfer terbentuk deretan gunung berapi (volcanic ( volcanic mountain range). range ). Sementara di dasar laut tepat di bagian penunjaman, terbentuk parit samudera (oceanic trench). trench ). Zona berupa jalur tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng samudera disebut zona subduksi atau zona tunjam. Contoh tumbukan antara lempeng benua Amerika dengan lempeng samudera Pasifik yang menghasilkan terbentuknya Pegunungan Rocky dan Pegunungan Andes. Gambar 1.22 menunjukkan ilustrasi tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng samudera. Pada tumbukan lempeng samudera dengan lempeng le mpeng samudera salah satu lempeng samudera menunjam ke bawah lempeng samudera lainnya, menyebabkan terbentuknya parit di dasar laut, dan deretan gunung berapi yang sejajar terhadap parit di d i dasar laut. Puncak sebagian gunung berapi ini ada yang timbul sampai kepermukaan, membentuk gugusan pulau vulkanik (volcanic (volcanic island chain). chain ). Contoh dari tumbukan ini adalah terbentuknya pulau vulkanik Aleutian di Alaska. Pulau ini terbentuk dari konvergensi antara lempeng samudera Pasifik dan lempeng samudera Amerika Utara. Gambar 1.23 menunjukkan ilustrasi tumbukan antara lempeng samudera dengan lempeng samudera (Trefil da n Hazen, 2010).
28
Gambar 1.22 Tumbukan antara lempeng benua dengan lempeng samudera akan membentuk pegunungan berapi di daratan dan parit samudera di lautan (Trefil dan Hazen, 2010).
Gambar 1.23 Tumbukan antara lempeng samudera dengan lempeng samudera akan membentuk gugusan pulau vulkanik (Trefil dan Hazen, 2010).
b. Divergent Boundaries (Batas Boundaries (Batas Divergen) Divergensi yaitu gerakan saling menjauh antar lempeng tektonik contohnya gerakan saling menjauh antara lempeng Afrika dengan Amerika bagian selatan. Zona berupa jalur tempat berpisahnya lempenglempeng tektonik disebut Zona Divergen (zona sebar pisah). Fenomena yang terjadi, sebagai berikut: 1) Perenggangan lempeng yang disertai pertumbukan kedua tepinya. 2) Pembentukan tanggul dasar samudera (med ocean ridge) ridge ) di sepanjang tempat perenggangan lempeng-lempeng tersebut. 3) Aktivitas vulkanisme laut dalam yang me nghasilkan lava basa berstruktur bantal (lava bantal) dan hamparan leleran lava encer, dan 4) Aktivitas gempa (Trefil dan Hazen, 2010). Pergerakan Lempeng divergen terjadi pada lempeng-lempeng yang bergerak saling menjauh. Pada zona divergen d ivergen akan terbentuk permukaan baru dan menyebabkan menyebabkan makin meluasnya area dari lempeng tersebut. Ada 2 jenis pergerakan lempeng divergen, yaitu: 1) Pergerakan lempeng divergen yang terjadi antara dua lempeng samudera menyebabkan terbentuknya muka laut baru akibat magma yang mengisi ruang kosong. Tempat perluasan area di dua batas lempeng dengan tipe lempeng divergen biasa disebut seafloor spreading atau atau spreading centre. Hampir semua pergerakan lempeng divergen merupakan jenis ini. 2) Pergerakan lempeng divergen yang terjadi antara dua lempeng benua menyebabkan terjadinya rekahan yang cukup besar pada daratan dan rekahan itu menjadi terus meluas setiap tahunnya. Jenis ini jarang 29
ditemui. Contoh hasil pergerakan lempeng divergen jenis ini adalah Great Rift Valley di Afrika Timur.
c. Transform Boundaries (Batas Transformasi) Pergerakan Lempeng Transform adalah pergerakan antara dua lempeng secara horisontal dan berlawanan arah. Zona berupa jalur tempat bergesekan lempeng-lempeng tektonik disebut Zona Sesar Mendatar (zona transform). Pada tipe ini tidak ada pembentukan lapisan baru atau penyusupan yang dilakukan oleh salah satu lempeng terhadap lainnya, contohnya adalah pergerakan lempeng transform antara dua lempeng samudera yang disebabkan patahnya jalur seafloor spreading , daerah tersebut biasa disebut sebagai Mid-Ocean Ridges, sedangkan pertemuan antara dua lempeng benua untuk tipe ini terjadi akibat pergeseran dua buah lapisan secara horisontal yang muncul hingga permukaan, contohnya adalah patahan San Andreas di California yang membentang sepanjang kurang lebih 1.200 km dari San Francisco di utara sampai Los Angeles di selatan Amerika Serikat (Trefil dan Hazen, 2010). Pergerakan benua dan dasar laut menurut para ahli disebabkan adanya lempeng dalam kerak bumi (litosfer). Pergerakan lempeng bumi disertai dengan kekuatan tektonik (internal force) yang berasal dari mantel bumi yaitu arus konveksi. Oleh karena itu lempeng bumi disebut sebagai lempeng tektonik bumi (Kious dkk, 1996).
Gambar 1.24 Sesar mendatar (Transform) (Trefil dan Hazen, 2010)
Lempeng Tektonik di Indonesia Wilayah Indonesia memiliki luas sekitar 5000 km 2 yang memiliki batas bujur 95° BT sampai 140° BT dan batas lintang 6° LU sampai 11° LS. Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan secara tektonik terletak pada posisi pertemuan tiga lempeng tektonik bumi yang aktif. Lempenglempeng tektonik yang menyusun Indonesia antara lain: Lempeng Samudera Hindia-Australia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Eurasia. Letak lempeng tektonik yang menyusun Indonesia terdiri dari sebelah utara hingga utara disebut lempeng tektonik Eurasia. Lempeng tektonik di sebelah selatan dibatasi dengan lempeng tektonik Samudera HindiaAustralia, dan dibagian timur dibatasi dengan lempeng yang berbeda yaitu lempeng tektonik Pasifik (Kious dkk, 1996). 30
Lempeng Eurasia dan Samudera Hindia-Australia merupakan jenis lempeng yang memiliki batas konvergen. Lempeng Samudera HindiaAustralia adalah lempeng yang menunjam ke bawah lempeng Eurasia. Di bagian timur Indonesia, terdapat pertemuan tiga lempeng tektonik sekaligus, yaitu lempeng Philipina, Pasifik, dan Samudera HindiaAustralia. Subduksi antara dua lempeng yaitu Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia menyebabkan terbentuknya deretan gunung berapi yaitu Bukit Barisan di Pulau Sumatra dan deretan gunung berapi di sepanjang Pulau Jawa, Bali dan Lombok, serta parit samudera yaitu Parit Jawa (Sunda) . Pergerakan antar lempeng tektonik tersebut akan menciptakan suatu gesekan maupun benturan. Lempeng tektonik yang terus bergerak, akan mengalami gesekan atau benturan yang cukup keras. Apabila hal ini terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama maka terjadilah gempa, tsunami, dan meningkatnya kenaikan magma ke permukaan. Oleh sebab itu, gempa yang bersumber dari dasar Samudera Hindia, seringkali diikuti oleh gejala-gejala alam seperti: tsunami dan peningkatan aktivitas gunung berapi di sepanjang pulau Sumatra dan Jawa. Adanya pertemuan tiga lempeng di Indonesia, mengakibatkan Indonesia menjadi Negara Ring of Fire yang memiliki jalur gunung api terbesar dan terbanyak. Pola penyebaran gunung api dan tipe aktivitas kegunung apiannya menunjukkan jalur yang hampir sama dengan pola penyebaran fokus gempa yaitu bergantung pada batas lempengnya. Hubungan ini menunjukkan bahwa vulkanisme merupakan salah satu produk penting sistem tektonik. Dampak dari sistem tektonik ini, berbagai gejala alam sering terjadi di Indonesia. Dampak tersebut salah satunya banyak di jumpai gunung api di bagian selatan Indonesia yang merupakan hasil dari pergerakan lempeng Samudera Hindia-Australia dengan lempeng Eurasian. Hal ini menunjukkan bahwa dalam ilmu fisika kebumian, Indonesia merupakan tempat yang sangat menarik untuk dipelajari dan diteliti (Kertapati, 2006). 1.5 Bagaimana Atmosfer Membentuk Siklus Energi? Lapisan-Lapisan Atmosfer
Atmosfer menyelimuti seluruh permukaan bumi mulai dari ketinggian 0 meter sampai ketinggian yang sulit ditentukan dengan berat mencapai 6 milyar ton. Atmosfer terdiri atas banyak unsur gas seperti nitrogen 78%, oksigen 21%, argon 0,93%, karbondioksida 0,03%, sisanya adalah gas-gas lain seperti helium, ozon, hidrogen, kripton, metana, dan xenon (Susilawati, 2000). Menurut Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) atmosfer bumi adalah lapisan yang terbedakan oleh tekanan udara, massa atmosfer, dan profil temperatur tiap lapisannya. Profil temperatur secara vertikal dapat dibedakan menjadi lima lapisan yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer (ionosfer), dan eksosfer.
31
Gambar 1.25 Lapisan-lapisan atmosfer (moklim.bdg.lapan.go.id)
Troposfer adalah lapisan yang berperan dalam peristiwa-peristiwa seperti cuaca dan iklim, perubahan suhu, angin, tekanan, dan kelembaban udara. Lapisan ini mengalami penurunan suhu sebesar 5 0-60C tiap kenaikan 1000 meter dari permukaan laut. Bagian terendah lapisan ini memiliki suhu tertinggi karena permukaan bumi menyerap radiasi panas matahari dan mendistribusikannya ke udara. Pada lapisan ini terdapat gas rumah kaca yang dapat memerangkap panas radiasi matahari.
Gambar 1.26 Lapisan ozon. Meskipun ozon ditemukan di mana-mana di atmosfer, bahkan pada permukaan tanah, ozon terkonsentrasi di lapisan sekitar 20 mil di atas permukaan bumi. Label di tengah adalah istilah standar yang digunakan ilmuwan untuk menggambarkan berbagai tingkat atmosfer (Trefil & Hazen, 2010).
Lapisan di atas troposfer adalah stratosfer yang dibatasi oleh tropopause. Pada lapisan ini terjadi inversi suhu. Suhu akan meninggi seiring dengan ketinggian stratosfer. Hal ini terjadi karena pada lapisan ini terdapat lapisan ozonosfer. Keberadaan lapisan ini sangat vital karena berperan sebagai pelindung bumi dari sinar ultraungu. Lapisan selanjutnya adalah mesosfer. Mesosfer memiliki karakteristik yang sama 32
dengan troposfer, yaitu temperatur merendah seiring bertambahnya ketinggian. Temperatur terendahnya mencapai -81 0C (Susilawati, 2000), Secara khusus, lapisan ini berfungsi untuk melindungi bumi dari jatuhnya meteor.
Gambar 1.27 lapisan-lapisan atmosfer dan hubungannya dengan tekanan dan temperatur (Lang, 2011).
Lapisan selanjutnya adalah termosfer (ionosfer). Lapisan ini merupakan tempat terjadinya proses ionisasi gas N 2 dan O2. Lapisan ini memiliki suhu paling rendah kira-kira -100 0C (Susilawati, 2000). Secara khusus, lapisan ini berfungsi untuk memantulkan gelombang radio sebagai alat komunikasi ke seluruh permukaan bumi. Lapisan terluar atmosfer disebut eksosfer yang memiliki ketinggian lebih dari 700 km di atas permukaan bumi. Semakin tinggi maka lapisan udara semakin tipis dan berbatasan langsung dengan luar angkasa yang vakum. Menurut LAPAN, lapisan atmosfer yang memiliki perbedaan sepanjang area horizontal adalah troposfer. Temperatur dan tekanan udara berbeda-beda di tiap wilayah di permukaan bumi. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan gejala cuaca dan iklim di permukaan bumi. Gambar 1.27 menunjukkan hubungan antara ketinggian, tekanan, dan temperatur. Tekanan atmosfer kita (skala kanan) menurun dengan ketinggian (kiri skala, perhatikan bahwa baik tekanan dan skala ketinggian bersifat logaritmik). Hal ini karena partikel lebih sedikit mampu mengatasi gravitasi bumi dan mencapai ketinggian yang lebih tinggi. Suhu (skala bawah) juga terus menurun saat ketinggian di troposfer, tetapi peningkatan suhu di dua daerah yang lebih tinggi yang dipanaskan oleh matahari. Kedua daerah tersebut adalah stratosfer, lapisan ozon dengan kritis, dan ionosfer. Stratosfer terutama dipanaskan oleh radiasi ultraviolet dari Matahari, dan ionosfer dibuat dan diatur oleh sinar-X Matahari dan radiasi ultraviolet ekstrim.
33
Siklus Energi di Atmosfer
Matahari adalah sumber energi terbesar di bumi yang meradiasikan energi panas dan cahaya yang sangat dibutuhkan untuk kehidupan di bumi. Sebagian radiasi matahari diserap langsung di atmosfer, sebagian lagi diteruskan menembus atmosfer diserap oleh permukaan bumi. Atmosfer berperan penting untuk mengatur keseimbangan radiasi matahari dan transfer panas (Leeder dan Arlucea, 2006). Atmosfer menjaga keseimbangan energi radiasi matahari yang dipancarkan ke bumi dan energi radiasi yang dipantulkan kembali oleh bumi ke angkasa agar tercapai suhu yang sesuai untuk keberlangsungan kehidupan di bumi. Menurut Prastowo (2008), proses fisis radiasi matahari terdiri atas penyerapan, pemantulan, dan pemancaran yang melibatkan gas-gas di atmosfer, awan, dan permukaan bumi. Menurut Aguado (2007) sebagian besar radiasi matahari diserap dan direfleksikan oleh atmosfer dan awan untuk kembali ke angkasa sehingga hanya 45% energi radiasi yang diterima bumi dan sejumlah 6% energi yang diterima permukaan bumi akan dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Besarnya energi radiasi yang diterima bumi memengaruhi temperatur global di bumi.
Gambar 1.28 Keseimbangan energi permukaan (http://nevada.usgs.gov/water/et/measured.htm)
Radiasi netto (Q) diterima dan digunakan untuk proses-proses yang terjadi dalam sistem bumi. Prastowo (2008) menjelaskan bahwa energi radiasi yang diterima bumi sebagian besar digunakan untuk proses evaporasi atau perubahan fasa air ( Latent Heat, LE). Selain itu juga digunakan dalam proses perubahan temperatur udara ( Sensible Heat, H) dan pemanasan di bawah permukaan tanah (Ground Heat, G). Energi matahari yang memanaskan permukaan bumi menyebabkan pemuaian udara sehingga udara menguap menjadi uap air dan bergerak naik. Energi potensial yang dikandung oleh uap air akan dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk liquid water droplet atau disimpan kembali dalam bentuk kristal es sebagai bahan pembentuk awan. Awan yang telah terbentuk memiliki kemampuan untuk menyerap dan memantulkan radiasi sinar matahari dari luar angkasa. Selain itu, awan juga menyerap sebagian energi radiasi gelombang panjang hasil pemantulan sinar 34
matahari oleh permukaan bumi. Siklus atmosferik ini terjadi secara berkesinambungan dan merupakan mesin utama penggerak cuaca (Prastowo, 2008) dan iklim melalui pendistribusian kembali energi panas (wikipedia). Cuaca dan Iklim
Iklim merupakan kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama untuk satu wilayah geografis tertentu. Sistem iklim dunia dipicu oleh hal yang sederhana, yaitu sinar matahari memberikan pancaran sinar radiasi yang lebih banyak pada wilayah ekuator dibandingkan wilayah lain khususnya wilayah kutub. Hal ini dikarenakan geometri bumi. Sinar matahari menyapu wilayah yang lebih luas pada daerah kutub sedemikian sehingga intensitas sinar matahari yang menyebabkan efek pemanasan menjadi relatif lebih kecil dibandingkan dengan intensitas yang diterima wilayah ekuator (Prastowo, 2012). Selain menerima panas matahari dengan intensitas yang relatif lebih kecil, daerah kutub juga melepaskan energi balik ke ruang angkasa relatif lebih besar daripada daerah ekuator. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa daerah kutub banyak didominasi oleh permukaan salju dan selimut es dengan reaktansi tinggi. Sebagai perbandingan, daerah ekuator yang banyak didominasi hutan tropis relatif lebih banyak menyerap energi matahari. Kombinasi kedua proses fisis tersebut menghasilkan situasi yang paradoks, daerah tropis yang panas dan daerah kutub yang dingin. Situasi seperti itu memicu transfer energi dalam bentuk panas dari daerah ekuator ke wilayah kutub, baik kutub utara maupun selatan, melalui perpindahan massa air dan udara. Perpindahan massa air dan udara itu sendiri menyebabkan lahirnya cuaca. Kondisi rata-rata cuaca dalam jangka waktu yang cukup lama untuk satu wilayah geografis tertentu biasa dikenal dengan sebutan iklim. Menurut Trewartha dan Horn (1995), iklim adalah suatu konsep abstrak yang merupakan gabungan dari keadaan cuaca hari ke hari dan elemen-elemen atmosfer dalam suatu area tertentu dalam waktu yang panjang. Sedangkan cuaca adalah bentuk awal yang dihubungkan dengan penafsiran dan pengertian akan kondisi fisisk udara pada waktu yang singkat di suatu lokasi tertentu (Winarso, 2003). Iklim adalah suatu sistem yang kompleks yang menghubungkan antara atmosfer, permukaan tanah, lapisan es, samudera, sungai, dan makhluk hidup. Semua komponen tersebut saling berinteraksi membentuk suatu sistem iklim.
35
Gambar 1.29 Sistem iklim (sumber: http://zainuelabidien23.wordpress.com/perubahan-iklim/)
Cuaca dan iklim merupakan proses fisis dan dinamis yang kompleks di atmosfer bumi. Kompleksitas tersebut dipengaruhi oleh rotasi bumi pada porosnya dan revolusi bumi mengitari matahari. Dinamika bumi ini menyebabkan intensitas radiasi matahari yang diterima bumi tidak merata. Akibatnya secara alami, sistem atmosfer melakukan pemerataan energi melalui sistem peredaran udara (Winarso, 2003). Proses terjadinya cuaca dan iklim merupakan kombinasi dari variasi unsur-unsur iklim yang terdiri dari radiasi matahari, temperatur udara, kelembapan udara, awan, presipitasi, evaporasi, tekanan udara dan angin (Winarso, 2003). Unsur-unsur tersebut berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Hal ini terjadi karena adanya pengendali iklim. Menurut Lakitan (2002), pengendali iklim terdiri dari: (1) posisi relatif bagian bumi terhadap garis edar matahari (posisi lintang), (2) keberadaan lautan dan air permukaan, (3) pola arah angin, (4) rupa permukaan daratan bumi, dan (5) kerapatan jenis vegetasi. Perpaduan dan variasi antara proses di atas dengan unsur-unsur dan faktor pengendali iklim inilah yang memengaruhi perbedaan iklim di suatu wilayah. Eksploitasi lingkungan akibat aktivitas manusia yang berhubungan langsung dengan pengubahan komposisi gas di atmosfer akan meningkatkan variasi tersebut. Pada akhirnya variasi tersebut memengaruhi keseimbangan energi di bumi yang berakibat pada pemanasan global (global warming) dengan indikasi awalnya adalah terjadi anomali temperatur di bumi. Keadaan seperti ini memicu penyimpangan iklim yang mempercepat terjadinya perubahan iklim.
36
Gambar 1.30 Pola cuaca di Bumi (Lang, 2011).
Gambar 1.31 Jika Bumi tidak memutar, sirkulasi atmosfer akan berlangsung dalam sel konveksi yang menciptakan angin ketinggian tinggi dari khatulistiwa ke kutub, dan angin ketinggian rendah dari kutub ke khatulistiwa (Trefil dan Hazen, 2010).
Pola cuaca di Bumi dijelaskan melalui Gambar 1.30. Melalui Gambar 1.30, dapat dijelaskan bahwa angin bertiup dari timur ke barat di sepanjang wilayah ekuator Bumi, searah dengan arah putaran planet. Pada lintang yang lebih tinggi, ada aliran ketinggian ekstrim yang bergerak dengan kecepatan hingga 40 meter per detik ke arah yang berlawanan dengan angin. Di belahan bumi utara ada siklon tekanan tinggi, dinotasikan dengan H, dan tekanan rendah anti-siklon, L, berputar di searah jarum jam dan berlawanan arah jarum jam arah, masing-masing, di belahan bumi selatan siklon dan anti-siklon berputar dalam arah yang berlawanan.
37
Gambar 1.32 Konveksi atmosfer di Bumi berputar berlawanan dengan arah putaran planet. Serangkaian sel sirkulasi udara mirip pita berkembang (Trefil dan Hazen, 2010). Pemanasan Global
Dalam Lundgren (1999) menyatakan bahwa radiasi matahari merupakan energi utama yang mencapai permukan bumi. Prastowo (2012) menyebutkan bahwa radiasi matahari sebagai sumber energi di permukaan bumi mengontrol keseimbangan temperatur permukaan bumi. Radiasi matahari yang mencapai permukaan bumi, sekitar duapertiga dari radiasi tersebut diserap oleh permukaan daratan dan lautan. Kemudian sebagiannya dipantulkan balik ke angkasa dengan berbagai berbagai proses. Perubahan temperatur permukaan bumi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang memberikan peranan dalam proses perubahan tersebut. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari faktor luar angkasa contohnya radiasi matahari dan gerak orbit bumi terhadap matahari, perilaku lingkungan alam seperti gunung berapi, serta aktivitas manusia (Cocks, 2009). Kirkland (2010) dan Prastowo (2012) menyatakan bahwa proses pemanasan permukaan bumi paling besar dipengaruhi oleh emisi gas pembuangan perusahaan, kendaraan, dan aktifitas manusia. Emisi gas tersebut meningkatkan kadar gas-gas tertentu yang ada di atmosfer. Komponen gas yang ada di atmosfer disajikan dalam Tabel 1.2. Tabel 1.2 Komposisi gas yang ada di atmosfer bumi Komponen Gas
Nitrogen (N2) Oksigen (O2) Argon (A) Karbon Dioksida (CO2) Neon (Ne) Helium (He) Kripton (Kr) Xenon (Xe) Hidrogen (H2)
Gas dalam Volume
78,084 20,9476 0,934 0,0314 0,001818 0,000524 0,000114 0,000087 0,00005 Sumber: Lundgren (1999)
38
Selain gas-gas disebutkan, komponen gas dalam atmosfer juga terdapat sejumlah gas ozon (O3), karbonmonoksida (CO), sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (N 2O), ammonia (NH3), dan metana (CH4). Konsentrasi gas-gas tersebut selalu mengalami perubahan sesuai dengan aktivitas manusia. Semakin meningkatnya gas-gas rumah kaca, (CO 2, CH4, dan N2O) menyebabkan peningkatan konsentrasi gas rumah kaca yang akan membuat temperatur permukaan bumi semakin tinggi (Prastowo, 2012). Mekanisme peningkatan temperatur permukaan bumi adalah radiasi energi matahari tiba di permukaan bumi dalam bentuk short-wave radiation (SWR) , dimana sebagian dari energi datang diradiasikan balik ke angkasa dalam bentuk long-wave infrared radiation (LWR) . Gas-gas rumah kaca alamiah dalam bentuk uap air, CO2, CH4, N2O, dan O3 menyerap radiasi balik ini dan meradiasikan kembali ke permukaan bumi, menghasilkan pemanasan yang menjamin kehidupan di permukaan bumi (Gambar 1.33).
Gambar 1.33 Keseimbangan antara energi input shortwave radiation (SWR) dan longwave radiation (LWR) dari matahari merupakan penentu pemanasan pemukaan bumi (Sumber: IPCC WG1(2013: 126)) Perubahan Iklim
Perubahan iklim global dipicu ketidakseimbangan antara energi radiasi matahari input yang diserap oleh bumi dan energi output yang direfleksikan kembali ke angkasa (Prastowo, 2012). Hal tersebut dapat meningkatkan temperatur permukaan bumi. Secara alami, pemanasan permukaan bumi disebabkan adanya peningkatan gas rumah kaca yang ada di atmosfer. Gas rumah kaca berfungsi agar temperatur bumi tetap hangat sehingga kehidupan di bumi tetap berlangsung. Dalam laporan penilaian dari Working group 1 the Intergovernmental Panel on Climate Change (AR5 IPCC) tahun 2013, Prastowo (2012), dan Kirkland (2010) menyatakan bahwa perubahan iklim sebagai akibat proses pemanasan permukaan bumi paling besar dipengaruhi oleh berbagai aktivitas manusia. Aktivitas industrialisasi dan transportasi mempunyai 39
efek emisi gas CO2. Emisi gas tersebut meningkatkan kadar gas rumah kaca yang ada di atmosfer. Aktivitas manusia dalam menggunakan bahan kimia secara berlebihan (misalnya gas CFC) untuk keperluan sehari-hari dapat meningkatkan kadar CO 2 dan merusak lapisan ozon di atmosfer. Secara fisis, perubahan iklim dapat diketahui dan diukur dengan mengetahui besaran-besaran dinamik yang menjadi indikator perubahan iklim. Berdasarkan laporan penilaian dari IPCC tahun 2013, ada beberapa indikator perubahan iklim, yaitu perubahan temperatur, perubahan permukaan laut, perubahan konsentrasi karbon dan biokimia, adanya kejadian-kejadian ekstrim, ketersediaan sumber energi dan panas, perubahan siklus air dan kriosfer, dan perubahan sirkulasi dan cara variabilitas. Berikut ini adalah uraian beberapa indikator yang ada di IPCC tahun 2013. a. Perubahan temperatur
Temperatur rata-rata permukaan bumi telah mengalami peningkatan sejak akhir abad ke-19. Dalam tiga dekade terakhir ini, temperatur permukaan bumi lebih panas dibandingkan dekade-dekade sebelumnya. Bahkan dalam sepuluh tahun terakhir ini temperatur permukaan bumi merupakan yang paling tinggi. Temperatur rata-rata gabungan antara permukaan tanah dan laut dalam kurun waktu 1880-2012 adalah 0.85 [0.65 to 1.06] °C, kemudian dalam kurun waktu 1901-2012 adalah sekitar 0.89 [0.69 to 1.08]°C dan dalam kurun waktu 1951-2012 adalah sekitar 0.72 [0.49 to 0.89] °C. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hadley Centre/Climatic Research Unit 4 (HadCRUT4) tentang kenaikan temperatur rata-rata permukaan bumi dalam kurun waktu 1850 – 1900 dan 2003–2012 adalah 0.78 [0.72 to 0.85] °C.
Gambar 1.34 Perubahan temperatur rata-rata gabungan
antara permukaan tanah dan laut dari tahun 1850 – 2012 (IPCC WG1, 2013).
40
b. Perubahan tingkat permukaan laut (sea level)
Perubahan permukaan laut sangat dipengaruhi oleh meningkatnya volume air karena pemanasan. Pemanasan menyebabkan densitas air laut mengecil sehingga volume bertambah besar. Selain itu juga karena adanya transfer air yang berada di daratan seperti air tanah dan gletser . Kenaikan temperatur bumi menyebabkan gletser yang ada di kutub mencair sehingga menambah volume air laut. Perubahan permukaan laut antara satu daratan akan sangat berbeda dengan tingkat perubahan permukaan laut rata-rata secara global. Hal tersebut dikarenakan adanya distribusi air laut, pergerakan tanah, dan perubahan medan gravitasi bumi. Tingkat rata-rata permukaan laut telah mengalami kenaikan 0,19 (0,17 -0,21) m ditentukan dengan tren linear periode 1901-2010 berdasarkan data pasang surut dan data satelit sejak tahun 1993.
Gambar 1.35 Perubahan level permukaan laut (warna yang berbeda
menunjukkan data set yang berbeda) (IPPC WG1, 2013) c. Perubahan Konsentrasi Gas Karbon dan Biokimia
Konsentrasi gas-gas rumah kaca yaitu CO 2, CH4, dan N2O di tahun 2011 telah meningkat dan melampaui konsentrasinya tahun 1750. Produksi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan produksi semen telah mengalami peningkatan yang tajam, di tahun 2011 mencapai 390, 5 ppm (1) dibandingkan tahun 1870 yang hanya mencapai 278 ppm. Sedangkan peningkatan CH4 karena aktivitas manusia sejak era indutrialisasi mencapai 1803 ppb(2) di tahun 2011 dari 722 pbb tahun 1750. Dalam kurun waktu tahun 1970 sampai tahun 2004 gas rumah kaca telah meningkat 70 sejak sebelum era industrialisasi dari 28,7 menjadi 49 Gigatonnes of carbon dioxide equivalents (GtCO2-eq)(3).
(1)
ppm = part per million ppb = part per billion,(1 billion = 1000 million) adalah rasio jumlah molekul gas rumah kaca terhadap total molekul di udara kering. (3) carbon dioxide equivalent (CO2-eq) didefinisikan sebagai sejumlah emisi CO2 yang menyebabkan radiasi yang sama memaksa sebagai jumlah yang dipancarkan dari kaca tercampur gas atau campuran gas rumah kaca tercampur, semua dikalikan dengan GWPs() masing masing untuk memperhitungkan waktu yang berbeda mereka tetap berada di atmosfer. (2)
41
Gambar 1.36 Perubahan CO2 di atmosfer di Maona Loa (merah) dan
di kutub selatan (hitam) (IPPC WG1, 2013). d. Cuaca/Iklim Ekstrim
Dalam kurun waktu 1951 sampai 2010 adanya penurunan jumlah cold day dan cold night namun ada peningkatan jumlah warm day dan warm night . Sejak pertengahan abad ke-20 musim panas termasuk di dalamnya gelombang panas ( Heat waves) telah mengalami peningkatan baik dari segi waktu yang semakin lama dan frekuensi. Di periode ini yang mengalami peningkatan Heat waves sebagian besar di wilayah Eropa, Asia dan Australia. Selain peningkatan jumlah warm day dan warm night beberapa cuaca ekstrim lainnya adalah presipitasi yang tidak normal karena kenaikan temperatur bumi, kekeringan, banjir, dan badai.
Dampak perubahan iklim terhadap curah hujan di Indonesia
Indonesia yang secara geografis terletak pada daerah rawan bencana baik bencana geologis dan bencana berkaitan dengan perubahan iklim. Perubahan iklim yang telah, sedang, dan akan terjadi merupakan keniscayaan sebagai akibat dari pemanasan global. Total keberadaan emisi CO2 di atmosfer bumi saat ini terus meningkat dan akan terus terjadi bahkan setelah abad ke-21. Artinya, perubahan iklim yang terjadi akan terus berlangsung sampai abad-abad mendatang akibat besaran peningkatan pemanasan permukaan rata-rata global (IPCC, 2013).
42
Gambar 1.37 Peta rentan perubahan iklim di Indonesia, Wilayah merah merupakan wilayah yang rentan
ketahanan pangan dan beresiko tinggi terkena dampak perubahan iklim sehingga perlu menjadi prioritas utama ( Dewan Nasional Perubahan Iklim; dnpi.go.id ).
Dampak perubahan iklim terasa dalam berbagai bencana. Dampak tersebut sangat mempengaruhi sistem Ketahanan Nasional Indonesia dalam berbagai sektor, seperti di bidang pertanian, pengairan, energi, kesehatan, pekerjaan umum, pariwisata, dan perhubungan. Indonesia merupakan negara kepulauan yang berpenduduk terbanyak ke-empat di dunia. Oleh sebab itu, Indonesia merupakan satu di antara negara yang paling rentan terhadap bencana (Djalante & Thomalla, 2012 dalam Sakya & Mahardhika). Mochamad (2013) menyatakan dalam laporannya bahwa perubahan iklim mengakibatkan curah hujan dan pergantian iklim yang tidak stabil d i Indonesia. Kawasan selatan Indonesia mengalami penurunan curah hujan sedangkan kawasan utara Indonesia mengalami peningkatan curah hujan. IPCC (2007b) menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan salah satu wilayah yang paling rentan terkena banjir, baik banjir dari air laut at aupun banjir sungai. Peningkatan curah hujan dikarenakan peningkatan temperatur permukaan daratan dan permukaan laut sehingga presipitasi di atmosfer menjadi di atas normal. Kenaikan presipitasi meningkat 5-10 setiap kenaikan temperatur 1C. Banjir yang melanda kota-kota rawan banjir di Indonesia seperti Jakarta disebabkan karena curah hujan yang tinggi dan akhirnya mengganggu sistem transportasi dan perekonomian. Indonesia sebagai negara kepulauan yang terletak tepat di garis khatulistiwa dipengaruhi oleh berbagai ekstrimitas cuaca/iklim. Dalam hal pangan, variasi curah hujan sangat mempengaruhi prakiraan musim tanam dan panen, sistem distribusi pasokan benih, dan hasil panen. Pada 43
gilirannya menggerus sistem Ketahanan Pangan Nasional. Dalam perspektif ini, informasi cuaca/iklim yang cepat, tepat, tersebar luas dan terpahami dipercayai mampu meminimalisasi jumlah kerugian yang terjadi (Sakya dan Mahardhika dalam Mochamad, 2013). Hasil pemantauan yang dilakukan Departemen Pertanian pada tanaman padi selama 10 tahun terakhir (1993-2002) menunjukkan angka rata-rata lahan pertanian yang terkena kekeringan mencapai 220.380 ha dengan lahan puso mencapai 43.434 ha karena curah hujan yang tidak menentu selama kurun waktu tersebut. Kumaresan dkk (2010) mengungkapkan dalam penelitiannya bahwa dampak dari perubahan iklim adalah meningkatnya resiko terserang penyakit karena curah hujan di atas normal yang mengakibatkan banjir dan kenaikan permukaan air laut di wilayah-wilayah pesisir. Curah hujan tinggi dan banjir di berbagai wilayah menyebabkan banjir yang dapat memunculkan penyakit-penyakit endemis, seperti malaria, kolera, dan penyakit diare. Di wilayah yang gagal panen, perubahan iklim menyebabkan meningkatnya anak kekurangan gizi/gizi buruk sehingga mengganggu pertumbuhan mereka. Tabel 1.3 Tingkat Resiko Perubahan Iklim Berdasarkan Wilayah di Indonesia
Sumber: dnpi.go.id
Perubahan iklim juga memengaruhi keberagaman berbagai jenis hayati, baik dalam proses konservasi maupun dalam ekosistem liar. Perubahan temperatur dan presipitasi akibat perubahan iklim akan berdampak pada ekosistem hutan (IPCC, 2007b). Purnomo dkk (2010) yang mengutip laporan Firdaus (2008) mengenai populasi Badak Jawa yang berada di Ujung Kulon, Jawa Barat. Pada awalnya Badak Jawa dapat ditemukan di berbagai tempat di Asia tenggara, namun sekarang hanya dapat ditemukan di Taman Nasional Ujung Kulon Jawa Barat, Indonesia dan di Cat Loc Taman Nasional Cat Tien, Vietnam. Dalam laporan tersebut, perubahan iklim dapat menjadi ancaman bagi populasi Badak Jawa. 44
Dampak perubahan iklim terhadap curah hujan yang telah disebutkan di awal merupakan sebagian kecil yang teridentifikasi. Namun, dampak perubahan iklim terhadap curah hujan tersebut dapat memberikan efek domino yang berdampak pada semua sektor yang ada di Indonesia. Efek domino dalam ensiklopedia bebas didefinisikan sebagai reaksi berantai yang terjadi ketika perubahan kecil menyebabkan perubahan yang sama di dekatnya, yang kemudian menyebabkan perubahan lain yang serupa, dan seterusnya dalam urutan linier. Dengan kata lain efek domino dari dampak perubahan iklim terhadap curah hujan akan memberikan efek berantai di semua bidang baik transportasi, energi, pangan, kesehatan, ekonomi, dan sebagainya. Oleh sebab itu, perubahan iklim membutuhkan penanganan yang serius dan komprehensif dari semua pihak melalui langkah-langkah mitigasi dan beradaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Perubahan iklim selain mempunyai dampak negatif bagi kehidupan manusia, juga mempunyai dampak positif antara lain: a. potensi yang lebih tinggi pada hasil pertanian di daerah yang terletak pada posisi lintang tengah; b. potensi penambahan kayu global pada hutan yang dikelola dengan baik dan benar; c. peningkatan ketersediaan air untuk populasi pada beberapa wilayah yang relatif kering, sebagai contoh di sebagian wilayah Asia Tenggara; d. pengurangan angka kematian pada musim dingin pada bumi di belahan lintang tengah dan lintang tinggi. Mitigasi dan Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim
Dalam menghadapi perubahan iklim dibutuhkan kesiapan dan kesigapan baik lokal, nasional, maupun internasional. Langkah-langkah mitigasi untuk memperlambat laju perubahan iklim dan langkah-langkah adaptasi untuk menyesuaikan terhadap perubahan iklim. Negara-negara berkembang (Djalante & Thomalla, 2012; Kumaresan dkk, 2010; Mertz dkk, 2009; Warner & Geest, 2013; Sakya & Mahardhika; dan Purnomo dkk, 2011) memerlukan adaptasi perubahan iklim yang tinggi karena di negara-negara berkembang mempunyai kemungkinan resiko kerentanan yang lebih besar terhadap akibat perubahan iklim. Kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim di beberapa negara disebabkan oleh kurangnya kemampuan dalam beradaptasi. Banyak organisasi dunia yang membahas dan berupaya menghasilkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, seperti dalam Working group 2 the Intergovernmental Panel on Climate Change (WG2 IPCC) tahun 2007, Conference of Parties (COP-19, di Durban, Afrika selatan) dibentuk program kerjasama global dalam pelayanan iklim (Global Framework for Climate Services-GFCS), National Adaptation Program of Action (NAPA), dan sebagainya. Dari hasil-hasil perundingan tersebut diperlukan sosialisasi kepada masyarakat luas. Langkah-langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim secara tepat dapat dilaksanakan untuk mengurangi kerugian dan kerusakan dengan melibatkan semua komponen negara, baik dari pihak pengambil kebijakan dan masyarakat luas. 45
a. Mitigasi terhadap perubahan iklim
Tabel 1.4 langkah mitigasi yang dapat dilakukan untuk mengurangi dan memperlambat perubahan iklim.
Sumber; IPCC WG3 (2007)
IPCC WG3 (2007) menjelaskan bahwa mitigasi perubahan iklim merupakan upaya untuk mengurangi dan memperlambat laju perubahan ikim yang disebabkan oleh pemanasan bumi. Mitigasi perubahan iklim sangat dibutuhkan. Apabila perubahan iklim tidak dilakukan maka diperkirakan bahwa emisi gas rumah kaca akan meningkat dari 9,7 GtCO2-eq menjadi 36.7 GtCO2-eq (25-90%) antara tahun 2000 sampai tahun 2030. Mochamad (2013) menyatakan bahwa Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia tidak bisa bebas dari komitmen untuk berperan dalam mengurangi kegiatan yang menyebabkan pemanasan global. Indonesia mempunyai kekayaan hutan dan lahan gambut yang cukup luas untuk mampu mengurangi emisi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan bumi.
46
Berdasarkan IPPC WG3 2007 tentang mitigasi perubahan iklim terdapat beberapa langkah mitigasi yang meliputi beberapa sektor, yaitu persediaan energi, transportasi, bangunan, industri, pertanian, kehutanan, dan pengelolaan sampah (Tabel 1.4). b. Adaptasi terhadap perubahan iklim
Adaptasi perubahan iklim menurut IPCC WG3 (2007) adalah penyesuaian secara alamiah maupun oleh sistem manusia dalam merespon stimuli iklim aktual atau yang diperkirakan dan dampaknya, menjadi ancaman yang moderat atau memanfaatkan peluang yang menguntungkan. Mochamad (2013) menyatakan bahwa adaptasi dibutuhkan dalam merangkai ulang tindakan untuk mengurangi kerentanan terhadap bahaya atau ancaman iklim secara umum dan tidak hanya berkaitan dengan dampak perubahan iklim yang diakibatkan aktivitas manusia. Perhatian masyarakat internasional dan nasional terhadap agenda adaptasi perubahan iklim telah mengalami peningkatan seiring dampak yang ditimbulkan dan dirasakan oleh hampir semua bangsa di dunia ini. Perubahan iklim merupakan sebuah rintangan besar untuk pengurangan kemiskinan berkelanjutan di seluruh dimensi-dimensinya. Ancaman perubahan iklim terhadap pembangunan berkelanjutan ( sustainable development ) akan memperlambat pencapaian pembangunan berkelanjutan, baik langsung maupun tidak langsung. Untuk mendorong berkelanjutan, maka pembangunan harus secara tegas memasukkan persoalan adaptasi perubahan iklim serta mendorong kemampuan adaptasinya. IPCC WG3 (2007) menyebutkan beberapa contoh adaptasi yang dapat dilakukan dalam menghadapi perubahan iklim yang telah dilakukan oleh beberapa negara di dunia, yaitu membuat pertahanan di daerah pesisir (Coastal defenses), pengelolaan air, irigasi, pengelolaan resiko bencana alam, pembuatan asuransi, pengelolaan hasil panen, dan sebagainya. Beberapa negara di dunia telah mulai melakukan adaptasi yang disarankan para ahli yang dinaungi oleh organisasi tersebut. Negara-negara tersebut adalah Maldeva dan Belanda membuat pertahanan di daerah pesisir untuk mereduksi dampak kenaikan laut, dan Australia membuat pengelolaan air dalam menhadapi banjir. Kumaresan dkk (2010) memberikan beberapa saran dalam menghadapai dan beradaptasi perubahan iklim yang dapat dilakukan dalam skala nasional. Saran-saran yang diberikan adalah a. Memperkuat bukti-bukti adanya perubahan iklim untuk membuat kebijakan baru dengan menyediakan database di masa lalu dan saat ini. b. Meningkatkan pengetahuan dan pelatihan dengan meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa kelompok yang paling rentan menghadapi perubahan iklim adalah anak-anak, lansia, dan orang miskin. c. Tindakan selanjutnya adalah melaksanakan pengukuran tingkat adaptasi. Adaptasi yang dilaksanakan meliputi beberapa proses mulai merencanakan, mengimplementasikan, memonitoring, dan mengevaluasi, kebijakan dan strategis dalam menghadapi perubahan iklim. 47
d. Selain itu, dalam artikel tersebut juga disebutkan bahwa dalam melakukan adaptasi. Kontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca dan mengembangkan kerjasama dan jaringan dengan dunia luar sangat dibutuhkan. Djalante dan Thomalla (2012) memberikan tiga rekomendasi dalam penurunan resiko bencana dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Tiga rekomendasi tersebut adalah a. ”Reorient the institutional structure of national government”.
Kerja sama, komunikasi yang efektif, dan pertukaran informasi dari berbagai pihak pemegang kebijakan seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), DNPI, dan Kementrian Lingkungan Hidup (KLH) sangat dibutuhkan dalam memperkecil resiko bencana. Adaptasi perubahan iklim didasarkan pada pihak pihak tersebut sebagai naungan dan pengukur kegiatan adaptasi perubahan iklim dengan didukung oleh pihak-pihak non-pemerintah dan organisasi lain seperti Lembaga Swadaya Mayarakat (LSM).
b. ”Strengthen technical and financial support to local government”
Pemerintah daerah sebagai pemegang kebijakan di garis terdepan dalam menghadapi dampak perubahan iklim harus bersikap tanggap dan mengerti pentingnya penurunan resiko bencana dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi perubahan iklim merupakan beban pokok yang harus ditanggapi secara serius oleh pemerintah daerah, karena berhubungan dengan pengurangan tingkat kemiskinan, sumber daya alam, pariwisata, dan sebagainya. c. ”Recognise the importance of non-government organization (NGOs) and community based initiatives”
Banyak organisasi non-pemerintah yang ikut serta dalam adaptasi perubahan iklim dan penurunan bencana alam yang ada di Indonesia. Dengan memanfaatkan informasi dan pengalaman leh organisasiorganisasi tersebut akan sangat membantu proses adaptasi yang ada Indonesia.
Pemanasan Global dan Anomali Temperatur
Pemanasan global adalah meningkatnya temperatur rata-rata permukaan bumi akibat permukaan bumi menyerap energi radiasi matahari secara berlebihan. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan gas rumah kaca dan gas-gas pencemar yang dapat meningkatkan kapasitas efek rumah kaca dan semakin menipisnya lapisan ozon. Ketidaknormalan kedua sistem tersebut menyebabkan ketidakseimbangan energi yang masuk dan keluar dari atmosfer bumi. Anomali temperatur yang terjadi di bumi merupakan indikator utama bahwa bumi menerima energi panas yang tidak seimbang.
48
Gambar 1.38 Grafik anomali temperatur global (http://climate.nasa.gov/interactives/warming_world)
Menurut Rusbiantoro (2008), istilah anomali temperatur diartikan sebagai penyimpangan temperatur bumi dari keadaan normalnya. Anomali positif menunjukkan bahwa temperatur lebih tinggi daripada keadaan normalnya. Anomali positif menunjukkan bahwa temperatur lebih tinggi daripada keadaan normal sedangkan anomali negatif mengindikasikan temperatur yang lebih rendah diabndingkan dengan keadaan normalnya. Temperatur permukaan bumi dipengaruhi oleh beberapa faktor. Berdasarkan National Climate Data Center (NCDN), sejak tahun 1950, anomali temperatur global mengalami kenaikan secara kontinu hingga mencapai 0,7 0C pada tahun 2000. Menurut Hansen (dalam Rusbiantoro, 2008) menyatakan kenaikan suhu rata-rata permukaan bumi sebesar 10C saja bisa memicu melelehnya lapisan es dunia. Perbedaan suhu rata-rata permukaan daratan dan lautan yang semakin besar hingga saat ini memengaruhi interaksi parameter-parameter dinamis cuaca dan iklim dan memicu fenomena perubahan iklim (Sakya dan Mahardika, 2011). Iklim memiliki kecenderungan untuk berubah yang diakibatkan oleh faktor aktivitas manusia seperti urbanisasi, deforestasi, transportasi, dan industrialisasi. Selain itu, perubahan iklim juga disebabkan oleh faktor alam seperti pergeseran kontinen, letusan gunung api, noda matahari, dan peristiwa El-Nino (Rusbiantoro, 2008). Definisi perubahan iklim menurut Kementerian Lingkungan Hidup (2001) adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Ketidakstabilan iklim ini ditandai oleh beberapa respon fisis seperti peningkatan suhu udara rata-rata, pola cuaca yang tidak terprediksi dan ekstrim, kekeringan, kebakaran hutan, perubahan siklus hidup hewan dan tumbuhan, pelelehan es di kutub serta peningkatan suhu dan tinggi permukaan air laut (http://www.epa.govclimatestudents/scientists/clue.html). Peristiwa itu terjadi melalui proses yang berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan secara berangsur-angsur. Seringkali orang awam rancu dengan istilah pemanasan global dan perubahan iklim. Sesungguhnya fenomena pemanasan global merupakan bagian dari perubahan iklim karena parameter iklim tidak hanya temperatur saja melainkan presipitasi, kondisi awan, angin, dan intensitas 49
radiasi matahari (Rusbiantoro, 2008). Penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama dari fenomena ini bukan faktor alam melainkan aktivitas manusia terutama aktivitas pembakaran bahan bakar fosil (seperti batu bara, minyak bumi yang hasilnya berupa bensin, minyak tanah, avtur, pelumas oli) dan gas alam sejenisnya yang tidak dapat diperbarui. Pembakaran tersebut mengakibatkan pelepasan karbondioksida (CO 2) dan gas lainnya yang dikenal dengan gas rumah kaca ke atmosfer bumi. Ketika atmosfer semakin kaya dengan gas-gas tersebut, ia akan semakin menjadi insulator yang menahan radiasi panas yang menyebabkan permukaan bumi menjadi semakin panas. Seluruh dunia saat ini merasakan perubahan iklim dengan musim panas yang semakin panas dan musim hujan yang semakin pendek. Selain itu, makin maraknya badai dan banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia dan atau meningkatnya suhu udara yang ekstrem di berbagai tempat. Bagaimana Green House Effect Terjadi?
Dalam perkembangan kehidupan di Bumi, terdapat beberapa efek dari kegiatan yang dilakukan oleh manusia di Bumi. Terjadinya pencemaran lapisan udara dapat menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Efek rumah kaca ini dipicu oleh meningkatnya kadar zat karbondioksida dan zat-zat lain yang merugikan di dalam atmosfer bumi. Banyaknya kadar karbondioksida dan metana dalam atmosfer Bumi menyebabkan terjadinya efek rumah kaca. Gambar 1.67 menjelaskan tentang efek rumah kaca. (a) panjang gelombang sinar tampak matahari bisa masuk rumah hijau dan memanaskan isinya, tapi panjang gelombang inframerah tidak dapat keluar. (b) Proses yang sama dapat memanaskan permukaan planet jika atmosfernya mengandung gas rumah kaca seperti CO2. (c) Konsentrasi CO2 di atmosfer Bumi, yang diukur dalam inti es Antartika, tetap kira-kira konstan sampai awal Revolusi Industri. Rata-rata selama setahun untuk seluruh area permukaan bumi, matahari meradiasikan energi sebesar 340 watt per meter persegi melewati bagian atas atmosfer bumi. Sebagian besar energi yang diradiasikan adalah cahaya tampah. Seandainya bumi tidak memiliki atmosfer dan tidak ada energi panas yang dipantulkan kembali ke luar angkasa, maka bumi berada dalam keadaan thermal equilibrium. Bumi akan meradiasikan energi ke luar angkasa sebesar energi yang diterimanya dari matahari. Berdasarkan persamaan Stefan-Boltzmann, besarnya radiasi yang diemisikan oleh pemancar sempurna (emisivitas=1) diberikan oleh persamaan sT4, dengan s adalah konstanta Stefan-Boltzmann dan T adalah temperatur dari pemancar atau radiator. Jadi, pada kondisi thermal equilibrium, permukaan bumi akan menerima daya dengan besar 340 Wm -2. Jika hal ini terjadi maka suhu di permukaan bumi adalah 278 K atau 5 0C. Suhu ini lebih dingin daripada suhu ratarata permukaan bumi berdasarkan pengamatan yang kira-kira sebesar 288 K atau 150C. Faktanya, radiasi matahari diserap oleh atmosfer, awan, dan permukaan bumi merefleksikan kembali sekitar 30% dari radiasi yang diterimanya. Hal ini menyebabkan radiasi yang diterima permukaan bumi berkurang hingga mencapai 240 Wm-2. Dengan menggunakan 50
persamaan Stefan-Boltzmann, diperoleh temperatur bumi sebesar 255 K atau -180C (Lindzen dan Emanuel). Penghitungan sederhana ini menunjukkan bahwa tanpa GRK suhu di permukaan bumi menjadi sangat ekstrim yaitu turun 330C dari suhu normal.
Gambar 1.39 Efek rumah kaca. Sama seperti energi matahari melewati kaca rumah kaca dan terperangkap di dalam sebagai panas, atmosfer bertindak sebagai rumah kaca untuk menghangatkan permukaan bumi (Trefil dan Hazen, 2010).
Sistem atmosfer bumi memiliki gas rumah kaca (GRK) yang berfungsi untuk memerangkap radiasi gelombang panjang hasil pemantulan dari permukaan bumi. World Wide Fund (WWF) Indonesia menyatakan bahwa GRK tersebut berperan sebagai panel-panel kaca yang bertugas memerangkap energi radiasi matahari agar tidak lepas seluruhnya ke luar angkasa. GRK dapat ditemukan pada lapisan atmosfer dengan ketinggian 0-15 km. Sedangkan lapisan GRK terbentuk di ket inggian 6,215 km. Proses terjadinya efek rumah kaca diawali dengan masuknya radiasi matahari menuju atmosfer bumi, sinar tersebut melewati lapisan gas rumah kaca. Setelah mencapai seluruh permukaan bumi, diserap oleh tanah, air, tanaman dan ekosistem lainnya, radiasi gelombang pendek yang telah menjadi gelombang panjang dipantulkan kembali oleh permukaan bumi menuju atmosfer. Sebagian energi dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian besar ditangkap oleh gas rumah kaca di atmosfer dan dikembalikan ke angkasa, tetapi sebagian besar ditangkap oleh gas-gas rumah kaca di atmosfer dan dipantulkan kembali ke bumi. Peran gas rumah kaca akan berubah ketika konsentrasinya di atmosfer berlebihan. GRK akan lebih banyak memerangkap panas yang menyebabkan permukaan bumi menyerap terlalu banyak energi sehingga menjadi lebih panas. Konsentrasi karbondioksida, metana, dan nitrogem oksida mulai mengalami peningkatan signifikan mulai tahun 1750 sebagai hasil dari aktivitas manusia yang menggunakan bahan bakar fosil untuk transportasi, industri dan kebutuhan rumah tangga. Pada tahun sebelumnya
51
peningkatan CO2 masih rendah karena hanya disebabkan oleh faktor alam seperti letusan gunung api dan siklus karbon yang terjadi secara alami. Menurut Aguado (2007), konsentrasi CO 2 meningkat dengan laju 1,8 ppm ( part per million) per tahun. Karbondioksida (CO 2) adalah gas rumah kaca anthropogenic yang paling penting karena sifatnya yang mampu menyerap kuat radiasi inframerah. Pembakaran dari semua bahan bakar yang mengandung karbon seperti gas alam, bensin, diesel, minyak tanah, propana, anrang dan kayu akan menghasilkan CO 2. Walaupun lautan dan proses alam lainnya mampu mengurangi CO 2 di atmosfer, aktivitas manusia yang melepaskan CO2 jauh lebih cepat dari kemampuan alam untuk menguranginya (http://id.wikipedia.org). Gas-Gas Rumah Kaca
Berdasarkan laporan IPCC (2007) penyebab pemanasan global adalah aktivitas manusia. Manusia dengan segala aktivitasnya memiliki kontribusi sangat besar terhadap emisi gas rumah kaca di atmosfer. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa gas rumah kaca (GRK) bertanggung jawab atas pemanasan yang terjadi di bumi. Gas-gas yang dikategorikan sebagai GRK adalah CO 2, metana (CH4), dinitrogen oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC, merupakan kelompok gas), perfluorokarbon (PFC, merupakan kelompok gas), dan sulfur heksafluorida (SF6). Dalam IPCC (2006) disebutkan GRK lain seperti nitrogen trifluorida (NF3), trifluorometil sulfur pentafluorida (SF5CF3), eter terhalogenasi, dan halokarbon lain. Gas-gas ini juga menjadi acuan para Protocol Kyoto (1997). Selain gas-gas rumah kaca yang telah disepakati pada Protocol Kyoto, para ilmuwan juga menyebutkan bahwa uap air, ozon dan aerosol sebagai GRK. Uap air adalah GRK terbanyak di atmosfer yang keberadaannya dipengaruhi oleh siklus hidrologi khususnya proses evaporasi dan kondensasi. Ozon adalah GRK yang secara alami dan kontinu terbentuk dan rusak di atmosfer akibat reaksi kimia. Sedangkan aerosol adalah partikel padat mikroskopik dan titik-titik air di udara yang terkumpul yang dapat terbentuk secara alami dan akibat aktivitas manusia. Berikut ini adalah tabel yang menunjukkan efektivitas GRK dalam memengaruhi efek rumah kaca.
52
Tabel 1.5 GRK dan kontribusinya pada pemanasan global Gas
Sumber Antropogenik Utama
Karbondioksida Pembakaran bahan bakar fosil untuk transportasi, industri, dan produksi energi listrik serta pembakaran hutan. Metana Penanaman padi, penimbunan sampah, peternakan, tanam produksi bahan bakar fosil. CFC R-12 Semprotan aerosol, pendingin, busa. Ozon Pembakaran bahan bakar fosil dan biomass. Nitrogen Pembakaran bahan bakar fosil Oksida dan biomass.
Waktu residu (lama waktu tinggal)-tahun
Kontribusi (%)
Global warming potential (relative)
100 tahunan
50
1
10 tahunan
13
21
60-100 tahunan
12
15.800
Bulanan
7
2000
Harian
5
206
Sumber: Killen (1996) dan ( http://www.student_unimess/a.andano/global_warming )
Menurut Lindzen dan Emanuel, analisis terhadap gas-gas di at mosfer tercatat bahwa gas karbondioksida dan metana memiliki konsentrasi yang rendah pada saat zaman es dan berada pada konsentrasi yang stabil sejak berakhirnya zaman glasial sampai pada permulaan revolusi industri. Gasgas rumah kaca berperan penting dalam efek rumah kaca sehingga peningkatannya akan dikhawatirkan dan akan menjadi penyebab utama terjadinya pemanasan global.
Gambar 1.40 Konsentrasi karbondioksida sekitar 8 km di atas permukaan bumi pada Juli 2003. Distribusi regional masih bisa dilihat pada saat gas mencapai ketinggian di pertengahan troposfer, dengan konsentrasi besar di bagian AS dan Cina. Gambar ini diperoleh dari atmosfer inframerah Sounder Percobaan kapal pesawat ruang angkasa aquo (NASA). (Lang, 2011)
53
Gambar 1.41 Distribusi global metana di bagian bawah atmosfer bumi, yang dikenal sebagai troposfer. Gambar ini diambil dari atmosfer inframerah Sounder Percobaan kapal pesawat ruang angkasa aquo pada bulan Agustus 2005. Gambar tersebut akan membantu mengindentifikasi sumber panas perangkap gas rumah kaca ini, serta variasi multi-tahun musiman dan transportasi di seluruh dunia. (Lang, 2011)
Gambar 1.40 menunjukkan pemetaan kadar zat karbondioksida di lapisan troposfer Bumi. Gambar 1.41 menunjukkan pemetaan kadar zat methana di lapisan troposfer Bumi. Berdasarkan data oseanografi, bertambahnya usia konsentrasi karbondioksida di dalam atmosfer Bumi sebanding dengan usia Bumi. Jadi, setiap tahun terjadi peningkatan kadar karbondioksida di udara dalam lapisan troposfer. Penjelasan tentang data kadar karbondioksida dijelaskan dalam Gambar 1.42.
Gambar 1.42 Kenaikan kadar karbondioksida di atmosfer Bumi (Lang, 2011).
Gambar 1.42 menggambarkan grafik kenaikan kadar karbon dioksida di atmosfer Bumi. Konsentrasi bulanan rata-rata karbon dioksida atmosfer (CO2) dalam part per million menurut volume (ppmv) dari udara kering diplot terhadap kadar CO 2 dalam beberapa tahun diamati sejak tahun 1958 di Mauna Loa Observatory, Hawaii. Hal ini 54
menunjukkan bahwa jumlah atmosfer dari gas buang utama masyarakat industri, karbon dioksida, telah meningkat terus selama lebih dari empat puluh tahun. Fluktuasi naik dan turun ditumpangkan pada peningkatan sistematis mencerminkan kenaikan musiman dan penurunan penyerapan karbon dioksida oleh pohon dan vegetasi lainnya. Waktu musim panas terendah disebabkan oleh penyerapan karbon dioksida oleh tanaman, dan musim dingin tertinggi terjadi ketika daun jatuh dan beberapa gas dikembalikan ke udara ( Courtesy of Dave Keeling dan Tim Whorf , lembaga Scripps Oseanografi dalam Lang, 2011). Lapisan Ozon
Peristiwa lain yang menyebabkan pemanasan global adalah penipisan lapisan ozon. Kira-kira 10% ozon di atmosfer terdapat pada lapisan troposfer sebagai hasil reaksi dari gas-gas pencemar terutama yang mengandung nitrogen dan hidrokarbon. Sedangkan 90% terbentuk secara alami pada lapisan stratosfer. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi bumi dari sinar ultraviolet yang memiliki panjang gelombang pendek sebesar 280-315 nm (http://id.wikipedia.org). Sinar ini berpotensi untuk merusak kehidupan organisme yang ada di bumi. Pembentukan ozon terjadi secara alami melalui mekaniske pemecahan molekul O2 oleh sinar UV menghasilkan 2 atom oksigen. Atom oksigen hasil belahan tersebut masing-masing akan bertumbukan dengan molekul O2 dan membentuk molekul ozon (O 3). Kumpulan molekul O 3 membentuk lapisan ozon pada ketinggian 50 km.
Gambar 1.43 Proses rusaknya lapisan ozon (sumber: http://sovasakina.blogspot.com/ozon.html)
Lapisan ozon dapat berlubang atau mengalami kerusakan. Kerusakan pada lapisan ini terjadi jika salah satu unsur oksigen yang menyusun molekul ozon tergantikan oleh unsur lain yang bersifat pencemar seperti klorofluorokarbon (CFC) seperti yang tampak pada Gambar 1.43. Berdasarkan laporan NASA, lubang ozon di Antartika telah mencapai 29 km2. Penyebab rusaknya atau menipisnya lapisan ozon disebut bahan perusak ozon (BPO). BPO yang bersifat paling merusak adalah CFC yang diemisikan melalui berbagai kegiatan misalnya penggunaan AC, kulkas, penyemprot ruangan, parfum, dll. 55
Gambar 1.44 Daerah gelap menandai daerah konsentrasi ozon lebih rendah selama Antarticalubang ozon (Trefil dan Hazen, 2010).
Menurut World Wide Fund Indonesia , rusaknya lapisan ozon dan pemanasan global adalah dua hal yang berbeda tetapi berhubungan. Pemanasan dan efek rumah kaca mengacu pada lapisan troposfer karena GRK terakumulasi pada lapisan tersebut. Sedangkan lapisan ozon mengacu pada hilangnya lapisan ozon di lapisan stratosfer. Lapisan ozon memerangkap panas pada lapisan stratosfer, sehingga apabila hilang maka stratosfer mendingin. Hal ini dapat menyeimbangkan efek pemanasan dari gas lain yang memerangkap panas. Akan tetapi pendinginan stratosfer menyebabkan kerusakan ozon semakin parah. Hal ini lebih jauh menyebabkan perubahan iklim yang berakibat pada perubahan pola cuaca. Apalagi jika konsentrasi GRK meninggi yang menyebabkan panas terperangkap pada lapisan troposfer. Hal ini menyebabkan stratosfer semakin dingin dan kerusakan ozon semakin besar. Namun, konsentrasi CO2 di atmosfer kian hari kian meningkat sehingga lapisan ozon kian menipis. Gambar 1.45 menunjukkan hasil pengamatan satelit mengenai lubang ozon.
Gambar 1.45 (a) pengamatan satelit konsentrasi ozon di atas Antartica yang ditampilkan di sini sebagai merah untuk konsentrasi tertinggi dan terendah untuk violet. Sejak tahun 1970-an, sebuah lubang di lapisan ozon telah berkembang di Kutub Selatan. (b) Meskipun penipisan ozon yang paling dramatis di atas Kutub Selatan, konsentrasi ozon telah menurun di semua lintang (Seeds, 2007). 56
Faktor Internal Temperatur Permukaan Bumi
Lapisan rumah kaca di troposfer dan lapisan ozon di stratosfer bumi memberikan pengaruh yang signiikan terhadap temperatur permukaan bumi. Selain dipengaruhi oleh kedua lapisan tersebut, temperatur permukaan juga dipengaruhi oleh faktor internal yang terdapat di permukaan bumi sendiri yaitu tipe permukaan bumi. Tipe permukaan bumi yang terkena sinar matahari langsung adalah faktor terpenting. Hutan, padang rumput, permukaan laut, lapisan es, gurun pasir, dan perkotaan akan mengabsorbsi, merefleksi, dan meradiasikan kembali radiasi panas dengan kuantitas yang berbeda-beda. Radiasi matahari yang jatuh pada permukaan putih es akan dipantulkan dengan kuat kembali ke ruang angkasa sehingga menyebabkan suhu minimal pada permukaan atas dan bagian bawah atmosfer. Sedangkan radiasi matahari yang jatuh pada permukaan gurun pasir dengan tanah yang hitam akan diabsorbsi seluruhnya sehingga memberikan kontribusi yang signifikan pada pemanasan permukaan area tersebut. Kondisi awan juga memengaruhi temperatur permukaan bumi dengan dua cara yaitu mengurangi jumlah radiasi matahari yang akan mencapai permukaan bumi dan mengurangi jumlah energi radiasi yang diemisikan ke luar angkasa. Berikut ini adalah uraian tentang faktor-faktor internal yang memengaruhi temperatur permukaan bumi, diantaranya: a. Awan
Gambar 1.46 Bentuk awan ( http://www.ucar.edu/learn/1_3_2_13t.htm)
Pada siang hari yang panas, biasanya terlihat awan kumulus putih besar yang dapat membuat permukaan bumi menjadi teduh secara tibatiba. Hal ini disebabkan karena bagian atas awan kumulus merefleksikan radiasi matahari kembali ke angkasa sebelum mencapai bumi. Berdasarkan ketinggian dan karakteristik optikalnya, awan dapat mendinginkan sekaligus memanaskan bumi. Awan yang berukuran besar, tebal, dan memiliki ketinggian yang relatif rendah seperti awan kumulonimbus, akan merefleksikan radiasi matahari yang datang dan dengan demikian mengurangi pemanasan permukaan bumi. Sedangkan awan yang tipis dan memiliki ketinggian yang relatif tinggi seperti awan cirrus, akan mengabsorbsi radiasi gelombang panjang yang bersifat panas dari permukaan bumi yang dapat menaikkan temperatur permukaan bumi.
57
b. Albedo permukaan
Para ilmuwan mendefinisikan albedo adalah perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang dipantulkan dan yang diterima oleh permukaan bumi. Albedo permukaan bumi bergantung pada warna permukaan bumi. Albedo permukaan bumi ini berpengaruh besar pada kemampuan permukaan untuk mengabsorbsi radiasi matahari. Permukaan salju atau es adalah permukaan yang bersifat reflektif sehingga dataran ini akan mengurangi pemanasan secara signifikan. Sebaliknya permukaan tanah yang gelap bersifat absorbtif sehingga berkontribusi untuk meningkatkan pemanasan. Semakin gelap warna permukaan tanah, maka kemampuannya untuk menyerap panas akan semakin besar. c. Permukaan laut
Berbeda dengan daratan, lautan terlihat lebih gelap dan dianggap memiliki daya serap radiasi panas yang lebih besar. Akan tetapi tidak seperti daratan, lautan menyerap energi melalui siklus dinamis. Sebagian radiasi matahari yang mengenai permukaan laut diubah dalam bentuk aliran massa air, penguapan dan menembus permukaan laut untuk kebutuhan energi makhluk laut. Air memiliki kapasitas untuk menyimpan dan transport energi panas dalam jumlah yang besar. Di samping itu, laut merupakan sumber CO 2 yang penting bagi atmosfer dan memiliki kemampuan untuk menyerap CO 2 yang berhubungan dengan temperatur permukaan laut. Oleh karena ukuran yang besar dan dalam, laut menjadi komponen penting dalam menentukan iklim global dan perubahan temperatur global rata-rata di masa yang akan datang. d. Hutan
Seperti permukaan laut, hutan juga memiliki interaksi yang kompleks dengan energi radiasi matahari. Jumlah radiasi matahari yang diserap oleh vegetasi buatan bergantung pada tipe dan warna vegetasi, usia hutan, dan kualitas perairan serta tumbuhan di dalamnya. Pada umumnya, kehadiran tumbuhan menyebabkan penyerapan energi radiasi matahari lebih tinggi karena tumbuhan memerlukan energi tersebut untuk fotosintesis, sebagian energi dilepaskan untuk proses penguapan di daun tumbuhan dan sebagian lagi diserap dan didistribusikan oleh kanopi hutan. 1.6 Bagaimana Bumi Menghasilkan Medan Magnet?
Gambar 1.47 merupakan ilustrasi bumi yang memiliki dua inti. Pada Gambar 1.47, mantel dan bagian kerak dipotong untuk menampilkan ukuran relatif cairan bumi dan inti padat. Inti cairan luar sekitar 55 persen dari radius Bumi, dan inti padat sedikit lebih kecil dari Bulan. Medan magnet bumi diperkirakan akan dihasilkan dan dipertahankan dengan menggerakkan arus dalam konduksi elektrik planet, fluida inti luar, yang terdiri dari besi cair. Ahli Geofisika telah menemukan bahwa rute dari 58
kutub polar (utara-selatan) gelombang melalui interior bumi secara bertahap bergeser ke arah timur karena inti berputar sedikit lebih cepat dari seluruh planet ini. Rotasi cepat dari inti padat dapat membantu menjelaskan bagaimana medan magnet bumi membalikkan polaritas.
Gambar 1.47 Bumi dengan dua inti menghasilkan medan magnet (Lang, 2011).
Teori Dynamo Medan Magnet Bumi
Panas Bumi dan sifat maupun variabilitas dari medan magnet bumi sangat menyarankan bahwa gagasan Bumi sebagai magnet batang berguna tetapi tidak persis benar. Medan magnet bumi tidak datang dari magnet batang yang terkubur di bawah permukaan. Namun inti bumi yang kaya kandungan besi mungkin menawarkan penjelasan yang lain. Ingat bahwa inti memiliki dua bagian: sebuah inti bagian dalam terbuat dari besi sebagian besar solid dan bagian luar cairan besi bersama dengan nikel dan beberapa unsur yang lebih ringan. Meskipun suhu inti yang tinggi menghalangi sifat feromagnetik, panas dapat menciptakan arus dalam inti luar yang bersifat cair. Arus ini sering disebut arus konveksi karena melibatkan mekanisme perpindahan panas yang dikenal sebagai konveksi, di mana gerakan fluida membawa panas dari satu tempat ke tempat lain. Arus konveksi Bumi adalah bagian dari sarana yang planet mendingin. Arus konveksi dalam mantel juga membantu menjelaskan lempeng tektonik, dan arus dalam inti luar bahkan lebih kuat karena jauh lebih cair daripada mantel. Kebanyakan ahli geologi percaya bahwa asal-usul medan magnet bumi adalah karena efek dinamo. Ide-ide tersebut telah ada sejak awal abad ke-20, ketika ilmuwan Irlandia Sir Joseph Larmor (1857-1942) mengusulkan teori dinamo untuk menjelaskan sifat magnetik tertentu dari Matahari. Sebuah dinamo adalah mesin yang menghasilkan listrik dengan berputarnya konduktor listrik dalam medan magnet yang kuat. Besi adalah konduktor listrik yang efektif, dan gerak cepat karena arus konveksi, bersama dengan rotasi planet ini, dapat mengatur semacam dinamo dalam bumi. 59
Gambar 1.48 Pasangan konveksi efek dynamo dalam inti cair dengan rotasi bumi untuk menghasilkan arus listrik yang dipercaya bertanggungjawab untuk medan magnet Bumi (Seeds, 2007).
Proses ini menginduksi arus listrik, yang seperti Oersted temukan untuk menciptakan medan magnet. Jika teori dinamo benar, panas bumi sangat penting untuk medan magnet, karena panas menciptakan arus konveksi untuk mendorong gerakan yang diperlukan konduktor. Tapi timbul pertanyaan tentang teori ini. Dinamo menghasilkan arus listrik yang pada gilirannya menghasilkan medan magnet, namun medan magnet yang diperlukan di tempat pertama untuk dinamo menghasilkan arus listrik. Jika arus konveksi dalam inti cair bertindak sebagai dinamo, ahli geologi masih harus memperhitungkan medan magnet yang diperlukan untuk dinamo untuk beroperasi. Medan Magnet Bumi
Meskipun medan magnet bumi berguna, Bumi bukan hanya sebuah magnet batang besar. Pergerakan kutub magnet menunjukkan proses dinamis. Bumi adalah planet yang dinamis, dengan pergeseran lempeng tektonik, konveksi mantel, dan inti luar cair. Pertanyaan penting lainnya menyangkut usia ketika magnet bumi terbentuk? Ahli geologi mencoba menjawab pertanyaan ini dengan mempelajari batuan kuno. Meskipun usia batu kadang-kadang sulit untuk ditentukan, ahli geologi mengumpulkan petunjuk dari posisi dan komposisi batuan, serta dari atom radioaktif. Selama pembentukan batuan, seperti ketika batuan cair dingin dan mengeras atau ketika sedimen bisa dipadatkan menjadi batuan sedimen, kehadiran medan magnet dapat mempengaruhi orientasi batu dan struktur, terutama jika mengandung bahkan sejumlah kecil zat feromagnetik seperti besi. 60
Beberapa batuan tertua, dengan umur sekitar 2-3 milyar tahun, menunjukkan bukti paparan medan magnet. Temuan ini menunjukkan bahwa medan magnet bumi terbentuk awal sejarahnya. Baru-baru ini John A. Tarduno, seorang peneliti di University of Rochester, dan rekanrekannya menganalisis sampel batuan 3,2 miliar tahun. Tarduno dan rekan-rekannya melakukan pengukuran sulit magnet dalam batuan dengan memanaskan kristal kecil dan mengamati medan magnet dengan bagian yang sangat sensitif peralatan yang disebut perangkat interferensi kuantum superkonduktor (SQUID). Medan magnet bumi mendominasi ruang di sekitar Bumi dengan membelokkan angin matahari dan menjebak partikel energi tinggi di sabuk radiasi. Sekitar kutub magnet utara dan kutub magnet selatan, di mana medan magnet memasuki atmosfer bumi, arus kuat dapat mengalir ke bawah dan merangsang atom gas untuk memancarkan foton, yang menghasilkan aurora. Warna yang dihasilkan sebagai atom yang berbeda yang keluar.
Gambar 1.49 Magnetosfer dan aurora sebagai efek medan magnet bumi (Seeds, 2007).
Beberapa ilustrasi aurora sebagai efek medan magnet bumi ditunjukkan oleh Gambar 1.50, Gambar 1.51, dan Gambar 1.52.
61
Gambar 1.50 Aurora senja (Lang, 2011).
Gambar 1.51 Aurora australis (Lang, 2011).
Gambar 1.52 Aurora oval (Lang, 2011).
62
Medan Geomagnetik dan Model Numerical Dynamo
Tabel 1.6. Sifat kasus model numerik.Models 1 dan 2 berkorespondensi dengan model sepenuhnya yang dijelaskan dalam Aubert & Fournier (2011) . Definisi untuk parameter input panel kiri juga dapat ditemukan dalam penelitian: Rayleigh nomor Raq, dan kental, magnetik dan termal nomor Ekman E, Eη dan Eκ. Panel sebelah kanan memberikan nilai-nilai parameter output, sebagaimana didefinisikan dalam pendahuluan: magnet Reynolds nomor Rm, yang Lehnert nomor λ, dan χ2 ukuran kesamaan morfologi ke bidang geomagnetik (Christensen et al 2010). Nilai-nilai bumi diperkirakan di Christensen & Aubert (2006); Aubert et al (2009). Catatan: (c) aliran columnar, (am) konservasi momentum sudut (lihat teks), dengan inti untuk mantel kopling gravitasi konstan _τ/ρνD3 = 5 × 104 sebagaimana didefinisikan dalam Aubert & Dumberry (2011) (ν adalah viskositas fluida), (ep) adanya patch fluks magnetik khatulistiwa polaritas normal pada batas luar, (wdep) adanya patch fluks khatulistiwa ke arah barat - melayang polaritas normal pada batas luar, ( ich ) heterogen rilis apung pada batas inner -core dengan puncak ke puncak besarnya di 80 persen dari fluks homogen apung, (misalnya) adanya hemispherical, eksentrik pilin kolumnar. Tanda tanya mengacu pada fitur yang menduga, tetapi tidak secara langsung diamati dalam inti Bumi
Model numerical dynamo dipecahkan oleh Boussinesq untuk konveksi dan induksi magnetik dalam pendekatan magnetohidrodinamik dalam kulit bola berputar cepat antara jari-jari r i dan r o dengan Bumi yang sekarang memiliki aspek rasio inti r i / r o = 0,35. Sebuah deskripsi fisik lengkap dapat ditemukan di Aubert et al (2009) dan Aubert & Fournier (2011) dimana pelaksanaan numerik menggunakan Parody - JA (Dormy et al, 1998; Aubert et al, 2008). Empat kasus telah dihitung (Tabel 1.6). Model 1 dan 2 berasal dari Aubert & Fournier (2011) dan menggunakan batas-batas kaku dan isolasi elektrik. Model 3 mirip model 2, namun memiliki batas tegangan luar bebas, sebuah aksial putar (dengan konduktivitas yang sama sebagai inti luar) tunduk pada torsi kekentalan dan magnetik dari inti luar, dan torsi gravitasi dari mantel dengan rumusan , di mana Ωic dan Ωm masing-masing adalah tingkat rotasi inti dalam dan mantel, dan kopling konstanta Γτ seperti yang dijelaskan dalam Aubert & Dumberry (2011). Total (inti, inti luar dan mantel ) momentum sudut yang dibentuk (mantel juga berotasi secara aksial di bawah pengaruh torsi gravitasi yang berlawanan dari inti). Model 4 mirip model 2 tetapi memiliki keheterogenan, membujur secara hemispherical oleh fluks apung pada batas inti dalam, di samping daya apung fluks homogen. Konfigurasi ini mensimulasikan konsekuensi dinamis (Olson & Deguen, 2012) dari ketidakstabilan translasi inti (Alboussiere et al, 2010; Monnereau et al, 2010). Rincian lebih lanjut tentang model numerik akan disajikan dalam Tabel 1.6. Model 2 dan 3 muncul untuk memberikan variasi sekuler yang sangat mirip dengan pengamatan geomagnetik, termasuk sinyal khatulistiwa penting (dengan pergeseran ke arah barat dalam kasus model 3). Kesamaan yang baik ini juga dibuktikan dengan membandingkan medan magnet dan variasi spektrum sekuler model untuk bidang geomagnetik (Gambar 1.53), meskipun sekuler variasi spektrum petunjuk untuk skala besar Model
–Γ(Ω −Ω )
63
(l=1,2) sedikit underpowered sehubungan dengan dengan skala yang lebih kecil jika dibandingkan dengan data geomagnetik. Sebaliknya, model 1 dan 4 menunjukkan kurang mirip morfologi medan magnet Bumi seperti yang dibuktikan oleh nilai-nilai χ2 lebih besar pada Tabel 1.6. Dinamika medan magnet Equatorial tidak hadir dari model 1, dan sangat berkurang dalam model 4 sehubungan dengan kehomogenitasan Model 2 (tidak ditampilkan). Perlu dicatat bahwa akhirnya tidak ada medan magnet simulasi pembalikan polaritas yang hadir. Hal ini tidak dianggap sebagai masalah mengingat rentang waktu dan analisis yang difokuskan di sini.
Gambar 1.53 Aliran permukaan inti berdasar eksperimen 2
Sementara medan kecepatan dalam model 1 secara signifikan menyimpang dari aliran columnar, snapshot dari model 2-4 menunjukkan perilaku yang cukup columnar, dengan penyimpangan lokal di bawah pengaruh angin magnetik dan termal. Pengamatan ini dan nilai-nilai jumlah Lehnert dilaporkan dalam Tabel 1.6 yang kompatibel dengan kondisi λ ≤ 3 × 10 -2 diusulkan oleh Jault (2008) untuk kehadiran aliran kolumnar dalam dinamo numerik. Berbeda dengan model-model lain, model 3 menghasilkan aliran zonal ke barat khatulistiwa pada posisi di bawah batas luar. Perlu akhirnya dicatat bahwa tidak ada model 1-3 spontan menghasilkan gyres columnar eksentrik, sedangkan model 4 tidak.
64
Gambar 1.54 Potongan melintang dari rata-rata waktu dan rata-rata aliran azimut (warna biru) dalam model 2 dan 3.
Gambar 1.55 Model langsung dan kebalikan dari hasil aliran dari inti dalam lengkung apung. Inversi untuk permukaan arus inti dibatasi oleh dinamo numerik ( numerical dynamo)
Hasil inversi dalam dua tahap: pertama, aliran bawah lapisan batas Hydromagnetic dekat dengan batas inti-mantel (aliran dekat permukaan) diperoleh dengan membalik versi linierisasi dari persamaan induksi bekuflux non-linear. Langkah kedua adalah estimasi linear (Aubert & Fournier 2011) dari aliran yang mendalam dari aliran dekat-permukaan, mengambil keuntungan dari kopling linear yang kuat yang ada antara kedua karena pengaruh gaya Coriolis. Formulasi dua langkah ini berbeda dengan pendekatan langkah yang dilakukan dalam Aubert & Fournier (2011) karena kebutuhan untuk menangani non-linearitas dari masalah aliran inti. Hal ini juga harus dicatat bahwa, berbeda dengan pendekatan quasigeostropik, itu tidak selalu melibatkan penegak kaku aliran kolumnar di kedalaman. a. Aliran permukaan
Persamaan induksi magnetohidrodinamik ditulis sebagai (1.38) di mana t adalah waktu, B medan magnet dan u medan kecepatan. Dalam proses mencari solusi yang paling mungkin diberikan data dan statistik, inversi matriks Kalman meminimalkan fungsional akan dihasilkan rumusan
= ∇( ) + ∇
( ) = − −+′ ′
(1.39)
Inversi mendekati keseimbangan kontribusi masing-masing koefisien harmonik dalam J. Dengan demikian diharapkan bahwa benar untuk data (Δd ≈ 1), deviasi dari model waktu sebelumnya rata-rata menjadi Δm ≈ √ 65
Nd / Nm Δd <1 sejak model ekspansi harmonik bola melebihi dari data sekitar faktor 10. b. Aliran dalam Setelah diperoleh aliran terbalik dekat permukaan, estimasi linear dari aliran dalam yang sesuai akan mudah didapatkan. Menggunakan kecepatan vektor 3-D (1.40) dengan superscript T menunjukkan transpos, dengan mengumpulkan nilai-nilai statistik toroidal terpusat dan potensial lingkaran dari medan kecepatan u pada node dari numerik grid diskrit (82 tingkat radial yang digunakan). Masalah dapat ditulis (1.41) dengan r E adalah jari-jari dasar lapisan batas Hydromagnetic dan H disebut operator observasi, yang berisi partikel dalam sel di mana kuantitas yang diamati, dan nol sebaliknya. Masalah ini sangat diperlukan lagi diselesaikan di bawah kendala model numerik dinamo sebelumnya matriks kovariansi P korelasi lintas semua aliran komponen (Aubert & Fournier 2011). (1.42) dengan matriks Kalman gain ′ ′ (1.43) Matriks P dihitung dengan menggunakan prosedur yang sama seperti untuk PFS (yang merupakan bagian dari P), dan resolusi spektral yang sama. Strukturnya adalah sangat mirip dengan struktur yang sudah dijelaskan secara rinci pada Gambar 1.54,
= [ ̃ ( ),…, ̃ ( ),̃ ( ),…,̃ ( )] =
= = ( )
Gambar 1.56 blok-diagonal dengan kopling tidak ada yang berbeda antara nilai m tetapi kopling signifikan antara nilai l berdekatan dalam suatu blok m, dan juga percobaan kopling antara bulat dan istilah toroidal. Setelah potensial lingkaran dan toroidal ditentukan sepanjang kulit, medan kecepatan u dengan mudah dapat ditentukan setelah menghitung potensial poloidal P lm (r) melalui s lm (r) = ∂ [rplm (r)] / r ∂ r.
66
1.7 Kejadian-Kejadian Alam di Bumi 1.7.1 Gunung Api Gunung api (Gambar 1.57) merupakan sistem saluran batuan pijar (magma), abu, dan gas-gas, yang memanjang dari dalam hingga permukan bumi, serta struktur-struktur yang dibangun di sekitar saluran oleh material hasil erupsi (Montgomery, 1989). Material yang terdapat pada gunung api adalah sebagai berikut: a. Magma Magma merupakan batu-batuan cair yang ter letak di bawah permukaan bumi. b. Lava Magma naik ke permukaan karena perbedaan densitas magma terhadap batuan di sekitarnya. Densitas magma yang lebih rendah mendorongnya naik ke permukaan. Magma yang tererupsi keluar permukaan disebut lava. Magma keluar membentuk lava yang dapat mengalir menuruni lereng gunung hingga tempat yang jauh di lembah, magma bisa juga keluar dan berdiam di sekitar puncak gunung api dan membentuk kubah lava (dome).
Gambar 1.57 Contoh anatomi gunung api (Tarbuck dan Lutgens, 2012).
c. Material Piroklastik Material piroklastik adalah material gunung api yang terlempar saat terjadinya erupsi. Material tersebut memiliki diameter yang bervariasi, mulai debu yang sangat halus (kurang dari 2 mm) hingga serpihan yang massanya dapat mencapai beberapa ton. d. Gas Magma mengandung sejumlah gas-gas yang terlarut akibat tekanan tinggi. Kandungan gas dalam magma bervariasi antara 1-6%. Walaupun presentasenya kecil, jumlah total gas yang dikeluarkan erupsi gunung api bisa mencapai ribuan ton perhari 67
Lempeng Tektonik dan Vulkanisme
Sejak beberapa dekade yang lalu para geolog telah menyadari bahwa distribusi global dari keberadaan gunung api tidak acak. Distribusi gunung api tersebut berkaitan erat dengan pergerakan lempeng-lempeng bumi sebagai berikut: (1) sepanjang batas lempeng konvergen, (2) sepanjang batas lempeng divergen, (3) di dalam area lempeng.
Gambar 1.58 Gunung berapi terbentuk di atas zona subduksi ketika lempeng yang dipanaskan meleleh sebagian. Magma panas naik melalui atasnya kerak untuk membentuk rantai kepulauan vulkanik (Trefil dan Hazen, 2010).
Vulkanisme pada Zona Konvergen
Pada zona konvergen antara dua lempeng samudera (Gambar 1.59), lempeng samudera yang satu menjorok masuk (tersubduksi) ke lapisan mantel bumi di bawah lempeng samudera yang lain. Kandungan volatil (terutama air) pada lempeng samudera yang masuk ke dalam mantel memicu penurunan titik leleh batuan di sekitarnya sehingga batuan meleleh menghasilkan magma berkomposisi basalt. Akibat aktivitas ini, banyak ditemui deretan gunung api pada batas dua lempeng samudera, yang dikenal dengan island arc. Gunung api yang terbentuk dapat berada di dalam laut, ataupun dapat muncul ke permukaan laut, yang dikenal dengan istilah pulau archipelago.
68
Gambar 1.59 vulkanisme pada zona (http://geohazard.community.uaf.edu/)
konvergen
antara
dua
lempeng
samudera
Pada zona konvergen antara lempeng benua dan lempeng samudera (Gambar 1.60), lempeng samudera tersubduksi ke lapisan mantel bumi di bawah lempeng benua menghasilkan deretan gunung api dengan mekanisme yang sama dengan aktivitas pada zona konvergen dari dua lempeng samudera, jajaran gunung api yang dihasilkan diberi nama continental arc. Perbedaannya adalah lempeng benua memiliki komposisi batuan dengan kandungan silika yang tinggi, sehingga magma yang mulanya berkomposisi basalt dan encer, seiring perjalanannya ke permukaan bumi berubah menjadi memiliki kandungan silika yang t inggi sehingga menjadi kental. Karena daerah sekitar samudera pasifik hampir seluruhnya berada pada zona konvergen ini, wajar jika terdapat banyak sekali deretan gunung api yang dikenal sebagai ring of fire pada daerah tersebut.
Gambar 1.60 Vulkanisme pada zona konvergen antara lempeng samudera dan lempeng benua (http://geohazard.community.uaf.edu/)
69
Vulkanisme pada Zona Divergen
Gambar 1.61 Vulkanisme pada zona divergen ( http://www.koboijonggol.blogspot.com/)
Pada zona divergen (Gambar 1.61), celah yang disebabkan oleh menjauhnya dua lempeng mengakibatkan batuan pada mantel bumi terdorong untuk naik mengisi celah. Dalam perjalan menuju celah, semakin ke atas, tekanan yang dikenakan pada batuan mantel semakin berkurang, sehingga batuan dapat meleleh menjadi magma tanpa penambahan panas. Proses ini dikenal dengan decompression melting. Magma ini kemudian naik ke permukaan. Zona divergen sering kali dibentuk oleh saling menjauhnya lempeng samudera sehingga vulkanisme pada zona divergen sering kali terjadi di bawah laut dan menyebabkan perluasan dasar laut (seafloor spreading) oleh magma yang terbuat dari batuan basalt. Walaupun vulkanisme pada zona divergen kebanyakan terjadi di bawah samudera, namun ada pula yang terjadi di daratan akibat menjauhnya dua lempeng benua yang menyebabkan timbulnya lembah rekahan (rift valley). Contohnya adalah east african rift.
70
Vulkanisme di Dalam Area Lempeng
Tidak semua aktivitas vulkanik terjadi di daerah perbatasan lempeng. Ada beberapa aktivitas vulkanik yang terjadi di dalam area lempeng, misalnya di kepulauan Hawaii. Hal ini terjadi akibat adanya daerah yang areanya relatif kecil dengan temperatur jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Daerah tersebut dikenal dengan hotspot (Tarbuck dan Lutgens, 2012). Sumber energi panas lokal di daerah hotspot akan mempertahankan aktivitas vulkanik dalam waktu yang sangat lama. Batuan yang berada di wilayah hotspot akan bersuhu lebih tinggi dan bergerak naik ke permukaan dan meleleh membentuk magma. Magma yang lebih ringan dari batuan padat di sekitarnya akan terus bergerak naik hingga akhirnya dapat keluar ke permukaan bumi dan membentuk struktur gunung api. Pergerakan lempeng akan menggeser gunung api yang telah terbentuk di atas area hotspot sehingga menghilangkan sumber magma pada gunung api tersebut, namun, gunung api baru akan tumbuh di atas hotspot, dan siklus tersebut terjadi berulang-ulang (Gambar 1.62). Proses vulkanik tumbuh dan mati ini terjadi sepanjang jutaan tahun dan meninggalkan jejak panjang seperti pulau-pulau dan gunung-gunung vulkanik.
Gambar 1.62 vulkanisme dalam area lempeng (http://www. thewatchers.adorraeli.com/)
Bentuk Gunung Api dan Karakteristik Erupsi
Aktivitas vulkanik berawal dari rekahan pada kerak bumi sehingga magma naik ke permukaan. Biasanya, lintasan magma terlokalisasi dalam saluran berbentuk pipa yang berakhir pada lubang di permukaan yang disebut vent . Erupsi menghasilkan lava, material piroklastik, atau gabungan keduanya, dengan kandungan gas mempengaruhi karakteristik erupsi dan tingkat viskositas magma nantinya akan menentukan struktur berbentuk kerucut yang disebut gunung api. Karena itu, perlu dibahas terlebih dahulu mengenai magma dan gas pada gunung api. Faktor Pembentuk Magma
Magma merupakan batu-batuan cair yang terletak di bawah permukaan bumi. Menurut Tarbuck dan Lutgens (2012), faktor yang mempengaruhi pembentukan magma adalah: a. Temperatur Cara termudah bagi bumi untuk menghasilkan magma dari batuan padat adalah memberikan temperatur di atas titik leleh batuan. Semakin
71
ke dalam, temperatur bumi semakin tinggi. Lebih dari 90% magma dihasilkan ketika temperatur batuan semakin meningkat. b. Tekanan Jika temperatur adalah satu-satunya faktor yang mempengaruhi pelelehan batuan, maka bumi hanya sebuah bola pijar yang dilapisi kulit padat yang tipis. Namun kenyataannya tidak demikian, karena tekanan juga meningkat seiring penambahan kedalaman. Batuan akan meleleh pada temperatur yang lebih tinggi jika tekanannya semakin dinaikkan. Dengan kata lain, tekanan meningkatkan titik leleh batuan. Semakin ke dalam tekanan bumi semakin besar. Pada suatu daerah tertentu, semakin ke atas, penurunan tekanan terjadi dengan sangat tajam. Hal ini memicu terjadinya pelelehan dekompresi (decompression melting). Decompression melting terjadi ketika batuan padat yang panas naik menuju zona convective upwelling, dengan demikian berpindah pada daerah dengan tekanan lebih rendah. Proses tersebut memungkinkan batuan menjadi magma akibat penurunan titik lelehnya. Penurunan tekanan yang tajam berperan penting dalam pembentukan magma pada zona divergen. c. Volatil Faktor penting lain yang mempengaruhi pembentukan magma adalah volatil. Air dan volatil lainnya seperti CO 2 menyebabkan batuan dapat meleleh pada temperatur yang lebih rendah. Batuan basah akan lebih mudah meleleh daripada batuan kering pada suhu yang sama. Volatil memiliki peranan penting dalam pembentukan magma pada zona konvergen. Secara singkat, ada 3 cara pembentukan magma: (1) kenaikan temperatur melebihi titik leleh batuan. (2) penurunan tekanan yang menghasilkan decompression melting. (3) keberadaan volatil (terutama air) yang menurunkan titik leleh batuan. Viskositas Magma
Viskositas magma dipengaruhi oleh temperatur. Semakin tinggi temperatur maka viskositasnya akan semakin rendah, seperti memanaskan sirup yang akan membuatnya semakin cair. Faktor penting lain yang menentukan viskositas magma adalah komposisinya. Jenis jenis batuan beku memiliki kandungan silika (SiO2) yang bervariasi: batuan beku mafic seperti basal memiliki kandungan silika skitar 50%, sedangkan batuan beku felsic seperti granit dan rhyolit mengandung lebih dari 70% silika. Viskositas magma berhubungan dengan kandungan silika batuan pembuatnya. Semakin tinggi silikanya, maka semakin kental magma yang dihasilkan. Semakin kental magma, lava semakin susah bergerak. Aktivitas Gas pada Gunung Api
Magma mengandung sejumlah gas-gas, yang terlarut akibat tekanan tinggi. Kandungan gas dalam magma bervariasi antara 1-6 %. Walaupun presentasenya kecil, jumlah total gas yang dikeluarkan melalui aktivitasi gunung api bisa mencapai ribuan ton perhari. Ketika magma bergerak 72
naik, tekanan akan berkurang sehingga gas-gas berupaya untuk melepaskan diri dari cairan magma, membentuk gelembung-gelembung kecil. Pada magma yang encer, dengan berkurangnya tekanan, gas mampu memuai dengan sangat cepat hingga ratusan kali volume awalnya. Pada beberapa kasus, gas berhasil mendorong lava encer tersebut ratusan meter ke udara, membentuk pancuran lava (lava fountain). Sebaliknya, pada magma yang kental, erupsi menghasilkan awan dan debu panas ke angkasa. Karena magma kental, sebagian gas tidak mampu melepaskan diri dari magma. Sedangkan magma terus menekan batuan di sekelilingnya sehingga ketika tekanannya melebihi kekuatan batuan di sekitarnya, maka batuan akan mengalami longsor, membentuk banyak debu dan bebatuan di atas magma. Hingga akhirnya pada jarak dekat dengan permukaan, batuan tersebut terlempar dari gunung api dan gas-gas mampu melepaskan diri sambil membawa debu ke angkasa. Menurut Tarbuck dan Lutgens (2012), ada 3 bentuk gunung berapi, yaitu shield volcanoes (gunung api perisai), cinder cones (kerucut), dan stratovolcanoes. a. Shield Volcanoes Shield Volcanoes dibentuk oleh akumulasi lava cair bersifat basalt
dan mengalir dengan kemiringan yang landai yang kemudian membeku dan menghasilkan bentuk seperti perisai (Gambar 1.63) . Gunung api ini tidak menghasilkan letusan yang besar karena magma yang dikeluarkan memiliki sifat encer. Magma basalt dengan viskositas rendah ini biasa muncul di daerah hotspot tengah samudera dan zona divergen. Kebanyakan Shield Volcanoes terdapat di dasar samudera. Beberapa membentuk island arc.
Gambar 1.63 Shield volcanoes (mail.colonial.net).
b. Cinder cones Cinder cones (Gambar 1.64) merupakan jenis gunung api dengan
kemiringan 30-40 derajat, terbentuk dari abu dan pecahan kecil batuan vulkanik yang menyebar di sekeliling gunung. Sebagian besar gunung jenis ini membentuk mangkuk atau disebut juga kawah ( crater ) di puncaknya. Jarang yang tingginya di atas 500 meter dari tanah di sekitarnya.
73
Gambar 1.64 cinder cones ( www.travelsworlds.com )
c. Stratovolcanoes Stratovolcanoes (Gambar 1.65) merupakan bentuk gunung api yang
potensi bahayanya paling besar. Berbentuk seperti kerucut dengan sisi yang curam, tipe gunung api ini terbentuk oleh letusan besar berulang kali yang terdiri dari aliran lava dan aliran piroklastik. Letusan besar terjadi karena komposisi magma yang sangat kental. Magma rhyolitic yang kaya dengan silika terdistribusi pada daerah lempeng benua terutama pada zona subduksi. Stratovolcanoes banyak ditemui di daerah ring of fire.
Gambar 1.65 Stratovolcanoes (centralamericanvolcanoes.weebly.com).
Aliran Lava
Aliran lava sering kali ditemui ketika gunung api bererupsi. Aliran lava bukan hanya sekedar fenomena ilmiah yang menarik untuk dikaji, namun juga fenomena yang memiliki dampak langsung terhadap makhluk hidup terutama yang bertempat tinggal di sekitar wilayah gunung api. Aliran lava berbahaya karena segala sesuatu yang berada di lintasan lava akan terkepung dan terbakar oleh suhu lava yang sangat tinggi. Aliran lava dapat merenggut nyawa manusia dan hewan, merusak properti, memblokir jalur transportasi, dan merusak lahan pertanian. Salah satu karakteristik aliran lava yang menarik untuk dipelajari adalah laju alirannya. Laju aliran lava dipengaruhi oleh beberapa faktor. Yaitu kandungan kristal dalam lava, temperatur lava, dan sudut kemiringan lintasan lava (Umass Geo sciences). Kandungan kristal dalam lava
Kandungan kristal dalam lava, terutama silika (SiO2) mempengaruhi viskositas lava. Pada felsic lava terdapat sejumlah jaringan dari silika tetrahedra yang menahan laju aliran dikarenakan ikatannya yang sangat 74
kuat. Sebaliknya, pada mafic lava memiliki sedikit sekali jaringan silika tetrahedra sehingga aliran lava mudah terjadi. Implikasi dari mengalirnya felsic lava adalah terbentuknya lava yang tebal. Sebaliknya, kecenderungan dari mafic lava yang mengalir dengan lebih cepat adalah terbentuknya lava yang tipis. Aliran lava bukan cairan sederhana, tapi mengandung fenokris dan gelembung gas. Akibatnya lava tidak berperilaku sebagai fluida Newtonian. Lava memiliki nilai ambang batas yang harus dilampaui sebelum lava dapat mengalir. Karakteristik lava yang demikian dikategorikan dalam fluida Bingham. Viskositas lava dapat dihitung seperti Gambar 1.66.
Gambar 1.66 Penghitungan viskositas fluida Bingham (Umass Geo sciences).
Temperatur lava
Temperatur dapat mengurangi viskositas lava. Seperti memanaskan sirup dapat membuatnya semakin encer. Dengan demikian semakin tinggi temperatur, laju aliran lava akan semakin besar. Gambar 1.67 menunjukkan grafik bagaimana temperatur dan komposisi penyusun lava berpengaruh terhadap viskositas lava.
Gambar 1.67 grafik pengaruh temperatur dan jenis batuan penyusun lava terhadap viskositas lava (Umass Geo sciences).
75
Sudut kemiringan lintasan lava
Gambar 1.68 Pergerakan lava menuruni lintasan berkemiringan α (Umass Geo sciences).
Semakin curam lintasan lava, maka semakin cepat lava mengalir. Hal ini disebabkan semakin curam lintasan lava, maka semakin besar angka komponen gaya gravitasi yang dapat menarik magma menuruni lintasannya. Ilustrasi aliran magma menuruni suatu lintasan dengan sudut tertentu terdapat pada Gambar 1.68. Dikutip dari Edwards et al (2006), laju aliran lava dapat dirumuskan dengan persamaan yang dikenal dengan persamaan Jeffrey sebagai berikut: laju aliran lava (V) = ρgt2 sin(α)/3η (1.29) dengan: ρ = massa jenis g = percepatan gravitasi (980.6 cm/sec2) t = ketebalan (cm) η = viskositas α = slope Dampak Gunung Api
Keberadaan gunung api memang layaknya dua sisi mata uang koin. Di satu sisi membuat daerah yang memiliki gunung api menjadi rawan bencana letusan gunung api. Sedangkan dilain sisi, begitu banyak berkah dari keberadaan gunung api. Dampak negatif dari gunung api banyak dirasakan ketika aktivitas gunung api meningkat, saat erupsi, dan pasca erupsi, di antaranya merenggut korban jiwa, merusak lahan pertanian, mengganggu pernapasan, dan mengganggu transportasi. Namun keberadaan gunung api juga memberi banyak dampak positif, seperti potensi energi geotermal, penyedia pasir untuk bahan bangunan, penyedia mineral tambang seperti emas perak, dan marmer, menyuburkan area yang awalnya tertutup debu vulkanik, dan potensi pariwisata.
76
1.7.2 Gempa Bumi Interior Bumi
Bumi terdiri dari beberapa lapisan pembentuk bumi, yaitu terdiri atas kerak bumi dan inti bumi. Sementara di antara keduanya terdapat litosfer, dimana benua dan lautan terdapat di atas litosfer. Arus-arus konveksi dalam lapisan mantel teratas merupakan gaya-gaya utama yang mengontrol terjadinya gerakan-gerakan lempeng dan oleh karena itu merupakan latar belakang terjadinya gempa bumi (Santosa, 2008). Pada bagian dalam litosfer terdapat cairan yang begitu panas dengan sifat panas yang merambat. Cairan tersebut merambat ke bagian atas litosfer hingga mengalami pendinginan di permukaan kulit bumi yaitu di lautan sehingga akan membentuk kerak lautan muda yang nantinya akan menggeser kerak lautan sebelumnya ke dalam benua dan mengakibatkan menunjam ke dalam mantel. Akibatnya, terjadi perputaran lapisan mantel yang sangat lambat yang disebabkan oleh konveksi. Pergerakan yang lambat akan mengakibatkan gerakan yang sangat besar antar lempengan-lempengan di bumi. Karena pada saat kedua lempeng saling bertumbukan, lempeng kulit bumi lautan akan menembus lempeng benua yang lain. Lempeng-lempeng yang menembus ke dalam mantel maka disebut sebagai zona subduksi. Komponen-komponen pada zona subduksi yaitu palung, cekung busur muka, struktur tinggian, jalur busur gunung api, dan cekungan busur belakang. Ketika lempeng samudera dan lempeng samudera saling bertemu akan menghasilkan suatu rangkaian busur gunung api ( volcanic arc) yang arahnya sejajar dengan palung (trench). Salah satu akibat dari tumbukan antar lempeng samudera dan lempeng benua adalah terbentuknya kepulauan Indonesia. Lempenglempeng tektonik yang bertemu di wilayah Indonesia meliputi lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Zona subduksi adalah zona aktif gempa bumi sehingga lajur gempa bumi di Indonesia membentang sepanjang tidak kurang dari 5.600 km mulai dari Andaman sampai ke Busur Banda Timur (Nugroho, Widiantoro, dan Ibrahim; 2007). Zona subduksi yang berada di wilayah Indonesia yaitu hampir seluruh bagiannya, dari sepanjang selatan pulau Sumatra hingga ke selatan Pulau Jawa, kemudian Nusa Tenggara hingga ke Maluku, yang merupakan wilayah rawan terjadi gempa bumi karena tumbukan antar lempeng.
77
Gambar 1.38 Komponen-komponen pada zona subduksi (lempeng samudera dan lempeng benua): palung (trech), struktur tinggian (structural high), cekungan busur muka (forearc basin), jalur busur gunung api (volcanic arc), dan cekungan busur belakang (backarc basin) (Noor, 2009).
Gempa Bumi
Gempa bumi dapat didefinisikan bergetarnya permukaan tanah karena pelepasan energi secara tiba-tiba akibat dari pecah/slipnya massa batuan di lapisan kerak bumi (Widodo, 2012). Gempa bumi dapat dibedakan dari penyebabnya seperti gempa runtuhan, gempa vulkanik, gempa ledakan, dan gempa tektonik. Kajian teori ini lebih membahas gempa tektonik yaitu gempa yang disebabkan oleh gerakan lempeng tektonik. Gempa bumi dapat diukur dengan alat seismometer atau alat seismograf, alat ini dapat mencatat getaran yang ada di bumi dan ditempatkan di berbagai titik yang rawan gempa. Skala magnitudo dari gempa bumi adalah Richter yang berkisar 1-10. Skala lain yaitu MMI (Intensitas modifikasi mercalli) yang diukur berdasarkan kerusakan gempa dan memiliki skala 1-12. Penyebaran pusat gempa tektonik ini erat kaitannya dengan batas-batas lempeng. Seismologi merupakan ilmu geofisika yang mempelajari tentang gempa bumi. Seismologi berasal dari dua kata Yunani, seismos berarti getaran dan logos yang berarti ilmu pengetahuan. Ilmu ini mengkaji halhal yang berkaitan dengan gempa bumi. Secara sederhana seismologi diartikan sebagai ilmu yang mempelajari fenomena getaran di dalam bumi, atau ilmu mengenai gempa bumi (Sukanta, 2010). Seismologi digunakan dalam rekayasa struktural untuk membantu dalam desain bangunan tahan gempa dan prospeksi mineral dan eksplorasi minyak dan gas alam (Aki, 1980; Richards,1980). Menurut BMKG, gempa bumi adalah peristiwa bergetarnya bumi akibat pelepasan secara tiba-tiba yang ditandai dengan patahnya lapisan batuan pada kerak bumi. Gempa bumi terjadi karena patahnya atau bergesernya lempeng tektonik. Gempa bumi sangat dipengaruhi oleh pergerakan batuan dan lempeng pada sesar. Sesar adalah celah pada kerak bumi yang terletak pada perbatasan antara dua lempeng tektonik. Proses Terjadinya Gempa Bumi
Gempa bumi yang terjadi ada banyak jenisnya, secara umum ada gempa bumi tektonik dan vulkanik, namun gempa bumi tektonik 78
mendominasi kejadian gempa. Proses terjadinya gempa bumi tektonik dikelompokkan ke dalam teori pergeseran sesar dan teori kekenyalan elastisitas. Teori pergeseran sesar dimulai pada pergerakan interior bumi saat gaya konveksi mantel yang menekan kerak bumi. Karena kerak sifatnya rapuh, maka mengakibatkan pergeseran pada sesar. Dari pergeseran sesar, muncullah gempa bumi berupa aliran energi yang merambat ke permukaan. Sedangkan pada teori kekenyalan elastisitas terjadi pada saat gempa yang disebabkan oleh pergeseran atau patahan pada sesar baik itu sesar naik atau sesar turun. Patahan terjadi karena batuan mengalami tekanan terus-menerus. Apabila batuan sudah mulai jenuh, maka batuan akan patah untuk melepaskan energi dari tekanan dan tarikan tersebut. Pada saat menerima tekanan maka akan terbengkok tapi saat mendapat tarikan akan kembali seperti semula. Hal itu yang disebut dengan teori kekenyalan elatisitas.
Gambar 1.39 Pergeseran lempeng di Bumi. Magma, gunung berapi, dan gempa bumi yang dihasilkan pada zona subduksi (atas) di mana lempeng samudera padat didorong di bawah lempeng benua yang lebih ringan. Ketika benua pada dua lempeng bergerak memenuhi permukaan, gunung baru yang dihasilkan (tengah). Dalam beberapa situasi, lempeng depan dapat terganggu dan gerakan lempeng dapat berhenti. Kedua benua kemudian menjadi satu bersama-sama membentuk lempeng yang lebih besar, dan zona subduksi baru dapat dibentuk di tempat lain (bawah) (Lang, 2011).
79
Dinamika bumi memungkinkan terjadinya gempa bumi. Di seluruh dunia tidak kurang dari 8000 kejadian gempa bumi terjadi tiap hari, dengan skala kecil yaitu kurang dari Magnitud 2 sampai skala besar dengan kekuatan sekitar Magnitud 9.5 yang secara statistik hanya terjadi satu kali dalam 20 tahun di dunia. Dari kejadian gempa bumi dunia, kurang lebih 10% nya terjadi di Indonesia. Dinamika bumi digambarkan dengan pergerakan lempeng-lempeng yang menyusun kerak bumi. Pergerakan lempeng samudera terjadi karena ada proses naiknya magma ke permukaan ( sea-floor spreading ) secara terus menerus dari dalam kulit bumi di zona pemekaran samudera. Proses ini mendorong lempeng samudera yang mengapung pada lapisan yang bersifat padat tetapi sangat panas dan dapat mengalir secara perlahan. Pada saat lempeng samudera menyusup ke bawah lempeng benua terjadi gesekan yang menghambat proses penyusupan (Gambar 1.39). Perlambatan gerak penyusupan tersebut menyebabkan adanya akumulasi energi di zona subduksi dan zona patahan. Akibatnya, pada zona tersebut akan terjadi tekanan, tarikan, dan geseran. Pergerakan lempeng-lempeng di dunia memungkinkan adanya interaksi antara lempeng yang satu dengan lainnya. Gempa terjadi bukan karena tumbukan dua lempeng, seperti diibaratkan dua mobil saling bertabrakan yang asalnya saling jauh kemudian bertabrakan (terjadi crash). Untuk zona subduksi, gempa terjadi karena interaksi antar dua lempeng yang saling menekan sehingga terakumulasi energi yang cukup besar. Gempa itu sendiri terjadi karena kondisi batuan pada lempeng ataupun litosfer patah. Mengapa batuan dapat patah? Mekanisme patahan yang terjadi dapat dijelaskan bahwa batuan tadi mengalami tekanan ataupun tarikan secara terus menerus, apabila elastisitas batuan sudah jenuh, maka batuan akan patah untuk melepaskan energi dari tekanan dan tarikan tersebut. Saat menerima tekanan, batuan akan terbengkokkan dan setelah melepaskan tekanannya batuan akan kembali ke bentuk semula, ini dikenal dengan ’Elastic Rebound Theory’ . Pelepasan energi tekanan yang sudah tertumpuk ini terjadi selama kurun waktu tertentu ( Scolz , 2004). Gempa yang terjadi di zona subduksi akibat patahan pada lapisan batuan atau litosfer ini dapat berupa gempa dangkal ( shallow earthquake), menengah (intermediate earthquake), dan dalam (deep earthquake). Berdasarkan hasil penelitian para peneliti kebumian, disimpulkan bahwa hampir 95 persen lebih gempa bumi alamiah yang cukup besar terjadi di daerah batas pertemuan antar lempeng yang menyusun kerak bumi dan di daerah patahan ( fault ). Tahapan gempa bumi dapat di jelaskan seperti berikut ini: a. Tahap pertama, dua lempeng saling bertumbukan di zona subduksi terjadi tegangan geser. b. Tahap kedua, lempeng yang berada di atas mulai mengalami tekukan sehingga terbentuk bukit di atasnya sementara itu tegangan geser terus bertambah. Pada tahap ini kecepatan gelombang seismik menurun. c. Tahap ketiga, terjadi retakan-retakan pada batuan dan mencapai batas keseimbangan. Pada tahap ini gelombang seismik meningkat lagi.
80
d. Tahap keempat, terjadilah gempa bumi akibat dari batuan yang pecah, Slip atau batuan yang terkunci menjadi terlepas dan sejumlah energi akan dilepaskan. Kemudian energi ini akan merambat ke segala arah dalam bentuk gelombang longitudinal (gelombang P) dan gelombang transversal (gelombang S) rambatan gelombang ini yang akan menghancurkan bangunan-bangunan di atasnya
Gambar 1.40 Gelombang P, Gelombang S, dan bentuk gelombang yang direkan oleh seismograf (Seeds, 2007).
e. Tahap kelima, terjadi keseimbangan baru pada saat selesai gempa bumi. Pada saat terjadi gempa bumi, energi gempa tersebut merambat dalam bentuk gelombang seismik (Gambar 1.41). Gelombang P dan S memberikan petunjuk untuk interior bumi. Bahwa tidak ada gelombang S langsung mencapai sisi jauh menunjukkan bahwa inti bumi cair. Ukuran gelombang bayangan S memberitahu ukuran inti luar. Energi gelombang seismik akibat adanya gempa bumi merambat dengan jangkauan tertentu. Gelombang seismik sebagai bentuk rambatan energi gempa ini dapat direkam menggunakan alat yang disebut seismograf. Gambat 1.42 menunjukkan salah satu bentuk gelombang seismik pada saat gempa bumi di Meksiko.
Gambar 1.41 Perambatan gelombang seismik melalui interior Bumi saat terjadi gempa bumi (Seeds, 2007).
81
Gambar 1.42 Sebuah seismograf di utara Kanada merekam gelombang seismik dari gempa bumi di Meksiko. Getaran pertama, gelombang P, tiba 11 menit setelah gempa, tetapi gelombang S butuh waktu 20 menit untuk melakukan perjalanan (Lang, 2011).
Struktur internal bumi ditentukan oleh kecepatan yang berbeda-beda dari gelombang gempa (Gambar 1.43). Ada dua jenis gelombang yang berjalan melalui Bumi. Gelombang tersebut dikenal sebagai kompresi gelombang P (atau gelombang "dorong dan tarik") dan gelombang geser S (atau gelombang "goyang"). Gelombang P bergerak hampir dua kali lebih cepat daripada gelombang S, dan gelombang P melewati fluida inti luar, yang tidak bisa dilakukan gelombang S. Batas antara mantel dan inti ditandai dengan penurunan terjal dalam kecepatan gelombang P pada kedalaman sekitar 2.890 kilometer. Gelombang S tidak merambat melampaui batas ini. Inti luar cair dipisahkan dari inti padat pada radius 1.220 kilometer di mana gelombang P mengalami peningkatan kecepatan.
Gambar 1.43 Struktur Lapisan Bumi (Lang, 2011) 82
Kecepatan rambat gelombang seismik dapat mengungkapkan suhu di dalam bumi. Gambar 1.44 menyajikan kombinasi model teoritis dan observasi kecepatan gelombang seismik yang mengungkapkan suhu di dalam bumi.
Gambar 1.44 Model teoritis dikombinasikan dengan observasi kecepatan gelombang seismik mengungkapkan suhu di dalam bumi (garis biru). Titik leleh bahan (garis merah) ditentukan oleh komposisi dan oleh tekanan. Dalam mantel dan inti bagian dalam, titik leleh yang lebih tinggi dari suhu yang ada, dan bahan tersebut tidak cair (Seeds, 2007). Patahan Akibat Gempa Bumi Zona patahan ( fault ) memungkinkan satu blok batuan bergerak relatif
terhadap blok yang lainnya. Pergerakannya bisa relatif turun yang disebut patahan turun (normal fault ), relatif naik disebut patahan naik (thrust fault atau reverse fault ), ataupun bergerak relatif mendatar/geser disebut patahan geser ( strike fault ). Patahan ini dapat dibayangkan sebagai satu bidang miring imaginer yang memisahkan dua blok lapisan batuan. Blok yang ada di bagian bawah patahan disebut sebagai foot wall (alas patahan) dan blok yang ada di bagian atas patahan disebut sebagai hanging wall (atap patahan). Fault scarp (bidang miring imaginer ) adalah permukaan dari bidang patahan. Pada patahan turun (Normal Fault), bagian hanging wall akan bergerak relatif turun terhadap foot wall nya. Susunan dari poros utama tegasannya menunjukkan arah tegasan yang terbesar adalah vertikal. Patahan turun memiliki sudut kemiringan yang dapat mendekati vertikal.
Gambar 1.45 Patahan turun ( normal fault ).
Patahan naik ( Reverse Fault ), menurut teori dasar sama halnya dengan patahan turun, tapi untuk patahan naik ini bagian hanging wall -nya relatif bergerak naik terhadap bagian foot wall nya. Salah satu ciri 83
patahan naik adalah sudut kemiringan dari patahan itu termasuk kecil. Kemiringan daripada bidang patahan akan mempunyai sudut kurang dari 450 (thrust fault ). Patahan naik dengan kemiringan yang kecil (<10 0) disebut over thrust fault .
Gambar 1.46 Patahan naik ( reverse fault ).
Sudut kemiringan bisa berbeda untuk kedua patahan ini karena diperlukan satu gaya/energi yang memungkinkan dua blok ini bergerak satu sama lain. Gaya/energi untuk menimbulkan satu blok bergerak relatif turun terhadap blok yang lainnya mungkin tidak sebesar gaya/energi untuk menggerakkan satu blok relatif naik terhadap blok yang lainnya. Patahan mendatar/geser (Strike Fault ), dibagi menjadi dua bagian yaitu: patahan mendatar mengiri (satu blok bergerak relatif ke kiri terhadap blok yang lainnya) dan patahan mendatar menganan (satu blok bergerak relatif ke kanan terhadap blok yang lainnya). Patahan mendatar merupakan suatu jenis pergeseran dengan gerak yang dominan adalah gerak horisontal. Hal ini berarti bahwa yang disebut sebagai patahan mendatar dalam jumlah terbatas juga masih mempunyai komponen pergerakan yang vertikal. Patahan jenis ini umumnya dijumpai di daerahdaerah yang mengalami perlipatan dan patahan naik.
Gambar 1.47 Patahan mendatar/geser ( strike fault ).
Kerusakan patahan dapat saja terjadi meski dengan gempa bumi kecil, tetapi, secara umum, kemungkinan dari pengamatan di atas permukaan berkurang seiring dengan menurunnya magnitudo gempa. Kaitan yang dekat antara patahan dan gempa bumi telah lama disadari, meskipun sifat dasar dari kaitan ini belum bisa dimengerti sampai saat ini.
84
Siklus Gempa Bumi
Kecenderungan kejadian gempa bumi semakin meningkat selama 49 tahun terakhir. Bahkan setelah gempa bumi tahun 2004 peningkatan kejadian gempa bumi semakin tajam. Hal ini diduga disebabkan oleh proses pencapaian keseimbangan energi yang dialami oleh lempeng, sehingga terjadi gempa bumi-gempa bumi susulan yang berkelanjutan sampai terjadi keseimbangan energi (Madlazim, 2010). Siklus gempa bumi ( earthquake cycle) didefinisikan sebagai perulangan gempa. Satu siklus dari gempa bumi ini biasanya berlangsung dalam kurun waktu puluhan sampai ratusan tahun (Scolz , 2004). Dari satu siklus gempa bumi ( earthquake cycle), potensi gempa bumi di suatu daerah dapat diketahui. Hal ini akan membantu meningkatkan proses mitigasi, minimal saat terjadi kembali gempa bumi susulan dalam selang beberapa waktu selanjutnya. Siklus gempa bumi tidak sepenuhnya berjalan sesuai dengan perhitungan, hal ini dipengaruhi oleh sifat fisis dari struktur di dalam permukaan bumi, dan kompleksitas kejadian gempa bumi itu sendiri (Scolz , 2004). Bentuk analisis tahapan gempa bumi dilakukan dengan cara melihat dan meneliti fenomena-fenomena yang menyertai tahapan gempa bumi seperti deformasi, seismisitas, informasi pengukuran geofisika (reseistivitas elektik, pengamatan muka, dan temperatur air tanah), penelitian stratigrafi batuan atau terumbu karang, dan lain-lain [ Mori (2004), Vigny (2004; 2005), Ando (2005), Natawidjaja (2004)]. Belum ditemukan teknologi yang mampu dengan tepat menentukan kapan, di mana, dan berapa besar kekuatan gempa bumi akan terjadi. Sampai sekarang manusia terus berusaha mempelajari perilaku gempa untuk mengetahui siklus gempa bumi sehingga potensi kejadiannya di suatu daerah dapat diketahui sebagai nilai tambah dalam upaya mitigasi atau kerekayasaan. Peluang terjadinya gempa sesuai dengan siklus gempa tidak selalu tepat sesuai dengan perhitungan model yang dibuat. Minimal saat telah mencapai interval waktu perulangannya, upaya mitigasi mulai ditingkatkan untuk mereduksi implikasi-implikasi negatif yang diakibatkan dari kejadian gempa bumi. Saat ini cara yang sederhana untuk memahami kejadian gempa adalah dengan mempelajari tahapan mekanisme gempa. Tahapan mekanisme gempa terjadi dalam satu siklus, yaitu interseismic, preseismic, coseismic, postseismic, dan slow slip event (Andreas, 2005). Tahap interseismic adalah tahap awal dari suatu siklus gempa bumi. Pada tahap ini, energi dari dalam bumi menggerakkan lempeng, dan energi mulai terakumulasi di bagian-bagian lempeng tempat biasanya terjadi gempa bumi (batas antar lempeng dan patahan). Sesaat sebelum gempa bumi terjadi dinamakan tahap preseismic. Ketika terjadinya gempa bumi utama dinamakan tahapan coseismic. Saat sisa-sisa energi gempa terlepas secara perlahan dan terjadi dalam kurun waktu yang lama hingga kondisi kembali ke tahap kesetimbangan baru dinamakan tahap postseismic. Tahap ini menghasilkan deformasi secara permanen mencapai ukuran kurang dari satu meter atau bahkan lebih dari satu meter saat terjadi gempa besar. Tahap ini dapat berlanjut selama periode mingguan, bulanan, dan tahunan. Slow slip event atau lebih dikenal 85
dengan istilah silent earthquake merupakan fenomena pergerakan atau slip pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi. Gempa bumi ini terjadi dalam waktu yang amat lambat, beberapa hari hingga beberapa minggu. Dikenal istilah yang biasa dipakai dalam kegempaaan yaitu mainshock dan aftershock . Aftershock adalah gempa bumi susulan yang mengikuti guncangan gempa bumi terbesar (utama) dari rangkaian gempa bumi. Gempa bumi ini lebih kecil dari gempa utama (mainshock ) dan terjadi di sepanjang rupture (robekan) dari gempa utama (mainshock ). Umumnya, semakin besar gempa utama, makin besar dan makin banyak gempa susulan. Saat terjadi gempa tektonik dangkal (kirakira <100 km), maka akan selalu diikuti oleh terjadinya dislokasi. Dislokasi ini mengganggu keseimbangan medium sekelilingnya. Gempa susulan (aftershock ) merupakan proses stabilisasi medan stress ke keseimbangan yang baru setelah pelepasan energi atau stress drop yang besar pada gempa utama, sehingga dengan sendirinya akan muncul gempa-gempa lain yang merupakan proses pembentukan keseimbangan baru. Gempa Bumi di Indonesia
Indonesia secara tataan geologis terletak pada pertemuan tiga lempeng yaitu Lempeng Australia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Dinamika lempeng-lempeng tersebut membentuk zona subduksi dan zona patahan yang merupakan zona sumber gempa bumi. Pada dasarnya sebaran sumber gempa bumi terdapat hampir di seluruh wilayah Kepulauan Indonesia, baik dalam skala kecil hingga skala besar yang merusak. Hanya di Pulau Kalimantan sumber gempa bumi tidak ditemukan, walaupun masih terdapat goncangan yang berasal dari sumber gempa bumi yang berada di wilayah Laut Jawa dan selat Makassar. Gambar 1.48 menunjukkan sebaran gempa bumi yang terjadi di Indonesia.
Gambar 1.48 Sebaran Gempa Bumi di Indonesia.
Indonesia yang merupakan wilayah rawan gempa dan memiliki beberapa jenis gempa bumi, antara lain: 86
a. Gempa tektonik Gempa yang disebabkan oleh adanya tumbukan atau pergeseran lempengan tektonik. Apabila pergeseran lempeng benua dan lempeng samudera terjadi di lautan dengan gempa yang besar namun kedalaman yang dangkal maka dapat menimbulkan tsunami. b. Gempa vulkanik Gempa yang disebabkan oleh aktivitas gunung api yang ditandai dengan naiknya magma karena mendapat tekanan dari dalam tanah akibat pergeseran lempeng tektonik. c. Gempa runtuhan Gempa yang disebabkan karena runtuhnya gua, biasa terjadi di daerah kapur dan daerah pertambangan. Ada beberapa persamaan antara gempa tektonik dan gempa vulkanik. Mekanisme terjadinya gempa vulkanik disebabkan oleh naiknya magma ke permukaan yang diakibatkan oleh pergeseran lempeng yang memaksa aktivitas magma naik. Sama halnya dengan terjadinya gempa bumi tektonik yang disebabkan oleh pergeseran lempeng. Zona subduksi di Sumatera tercatat sebagai zona subduksi aktif di Indonesia.
A
B
Gambar 1.49 Subduksi di Pulau Sumatera (Mubyarto, 2008)
87
Desakan Lempeng Samudera Indo-Australia ini ikut menyeret lempeng benua melesak ke dalam, sehingga pulau-pulau (Kepulauan Mentawai) yang melekat di atasnya ikut terseret ke bawah dan mendekati Sumatera ke arah timur laut (Gambar 1.49A). Selama puluhan sampai ratusan tahun, tekanan Lempeng Samudera Indo-Australia ini akan terus meningkat sampai melampaui kekuatan batuan, sehingga batuan di bawah pulau-pulau akan pecah dan bergeser secara tiba-tiba, dan terjadilah gempa bumi. Sebagai gambaran, batuan di bawah pulau-pulau ini berlaku seperti pegas yang ditekan perlahanlahan. Ketika kekuatan batuan sudah terlampaui sehingga pecah, maka tekanan itu dilepaskan secara tiba-tiba dan pulau-pulau akan melentur balik ke arah atas dan barat daya, bagai pegas, lalu menimbulkan gempa bumi besar (Gambar 1.49B). Pelentingan tubuh batuan yang terjadi di bawah pulau-pulau akan menggerakkan air laut. Saat pulau-pulau terangkat, air laut menyusut menjauhi pantai seperti yang disaksikan di beberapa lokasi pinggir laut. Kemudian kembali lagi menjadi gelombang besar yang dikenal dengan sebutan tsunami. Tsunami bisa setinggi beberapa sentimeter, namun dapat juga setinggi puluhan meter. Bagaimana Parameter Terjadinya Gempa Bumi? a. Waktu Terjadinya Gempa (Origin Time)
Saat terjadi gempa bumi, terbawa energi yang dirambatkan baik pada permukaan bumi maupun di dalam permukaan bumi. Pada saat gelombang P merambat terlebih dahulu pada satuan waktu itulah yang disebut dengan waktu terjadinya gempa, yang kemudian disusul oleh gelombang S. b. Sumber Gempa Bumi
Sumber dari gempa bumi adalah suatu titik yang menjadi pusat terjadinya gempa bumi. Hiposenter adalah lokasi fisik dari sumber gempa yang diberikan dalam longitude, latitude dan kedalaman di bawah permukaan. Hiposenter dapat ditentukan bersamaan dengan waktu awal gempa yang ditentukan oleh waktu datangnya gempa pada gempa pertama. Proyeksi dari hiposenter terhadap permukaan bumi yang dinyatakan dalam latitude dan longitude merupakan episenter. Dalam menentukan episenter harus diketahui pula travel time gempa bumi. Travel time adalah waktu yang dibutuhkan gelombang P dan S untuk sampai ke sumber gempa (episenter). Hiposenter dipengaruhi oleh letak geografis dan kedalamannya sementara episenter hanya dipengaruhi oleh letak geografis permukaan. Kuat lemahnya gempa bumi yang terjadi dipengaruhi oleh kedalaman pusat gempa (hiposenter). Ada beberapa kriteria gempa bumi yang dipengaruhi oleh kedalaman sumber gempa. Pada kedalaman (0-70 km) akan terjadi gempa bumi dangkal, sedangkan pada kedalaman (70-300 km) terjadi gempa bumi menengah, dan pada kedalaman lebih dari 300 km akan terjadi gempa bumi dalam. 88
Gambar 1.50 Lokasi hiposenter dan episenter (G.H. Girty, 2009).
c. Kekuatan Gempa Bumi
Mekanisme dalam mempelajari gempa bumi, salah satunya berhubungan dengan ukuran kekuatan gempa bumi atau yang disebut magnitudo Gempa Bumi. Magnitudo merupakan salah satu parameter yang digunakan untuk mengambil tindakan setelah terjadi gempa bumi. Magnitudo didefinisikan sebagai suatu besaran skala yang merepresentasikan besarnya kekuatan atau energi seismik yang dilepaskan oleh sebuah gempa (Sukanta, 2010). Besar nilai magnitudo ditentukan oleh besar kecilnya amplitudo gelombang gempa bumi. Skala magnitudo suatu gempa dapat dinyatakan dengan Skala Ritcher (SR) . Untuk dapat menentukan besar magnitudo dengan tepat, harus diperoleh besar nilai amplitudo maksimum dan jarak episenter pada permukaan bumi. Magnitudo sangat penting untuk pengklasifikasian kunatitatif dan penanganan statistik kejadian gempa untuk menaksir aktifitas dan bencana seismik. Bentuk umum dari skala magnitudo didasarkan pada amplitudo perpindahan tanah dan periode, persamaan dapat dituliskan : (1.30) s h dengan: M = Magnitudo A = Amplitudo gerakan gelombang seismik ( mm) T = Periode gelombang (s) = jarak pusat gempa atau episenter h = kedalaman gempa (km) Cs, CR = faktor koreksi yang bergantung pada kondisi lokal dan regional daerah Ada beberapa jenis magnitudo yang dikembangkan oleh para ahli, antara lain adalah: 1) Magnitudo Lokal (ML) Magnitudo lokal dikembangkan oleh Ricther, bahwa deskripsi gempa haruslah objektif. Ia mengobservasi bahwa logaritmik gerakan tanah maksimum (amplitudo maksimum komponen horisontal) meluruh terhadap jarak sepanjang suatu kurva, kurva tersebut paralel dengan semua gempa (Afnimar, 2009). Kedalaman gempa-gempa pada magnitudo lokal dengan jarak episenter 30 sampai 600 km. (1.31)
M = log + ( , ) + C + C
=log− 2.48+2.78 log
89
dengan A = Amplitudo displacement (10-6 m) = jarak (km) 2) Magnitudo gelombang permukaan (Ms) Skala magnitudo gelombang permukaan diperoleh dari hasil pengukuran gelombang permukaan. Pada magnitudo gelombang permukaan terjadi pada episenter dengan kedalaman lebih dari 600 km, seismogram perioda panjang dari gempa dangkal didominasi oleh gelombang permukaan, dengan amplitudo dipengaruhi oleh kedalaman gempa bumi dan biasanya memerlukan perioda 20 s. Amplitudo gelombang permukaan sangat bergantung pada jarak episenter () dan kedalaman sumber gempa bumi (h). Magnitudo ini dihitung dengan formula : (1.32) dengan A20=amplitudo gelombang permukaan berperioda 20 s (10-6 m) = jarak (km) 3) Magnitudo gelombang badan (M B) Magnitudo yang didasarkan pada amplitudo gelombang badan (gelombang P dan S). Magnitudo ini digunakan untuk gempa bumi jauh baik dangkal maupun yang dalam. Magnitudo ini didefinisikan berdasar pada amplitudo gelompang P yang merambat melalui bagian dalam bumi. Magnitudo ini dihitung dengan formula: (1.33) dengan A = amplitudo (10-6 m) T = periode (s) Q( h, ) = koreksi jarak dan kedalaman h hasil pendekatan empiris 4) Momen Magnitudo (Mw) Berdasarkan Teori Elastik Rebound diperkenalkan istilah momen seismik. Momen seismik dapat diestimasi pergeseran bidang sesar yang direkam oleh seismograf (Sukanta, 2010). Momen seismik digunakan untuk mengukur kekuatan gempa bumi akibat pergeseran sesar. Momen seismik dapat dirumuskan: m (1.34) dengan Mo = momen seismik (Nm) m = rigiditas atau modulus geser medium D = slip / pergeseran rata-rata pada suatu daerah dengan luas A A = luas slip bidang sesar Momen magnitudo hampir sama dengan magnitudo permukaan untuk gempa-gempa kecil. Momen magnitudo menyatakan jumlah energi gempa yang lebih akurat daripada magnitudo badan dan magnitudo permukaan. Maka dari itu, momen magnitudo lebih sering digunakan dari magnitudo lainnya. Momen magnitudo dapat dituliskan dengan formula: (1.35)
= log + 1.66 log +2.0
= log +(ℎ, )
=
= 23 log(−9.1)
90
d. Intensitas Gempa Bumi
Intensitas gempa bumi berbeda dengan magnitudo gempa. Intensitas gempa bukan merupakan parameter gempa melainkan ukuran kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi berdasarkan hasil pengamatan dari gempa bumi itu sendiri ataupun dari bangunan yang rusak. Besar intensitas gempa bergantung pada besar magnitudo, periode gelombang, dan jarak ke episenter. Gelombang Seismik
Gelombang seismik merupakan rambatan yang disebabkan adanya ganguan di dalam kerak bumi, misalnya patahan atau adanya ledakan (Sukanta, 2010). Efek dari gelombang seismik merupakan fenomena gempa bumi. Gempa bumi terjadi dengan melakukan pelepasan energi, Energi tersebut akan merambat ke permukaan bumi. Begitu juga dengan getaran yang ditimbulkan oleh gempa bumi yang merambat menjauhi titik pusat gempa, getaran yang terasa merupakan gelombang-gelombang. Gelombang-gelombang pada gempa bumi dibedakan menjadi gelombang badan (body wave) dan gelombang permukaan ( surface wave). a. Gelombang Badan (Body Wave)
Gelombang badan adalah gelombang yang terjadi saat terjadinya gempa di dalam bumi atau di bawah permukaan bumi yang menjalar ke seluruh bagian bumi. Gelombang badan di bedakan menjadi gelombang Primer dan gelombang sekunder. Gelombang primer adalah gelombang longitudinal yang arah partikelnya sejajar dengan arah rambatnya. Gelombang primer memiliki kecepatan rambat yang lebih tinggi daripada gelombang-gelombang lainnya. Pada saat terjadi gempa, gelombang primer akan tiba pertama kali pada alat pengukur seismik.
Gambar 1.51 Gelombang Primer (G.H.Girty, 2009).
Kecepatan gelombang-P bergantung pada medium penjalarannya,
= l
m
r
(1.36)
Gelombang sekunder adalah gelombang transversal yang arah partikelnya tegak lurus dengan arah rambatnya. Gelombang sekunder tiba setelah gelombang primer. Gelombang sekunder terdiri dari gelombang SH, yaitu dimana arah partikelnya horisontal dan gelombang SV, dengan arah partikel vertikal.
91
Gambar 1.52 Gelombang Sekunder (G.H.Girty:2009).
Kecepatan gelombang-S sebesar,
= m
r
(1.37)
b. Gelombang Permukaan (Surface Wave)
Gelombang permukaan merupakan gelombang yang penjalarannya sepanjang permukaan bumi. Gelombang permukaan dibedakan menjadi gelombang Reyleigh dan gelombang Love. Gelombang Reyleigh menjalar hanya pada bidang yang padat, dimana pergerakannya vertikal menjauhi arah penjalarannya. Pergerakannya membentuk seperti gelombang laut. Kecepatan gelombang Reyleigh lebih rendah daripada jenis gelombang yang lainnya.
Gambar 1.53 Gelombang Reyleigh (G.H.Girty, 2009).
Sedangkan gelombang Love adalah gelombang yang teramati jika ada lapisan kecepatan rendah menutupi lapisan kecepatan tinggi. Amplitudo besar saat di permukaan namun akan mengecil di kedalaman. Gelombang ini tidak dapat secara bersamaan namun bergantung pada periodenya, semakin besar periodenya maka gelombang tersebut akan datang lebih dahulu.
Gambar 1.54 Gelombang Love (G.H.Girty, 2009).
92
Penentuan Parameter Gempa Bumi
Parameter sumber gempa dapat digunakan untuk menginterpretasikan dampak yang diakibatkan oleh gempa tersebut (Madlazim dan Santosa, 2010). Dalam menentukan parameter gempa seperti waktu gempa, episenter dan hiposenter, magnitudo dan intensitas, seperti dalam menentukan waktu gempa (origin time), digunakan data waktu tiba gelombang P dan travel time gelombang P dan S. Untuk menentukan episenter dan hiposenter dibutuhkan koordinat stasiun pengamat, model struktur kecepatan realistis yang mengkarakterisasi area jaringan stasiun pengamatan dan setidaknya di butuhkan 4 data waktu tiba gelombang P dan S (Tp dan Ts). Walaupun demikian, penggunaan data waktu tiba gelombang P saja bukan merupakan masalah jika gempa terjadi dalam area jaringan stasiun pengamat (Sari, Suaidi, dan Nasikhudin, 2013). Ada banyak metode yang digunakan dalam menentukan posisi episenter dan hiposenter seperti metode lingkaran, metode lokus, metode wadati, metode stereometri, dan metode bola. Namun ada pula metode yang digunakan untuk menentukan hiposenter melalui pengolahan data dengan hypoinverse, menggunakan alat manual dari Geofon-IA dan IRIS DMC permanen (Madlazim dan Santosa, 2010) Magnitudo dapat dihitung dari catatan alat atau dapat pula menggunakan perhitungan melalui perumusan yang sudah ditentukan. Sedangkan intensitas dapat dihitung berdasarkan pengamatan secara langsung terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Didasarkan atas akibat langsung dari getaran gempa bumi, intensitas dapat menggambarkan harga kekuatan pada pusat gempa, sehingga besar intensitas di setiap tempat berbeda (Suharno, 2006) Metode Lokasi Gempa Bumi
Lokasi gempa didefinisikan oleh tiga koordinat ruang dan waktu terjadinya gempa (Afnimar, 2009). Dalam mengetahui lokasi terjadinya gempa bumi harus diketahui pusat gempa bumi (hiposenter dan episenter) dan waktu tempuh gempa. Baik episenter ataupun waktu tempuh dapat ditentukan menggunakan metode grafis dan metode inversi. a. Metode Grafis
Dalam metode grafis digunakan diagram wadati untuk mengukur waktu terjadinya gempa. Beda waktu tiba gelombang S dan P diplot terhadap waktu tiba gelombang P. Karena di hiposenter akan nol, maka titik potong garis lurus dalam diagram wadati dengan sumbu adalah pendekatan waktu terjadinya gempa ( (Afnimar, 2009). Setelah dapat diketahui origin time gempa bumi, maka dapat dilakukan perhitungan untuk mendapatkan jarak episenter dari setiap stasiun.
− −
)
93
Gambar 1.55 Metode Wadati dalam penentuan waktu terjadinya gempa bumi (Afnimar, 2009).
= −
(1.38) Titik episenter harus terletak di atas suatu setengah bola bawah yang beradius Karena episenter yang di dapatkan dari perhitungan tersebut hanya mengaju pada satu stasiun saja, maka dilanjutkan dengan menggunakan metode lingkaran. Yaitu dengan menggunakan tiga stasiun yang nantinya akan di ketahui jarak episenter dari setiap stasiun. Selanjutnya titik episenter sesungguhnya merupakan perpotongan dari garis-garis yang dibentuk oleh ketiga stasiun. a
.
Gambar 1.56 Metode lingkaran menentukan episenter (interpreting_graph.pdf).
b. Metode Inversi
Metode inversi merupakan metode sebagai kesatuan teknik baik matematika ataupun statistika untuk memperoleh informasi yang berguna mengenai suatu sistem Fisika berdasarkan observasi terhadap sistem tersebut (Menke, 1984; Grandis, 2009). Metode inversi merupakan kebalikan dari metode ke depan ( forward modeling ). Metode inversi digunakan untuk mendapatkan parameter model yang berasal langsung dari data yang diperoleh melalui metodelogi spesifik. Metode inversi disebut juga dengan data fitting , karena pada prosesnya di tentukan parameter model melalui data pengamatan. Metode inversi hanya dapat digunakan apabila parameter model dan data pengamatan sudah diketahui. Ada 3 komponen yang mempengaruhi metode inversi: 1) data perjalanan gelombang dari saat dilepas hingga ditangkap oleh seismograf (travel time), 2) quantitative model yaitu persamaan atau rumus yang digunakan, 3) data dan quantitative model untuk menerapkan parametermodel hiposenter.
94
Sedangkan pemodelan ke depan ( forward modelling ) sendiri digunakan untuk mendapatkan data dari parameter model yang digunakan melalui perhitungan teoritik. Perhitungan teoritik yang digunakan disesuaikan dengan turunan dari konsep Fisika yang digunakan. Untuk memperoleh kesesuaian data teoritis dengan data lapangan dapat dilakukan proses coba-coba. Karena pada metode ke depan dilakukan dengan proses coba-coba, maka data pengamatan dan parameter model harus benar-benar diprakirakan dengan baik agar hasil dari responnya mendekati data. Metode pemodelan ke depan memang kurang efektif karena membutuhkan waktu yang cukup lama dan ketelitian lebih dibandingkan metode inversi. Namun, metode ke depan akan lebih efektif jika data pengamatan mengandung noise yang cukup besar. Karena ketika terjadi keadaan tersebut, hasil yang diperoleh melalui metode inversi ternyata kurang layak (Grandis, 2009).
1.7.3 Tsunami
Tsunami adalah gelombang air besar yang terjadi ketika bagian dasar laut bergerak karena erupsi gunung api, longsor di bawah laut, atau gempa bumi di bawah laut. Tsunami tidak dapat terlihat saat melintasi lautan, tetapi dapat muncul menguat secara dramatis setelah mencapai pantai. Tsunami merupakan perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau hantaman meteor di laut (wikipedia.org). Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Energi gelombang tsunami bernilai tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Ketinggian gelombang di laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang tsunami bisa mencapai puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena tsunami bisa diakibatkan oleh hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami. Beberapa kondisi meteorologis seperti badai tropis dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut sebagai meteor tsunami yang ketinggiannya beberapa meter di atas gelombang laut normal. Ketika badai tropis mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, walaupun sebenarnya bukan tsunami. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008.
95
Proses Terjadinya Tsunami
Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air , seperti letusan gunung api, gempa bumi, longsor, maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau (wikipedia.org). Gerakan vertikal pada kerak bumi dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan gangguan kesetimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadi aliran energi air laut saat sampai di pantai sehingga menjadi gelombang besar dan mengakibatkan tsunami. Kecepatan gelombang tsunami bergantung pada kedalaman laut tempat gelombang terjadi, kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Saat tsunami mencapai pantai, kecepatan akan berkurang lebih dari 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut, tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter. Namun saat mencapai pantai, tinggi gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan massa air. Saat mencapai pantai, tsunami akan merayap masuk daratan yang jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus meter bahkan bisa beberapa kilometer. Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi. Gempa bumi juga banyak terjadi di daerah subduksi tempat lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.
Gambar 1.57 Skema terjadinya tsunami ( http://id.wikipedia.org/wiki/Tsunami).
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi sehingga dasar laut naik-turun secara tiba-tiba dan keseimbangan air laut terganggu. Demikian pula dengan benda kosmis atau meteor yang 96
jatuh dari atas. Jika ukuran meteor cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter. Gempa yang menyebabkan tsunami: a. gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 - 30 km), b. gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter, c. gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun. Sistem Peringatan Dini
Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawaii, mempunyai sistem peringatan tsunami dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui perangkat yang ada di dasar atau permukaan laut yang terhubung dengan satelit. Perekam tekanan di dasar laut bersama-sama denganperangkat yang mengapung di laut buoy, dapat digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam. Sistem sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan awal akan terjadinya tsunami pernah dicoba di Hawaii pada tahun 1920an. Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960. Amerika serikat membuat Pasific Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan peringatan internasional pada tahun 1965. Hingga kini, ilmu tentang tsunami sudah cukup berkembang, meskipun proses terjadinya masih banyak yang belum diketahui dengan pasti. Episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian tsunami dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami yang baik telah berhasil memperkirakan tinggi gelombang tsunami di daerah sumber, kecepatan penjalaran dan waktu sampai di pantai, tinggi tsunami di pantai, dan jarak rendaman yang mungkin terjadi di daratan. Walaupun demikian, karena faktor alamiah seperti kompleksitas topografi dan batimetri sekitar pantai serta adanya corak ragam tutupan lahan (baik tumbuhan, bangunan, dll), perkiraan waktu kedatangan tsunami, ketinggian, dan jarak rendaman tsunami masih belum bisa dimodelkan secara akurat. Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia
Pemerintah Indonesia telah mengembangkan Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia ( Indonesian Tsunami Early Warning SystemInaTEWS). Sistem ini berpusat pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG mengirimkan peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi tsunami. Harapannya, sistem ini akan dapat mengeluarkan 3 tingkat peringatan, sesuai dengan hasil perhitungan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (Decision Support System-DSS). Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami ini melibatkan banyak pihak, baik instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah,
97
lembaga internasional, lembaga non-pemerintah. Koordinator dari pihak Indonesia adalah Kementrian Negara Riset dan Teknologi (RISTEK). Sedangkan instansi yang ditunjuk dan bertanggung jawab untuk mengeluarkan info gempa dan peringatan tsunami adalah BMKG. Sistem ini didesain untuk dapat mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu paling lama 5 menit setelah gempa terjadi. Sistem peringatan dini memiliki 4 komponen, yaitu: (1) pengetahuan mengenai bahaya dan resiko, peramalan, peringatan, dan reaksi; (2) observasi (monitoring gempa dan permukaan laut); dan (3) integrasi dan diseminasi informasi; (4) kesiapsiagaan. Sistem peringatan dini tsunami merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan banyak pihak secara internasional, regional, nasional, dan daerah yang bermuara di masyarakat. Saat terjadi suatu gempa, kejadian tersebut dicatat oleh seismograf (alat pencatat gempa). Informasi gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta. Selanjutnya BMKG akan mengeluarkan info gempa yang disampaikan melalui peralatan teknis secara simultan. Data gempa dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan potensi tsunami yang disebabkan oleh gempa tersebut. Perhitungan dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu. Selanjutnya, BMKG dapat mengeluarkan info peringatan tsunami. Data gempa akan diintegrasikan dengan data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS, BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan konfirmasi bentuk gelombang, gelombang tsunami atau bukan. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG. BMKG menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara (meliputi pemerintah daerah dan media). Institusi perantara inilah yang meneruskan informasi peringatan kepada masyarakat. BMKG juga menyampaikan info peringatan melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam database BMKG. Cara penyampaian Info Gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS, facsimile, telepon, email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai fasilitas RDS/Radio Data System) dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id). Pengalaman kejadian di lapangan membuktikan bahwa meskipun banyak peralatan canggih yang digunakan, tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah radio. Alat lain yang juga dikenal ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk yang dikelola oleh organisasi RAPI (Radio Antar Penduduk Indonesia). Kinerja peringatan dini tsunami ditentukan oleh kecepatan dan keakuratan informasi parameter gempa bumi sebagai penyebab tsunami. Sedangkan pemodelan sumber gempa bumi yang merupakan penyebab tsunami menjadi penting karena obyek sumber gempa bumi terletak puluhan bahkan ratusan kilometer di bawah permukaan air laut. Sampai saat ini belum ada instrumen yang mampu mendeteksi dan sekaligus mengukur parameter sumber gempa bumi secara langsung (Madlazim, 2013).
98
Berdasarkan observasi telah diketahui bahwa sejak tahun 1629 sampai tahun 2012 telah terjadi sekitar 172 tsunami di Indonesia. Potensi tsunami terdapat di 233 kabupaten/kota dengan penduduk sekitar 5 juta jiwa berada pada daerah rawan tsunami di Indonesia. Potensi tsunami di daerah-daerah tersebut pada masa-masa yang akan datang akan terus berpeluang besar untuk terjadi karena sumber gempa bumi yang berupa zona subduksi, intra-plate, erupsi gunung berapi di laut, dan tsunami dari luar wilayah Indonesia masih aktif. Dalam konteks kemandirian bangsa menghadapi potensi bahaya tsunami inilah, maka perlu ditingkatkan kinerja sistem peringatan dini tsunami untuk meminimalkan resiko bencana. Beberapa lembaga dunia yang mengelola peringatan dini tsunami seperti Japan Meteorology Agency, dan West Coast and Alaska, Pasific Tsunami Warning Centres dan the Indonesian Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) mengidentifikasi parameter magnitudo dan lokasi pusat sumber gempa bumi untuk indikator apakah gempa bumi tersebut berpotensi tsunami atau tidak. Ini berarti peringatan dini tsunami tersebut menggunakan Model Faulting Seismik. Berdasarkan sejarah kegempaan di Indonesia, setidaknya terdapat 17 gempa bumi dengan magnitudo lebih besar 7 telah menunjukkan bahwa walaupun kriteria tsunami tersebut sudah terpenuhi, tetapi ternyata tidak semua gempa bumi tersebut menimbulkan tsunami. Bahkan beberapa gempa bumi dengan magnitudo kurang dari 7 ternyata bisa menimbulkan tsunami. Peringatan dini tsunami pernah dikeluarkan untuk gempa bumi tanggal 25 Oktober 2010 yang terjadi di Mentawai setelah 5 menit setelah gempa bumi terjadi, tetapi satu jam kemudian peringatan dini tersebut diakhiri. Padahal, sekitar 423 warga Kepulauan Mentawai sebenarnya tengah bergelut dengan maut karena ombak tsunami. Sebelumnya, gempa bumi yang terjadi di dekat pantai Sumatra Utara tanggal 6 April 2010 dengan magnitudo, lolasi dan kedalaman yang hampir sama dengan gempa bumi yang terjadi 25 Oktober 2010 tersebut, tetapi gempa bumi yang satu tidak menimbulkan tsunami, sedangkan gempa bumi lainnya menimbulkan tsunami. Ketidakpastian yang tinggi pada peringatan dini tsunami yang menggunakan Model Faulting Seismik dalam rentang sekitar 5 menit pertama setelah gempa bumi ini harus diupayakan untuk dikurangi, sehingga pengambilan keputusan terjadi tsunami atau tidak, secepatnya bisa diumumkan kepada masyarakat luas dengan keakuratan yang lebih baik. Keakuratan Ina-TEWS masih kurang dari 60%. Dari 14 peringatan dini tsunami yang pernah dikeluarkan sejak tahun 2008, 8 peringatan dini tsunami yang benar-benar terjadi tsunami sebagaimana yang dirilis Majalah nasional, Tempo pada tanggal 3 Maret 2013 dan Koran Tempo pada tanggal 3 Maret 2013. Penerapan Model Faulting Seismik sebagai indikator peringatan dini gempa bumi sudah cukup akurat, tetapi sebagai peringatan dini tsunami masih perlu dievaluasi (Madlazim, 2013). Ada dua model faulting, yaitu model faulting seismik dan model faulting tsunami. Model faulting seismik selama ini telah digunakan untuk indikator peringatan dini tsunami. Sedangkan model faulting
99
tsunami telah dicetuskan oleh Satake pada tahun 1994. Pada mulanya Satake berpendapat bahwa model faulting tsunami bisa direpresentasikan oleh durasi rupture dan periode dominan. Perkalian antara durasi rupture dan periode dominan digunakan sebagai indikator peringatan dini tsunami. Tetapi dalam implementasinya, komputasi durasi rupture dan periode dominan dalam waktu singkat masih menjadi tantangan. Pada tahun 2011 Lomax dan Michelini mengusulkan konsep durasi exceeds 50 detik dengan komputasi yang lebih cepat, sehingga sangat mungkin untuk indikator peringatan dini tsunami. Hanya saja konsep ini baru akurat untuk even gempa bumi teleseismik untuk model bumi global. Sedangkan konsep durasi exceeds 50 detik yang berbasis model faulting tsunami hasil penelitian kami ini bisa diterapkan untuk even lokal yang sesuai dengan kondisi di Indonesia (Madlazim, 2013). Model faulting tsunami untuk even lokal meliputi tiga besaran Fisika yang diukur secara simultan, yaitu durasi rupture, periode dominan, dan durasi exceeds 50 detik dari gelombang primer. Ketiga besaran ini dapat menggambarkan potensi tsunami dari suatu gempa bumi. Joko Tingkir versi 1.11, Software Pendeteksi Tsunami
Upaya peningkatan kinerja peringatan dini tsunami yang berbasis model faulting tsunami dilakukan melalui beberapa tahap. Pertama, mengkonstruksi model kecepatan lokal daerah-daerah di Indonesia yang rawan terhadap ancaman tsunami. Kedua, menuliskan program komputer dengan bahasa C dan mengimplementasikan algoritma model faulting tsunami ke dalam software SeisGram2K60. Ketiga, metode dan program hasil riset tersebut dituangkan dalam program komputer yang berbasis LINUX dan diberi nama software Joko Tingkir versi 1.11 . Keempat, menerapkan software Joko Tingkir versi 1.11 menggunakan seismogram gempa bumi lokal di Indonesia untuk mengestimasi parameter durasi rupture, periode dominan, dan durasi exceeds 50 detik dari gelombang P serta perkaliannya secara simultan. Selanjutnya, menguji kelayakan penggunaan output sebagai indikator pengambilan keputusan apakah suatu gempa bumi menimbulkan tsunami atau tidak. Hasil eksperimen telah membuktikan bahwa kinerja peringatan dini tsunami yang menggunakan model faulting tsunami lebih baik dibandingkan menggunakan model faulting seismik. Software Joko Tingkir versi 1.11 ini telah diujicoba di Puslitbang BMKG Pusat Jakarta diterapkan secara real time di Puslitbang BMKG Pusat Jakarta mulai tahun 2014 untuk mendukung peningkatan kinerja peringatan dini tsunami di Indonesia sebagaimana yang diinformasikan oleh Majalah nasional, Tempo pada tanggal 3 Maret 2013 dan Koran Tempo pada tanggal 3 Maret 2013.
100
Gambar 1.58 Sampel hasil proses real time menggunakan software Joko Tingkir untuk gempa bumi yang terjadi di Irian Jaya pada tanggal 9 Januari 2014 (fisikaunesa.net).
Software Joko
Tingkir hasil karya dosen Fisika FMIPA UNESA ini sejak tahun 2012 telah diujicoba secara offline dan sejak pertengahan 2013 telah diujicoba secara real time di PUSLITBANG BMKG Jakarta. Gambar 1.58 merupakan sampel hasil proses aplikasi real time menggunakan software Joko Tingkir untuk gempa bumi yang terjadi di Irian Jaya pada tanggal 9 Januari 2014. Hasil deteksi suatu gempa bumi berpotensi tsunami atau tidak diperoleh secara cepat dan lebih akurat. 101
Kriteria tsunami yang digunakan oleh Madlazim (pembuat software Joko Tingkir) ini lebih stabil dibandingkan kriteria tsunami yang selama ini dipakai Ina-TEWS yang sudah diinstal di BMKG sejak 2008. Joko Tingkir diterapkan BMKG mulai tahun 2014.
102
Sistem Tata Surya Terdapat banyak sistem dalam jagad raya ini. Salah satu sistem di dalam galaksi Bima Sakti yang kita kenal adalah sistem Tata Surya. Bumi, tempat yang ditempati oleh manusia, merupakan salah satu planet yang berada dalam sistem Tata Surya. Dalam Bab Sistem Tata Surya ini akan mempelajari tentang: 1. Asal Mula Tata Surya, mempelajari tentang teori-teori pembentukan Tata Surya. 2. Anggota Sistem Tata Surya, mempelajari tentang-benda-benda angkasa yang berada di dalam sistem tata surya. 3. Model Skala Sistem Tata Surya, mempelajari tentang sistem Tata Surya dengan model akala yang sebenarnya. 4. Benda-Benda Astronomi Kecil, mempelajari tentang benda-benda astronomi kecil yang ada di dalam sistem Tata Surya. 5. Planet, merupakan salah satu jenis benda angkasa yang ada di dalam sistem Tata Surya. Terdapat 8 planet di dalam sistem Tata Surya ini yang akan dipelajari. 6. Satelit, merupakan benda angkasa yang mengelilingi planet. Satelit alami merupakan benda langit yang terbentuk saat terjadinya sistem Tata Surya yang kemudian beredar mengelilingi planet. Satelit buatan merupakan satelit yang dibuat untuk tujuan tertentu. 7. Medium Antar Planet, merupakan zat perantara antara planet satu dengan planet lainnya.
Ilustrasi di samping menunjukkan salah satu teori pembentukan tata surya, yaitu teori planetesimal.. (Sumber ilustrasi: Seeds, 2007)
103
Halaman ini sengaja dikosongi
104
Bab II Sistem Tata Surya
TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah melakukan pembelajaran Sistem Tata Surya, mahasiswa dapat memahami topik: 2.1 Asal Mula Tata Surya 2.2 Anggota Sistem Tata Surya 2.3 Model Skala Sistem Tata Surya 2.4 Benda-Benda Astronomi Kecil 2.5 Planet 2.6 Satelit 2.7 Medium Antar Planet
Ilustrasi di atas menunjukkan anggota sistem Tata Surya yang terdiri dari matahari, planet-planet, asteroid, meteor, dan komet. (Sumber ilustrasi: Trefil dan Hazen, 2010)
105
Jagad raya terdiri dari berbagai macam galaksi. Salah satu galaksi yang kita kenal adalah Galaksi Bima Sakti. Galaksi Bima Sakti memiliki beberapa sistem, salah satunya adalah sistem Tata Surya yang di dalamnya ada Bumi yang merupakan planet yang kita tempati. Bab II dalam buku materi ini membahas tentang Sistem Tata Surya. Sistem Tata Surya yang dibahas dalam Bab ini meliputi asal usul Tata Surya, anggota sistem Tata Surya, model skala sistem Tata Surya, benda-benda astronomi kecil, planet, satelit, dan medium antar planet. 2.1 Bagaimana Surya?
Asal
Mula
Terbentuknya
Tata
Tata surya ( solar system) adalah kumpulan benda langit yang terdiri dari matahari (bintang), planet-planet, satelit alam, meteor, asteroid, dan komet yang berputar mengelilingi matahari (berevolusi). Matahari menjadi pusat tata surya karena semua benda langit berputar mengelilingi matahari dengan lintasan berbentuk elips. Dalam setiap revolusinya anggota tata surya pada suatu saat berada dekat dengan matahari. Titik terdekat dengan matahari disebut perihelium dan titik terjauh disebut aphelium. Semua benda langit dalam sistem tata surya berputar mengelilingi matahari karena matahari memiliki gaya gravitasi paling besar. Tata surya dipercaya terbentuk semenjak 4,6 milyar tahun yang lalu dan merupakan hasil penggumpalan gas dan debu di angkasa yang membentuk matahari dan kemudian planet-planet yang mengelilinginya. Tata surya terletak di tepi galaksi Bima Sakti dengan jarak sekitar 2,6 x 1017 km dari pusat galaksi, atau sekitar 25.000 hingga 28.000 tahun cahaya dari pusat galaksi. Tata surya mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti dengan kecepatan 220 km/detik, dan dibutuhkan waktu 225–250 juta tahun untuk untuk sekali mengelilingi pusat galaksi. Dengan umur tata surya yang sekitar 4,6 milyar tahun, berarti tata surya kita telah mengelilingi pusat galaksi sebanyak 20–25 kali dari semenjak terbentuk. Tata surya dikekalkan oleh pengaruh gaya gravitasi matahari dan sistem yang setara tata surya, yang mempunyai garis pusat setahun kecepatan cahaya, ditandai adanya taburan komet yang disebut awan Oort. Selain itu juga terdapat awan Oort berbentuk piring di bagian dalam tata surya yang dikenali sebagai awan Oort dalam. Karena orbit planet yang membujur, jarak dan kedudukan planet berbanding kedudukan matahari berubah mengikut kedudukan planet di orbit. Banyak teori dan hipotesis para ahli tentang asal-usulnya terbentuk tata surya, di antaranya:
106
Teori Nebula
Teori Nebula pertama kali dikemukakan oleh Emanuel Swedenborg (1688-1772) tahun 1734 dan disempurnakan oleh Immanuel Kant (17491827) pada tahun 1775. Kemudian hipotesis ini disempurnakan lagi oleh Pierre Marquis de Laplace pada tahun 1796. Oleh karena itu, hipotesis ini lebih dikenal dengan Hipotesis nebula Kant-Laplace. Pada tahap awal tata surya masih berupa kabut raksasa. Kabut ini terbentuk dari debu, es, dan gas yang disebut nebula. Unsur gas sebagian besar berupa hidrogen. Karena gaya gravitasi yang dimilikinya, kabut itu menyusut dan berputar dengan arah tertentu. Akibatnya, suhu kabut memanas dan akhirnya menjadi bintang raksasa yang disebut matahari. Matahari raksasa terus menyusut dan perputarannya semakin cepat. Selanjutnya cincin-cincin gas dan es terlontar ke sekeliling matahari. Akibat gaya gravitasi, gas-gas tersebut memadat seiring dengan penurunan suhunya dan membentuk planet dalam. Dengan cara yang sama, planet luar juga terbentuk.
Gambar 2.1 Tiga tahap kejadian dalam teori nebula (Seeds, 2007)
Laplace berpendapat bahwa orbit berbentuk hampir melingkar dari planet-planet merupakan konsekuensi dari pembentukan debu, es, dan gas. Teori kabut (Nebula) menceritakan kejadian dalam tiga tahap: a. Matahari dan planet-planet lainnya masih berbentuk gas, kabut yang begitu besar dan pekat. b. Kabut tersebut berputar dan berpilin dengan kuat, di mana pemadatan terjadi di pusat lingkaran kemudian membentuk matahari. Pada saat yang bersamaan materi lainpun terbentuk menjadi massa yang lebih 107
kecil dari matahasi yang disebut sebagai planet, bergerak mengelilingi matahari. c. Materi tersebut tumbuh semakin besar dan terus melakukan gerakan secara teratur mengelilingi matahari dalam satu orbit yang tetap dan membentuk Susunan Keluarga Matahari.
Gambar 2.2 Nebula yang membentuk reruntuhan tata surya mulai memutar dan meratakan ke piringan nebula. Tahapan dalam pembentukan tata surya meliputi: (a) nebula perlahan berputar, (b) piringan nebula diratakan dengan pusat besar, (c) planet dalam proses kelahiran direpresentasikan sebagai konsentrasi massa di nebula, dan (d) tata surya (Trefil dan Hazen, 2010)
Teori Nebula ini berhasil menjelaskan bahwa Tata Surya datar, orbit ellips planet mengelilingi matahari hampir datar. Namun, Teori Nebula ini memiliki kelemahan bahwa massa bahan dalam gelang-gelang tak cukup untuk menghasilkan tarikan gravitasi sehingga memadat menjadi planet. Kelemahan ini dinyatakan oleh James Clerk Maxwell dan Sir James Jeans. Sedangkan F.R. Moulton pun menyatakan bahwa teori kabut (Nebula) tidak memenuhi syarat bahwa yang memiliki momentum sudut paling besar haruslah planet, bukan matahari. Teori kabut menyebutkan bahwa matahari yang memiliki massa terbesar akan memiliki momentum sudut yang paling besar. Beberapa modifikasi teori Nebula telah dilakukan beberapa ilmuwan, diantaranya adalah astronom Jerman C. Von Weizsaeckar. Weizsaeckar memperkenalkan hipotesis nebulanya pada tahun 1940-an. Dia berpendapat bahwa suatu lapisan materi bersifat gas pernah muncul dan keluar sampai jauh sekali dari garis khatulistiwa matahari di jaman purba. Sebagian besar lapisan ini terdiri dari unsur ringan hidrogen dan helium. Akhirnya, tekanan panas dan radiasi matahari menghilangkan sebagian besar hidrogen dan helium serta meninggalkan unsur-unsur yang lebih berat. Unsur-unsur yang lebih berat itu secara bertahap berkumpul dalam suatu deretan konsentris yang berbentuk seperti ginjal. Deretan massa ini menarik bahan-bahan lain yang terdapat di ruang angkasa dan berkembang menjadi planet. Teori Planetesimal
Teori planetesimal pertama kali dikemukakan oleh Thomas C. Chamberlain dan Forest R. Moulton pada tahun 1900. Menurut 108
Chamberlin dan Moulton bahwa matahari telah terbentuk sejak dahulu, ketika matahari dan bintang berpapasan maka terjadi gaya gravitasi atau saling tarik menarik antara matahari dan bintang. Massa matahari sebagian tertarik ke arah bintang dan ketika bintang bergerak menjauh maka sebagian massa matahari akan berhamburan dan membentuk planet planet.
Gambar 2.3 Dua model pembentukan planet. Jika suhu nebula berubah selama pembuatan planet, komposisi planetesimal mungkin telah berubah. Model sederhana di sebelah kiri mengasumsikan tidak ada perubahan terjadi, tetapi model di sebelah kanan menggabungkan perubahan dari logam untuk planetesimal berbatu (Seeds, 2007).
Terdapat dua model pembentukan planet. Model pertama dengan planetesimal yang mengandung batuan dan logam. Planet berkembang 109
secara pelan dari partikel-partikel yang sama. Planet dihasilkan dari komposisi yang sama. Panas dari peluruhan radioaktif menyebabkan perbedaan. Planet yang dihasilkan memiliki inti logam dan memiliki kerak dengan densitas rendah. Model kedua dengan kondisi sebagian besar planetesimal mengandung logam. Perlahan-lahan planetesimal mengandung banyak batuan. Mantel batuan terbentuk di sekitar inti logam. Panas dari pembentukan yang cepat dapat membentuk planet. Planet yang dihasilkan memiliki inti logam dan memiliki kerak dengan densitas rendah. Dalam bentuk sederhana, kisah pertumbuhan protoplanet menganggap bahwa semua planetesimal pembentuk protoplanet memiliki komposisi kimia yang sama. Akumulasi planetesimal secara bertahap untuk membentuk ukuran materi bola planet dengan komposisi yang homogen. Tepi, begitu planet terbentuk, panas mulai menumpuk di bagian dalam yang berasal dari peluruhan unsur-unsur radioaktif berumur pendek, dan panas ini melelehkan planet sehingga memungkinkan untuk membedakan. Pembedaan tersebut merupakan pemisahan bahan menurut densitas. Ketika planetini meleleh, logam berat seperti besi dan nikel menetap ke inti, sedangkan silikat ringan mengapung ke permukaan untuk membentuk kerak dengan densitas rendah. Kisah pembentukan planet dari planetesimal dari komposisi yang sama ini ditunjukkan oleh Gambar 2.3. 2.2 Sistem Tata Surya Beranggotakan Apa Saja?
Di dalam sistem tata surya terdapat berbagai benda-benda angkasa. Benda-benda angkasa yang terdapat dalam sistem tata surya adalah matahari, planet-planet (Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus), asteroid atau disebut juga planetoid, komet (bintang berekor), dan meteor (bintang beralih).
Gambar 2.4 Sistem tata surya terdiri dari matahari, planet-planet, asteroid, komet, dan meteor (wikipedia.org).
Selanjutnya, anggota dalam sistem tata surya tersebut akan dijelaskan lebih rinci dalam penjelasan sebagai berikut: 110
Matahari
1. 2.
Diameter : ± 1,4 juta Km Massa : 1,99 x 10 20 Kg (332.946 x mass bumi) 3. Gravitasi : 28 x lebih kuat daripada gravitasi bumi 4. Suhu : 14.000.000º C (bagian inti) ± 6.000º C (bagian permukaan). Matahari merupakan salah satu bintang di jagad raya, sebagai pusat dari tata surya matahari memiliki ukuran gais tengah 100 kali lebih besar dari bumi, dan 332.946 kali massa bumi. Jika matahari diibaratkan sebagai wadah kosong, maka matahari mampu menampung lebih dari 1 juta bumi. Bumi dengan matahari berjarak rata-rata 149.680.000 kilometer (93.000.000 mil). Matahari mempunyai khatulistiwa dan kutub karena gerak rotasinya. Diameter matahari kira-kira 112 kalinya bumi. Gaya tarik matahari kira-kira 30 kali gaya tarik bumi. Menurut JR Meyer, panas matahari berasal dari batu meteor yang berjatuhan dengan kecepatan tinggi pada permukaan matahari. Sedangkan menurut teori kontraksi H.Helmholz, panas itu berasal dari menyusutnya bola gas. Dr.Bothe menyatakan bahwa panas tersebut berasal dari reaksi-reaksi temonuklir yang juga disebut reaksi hydrogen helium sintesis. Matahari merupakan gas yang terdiri dari hidrogen dan helium yang terdiri dari 3 bagian,yaitu : 1. Bagian Inti Bagian inti matahari terbagi menjadi 3 bagian yaitu : a. Zona inti Diameter zona inti ± 500.000 km, suhu ± 14 juta º C. Pada zona ini terjadi reaksi fusi antara atom-atom Hidrogen menjadi Helium sehingga menghasilkan radiasi dan konveksi panas/cahaya. b. Zona Radioaktif Suhu pada zona ini berkisar antara 2,5 juta º C, proses yang terjadi adalah aliran energi berupa pancaran (radiasi). c. Zona Konveksi Suhu pada zona ini berkisar antara 1,1 juta º C. Pada daerah konveksi terdapat gas-gas yang tidak tembus cahaya (transparan) sehingga energi matahari tidak bisa dilewatkan secara radiasi (pancaran) tetapi yang terjadi adalah energi inti matahari terperangkap dan terjadi pengadukan hebat (konveksi/turbulensi).
111
2.
3.
Bagian Permukaan Matahari Tebal : 320 km Suhu : ± 8.000 º C km Karakteristik bagian permukaan matahari antara lain: a. Bagian permukaan matahari tampak seperti bola putih yang berpijar disebut juga fotosfer atau cakram matahari. b. Bagian permukaan matahar terdapat sunspot atau noda-noda hitam yang bersuhu ± 4.000 º C. Sunspot terdiri dari dua daerah yaitu (1) daerah bayang-bayang yang gelap disebut dengan umbra, (2) daerah hampir bayang-bayang dan berwarna lebih terang disbut dengan penumbra. c. Sunspot merupakan medan magnet yang sangat kuat, satu pasang terdiri dari dari satu noda positif (U) dan negatif (S). Gaya magnet ini menyebabkan aliran konveksi terhalang sehingga suhu sunspot lebih rendah dibanding dengan daerah sekitarnya dan berwarna gelap. d. Sunspot merupakan pusat keaktifan matahari, pada sunspot terdapat kolom gas yang menjulang dan melengkung disebut dengan prominance, serta letupan cahaya yang menyemburkan aliran partikel-partikel bermuatan listrik daro fotosfer yang disebut dengan flare. e. Terdapat obor kecil atau disebut fakula. f. Terdapat granulasi fotosfer yang disebut juga sebagai granula merupakan semburan api yang menggumpal pada lapisan fotosfer kadang-kadang besar dan dahsyat. Bagian Atmosfer Matahari Atmosfer matahari merupakan lapisan matahari paling luar, atmosfer matahari terdiri dari dua lapisan yaitu : a. Lapisan luar/mahkota (korona) Korona tersebar meluas ke angkasa dalam bentuk angin matahari ( solar wind ) dan mencapai orbit bumi. b. Lapisan dalam/bawah (kromosfer ).
Radiasi Matahari
Radiasi matahari merupakan pancaran cahaya yang dilepaskan oleh matahari dalam bentuk gelombang elektromagnetik dan radiasi global. Radiasi global adalah gabungan (penjumlahan) radiasi langsung horizontal, radiasi baur horizontal dan radiasi pantul. Radiasi yang diemisikan oleh matahari dan ruang angkasa yang berhubungan dengan bumi menghasilkan intensitas radiasi matahari yang hampir konstan di luar atmosfer bumi. Sehingga atmosfer mempengaruhi jumlah radiasi matahari yang diterima. Ketika radiasi matahari perjalanan melalui atmosfer, sebagian diserap oleh atmosfer (16%). Beberapa di antaranya tersebar ke ruang (6%). Beberapa di antaranya tercermin oleh awan (28%). Sekitar 47 % dari mencapai permukaan bumi. Radiasi matahari yang mencapai permukaaan bumi melintasi atmosfir akan mengalami hamburan, pantulan dan penyerapan, (dihamburkan, dipantulkan dan diserap disebut juga transmisi atmosfer) sehingga yang sampai di 112
permukaan bumi menjadi berkurang bila dibandingkan dengan di tepi luar atmosfir bumi. Pengaruh hamburan dan penyerapan oleh kandungan atmosfir dinyatakan dengan transmisi atmosfir (Hoesin dan Isril, 1979). Kandungan atmosfir setiap saat berubah, keadaan ini akan menyebabkan hantaran (transmisi) berubah (Hoesin dan Taftazani, 1980). a. Komposisi dan kekuatan radiasi matahari
Spektrum radiasi matahari dekat dengan sebuah benda hitam dengan suhu sekitar 5.800K. Matahari memancarkan radiasinya disebagian besar spektrum elektromagnetik. Meskipun matahari menghasilkan sinar Gamma sebagai hasil dari proses fusi nuklir, foton yang super tinggi memiliki energi yang akan diubah menjadi foton energi yang lebih rendah sebelum mereka mencapai permukaan Matahari dan dipancarkan ke luar angkasa. Akibatnya, Matahari tidak memancarkan sinar gamma. Matahari memancarkan sinar-X, ultraviolet, cahaya tampak, inframerah, dan bahkan gelombang radio. Meskipun korona matahari merupakan sumber ultraviolet ekstrim dan radiasi sinar-X, sinar ini membuat hanya jumlah yang sangat kecil dari output daya dari Sun (lihat spektrum di kanan). Spektrum hampir semua radiasi elektromagnetik matahari mencolok atmosfer bumi membentang kisaran 100 nm sampai sekitar 1 mm. Ini band kekuatan radiasi yang signifikan dapat dibagi menjadi lima daerah dalam rangka peningkatan panjang gelombang: Ultraviolet C atau (UVC) Kisaran, yang mencakup berbagai 100 sampai 280 nm. The ultraviolet merujuk pada fakta bahwa radiasi berada pada frekuensi yang lebih tinggi daripada cahaya violet (dan karenanya, juga tak terlihat oleh mata manusia). Karena penyerapan oleh atmosfer sangat sedikit mencapai permukaan bumi. Ini spektrum radiasi memiliki sifat kuman, dan digunakan dalam lampu kuman. Ultraviolet B atau (UVB) kisaran rentang 280-315 nm. Hal ini juga sangat diserap oleh atmosfer, dan bersama dengan UVC bertanggung jawab atas reaksi fotokimia menyebabkan produksi dari lapisan ozon . Ini secara langsung merusak DNA dan menyebabkan kulit terbakar. Ultraviolet A atau (UVA) mencakup 315-400 nm. Band ini pernah dianggap kurang merusak DNA, dan karenanya digunakan dalam kosmetik tanning matahari buatan (tanning booth dan tanning bed) dan terapi PUVA untuk psoriasis. Namun, UVA kini diketahui menyebabkan kerusakan yang signifikan pada DNA melalui rute tidak langsung (pembentukan radikal bebas dan spesies oksigen reaktif), dan mampu menyebabkan kanker. Kisaran terlihat atau cahaya rentang 380-780 nm. Seperti namanya, itu adalah rentang yang terlihat dengan mata telanjang. Hal ini juga rentang output terkuat dari total spektrum radiasi matahari. Kisaran inframerah yang mencakup 700 nm sampai 106 nm (1 mm). Hal ini bertanggung jawab untuk bagian penting dari radiasi elektromagnetik yang mencapai Bumi. Hal ini juga dibagi menjadi tiga jenis berdasarkan panjang gelombang: Inframerah -A : 700 nm sampai 1.400 nm 113
Inframerah - B : 1.400 nm sampai 3.000 nm Inframerah - C : 3.000 nm sampai 1 mm
b. Karakteristik Radiasi Matahari
Semua proses pertukaran energi antara Bumi dan alam semesta terjadi dengan cara pertukaran radiasi. Bumi dan atmosfer secara tetap menyerap radiasi Matahari dan mengemisikan kembali radiasinya ke angkasa. Setelah selang waktu yang cukup lama maka laju penyerapan (absorpsi) dan laju emisi dapat dianggap sama. Jika hal ini terjadi, dikatakan sistem Bumi-atmosfer berada dalam keseimbangan radiatif dengan Matahari. Pertukaran radiasi memainkan peranan penting dalam sejumlah reaksi kimia di atmosfer Bumi bagian atas. Radiasi adalah sebuah bentuk energi yang dihasilkan osilasi cepat medan elektromagnetik. Radiasi dipancarkan dalam bentuk foton-foton atau paket-paket energi yang mempunyai sifat mirip dengan partikel dan gelombang (dualisme partikel-gelombang). Osilasi dapat ditinjau sebagai penjalaran gelombang dengan periode ruang (panjang gelombang) tertentu. Radiasi dapat menjalar dalam vakum (hampa), semua radiasi menjalar dalam lintasan lurus dengan kecepatan sebesar 3x10 8 m/s (kecepatan cahaya). Panjang gelombang secara unik terkait dengan energi foton, sehingga memungkinkan untuk dapat menghitung fluks energi foton pada panjang gelombang tertentu. Karena radiasi memiliki sifat dualisme yaitu partikel dan gelombang, maka radiasi dapat dipandang sebagai paket-paket diskrit yang disebut kuanta (atau foton untuk bagian spektrum cahaya tampak). Hubungan antara energi foton dengan panjang gelombangnya dinyatakan oleh persamaan berikut: (Tjasyono, 2003; Tjasyono, 2006). (2.1) dengan h adalah konstanta Planck yang nilainya 6,63 x 10 -34 J.s, c adalah kecepatan cahaya dan l adalah panjang gelombang. Persamaan adalah persamaan energi untuk satu buah foton. Persamaan energi untuk satu mol foton didapat dengan cara mengalikan persamaan dengan bilangan Avogadro (A), seperti berikut: (2.2) dimana nilai A adalah 6,023 x 1023 partikel/mol. Apakah yang disebut dengan benda hitam? Setiap benda yang memiliki energi, yaitu yang memiliki tempertur di atas 0K akan mengemisikan radisi. Jika sebuah benda yang memiliki temperatur tertentu mengemisikan semaksimum mungkin jumlah radiasi per satuan luas dalam satuan waktu, maka benda tersebut disebut benda hitam atau radiator sempurna. Benda demikian memiliki nilai emisivitas permukaan (e) sama dengan satu. Gambar 2.5 menunjukkan distribusi spektral energi radiasi benda hitam pada temperatur 6000 K (temperatur permukaan Matahari) dan 300 K (temperatur sistem Bumi-atmosfer). Untuk Matahari, panjang gelombang emisi maksimumnya adalah sekitar 0,48 m m ( » 0,5 mm) yang terletak pada spektrum cahaya tampak, sedangkan untuk sistem
E=
() ( )
E=
114
Bumi-atmosfer, panjang gelombang emisi maksimumnya adalah sekitar 9,66 m m (» 10,0 mm). Oleh karena itu, radiasi Matahari sering disebut radiasi gelombang pendek, dan radiasi Bumi-atmosfer (radiasi terrestrial) sering disebut radiasi gelombang panjang.
Gambar 2.5 Distribusi spektral energi radiasi benda hitam pada T=6000 K dengan sumbu horizontal di bawah dan sumbu vertikal di kiri, dan pada T = 300 K dengan sumbu horizontal di atas dan sumbu vertikal di kanan.
Bagaimanakah komposisi rentang panjang gelombang radiasi Matahari? Hampir 99 persen radiasi Matahari diisi oleh panjang gelombang pendek dari 0,15 sampai 4,0 mm. Dari jumlah ini (99 %), 9 persennya adalah gelombang ultraviolet ( l < 0,4 mm), 45 persennya adalah gelombang cahaya tampak (merah-violet) (0,4 mm £ l £ 0,74 mm), dan 46 persennya adalah gelombang inframerah (l ³ 0,75 mm). Pada tabel 8.2 disajikan panjang gelombang radiasi untuk setiap warna (Tjasyono, 2003; Tjasyono, 2006). Tabel 2.1 panjang gelombang radiasi dan hubungannya dengan warna
Warna Violet Biru gelap Biru cerah Hijau Kuning-Hijau Kuning Oranye Merah
Interval panjang gelombang (mm) 0,390 – 0,455 0,455 – 0,485 0,485 – 0,505 0,505 – 0,550 0,550 – 0,575 0,575 – 0,585 0,585 – 0,620 0,620 – 0,760
Panjang gelombang tipik (mm) 0,430 0,470 0,495 0,530 0,560 0,580 0,600 0,640
115
c. Surya Spectrum dan Surya Konstanta
Distribusi radiasi matahari sebagai fungsi dari panjang gelombang disebut spektrum matahari, yang terdiri dari emisi terus-menerus dengan beberapa baris ditumpangkan struktur. Total output radiasi matahari adalah sekitar setara dengan hitam di 5776 K. Radiasi matahari dalam spektrum tampak dan inframerah cocok erat dengan emisi blackbody pada suhu ini. Namun, ultraviolet (UV) wilayah (<0.4 µm) dari radiasi matahari sangat menyimpang dari daerah tampak dan inframerah dalam hal suhu hitam setara dengan Matahari. Dalam interval 0,1-0,4 µm, suhu radiasi hitam setara matahari umumnya kurang dari 5776 K dengan minimal tentang 4500 K di sekitar 0,16 µm. Penyimpangan terlihat pada spektrum matahari adalah hasil dari emisi dari atmosfer matahari nonisothermal. Konstanta matahari adalah jumlah radiasi matahari yang diterima di luar atmosfer bumi pada permukaan normal radiasi insiden per satuan waktu dan per satuan luas pada jarak rata-rata Bumi dari Matahari. Konstanta matahari adalah nilai penting untuk studi keseimbangan energi global dan iklim. Pengukuran Handal konstan surya dapat bemade hanya dari ruang dan rekor lebih dari 20 tahun telah diperoleh berdasarkan pengamatan satelit tumpang tindih. Analisis data satelit menunjukkan konstanta surya dari 1366 Wm -2 dengan ketidakpastian pengukuran ±3Wm-2. Dari energi radiasi yang dipancarkan dari matahari, sekitar 50% berada di wilayah inframerah (>0,7 µm), sekitar 40% di daerah tampak (0,4-0,7 µm), dan sekitar 10% di wilayah UV (<0.4 µm). Konstanta matahari tidak pada kenyataannya sangat konstan, tetapi bervariasi dalam kaitannya dengan kegiatan surya. Selain evolusi sangat lambat dari Matahari, sebuah aktivitas matahari yang terkenal adalah bintik matahari, yang merupakan daerah yang relatif gelap pada permukaan Matahari. Perubahan periodik dalam jumlah bintik matahari ini disebut sebagai siklus sunspot, dan memakan waktu sekitar 11 tahun, yang disebut siklus 11 tahun. Siklus sunspot maxima memiliki polaritas magnetik yang sama disebut sebagai siklus 22-tahun. Matahari juga berputar pada porosnya sekali dalam sekitar 27 hari. Pengamatan satelit menunjukkan bahwa variasi siklus matahari konstan surya ada di urutan sekitar 0,1%, yang mungkin terlalu kecil untuk langsung menyebabkan lebih dari perubahan hampir tidak terdeteksi dalam iklim troposfer. Namun, beberapa bukti tidak langsung menunjukkan bahwa perubahan konstan surya yang berhubungan dengan aktivitas sunspot mungkin telah secara signifikan lebih besar selama terakhir beberapa abad. Selain itu, variabilitas matahari jauh lebih besar (secara relatif) di wilayah UV, dan menyebabkan perubahan yang cukup besar dalam komposisi kimia, suhu, dan sirkulasi stratosfer, serta dalam mencapai lebih tinggi dari bagian atas atmosfer. d. Distribusi Radiasi Matahari
Intensitas radiasi matahari di luar atmosfer bumi bergantung pada jarak antara matahari dengan bumi. Tiap tahun, jarak ini bervariasi
116
antara 1,47 x 108 km dan 1,52 x 10 8 km dan hasilnya besar pancaran E 0 naik turun antara 1325 W/m2 sampai 1412 W/m2. Nilai rata - ratanya disebut sebagai konstanta matahari dengan nilai E0 = 1367 W/m2. Pancaran ini tidak dapat mencapai ke permukaan bumi. Atmosfer bumi mengurangi insolation yang melewati pemantulan, penyerapan (oleh ozon, uap air, oksigen, dan karbon dioksida), serta penyebaran (disebabkan oleh molekul udara, partikel debu atau polusi). Di cuaca yang bagus pada siang hari, pancaran bisa mencapai 1000 W/m 2 di permukaan bumi. Insolation terbesar terjadi pada sebagian hari - hari yang berawan dan cerah. Sebagai hasil dari pancaran matahari yang memantul melewati awan, maka insolation dapat mencapai hingga 1400 W/m 2 untuk jangka pendek. Ada tiga macam cara radiasi matahari sampai ke permukaan bumi, yaitu: Radiasi langsung (Beam/Direct Radiation) Adalah radiasi yang mencapai bumi tanpa perubahan arah atau radiasi yang diterima oleh bumi dalam arah sejajar sinar datang. Radiasi hambur (Diffuse Radiation) Adalah radiasi yang mengalami perubahan akibat pemantulan dan penghamburan. Radiasi total (Global Radiation) adalah penjumlahan radiasi langsung (direct radiation) dan radiasi hambur (diffuse radiation)
Gambar 2.6 Distribusi radiasi matahari sampai ke permukaan bumi.
Cahaya matahari pada permukaan bumi terdiri dari bagian yang langsung dan bagian yang baur. Radiasi langsung datang dari arah matahari dan memberikan bayangan yang kuat pada benda. Sebaliknya radiasi baur yang tersebar dari atas awan tidak memiliki arah yang jelas tergantung pada keadan awan dan hari tersebut (ketinggian matahari), baik daya pancar maupun perbandingan antara radiasi langsung dan baur. Energi matahari yang ditransmisikan mempunyai panjang gelombang dengan range 0,25 mikrometer sampai 3 mikrometer (untuk di luar atmosfer bumi atau extraterrestrial), sedangkan untuk di atmosfer bumi berkisar antara 0,32 mikrometer sampai 2,53 mikrometer. Hanya 7% energi tersebut terdiri dari ultraviolet (AM 0), 47% adalah cahaya 117
tampak (cahaya tampak memiliki panjang gelombang 0,4 mikrometer sampai 0,75 mikrometer), 46% merupakan cahaya inframerah.
Gambar 2.7 Spektrum Cahaya Matahari
Beberapa hal dapat mempengaruhi pengurangan intensitas irradiance pada atmosfer bumi. Pengaruh tersebut dapat berupa: Pengurangan intensitas karena refleksi (pemantulan) oleh atmosfer bumi Pengurangan intensitas oleh karena penyerapan zat-zat di dalam atmosfer (terutama oleh O3, H2O, O2, dan CO2) Pengurangan intensitas oleh karena Rayleigh scattering Pengurangan intensitas oleh karena Mie scattering Sedangkan radiasi yang jatuh pada permukaan material pada umumnya akan mengalami refleksi, absorbs, dan transmisi. Dari tiga proses ini maka material akan memiliki refleksivitas (ρ), adsorbsivitas (ά), dan transmisivitas (τ). Refleksi adalah pemantulan dari sebagian radiasi tergantung pada harga indeks bias dan sudut datang radiasi. Refleksi spektakuler terjadi pantulan sinar pada sebuah cermin datar dimana sudut datang sama dengan sudut pantul. sedangkan refleksi difusi terjadi berupa pantulan kesegala arah. Transmisi memberikan nilai besar radiasi yang dapat diteruskan oleh suatu lapisan permukaan. Kemampuan penyerapan (absorbsivitas) dari suatu permukaan merupakan hal yang penting dalam pemanfaatan radiasi seperti pada pemanfaatan radiasi surya. Harga absorbsivitas berlainan untuk sudut datang radiasi yang berlainan. Menurut British Building Research untuk sudut datang dibawah 75 0, harga absorbsivitas terletak antara 0,8 sampai 0,9 dari absorbsivitas yang dimiliki oleh suatu benda. Absorbsivitas memberikan nilai besarnya radiasi yang dapat diserap. Misalnya pada bagian absorber pada sebuah pengumpul radiasi surya. Ketiga proses tersebut diatas yaitu, absorbsi, refleksi, dan transmisi adalah hal yang penting dalam proses pemanfaatan radiasi
118
surya, karena ini menyangkut efektifitas pemanfaatan pada sebuah pengumpul radiasi surya. e. Potensi Radiasi Matahari
Terkait dengan energi surya matahari terdapat potensi radiasi matahari terhadap atmosfer di permukaan bumi. Indonesia memiliki potensi radiasi matahari (energi surya) yang cukup besar. Hal tersebut bergantung pada posisi penyinaran antara matahari dengan kedudukan wilayah di Indonesia. Potensi ini akan berubah tiap waktu, tergantung dari kondisi atmosfer, dan tempat (garis lintang) serta waktu (hari dalam tahun dan jam dalam hari). Berdasarkan data penyinaran matahari yang dihimpun dari 18 lokasi di Indonesia, radiasi surya di Indonesia dapat diklasifikasikan berturut-turut sebagai berikut: untuk kawasan barat dan timur Indonesia dengan distribusi penyinaran di Kawasan Barat Indonesia (KBI) sekitar 4,5 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 10%; dan di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sekitar 5,1 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. Dengan demikian, potesi angin rata-rata Indonesia sekitar 4,8 kWh/m 2 /hari dengan variasi bulanan sekitar 9%. (kementrian energi dan sumber daya mineral). Selain menjadi sumber energi bagi sumber energi lainnya, energi surya sangat berpotensi untuk dimanfaatkan secara langsung sebagai sumber energi alternatif. Pemanfaatan energi surya ini dapat dilakukan secara termal maupun melalui energi listrik. Pemanfaatan secara termal dapat dilakukan secara langsung dengan membiarkan objek pada radiasi matahari, atau menggunakan peralatan yang mencakup kolektor dan konsentrator surya. Untuk memanfaatkan potensi energi surya tersebut, ada 2 (dua) macam teknologi yang sudah diterapkan, yaitu teknologi energi surya termal dan energi surya fotovoltaik. Energi surya termal pada umumnya digunakan untuk memasak (kompor surya), mengeringkan hasil pertanian (perkebunan, perikanan, kehutanan, tanaman pangan) dan memanaskan air. Energi surya fotovoltaik digunakan untuk memenuhi kebutuhan listrik, pompa air, televisi, telekomunikasi, dan lemari pendingin di Puskesmas dengan kapasitas total ± 6 MW. Pemanfaatan energi surya khususnya dalam bentuk SHS ( solar home systems ) sudah mencapai tahap semi komersial. Komponen utama suatu SESF adalah, Sel fotovoltaik (mengubah penyinaran matahari menjadi listrik), Balance of system (BOS), Unit penyimpan energi (baterai) dan peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem terpusat, dan sistem hibrid. Sedangkan pemanfaatan energi surya termal di Indonesia masih dilakukan secara tradisional. Para petani dan nelayan di Indonesia memanfaatkan energi surya untuk mengeringkan hasil pertanian dan perikanan secara langsung. 1) Teknologi Energi Surya Fotovoltaik
Energi listrik alternatif yang siap untuk diterapkan secara masal pada saat ini adalah menggunakan suatu sistem teknologi yang diperkenalkan sebagai Sistem Energi Surya Fotovoltaik (SESF) atau secara umum dikenal sebagai Pembangkit Listrik Tenaga Surya Fotovoltaik (PLTS Fotovoltaik). Pada umumnya modul fotovoltaik 119
dipasarkan dengan kapasitas 50 Watt-peak (Wp) dan kelipatannya. Unit satuan Watt-peak adalah satuan daya (Watt) yang dapat dibangkitkan oleh modul fotovoltaik dalam keadaan standar uji (Standard Test Condition - STC). Efisiensi pembangkitan energi listrik yang dihasilkan modul fotovoltaik pada skala komersial saat ini adalah sekitar 14 - 15 %. Prinsip kerja pada surya fotovoltaik: Bila sel surya (sel fotovoltaik) dikenakan pada sinar matahari, maka timbul elektron dan hole. Elektron-elektron dan hole-hole yang timbul di sekitar pn junction bergerak berturut-turut ke arah lapisan n dan ke arah lapisan p. Sehingga pada saat elektron-elektron dan hole-hole itu melintasi pn junction, timbul beda potensial pada kedua ujung sel surya. Jika pada kedua ujung sel surya diberi beban maka timbul arus listrik yang mengalir melalui beban.
Gambar 2.8 Cara kerja sel surya fotovoltaik.
Gambar 2.9 Aplikasi sel surya fotovoltaik
Komponen utama suatu SESF adalah: a) Sel fotovoltaik yang mengubah penyinaran/radiasi matahari menjadi listrik secara langsung (direct conversion). Teknologi sel fotovoltaik yang banyak dikembangkan dewasa ini pada umumnya merupakan jenis teknologi kristal yang dibuat dengan bahan baku berbasis silikon. Produk akhir dari modul fotovoltaik menyerupai bentuk lembaran kaca dengan ketebalan sekitar 6 - 8 milimeter.
120
b) Balance of system (BOS) yang meliputi controller, inverter, kerangka modul,peralatan listrik, seperti kabel, stop kontak, dan lain-lain, teknologinya sudah dapat dikuasai; c) Unit penyimpan energi (baterai) sudah dapat dibuat di dalam negeri; d) Peralatan penunjang lain seperti: inverter untuk pompa, sistem terpusat, sistem hibrid, dan lain-lain masih diimpor. Kandungan lokal modul fotovoltaik termasuk pengerjaan enkapsulasi dan framing sekitar 25%, sedangkan sel fotovoltaik masih harus diimpor. Balance of System (BOS) masih bervariasi tergantung sistem desainnya. Kandungan lokal dari BOS diperkirakan telah mencapai diatas 75%.
Gambar 2.10 Struktur dari sel surya komersial yang menggunakan material silikon sebagai semikonduktor.
Sasaran Pengembangan Fotovoltaik di Indonesia a) Sasaran pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: Semakin berperannya pemanfaatan energi surya fotovoltaik dalam penyediaan energi di daerah perdesaan, sehingga pada tahun 2020 kapasitas terpasangnya menjadi 25 MW. b) Semakin berperannya pemanfaatan energi surya di daerah perkotaan. c) Semakin murahnya harga energi dari solar photovoltaic , sehingga tercapai tahap komersial. d) Terlaksananya produksi peralatan SESF dan peralatan pendukungnya di dalam negeri yang mempunyai kualitas tinggi dan berdaya saing tinggi. Strategi pengembangan energi surya fotovoltaik di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Mendorong pemanfaatan SESF secara terpadu, yaitu untuk keperluan penerangan (konsumtif) dan kegiatan produktif.Mengembangan SESF melalui dua pola, yaitu pola tersebar dan terpusat yang disesuaikan dengan kondisi lapangan. Pola tersebar diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk menyebar dengan jarak yang cukup jauh, sedangkan pola terpusat diterapkan apabila letak rumah-rumah penduduk terpusat. b) Mengembangkan pemanfaatan SESF di perdesaan dan perkotaan. c) Mendorong komersialisasi SESF dengan memaksimalkan keterlibatan swasta. d) Mengembangkan industri SESF dalam negeri yang berorientasi ekspor. 121
e) Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efisien dengan melibatkan dunia perbankan. Kendala yang dihadapi dalam pengembangan energi surya fotovoltaik adalah: a) Harga modul surya yang merupakan komponen utama SESF masih mahal mengakibatkan harga SESF menjadi mahal, sehingga kurangnya minat lembaga keuangan untuk memberikan kredit bagi pengembangan SEEF; b) Sulit untuk mendapatkan suku cadang dan air accu , khususnya di daerah perdesaan, menyebabkan SESF cepat rusak; c) Pemasangan SESF di daerah perdesaan pada umumnya tidak memenuhi standar teknis yang telah ditentukan, sehingga kinerja sistem tidak optimal dan cepat rusak; d) Pada umumnya, penerapan SESF dilaksanakan di daerah perdesaan yang sebagian besar daya belinya masih rendah, sehingga pengembangan SESF sangat tergantung pada program Pemerintah; e) Belum ada industri pembuatan sel surya di Indonesia, sehingga ketergantungan pada impor sangat tinggi. Akibatnya, dengan menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar menyebabkan harga modul surya menjadi semakin mahal. 2) Teknologi Energi Surya Termal
Berbagai teknologi pemanfaatan energi surya termal untuk aplikasi skala rendah (temperatur kerja lebih kecil atau hingga 600C) dan skala menengah (temperatur kerja antara 60 hingga 1200C) telah dikuasai dari rancang-bangun, konstruksi hingga manufakturnya secara nasional. Secara umum, teknologi surya termal yang kini dapat dimanfaatkan termasuk dalam teknologi sederhana hingga madya. Beberapa teknologi untuk aplikasi skala rendah dapat dibuat oleh bengkel pertukangan kayu/besi biasa. Untuk aplikasi skala menengah dapat dilakukan oleh industri manufaktur nasional. Surya termal adalah teknologi yang mengubah radiasi matahari menjadi energi panas dengan menggunakan alat pengumpul panas atau yang biasa disebut Kolektor surya. Beberapa peralatan yang telah dikuasai perancangan dan produksinya seperti sistem atau unit berikut: a) Pengering pasca panen (berbagai jenis teknologi); b) Pemanas air domestik; c) Pemasak/oven; d) Pompa air (dengan Siklus Rankine dan fluida kerja Isopentane); e) Penyuling air (Solar Distilation/Still); f) Pendingin (radiatif, absorpsi, evaporasi, termoelektrik, kompressip, tipe jet); g) Sterilisator surya; h) Pembangkit listrik dengan menggunakan konsentrator dan fluida kerja dengan titik didih rendah. Untuk skala kecil dan teknologi yang sederhana, kandungan lokal mencapai 100 %, sedangkan untuk sistem dengan skala industri (menengah) dan menggunakan teknologi tinggi (seperti pemakaian
122
Kolektor Tabung Hampa atau Heat Pipe ), kandungan lokal minimal mencapai 50%. Sasaran pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: a) Meningkatnya kapasitas terpasang sistem energi surya termal, khususnya untuk pengering hasil pertanian, kegiatan produktif lainnya, dan sterilisasi di Puskesmas. b) Tercapainya tingkat komersialisasi berbagai teknologi energi surya thermal dengan kandungan lokal yang tinggi. Strategi Pengembangan Energi Surya Termal c) Strategi pengembangan energi surya termal di Indonesia adalah sebagai berikut: Mengarahkan pemanfaatan energi surya termal untuk kegiatan produktif, khususnya untuk kegiatan agro industri. d) Mendorong keterlibatan swasta dalam pengembangan teknologi surya termal. e) Mendorong terciptanya sistem dan pola pendanaan yang efektif. f) Mendorong keterlibatan dunia usaha untuk mengembangkan surya termal. Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan surya termal adalah: a) Teknologi energi surya termal untuk memasak dan mengeringkan hasil pertanian masih sangat terbatas. Akan tetapi, sebagai pemanas air, energi surya termal sudah mencapai tahap komersial. Teknologi surya termal masih belum berkembang karena sosialisasi ke masyarakat luas masih sangat rendah; b) Daya beli masyarakat rendah, walaupun harganya relatif murah; c) Sumber daya manusia (SDM) di bidang surya termal masih sangat terbatas. Saat ini, SDM hanya tersedia di Pulau Jawa dan terbatas lingkungan perguruan. 3) Radiometer surya
Deteksi radiasi elektromagnetik optik terutama dilakukan oleh konversi energi sinar dalam sinyal-sinyal listrik yang kemudian dapat diukur dengan teknik konvensional. Karena spektral hampir konstan mereka sensitivitas untuk seluruh surya rentang spektral, radiometers dilengkapi dengan thermal sensor yang banyak digunakan untuk mengukur radiasi matahari broadband. Suhu fluktuasi (instrumen ditempatkan di luar ruangan dan suhu mereka mungkin berbeda antara -20 dan 700C), angin, hujan, dan salju merupakan faktor yang mempengaruhi pengukuran. Meminimalkan gangguan ini adalah tugas yang sulit dalam rekayasa radiometers surya. a) Pyrheliometer Pyrheliometer adalah instrumen broadband yang mengukur sinar langsung komponen Gn radiasi matahari. Akibatnya, instrumen harus permanen menunjuk ke arah Matahari. Mekanisme pelacakan dua sumbu Sun yang paling sering digunakan untuk tujuan ini. Detektor adalah thermopile multi-junction ditempatkan di dasar sebuah tabung collimating (Gambar 2.11a) dilengkapi dengan jendela kuarsa untuk melindungi instrumen. Detektor ini dilapisi dengan cat hitam optik 123
(bertindak sebagai penuh penyerap untuk energi surya dalam panjang gelombang berkisar 0,280-3 µm). Suhunya kompensasi untuk meminimalkan sensitivitas fluktuasi suhu lingkungan. Sudut pyrheliometer aperture adalah 50. Akibatnya, radiasi yang diterima dari Matahari dan wilayah circumsolar terbatas, tetapi semua radiasi menyebar dari sisa langit dikecualikan. Sebuah perangkat pembacaan digunakan untuk memberikan nilai instan langsung balok radiasi. Skalanya disesuaikan dengan sensitivitas instrumen tertentu dalam rangka untuk menampilkan nilai dalam satuan SI, Wm-2. Untuk ilustrasi, gambar sebuah pyrheliometer Hukseflux DR01 First Class (Hukseflux 2012) disajikan pada Gambar 2.11b.
Gambar 2.11 (a) Skema pyrheliometer, (b) Gambar sebuah pyrheliometer Hukseflux DR01 First Class (Hukseflux 2012). (Lisensikasi pada Wikimedia commons).
b) Pyranometer Pyranometers adalah instrumen yang mengukur radiasi broadband surya global masuk dari sudut padat 2π pada permukaan planar. Sebuah pyranometer khas adalah skematis diwakili dalam Gambar 2.12a. Ini terdiri dari disk putih untuk membatasi penerimaan sudut ke 1800 dan dua konsentris hemispherical transparan penutup terbuat dari kaca. Dua kubah melindungi sensor dari konveksi termal, melindunginya terhadap ancaman cuaca (hujan, angin, dan debu) dan membatasi sensitivitas spektral instrumen dalam rentang panjang gelombang 0,29-2,8 µm. Sebuah cartridge silika gel di dalam kubah menyerap uap air.
Gambar 2.12 (a) Skema pyranometer, (b) Pyranometer kelas pertama LPPYRA 12 (DeltaOHM 2012) dilengkapi dengan cincin bayangan, dipasang pada platform matahari dari Barat Universitas Timisora, Rumania (SRMS, 2012).
124
Sebuah pyranometer dapat juga digunakan untuk mengukur radiasi difus surya Gd, asalkan kontribusi komponen balok langsung dihilangkan. Untuk ini, disk shading kecil dapat dipasang pada solar tracker otomatis untuk memastikan bahwa pyranometer ini terus berbayang. Atau, cincin bayangan mungkin mencegah komponen langsung Gb dari mencapai sensor sepanjang hari (lihat Gambar 2.12b). Karena maksimum sudut elevasi harian Sun berubah dari hari ke hari, perlu untuk mengubah secara berkala (hari lag) ketinggian cincin bayangan. f. Pengukuran durasi sinar matahari
Menurut (WMO 2008), durasi sinar matahari dalam suatu periode tertentu didefinisikan sebagai jumlah dari interval waktu yang radiasi matahari langsung melebihi ambang 120 Wm-2. Dalam prakteknya, dua metode yang banyak digunakan untuk mengukur Metode kartu sinar matahari durasi pembakaran dan pyranometric metode-yang akan disajikan secara singkat berikutnya. Metode kartu terbakar didasarkan pada perekam sinar matahari Campbell-Stokes, konfigurasi dasar yang terdiri dari bola kaca dipasang konsentris dalam segmen dari mangkuk bulat (Gambar 2.13). Dukungan disesuaikan sehingga sumbu sphere mungkin cenderung untuk sudut lintang setempat. Mangkuk bola segmen memegang kartu rekaman. Bola kaca memfokuskan solar beam langsung radiasi ke kartu, membakar jejak setiap kali Matahari bersinar. Posisi dan panjang jejak menunjukkan waktu mulai dan durasi sinar matahari interval. Kesalahan dari perekam ini terutama karena ketergantungan pembakaran inisiasi pada suhu kartu dan kelembaban serta efek overburning, terutama dalam hal awan rusak (Kerr dan Tabony 2004).
Gambar 2.13 (a) Skema perekam sinar matahari Campbell-Stokes, (b) Gambar tipikal perekam sinar matahari Campbell-Stokes. (Lisensi publikasi pada Wikimedia commons).
Planet-Planet
Terdapat delapan planet di dalam tata surya, yaitu Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus. Planet dalam tata surya diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu: 125
1.
2.
3.
Berdasar kedudukan terhadap Bumi, dibagi menjadi dua yaitu a. Planet Inferior planet-planet yang terletak antara matahari dan orbit bumi. Planet inferior adalah Merkurius dan Venus. b. Planet Superior planet-planet yang terletak di luar orbit bumi. Planet superior adalah Mars, Yupiter, Saturnur, Uranus dan Neptunus. Berdasar kedudukan terhadap Asteroid, dibagi menjadi dua yaitu : a. Planet dalam planet dalam disebut juga inner planets yaitu planet-planet yang terletak antara matahari dan asteorid,. Planet dalam adalah Merkurius, Venus, Bumi dan Mars. b. Planet luar planet luar disebut juga outer planets yaitu planet-planet yang terletak diluar sabuk asteroid. Planet-planet luar adalah Yupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus. Berdasar ukurannya, terbagi menjadi dua yaitu: a. Planet terestrial Planet yang bersifat kebumian. Planet terestrial mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. Massanya kecil dengan kerapatan massa besar. b. Ukurannya kecil dan mampat c. Permukaan planet terdiri dari batuan yang keras, terdapat kawah, lembah dan gunung. d. Jumlah atom hidrogen dan helium sedikit. b. Planet Jovian Planet yang berukuran besar/raksasa. Planet planet Jovian bercirikan: a.Massa besar namun kerapatan massanya kecil. b.Diselimuti atmosfer yang tebal dengan Hidrogen dan Helium merupakan unsur yang terbesar.
Gambar 2.14 Sebagian besar massa tata surya berada di Matahari dan sebagian besar sisanya berada di planet Jovian (Gambar ini tidak sesuai skala) (Seeds, 2007).
126
Tabel 2.2 Planet-Planet dan Karakteristiknya
Jarak matahari ke planet Merkurius sekitar 57,9 juta kilometer. Sedangkan jarak matahari ke planet Venus sejauh 108,2 juta kilometer. Adapun jarak matahari ke Bumi sekitar 149,6 juta kilometer. Jarak matahari ke Mars sejauh 227,9 juta kilometer. Sedangkan jarak matahari ke Jupiter sejauh 778,3 juta kilometer. Jarak matahari ke Saturnus sejauh 1.427,0 juta kilometer. Jarak matahari ke Uranus sejauh 2.871,0 juta kilometer. Sedangkan jarak matahari ke Neptunus sejauh 4.497,0 juta kilometer. Satelit
Satelit adalah anggota tata surya yang ukurannya lebih kecil daripada planet, berputar pada porosnya, beredar mengelilingi planet, kemudian bersama-sama dengan planet, berputar mengelilingi matahari. Satelit melakukan tiga gerakan, yaitu berputar pada porosnya, berevolusi mengelilingi planet, dan berevolusi bersama planet mengelilingi matahari. Satelit ada dua macam yaitu: a. Satelit alamiah yaitu satelit alamiah sudah ada dalam tata surya dan bukan buatan manusia. contoh satelit alam adalah bulan. b. Satelit buatan yaitu satelit yang sengaja dibuat oleh manusia yang memasuki ruang angkasa masuk ke orbit bumi, baik yang berawak maupun yang tidak berawak. Satelit buatan berguna untuk : a. Satelit astronomi: satelit yang digunakan untuk mengamati planet, galaksi, dan benda luar angkasa lainnya. b. Satelit komunikasi: satelit buatan yang dipasang di angkasa dengan tujuan telekomunikasi. c. Satelit pengamat bumi:satelit yang dirancang khusus untuk mengamati bumi seperti pengamatan lingkungan, meteorologi, pembuatan peta, dan lain sebagainya. d. Satelit navigasi: satelit yang menggunakan sinyal radio yang disalurkan ke penerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah titik dipermukaan bumi seperti mengukur jarak antar bangunan. e. Satelit mata-mata: satelit pengamat bumi yang digunakan untuk tujuan militer atau mata-mata. f. Satelit cuaca: satelit yang diguanakan untuk mengamati cuaca dan iklim di bumi.
127
Satelit Indonesia adalah satelit palapa dan disingkat SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) Palapa. Pusat pengendali satelit Palapa adalah di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. Asteroid
Asteroid adalah benda-benda angkasa yang berada dalam sabuk asteroid, yakni daerah antara orbit Mars dan Jupiter. Ada dua teori asal mula asteroid : a. Asteroid berasal dari planet yang terletak di antara Mars dan Jupiter meledak karena efek gaya ganggu Jupiter dan membentuk asteroidasteroid. b. Asteroid terbentuk pada awal terbentuk pada awal terbentuknya tata surya terdapat cukup partikel di antara Mars dan Jupiter yang membentuk batu-batu berkelompok. Komet
Komet adalah benda langit yang mengelilingi matahari dengan garis edar berbentuk lonjong atau parabolis atau hiperbolis. Komet berasal dari bahasa Yunani, yang artinya rambut panjang. Komet terdiri dari kumpulan debu dan gas yang membeku pada saat berada jauh dari matahari. Ketika mendekati matahari, sebagian bahan penyusun komet menguap membentuk kepala gas dan ekor. Komet juga mengelilingi matahari, sehingga termasuk dalam sistem tata surya. Komet merupakan gas pijar dengan garis edar yang berbeda-beda. Panjang komet dapat mencapai jutaan km. Beberapa komet menempuh jarak lebih jauh di luar angkasa daripada planet. Komet membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikan satu kali mengorbit matahari. Kita sering menyebut komet sebagai bintang berekor. Sebetulnya pernyataan bintang disini tidak tepat. Komet terbentuk dari es dan debu.
Gambar 2.15 Komet mengembangkan ekor saat mendekati matahari (Seeds, 2007).
Meteor
Meteor adalah benda-benda angkasa yang jatuh ke bumi yang pada saat menembus atmosfer terbakar sehingga timbul nyala yang terlihat dari bumi. Meteorit adalah meteor yang jatuh ke permukaan bumi. Berdasarkan materi yang terkandung di dalamnya, meteorit dibedakan menjadi dua yaitu: 128
a. meteorit besi : terdiri 90% zat besi dan 10% nikel b. meteorit batu : terdiri 10% besi dan nikel dan lainnya berupa silikon 2.3 Bagaimana Model Skala Sistem Tata Surya? Hukum Gerak Planet dalam tata Surya Hukum Kepler
Hukum gerakan planet dikemukakan oleh seorang ahli astronomi dan matematika berkebangsaan Jerman yaitu Johannes Kepler. Selanjutnya hukum gerak planet ini dikenal dengan “Hukum Keppler” yang berbunyi:
A helium
Perihelium
Gambar 2.16 Diagram lintasan planet mengelilingi matahari.
Hukum Kepler I
Hukum Keppler II
: ”Lintasan planet berbentuk elips dengan matahari berada di salah satu titik apinya”. Jarak planet terdekat dengan matahari disebut perihelion dan jarak terjauh dengan matahari disebut aphelion. : “Garis hubung planet-matahari akan menyapu daerah yang sama luasnya dalam selang waktu yang sama”
Hukum Keppler III
: “Jarak rata-rata planet ke matahari pangkat tiga dibagi periode sideris kuadrat merupakan bilangan konstan” atau ”pangkat dua kala revolusi planet sebanding dengan pangkat tiga jarak planet ke matahari”
Hukum Gravitasi
Hukum gravitasi yang dikemukakan oleh Isaac Newton berbunyi ”Setiap partikel di alam semesta selalu menarik partikel yang lain dengan gaya yang besarnya berbanding lurus dengan massa partikel itu dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya”. Berdasarkan tiga hukum Keppler, Newton dapat merumuskan tetapan gravitasi umum yaitu 6,673 x 10 -11 Nm2/kg2. Dengan menggunakan tetapan tersebut dapat ditentukan besarnya gaya tarik menarik antara dua benda. Planet-planet akan tetap pada lintasan orbitnya jika gaya tarik menarik antara planet dan matahari sama dengan gaya sentripetalnya.
129
Adanya gaya gravitasi menyebabkan planet-planet mampu menarik dan mengikat gas menjadi atmosfer. Besarnya kekuatan planet mengikat gas ini ditentukan oleh laju rata-rata molekul gas dan laju lepas planet (sentrifugal). Model Skala Sistem Tata Surya
Hukum Gerakan Planet Kepler menjabarkan bahwa orbit dari objekobjek Tata Surya di sekeliling Matahari bergerak mengikuti bentuk elips dengan Matahari sebagai salah satu titik fokusnya. Objek yang berjarak lebih dekat dari Matahari (sumbu semi-mayor -nya lebih kecil) memiliki tahun waktu yang lebih pendek. Pada orbit elips, jarak antara objek dengan Matahari bervariasi sepanjang tahun. Jarak terdekat antara objek dengan Matahari dinamai perihelion, sedangkan jarak terjauh dari Matahari dinamai aphelion. Semua objek Tata Surya bergerak tercepat di titik perihelion dan terlambat di titik aphelion. Orbit planet-planet bisa dibilang hampir berbentuk lingkaran, sedangkan komet, asteroid dan objek sabuk Kuiper kebanyakan orbitnya berbentuk elips. Untuk mempermudah representasi, kebanyakan diagram Tata Surya menunjukan jarak antara orbit yang sama antara satu dengan lainnya. Pada kenyataannya, dengan beberapa perkecualian, semakin jauh letak sebuah planet atau sabuk dari Matahari, semakin besar jarak antara objek itu dengan jalur edaran orbit sebelumnya. Sebagai contoh, Venus terletak sekitar sekitar 0,33 satuan astronomi (SA) lebih dari Merkurius[d], sedangkan Saturnus adalah 4,3 SA dari Yupiter, dan Neptunus terletak 10,5 SA dari Uranus. Beberapa upaya telah dicoba untuk menentukan korelasi jarak antar orbit ini (hukum Titus-Bode), tetapi sejauh ini tidak satu teori pun telah diterima.
Gambar 2.17 Orbit-orbit tata surya dengan skala sebenarnya (wikipedia).
130
Hampir semua planet-planet di Tata Surya juga memiliki sistem sekunder. Sebagian besar berupa benda pengorbit alami yang disebut satelit. Beberapa benda ini memiliki ukuran lebih besar dari planet. Hampir semua satelit alami yang yang paling besar terletak di d i orbit sinkron, dengan satu sisi satelit berpaling ke arah planet induknya secara permanen. Empat planet terbesar juga juga memliki cincin yang berisi partikel-partikel partikel-partikel kecil yang yang mengorbit secara serempak.
Gambar 2.18 Zona Tata Surya yang meliputi, planet bagian dalam, sabuk asteroid, planet bagian luar, luar, dan sabuk Kuiper (Gamba (Gambarr tidak tida k sesuai skala) (wikipedia.org).
Di zona planet dalam, da lam, Matahari adalah pusat Tata Surya dan letaknya paling dekat dengan planet Merkurius ( jarak dari Matahari 57,9 × 106 km, atau 0,39 SA), SA), Venus (108,2 × 106 km, 0,72 SA), Bumi (149,6 × 106 km, 1 SA) dan Mars (227,9 × 106 km, 1,52 SA). Ukuran diameternya antara 4.878 km dan 12.756 km, dengan massa jenis antara 3,95 g/cm 3 dan 5,52 g/cm3. Antara Mars dan Yupiter terdapat daerah yang disebut sabuk asteroid, kumpulan batuan metal dan mineral. Sebagian besar asteroid-asteroid ini hanya berdiameter beberapa kilometer dan beberapa memiliki diameter 100 km atau lebih. Ceres, Ceres, bagian dari kumpulan asteroid ini, berukuran sekitar 960 km dan dikategorikan sebagai planet kerdil. Orbit asteroidasteroid ini sangat eliptis, bahkan beberapa menyimpangi Merkurius (Icarus) dan Icarus) dan Uranus (Chiron). Chiron). Pada zona planet luar, terdapat planet gas raksasa Yupiter (778,3 × 10 6 km, 5,2 SA), Uranus (2,875 × 10 9 km, 19,2 SA) dan Neptunus dan Neptunus 9 (4,504 × 10 km, 30,1 SA) dengan massa jenis antara 0,7 g/cm3 dan 1,66 g/cm3. Jarak rata-rata antara planet-planet dengan Matahari bisa diperkirakan dengan menggunakan baris matematis Titus-Bode. R egularitas egularitas jarak antara jalur edaran orbit-orbit orbit-o rbit ini kemungkinan merupakan efek resonansi sisa dari awal terbentuknya Tata Surya. Anehnya, planet Neptunus tidak t idak muncul di baris matematis Titus-Bode, yang membuat para pengamat berspekulasi bahwa Neptunus Neptunus merupakan hasil tabrakan kosmis. kosmis.
131
2.4 Apakah Benda-Benda Astronomi Kecil di Tata Surya Itu?
Benda-benda astronomi kecil yang berada di dalam sistem tata surya disebut sebagai meteoroit. Meteoroit berupa batu-batuan angkasa mulai dari ukuran biji padi hingga sebesar gerbong kereta api. Meteoroit Met eoroit terdiri dari tiga jenis utama berdasarkan zat penyusunnya, yaitu meteorit logam, meteorit batuan, dan meteorit logam-batuan.
Gambar 2.19 Setiap meteorit memiliki karakteristik berdasarkan zat penyusunnya (Seeds, 2007).
Meteorit merupakan sisa-sisa bahan dalam proses pembentukan pe mbentukan tata surya. Planetesimal terbentuk ketika proses pembentukan tata surya mungkin mencair dan dipisahkan ke dalam lapisan kepadatan yang berbeda dengan komposisi. komposisi. Pemisahan material tersebut bisa menghasilkan berbagai jenis meteorit. Ilustrasi asal mula meteorit dapat dilihat pada Gambar 2.20. Meteorit merupakan sebutan untuk benda astronomi kecil di angkasa. Pada saat benda langit ini jatuh menuju bumi, meteorit yang bergesekan dengan atmosfer Bumi disebut sebagai meteor. Saat bergesekan dengan atmosfer Bumi, meteorit tersebut terbakar dan menghasilkan cahaya. Peristiwa ini sering disebut sebagai hujan meteor. Ada kalanya meteorit yang terbakar di atmosfer (meteor) habis terbakar (Gambar 2.21), ada kalanya sisa pembakaran di atmosfer tersebut jatuh ke permukaan bumi. Meteorit yang bisa menembus atmosfer Bumi dan sampai di permukaan bumi disebut sebagai meteoroit. Meteorit menghasilkan jejak cekungan di permukaan Bumi (Gambar (Ga mbar 2.22).
132
Gambar 2.20 Asal mula meteorit (Seeds, 2007) 133
Gambar 2.21 Meteor tiba-tiba beruntun menghasilkan gas bercahaya. Gas bercahaya dihasilkan oleh sedikit bahan jatuh ke atmosfer bumi. Gesekan dengan udara menguapkan bahan sekitar 80 km (50 mil) di atas permukaan bumi (Seeds, 2007).
Gambar 2.22 Jejak meteorit (Seeds, 2007)
Gambar 2.23 Radioaktif (merah) dalam sampel mineral peluruhan menjadi atom-atom (biru). Setengah radiasi atom yang tersisa setelah waktu paro, keempat setelah dua waktu paro, kedelapan setelah tiga waktu paro, dan sebagainya. Waktu radioaktif menunjukkan bahwa fragmen meteorit Allende ini berusia 4,56 miliar tahun. Meteorit ini berisi biji-bijian antar bintang yang terbentuk jauh sebelum sistem keluar surya (Seeds, 2007). 134
2.5 Planet Apa Sajakah yang Ada di Dalam Sistem Tata Surya?
Lima planet terdekat ke Matahari selain Bumi (Merkurius, Venus, Mars, Yupiter dan Saturnus) telah dikenal sejak zaman dahulu karena mereka semua bisa dilihat dengan mata telanjang. Banyak bangsa di dunia ini memiliki nama sendiri untuk masing-masing planet. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pengamatan pada lima abad lalu membawa manusia untuk memahami benda-benda langit terbebas dari selubung mitologi. Galileo Galilei (1564-1642) dengan teleskop refraktornya mampu menjadikan mata manusia "lebih tajam" dalam mengamati benda langit yang tidak bisa diamati melalui mata telanjang. Karena teleskop Galileo bisa mengamati lebih tajam, ia bisa melihat berbagai perubahan bentuk penampakan Venus, seperti Venus Sabit atau Venus Purnama sebagai akibat perubahan posisi Venus terhadap Matahari. Penalaran Venus mengitari Matahari makin memperkuat teori heliosentris, yaitu bahwa matahari adalah pusat alam semesta, bukan Bumi, yang digagas oleh Nicolaus Copernicus (1473-1543) sebelumnya. Susunan heliosentris adalah Matahari dikelilingi oleh Merkurius hingga Saturnus. Teleskop Galileo terus disempurnakan oleh ilmuwan lain seperti Christian Huygens (1629-1695) yang menemukan Titan, satelit Saturnus, yang berada hampir 2 kali jarak orbit Bumi-Yupiter. Perkembangan teleskop juga diimbangi pula dengan perkembangan perhitungan gerak benda-benda langit dan hubungan satu dengan yang lain melalui Johannes Kepler (1571-1630) dengan Hukum Kepler. Dan puncaknya, Sir Isaac Newton (1642-1727) dengan hukum gravitasi. Dengan dua teori perhitungan inilah yang memungkinkan pencarian dan perhitungan benda-benda langit selanjutnya Pada 1781, William Hechell (1738-1782) menemukan Uranus. Perhitungan cermat orbit Uranus menyimpulkan bahwa planet ini ada yang mengganggu. Neptunus ditemukan pada Agustus 1846. Penemuan Neptunus ternyata tidak cukup menjelaskan gangguan orbit Uranus. Pluto kemudian ditemukan pada 1930. Planet-planet dalam tata surya terdiri dari Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus uranus, dan Neptunus. 1. Merkurius : Merupakan planet terkecil dalam tata surya dan mempunyai jarak paling dekat dengan matahari sehingga waktu yang diperlukan untuk mengelilingi matahari lebih cepat dibanding denganplanet lain. Merkurius mengililingi matahari satu putaran selama 88 hari bumi dan masa rotasinya adalah 58,6 hari bumi. Merkurius tidak mempunyai atmosfer, pada siang hari suhu sangat tinggi yaitu 430ºC dan pada malam hari suhu sangat rendah yaitu 180ºC. 135
2. Venus
3. Bumi
4. Mars
136
: Venus merupakan planet kedua yang terdekat dengan matahari, venus sering disebut juga sebagai “bintang timur” karena venus bersinar paling terang diantara planet-planet tata surya yang lain. Venus muncul pada saat fajar (3jam sebelum matahri muncul) dab 3 jam sebelum matahari tenggelam. Saat pagi hari Venus dijuluki sebagai “bintang fajar”/ phosporus, dan saat senja Venus dijuluki sebagai “bintang senja” / hesperus. Venus diselubungi atmosfer yang tebal yang terdiri dari CO2, sedikit N, H dan uap air, dan tidak terdapat air. Venus mengelilingi matahari satu putaran selama 224,7 hari bumi dan massa rotasi 243,2 hari bumi. : Bumi merupakan satu-satunya planet yang dapat dihuni oleh berbagai mahluk hidup. Permukaan bumi terdiri dari daratan dan lautan, bumi diselubungi atmosfer dengan ketebalan mencapai 120 km yang terdiri dari uap air dan gas. Revolusi bumi mengelilingi matahari adalah 365,25 hari dan masa rotasi selama 23 jam 56 menit. Bumi memiliki satu satelit yaitu bulan. : Mars dikenal juga sebagai planet merah, karena sebagian besar berupa padang pasir yang berwarna merah. Sepertiga permukaanya terdiri atas daerah-daerah curam yang diebut sebagai lautan walaupun tidak berair. Mars hanya mempunyai sedikit air,sedangkan atmosfernya terdiri dari CO2, sedikit uap air, N, dan Argon. Mars mengelilingi matahari dalam satu putaran memerlukan 687 hari bumi dan masa rotasi 24 jam 37 menit. Mars mempunyai dua satelit yaitu Phobos dan Demos.
5.
Yupiter
6.
Saturnus
: Yupiter merupakan planet kelima yang dekat dengan matahari. Ukuran Yupiter merupakan planet terbesar dalam tata surya. Massa Yupiter 318 massa bumi. Bagian permukaan Yupiter terdapat noda yang sering disebut sebagai Bintik Merah Besar (Great Red Spot ) merupakan sabuk awan besar berbentuk lonjong yang selalu menyelimuti bagian permukaan. Noda Great Red Spot terjadi diperkirakan akibat adanya gangguan atmosfer Yupiter. Permukaan Yupiter tersusun atas Hodrogen dan Helium dalam bentuk cair atau gas sehingga Yupiter tampak seperti bola gas raksasa. Oleh karena itu, planet ini memantulkan lebih dari 70 % cahaya matahri yang diterimanya. Yupiter memerlukan waktu 11, 86 tahun bumi, sedangkan massa rotasinya adalah 9 jam 55 menit. Yupiter mempunyai 16 satelit, yaitu: Metis, Andraster, Almathea, Thebe, Io, Europa, Ganymede, Calisto, Leda, Himalia, Lysithea, Elara, Ananke, Carme, Pasiphea dan Sinopea. : Saturnus merupakan planet tebesar kedua setelah Yupiter. Saturnus dicirikan oleh adanya 3 cincin yang mengelilinginya, cincin tersebut miring dengan sudut kemiringan seperti khaltulistiwa. Pada saat beredar mengelilingi matahri, cincin-cincinya juga miring tetapi selalu segaris dengan khatulistiwa. Saturnus terselubungi oelh atmosfer yang sangat pekat yang terdiri dari Hidrogen dan sedikit Metana dan kristal amoniak beku. Saturnus memerlukan waktu 29,5 tahun bumi dan masa rotasi 10 jam 40 menit. Saturnus mempunyai 17 satelit yaitu : Titan, Rhea, Lapetus, Diane, Tethys, Mimas, Encaledus, Hyperion, Poebe, Janus, Epimetheus, Atlas, Prometheus, Pandora, Telestro, Caypso dan Helena.
137
7.
Uranus
8.
Neptunus
2.6
: Uranus merupakan planet ketujuh dari matahari dengan ciri yang menonjol adalah warnanya yang hijau dan mempunyai poros kemiringan 98º terhadap tegak lurus. Uranus memerlukan waktu 84 tahun bumi dan masa rotasi 17 jam 14 menit. Saturnus mempunyai 15 satelit yaitu: Ariel, Umbriel, Titania, Oberon, Miranda, Cordelia, Ophelia, Bianca, Cressida, Desdemona, Juliet, Portia, Rolsalind, Belinda dan Puck. : Neptunus merupakan planet kedelapan dari matahari. Planet ini mempunyai cahaya yang sangat lemah, dan atmosfernya tersusun dari Hidrogen dan Helium berwarna biru menyolok serta awan tebal dari gas metana. Neptunus mempunyai masa revolusi 164,79 tahun bumi dan masa rotasi selama 16 jam 7 menit. Neptunus mempunyai 8 satelit yaitu : Triton, Nereid, Proteus, Larissa, Despoina, Galatea, Thalassa dan Naiad.
Apa itu Satelit?
Satelit adalah anggota tata surya yang ukurannya lebih kecil daripada planet, berputar pada porosnya, beredar mengelilingi planet, kemudian bersama-sama dengan planet, berputar mengelilingi matahari. Satelit melakukan tiga gerakan, yaitu berputar pada porosnya, berevolusi mengelilingi planet, dan berevolusi bersama planet mengelilingi matahari. Satelit ada dua macam yaitu: a. Satelit alamiah yaitu satelit alamiah sudah ada dalam tata surya dan bukan buatan manusia. contoh satelit alam adalah bulan. b. Satelit buatan yaitu satelit yang sengaja dibuat oleh manusia yang memasuki ruang angkasa masuk ke orbit bumi, baik yang berawak maupun yang tidak berawak. Satelit alami untuk tiap-tiap planet telah disebutkan dalam sub bab planet-planet. Sedangkan satelit buatan berguna untuk : a. Satelit astronomi: satelit yang digunakan untuk mengamati planet, galaksi, dan benda luar angkasa lainnya. b. Satelit komunikasi: satelit buatan yang dipasang di angkasa dengan tujuan telekomunikasi. c. Satelit pengamat bumi:satelit yang dirancang khusus untuk mengamati bumi seperti pengamatan lingkungan, meteorologi, pembuatan peta, dan lain sebagainya. d. Satelit navigasi: satelit yang menggunakan sinyal radio yang disalurkan ke penerima dipermukaan tanah untuk menentukan lokasi sebuah titik dipermukaan bumi seperti mengukur jarak antar bangunan.
138
e. Satelit mata-mata: satelit pengamat bumi yang digunakan untuk tujuan militer atau mata-mata. f. Satelit cuaca: satelit yang diguanakan untuk mengamati cuaca dan iklim di bumi. Satelit Indonesia adalah satelit palapa dan disingkat SKSD (Sistem Komunikasi Satelit Domestik) Palapa. Pusat pengendali satelit Palapa adalah di Cibinong, Bogor, Jawa Barat. 2.7
Berupa Apakah Medium Antar Planet dalam Sistem Tata Surya?
Di samping cahaya, matahari juga secara berkesinambungan memancarkan semburan partikel bermuatan ( plasma) yang dikenal sebagai angin surya. Semburan partikel ini menyebar keluar kira-kira pada kecepatan 1,5 juta kilometer per jam, menciptakan atmosfer tipis (heliosfer) yang merambah Tata Surya paling tidak sejauh 100 SA (lihat juga heliopause). Kesemuanya ini disebut medium antarplanet. Badai geomagnetis pada permukaan Matahari, seperti semburan Matahari ( solar flares) dan lontaran massa korona (coronal mass ejection) menyebabkan gangguan pada heliosfer, menciptakan cuaca ruang angkasa. Struktur terbesar dari heliosfer dinamai lembar aliran heliosfer (heliospheric current sheet ), sebuah spiral yang terjadi karena gerak rotasi magnetis Matahari terhadap medium antarplanet. Medan magnet bumi mencegah atmosfer bumi berinteraksi dengan angin surya. Venus dan Mars yang tidak memiliki medan magnet, atmosfernya habis terkikis ke luar angkasa. Interaksi antara angin surya dan medan magnet bumi menyebabkan terjadinya aurora, yang dapat dilihat dekat kutub magnetik bumi. Heliosfer juga berperan melindungi Tata Surya dari sinar kosmik yang berasal dari luar Tata Surya. Medan magnet planet-planet menambah peran perlindungan selanjutnya. Densitas sinar kosmik pada medium antarbintang dan kekuatan medan magnet Matahari mengalami perubahan pada skala waktu yang sangat panjang, sehingga derajat radiasi kosmis di dalam Tata Surya sendiri adalah bervariasi, meski tidak diketahui seberapa besar. Medium antar planet juga merupakan tempat beradanya paling tidak dua daerah mirip piringan yang berisi debu kosmis. Yang pertama, awan debu zodiak, terletak di Tata Surya bagian dalam dan merupakan penyebab cahaya zodiak. Ini kemungkinan terbentuk dari tabrakan dalam sabuk asteroid yang disebabkan oleh interaksi dengan planet-planet. Daerah kedua membentang antara 10 SA sampai sekitar 40 SA, dan mungkin disebabkan oleh tabrakan yang mirip tetapi tejadi di dalam Sabuk Kuiper.
139
Gambar 2.24 Lembar aliran heliosfer, k arena gerak rotasi magnetis Matahari terhadap medium antarplanet (Lang, 2011).
140
Asteroid dan Komet Terdapat banyak sistem dalam jagad raya ini. Salah satu sistem di dalam galaksi Bima Sakti yang kita kenal adalah sistem Tata Surya. Bumi, tempat yang ditempati oleh manusia merupakan salah satu planet yang berada dalam sistem Tata Surya. Dalam Bab Sistem Tata Surya ini akan mempelajari tentang: 1.
Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid , mempelajari tentang lintasan orbit asteroid serta keadaan fisis asteroid.
2. Asteroid dan Permasalahan Mekanika Angkasa, mempelajari tentang asteroid dan klasifikasinya serta mempelajari permasalahan mekanika angkasa. 3.
Penemuan Komet, mempelajari tentang penemuan komet.
4.
Orbit dan Sifat Fisis Komet, mempelajari tentang lintasan orbit komet dan sifa fisis komet.
Ilustrasi di samping menunjukkan komet dengan orbitnya (Sumber ilustrasi: Seeds, 2007).
141
Halaman ini sengaja dikosongi
142
Bab III TUJUAN PERKULIAHAN:
Setelah melakukan pembelajaran Asteroid dan Komet, mahasiswa dapat memahami topik:
Asteroid dan Komet
3.1 Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid 3.2 Asteroid dan Permasalahan Mekanika Angkasa 3.3 Penemuan Komet 3.4 Orbit dan Sifat Fisis Komet
143
3.1
Bagaimana Orbit dan Keadaan Fisis Asteroid?
Orbit Asteroid
Kebanyakan asteroid terletak pada sebuah cincin besar antara orbit Mars dan Jupiter . Sabuk utama terdiri lebih dari 200 asteroid dengan diameter lebih besar dari 60 mil (100 kilometer). Para ilmuwan memperkirakan sabuk asteroid juga berisi lebih dari 750.000 asteroid dengan diameter lebih besar dari tiga-perlima dari satu mil (1 kilometer) dan jutaan yang lebih kecil. Tidak semua benda angkasa di sabuk asteroid utama adalah asteroid, misalnya Ceres yang pernah diusulkan sebagai sebuah asteroid, kini dianggap sebagai planet kerdil.
Gambar 3.1 Diagram ini menunjukkan posisi asteroid yang dikenal di dalam atau dekat dengan orbit Yupiter pada hari tertentu. Meskipun asteroid merupakan benda kecil dan terletak berjauhan, sebagian besar benda-benda tersebut berada di tata surya bagian dalam (Seeds, 2007).
Banyak asteroid terletak di luar sabuk utama. Misalnya, sejumlah asteroid yang disebut Trojan terletak di sepanjang jalur orbit Jupiter. Tiga kelompok asteroid (Atens, Amors, dan Apolos) yang 144
dikenal dekat orbit Bumi di tata surya bagian dalam, kadang-kadang melintasi jalur Mars dan Bumi.
Gambar 3.2 Di sini kurva merah menunjukkan jumlah asteroid pada jarak yang berbeda terhadap matahari. Batang ungu menandakan Kirkwoof gaps, di mana di sana terdapat sedikit asteroid. Catatan bahwa gap ini sesuai dengan resonansi dengan orbit gerak Yupiter (Seeds, 2007).
Keadaan Fisis Asteroid
Objek di sabuk asteroid utama memiliki ukuran yang sangat bervariasi. Sebagian besar asteroid jauh lebih kecil dan berbentuk tidak beraturan, asteroid kecil tersebut merupakan sisa proses planetesimal yang bertahan hidup atau potongan tubuh yang lebih besar.
Gambar 3.3 Ukuran relatif dan pendekatan bentuk dari asteroid terbesar ditunjukkan di sini dibandingkan dengan ukuran bulan. Asteroid lebih kecil dapat memiliki bentuk yang sangat tidak teratur (Seeds, 2007).
Ceres adalah objek terbesar di sabuk asteroid, dengan diameter 975 km (610 mil). Objek terbesar kedua di sabuk asteroid adalah asteroid 2 Pallas dan 4 Vesta, dengan diameter lebih dari 500 km (300 mil). Biasanya hanya Vesta yang merupakan asteroid di sabuk utama yang bisa terlihat dengan mata telanjang. Namun, pada beberapa kesempatan langka, sebuah asteroid dekat Bumi bisa terlihat dalam waktu singkat tanpa bantuan teknis. 145
Massa dari semua obyek dari sabuk asteroid utama (antara orbit Mars dan Jupiter) diperkirakan sekitar 3,0-3,6×10 21 kg, atau sekitar 4 persen dari massa Bulan. Dari jumlah ini, Ceres terdiri dari 0,95×1021 kg, beberapa persen dari total 32. Selanjutnya, tiga obyek yang paling besar, Vesta (9%), Pallas (7%), dan Hygiea (3%) , membawa angka ini sampai 51%, sedangkan tiga setelah itu, 511 Davida (1.2%), 704 Interamnia (1,0%), dan 52 Europa (0,9%), hanya menambah 3% dari total massa. Jumlah asteroid kemudian meningkat dengan cepat karena penurunan massa masing-masing. Komposisi fisik asteroid yang bervariasi pada sebagian besar kasus kurang dipahami. Ceres tampaknya terdiri dari inti berbatu ditutupi oleh mantel dingin, sedangkan Vesta diperkirakan memiliki inti nikel-besi, olivin mantel, dan kerak basaltik 10 Hygiea. Namun, yang tampaknya memiliki komposisi seragam primitif dari chondrite karbonan, dianggap tidak dibedakan sebagai asteroid terbesar. Asteroid mengandung jejak-asam amino dan senyawa organik lainnya. Hanya satu asteroid, 4 Vesta, yang memiliki permukaan reflektif, biasanya terlihat dengan mata telanjang, dan ini hanya di langit sangat gelap ketika posisinya bagus. Jarang, asteroid kecil lewat dekat Bumi bisa saja terlihat dengan mata telanjangdalam waktu yang singkat. Komposisi dihitung dari tiga sumber utama: Albedo, spektrum permukaan, dan kepadatan. Yang terakhir hanya bisa ditentukan secara akurat dengan mengamati orbit bulan asteroid. Sejauh ini, setiap asteroid dengan bulan-bulan telah berubah menjadi tumpukan puing, konglomerasi longgar batu dan logam yang mungkin setengah ruang kosong berdasarkan volume. Asteroid sebagian besar berdiameter 280 km, dan termasuk 121 Hermione (268×186×183 km), dan 87 Sylvia (384×262×232 km).
/
Gambar 3.4 Asteroid setelah bertumbukan (Seeds, 2007)
Secara umum, sifat fisis asteroid dapat dicatat dalam empat poin penting, yaitu: a. Sebagian besar asteroid memiliki bentuk tidak teratur ditukar dengan dampak kawah tampak tumpukan puing-puing dari bagian yang rusak.
146
b. Beberapa asteroid memiliki objek ganda atau memiliki bulan kecil dalam orbit di sekitarnya. Hal ini disesuaikan dengan bukti dari tumbukan antar asteroid. c. Asteroid yang lebih besar menunjukkan sedikit aktivitas geologi di permukaannya yang mungkin dikarenakan aktivitas vulkanik saat asteroid masih muda. d. Asteroid dapat diklasifikasikan berdasarkan albedo dan warna untuk mengungkapkan petunjuk komposisinya. 3.2 Apakah Asteroid itu? Bagaimanakah Permasalahan Mekanika Angkasa?
Istilah "asteroid" diterapkan untuk semua obyek astronomi yang mengorbit Matahari yang tidak memiliki karakteristik dari suatu komet aktif atau planet. Obyek kecil di luar tata surya ditemukan memiliki komposisi berbeda dari objek historis disebut asteroid. Ada jutaan asteroid, dan seperti kebanyakan benda kecil lainnya di Tata Surya, asteroid dianggap sisa-sisa planetesimal, bahan dalam nebula Matahari muda yang belum tumbuh cukup besar untuk membentuk planet. Sebagian besar asteroid mengorbit di sabuk utama antara orbit Mars dan Jupiter, namun banyak asteroid yang memiliki berbeda dengan populasi yang signifikan termasuk Jupiter Trojans dan asteroid dekat Bumi. Asteroid Individu dikategorikan dengan spektrum karakteristik, dengan mayoritas jatuh ke dalam tiga kelompok utama: C-type, S-jenis, dan Mtipe. Biasanya ini diidentifikasi dengan komposisi karbon, batu, dan logam masing-masing. Asteroid umumnya diklasifikasikan menurut dua kriteria: karakteristik orbitnya, dan fitur spektrum reflektansinya. a. Klasifikasi Orbital Banyak asteroid telah dikelompokkan berdasarkan karakteristik orbitnya. Sekitar 30% sampai 35% dari benda di sabuk utama merupakan kelompok dinamik yang memiliki asal mula yang sama dalam tabrakan masa lalu antara asteroid. Sebuah kelompok juga telah dikaitkan dengan planet kerdil Haumea Plutoid. b. Kuasi-satelit dan objek tapal kuda Beberapa asteroid memiliki orbit tapal kuda yang tidak biasa (coorbital) dengan Bumi atau planet lain. Contohnya adalah Cruithne 3753 dan 2002 AA29. Contoh pertama dari jenis pengaturan orbital ditemukan antara Saturnus bulan Epimetheus dan Janus. Adakalanya benda tapal kuda sementara menjadi kuasi-satelit selama beberapa dekade atau beberapa ratus tahun, sebelum kembali ke status sebelumnya. Baik Bumi dan Venus diketahui telah kuasi-satelit. benda tersebut, jika dikaitkan dengan Bumi atau Venus atau bahkan hipotetis Mercury, adalah kelas khusus dari asteroid Aten. Namun, objek tersebut dapat dikaitkan dengan planet luar juga. c. Klasifikasi Spektral Pada tahun 1975, sebuah sistem taksonomi asteroid berdasarkan warna, Albedo, dan bentuk spektral dikembangkan oleh Clark R. 147
Chapman, David Morrison, dan Ben Zellner. Sifat ini dianggap sesuai dengan komposisi bahan permukaan asteroid. Sistem klasifikasi asli memiliki tiga kategori: jenis C untuk objek karbon gelap (75% dari asteroid diketahui), jenis S untuk membatu (silicaceous) obyek (17% dari asteroid diketahui), dan jenis U bagi yang tidak cocok dengan baik C atau S. Klasifikasi ini telah dilakukan sejak diperluas untuk mencakup banyak jenis asteroid lainnya. Jumlah perkembangan asteroid kini lebih banyak dipelajari. Dua taksonomi yang paling banyak digunakan adalah klasifikasi Tholen dan klasifikasi SMASS. Klasifikasi Tholen diusulkan pada tahun 1984 oleh David J. Tholen, dan didasarkan pada data yang dikumpulkan dari survei asteroid delapan-warna dilakukan pada 1980-an. Hal ini mengakibatkan 14 kategori asteroid. Pada tahun 2002, Survei spektroskopi sabuk utama asteroid kecil menghasilkan versi modifikasi dari taksonomi Tholen dengan 24 jenis yang berbeda. Kedua sistem memiliki tiga kategori C, S, dan asteroid X, dimana X terdiri dari sebagian besar asteroid logam, seperti jenis-M. Ada juga beberapa kelas yang lebih kecil. Perhatikan bahwa proporsi asteroid diketahui jatuh ke dalam berbagai jenis spektral tidak selalu mencerminkan proporsi dari semua asteroid yang jenis itu, beberapa jenis lebih mudah untuk mendeteksi daripada yang lain. 3.3 Bagaimana Komet Ditemukan?
Sebelum penemuan teleskop, komet tampaknya muncul dari mana saja di langit dan secara bertahap menghilang dari pandangan. Munculnya komet biasanya dianggap pertanda buruk kematian raja atau orang yang mulia, atau bencana datang, atau bahkan ditafsirkan sebagai serangan oleh makhluk surgawi terhadap penduduk terrestrial. Dari sumber kuno, seperti tulang oracle Cina, diketahui bahwa penampakan komet telah diperhatikan oleh manusia selama ribuan tahun. Beberapa pihak berwenang menafsirkan referensi untuk "bintang jatuh" di Gilgames, Kitab Wahyu, dan Kitab Henokh sebagai referensi untuk komet, atau mungkin bolides. Satu rekaman tua yang sangat terkenal dari komet adalah munculnya Komet Halley di Bayeux Tapestry, yang mencatat penaklukan Norman dari Inggris pada AD 1066. Dalam buku pertamanya, Meteorologi, Aristoteles mengemukakan pandangan komet yang akan memegang kekuasaan di Barat berpikir selama hampir dua ribu tahun. Dia menolak ide-ide para filsuf beberapa sebelumnya bahwa komet adalah planet-planet, atau setidaknya sebuah fenomena yang berhubungan dengan planet-planet, dengan alasan bahwa sementara planet terbatas gerak mereka ke lingkaran Zodiac, komet bisa muncul di bagian manapun dari langit. Sebaliknya, ia menggambarkan komet sebagai fenomena dari atmosfer atas, di mana panas, embusan napas kering dikumpulkan dan kadang-kadang meledak menjadi api. Aristoteles tidak hanya bertanggung jawab untuk mekanisme penemuan komet, tetapi juga meteor, aurora borealis, dan 148
bahkan Bima Sakti. Beberapa filsuf klasik kemudian melakukan sengketa pandangan tentang komet. Seneca Muda mengamati bahwa komet bergerak secara teratur melalui langit dan tidak terganggu oleh angin, perilaku yang lebih khas surgawi dari fenomena atmosfer. Sementara Senca mengakui bahwa planet-planet lain tidak muncul di luar Zodiac, ia melihat ada alasan bahwa objek planet-seperti tidak bisa bergerak melalui bagian dari langit. Namun demikian, sudut pandang Aristoteles terbukti lebih berpengaruh, dan tidak sampai abad 16 telah diperlihatkan bahwa komet ada di luar atmosfer bumi. Pada 1577, sebuah komet terang terlihat selama beberapa bulan. Para astronom Denmark Tycho Brahe menggunakan pengukuran posisi komet oleh dirinya sendiri dan lainnya secara geografis terpisah, pengamat untuk menentukan bahwa komet tidak memiliki pengukuran paralaks. Dalam ketepatan pengukuran, hal ini tersirat komet harus setidaknya empat kali lebih jauh dari bumi dibandingkan bulan. Studi Orbital
Meskipun telah dibuktikan keberadaan komet di langit, pertanyaan tentang bagaimana komet bergerak melalui langit diperdebatkan sebagian besar ahli pada abad berikutnya. Bahkan setelah Johannes Kepler (1609) telah menentukan bahwa planet-planet bergerak mengelilingi matahari dalam orbit elips, ia enggan untuk percaya bahwa hukum-hukum yang mengatur gerakan planet-planet juga harus mempengaruhi gerak benda langit lainnya. Kepler percaya bahwa perjalanan komet di antara planet sepanjang garis lurus. Galileo Galilei, meskipun Copernicanist setia, menolak pengukuran paralaks Tycho dan berpegang pada gagasan Aristotelian, komet bergerak pada garis lurus melalui atmosfer. Saran pertama bahwa hukum Kepler tentang gerak planet harus diterapkan pada komet dibuat oleh William sekitar tahun 1610. Dalam dekade berikutnya, astronom laintermasuk Pierre Petit, Giovanni Borelli, Adrien Auzout, Robert Hooke, Johann Baptis Cysat, Giovanni Domenico Cassini berpendapat bahwa orbit komet melengkung terhadap matahari di jalur elips atau parabola, sementara yang lain, seperti Christian Huygens dan Johannes Hevelius, mendukung gerak linier komet. Perdebatan ini diselesaikan oleh komet terang yang ditemukan oleh Gottfried Kirch pada tanggal 14 November 1680. Para astronom di seluruh Eropa melacak posisinya selama beberapa bulan. Tahun 1681, pendeta Saxon Georg Samuel Doerfel menetapkan bukti bahwa komet adalah benda-benda langit bergerak dengan lintasan parabola dan matahari adalah fokus. Kemudian Isaac Newton, dalam bukunya Principia Mathematica dari 1687, membuktikan bahwa obyek bergerak di bawah pengaruh hukum invers kuadrat gravitasi universal harus menelusuri orbit berbentuk seperti salah satu bagian kerucut, dan dia menunjukkan bagaimana untuk menyesuaikan jalan komet melalui langit ke orbit parabola, komet pada 1680 digunakan sebagai contoh. Pada tahun 1705, Edmond Halley menerapkan metode Newton untuk 23 penampakan cometary yang terjadi antara 1337 dan 1698. Ia mencatat bahwa tiga dari ini, maka komet 1531, 1607, dan 1682, memiliki unsurunsur orbital sangat mirip, dan ia lebih mampu untuk 149
menjelaskan sedikit perbedaan dalam orbitnya dalam hal gangguan gravitasi oleh Jupiter dan Saturnus. Tiga penampakan komet yang sama, membuat para ahli memprediksikan bahwa hal itu akan muncul lagi di 1758-9. (Sebelumnya, Robert Hooke telah mengidentifikasi komet dari 1664 dengan yang 1618, sementara Giovanni Domenico Cassini telah menemukan identitas komet dari 1577, 1665, dan 1680 Keduanya benar) tanggal pengembalian diperkirakan Halley kemudian disempurnakan oleh tim dari tiga matematikawan Perancis. Alexis Clairaut, Yusuf Lalande, dan Nicole-Reine Lepaute, yang diperkirakan tanggal 1759 perihelion komet ke dalam keakuratan satu bulan . Ketika komet muncul kembali sesuai prediksi, komet itu dikenal sebagai Komet Halley (dengan sebutan hari terakhir 1P/Halley). penampilan berikutnya nya akan di 2061. Di antara komet dengan periode yang cukup singkat telah diamati beberapa kali dalam catatan sejarah, Komet Halley adalah unik karena secara konsisten cukup terang untuk dapat dilihat dengan mata telanjang saat melewati Tata Surya bagian dalam. Karena konfirmasi periodisitas Komet Halley, beberapa komet berkala lainnya telah ditemukan melalui penggunaan teleskop. Komet kedua ditemukan memiliki orbit periodik adalah Encke Komet (dengan penunjukan resmi 2P/Encke). Selama periode 1819-1821 matematikawan Jerman dan fisikawan Johann Franz Encke menghitung orbit untuk serangkaian komet yang telah diamati pada tahun 1786, 1795, 1805, dan 1818, dan ia menyimpulkan bahwa komet yang muncul pada tahun-tahun tersebut adalah komet yang sama, dan berhasil memprediksikan kembalinya tahun 1822. Pada tahun 1900, tujuh belas komet telah diamati melalui lebih dari satu bagian melalui perihelions, dan kemudian diakui sebagai komet periodik. Pada April 2006, 175 komet telah mencapai perbedaan ini, walaupun beberapa ini tampaknya telah hancur atau hilang. Studi tentang Karakteristik Fisik
Isaac Newton menggambarkan komet sebagai badan padat kompak dan tahan lama bergerak dalam orbit miring, dan ekor komet sebagai aliran uap tipis yang dipancarkan oleh inti, tersulut atau dipanaskan oleh matahari. Newton menduga bahwa komet adalah asal komponen pendukung kehidupan udara. Pada awal abad ke-18, beberapa ilmuwan telah membuat hipotesis yang benar untuk komposisi fisik komet. Pada tahun 1755, Immanuel Kant berhipotesis bahwa komet terdiri dari beberapa zat volatil, yang penguapannya menimbulkan penampakan yang luar biasa di dekat perihelion. Pada tahun 1836, Matematikawan Jerman Friedrich Wilhelm Bessel, setelah mengamati aliran uap selama penampakan Komet Halley pada tahun 1835, mengusulkan bahwa pasukan jet dari penguapan bahan bisa menjadi cukup besar dan secara signifikan mengubah orbit sebuah komet, dan ia berpendapat bahwa gerakan-gerakan non-gravitasi dari Encke Komet dihasilkan dari fenomena ini. Namun, lain yang berhubungan dengan penemuan komet dibayangi ide-ide selama hampir satu abad. Selama periode 1864-1866 astronom Italia Giovanni Schiaparelli dihitung orbit meteor Perseid, dan 150
berdasarkan kesamaan orbit, benar hipotesis bahwa Perseids adalah fragmen Komet Swift-Tuttle. Hubungan antara komet dan hujan meteor secara dramatis menggarisbawahi peristiwa pada tahun 1872, meteor shower besar terjadi dari orbit Komet Biela, yang telah diamati dapat dibagi menjadi dua bagian selama 1846 kemunculannya, dan tidak pernah terlihat lagi setelah 1852. Sebuah "bank kerikil" model struktur komet muncul, menurut yang komet terdiri dari tumpukan longgar objek berbatu kecil, dilapisi dengan lapisan es. Pada pertengahan abad kedua puluh, model ini mengalami beberapa kekurangan: khususnya, gagal menjelaskan bagaimana suatu benda angkasa yang hanya berisi es sedikit dapat terus memakai tampilan cemerlang uap menguap setelah beberapa bagian perihelion. Pada tahun 1950, Fred Lawrence Whipple mengusulkan bahwa bukannya obyek berbatu yang mengandung es, komet adalah benda dingin yang mengandung beberapa debu dan batu. Ini "bola salju kotor" model segera menjadi diterima dan tampaknya didukung oleh pengamatan sebuah armada pesawat ruang angkasa (termasuk probe Giotto Badan Antariksa Eropa dan Uni Soviet Vega Vega 1 dan 2) yang terbang melalui koma dari Komet Halley pada tahun 1986, difoto inti, dan diamati jet dari penguapan material. Temuan Terbaru
Debat terus berlangsung tentang berapa banyak es di komet. Pada tahun 2001, 1 tim NASA's Deep Space yang bekerja di NASA Jet Propulsion Lab, memperoleh gambar resolusi tinggi dari permukaan Komet Borrelly. Mereka mengumumkan bahwa komet Borrelly penampakan yang berbeda, namun memiliki permukaan yang panas dan kering. Asumsi bahwa komet mengandung es air dan lain yang dipimpin Dr Laurence Soderblom dari US Geological Survey mengatakan, "Spektrum menunjukkan bahwa permukaan panas dan kering. Hal ini mengejutkan karena kita melihat tidak ada jejak air es". Namun, ia melanjutkan dengan menunjukkan bahwa es mungkin tersembunyi di bawah kerak "baik permukaan telah dikeringkan oleh panas matahari dan pematangan atau mungkin bahan jelaga sangat gelap yang meliputi masker permukaan Borrelly's jejak es permukaan". Pada bulan Juli 2005, Deep Impact probe mengecam sebuah kawah di Komet Tempel 1 untuk mempelajari interiornya. Misi ini membuahkan hasil menunjukkan bahwa sebagian besar air es komet di bawah permukaan, dan bahwa reservoir feed jet air menguap yang membentuk koma dari Tempel 1. Berganti nama EPOXI, itu membuat flyby dari Komet Hartley 2 pada tanggal 4 November 2010. Wahana Stardust, diluncurkan pada bulan Februari 1999, dikumpulkan partikel koma dari Komet Wild 2 pada bulan Januari 2004, dan sampel kembali ke bumi dalam kapsul pada bulan Januari 2006. Claudia Alexander, seorang ilmuwan program untuk Rosetta dari NASA Jet Propulsion Laboratory yang telah memodelkan komet selama bertahun-tahun, dilaporkan kepada space.com tentang keheranannya terhadap di jumlah jet, penampilan di sisi gelap komet serta di sisi terang, mereka mampu untuk mengangkat 151
potongan besar batu dari permukaan komet dan fakta bahwa komet Wild 2 bukan tumpukan puing longgar disemen. Data yang lebih baru dari misi Stardust menunjukkan bahwa bahan bahan diambil dari ekor Wild 2 adalah kristal dan hanya bisa saja "dilahirkan dalam api". Walaupun komet terbentuk di luar Tata Surya, radial pencampuran bahan selama awal pembentukan Tata Surya diperkirakan memiliki materi yang didistribusikan di seluruh disk proto planet, sehingga komet juga mengandung butiran kristal yang terbentuk dalam sistem tata surya panas. Hal ini terlihat dalam spektrum komet serta dalam misi sampel kembali. Hasil penemuan baru ini telah memaksa para ilmuwan untuk memikirkan kembali sifat komet dan perbedaannya dengan asteroid. "Debu komet mirip material asteroid." Misi ruang angkasa yang akan datang akan menambahkan rincian yang lebih besar untuk pemahaman kita tentang apa komet yang terbuat dari apa komet itu. Probe Rosetta Eropa saat ini dalam perjalanan ke Komet Churyumov-Gerasimenko, pada tahun 2014 itu akan masuk ke orbit komet dan tempat pendaratan kecil di permukaannya. 3.4 Bagaimana Orbit dan Karakteristik Fisis Komet? Orbit Komet
Gambar 3.5 Pemnampakan komet dilihat dari bumi (Seeds, 2007).
Komet adalah benda langit yang mengelilingi matahari dengan garis edar berbentuk lonjong atau parabolis atau hiperbolis. "Simbol astronomi untuk komet adalah ( ☄), yang terdiri dari disk kecil dengan tiga ekstensi mirip rambut. Komet terdiri dari kumpulan debu dan gas yang membeku pada saat berada jauh dari matahari. Ketika mendekati matahari, sebagian bahan penyusun komet menguap membentuk kepala gas dan ekor. Komet juga mengelilingi matahari, sehingga termasuk dalam sistem tata surya. Komet merupakan gas pijar dengan garis edar yang berbeda-beda. Panjang komet dapat mencapai jutaan km. 152
Beberapa komet menempuh jarak lebih jauh di luar angkasa daripada planet. Komet membutuhkan ribuan tahun untuk menyelesaikan satu kali mengorbit matahari. Komet sering disebut sebagai bintang berekor. Sebetulnya pernyataan bintang disini tidak tepat. Komet terbentuk dari es dan debu. Bagian-bagian komet terdiri dari inti, koma, awan hidrogen, dan ekor. Inti komet adalah sebongkah batu dan salju. Ekor komet arahnya selalu menjauh dari matahari. Bagian ekor suatu komet terdiri dari dua macam, yaitu ekor debu dan ekor gas. Bentuk ekor debu tampak berbentuk lengkungan, sedangkan ekor gas berbentuk lurus. Koma atau ekor komet tercipta saat mendekati matahari yaitu ketika sebagian inti meleleh menjadi gas. Angin matahari kemudian meniup gas tersebut sehingga menyerupai asap yang mengepul ke arah belakang kepala komet. Ekor inilah yang terlihat bersinar dari bumi. Sebuah komet kadang mempunyai satu ekor dan ada yang dua atau lebih.
Gambar 3.6 Es komet menguap, itu karena komet menabrak material yang tersebar di sepanjang orbitnya. Jika Bumi melewati material tersebut, meteor akan tampak. Dalam gambar ini ditunjukkan Komet Encke yang bersinar di sepanjang orbitnya dalam panjang gelombang infra merah karena dihangatkan oleh matahari. Hujan meteor Taurid terjadi setiap Oktober ketika bumi melintasi orbit komet ini (Seeds, 2007).
Berdasarkan bentuk dan panjang lintasannya, komet dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai berikut. a. Komet berekor panjang, yaitu komet dengan garis lintasannya sangat jauh melalui daerah-daerah yang sangat dingin di angkasa sehingga berkesempatan menyerap gas-gas daerah yang dilaluinya. Ketika mendekati matahari, komet tersebut melepaskan gas sehingga membentuk koma dan ekor yang sangat panjang. Contohnya, komet Kohoutek yang melintas dekat matahari setiap 75.000 tahun sekali dan komet Halley setiap 76 tahun sekali.
153
b. Komet berekor pendek, yaitu komet dengan garis lintasannya sangat pendek sehingga kurang memiliki kesempatan untuk menyerap gas di daerah yang dilaluinya. Ketika mendekati matahari, komet tersebut melepaskan gas yang sangat sedikit sehingga hanya membentuk koma dan ekor yang sangat pendek bahkan hampir tidak berekor. Contohnya komet Encke yang melintas mendekati matahari setiap 3,3 tahun sekali. Sekarang telah dikenal banyak nama komet, antara lain sebagai berikut: a. Komet Kohoutek. b. Komet Arend-Roland dan Maikos yang muncul pada tahun 1957. c. Komet Ikeya-Seki, ditemukan pada bulan September 1965 oleh dua astronom Jepang, yaitu Ikeya dan T. Seki. d. Komet Shoemaker-Levy 9 yang hancur pada tahun 1994. e. Komet Hyakutake yang muncul pada tahun 1996. f. Komet Hale-bopp yang muncul pada tahun 1997 dan lainnya. Karakteristik Fisik Komet
Komet memiliki beberapa karakteristik fisik. Komet memiliki dua macam ekor yang terbentuk oleh angin matahari dan radiasi matahari. Gas dan debu dilepas oleh inti es komet yang menghasilkan kepala atau koma dan kemudian ditiup keluar. Gas menghasilkan sebuah jenis I atau ekor gas, dan debu menghasilkan jenis II atau ekor debu. Catatan penting untuk debu komet. Debu komet tidak hanya menghasilkan ekor tetapi menyebar ke seluruh sisem tata surya. Bukti menunjukkan bahwa inti komet rapuh dan dapat pecah berkeping-keping. Selanjutnya akan dijelaskan karakteristik tiap bagian komet. a. Inti Komet Inti Komet terdiri dari batuan, debu, air es, dan gas beku seperti karbon monoksida, karbon dioksida, metan dan amonia. Karena massa yang rendah, inti komet tidak menjadi bola oleh gravitasinya sendiri, dan dengan demikian telah tidak teratur bentuk. Secara resmi, menurut pedoman NASA, komet harus paling sedikit 85% es untuk dianggap sebagai suatu komet yang sebenarnya. Inti komet sering populer digambarkan sebagai "bola salju kotor", meskipun pengamatan terakhir telah menunjukkan permukaan berdebu atau berbatu kering, menunjukkan bahwa es yang tersembunyi di bawah lapisan kulit. Komet juga mengandung berbagai senyawa organik, di samping gas telah disebutkan, ini mungkin termasuk methanol, hidrogen sianida, formaldehida, etanol dan etana, dan mungkin molekul yang lebih kompleks seperti panjang rantai hidrokarbon dan asam amino. Pada tahun 2009, itu menegaskan bahwa asam amino glisin telah ditemukan dalam debu komet ditemukan oleh misi Stardust NASA.
154
Gambar 3.7 Inti komet Tempel 1 tampak padat di foto, namun ketika benda angkasa menabraknya, sejumlah besar debu akan dikeluarkan oleh inti (Seeds, 2007).
Anehnya, inti komet adalah salah satu obyek reflektif yang ditemukan dalam tata surya kita. Probe ruang Giotto menemukan bahwa inti Komet Halley mencerminkan sekitar empat persen dari cahaya yang jatuh di atasnya, dan Deep Space 1 menemukan bahwa permukaan Komet Borrelly mencerminkan hanya 2,4% menjadi 3,0% dari cahaya yang jatuh di atasnya; perbandingan, aspal mencerminkan tujuh persen dari cahaya yang jatuh di atasnya. Diperkirakan bahwa senyawa organik kompleks merupakan bahan permukaan gelap. Permukaan komet yang sangat gelap memungkinkannya untuk menyerap panas yang diperlukan untuk mendorong proses outgassing . b. Coma dan ekor Di luar tata surya, komet tetap beku dan sangat sulit atau tidak mungkin untuk dideteksi dari Bumi karena ukurannya yang kecil. Statistik deteksi inti komet tidak aktif di sabuk Kuiper telah dilaporkan dari pengamatan Hubble Space Telescope, tetapi deteksi ini telah dipertanyakan, dan belum secara independen dikonfirmasi. Saat sebuah komet mendekati tata surya bagian dalam, radiasi matahari menyebabkan bahan volatile dalam komet menguapkan dan mengeluarkan aliran inti, kemudian membawa debu pergi. Aliran dari debu dan gas menghasilkan bentuk suasana, besar sangat lemah di sekitar komet yang disebut koma, dan gaya yang diberikan pada koma oleh tekanan radiasi matahari dan angin matahari menyebabkan terbentuk ekor besar yang jauh dari matahari.
155
Baik koma dan ekor yang diterangi oleh Matahari mungkin menjadi terlihat dari Bumi ketika sebuah komet melewati tata surya bagian dalam, debu mencerminkan sinar matahari langsung dan gas bercahaya karena ionisasi. Sebagian besar komet terlalu redup untuk dilihat tanpa bantuan teleskop, tetapi masing-masing komet dalam beberapa dekade terakhir ini menjadi cukup terang untuk dapat dilihat dengan mata telanjang. Kadang-kadang komet mungkin mengalami ledakan besar dan tiba-tiba gas dan debu (ukuran koma) sangat meningkat. Hal ini terjadi pada tahun 2007 yang menjadi Comet Holmes. Aliran debu dan gas pada setiap bentuk ekor yang berbeda, menunjuk ke arah yang sedikit berbeda. Ekor debu yang tertinggal dalam orbit komet sedemikian rupa sehingga sering berbentuk melengkung yang disebut ekor tipe II atau ekor debu. Pada saat yang sama, ion atau ekor tipe I, terbuat dari gas, selalu menunjuk langsung menjauh dari Matahari, gas ini lebih kuat dipengaruhi oleh angin matahari daripada debu, berikut medan magnet daripada lintasan orbit. Pada saat ekor pendek menunjuk ke arah yang berlawanan ke ekor ion dan debu dapat dilihat.
Gambar 3.8 Gambar cahaya tampak dibuat oleh pesawat ruang angkasa dan Teleskop Ruang Angkasa Hubble menunjukkan bagaimana inti komet menghasilkan sejumlah gas dari daerah di mana cahaya matahari menguapkan es (Seeds, 2007).
Sedangkan inti padat komet umumnya kurang dari 50 km (31 mil), koma mungkin lebih besar dari Matahari, dan ekor ion telah diamati untuk memperpanjang satu unit astronomi (150 juta km) atau lebih. Pengamatan antitails memberikan kontribusi signifikan terhadap penemuan angin matahari. Ekor ion terbentuk sebagai hasil dari efek fotolistrik, radiasi ultra-violet matahari yang bekerja pada partikel dalam koma. Setelah partikel terionisasi, partikel-partikel tersebut mencapai muatan listrik bersih positif yang pada gilirannya
156
menimbulkan sebuah "induksi magnetosfer" di sekitar komet. Komet dan induksi medan magnet merupakan hambatan diluar aliran partikel angin matahari. Kecepatan orbit relatif terhadap komet dan angin surya supersonik, kejutan busur terbentuk hulu komet, dalam arah aliran angin matahari. Dalam kejutan busur, konsentrasi ion Komet besar (disebut "pick-up ion") berkumpul dan bertindak untuk menghasilkan medan magnet matahari dengan plasma, seperti bidang baris "menggantung" di sekitar komet membentuk ekor ion. Jika muatan ekor ion cukup, maka garis-garis medan magnet yang diperas bersama-sama ke titik pada beberapa jarak sepanjang ekor ion, rekoneksi magnet terjadi. Ini mengarah ke "acara pemutusan ekor". ini telah diamati pada beberapa kesempatan, satu peristiwa penting yang dicatat pada tanggal 20 April 2007 ketika ekor ion Encke Komet benar benar terputus sementara komet melewati massa koronal ejeksi. Acara ini diamati oleh probe ruang STEREO. c. Koneksi ke meteor shower Sebagai hasil dari outgassing , komet meninggalkan jejak puing padat. Jika jalur komet melintasi jalan bumi, maka pada saat itu ada kemungkinan akan hujan meteor karena bumi melewati jejak puing-puing. Hujan meteor Perseid terjadi setiap tahun antara 9 Agustus dan 13 Agustus saat Bumi melewati orbit komet Swift-Tuttle. Komet Halley adalah sumber shower Orionid di bulan Oktober. Karakteristik Orbital
Kebanyakan orbit komet memanjang elips yang membawanya dekat dengan Matahari dan kemudian keluar mencapai lebih lanjut dari tata surya. Komet sering diklasifikasikan menurut lamanya periode orbit: semakin lama jangka waktu yang lebih panjang elips.
Gambar 3.9 Orbit komet (Seeds, 2007)
Periode pendek komet umumnya didefinisikan sebagai periode orbit kurang dari 200 tahun. Komet biasanya mengorbit lebih-atau-kurang dalam pesawat Ekliptika dalam arah yang sama dengan planet. Orbit 157
komet biasanya membawanya keluar ke daerah planet-planet luar (Jupiter dan seterusnya) di aphelion, misalnya, aphelion dari Komet Halley sedikit di luar orbit Neptunus. Pada kondisi ekstrem yang lebih pendek, Encke Komet memiliki orbit yang tidak pernah dikatakan jauh dari Matahari dari Jupiter. Jangka pendek komet selanjutnya dibagi ke dalam keluarga Jupiter (jangka waktu kurang dari 20 tahun) dan keluarga Halley (periode antara 20 dan 200 tahun). Periode panjang komet memiliki orbit yang sangat eksentrik dan jangka waktu antara 200 tahun ke ribuan atau bahkan jutaan tahun Sebuah eksentrisitas yang lebih besar dari 1. Saat perihelion dekat tidak selalu berarti bahwa komet akan meninggalkan tata surya. Misalnya, Komet McNaught (C/2006 P1) memiliki eksentrisitas osculating heliosentris dari zaman 1,000019 dekat bagian yang perihelion pada bulan Januari 2007, tetapi terikat dengan Matahari dengan orbit kira-kira 92.600 tahun sejak eksentrisitas turun di bawah 1 ketika bergerak lebih jauh dari matahari. Orbit masa depan sebuah komet periode panjang benar diperoleh ketika orbit osculating dihitung pada zaman setelah meninggalkan wilayah planet dan dihitung terhadap pusat massa dari tata surya. Dengan definisi periode panjang gravitasi komet tetap terikat dengan Matahari; komet yang dikeluarkan dari tata surya karena melewati planet utama tidak lagi dipertimbangkan memiliki "periode". Orbit komet periode panjang membawanya jauh melampaui planet planet luar di aphelia, dan bidang orbitnya dekat ekliptika. Periode komet panjang seperti Komet Barat dan C/1999 F1 dapat memiliki jarak apoapsis Barycentric hampir 70.000 AU dengan periode orbit diperkirakan sekitar 6 juta tahun.
Gambar 3.10 Periode panjang komet tampaknya berasal dari awan Oort. Benda yang jatuh menuju sistem tata surya dari awan ini datang dari segala arah.
Penampakan komet tunggal mirip dengan komet periode panjang karena memiliki lintasan parabola atau sedikit hiperbolik saat perihelion dekat di Tata Surya bagian dalam. Namun, gangguan 158
gravitasi dari planet raksasa menyebabkan orbitnya berubah, dan ketika komet tunggal berada di luar planet, eksentrisitasnya masih hiperbolik dengan aphelion berbaring di luar Awan Oort luar. Semua komet dengan orbit parabolik dan sedikit hiperbolik milik Tata Surya dan memiliki periode orbit tertentu, umumnya ratusan ribu, atau jutaan tahun sebelum terganggu ke sebuah pengusiran lintasan. Tidak ada komet dengan eksentrisitas secara signifikan lebih besar dari satu telah diamati, sehingga tidak ada konfirmasi pengamatan komet yang mungkin berasal dari luar tata surya. Comet C/1980 E1 memiliki periode orbit sekitar 7,1 juta tahun bagian perihelion sebelum 1982, tetapi pertemuan 1980 dengan Jupiter mempercepat komet memberikan eksentrisitas terbesar (1,057) dari setiap komet hiperbolik diketahui. Komet tidak diharapkan kembali ke tata surya bagian dalam meliputi C/1980 E1, C/2000 U5, C/2001 Q4 (NEAT), C/2009 R1, C/1956 R1, dan C/2007 F1 (LONEOS). Beberapa pemerintah menggunakan komet istilah periodik untuk mengacu pada setiap komet dengan orbit periodik (yaitu, semua komet periode pendek ditambah semua komet periode panjang), sedangkan yang lain menggunakannya berarti secara eksklusif komet periode pendek. Demikian pula, meskipun arti harfiah dari komet non-periodik adalah sama dengan "penampakan komet tunggal", beberapa menggunakannya untuk semua komet yang tidak "periodik" dalam arti kedua (yaitu, juga mencakup semua komet dengan jangka waktu lebih dari 200 tahun). Baru-baru ini ditemukan sabuk komet utama dengan bentuk kelas berbeda, yang mengorbit di orbit lingkaran lebih dalam dari sabuk asteroid. Berdasarkan karakteristik orbit, komet periode pendek diperkirakan berasal dari centaur dan Sabuk Kuiper/disk yang tersebar disk obyek di wilayah-transneptunian sedangkan sumber komet periode panjang diperkirakan menjadi jauh lebih jauh dari bola Awan Oort (setelah astronom Belanda Jan Hendrik Oort berhipotesis tentang keberadaannya). Kadang-kadang pengaruh gravitasi planet-planet luar (dalam hal objek sabuk Kuiper) atau bintang-bintang terdekat (dalam hal objek Awan Oort) dapat membuang salah satu dari benda-benda ini menjadi orbit elips yang membawanya ke dalam terhadap Matahari, agar membentuk komet. Berbeda dengan kembalinya komet periodik yang mengorbit telah ditetapkan oleh pengamatan sebelumnya, munculnya komet baru dengan mekanisme ini tidak dapat diprediksi. Sejak orbit elips sering membawa komet dekat dengan planet raksasa, komet tunduk pada gangguan gravitasi lebih lanjut. Komet periode pendek menampilkan kecenderungan untuk aphelia komet bertepatan dengan jari jari orbit sebuah planet raksasa, dengan keluarga komet Jupiter menjadi yang terbesar, seperti yang ditunjukkan histogram. Jelas bahwa komet datang dari awan Oort yang orbitnya sangat dipengaruhi oleh gravitasi planet raksasa sebagai hasil dari pertemuan antar benda ruang angkasa. Jupiter adalah sumber dari gangguan terbesar, menjadi lebih dari dua kali besar sebagai semua gabungan planet lainnya, selain menjadi tercepat planet-planet raksasa. Gangguan ini mungkin kadang-kadang menangkis komet periode panjang ke dalam periode orbit kurang, dengan Komet Halley menjadi contoh kemungkinan ini.
159
Pengamatan dini telah mengungkapkan bahwa beberapa lintasan benar-benar hiperbolik (non-periodik). Jika komet menyelimuti ruang antar bintang, komet akan bergerak dengan kecepatan dari urutan yang sama dengan kecepatan relatif dari bintang-bintang dekat Matahari (beberapa puluh kilometer per detik). Jika objek memasuki tata surya, objek tersebut akan memiliki total energi positif, dan akan memiliki lintasan benar-benar hiperbolik. Perhitungan kasar menunjukkan bahwa mungkin ada empat komet hiperbolik per abad, dalam orbit Jupiter, memberi atau mengambil satu dan mungkin dua perintah besar. Sejumlah komet periodik yang ditemukan pada dekade sebelumnya atau abad sebelumnya sekarang "hilang". Orbitnya tidak pernah dikenal cukup baik untuk memprediksi penampilan masa depan. Namun, kadangkadang komet "baru" akan ditemukan dan pada saat perhitungan orbit ternyata menjadi komet lama "hilang". Contohnya adalah Comet 11P/Tempel-Swift-LINEAR, ditemukan pada tahun 1869 tetapi tidak teramati setelah 1908 karena gangguan oleh Jupiter. Komet itu tidak ditemukan lagi sampai tidak sengaja ditemukan kembali oleh LINEAR pada tahun 2001. 3.5 Kejadian Luar Angkasa yang Menakjubkan Crab supernova 1054
Crab Supernova adalah sebuah supernova yang dilihat di Bumi secara luas pada tahun 1054. Crab Supernova merupakan kejadian aneh dan menakjubkan, dengan mudah dilihat mata telanjang di siang hari selama 23 hari dan di langit malam selama 653 hari. Nenek moyang bintang ini terletak di galaksi Bima Sakti pada jarak 6.300 tahun cahaya dan meledak menjadi supernova dari core-collapse. Sisa-sisa ledakannya sekarang dikenal sebagai Crab Nebula.
Gambar 3.11 Crab supernova 1054 (wikipedia.org)
160
Penampakan Leonid Meteor 17 November,1966
November 17, 1966 Leonid meteor menampakkan diri dan merupakan penampakan terbesar yang pernah terjadi dari meteor ini. Dilaporkan bahwa 150.000 meteor memasuki atmosfer kita per jam, itu sama dengan 40 per detik. Penampakan meteor terjadi, setiap kali bumi kita melewati sebuah wilayah yang ibarat sungai meteor dan meteorit merupakan sisa dari komet, terbuat ketika komet melewati tata surya bagian dalam. Penampakan Leonid meteor ini terjadi ketika Bumi melewati puing-puing yang ditinggalkan oleh Komet Tempel-Tuttle yang dilihat di tata surya kita setiap 33 tahun, yang terakhir adalah pada tahun 1998.
Gambar 3.12 Penampakan Leonid Meteor 17 November 1966 (wikipedia.org). Penampakan Hailey Comet, October 1982
Komet yang paling terkenal didunia adalah Komet Halley, karena dapat dilihat lebih sering daripada komet lainnya. Komet ini hanya memerlukan waktu 76 tahun untuk menyelesaikan orbit, dan karena itu dapat dilihat dengan mata telanjang. Pengamatan yang terakhir Komet Halley terjadi pada tanggal 16 Oktober 1982, komet ini mendekati matahari pada tanggal 9 Februari 1986. Pada bulan Maret 1986, lima robot spacecrafts mendekati komet untuk mengumpulkan informasi tentang benda itu. Spacecrafts ini membawa kembali informasi yang berguna tentang Komet Halley, dan komet lain pada umumnya.
161
Gambar 3.13 Penampakan Komet Halley pada Oktober 1982 (wikipedia.org). Sun dogs
Gambar 3.14 Sun dogs (wikipedia.org).
Sun Dog atau Mock Sun adalah sebuah fenomena yang sangat spektakuler di Atmosfer disebabkan oleh berlalunya sinar dari piring kristal es berbentuk heksagonal di awan tinggi dan dingin, Sun Dog juga dikenal sebagai Mock Sun, karena mereka hanya muncul seperti matahari di langit dan orang-orang sering ketakutan setelah melihat kejadian ini karena mereka berpikir bahwa ada lebih dari satu matahari di langit. Sun Dog biasanya muncul saat matahari rendah ke cakrawala, biasanya hanya sebelum matahari terbenam atau setelah matahari terbit, atau selama bulan-bulan musim dingin di daerah lintang pertengahan.
162
Daftar Pustaka Abidin, Zainul. Perubahan Iklim. (http://zainuelabidien23.wordpress.com/perubahan-iklim/), diakses pada tanggal 6 Mei 2014. A, Samsudin. E, Suhendi. R, Efendi. A, Suhandi. 2012. Pengembangan “Cels” Dalam Eksperimen Fisika Dasar Untuk Mengembangkan Performance Skills dan Meningkatkan Motivasi Belajar Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Afnimar. 2009. Seismologi, Bandung:ITB Aguado, Edward. 2007. Understanding Weather and Climate. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Ahmad, S., Hinduan, A. A., Liliasari., dan Susiwi. 2009. Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa SMA pada Model Pembelajaran Praktikum D-Ei-Hd. Jurnal Pengajaran MIPA, Vol. 14, No. 2, 2-3. Aki, Keiiti. Richards, Paul G. 1980. Quantitative Seismology Theory and Methods. San Francisco: W.H.Freeman and Company. Benneth, J., Donahue, M., Schneider, N., & Voit, M. 2012. The Essential Cosmic Perspective Sixth Edition. USA: Pearson Addison-Wesley. BMKG. http://meteo.bmkg.go.id/peringatan/ekstrim, diakses tanggal 12 mei 2014 Bukowinski, M. S. T., The Effect of Pressure On The Physics and Chemistry of Potasium, Geophys. Res. Lett., 3, 491-494, 1976. Bukowinski, M. S. T., Compressed Potasium: A Siderophile Element, in High Pressure Science and Technology, edited by K. D. Timmerhaus an M. S. Barber, pp. 237-244, Plenum, New York, 1979. Campbell, Wallace H. (1997). Introduction to Geomagnetic Fields, edited by Student Observation Network (S.O.N.), 46-50, 2003. Cavanag, Sean. 2007. Science Labs Beyond Isolationism. National Research Council Vol. 26, Issue 18, Pages 24-26, (http://www.edweek.org/ew/articles/2007/01/10/18labs.h26.html), diakses pada tanggal 30 April 2014. Cocks, Hadley Franklin. 2009. Energy Demand and Climate Change. German: WILEY-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim. D, Yulianti. S, Khanafiyah. Sugiyanto. 2012. Penerapan Virtual Experiment Berbasis Inkuiri Untuk Mengembangkan Kemandirian Mahasiswa. Jurnal Pendidikan Fisika Indonesia Djalante, Riyanti dan Thomalla, Frank. 2012. Disaster Risk Reduction and Climate Change Adaptation in Indonesia. International Journal of Disaster Resilience in the Built Environment (IJDRBE). Vol. 3, no. 2 hal 166 – 180 Doglioni, C. 1993. Geological evidence for a global tectonics polarity. Journal of Geological Society, Vol 150, No. 9, pp. 991-1002 Edwards, B., Teasdale, R., dan Myers, J. D. 2006. Active Learning Strategies for Constructing Knowledge of Viscosity Controls on Lava Flow Emplacement, Textures and Volcanic Hazards. Journal of Geoscience Education , Vol. 54, No. 5, 603-609. Fariel, Robert. 1989. Earth Science. California: Addison-Wilsey G.H. Girty. 2009. Understanding Processes Behind Natural Disasters. Department of Geological Sciences, San Diego State University, Ver 1.0 Gadi, A. Azransyah, T. Hiposenter dan Episenter. Laboratorium Seismologi, Program Studi Teknik Geofisika, Institute Teknologi Bandung. Geographic, National. Science Level Blue: Electricity and Magnetism, Glencoe Science, 2008. Giancoli, D. C. 2009. Physics for Scientists and Engineers with ModernPhysics, 4th ed. Pearson PrenticeHall. New Jersey, US. Grandis, Hendra. 2009. Pengantar Pemodelan Inversi Geofisika, Bandung: ITB Henderson. What factors impact a Greenhouse? (http://www.ucar.edu/learn/1_3_2_13t.htm), diakses pada tanggal 6 Mei 2014. Hoesin Haslizen dan Isril Haen. 1979. Proses Radiasi Matahari di Atmosfir dan Peramalan Iradiasi Matahari Normal, Global di Daerah Tropis. Proceeding Lokakarya Pengembangan Energi, Bandung. Hoesin Haslizen dan Muhammad Taftazani. 1980. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Ketersediaan Radiasi Matahari di Daerah Tropis. Proceeding Lokakarya Pengembangan Energi Non-konveksional, Jakarta. howstuffworks.com http://geoenviron.blogspot.com/2012/09/lempeng-tektonik-indonesia.html, diakses pada 05 April 2014. http://www.jurnalinsinyurmesin.com/index.php?option=com_content&view=article&id=51 http://weiminhan.blogspot.com/2011/05/arus-konveksi.html, diakses pada 05 April 2014. http://phet.colorado.edu/files/teachers-guide/plate-tectonics-guide.pdf diakses pada 02 Mei 2014 163
http://en.wikipedia.org/wiki/Domino_effect, diakses tanggal 12 mei 2014 Incoherent Light Sources. Thanh Tran Introduction to Solar Radiation. PDF (soft file) Intergovernmental Panel on Climate Change. 2007. Climate Change. Diakses pada tanggal 6 Mei 2014. (http://www.ipcc.ch/publication_and_data/ar4/wg1/en/ch2s2-5.html) IPCC WG2. 2007. Climate Change 2007 Impacts, adaptation, vulnerability; Working Group 2 Asssessment report 4. Cambridge: Cambridge university press IPCC WG3. 2007. Climate Change 2007 Mitigation of Climate Change; Working Group 2 Asssessment report 4. Cambridge: Cambridge university press IPCC. 2013. Climate Change 2013 the Physical science Basis; Working Group 1 AR5. Cambridge: Cambridge university press. JPB. 2013. Introduction to Tectonics. Online Article.pdf, diakses pada 10 April 2014. Kajian Air Tanah.pdf. File diakses pada tanggal 28 Maret 2014. Karttunen, H., Kroger, P., Oja, H., Poutanen, M., & Donner, K.J. 2007. Fundamental Astronomy. USA: Springer Berlin Heidelberg New York. Kertapati. 2006. Aktivitas Gempa Bumi di Indonesia. Jakarta: BMKG. Kirkland, Kyle., EARTH SCIENCE: Notable Research and Discovery, p. cm.-(Frontiers of science), New York, 34-35, 39-43, 47-50, 2010. Kirkland, Kyle. 2010. Earth Sciences : Notable Research and Discoveries.Facts On File, Inc. New York, US. Kumaresan, Jakob dkk. 2011. Climate Change and Health in South East Asia. International journal of climate change strategies and management (IJCCSM) vol. 3, no. 2 hal. 200 – 208 Lakitan. 2002. Klasifikasi Iklim Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Lang, Kenneth R. 2011. The Cambridge Guide to the Solar System Second Edition. UK: Cambridge University Press. Lay, T. And Wallace, T.C. 1995. Modern Global Seismology. USA: Academic Press. Leederdan Arlucea. 2006. Physical Processes in Earth and Environmental Sciences. (www.univpgri palembang.ac.id), diakses pada tanggal 18 April 2014. Lindzen, Richard S dan Kerry A. Emanuel. Greenhouse Effect. (ftp://texmex.mit.edu/pub/emanuel/PAPERS/greenhouse.pdf), iakses pada tanggal 3 Mei 2014. Lundgren, Lawrence W. 1999. Environmental Geology. New Jersey: Prentice Hall. Macfarlan, P. A., Bohling, G., Thompson, K. W., and Townsend, M. 2006. Helping Students to Make the Transition from Novice Learner of Ground-Water Concepts to Expert Using the Plume Blusters Software.Journal of Geosciences Education, Vol. 54, No. 5, 610-619. Madlazim. Santosa, B.J. 2010. Four Earthquake of the Sumatran Fault Zone (Mw 6.0-6.4): Source Parameters and Identification of the Activated Fault Planes. JSEE/Winter, vol.11, No.4 Madlazim. 2013. Kajian Awal tentang b Value Gempa Bumi di Sumatra, Jurnal Penelitian Fisika dan Aplikasinya (JPFA), Vol 3 No 1, Juni 2013. Madlaim. 2013. Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Prof. Dr. Madlazim, M.Si. fisikaunesa.net. Mochamad, Ari. 2013. Merespon Ancaman Perubahan Iklim, Adaptasi Sebuah Pilihan yang Mendesak dan Prioritas._____ Masters, T. G and P. M. Shearer, Summary of Seismological Constraints On The Structure of The Earth’s Core, J. Geophys, Res., 95, 21, 691-21, 695, 1990. Mertz, Ole dkk. 2009. Adaptation to Climate Change in Developing countries. Environmental Management;743-752 Mitchell Beazley. 2002. Philip’s Astronomy Encyclopedia. London: Philip’s, an imprint af Octopus Publishing Group. Montgomery, Carla W. 1989. Fundamental of Geology. Iowa: Brown Myers D.R. 2003. Solar Radiation Modeling and Measurement for Renewable Energi Application : Data and Model Quality. National Renewable Energi Laboratory National Climate Data Center (NCDC). -. Climate Data Online. (www.ncdc.noaa.gov NESDIS>NCDC), diakses pada tanggal 3 Mei 2014. Noor, Djauhari. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Noor, Djauhari. 2009. Pengantar Geologi. Lecture Notes. Noor, Djauhari. 2011. Geologi Perencanaan. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nugroho, H., Widiantoro, S., Ibrahim, G,. 2007. Penentuan Posisi Hiposenter Gempa Bumi dengan Menggunakan Metode Guided Grid Search dan Model Struktur Kecepatan Tiga Dimensi. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Vol. 8, No. 1. Parham, T. L., Cervato, C., Gallus, W. A., Larsen, M., Hobbs, J., Stelling, P., Greenbowe, T., Gupta, T., Knox, J. A., dan Gill, T. E. 2010. The InVEST Volcanic Concept Survey: Exploring Student Understanding About Volcanoes. Journal of Geoscience Education, Vol. 58, No. 3, 177-187. 164
Parker, L. J., T. Atou, and J. V. Badding, Transition Element Like Chemistry For Potasium Under Pressure, Science, 73, 95-97, 1996. Paulescu M. 2013. Weather Modeling and Foreasting of PV System Operation, Green Energi and Tecnology. Springer-Verlag London. Pawirodikromo, Widodo. 2012. Seismologi Teknik dan Rekayasa Kegempaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. PhET. 2011. Interactive Science Simulator: The Greenhouse Effect. (phet.colorado.edu), diakses pada tanggal 10 April 2014 Prastowo, T. 2008. Sains Kebumian. Diktat Perkuliahan Fisika UNESA: Tidak diterbitkan. Prastowo, T. 2012. Earth Sciences. Lecture Notes. pp. 1-31. unpublished. Prastowo, T. 2012. Sains Kebumian (Earth Science). Surabaya: Unipress. Purnomo, Herry. 2011. Indicators for Assessing Indonesia’s Javan Rhino National Park vulnerability to Climate Change. Mitigation Adaption strategies Global Change. Vol. 16 hal 733-747 Qiang Fu. Copyright 2003. Radiation (Solar). Elsevier Science Ltd. All Rights Reserved. University of Washington. Ramalis, Taufik Rahman. 2000. Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa. Bandung: Laboratorium IPBA FMIPA Universitas Pendidikan Indonesia. Reilinger, Robert and McClusky, Simon. 2011. Nubia–Arabia–Eurasia plate motions and the dynamics of Mediterranean and Middle East tectonics. International Journal of Geophysical, Vol 1, No. 186, pp. 971-979 Rivai, Deas Ahmad. 2000. Unsur-Unsur Cuaca. (http://www.fisikanet.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1367593435), diak ses tanggal 5 April 2014. Rusbiantoro, Dadang. 2008. Global Warming for Beginner. Yogyakarta: O2. Sahat Erwin Gemayel Siagian. 2013. Rancang Bangun Perangkat Lunak Analisis Penyerapan Radiasi Matahari Pada Selubung Bangunan. Jurnal ELKHA, Vol. 5, No. 1. Sakya, Andi Eka dan Mahardika, Ressa. 2011. Perspektif Penelitian dan Pengembangan Kecuacaan dan Keikliman untuk Mendukung Langkah Ketahanan Pangan dan Adaptasi Perubahan Iklim di Indonesia. Jurnal Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Santosa, B.J. 2008. Struktur Kecepatan Gelombang S di bawah Indonesia melalui Analisis Seismogram Gempa-Gempa Bumi di Sekitar Indonesia pada Stasiun Observasi UGM. Makara, Sains, Vol. 12, No. 2. Saputri, Renny. 2014. Macam-Macam Bentuk Pergerakan Lempeng Bumi, (http://r3nnysaputri.blogspot.com/2014/01/macam-macam-bentuk-pergerakan-lempeng.html, diakses 05 April 2014) Sari, WDA. Suadi, DA. Nasikhudin. 2013. Identifikasi Sebaran Episenter dan Hiposenter Gempa Vulkanik Gunung Api Kelut Jawa Timur Bulan Januari-Mei 2013. Jurnal Universitas Negeri Malang. Seeds, Michael A. 2007.The Solar System Sixth Edition. USA: Thomson Brook/Cole. Septiadi, Deni; Nanlohy, Pieldrie; Souissa, M; dan Rumlawang, Francis Y. 2009. Proyeksi Potensi Energi Surya Sebagai Energi Terbarukan (Studi Wilayah Ambon dan Sekitarnya). Jurnal meteorologi dan geofisika, Vol. 10, No. 1. Singha, Kamini. 2008. An Active Learning Exercise for Introducing Ground-Water Extraction from Confined Aquifers. Journal of Geosciences Education, Vol. 56, No. 2, 131-135. Stangeland, Aege. 2007. A Model for the CO2 Capture Potential. International Journal of Greenhouse gas control 1 (2007) 418-429. Sterman, John. 2008. Greenhouse Gas Emmision Simulator v3.0. (c) MIT SDG 2008. (http://script.mit.edu./~jsterman/climate/master/), diakses pada tanggal 6 April 2014. Sterman, John D dan Linda Booth. 2007. Understanding Public Complecency about Climate Change: Adults’ Mental Models of Climate Change Violete Conservation of Energi. DOI 10.1007/s10584-006-9107-5 Climatic Change 80:213=238. Stixrude, L., and J. M. Brown, The Earth’s Core, In Ultrahigh Pressure Mineralogy : Physics and Chemistry Of The Earth’s Deep Interior, edited by R. J. Hemley, Rev. Mineral., 37, 2 61-282, 1998. Stott, Peter A, et al. 2003. Do Models Underestimate the Solar Contribution to Recent Climate Change? Journal of Climate 16 (24): 4079-4093. Subrata, Sanjay Sen., Debnath, Kr. 2013. Stress and Strain Accumulation Due to a Long Dip-Slip Fault Movement in an Elastic-Layer over a Viscoelastic Half Space Model of the Lithosphere-Asthenosphere System. International Journal of Geosciences, Vol. 1, No. 4, pp. 549-557 Suhandi Andi. Bahan Belajar Mandiri-Radiasi Matahari. PDF(http://file.upi.edu) Suharno. 2007. Nilai Percepatan Maksimum Gerakan Tanah Daerah Jawa Bagian Barat. Jurusan Sains Teknologi, Vol.12, No.3.
165
Sukanta, I. Nyoman. 2010. Accelerogaph BMKG dalam Penentuan Peta Intensitas Gempa Kuat. Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi dan Geofisika. Suma, Ketut. 2005. Efektivitas Kegiatan Laboratorium Konstruktivis dalam Meningkatkan Penguasaan Konsep-Konsep Arus Searah Mahasiswa Calon Guru. Jurnal Pendidikan IKIP Negeri Singaraja, No. 2 Th. XXXVIII April 2005. Susilawati. -. Atmosfer. File upi pdf. (http://file.ipu.edu/Direktori/DUALMODES/KONSEP_DASAR_BUMI_ANTARIKSA/BBM_2.pdf). diak ses pada tanggal 6 April 2014. Sutiadi, Asep. Peningkatan Minat Belajar Siswa Tentang Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) Melalui Kegiatan Laboratorium, Jurnal Pengajaran MIPA, Sutiadi, Asep. -. Peningkatan Minat Belajar Siswa tentang Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa (IPBA) melalui Kegiatan Laboratorium. Tarbuck, Edward J. 2001. Earth Science (9th ed.), Prentice-Hall, Toronto, US. Tarbuck, Edward J dan Frederick K. Lutgens. 2012. Earth Science. USA: Pearson Prentice Hall. The Hydrospere and Biosphere.pdf. File (http://web.mit.edu/seawater/.) diakses pada tanggal 28 Maret 2014. The Hydrospere and The Cryosphere.pdf. (http://web.mit.edu/seawater/. ). File diakses pada tanggal 28 Maret 2014. Tjasyono, B. 2003. Geosains. ITB Tjasyono, B. 2006. Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: Rosdakarya. Bandung Tjasyono, B. 2009. Ilmu Kebumian dan Antariksa. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Tjetjep, Wimpy S. 2002. Dari Gunung Api Hingga Otonomi Daerah. Jakarta: Yayasan Media Bhakti Tambang. Toynbee, Arnold J. 1956. A Study of History. London: Oxford University Press Trefil, J., and Hazen, R. M. 2000. The Sciences, An Integrated Approach, 2nd ed. USA: John Wiley & Sons, Inc. Toronto, Canada. Trefil, J., dan Hazen, R. M. 2010. The Sciences, An Integrated Approach 6th Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc. Trewanta, Glenn T dan Lyle H. Horn. 1995. Pengantar Iklim. Yogyakarta: Gajah Mada University. Tuke, Mike. 2007. Earth Science Experiments for A Level. Britain: Petrolium Exploration Society of Great Britain. Tyasyono, B. HK.2009. IlmuKebumian dan Antariksa. Bandung: PT RemajaRosdakarya. Umass Geo sciences. www.geo.umass.edu UNESCO.____. Groundwater for a thirsthy planet.pdf (http://www.yearofplanetearth.org) diakses pada 31 Maret 2014. US Environmental Protection Agency. A Student’s Guide to Global Climate Change. Diakses pada tanggal 5 April 2014. (http://www.epa.gov/climatestudents/scientist/clues.html) USGS. 2001. This Dynamic Earth: The Story of Plate Tectonics. U.S. Government Printing Office. Washington DC, US USGS Science for a Changing World. 2009. Surface Energi Budget. Diakses pada tanggal 6 Mei 2014. (http://nevada.usgs.gov/water/et/measured.htm) Warner, Koko dan Geest, Kees Van Der. 2013. Loss and Damage from Climate Change: Local Level Evidence from Nine Vulnerable Countries. International Journal Global Warming. Vol. 5, no 4 hal 367 – 386 Widiantoro, S. 2009. Fisika dan Struktur Interior Bumi. Jakarta: BMKG. Wikipedia.org Winarso. 2003. Pengelolaan Bencana Cuaca dan Iklim untuk Masa Depan. Diakses pada tanggal 3 April 2014. WWF Indonesia. Seputar Iklim dan Energi. (http://www.wwf.or.id),diakses pada tanggal 5 April 2014. Yudi. 2010. Pengaruh positif akibat global warming. (http://capsulx368.blogspot.com/2010/11/pengaruh positif-akibat-global-warming.html), diakses tanggal 12 Mei 2014.
166
Glosarium Absorbsivitas Aftershock
Air permukaan Air tanah Akuifer Albedo permukaan Anomali temperatur Astenosfer Asteroid Atmosfer
Aurora
BMKG Cinder cones
Coma
Continental Crust
Convergent Boundaries Coronal mass ejection Coseismic Deep earthquake Diffuse radiation Direct radiation
Divergent Boundaries DSS Eksosfer
Elastic Rebound Theory
Episenter Erupsi Extraterrestrial
Fakula Fotosfer Gas rumah kaca Gelombang badan Gelombang Love Gelombang permukaan
: Kemampuan penyerapan. : Gempa bumi susulan yang mengikuti guncangan gempa bumi utama dari serangkaian gempa bumi. : Bagian dari permukaan bumi yang dialiri oleh air, di antaranya danau, sungai, gunung es, dan air tanah. : Air yang terdapat di bawah permukaan bumi pada pori-pori tanah, pasir, kerikil, dan batuan yang jenuh terisi air. : Lapisan yang dapat menangkap dan meloloskan air tanah. : Perbandingan antara jumlah radiasi matahari yang dipantulkan dan yang diterima oleh permukaan bumi. : Keanehan temperatur. : Bagian yang lebih lemah di bawah litosfer yang memiliki ketebalan 250 km : Planetoid; benda-benda angkasa yang berada dalam sabuk asteroid, yakni daerah antara orbit Mars dan Jupiter. : Lapisan yang terbedakan oleh tekanan udara, massa atmosfer, dan profil temperatur tiap lapisannya. Profil temperatur secara vertikal dapat dibedakan menjadi lima lapisan yaitu troposfer, stratosfer, mesosfer, termosfer (ionosfer), dan eksosfer : Cahaya yang dihasilkan karena di sekitar kutub magnet utara dan kutub magnet selatan, medan magnet memasuki atmosfer bumi sehingga arus kuat dapat mengalir ke bawah dan merangsang atom gas untuk memancarkan foton. : Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika. : Gunung-gunung api yang membentuk mangkun/kawah di puncaknya. : Ekor komet; bagian komet yang tercipta saat mendekati matahari yaitu ketika sebagian inti meleleh menjadi gas. : Kerak benua. : Batas konvergen; Batas antar lempeng tektonik dengan gerakan saling bertumbukan. : Lontaran massa korona. : Saat terjadi gempa bumi utama. : Gempa dalam : Radiasi hambur. : Radiasi langsung : Batas divergen; Batas antar lempeng tektonik dengan gerakan saling menjauhi. : Decision Support System; Sistem pendukung pengambilan keputusan. : Lapisan terluar atmosfer : Saat menerima tekanan, batuan akan terbengkokkan dan setelah melepaskan tekanannya, batuan akan kembali ke bentuk semula. : Proyeksi dari hiposenter terhadap permukaan bumi yang dinyatakan dalam latitude dan longitude; Sumber gempa. : Naiknya lava, material piroklastik, atau gabungan keduanya ke permukaan gunung api. : Daerah di luar atmosfer bumi. : Obor kecil : Cakram matahari : Gas-gas yang dapat meningkatkan pemanasan global dan berperan dalam peristiwa efek rumah kaca. : Gelombang yang terjadi saat terjadinya gempa di dalam atau di bawah permukaan bumi yang menjalar ke seluruh bagian bumi. : Gelombang yang teramati jika ada lapisan kecepatan rendah menutupi lapisan kecepatan tinggi. : Gelombang yang penjalarannya sepanjang permukaan bumi. 167
Gelombang primer Gelombang Reyleigh Gelombang seismik Gelombang sekunder Gempa Bumi Gempa runtuhan Gempa tektonik Gempa vulkanik Geotherm
Global radiation Global warming Ground Heat Gunung api Heliosfer Heliospheric current sheet Hidrosfer Hiposenter InaTEWS Intensitas gempa bumi Interior Bumi Intermediate earthquake Interseismic
Kerak Bumi Komet
Konduksi Konduktivitas hidrolik Konveksi Korona Kromosfer LAPAN Lapisan impermeable Lapisan permeable Latent Heat Lava
168
: Gelombang longitudinal yang arah partikelnya sejajar dengan arah rambatnya. : Gelombang yang menjalar hanya pada bidang yang padat, pergerakannya vertikal menjauhi arah penjalarannya. : Rambatan yang disebabkan oleh adanya gangguan di dalam kerak bumi, misalnya patahan atau adanya ledakan. : Gelombang transversal yang arah partikelnya tegak lurus dengan arah rambatnya. : Bergetarnya permukaan tanah karena pelepasan energi secara tiba-tiba akibat dari pecah/slipnya massa batuan di lapisan kerak bumi. : Gempa yang disebabkan oleh runtuhnya gua, biasa terjadi di daerah gunung kapur dan daerah pertambangan. : Gempa yang disebabkan oleh adanya tumbukan atau pergeseran lempeng tektonik. : Gempa yang disebabkan oleh aktivitas gunung api yang ditandai dengan naiknya magma karena mendapat tekanan dari dalam tanah akibat pergeseran lempeng tektonik. : Profil temperatur terhadap kedalaman bumi. : Radiasi total; Penjumlahan radiasi langsung (direct radiation) dan radiasi hambur (diffuse radiation). : Peristiwa naiknya suhu di permukaan bumi akibat meningkatnya gasgas rumah kaca sehingga terjadi peristiwa anomali temperatur. : Pemanasan di bawah permukaan tanah : Sistem saluran batuan pijar (magma) , abu, dan gas-gas, yang memanjang dari dalam hingga permukaan bumi serta struktur-struktur yang dibangun di sekitar saluran oleh material hasil erupsi. : Atmosfer tipis. : Lembar aliran heliosfer; Sebuah spiral yang terjadi karena gerak rotasi magnetis Matahari terhadap medium antarplanet. : Lapisan air di Bumi yang meliputi sungai, danau, laut, gletser, air tanah, dan uap air yang berada di udara. : Lokasi fisik dari sumber gempa yang dinyatakan dalam longitude, latitude, dan kedalaman di bawah permukaan bumi. : Indonesian Tsunami Early Warning System; Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia. : Ukuran kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi berdasarkan hasil pengamatan dari gempa bumi itu sendiri ataupun dari bangunan yang rusak. : Bagian dalam bumi. : Gempa menengah. : Tahap awal dari suatu siklus gempa bumi. : lapisan terluar dari bumi yang terdiri dari kerak samudera dan kerak benua. : benda langit yang mengelilingi matahari dengan garis edar berbentuk lonjong atau parabolis atau hiperbolis. : Perpindahan energi termal yang diikuti oleh pergerakan materi. : Koefisien yang menggambarkan kecepatanair yang dapat melaju melalui media permeable dalam unit waktu dan unit gradien hidrolik : Perpindahan panas oleh pergerakan suatu fluida (baik cair maupun gas). : Lapisan terluar matahari. : Lapisan dalam matahari. : Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. : Lapisan yang sulit dilalui air tanah seperti lapisan lempung atau tanah liat. : Lapisan yang mudah dilalui oleh air tanah seperti lapisan yang terdapat pada pasir atau kerikil. : Proses evaporasi atau perubahan fasa air. : Magma yang tererupsi keluar permukaan gunung.
Lempeng benua Lempeng Samudera Litosfer Magma Magnitudo
Magnitudo gelombang badan Magnitudo gelombang permukaan Magnitudo lokal Mainshock
Mantel Bumi Material piroklastik Metode grafis Metode inversi
Moho Momen magnitudo Oceanic Crust
Orbit
Origin time
Ozonosfer Panas primordial Patahan ( fault ) Peridotite Porositas Porositas efektif Postseismic
Preseismic Prominance
Pyranometer Pyrheliometer Radiasi
: Daratan tempat tinggal makhluk hidup yang kaya akan lapisan granit dengan ketebalan 30-40 km. : Dasar laut yang memiliki ketebalan 5-8 km dan memiliki komponen penyusun, yaitu kaya akan lapisan basal. : Lapisan bumi yang mencakup kerak bumi dan bagian teratas dari mantel bumi, tersusun oleh batuan padat dan keras dengan suhu yang relatif dingin, memiliki ketebalan sekitar 100 km. : Batuan pijar; Batuan-batuan cair yang terletak di bawah permukaan bumi. : Salah satu parameter yang digunakan untuk mengambil tindakan setelah terjadi gempa bumi; Suatu besaran skala yang merepresentasikan besarnya kekuatan atau energi seismik yang dilepaskan oleh sebuah gempa. : Magnitudo yang didasarkan pada amplitudo gelombang badan (body wave). : Terjadi pada episenter dengan kedalaman lebih dari 600 km. : Logaritmik gerakan tanah maksimum meluruh terhadap jarak sepanjang suatu kurva. : Gempa bumi utama. : Bagian kedua dari lapisan litosfer bumi : Material gunung api yang terlempar saat terjadi erupsi. : Metode penentuan lokasi gempa bumi dengan menggunakan diagram wadati untuk mengukur waktu terjadinya gempa. : Metode penentuan lokasi gempa bumi yang menggunakan kesatuan teknik, baik matematika maupun statistika untuk memperoleh informasi yang berguna mengenai suatu sistem Fisika berdasarkan observasi terhadap sistem tersebut. : Lapisan yang membatasi kerak dan mantel bumi yang memiliki ketebalan 500 km : Menyatakan jumlah energi gempa yang lebih akurat daripada magnitudo badan dan magnitudo permukaan; Digunakan untuk mengukur kekuatan gempa bumi akibat pergeseran sesar. : Lempeng samudera. : Lintasan edar/garis edar. : Waktu terjadinya gempa, pada saat gelombang P merambat terlebih dahulu pada satuan waktu. : Lapisan ozon. : Sumber panas purba, terdiri dari energi akresi, kompresi adiabatik, energi pembentukan inti bumi, dan peluruhan isotop radioaktif dengan waktu paruh pendek. : Satu bidang miring imajiner yang memisahkan dua blok lapisan batuan. : Tipe batuan yang mendominasi bagian terluar dari mantel bumi yang kaya akan logam magnesium dan besi : Perbandingan antara volume ruang antar butir terhadap volume total batuan. : Porositas batuan yang dapat melewatkan fluida. : Saat sisa-sisa energi gempa terlepas secara perlahan dan terjadi di dalam kurun waktu yang lama hingga kondisi kembali ke tahap kesetimbangan baru. : Sesaat sebelum gempa bumi terjadi. : Kolom gas yang menjulang dan melengkung pada sunspot. : Instrumen yang mengukur radiasi broadband surya global masuk dari sudut padat 2π pada permukaan planar. : Instrumen broadband yang mengukur sinar langsung komponen Gn radiasi matahari. : Pancaran energi panas.
±
169
Radiometer surya Rayleigh Number Ring of Fire Rupture
Seismologi Sensible Heat Shallow earthquake Shield volcanoes
Siklus gempa bumi Siklus hidrologi Skala Ritcher (SR) Slow slip event Solar flares Solar wind Specific storage
Specifis yields
Storativitas Stratosfer Stratovolcanoes
Sunspot Teori lempeng tektonik Termosfer Transform Boundaries Transmisibilitas Travel time
Troposfer Tsunami Viskositas magma Vulkanisme Zona divergen Zona konvergen Zona subduksi Zona transform
170
: Alat deteksi radiasi elektromagnetik optik terutama dilakukan oleh konversi energi sinar dalam sinyal-sinyal listrik yang kemudian dapat diukur dengan teknik konvensional. : Kuantitas yang menunjukkan kombinasi dari beberapa sifat fluida. : Jalur gunung api terbesar dan terbanyak. : Sobekan atau patahan yang disebabkan oleh gempa bumi utama. : Ilmu geofisika yang mempelajari tentang gempa bumi. : Proses perubahan temperatur udara. : Gempa dangkal. : Gunung-gunung api yang berbentuk seperti perisai. : Perulangan gempa. : Siklus air yang mengalami perubahan wujud melalui beberapa proses fisis alamiah secara terus menerus. Siklus hidrologi ini menghubungkan antara atmosfer, litosfer, dan hidrosfer. : Skala magnitudo suatu gempa. : Silent earthquake; Fenomena pergerakan (slip) pada kerak bumi yang tidak menyebabkan gempa bumi. : Semburan matahari. : Angin matahari. : Volume air dari formasi yang penuh dengan air yang tersimpan atau keluar dari penyimpanan karena adanya gaya tekan dari akuifer dan gaya tekan dari air untuk setiap unit perubahan muka air tanah. : Rasio dari volume air yang keluar dari batu yang penuh air akibat gaya gravitasi terhadap volume total dari batuan. : Kemampuan atau kapasitas akuifer dalam menyimpan dan melepaskan sejumlah volume air per unit area per unit perubahan muka air. : Lapisan atmosfer yang berada di atas troposfer dan dibatasi oleh tropopause. : Gunung-gunung api yang berbentuk seperti kerucut dengan sisi yang curam. : Noda-noda hitam di matahari. : Litosfer mengapung, bergeser dan bertumbukan satu sama lain di atas lapisan astenosfer yang lemah; Teori yang menjelaskan bumi bersifat dinamis. : Lapisan atmosfer yang merupakan tempat terjadinya proses ionisasi gas N2 dan O2. : Batas transformasi; Batas antara lempeng tektonik dengan gerakan horisontal dan berlawanan arah. : Kecepatan aliran di bawah satu unit gradien hidrolik melalui sebuah penampang pada seluruh tebal jenuh suatu akuifer. : Waktu yang dibutuhkan gelombang P dan S untuk sampai ke sumber gempa (episenter). : Lapisan atmosfer yang berperan dalam peristiwa-peristiwa seperti cuaca dan iklim, perubahan suhu, angin, tekanan, dan kelembaban udara. : Gelombang air besar yang terjadi ketika bagian dasar laut bergerak karena erupsi gunung api, longsor di bawah laut, atau gempa bumi di bawah laut : Kekentalan magma. : Proses terjadinya gunung api. : Jalur tempat berpisahnya lempeng-lempeng tektonik. : Jalur tempat terjadinya tumbukan antara lempeng tektonik benua dengan benua. : Zona berupa jalur tumbukan antar lempeng benua dengan lempeng samudera; Zona aktif gempa bumi : Zona sesar mendatar; Zona jalur tempat bergesekannya lempenglempeng tektonik.
Indeks A
G
Absorbsivitas
Gas rumah kaca 32,39,40,41,46,48,50,51,52,53,54 90, 91 Gelombang badan Gelombang permukaan 90, 91, 92 14, 15, 80, 81, 82, 83, 89, 91 Gelombang seismik 13, 26, 27, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, Gempa Bumi
118 86 Air permukaan 7, 8, 9, 36 6, 7, 8, 9, 11, 41, 85 Air Tanah 8, 9, 10, 11, 12 Akuifer 58 Albedo permukaan 36, 48, 49 Anomali temperatur 37 Anti-siklon 5, 25, 26, 28 Astenosfer 106, 110, 126, 128, 130, 131, 139, 144, Asteroid 145, 146, 147, 148, 149, 152, 159 106, 127, 129, 130, 132, 138, 147, 152, Astronomi 156 4, 6, 7, 8, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, Atmosfer 38, 40, 2, 3, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 61, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 126, 128, 130, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 148, 19, 161, 162 61, 62, 139, 148 Aurora 57 Awan Cirrus Awan Kumulus 57
Aftershock
B
BMKG 78, 97, 98, 100, 101, 102 C Cinder cones
Coma
155
D Deep earthquake 80 Diffuse radiation 117 Direct radiation 117 Divergent boundaries
DSS
97, 98
E Elastic Rebound Theory
25 27 139
27, 29
80 88, 89, 90, 91, 93, 94, 97 Episenter Erupsi 67, 71, 73, 74, 76, 95, 99
Extraterrestrial 117 F
Fakula 112 Flare 112, 139 Fotosfer 112
Gempa tektonik 76, 86, 87 Gempa vulkanik 78, 87 Geotherm 18 Global radiation 117 Global warming 36, 53 50 Green house effect 34 Ground Heat 17, 26, 31, 49, 52, 67, 68, 69, 71, 72, Gunung api 73, 74, 76, 77, 78, 87, 95, 96
H
Heliosfer
139, 140
I
97 InaTEWS Intensitas gempa bumi 91 Intensitas radiasi matahari 36, 112, 116 Interior Bumi 4, 13, 59, 77, 79, 81 Intermediate earthquake 80 85 Interseismic
73, 74
Continental crust Convergent boundaries Coronal mass ejection 85 Coseismic
84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101 Gempa runtuhan 78, 87
Isotop radioaktif 17, 18, 19 K
Komet 106, 110, 128, 130, 147, 148, 149, 150, 151, 152,
153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162 17, 20, 50 Konduksi Konduktivitas hidrolik 10, 11 17, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 26, 29, 30, Konveksi 37, 38, 59, 60, 63, 77, 79, 111, 112, 124 Korona 112, 113, 139, 157 112 Kromosfer L
LAPAN 31, 32, 33 Lapisan Ozon 32, 33, 40, 48, 55, 56, 57, 113 34 Latent Heat Lava 29, 67, 71, 72, 73, 74, 75, 76 4, 5,13, 17, 21, 22, 24, 25, 26, 27, 28, Lempeng 29, 30, 31, 59, 60, 68, 69, 70, 71, 74, 77, 78, 79, 80, 85, 86, 87, 88, 96 Lempeng tektonik 3, 4, 24, 25, 26, 27, 29, 30, 31, 33, 60, 68, 77, 78, 87 LWR 39
171
M
R
Magma 29, 31, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 76, 79, 80, 87
Magnitudo
78, 84, 89, 90, 91, 93, 99 86 Mainshock 7, 8, 9, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 48, Matahari 49, 50, 51, 57, 58, 59, 61, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 145, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162 67, 71 Material piroklastik 63 Medan geomagnetik 4, 58, 59, 60, 61, 64, 139 Medan magnet bumi 106, 139 Medium antar planet 31, 32 Mesosfer
Meteor 33, 95, 96, 97, 106, 110, 111, 127, 128, 132, 134, 148, 150, 151, 153, 157, 161
Meteorit 128, 129, 132, 133, 134, 161 132 Meteoroit Metode grafis 93 Metode inversi 93, 94, 95 Mitigasi 45, 46, 47, 85 Model konveksi 19, 22, 23, 24 Moho 14 90 Momen magnitudo O Oceanic crust
25 Orbit 38, 106, 107, 108, 112, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 135, 138, 144, 145, 146, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 156, 157, 158, 159, 160, 161 Orbit asteroid 131, 144 141, 149, 151, 152, 153, 156, 157, Orbit komet 158 88, 93 Origin time 32 Ozonosfer P
Panas primordial 17, 18 Patahan 30, 79, 80, 83, 84, 85, 86, 91, 96 Patahan mendatar 84 83, 84 Patahan naik Patahan turun 83 17, 18 Peluruhan isotop radioaktif 112 Penumbra Planet 4, 37, 38, 50, 58, 59, 60, 106, 107, 108, 109, 110, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 135, 137, 138, 139, 140, 144, 147, 148, 149, 151, 152, 153, 157, 158, 159 Porositas 10, 11, 12 85 Postseismic 85 Preseismic 112 Prominance 124, 125 Pyranometer
Pyrheliometer
172
123, 124
Radiasi 6, 7, 8, 17, 32, 33, 34, 35, 36, 38, 39, 48, 50, 51, 52, 57, 58, 61, 108, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 134, 139, 154, 155, 156
Radiasi matahari 32, 34, 36, 38, 39, 48, 50, 51, 57, 58, 108, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 122, 123, 125, 154, 155 Radiometer surya 123 Rayleigh Number 20, 22 26, 31, 69, 74 Ring of Fire Rupture 86, 100 S
Samudera
5, 6, 7, 14, 22, 24, 25, 27, 28, 29, 30, 31, 35, 68, 69, 70, 73, 77, 78, 79, 80, 87, 88, 96 Satelit 41, 56, 97, 98, 106, 116, 127, 128, 131, 135, 136, 137, 138, 139, 147 34 Sensible Heat 80 Shallow earthquake Shield volcanoes 73 Siklon 37 85 Siklus gempa bumi Siklus hidrologi 6, 7, 8, 9, 52 97, 98, 99 Sistem peringatan dini Sistem tata surya 106, 110, 128, 129, 130, 132, 135, 139, 152, 158 89 Skala Ritcher Slow slip event 85 139 Solar flares 119 Solar home systems 112 Solar wind Specific storage 11 11, 12 Specific yields 11 Storativitas 31, 32, 33, 55, 56, 57, 116 Stratosfer Stratovolcanoes 73, 74
Sunspot 112, 116 Surya konstanta 116 Surya spectrum 116 SWR 39 T
Teori Dynamo medan magnet bumi 59 107, 108 Teori Nebula 108 Teori Planetesimal 31, 33 Termosfer 27, 30 Transform boundaries Transmisi 112, 113, 117, 118
Transmisibilitas 11 31, 32, 33, 53, 54, 55, 56, 57, 116 Troposfer Tsunami 31, 87, 88, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 101, 102 U
Umbra 112
V
Z
71, 72 Viskositas magma Volatil 68, 72, 150, 155 Vulkanisme 29, 31, 68, 69, 70, 71
Zona Subduksi 26, 28, 68, 74, 77, 78, 79, 80, 86, 87, 99
173