BUDAYA PELA DAN GANDONG DI MALUKU Oleh: Syarifudin Manusia sejak dilahirkan telah diberikan potesi nabati, hewani, dan insani. Potensi dasar ini secara psikologi memproduksi pemikiran, budaya, tradisi, afektion, dan prilaku yang berbeda-beda berdasarkan pemahaman budaya dan agama yang difahami sesuai kepercayaan dan keyakinan masing-masing. Keunikan budaya Maluku satu budaya multi agama sehingga melahirkan nilai-nilai agung. “Nilai-nilai Agung Orang Basudara” sebagai karunia Tuhan dari aspek budaya di Maluku. Jika tradisi ini tidak dijaga dari imbas budaya global maka akan kehilangan jari dirinya ketika hanya berdiam diri. Budaya Pela Gandong sebagai kekuatan untuk menjaga keutuhan, keharmonisan kehidupan bermasyarakat. Salah satu tujuan suci dari Pela gandong untuk mengatur “ego”nya dari perbedaan budaya dari setiap negeri di Maluku untuk membangun relasi dalam kehidupan. “Nilai-nilai Agung” itu juga tidak bisa berjalan sendiri-sendiri, karena akan menyalahi kodratnya sebagai bagian dari “pluralitas”, makanya ia bisa bermakna kalau diberi makna. Salah satu pemaknaan yang sangat berarti adalah ketika terbangun kolaborasi dan sinergitas dengan yang lain. A. Pengertian Pela Secara etimologis pengertian Pela berasal dari beberapa makna kata di daerah berdamai dari dua belah pihak yang bertikai asalnya. Antara lain sebagai berikut: 1) Bahasa asli Seram menyebut kata Pela berasal dari kata “papelae”, berarti harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir atau sudah pada akhirnya. Misalnya dalam bagian kalimat “papelae tuae”, artinya mari minum sageru (sebagai tanda pengesahan sebuah kesepakatan yang sudah berakhir, sudah disetujui). 2) Di pulau Nusalaut ada kata “pelania”, yang berarti harus berakhir. 3) Di negeri Kailolo di pulau Haruku, ada kata “pelaya”, yang berarti sudah atau habis. 4) Di negeri Amahai di pulau Seram, dikenal bagian kalimat “sou-sou pelania……”, yang diucapkan atau diteriakan sebagai akhir dari kesepakatan. 5) Di beberapa daerah di pulau Ambon dikenal kata “pela-u”, yang berarti saudara. 6) Di masyarakat suku asli pulau Seram, Kakehan, dikenal kata “pela-pela” sebagai sebutan persaudaraan, yang diikuti kemudian dengan pematrian tatoo di bagian tubuh anggotanya yang baru. Menurut Stresmann (1923 : 417-dikutip dari Bartels halaman 57-59), di daerah lain ada juga kata yang punya arti mirip sama; “bela” yang berarti teman atau sahabat. Kata ini ditemukan di Maluku Tenggara : “bela” di Banda Elat-Kei Besar, “belano” di desa Wokam di pulau Aru, “bel” atau “tea-bel” di Kei Kecil.
Ada juga kata “balbela” di wilayah pulau Fordata di pulau Yamdena, Tanimbar. Menurut Draabe, kata “bela” atau “kida-bela” di Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB) punya arti yang sama dengan “pela” di Maluku Tengah, yang berarti sahabat atau bersaudara (Draabe 1932 : 13 dan 43-dikutip dari Bartels halaman 60). Semua arti kata-kata di atas menuju pada satu arti habis atau sudah. Kata lain dengan pengertian yang mirip sama yang berarti membatasi atau merintangi, misalnya ditemukan di suku Naulu dengan kata “pena”, yang berarti jangan atau dilarang. Selain itu, ada juga kata “wake”, “wate”, “wake ou”, di Maluku Tengah; di pulau Seram, di pulau Ambon dan di pulau-pulau Lease. Katakata itu berarti jangan potong kepalaku dan juga berarti menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas. Dari berbagai pengertian di atas, “Pela” punya asal-usul kata yang banyak sekali ; dari Maluku Tengah : pulau Seram, Pulau Ambon dan pulau-pulau Lease ada kata-kata “papelae”,” pelaya”, “pelania”, “pela-u”, “pela-pela”, yang bermakna sama dengan kata-kata di kepulauan Kei, Kepulauan Aru dan kepulauan Maluku Tenggara Barat seperti : “bela”, “belano”, “bel” atau “tea-bel”, “balbela”, “kida-bela”. Pela juga punya makna sama dengan kata-kata yang berbeda seperti : “wake”, “wake ou” dan “wate”, yang dikenal di Maluku tengah : Pulau Seram, Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease. Dari semua kata-kata yang melukiskan pengertian pela itu muncul sejumlah arti : harus diakhiri, mengakhiri, sudah berakhir, sudah pada akhirnya, sudah, habis, teman, sahabat, membatasi atau merintangi, jangan potong kepalaku, menjauhlah atau tetap (berdiri) di batas. Pengertian-pengertian itu mengandung aspek pembatasan, perlindungan dan larangan. Ikatan Pela sebagai identitas manusia Maluku yang khas, sesungguhnya telah menyuguhkan sebuah tingkat keadaban yang tinggi dalam pertalian sejati, dengan metafor “satu hati dan satu jantong” sebagaimana ungkapan luhur orang Maluku, yaitu: Hidop Orang Basudara, sebagaimana ungkapan luhur Katong Samua, yaitu: potong di kuku rasa di daging, ale rasa Beta rasa, dan sagu salempeng dibagi dua. Ini adalah sebuah frase atau ungkapan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan sejati yang telah dibangun oleh para leluhur orang Maluku, bukan saja bersifat ko-eksistensi, tapi sudah berada di level pro-eksistensi. Agar Orang Basudara bisa belajar untuk saling memahami, saling mempercayai, saling memiliki, saling mencintai, saling membanggakan, dan saling menghidupi. Maka ungkapan seperti “katong samua orang basudara” maupun “ale rasa, beta rasa” sebetulnya mencerminkan sketsa manusia Maluku yang tidak hanya berhubungan secara geneologis semata, namun lebih daripada itu mengeskpresikan manusia Maluku sebagai makhluk sosial yang sangat adatis.Dalam pela tercermin
pemaknaan manusia Maluku yang sangat menjunjung tinggi kolektifitas atau kebersamaan sebagai Orang Basudara. Dalam relasi negeri atau desa yang ber-pela, terdapat norma atau aturan yang disepakati bersama. Jika ada yang melanggar, akan mendapatkan hukuman, dan diyakini akan mendapatkan kutukan, baik secara personal maupun kolektif. Misalnya negeri yang melanggar aturan itu akan mengalami paceklik dan susah makanan, pohon cengkeh atau tanaman tidak berbuah, ikan-ikan menjauh dari tempat penangkapan, dan sebagainya”. Adapun norma yang perlu ditaati bersama antara lain: 1) Perlindungan mengartikan adanya sebuah tanggungjawab hubugan persaudaraan yang erat dan saling mendukung. Di dalamnya, tolongmenolong, saling memberi, saling melindungi dan saling merasakan suka dan duka sesama ikatan pela, terikat menjadi satu. Negeri- negeri yang berpela itu memiliki kewajiban untuk saling tolong menolong dan bekerjasma menghadapi suatu masalah atau musibah, apakah itu bencana alam, wabah penyakit, kelaparan pada musim paceklik, perang untuk mempertahankan hak, dan lain-lain. Tanpa diminta, maka kampung atau negeri yang berpela wajib memberi bantuan kepada saudara Pela-nya yang hendak melaksanakan hajatan atau pekerjaan demi kepentingan atau kemaslahatan umum, walaupun berbeda agama, seperti, pembanguanan rumah gereja, mesjid, Baeleo (Balai Desa), pembangunan sekolah, hingga pelantikan raja . Inilah yang disebut sebagai budaya Badati atau kerja Siwalima. Dalam memori kolektif kita semua, ketika mesjid dibangun selalu ada tanda mata dari saudara Pela –nya, seperti tempat wudhu, beduk, kayu untuk tiang Alif, dan bahan material lainnya untuk mesjid. Demikian halnya ketika gereja dibangun, Pela-nya juga melakukan hal yang sama. Lebih menarik lagi, ketika hajatan-hajatan itu dilakukan, saudara yang datang bukan menjadi tamu, tapi secara moral, terlibat aktif sebagai tuan rumah. Atsmosfir kebersamaan dan persaudaraan sejati ini masih terpelihara sampai sekarang, misalnya hubungan Pela negeri Kamariang dan negeri Sepa, atau Pela antara negeri Batu Merah dan negeri Paso. Dimana Mesjid dan gereja tua di keempat negeri ini adalah bukti sejarah tentang tingginya tingkat keadaban negeri-negeri ini. 2) Ketika mengunjungi kampung saudara Pela, maka basudara Pela di kampung atau negeri itu wajib untuk memberi makanan kepadanya. Ketika melihat buah-buahan yang sedang berbuah dan sudah matang atau melihat binatang ternak, dan saudara Gandong atau Pela yang datang itu cuma menyampaikan kesukaannya kepada buah atau ternak tersebut, maka secara otomatis Pela di negeri itu langsung mengambil buah atau ternak tersebut untuk saudara Pelanya. Karena dalam kesadaran kosmologi Hidop Orang Basudara¸ memberi adalah wujud ungkapan kasih sayang yang sangat dalam, yang dicerminkan dalam ungkapan Sodara Tuang Hati Jantong (Saudara yang dijunjung tinggi bagaikan belahan hati dan jantung). Begitu kuatnya rasa memiliki dan kasih
sayang itu, maka andaikan hati dan jantung bisa saya beri maka saya pun rela memberikan kepadamu. 3) Dan setiap berkunjung ke negeri Gandong atau Pela, walaupun tanpa meminta, saudara Pela di negeri itu selalu menyediakan oleh-oleh dari hasil kebun, hasil ternak atau hasil tangkapan ikan di laut. 4) Semua penduduk negeri-negeri yang berhubungan Pela tidak boleh kawin. Tiap pelanggaran terhadap aturan itu akan mendapatkan kutukan dan dihukum sesuai aturan adat. Larangan pernikahan dengan Pela secara kontekstual dapat dipahami bahwa, jika pernikahan itu berkahir dengan konflik rumah tangga atau perceraian akan bisa merusak hubungan Pela tersebut. 5) Larangan menjadi satu makna inti dalam ikatan pela, di mana ada dasar utama yang harus dihormati, yaitu tidak boleh kawin dan tidak boleh melakukan penindasan terhadap sesama pela. Dalam tiga aspek pengertian ikatan “pela” itu hubungan persaudaraan dipahami sebagai sentralnya. Artinya, ikatan persaudaran “pela” ada dalam hak hidup, ada dalam perlindungan, dan ada dalam menaati larangan.
B. Ruang Lingkup Pela Menyangkut ruang lingkup pela dapat dilihat dalam tiga pembatasan. Pertama, pembatasan pela sebagai ikatan persaudaraan antara desa-desa dalam kesatuan pulau,seperti pula Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dalam pembatasan ini, yang dimaksud dengan pulau Seram adalah desa-desa di pulau diimaksud, seperti di pulau Seram; mulai dari desa Tamilou di ujung barat Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, dengan semua desa di dalamnya; Kecamatan Kairatu dengan semua desa-desanya, Kecamatan Piru dengan semua desa-desanya dan sampai Kecamatan Taniwel dengan desa-desanya di Kabupaten Seram Barat. Kumpulan desa-desa ini disebut Seram, karena ikatan budaya dan kedekatan lainnya, seperti ekonomi dan sosial. Kedua, pembatasan dalam hubungan dengan suku-suku kecil terasing lainnya; seperti suku Naulu, yang sudah ada sejak lama dan mengakui bahwa mereka berasal dari gunung Binaya, sebuah gunung tertinggi di pulau Seram, di Seram bagian Timur. Mereka menetap di desa-desa dekat pantai Masohi bagian barat. Sementara suku asli besar di pulau Seram adalah suku Wemale dan suku Alune. Suku Wemale mendiami sebelah barat sungai Sapalewa dan suku Alune mentap di sebelah timur sungai Sapalewa sampai batas sungai Tala. C. Asal-Usul Pembentukan Pela Dari asal-usulnya, pela berasal dari tiga daerah, yaitu ikatan pela yang diyakini sebagai bentuk tertua ialah pela dari penduduk asli Alifuru di pedalaman pulau Seram, Pela dari Maluku Utara dan Pela-Gandong.
1. Pela dari penduduk asli Alifuru di pedalaman pulau Seram. Ikatan pela ini bermula dari perburuan kepala dan perang antar kelompok, suku atau desa, orang Alifuru di pedalaman pulau Seram. Akibatnya, suku atau desa yang merasa terancam keamanannya akan berupaya membentuk ikatan pela dengan desa lain. Biasanya, desa atau desa-desa yang lemah akan bergabung dengan desa yang lebih kuat. Jalinan persaudaraan antardesa dalam ikatan pela di kategori ini bertujuan untuk mendapatkan perlindungan keamanan. Pemimpin perang yang sangat berpengaruh adalah seorang Kapitan. Ia punya kekuatan magis tertentu yang mampu mengalahkan lawan. Karena itu biasanya perang yang terjadi bukan perang di antara rombongan melawan rombongan, atau main keroyok. Tapi, perang antara dua kapitan, dua jagoan yang menguji kedigjayaannya dengan senjata tajam maupun dengan kekuatan magisnya, sedangkan anak buah dalam rombongan hanya menanti siapa dari kedua kapitan itu yang menang. Si pemenang menjadi pemimpin yang ditakuti, demikian juga kelompoknya. Si yang kalah dengan kelompoknya akan berusaha untuk mencari perlindungan kepadanya. Dalam upaya mencari perlindungan ini, selalu diakhiri dengan ikatan sumpah pela. Keduanya menjadi satu ikatan bersaudara yang saling melindungi dan membantu dalam situasi aman maupun perang. Syarat lainnya adalah tidak boleh ada perkawinan di antara kedua kelompok dan keturunannya. Sumpah ikatan pela di antara kedua belah pihak berpusat pada minum darah bersama. Biasanya darah seorang dari anggota kelompok yang kalah diambil dan dicampur lalu diminum bersama, mulai dari kapitan-nya kemudian diikuti oleh anggota kedua kelompok. Ikatan pela asli suku Alifuru di pedalaman pulau Seram ini tidak mengenal kanibalisme dan balas dendam. Tentang waktunya pembentukannya tidak diketahui secara pasti. Tapi sangat mungkin ia terbentuk jauh sebelum kedatangan pengaruh kekuasaan dari kesultanan Ternate dan Tidore sebelum abad ke lima belas. 2. Pela dari Maluku Utara. Pela ini terbentuk dari ikatan antara desa Hitu dengan Kerajaan Ternate yang beragama Islam. Setelah kehadirannya, ikatan pela ini berkembang menjalin persaudaraan dengan desa-desa yang beragama non-Muslim di pulau Ambon dan di pulau Seram. Orientasi ikatan pela di kategori ini lebih menekankan pada aspek ekonomi, khususnya perdagangan cengkih. Petunjuk atas aspek ini menjelaskan bahwa ketika penjajah Eropa datang, pada mulanya mereka berdamai dengan Kesultanan Ternate. Tapi lama-kelamaan, ketika perhatian mereka berpindah ke bidang ekonomi, pembelian rempah-rempah cengkih, maka permusuhan perang pecah melawan kesultanan Ternate. Terkenal di Kesultanan Ternate tokoh “Kolano”, seorang kapitan kepala (Hubert Th & M Jacobs, S.J 1971 : 113-115 ; 121-129), yang perannya mirip sama dengan seorang menteri, atau tangan kanan Sultan, dalam menjalankan kekuasaanya di daerah jajahannya. Jabatan “kolano”ini punya hubungan erat dengan jabatan galarang, yang adalah jabatan di ‘kerajaan kecil’ di bawah Kesultanan Ternate yang ada di jasirah Leihitu. Jabatan kekuasaan ini juga berkaitan dengan jabatan keturunan bangsawan Ternate, Gimelaha. Terkenal Gimelaha Leliato, yang banyak bersama desa-desa di pulau Seram, pulau
Ambon dan pulau-pulau Lease, berperang melawan VOC-Belanda (Leirissa 1975 : 3-5; 33-40). Salah satu pusat Kesultanan Ternate di pulau Seram adalah di desa Gamsungi. Bekas desanya ada di dekat desa Luhu sekarang ini. Aspek lain yang tidak tegas kelihatan (diperlihatkan oleh para peneliti) adalah aspek dawah Islam. Pembangunan masjid dan gereja secara bersama-sama. Sebab di mana-mana kecenderungan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan yang bercirikan agama (Islam, Kristen), selain menekankan aspek politik, tapi juga selalu membawa misi mengagamakan daerah jajahan atau daerah afiliasinya menurut agama yang dianut (bandingkan Leirissa 1975: 6-9). Sekali pun demikian harus diakui bahwa ada juga motivasi lain pembentukan pela dengan ikatan desadesa campuran agama, Islam, Kristen, demi keamanan bersama. Inti yang menjadi dasar ikatan pela mereka berpusat pada sumpah matakau. Sumpah matakau adalah sumpah yang dinyatakan di atas media mesiu dan kepala peluru yang di rendam dalam air atau sageru (sari air nira dari pohon enau atau kelapa) lalu mencelupkan semua senjata tajam dan moncong senjata api, kemudian campuran itu diminum bersama sebagai tanda ikatan pela. Ikatan pela ini sangat kuat dengan kanibalisme dan upaya balas dendam, seperti yang ditunjukan dalam beberapa desa dalam ikatan pela di Leitimor. Waktu pembentukannya adalah pada masa kedatangan pertama bangsa Eropa, Portugis di abad ke lima belas. Pela ini mulai terbentuk di Hitu dan menyebar di Leitimor, dibawa dari Maluku Utara dari pengaruh kesultanan Ternate pada masa setelah Sultan Zainulabidin yang berkuasa mulai sekitar tahun 1495. Penetapan waktu ini bisa diterima bertolak dari pemakain kepala peluru, yang menyatakan bahwa senjata api dan pelurunya baru dikenal pada masa penjajahan. Sebelumnya, orang Alifuru atau penduduk pribumi Maluku, khususnya penduduk di Maluku Tengah : pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, hanya mengenal senjata tradisional seperti panah, anak panah, parang dan tombak. 3. Pela dari Irian. Ikatan pela ini bermula dari satu keluarga yang datang dari Irian, Papua, dan menetap di Hatumete, Seram selatan. Ia punya lima anak, tiga anak laki-laki: Temanole, Simanole dan Silaloi; dan dua anak perempuan : Nyai Intan dan Nyai Mas. Anak laki-laki yang tua, Temanole, menetap di desa Tamilou, anak laki-laki kedua, Simanole, menetap di desa Sirisori dan anak laki-laki yang ketiga, Silaloi, menetap di desa Hutumuri. Kedua anak perempuannya, seorang yang bernama Nyai Intan, kawin di desa Wa’ai dan seorang saudaranya yang lain bernama Nyai Mas, kawin di desa Haria. Ikatan pela saudara sekandung, kakak-adik, ini di Ambon disebut “pela-gandong”, yang lebih dikenal dengan sebutan “gandong” saja. Proses ikatan pela mereka berpusat dalam janji setia seorang saudara dengan saudara-saudara lainnya ketika mereka akan berpisah mencari tempat tinggal baru. Di atas janji itu, dibarengi kerinduan untuk bertemu membuat pertemuan baru yang lebih mengingatkan mereka tentang janji setia persaudaraan ketika berpisah dulu. Misalnya ketika saudara tertua Temanole hendak menetap di Tamilou, bersama kedua adiknya melukai tangan dan meminum darah bersama, mengatakan janji
setia persaudaraan dan mengingatkannya kepada kedua adiknya Simanole dan Silaloi sebelum keduanya melanjutkan perjalanan ke tempat tinggal baru mereka masing-masing. Lama berselang, kerinduan kedua saudara perempuan mereka, Nyai Intan dan Nyai Mas berujung ke perjumpaan kembali dengan ketiga saudara laki-laki mereka. Setelah Nyai Intan kawin di desa Wa’ai dengan Bakarbessi dan Nyai Mas kawin di desa Haria dengan Manuhuttu, maka terjadi hubungan ikatan pela-gandong di antara desa-desa Tamilou, Sirisori, Hurumuri, Wa’ai dan Haria. Lima desa ini menjadi satu ikatan pela-gandong. Karena mereka adalah saudara segandong, atau sekandung, maka tidak boleh ada kawin di antara keturunannya. Waktu pembentukan pela-gandong ini adalah pada masa penjajahan Portugis, yaitu sekitar abad ke lima belas. D. Jenis-Jenis Pela Selama masa penjajahan, Bartels menyebut ada tiga jenis pela (Bartels 1977: 181-190), yaitu “pela karas” atau “pela batu karang”, pela tampat sirih (pela longgar) dan “pela gandong”. Di Ambon, pela karas juga disebut “pela tuni” (bahasa Ambon, tuni berarti keras). Berbeda dengan Bartels, Cooley menyebut hanya ada dua jenis pela saja yaitu pela batu karang dan pela tampat sirih (Cooley 1962 : 72-74). Sementara Jhon Chr. Ruhulessin, menyatakan bahwa pada dasarnya pela terdiri atas tiga: yaitu Pela Karas, Pela ikatan keturunan keluarga (gandong), dan pela tampat sirih. Uraian singkat tiga jenis pela itu seperti berikut ini : 1.
Pela Karas
Disebut pela karas, karena ikatannya yang sangat keras dengan dasar sumpah yang tidak boleh dilanggar. Inti ikatannya ada pada minum darah bersama, yang mengikat mereka sebagai saudara. Darah yang diambil berasal dari mengorbankan salah satu anggota (terutama) kelompok yang kalah perang. Selain itu pela karas juga terkadang dilakukan dengan cara para pemimpin leluhur kedua belah pihak bersumpah dengan cara meminum darah yang diambil dari jari-jari mereka yang dicampur dengan minuman keras lokal dari satu gelas. Proses angkat pela pun terjadi dengan ritual menggores jari telunjuk dengan parang sehingga keluar darah nya, jari dari kedua belah pihak yang berdarah dimasukan dalam wadah yang berisi air untuk minum (pada waktu dulu masih mempergunakan tempurung kelapa sebagai wadah untuk minum air). Sesudah darah nya selesai menetes dalam air dan tercampur dengan air maka di minum silih berganti oleh yang terlibat dalam peperangan. Syarat, Perjanjian dan sumpah pun dilakukan lebih dahulu sebelum darah bercampur air dalam tempurung di minum silih berganti antara kedua belah pihak. Terkadang pula dilakukan dengan cara keduanya mengikat janji melalui sebuah sumpah kuat yang disertai dengan sanksi kutukan bagi setiap calon pelanggar perjanjian. Para peserta kemudian meminum ramuan campuran tuak dan darah yang diambil dari pemimpin dari dua kelompok, setelah pencelupan senjata-
senjata dan benda tajam lain ke dalamnya. Benda-benda ini akan melawan dan membunuh setiap pelanggar. Pertukaran darah menandakan ikatan persaudaraan tersebut. Pela keras bermula karena adanya peristiwa besar tertentu, biasanya berkaitan dengan perang, seperti pertumpahan darah, pertempuran yang tidak berakhir, atau bantuan luar biasa yang diberikan oleh satu desa kepada desa lain.Pela ini biasanya atau umumnya adalah hasil dari keadaan perang. Artinya bahwa setelah kedua kapitan dari dua desa tersebut saling bertarung dan pada akhirnya tidak ada yang bisa saling mengalahkan, maka diangkat sumpah untuk mengakhiri permusuhan itu. Sumpah itu dimaksudkan untuk mengikat “persaudaraan darah” untuk selamanya. Sehingga dalam perkembangannya jika yang satu mereka susah atau memerlukan bantuan, maka yang lain harus membantu. Inilah komitmen yang sudah merupakan kewajiban ataupun keharusan. Semua warga dari desa-desa yang angka pela ini tidak terlepas dari tuntutantuntutan. Karena mereka telah menjadi bersaudara, maka tidak boleh ada perkawinan di antara keturunannya. Masuk dalam ikatan pela ini sering pula disebut dengan “pela tumpah darah” dan “pela batu karang”. Pela tumpah darah terbentuk dari perang antara dua belah pihak yang berakhir dan diikuti dengan mengorbankan salah satu anggotanya. Darah korban anggota itu diminum oleh pemimpin dan anggota kedua belah pihak dan ditegaskan dengan sumpah sebagai saudara di antara keduanya. Pela batu karang bermula dari bantuan material berupa bantuan ekonomi, tentara dan peralatan perang. Kuatnya ikatan ini di samakan dengan batu karang, maka dinamakan pela batu karang. 2. Pela Gandong Pela gandong, yang ikatan pela-nya karena ada hubungan bersaudara kandung, karena itu dilarang kawin di antara keturunannya. Pela Gandong pada dasarnya merupakan sebuah perjanjian yang menjadi budaya kebanggan masyarakat Maluku. Perjanjian ini menyangkut relasi persaudaraan antara satu negeri dengan negeri lain baik yang sedaratan atau berlainan pulau. Hal ini berlaku juga antara etnis dan agama yang berbeda. Pela sendiri berarti perjanjian sedangkan gandong sendiri berarti adik. Pela Gandong memiliki arti sakral bagi masyarakat Maluku. Pada saat upacara sumpah berlangsung, beragam senjata dan alat-alat tajam lainnya dicelupkan kedalam campuran tuak dan darah dari masing-masing pemimpin yang mengikat perjanjian. Air tersebut lalu diminum oleh kedua pihak dan menjadi dasar bahwa kedua pihak sedarah dan terikat dengan perjanjian. Pela Gandong atau Bungso yang timbul karena adanya ikatan hubungan keturunan. Biasanya diantara pemimpin satu pihak memiliki hubungan keturunan ataupun diantara beberapa keluarga menganggap diri mereka sebagai satu garis keturunan. Hubungan pela gandong terdapat baik antar negeri-negeri yang
penduduknya sama-sama beragama Kristen, maupun anatara negeri yang penduduknya beragama Islam dengan negeri yang penduduknya beragama Kristen. Ikrar pela gandong dinyatakan sebagai penyelesaian suatu masalah prinsipil yang berhubungan dengan manusia dan masalahnya(Yoyok RM, Siswandi 2008: 195). Pela gandong dan bangso atau merupakam ikatan yang sangat kuat. Kekuatan pela gandong terletak pada nilai persaudaraan sejati antara dua atau tiga negeri (desa/kampung). Nilai persaudaraan sejati itu dapat bersifat kultural dan historis. Bersifat genealogis-kultural karena hubungan pela gandong itu bersumber pada nilai-nilai adat, misalnya secara kultural orang-orang yang bersal dari dua atau tiga negeri yang berbeda itu meiliki satu pertalian geneologis. Orang-orang dari negeri-negeri tersebut yang berbeda atau sama agamanya itu bersal dari satu negeri asal dan satu nenek moyang. Mereka satu asal-usul, satu adat dan satu budaya, karena itu hubungannya bersifat historis. Negeri-negeri di Maluku, khususnya Maluku Tengah (Seram, Ambon, Saparua, Haruku, Nusalaut) adalah negeri-negeri adat dan karena itu bersifat genealogis (John Pieris 2004: 144). Dieter Bartels berpendapat bahwa “apa yang menyebabkan orang-orang Indonesia lainnya begitu mengagumi pela tentu saja adalah ciri utamanya sebagai bentuk kerjasama yang melampaui batas-batas agama-agama yang demikian berbeda, Islam dan Kristen, sehingga pela barangkali merupakan satu-satunya sistem pengaturan interaksi antara orang-orang yang berlainan agama itu dan jauh melampaui hubungan-hubungan kekeluargaan yang ada di Indonesia. Selain itu hubungan pela gandong bisa juga dilakukan antara negeri yang terletak di pula-pulau yang berbeda-beda. Pada umumnya pela gandong menyangkut dua negeri, tetapi setiap negeri bisa mengadakan hubungan pela gandong dengan sejumlah negeri lain sesuai kebutuhan. Sistem pela adalah institusi yang paling penting yang mengintregasikan masyarakat Ambon di atas tahapan ikatan desa. Pela gandong dianggap sebagai hubungan persaudaraan yang abadi, dan pengadaan atau pembaharuaan aliansi semacam itu disertai ritual-ritual dan sumpah-sumpah yang sakral. Wajib membantu jika diminta demi kepentingan kesejahteraan umum seperti membangun sekolah, rumah ataupun tempat ibadah. Wajib melayani jika masing-masing pihak berkunjung serta tidak diperbolehkannya ikatan perkawinan bagi masing-masing pihak karena sudah dianggap sedarah. Pela Gandong memang menjadi kultur yang berbudi luhur dan memiliki nilai moral yang tinggi bagi masyarakat. Sejarah pun mencatat bahwa konflik agama di Maluku beberapa tahun silam berhasil diminimalisir dengan adanya perjanjian tersebut. Oleh karena itu, budaya Pela Gandong ini patut dilestarikan dan dihidupkan kembali. Khususnya pada generasi penerus demi terciptanya perdamaian di bumi nusantara ini. 3. Pela Tampat Siri
Pela tampat siri dihasilkan setelah peristiwa kecil, seperti untuk memulihkan kedamaian, setelah ada pertikaian kecil atau setelah satu desa memberi bantuan kepada desa lain. Pela ini juga dibuat untuk mendukung hubungan perdagangan.Pela Tampat Siri dilakukan tanpa sumpah dengan menukar dan mengunyah Sirih bersama. Pela Tampa Siri merupakan suatu perjanjian persahabatan sehingga perkawinan antar pihak yang terkait diperbolehkan dan tolong menolong lebih bersifat sukarela tanpa ada ancaman hukuman nenek moyang. Pela Tampat Siri timbul akibat sebuah peristiwa yang kurang begitu penting atau karena suatu negeri berjasa terhadap negeri lain dalam hal perdamaian dan perdagangan. Sistem pela ini lebih condong pada perjanjian persahabatan, dan di sini dimungkinkan adanya pernikahan sesama anggota Pela. Pela ini terjadi dalam sebuah pertemuan antara kedua belah pihak yang sedang membutuhkan sesuatu da nada keinginan untuk saling tolong menolong maka timbul kesepakatan untuk mejalin hubungan jangka panjang untuk tolong menolong dalam dalam bidang ekonomi lalu membuat kesepakatan dalam perjanjian tanpa sumpah yang dikuatkan (dilegitimasi) melalui sebuah acara makan sirih dan pinang bersama sama antara kedua belah pihak. Pela tampat siri cenderung terjadi karena kesepakatan jual beli hasil produksi antara kedua belah pihak pada waktu itu. Pada zaman dulu ketika belum ada mata uang dalam praktek jual beli terjadilah barter atau barang di tukar dengan barang, Pela tampat siri ini terjadi untuk mengikat hubungan dagang dalam praktek ekonomi zaman itu. 4. Panas Pela Untuk menjaga kelestariannya maka pada waktu-waktu tertentu diadakan upacara bersama yang disebut "panas pela" antara kedua negeri yang berpela. Upacara ini dilakukan dengan berkumpul selama satu minggu di salah satu Negeri untuk merayakan hubungan dan kadang-kadang memperbaharui sumpahnya. Pada umumnya upacara atau gelaran panas pela diramaikan dengan pertunjukan menyanyi, dansa dan tarian tradisional serta acara lain seperti makan patita/makan perdamaian. Makan patita adalah kegiatan makan bersama tetapi biasanya dibuat di atas meja panjang yang terbuat dari bentangan daun nyiur ditebarkan di atas tanah, sebuah meja panjang dan dihadiri oleh seluruh warga masyarakat yang ada. Semua orang membawa makanannya sendiri-sendiri lalu di kumpulkan dan disajikan secara bersama-sama untuk disantap. Sistem pela sampai saat ini masih berperan penting di daerah Maluku. Karena rasa persatuan dan identitas bersama disadari dan dihayati dengan kuat upacara-upacara pembaharuan pela (panas pela) masih sering berlangsung. Sejak Perang Dunia II sejumlah pela baru, kebanyakan pela Tampat Siri ditetapkan sebagian besar antara negeri-negeri Islam dan Kristen sebagai usaha diadakan dengan sadar untuk menguatkan hubungan antara dua golongan itu. Dapat
dikatakan bahwa berkat sistem pela itu, pertentangan antara kaum Muslim dan Kristen yang terjadi pada tahun 1998-2002 dapat diredakan. D. Pela Dalam Konteks Sosial Masyarakat Maluku Pela menggambarkan ikatan kehidupan bersaudara masyarakat di Maluku. Ikatan hidup masyarakat itu berkaitan erat dengan bagian-bagian masyarakat pulau Ambon, pulau-pulau Lease dan masyarakat di pulau Seram bagian depan. Dalam konteks sejarah, ikatan masyarakat di pulau Seram khususnya masyarakat di Seram bagian depan lebih dekat dengan masyarakat di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Masyarakat di pulau Seram bagian belakang, yang lebih dominan dikenal dengan nama Seram Timur, yaitu wilayah Tehoru, Werinama, Wahai sampai di pulau-pulau Geser dan Gorom, lebih dekat hubungan masyarakatnya dengan masyarakat di kepulauan Kei. Ikatan pela yang semula kuat dan berpusat di pulau Seram, mulai mengalami tekanan yang dahsyat ketika jasirah Huamual dengan keharuman rempah-rempah cengkih tercium oleh penjajah Belanda. Hongitochten mulai menggila dengan perang dan penindasan di sana demi mendapatkan cengkih masyarakat. Hukuman dikenakan kepada desa-desa pemilik cengkih bila tidak menjual cengkihnya kepada Belanda dan menjualnya kepada pihak lain. Monopoli ekonomi mulai menggurita di jasirah luas dan strategis ini. Dampak sosial, politik dan ekonomi dirasakan desadesa di sana. Dampak sosial politik adalah ketidak-tentraman penduduk, sedangkan dampak ekonomi adalah monopoli perdagangan cengkih. Apalagi pernah ada kemunduran harga cengkih yang sangat murah, sehingga penduduk di pulau Ambon dan pulau-pulau Lease tidak mampu membeli beras untuk makanannya sehari-hari. Mereka harus beralih dari membeli beras dengan membeli sagu dari pulau Seram untuk kehidupannya sehari-hari. Pengaruh Hongitochten membuat penduduk mulai merasa tidak aman dan mengakibatkan migrasi penduduk dari pulau Seram ke tempat lain di pulau Seram maupun ke pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, makin meluas. Migrasi terjadi karena masyarakat tidak mampu bertahan menghadapi kekuatan senjata Hongitochten-Belanda yang berusaha menguasai perdagangan cengkih di jasiran Huamual. Perang pecah di sentra-sentra kecil potensial penghasil cengkih. Penduduk desa-desa dipaksa mengungsi keluar; kampungnya dibakar dan semua pohon cengkih mereka di kupas supaya nanti kering dan mati (Keuning 1973 : 56). Dengan cara ini Belanda bisa memusatkan perhatiannya hanya di sentra-sentra potensi besar penghasil cengkih. Tekanan ini mengakibatkan dua hal, yaitu pertama : tercatat desa Piru, yang semula punya hubungan pela dengan desa-desa di pulau Ambon dan di pulau Seram, hancur. Akhirnya Belanda berhasil menjadikan Piru sebagai pusat ekonominya. Pada kenyataannya rencana monopoli ekonomi Belanda berhasil dan dengan demikian, penderitaan ekonomi rakyat semakin menjadi-jadi. Hidup semakin sulit sebab kebebasan menjual hasil cengkih diblokir dengan hanya menjual kepada Belanda. Dengan cara monopoli seperti ini, maka pembatasan bisa ditebak yaitu hak menentukan harga ada di tangan pedagang Belanda.
Sekitar tahun 1605, Van der Hagen ditetapkan sebagai penguasa Belanda di Ambon. Ia bertanggungjawab atas pemerintahan dan perdagangan waktu itu (Keuning 1973 : 30-32). Pada masanya kora-kora (perahu arumbae raksasa) adalah alat vital transportasi untuk mengurus misi hongitochten atas perdagangan cengkih. Paling sedikit setiap setahun sekali ia harus mengispeksi jasirah Huamual sampai pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Dengan jumlah 100 pendayung pada setiap kora-kora, dalam setiap pelayarannya, armada pengawas dagang Belanda ini mengerahkan sekitar 30 sampai 40 buah kora-kora. Itu berarti satu kali pelayaran hongitochten dibutuhkan 3000-4000 pendayung. Dijelaskan juga bahwa harga cengkih turun menjadi 60 real untuk setiap bahr (takaran Portugis waktu itu satu bahr=550 pon), dari harga semula yang cukup tinggi jika dibeli oleh pedagang Makasar atau Jawa seharga 90, 100 bahkan 120 real per-bahrnya. Akibatnya secara sembunyi-sembuni masyarakat menjual hasil cengkihnya kepada pedagang Makasar atau Jawa. Sebab selain berjualan, masyarakat juga bisa membeli barangbarang bagus dan berbagai jenis yang mereka bawakan seperti : beras, gong, barang tenunan, dan barang-barang perhiasaan. Kedua, akibat selanjutnya dari pendudukan atas desa Piru menjadi pusat ekonomi menimbulkan migrasi penduduk. Dampaknya berlanjut melahirkan pembentukan ikatan-ikatan pela baru di desa-desa di pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. Pembentukan ikatan-ikatan pela baru ini untuk mempekuat diri dalam gabungan beberapa desa untuk menghadapi Belanda. Dengan adanya ikatan-ikatan pela baru itu sekaligus makin memperkuat terbentuknya kesatuan masyarakat pribumi secara lebih luas dan mengikat. Kesatuan ini mengartikan lahirnya ikatan persekutuan desa-desa yang semula kecil dalam kelompok yang sedikit jumlahnya, satu-dua desa, mulai meningkat menjadi banyak dan menyebar meluas. Secara kuantitas perubahan ini menggembirakan, karena terbentuk sebuah kekuatan yang berani melawan penindas. Akan tetapi secara kualitas dalam fakta sejarah pela, ia tidak mempan terhadap Belanda yang terus menindas dengan senjata dan politik perangnya yang lebih maju. Artinya, persatuan masyarakat secara kuantitas harus juga dipadukan dengan nilai kualitas baru bisa menghadapi gempuran asing yang mengancam identitas lokal, yaitu jati diri masyarakat Maluku Tengah sebagai ‘orang basudara’- orang bersaudara. Sekalipun kecil dan kalah dalam banyak hal ketika berhadapan dengan Belanda, namun desa-desa yang bergabung dalam ikatan pela, simbol persaudaran masyarakat lokal pernah menggalang kekuatan sebagai masyarakat pribumi Maluku dengan identitas nilai-nilai luhur pela dan adat-nya untuk menghadapi Belanda. Sejarah mencatat bahwa kekuatan pribumi selalu kalah. Mereka seperti seekor serangga belalang melawan seekor bengkarung. Sekalipun demikian, tetapi harus diakui bahwa perjuangan telah dibuat demi menikmati hak hidup, harga diri dan martabat sebagai orang Maluku : pulu Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease. E. Eksistensi, Potensi, Dan Resistensi Pela
Telah diuraikan di bagian depan bahwa pela terbentuk di pedalaman pulau Seram bermula dari kebutuhan akan rasa aman dari perburuan kepala dan perang. Nampaknya dalam kebiasaan masyarakat primitif atau masyarakat tradisional berburu kepala, kanibalisme dan makan daging manusia adalah sebuah kebiasaan mulia yang dilakukan di banyak suku-suku primitif di dunia. Berburu kepala dan mengorbankannya menurut pandangan masyarakat tradisional adalah sebuah ketinggian adat atau kemuliaan yang meninggikan harga diri si orang yang melakukan dan memperolehnya(Jensen 1962 : 162-168). Pemahaman ini bermula dari pandangan bahwa manusia dipandang lebih mulia dari hewan. Dalam tradisi masyarakat tertentu selain mengorbankan kepala manusia, ada juga yang mengambil alat kelaminnya. Selain mulia, kedua organ tubuh manusia ini mengandung potensi substansi magis. Oleh sebab itu, dapat dimengerti bahwa jika seseorang berhasil memotong kepala atau mengambil kemaluan manusia, seperti dalam kisah kapitan Sou Nusa yang berhasil membunuh kapitan Maatitah-meten dan membawanya pulang (Bartels 1977: 85), maka ia dipandang hebat dan dihormati, baik di kelompoknya sendiri maupun oleh kelompok lawan. Dalam tradisi Kakehan di masyarakat pedalaman pulau Seram, pelaksanaan berburu kepala adalah sebuah ketinggian dan kemuliaan lambang heroisme dan keberanian. Jika ia sukses mencapai cita-cita mulianya di dalam kelompoknya, maka ia dipandang sebagai pahlawan dan dengan demikian ia sekaligus sangat dihormati. Pandangan yang berkaitan dengan pemahaman berburu kepala yang dianggap mulia bagi yang mendapatkannya sebagai sebuah kemuliaan, juga ditemukan di banyak tradisi masyarakat Maluku lainnya. Dalam pemahaman masyarakat di Maluku Tenggara dan Maluku Tenggara Barat (MTB), kepala itu melambangkan kuasa, kepemimpinan dan wibawa. Sebagai contoh pandangan orang Kei dalam falsafah Hukum adat Larwul Ngabal, kepala dipandang sebagai Uud entauk advunad (Ohoitimur 1983 : 62-66). Artinya, kepala kita bertumpu pada tengkuk kita. Falsafah yang terkandung di dalamnya adalah : kepala sebagai ‘organ tubuh yang terletak paling tinggi’ yang harus memperhatikan, memikirkan, melihat, menjaga dan melindungi keselamatan anggota-angota tubuh lainnya. Pemahaman kemuliaan dan kepahlawanan dibalik praktek perburuan kepala secara harafiah, telah berubah dilupakan atau sama sekali hilang. Penyebab utamanya disebabkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, ada beberapa faktor lain yang turut juga mempenga-ruhinya seperti tuntutan penganutan agama, penerapan hukum negara dan rasionalisasi di bidang ekonomi. Dulu, ikatan pela dan pembaruan janji setia bersaudara dalam upacara panas pela hanya dilakukan dengan apa yang ada dimiliki warga desa-desa se-pela. Maksudnya, upacara pela dan panas pela dilakukan oleh warganya dengan kekuatan harta-benda dan niat mereka sendiri. Yang tetap hebat adalah bahwa dengan kesederhanaan dari apa yang mereka miliki itu mereka mampu kokoh terikat dengan memahami dan melaksanakan apa isi falsafah hidup sebagai orang bersaudara. Sekarang ini sejak dekade sembilan puluhan sampai sekarang, ritual ikatan pela dan pembaruan ikatan persaudaraan dalam panas pela selalu dilakukan dengan campur tangan formal pemerintah. Konsekuensi logis pelaksanaannya pasti
berkaitan dengan motivasi dibalik tujuan pelaksanaannya. Mudah ditebak motivasinya adalah demi pasar pariwisata yang menaikan devisa negara dan perbaikan raport dinas pariwisata. Biaya besar pasti harus dikucurkan demi niat elitis ini. Sangat disayangkan bahwa ketidakmampuan hidup pemilik pela yaitu masyarakat ‘dipaksa’ rela atau tidak, mereka tetap harus melakukannya. Kondisi ini terasa telah membuat pelaksanaan ritual pela dan panas pela kurang menjadi kebutuhan masyarakat pemiliknya. Nilai hikmah moral-etis sebagai identitas dasar bagi kehidupan masyarakat telah dieksploitir sebagai komoditi ekonomi. Tragis sekali, tapi pilihan lain sangat sulit diambil. Aspek lain yang bisa disebutkan di sini juga adalah tentang pengaruh penganutan agama, baik Islam, Kristen dan agama resmi lainnya di Indonesia. Peranan ajaran agama menegaskan pemahaman tentang berburu kepala adalah sebagai pembunuhan yang melawan hukum Tuhan dan sekaligus juga melawan hukum negara. Pernah terjadi di tahun 2004 peristiwa perburuan kepala, yang dilakukan oleh seorang warga masyarakat suku asli di pulau Seram. Diketahui bahwa perburuan kepala itu masih berhubungan dengan inisiasi warga masyarakat, sebuah upacara Kakehan yang sudah lama tidak terdengar lagi. Pada akhirnya pemburunya diketahui dan ditangkap polisi. Ketika ia diinterogasi dan ditanya alasan memburu dan memenggal kepala warga desa tetangganya, seorang warga desa migran dari pulau Lease, ia menjawab dengan tenang dan sangat yakin bahwa perbuatannya tidak melawan hukum sebab itu adalah sebuah tuntutan adat, inisiasi Kakehan. Dalam hubungan dengan upaya menjaga ketentraman dan kedamaian hidup masyarakat, sanksi adat salele dan bailele dalam kehidupan sesehari masyarakat, sudah jarang bahkan tidak ditemukan dalam desa-desa ikatan pela. Kondisi ini bisa demikian sebab setelah masuknya agama Islam dan Kristen, peran sosial kontrol atas norma-norma hidup masyarakat telah banyak ditangani oleh peran agama. Di jemaat-jemaat atau desa-desa Kristen, bentuk sanksi adat bailele dan salele telah digantikan dan berpusat di pelaksanaan disiplin gereja. Salele telah mendapat makna apresiasi positif yang baru. Ia tidak lagi hanya ditujukan sebagi sanksi bagi pesakitan yang melanggar adat desa. Sekarang salele dipakai untuk mengalungkan kain atau ikat leher berupa sapu tangan besar ke leher peserta di Persidangan Gereja, tamu panas pela, pelantikan raja baru dan di kegiatan mulia lainnya. Tentang pelestarian sumber alam atau sasi, biasanya dilakukan secara adat desa, yang lebih dikenal dengan sebutan sasi negeri (di Maluku Tengah: pulau Seram, pulau Ambon dan pulau-pulau Lease, pelaksanaan sasi negeri adalah sasi yang dilakukan menurut adat desa setempat). Pelaksanaannya di beberapa desa masih dipertahankan, terutama di desa-desa yang tidak langsung terkena dampak Kerusuhan. Dulu sebelum Kerusuhan terjadi, salah satu desa yang mendapat penghargaan sasi sumber alam laut adalah desa Haruku di pulau Haruku. Sasi yang dilakukan adalah atas ikan laut, ikan lompa, sejenis ikan sardens, yang hidup berkelompok di laut tepat di muara sungai. Sekarang sasi sudah diambil alih seluruhnya oleh Gereja. Baik “tutup sasi” maupun “buka sasi”, semuanya ditangani oleh Gereja. Dalam banyak pengalaman sebagai pendeta di sebuah jemaat
di pulau Seram, warga masyarakat yang adalah warga Jemaat lebih percaya kepada sanksi yang nyata dialami ketika seseorang melanggar sasi Gereja daripada sasi negeri. Bagaimana pun kenyataannya, pada satu pihak hikmah pela sebagai simpul ikatan persaudaraan bisa tetap ada dan berdaya hidup dalam interaksi warga pemiliknya. Di lain pihak ia sekaligus mendorong hidup yang lebih mendasar dalam perjumpaannya dengan masyarakat luas. F. Hikmah Dalam Pela Dan Panas Pela Makna falsafi pela berpusat pada rangkain ritus upacara pela yang ketat. Inti dari semua ritus upacara pela adalah pada rumusan sumpah pela sebab di situlah sumpah pengikat itu disepakati. Ia mengikat, baik di antara sesama anggota pela, yaitu masyarakat desa-desa se-pela, maupun keterikatan mereka dengan para leluhur. Hal ini tersimpul di dalam sumpah pela, yang dalam sebuah upacara ikatan pela biasanya diulang juga dalam kegiatan panas pela, atau pembaruan pela. Sebagai contoh, baiklah kita lihat rumusan upacara sumpah ikatan pela antara desa Hunitetu dan desa Lohiatala di pulau Seram, seperti berikut ini : Oooi ! …..tuniai-lasatale, pulane, leamatai, Tuwale. Rabike, lanite, tapele, selu jami ooo ! Kinu kwate kurule , pela jurule: Saka mimise, noa mimise, lesi kena lumaio, sapu kena lumaio. Ooo…… Saa marele tetu matao ; saa malau soa tetu peisoa, iane kete matao ; timule keri matao ; halite likio matao.Mata sakalale pelene kinu kwate kurule , pelekurule; saka mimise, noa mimise, saka nunu rupu kena patu, patu rupu kena nunuee, nunu pale tolase, tolase pali nunuee, hioooo……………..! Artinya : Ciptaan tertinggi, bulan dan matahari, Rabike dan Twale, langit dan Bumi, tiliklah kami yang minum sumpah dengan Lohia-Tala, sumpah yang abadi, sumpah yang kuat. Lihatlah dan ingat jangan marah dan jangan bertengkar satu dengan lainnya. Sebaliknya jika engkau hendak memanjat pohon atau menangkap kus-kus engkau harus jatuh mati atau lebah madu menyengatmu sampai mati; engkau pasti mati ketika makan papeda, engkau pasti mati ketika mengunyah tembakau; di lautan engkau pasti tenggelam dan diselamatkan oleh seekor ikan, engkau pasti mati ketika angin barat bertiup, mati seperti api berhembus. Kami sedang minum sumpah abadi, sumpah kekuatan; perhatikanlah, ingatlah; kita harus bersatu sekuat pohon beringan dengan karang terjal, sama seperti karang terjal ditumbuhi pohon beringin, seperti sebatang pohon (tolase) yang tumbuh bersama pohon beringan, hiooo………….! Dalam upacara angkat pela atau panas pela, ada tiga hal yang perlu dipenuhi yaitu: sebuah pesta umum, tanda pela dan yang terpenting adalah pengangkatan
sumpah pela. Tiga aspek dalam ikatan pela ini tidak ada pada ikatan pela mulamula atau pela tradisional orang Alifuru di pedalaman pulau Seram. Ia hanya ada dalam pela sekarang, yang lebih maju ikatannya. Pesta umum pela biasanya berisi kegiatan-kagiatan sukacita ketika dua atau lebih desa yang ada dalam ikatan pela itu mulai berjumpa untuk mengadakan acara panas pela, sampai berpisah. Kegiatan itu berupa penyambutan, pesta tari-tarian, malam sukacita, makan patita ibadah di gereja (bagi tuan rumah yang Kristen) sampai penglepasan saudara-saudara pela untuk berpisah pulang ke desa mereka masing-masing. Makan patita adalah kegiatan makan bersama tetapi biasanya dibuat di atas meja panjang yang terbuat dari bentangan daun nyiur ditebarkan di atas tanah, sebuah meja panjang dan dihadiri oleh seluruh warga masyarakat yang ada. Semua orang membawa makanannya sendiri-sendiri lalu di kumpulkan dan disajikan secara bersama-sama untuk disantap. Tanda pela biasanya berupa upacara seremonial di baileu desa. Di situ ada sambutan, kapata (pantun atau nyanyian bahasa tanah) dan rapat-rapat untuk membicarakan kelangsungan hubungan ikatan pela berupa evaluasi dan tindak lanjut ke depan demi kehidupan bersama sesuai kesepakatan awal pada saat pembentukan pela. Yang sangat sakral adalah sumpah pela, yang merupakan bagian terpenting, sangat hikmat dan istimewa. Kemudian sumpah pela, yang dibacakan oleh seorang tokoh adat, biasa disebut alemanan yang mengangkat sumpah dengan mengucapkannya dalam bahasa tanah yaitu bahasa tua asli Seram. Sesudah mengucapkan sumpah itu, peserta upacara di baileu meminum minuman berupa sopi atau sageru pengganti darah seorang laki-laki perkasa yang pada awal pembentukan pela harus dipakai sebagai korbannya. Pada abad ke-19, di banyak ikatan pela, mereka memakai cara menyembelih seekor ayam jantan. Darahnya dipakai menggantikan darah manusia yang mesti dikorbankan untuk diminum. Selain itu, ada juga yang menoreh tangan sehingga mengeluarkan darah sebagai tanda transformasi persaudaraan. Cara ini biasa dilakukan oleh wakil desa-desa yang bersekutu dalam ikatan pela, yang biasanya diwakilkan oleh para kapitan. Perbuatan simbolis mencelupkan alat-alat perang menandakan pemusatan hukuman yang pasti diterima oleh si yang tidak setia kepada sumpah pela. Minum campuran mesiu dengan sageru dan sopi menandakan keyakinan akan kekebalan tubuh dari peluru senjata api dan senjata tajam lainnya. Ada juga yang membubuhi garam di tubuh atau di campuran minuman sumpah dengan keyakinan bahwa yang meminumnya akan kebal terhadap racun yang mematikan. Di desa Sahulau, cairan sumpah hanya di minum oleh para kapitan dari desa-desa se-pela, dan sisa minuman sumpah dikibaskan atau dipancarkan kepada semua peserta upacara sumpah pela itu. Acara minum sumpah pela dimulai dari para raja, Saniri dan diikuti oleh semua peserta upacara di baileu. Minuman ini sudah disiapkan sebelumnya, sebelum sumpah pela diucapkan oleh alemanan. Sumpah pela ini diyakini sangat sakral karena sewaktu mengucapkannya, alemanan mengundang roh leluhur (roh leluhur disebut dengan roh nene-moyang (nenek moyang) yang sudah mati, atau
roh orang mati) sebagai saksinya, bersama pemimpin kedua belah pihak, dan warga masyarakatnya. Mengundang roh leluhur ini terlihat dari ucapan mengundang : Oooi ! …..tuniai-lasatale, pulane, leamatai, Tuwale. Rabike, lanite, tapele, selu jami ooo ! Kata tuniai-lasatale, pulane, leamatai, Twale Rabike. Artinya: Ciptaan tertinggi, bulan dan matahari, Rabike dan Twale, langit dan bumi diikuti kata-kata Kinu kwate kurule, yang artinya tiliklah kami yang minum sumpah…… Langit dan bumi, bulan dan matahari adalah represntasi kuasa kosmos, yang adalah leluhur, yang dalam kosmologi masyarakat adat, adalah roh leluhur atau dewa penguasa atas hidup dan mati. Ia diundang melihat, menyaksikan dan memberkati sumpah pela itu, sehingga siapa saja anggota pela yang melanggarnya akan kena hukuman, mati. Tentang posisi langit dan bumi, terkadang kedua posisi kosmis ini melambangkan atas-bawah, laki-laki-perempuan, dua kekuatan yang saling kontras, tapi juga saling menguatkan. Misalnya dalam mitos parpara yang membedakan laki-laki dan perempuan. Pertentangan ini tidak selamanya berakhir dengan kebinasaan dan kehancuran. Tapi sesungguhnya pertentangan itu adalah sebuah pencarian untuk mendapatkan harmoni yang harus dipenuhi dalam ritusritus adat, seperti dalam doa yang dikutip di atas itu (van Wouden 1985 : 137-140). Kata terakhir “hiooo…. !” adalah respons berupa jawaban peserta upacara yang mesti diteriakan oleh setiap orang yang hadir sebagai tanda setuju atas ikatan sumpah yang mengesahkan pela itu. Roh leluhur diundang hadir sebab dipercaya bahwa leluhur adalah pengawas dan pemberi sanksi atas nilai-nilai moral yang diperjuangkan untuk ditegakan oleh warga ikatan pela-nya (Redfield 1953 : 54-57). Karena itu warga dalam ikatan pela sangat takut akan sanksi bila melanggar sumpah ini. Biasanya sumpah pela itu diucapkan di atas sebuah batu keramat, batu pamali, di halaman baileu. Di situ langit dan bumi, lambang kekuatan alam atas dan kekuatan alam bawah, dipanggil hadir sebagai saksinya untuk menyaksikan dan memperkuatkan sumpah pela itu. Kekuatan sumpah pela, yang ada dalam rumusan doa dan disaksikan oleh anggota yang ada kelihatan maupun anggota yang tidak kelihatan, leluhur, adalah intinya. Kekuatan yang meyakini inti sumpah pela itu yang mengikat angota masyarakat dalam desa-desa se-pela. Apa yang ia punya, seadanya itulah yang dimanfaatkan bila ada upacara panas pela. Dalam tradisi sebelum tahun sembilan puluhan di desa-desa, bila acara ini dilaksanakan, maka biasanya hal yang istimewa dalam hal makan, adalah tuan rumah biasanya pergi berburu rusa atau babi atau juga mencari di laut dengan menebar jaring ikan. Protein ini yang dipandang istimewa untuk melengkapi kebutuhan lauk bagi makan tamu saudara-saudara se-pela yang datang. Daging rusa bagi warga yang beragama Islam dan babi bagi yang beragama Kristen. Ruang makan biasanya berupa ruang makan umum yang luas. Di dalamnya ada meja, kursi bersama dengan meja sajian yang panjang menyatu. Semua saudara dalam ikatan pela akan makan bersama di dalamnya. Menu daging babi, yang haram bagi warga
Muslim, biasanya disajikan di rumah penduduk Kristen kepada tamunya yang Kristen saja. Perilaku saling menghormati tamu yang lain agama ini selalu dijaga. Penulis masih ingat betul kejadian di bulan November 1983. Waktu itu ada kegiatan pengresmian Gereja baru Jemaat Kampungmahu di jasirah Hatawano di pulau Saparua. Penulis bersama seorang teman berlibur, mengikuti seorang teman mahasiswa asal desa Kampungmahu. Dua hari menjelang pengresmian Gereja Baru, saudara-saudara pela dari desa-desa Kristen Hulaliu dan Paperu dan desa Islam Tulehu, sudah berdatangan. Di rumah, tuan rumah kami menerima saudara pela-nya yang Islam dari desa Tulehu. Semua ternak babi dan anjing peliharan yang ada di rumah, diungsikan untuk sementara waktu ke kebun di hutan. Rumah kami menjadi bagian bagi saudara-saudara pela dari Tulehu. Setelah empat hari, mereka pulang baru ternak ungsian kembali lagi ke rumah. Barang istimewa lainnya yang bisa dijumpau juga adalah kue-kue berbahan dasar terigu. Selain itu, terlihat bahwa semua ornament upacara pela dan panas pela, sama saja, mendesa atau merakyat. Sayang bahwa intensitas pela dan panas pela ini tidak sesering dilakukan seperti keranjingan oleh dinas pariwisata. Biasanya indikasi pelaksanaan perbaikan hubungan keluarga desa-desa se-pela ini berjumpa dalam acara-acara pelantikan raja, pembangunan dan pengresmian tempat-tempat ibadah seperti Gereja atau Masjid. Sekalipun sederhana, terkesan apa adanya, tapi daya ikatnya tetap kuat. Sebab ia dilakukan dengan kesadaran dan ketaatan penuh, tanpa rasa ‘terpaksa’ karena perintah pembesar atau karena daya pikat uang. Nampaknya kepolosan dan kesederhanaan hidup ala desa sedang berjuang keras dalam menghadapi gempuran globalisasi dengan individualisme dan konsumerisme yang melanda. Dengan pandangan hidup saling menghormati dan saling menghargai sebagi saudara, masyarakat warga ikatan pela berjuang mempertahankan identitas hidupnya. Karena itu, pemaknaan konteks adalah penting untuk melihat hubungan pela dari sisi ekonomi, agama dan hukum. Konteks yang dimaksud adalah konteks perkembangan hidup manusia dengan segala kaitannya. Di sini terletak dasar gerakan untuk memahami hikmat pela sebagai pengikat masyarakat warga pela. Apakah relasi persaudaraan tidak hancur ketika mereka ‘dipaksa’ merayakan panas pela untuk konsumsi pariwisata, atau hajatan orang besar. Termasuk pertanyaan besar yang muncul juga ialah apakah pela masih tetap kuat mengikat ketika rasionalisasi hidup yang alami mesti lepas dari kosmologi hidup sebagai sebuah harmoni. Semua pertanyaan ini akan dibahas di akhir paper ini.
G. Legenda Pela Antara Silalou Dan Amlohi Di Nunusaku hiduplah dua orang laki-laki yakni moyang Silalou dan moyang Amalohi. Menurut versi cerita ini bahwa kedua orang ini berasal dari satu genealogis, teritorial, bahasa, satu adat-istiadat dan budaya. Kata Amalohi terdiri atas dua suku kata, memiliki pengertian, ama artinya, bapak , dan lohi, Artinya, saudara. Jadi Amalohi adalah saudara laki-laki dari bapak atau dapat disebut bapak punya adik atau kakak laki-laki. Sedangkan Silalou terdiri atas dua suku kata memiliki pengertian, sila artinya, perwakilan ketua marga atau klen, dan lou artinya, berkumpul bersama saudara. Jadi Silalou artinya, berkumpul bersama saudara pimpinan klen (Soa) sebagai perwakilan atas marga. Diceritakan bahwa di Nunusaku terjadilah kekacauan antar suku Wemale dan Alune mengakibatkan migrasi antar suku-suku tersebut. Penyebab perpecahan itu tidak disebutkan dengan jelas namun ada beberapa hal yang diduga adalah Pertama, peperangan antar suku. Apabila ada suku yang ditaklukan dengan wilayah-wilayah kekuasaannya, maka yang menang akan menjadi pemimpin (kepala) atas beberapa suku yang ada. Kedua, Pemukiman semakin sempit diikuti dengan pertambahan jumlah penduduk. Orang-orang Naulu dari kedua suku yang menempati Nunusaku di Pulau Seram ini terpencar dan mencari tempat yang di rasahkan aman untuk berlindung. Dari peristiwa tersebut temasuk moyang Silalou dan Amalohi juga melakukan migrasi mencari wilayah yang dirasahkan aman dari serangan suku Wemale yang sewaktu-waktu menyerang dan memancung kepala orang yang dijumpainya. Dalam perjalanan mencari tempat yang dirasahkan aman kedua moyang tersebut tibalah mereka di pesisir pantai Seram Barat daerah sekitar wilayah sungai Tala. Kedua orang itu, karena merasa haus, mereka pergi mencari air untuk minum, namun sebelum pergi moyang Silalou telah menikam tombaknya di atas tanah sebagai tanda (nanaku) agar kedua orang tersebut tidak kehilangan (jalan) jejak untuk kembali ketempat awalnya. Keduanya bersama-sama pergi mencari air tetapi tidak menemukan, akhirnya moyang Amalohi menikam tombak di tanah maka keluarlah mata air. Dari peristiwa tersebut mereka menamakan tempat itu Watanhatai:air kehidupan. (Air tersebut menjadi suatu sungai kecil dan sampai saat ini masih mengelir/hidup. Tidak ada kepala air/hulu sungai Watanhatai tetapi diduga air tersebut keluar dari tengahtengah negeri tempat dimana moyang menikam tombak itu). Setelah mendapatkan air keduanya kembali mengambil tombak ditempat dimana moyang Silalou menikamnya. Ternyata setelah tiba di tempat tersebut ditemukan bahwa tombak itu sudah bertumbuh dan mengelurkan tunas. Sekarang tunas itu sudah bertumbuh menjadi suatu pohon kayu yang besar dan hidup sampai saat ini. Pohon tersebut bagi masyarakat setempat di namakan pohon kayu Gupasa. (tidak dijelaskan berapa lama perjalanan kedua orang itu mencari air sehingga begitu kembali tombak itu sudah bertumbuh). Menurut cerita dari tua-tua adat setempat Sepa dan Kamarian, -- tempat bertumbuhnya tombak itu. Saat itu terjadi pertukaran senjata perang moyang Silalou dengan Moyang Amlohi. Silalou memberikan parang kepada moyang
Amalohi dan sebaliknya Amalohi memberikan parang dan tombak kepada moyang Silalou. Alasan pertukaran itu adalah, Pertama sebagai ikatan persaudaraan antar adik dan kakak (Silalou kakak dan Amalohi adik). Kedua, karena tombak moyang Silalou sudah bertumbuh di wilayah yang akan di kuasai oleh moyang Amalohi. Perpisahan kedua moyang Silalou dan Amalohi terjadi suatu tempat yang bernama Waikain. Kata Waikain dalam bahasa adat masyarakat setempat Wai artinya air (mata) dan Kain artinya adik. Jadi adik menangis karena telah berpisah dengan kakaknya (dalam peristiwa itu tidak dijelaskan pada abad keberapa perpisahan itu terjadi). Tujuan dari perpisahan itu adalah untuk memperluas wilayah kekuasaan. Moyang Amalohi memperluas wilayah kekuasaannya ke bagian barat sedangkan Silalou ke selatan. Sudah cukup lama moyang Amalohi dan Silalou berpisah dan tidak pernah berjumpa. Pada suatu ketika terjadil perang saudara diantara orang-orang Alune karena merebut wilayah kekuasaan. Pada saat terjadi peperangan moyang Amalohi dan Silalou juga terlibat di dalamnya. (tidak ada kejelasan tahun berapa peperangan itu terjadi). Namun akibat peperangan itu banyak sekali jatuh korban jiwa di kedua bela pihak. Untuk menggurangi korban jiwa akhirnya keputusan diambil bahwa yang berperang hanya kapitan dengan kapitan. Namun, dalam peperangan itu tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah, karena kedua moyang ini sama-sama memilki kekuatan dan ilmu yang sama, bahkan memiliki tombak dan parang yang sama. Akhirnya kedua moyang mengakhiri peperangan bersepakat untuk berunding dan mengangkat satu perjanjian atau sumpah yang di kenal dengan perjanjian Nalahatai. Adapun isi perjanjian Nalahatai yaitu: a. Tidak ada terjadi pertumpahan darah diantara (adik dan kakak) Silalou dan Amalohi. b. Larang untu melakukan kegiatan panas pela. c. Tidak saling mengawini antar Amalohi-Silalou. d. Tolong-menolong dalam suka dan duka. e. Saling menghargai dan menghormati dalam setiap perbedaan. f. Menciptakan kedamain untuk kesejahteraan bersama. g. Saling mengasihi dan menyayagi sebagai adik dan kakak. Kegiatan panas pela antara Silalou dan Amalohi tidak pernah dilakukan seperti negeri-negeri adat lain yang memiliki hubungan pela. Larangan tersebut telah diikat dengan sumpah adat, bahwa apabila dilakukan panas pela maka ada korban jiwa dari kedua belah pihak yakni satu anak laki-laki dari kapitan Amalohi dan satu anak laki dari Silalou. Hal ini secara turun-temurun diceritakan terus menerus-menerus dari generasi-kegenersi hingga saat ini. Untuk menandai sumpah dan janji itu dipotong jari tangan kiri . -- menurut filosofi dari masyarakat setempat bahwa tangan kiri karena jantung kita terletak di sebelah kiri; sebelah kiri menunjukan bahwa saudara itu selalu dekat dengan “jantong hati”. Ada sapaansapaan khusus kepada saudara seperti mari jua jantong hati e….e…). Darahnya diambil dari kedua orang tersebut dicampurkan dengan air rotan, ujung pedang/parang dan tombak dicelup kedalam wadah batu yang berisih darah kemudian di minum secara bersama-sama.
Lewat peristiwa inilah maka terjadilah hubungan pela antar Kamarian dengan Sepa. Hubungan kekerabatan dan persaudaraan yang semakin erat antar kedua bela pihak terjadi dengan sapaan-sapaan khusus seperti Kamarian memanggil Silalou sebagai kakak dan Silalou menyapa Amalohi adik. Hubungan persaudaraan adik dan kakak ini juga diikat dengan larangan-larang tertentu seperti telah di implementasikan dalam isi perjanjian Nalahatai di atas. Pela sebagai suatu dinamika sosial masyarakat yang telah diikat dengan prinsip-prinsip dasar menjadi pelanggeng peradaban, estestis moralitas, dari pranata sosial budaya saling menghargai dan menghormati sebagai bentuk dari suatu komitmen moral bersama. Dasar sedimentasi ikatan interaksi akan menjadi modal sosial atau saling percaya di antara kelompok-kelompok sosial khusus Sepa dan Kamarian. Hal itu dapat kita dengar dari filosofi orang Silalou dan Amalohi. Falsafah pohon sagu sangat populis, bahwa Sagu sebagai makanan pokok orang Ambon yang juga melahirkan pemikran-pemikiran filosofi. Seperti, Hidup orang basudara, Ale Rasa Beta Rasa, Potong Di Kuku Rasa Di Daging, Sagu Salepeng Di Pata Dua, Arinya: Kehidupan orang bersudara adik dan kakak atau kehidupan keluarga atau kekerabatan, harus saling memberi atau membagi, menghargai dan menghormati, mengasihi dan menyayangi dalam suka dan duka. Filosofi ini terkait erat dengan budaya pela gandong dan ini senantiasa dipegang oleh orang Ambon atau Maluku dimana kakinya berpijak. Rasa solidaritas sosial organik semakin tinggi karena memiliki ikatan-ikatan primodialisme yang ada sejak dahulu kala dari Nunusaku. Hal ini dapat dianalogikan dengan papeda (sagu) – kalau di Makassar sering disebut dengan kapurung --terlengket (batali) kuat antar adik dan kakak memiliki rasa solidaritas sebagai ikatan batin yang kental dari manusia putih seperti sari pati (isi sagu yang putih). “Beta manusia sagu yang putih” . Ungkapan ini bermakna kami manusia berhati suci, mulia, luhur, bersih, teguh, jujur, tulus, (tidak munafik), iklas, terbuka, dapat dipercaya, arif, dan tidak bercela dimata dirinya sendiri, sesama, maupun dunai. bagaikan pohon sagu yang bertumbu dan berkembang dimana-mana. (Marcus, F. Pessireron)
Legenda Pela Hative Besar Dan Haria Pada zaman dahulu kala telah terjadi peperangan yang sangat dahsyat antara dua negeri di jazirah Leitimur yaitu antara negeri Soya dan negeri Hative Kecil. Prerangan ini terjadi karena mongare Soya yang bernama Rehatta membawa lari jujaro Hative Kecil yang bernama Muriani. Akibat peristiwa ini, maka terjadilah peperangan antara kedua negeri ini. dimana sebagai alat senjata yang dipakai oleh negeri Hative Kecil adalah mata kail cakalang dengan talinya yang diikat pada sebuah bambu (yang biasa dipakai-oleh orang Ambon untuk menangkap kelelawar). Namun tempaknya senjata yang dipergunakan oleh pasukan Soya lebih berbahaya dari senjata yang dipergunakan oleh pasukan Hative Kecil. Sehingga pada pertempuran itu, pasukan negeri Hative Kecil banyak mengalami korban. Sungai Tantui saat itu banyak megalirkan darah. Akibat kekalahan pada pertempuran itu maka rakyat dua soa dari negeri Hative Kecil banyak yang melarikan diri ke Rumah Tiga dan terus ke negeri Hative Besar dan menetap disana. Karena peperangan ini terus berlangsung menyebabkan negeri Hative Kecil merasa kecewa dan putus asah, maka mereka mendatangi ke negeri Haria untuk minta bantuan dari kapitan Haria. Kapitan Haria dan pasukannya telah siap untuk berangkat menyeberangi lautan untuk ke teluk Baguala (Passo), untuk membantu negeri Hative Kecil.Tapi dalam perjalanan itu maka mereka telah mencari tahu tentang kondisi kekuatan lawan dari Mawe-Mawe. Mawe mawe mengatakan bahwa apabila mereka menyeberang dan singgah di Passo maka mereka akan diserbu oleh kapitan Soya dan pasukannya. Atas informasi itu makaKapitan Haria mengalihkan perjalanan pasukannnya melalui negeri Waai dan Liang untuk terus melalui Tanjung Alang dan kemudian ke negeri Hative Kecil. Namun, dalam perjalanannya menuju Hative Kecil, perbakalan pasukan Haria habis, dan sehingga merekamampirdi negeri Lilibooy untuk meminta bantuan. Mereka pun disambut baik olehpenduduk negeri Lilibooy yang dengan suka rela membatunya. Sebelum pulang,Kapita Negeri Haria telah mengangkat pela dengan negeri Lilibooy, yang mana hubungan pela ini masih berlangsung sampai sekarang.. Sesudah itu,Pasukan Harai berangkat untuk menuju Hative Kecil melalui pesisir pantai. Mereka pun singga di Hative Besar untuk minta bantuan karena perbekalan mereka habis.. Masyarakat negeri Hative Besar dengan rela dan bersedia untuk membantuan perbekalan. Sebelum melanjutkan perjalanan, Kapita Harian mengangkat pela sebagai orang bersaudara dengan negeri Hative Besardiatas sebuah batu kubur (nisan) yang telah tersedian se-sempe minuman (arak). Daerah ini kemudian diberi nama Tanjung Batukubur. Prosesi angkat pela antara negeri Hative Besar dan Negeri Haria berlangsung di atas batu kubur (nisan). Di atas batu tersebut telah tersedia sabuah
sempe yang berisi arak dan berbagai jenis senjata tajam. Kapitan Haria dan Kapitan Upu Latu beserta beberapa orang yang tetua suku menyentuh sempe itu. Kemudian mereka menusuk ujung jari mereke dengan duri hingga mengeluarkan darah, lalu mencelupkan ujung jari dan meneteskan darahnya ke dalam sempe yang berisi tuak dan senjata tajam itu, sebagai simbol perjanjian persaudaraan. Rakyat negeri Hative Besar dengan Upu Latu dan semua pasukan dari negeri Haria dengan pimpinannya kemudian berjanji bahwa: 1. Pela ini tidak boleh dirombak oleh turun temurun yaitu; selama dunia ini masih ada. 2. Tidak diperbolehkan terjadi perkawinan antara kedua negeri ini. 3. Siapa yang melanggar titah ini akan masuk ke kubur. Sesudah proses angkat Pela selesai, Pasukan Haria bersiap untuk melanjutkan perjalanan menuju Hative Kecil. Namun sebelum tiba, ternyata pertempuran antara Soya dan Hative Kecil telah berakhir. Sebagai tanda perdamaian, negeri Soya menyerahkan Bia Asuseng kepada negeri Hative Kecil sebagai tempat pencarian nafkah. Saat ini di daerah itu terdapat pelabuhan Hinipupu. SementaraNegeri Hative Kecil menyerahkan hutan damarnya kepada Negeri Soya sebagai tempat pencarian nafkah. Demikianlah sejarah terbentuknya pela antara Haria dan Hative Besar, yang kemudian disebut Pela Batukarang. Penyebutan tersebut karenapela itu yang dilaksanakan diatas butukarang. Batu karang itu terletak di Tanjung Batukubur Negeri Hative Besar.
Sejarah Pela Antara Hatuhaha Amarima Dan Tihulale Hubungan pela antara Negeri Tihulale dan Hatuhaha Amarima atau Uli Hatuhaha dilatarbelakangi oleh pecahnya Perang Alaka II, yaitu peperangan antara Kerajaan Hatuhaha dengan penjajah Belanda. Peperangan ini diperkirakan terjadi pada sekitaran tahun 1673. Saat itu Belanda berhasil mencapai jantung pusat pertahanan Hatuhaha di Alaka. Adapun kronologis perang ini terjadi dalam 4 tahapan, yaitu sebagai berikut : Pertama, pihak Belanda dipimpin oleh Caan dan Deutekon mendarat di Kabau dengan menggunakan delapan kora-kora. Pertempuran ini terjadi hanya di sekitar Pantai Kabau, dan berhasil menduduki daerah Kabau. Kedua, Belanda melakukan penyerangan ke Kailolo dengan mengerahkan sekitar 1016 prajurit yang terbagi atas tiga kelompok yang dipimpin oleh Major Piere du Cams. Mereka menyusuri gunung-gunung terjal dan batu-batu karang yang tajam. Belanda akhirnya menduduki markas-markas pertahanan yang dibangun di Kailolo. Dalam pertempuran ini banyak rakyat Kailolo yang mendjadi korban. Rumahrumah mereka dibakar, dan benteng-benteng yang terbuat dari batu, habis dihancurkan. Ketiga, Belanda melakukan penyerangan ke pusat Kerajaan Hatuhaha. Dalam penyerangan ini, Kerajaan Hatuhaha membangun pertahanan di lereng-lereng bukit. Mereka menggulingkan batu dan melempar Tentara Belanda dengan abu, sehingga jatuh korban di pihak Belanda. Keempat, Belanda menyerang dengan mendatangkan pasukan panah Alifuru sebanyak 385 orang yang dipimpin oleh Kapitan Sahulau, Sumeit dan Sisilulu. Serangan pasukan panah ini menyebabkan Kerajaan Hatuhaha terdesak, Latu Uli Siwa kapitan Aipassa sebagai tanda persaudaraan memerintahkan malesi-malesi yang diambil dari 7 (tujuh) soa yang ada di Tuhaha dan dipimpin oleh Kapitan Sasabone, Pattipeiluhu dan Polatu, menuju ke Alaka. Dalam pertempuran ini, sekitar 30 orang dari Pasukan Kapitan Pattipeiluhu terbunuh dan Kapitan Pattipeiluhu kemudian ditangkap oleh Belanda dan diikat lalu dikurung dalam kurungan besi. Kapitan Sasabone dan Kapitan Pollatu kemudian mengirimkan beberapa orang dari pasukan mereka untuk memberitahu Latu Ulisiwa Kapitan Aipassa mengenai hal ini. Mendengar kabar kekalahan Kapitan Pattipeiluhu di Alaka, kapitan Aipassa langsung memutuskan untuk turun menuju Alaka dan berperang bersama Kapitan Hatuhaha dan pasukannya. Dari jauh Kapitan Tihulale kemudian melihat asap api peperangan diatas langit Hatuhaha. Ia melihat bahwa peperangan ini tentunya tak sebanding antara Belanda dengan Hatuhaha jika Belanda dengan senjata modern dan pasukan panah sebanyak itu.Ia kemudian mengerahkan para malesi serta pasukannya dan
mengirimkan perintah kepada Kapitan Rambatu melalui seekor burung merpati putih untuk ikut berperang membantu Kerajaan Hatuhaha di Alaka. Kapitan Tihulale, dan Kapitan Rambatu bersama pasukannya lalu menuju Alaka. Kapitan Tihulale membawa 3 buah meriam dari Negeri Tihulale yaitu Dangerales, Hiriosa dan Talangkares. Peluru meriam dibuat dari buah kelapa yang diisi dengan campuran abu dan bubuk cili. Sesampainya di Alaka, Kapitan Tihulale kemudian bertemu Kapitan Ririasa (diketahui berasal dari Negeri Oma) yang juga menuju Alaka berniat membantu pasukan kerajaan Hatuhaha, ketiganya bersama para pasukannya kemudian menyusun strategi dan menyerang pasukan Belanda membantu Kapitan Aipassa serta pasukan kerajaan Hatuhaha yang masih bertahan. Dalam peperangan ini Belanda dapat dipukul mundur dan dikalahkan namun beberapa Kapitan Tuhaha bersama dengan Kapitan Ririasa dan Kapitan Rambatu serta malesi-malesinya tewas terbunuh. Tersisa Kapitan Tihulale dan Kapitan Aipassa bersama pasukannya dan pasukan Hatuhaha. Sebelum kembali ke Negeri masing-masing, sebagai tanda perjuangan Para Kapitan ini, kemudian diikrarkan bersama Pela Minum Darah antara Hatuhaha-Tihulale, Hatuhaha-Oma, Hatuhaha-Rambatu, Hatuhaha-Tuhaha. Meskipun sekarang hubungan pela ini hanya dijalankan oleh Tuhaha-Rohomoni (Beinusa Amalatu- Mandalise Haitapesi) dan Tihulale - Kailolo (Amalesi Risapori Sariata - Sahapori).
Sejarah Pela Antara Tihulale Dan Huku. Hubungan Pela Darah antara Negeri Tihulale dengan Negeri Huku Kecil dan Huku Anakotta diawali dengan peperangan besar antara kedua Negeri yang menimbulkan pertumpahan darah sehingga mengakibatkan jumlah penduduk kedua negeri menjadi sedikit karena terbunuh dalam perang yang berlangsung cukup lama. Adapun yang menjadi penyebab utama daripada peperangan ini adalah terbunuhnya Sopai Tosil di Negeri Tihulale. Sopai Tosil merupakan seorang keturunan bangsawan Negeri Huku. Sopai Tosil dibunuh atas perintah Raja Tentapan Salawane karena menjalin cinta dengan Oeramasa Salawane yang merupakan putri bungsu Raja Tentapan Salawane. Suatu hari Sopai Tosil turun dengan maksud berkunjung dari Negeri Huku ke Negeri Tihulale kemudian tanpa sengaja ia bertemu dengan Oeramasa Salawane. Sopai Tosil kemudian jatuh cinta kepada Oeramasa Salawane dan keduanya secara diamdiam saling bertemu dan kemudian menjalin hubungan. Sampai suatu hari terdengarlah di telinga sang raja berita bahwa putri bungsunya berhubungan dengan Sopai Tosil. Raja tidak menyetujui hubungan antara putri bungsunya Oeramasa Salawane dengan Sopai Tosil yang kemudian memerintahkan untuk membunuh Sopai Tosil. Kematian Sopai Tosil ini membuat Oeramasa sangat kecewa dan marah sehingga ia melarikan diri ke Negeri Paulohi di bagian Masohi dan tidak pernah kembali lagi ke Tihulale hingga sekarang. Tidak kembalinya Sopai Tosil ke Negeri Huku membuat keluarganya resah sehingga menugaskan para hulubalang dan para pengawal kerajaan untuk turun ke Negeri Tihulale untuk mencari, menjemput dan membawa pulang Sopai Tosil, sesampainya di Negeri Tihulale mereka sangat terkejut mendengar kabar bahwa Sopai Tosil telah dibunuh. Kemudian mereka kembali untuk melaporkan hal tersebut kepada sang Raja Negeri Huku. Alangkah marahnya Sang Raja dan keluarganya mendengar bahwa putra mereka telah dibunuh, Raja lalu memerintahkan bala tentara perangnya dan para penduduknya untuk membunuh setiap warga negeri Tihulale yang mereka jumpai dimana saja. Peperangan pun dimulai, karena setiap warga negeri Tihulale yang dijumpai oleh penduduk negeri huku dibunuh maka Raja Tentapan memerintahkan juga untuk membunuh setiap warga negeri Huku yang mereka jumpai dimana saja. Peperangan ini berlangsung cukup lama sehingga makin hari jumlah penduduk kedua negeri semakin berkurang. Peperangan ini terus berlangsung sampai pada pemerintahan Raja Timothius Salawane. Karena peperangan dilihat begitu merugikan kedua negeri maka Raja Timothius Salawane mengambil kebijakan dan memutuskan menghentikan perang untuk mencegah jatuh lebih banyak korban diantara kedua belah pihak dan berjanji akan naik ke Negeri Huku untuk mengadakan perjanjian damai diantara Kedua Negeri.
Perjanjian ini kemudian disepakati oleh Raja Negeri Huku. Raja Timothius Salawane kemudian memerintahkan 120 orang pasukannya untuk pergi dengannya ke Negeri Huku. Sesampainya di Negeri Huku, Raja Timothius Salawane mengadakan kesepakatan damai yang berbuah naskah perjanjian sumpah pela darah antara kedua Negeri Huku dan Negeri Tihulale. Isi naskah perjanjian pela darah itu adalah sebagai berikut : Upu Loterumi ooo, Ume ooo, Huran ooo, Limatai ooo, Aman ain rua, Huku-Tihurale i, Mi tarima sopa, sopa ooo, Ale sei a he aman rua, Mahina ke e malona, Tamata hira i ke ahuntai mau i Sei sahu sopa le, Ei Supu Hukuman, Hukuman Oooo 1. Huku ta boleh tupa Ruma Tihurale i Tihurale i ta boleh tupa Ruma Huku Huku ta boleh pakai souraha i hei Tihurale i Tihurale i ta boleh pakai souraha i hei Huku Ale sei sahu sopa le, ei supu hukuman Seri tahuxu hua i teru Pina hatu hua i teru Pina puti utun teru 2. Huku ta boleh lepe minat wa Tihurale i Tihurale i ta boleh lepe minat wa Huku lopu, seit wa Tihurale i lopu, seit wa Huku Huku ta boleh lepe hau wa Tihurale i Tihurale i ta boleh lepe hau wa Huku 3. Huku ta boleh tihi Tihurale i ein hua wala i Tihurale i ta boleh tihi Huku ein hua wala i 4. Huku ta boleh titi Tihurale i tura wael e Tihurale i ta boleh titi Huku tura wael e Ale sei a sahu sopa rua nala haa Ein hukuman tamelen tura itate ele hola uran
Hira manahu nala aman ele manu Hiooooo . . . . . . Hioooo . . . . . Hiooooo Mese . . . . . Mese . . . . . Mese . . . . . Jika diterjemahkan dalam bahasa indonesia isinya sebagai berikut ! Tuhan Yang Maha Esa Tanah Bulan Matahari Dua negeri, Huku-Tihulale Terimalah sumpah ini Barangsiapa dari kedua Negeri Laki atau Perempuan Laki-laki Dewasa maupun anak-anak kecil Siapapun yang melanggar sumpah ini Ia akan mendapat hukuman 1. Huku tidak boleh kawin dengan Tihulale Tihulale tidak boleh kawin dengan Huku Huku tak boleh tunangan dengan Tihulale Tihulale tak boleh tunangan dengan Huku Siapa yang melanggar Sumpah, ia akan dihukum denda Gong tiga buah Piring mai 3 buah Piring putih 300 buah 2. Tidak boleh langsung dengan tangan Huku memberi ke tangan Tihulale Tidak boleh langsung dengan tangan Tihulale memberi ke tangan Huku senjata, ke tangan Tihulale senjata, ke tangan Huku Huku tidak boleh memberi api kepada Tihulale Tihulale tidak boleh memberi api kepada Huku 3. Huku tak boleh menggunting rambut Tihulale Tihulale tak boleh menggunting rambut Huku 4. Huku tak boleh menyiram Tihulale dengan air Tihulale tidak boleh menyiram Huku dengan Air Barang siapa yang melanggar sumpah maka guntur akan menyambarnya
hujan besar turun negeri tenggelam Hiooooo . . . . . . Hioooo . . . . . Hiooooo Teguh . . . . . Teguh . . . . . Teguh . . . . . Jika dilanggar konsekuensinya sangat berat sehingga Pela ini merupakan pela yang sangat keras dan selalu dijaga agar tidak terjadi pelanggaran.
Sejarah Pela Allang Dan Latuhalat Menurut sejarah hubungan adat pela antara negeri Allang dan negeri Latuhalat sudah berusia hampir 400 tahun yaitu terjadi dipenghujung abad ke XVI (tahun 1615). Masyarakat negeri Allang dan masyarakat negeri Latuhalat telah mengikrarkan suatu sumpah setia suatu janji dalam musyawarah besar di negeri Allang untuk mengikat hubungan pela keras yang merupakan tonggak sejarah antar kedua negeri sebagai wujud dari peristiwa tragis menimpa anak laki-laki seorang pemuda negeri Allang bernama Petrus Huwaë karena “ Gagal dalam perkawinan membawa kematian.” Cinta segi tiga yang diperankan oleh seorang wanita dari negeri Latuhalat bernama Costantia Lekatompessy sebagai drama tragis karena sebeluk nama Petrus sebagai calon suami hadir dalam diri Costantia sudah terlebih dahulu seorang pemuda alin dalam negeri Latuhalat telah menjadi kekasihnya yaitu pemuda dari marga Soplantila yang tidak diketahuinamanya.Awal pertemuan antara Petrus dan Costantia pemuda negeri Allang dan wanita negeri Latuhalat sebagai berikut: Disuatu malam yang sunyi sebagaimana biasanya Petrus Huwaë yang pekerjaannya selain sebagai seorang petani di juga sering melakukan pekerjaan nelayan yang pada saat itu mengarungi lautan mencari/memancing ikan dan tatkala perahunya sopa-sopa yang hanyut dibawa arus tiba di dekat sebuah tanjung kedengaran bunyi tifa dan totbuang yang dibawa angin sepoi dari pesisir pantai. Justru bunyi tifa dan suara nyanyi dendang yang bertalu-talu mengguguh hati sang pemuda. Dia berusaha untuk meninggalkan pekerjaannya mendarat dan ingin untuk melihat dari dekat. Tatkala perahu/sopa-sopanya tiba di tepi pantai tepat pada sebuah tanjung bernama tanjung batu konde dan perahu/sopa-sopanya ditarik kedaratan dan berusaha mencari jalan menuju ketempat dari mana datangnya suara dendang tersebut. Satu-satunya jalan menuju ketempat keramaian hanyalah melalui jalan belakang “ kota belo”. Ketika tiba diatas puncak kota bello disitulah dia menyaksikan suatu keramaian muda mudi masyarakat negeri Latuhalat dan telah menarik perhatiannya guna menyaksikan dari dekat. Pendek cerita dia melangkah dan tiba di tempat keramaian begitu meraih dan menarik hati kemudian datang seorang wanita muda yang belum
di kenal nama dan di ajak untuk turut bergembira lalu terjadilah suatu perkenalan dan lebih dari itu Petrus mengjak dan melamarnya sebagai kekasih/tunangannya sambil memperkaenalkan nama dan tempat tinggalnya. Disisnilah perkenalan pertama, dan Petrus tidak bertepuk sebelah tangan karena lamarannya langsung diterima dan sang gadis siap untuk dipersunting menjadi istri dari sang pemuda. Mendengar jawaban yang tidak terduga sebelumnya Petrus dengan sukacita berpamit dengan kekasihnya Costantia untuk kembali pulang ke negeri Allang dengan janji segera Costantia akan dilamar oleh orang tuanya. Petrus kini kembali ketempat dimana perahu/sopa-sopa berada dan segera kembali mendayungkan perahunya dengan sukacita ke negeri Allang. Berita disampaikan kepada orang tuanya dan persetujuan diberikan lalu terjadi pertemuan anatara keluarga besar Huwaë dan Lekatompessy di negeri Latuhalat. Lamaran orang tua Petrus diterima oleh orang tua Costantia dan memutuskan waktu dan tempat untuk melangsukan perkawinan yaitu Costantia harus di jemput oleh keluarga Huwaë untuk pernikahan di negeriAllang. Di hari-hari keluarga Lekatompessy mempersiapkan segala keperluan perkawinan anaknya Costantia , tiba-tiba orang tua Costantia di kejutkan dengan menghilangnya Costantia dari rumah orang tuanya kearena telah dibawa lari oleh kekasihnya dari anak keluarga Soplantila. Persitiwa menghilangnya Costantia dari rumah orang tuanya merupakan suatu tragedi karena janji harus ditepati dan nikah harus dilaksanakan. Keluarga Lekatompessy/ orang tua Costantia berusaha mengambil anaknya sedangkan calon suaminya dari pemuda Soplantila tidak bersedia memberikannya. Terjadilah gempar dalam keluarga Soplantila dan Lekatompessy lalu timbul suatu ide baru dimana tiga keluarga yang saling berhubungan dalam peristiwa ini yakni keluarga Lekatompessy, keluarga Soplantila dan keluarga Latumeten mengambil keputusan untuk membuat patung Costantia dari “meor sagu” yang diperankan oleh keluarga Soplantila pengganti Costantia untuk di dudukkan diatas pelamin pengantin bila tiba waktu untuk menjemput Costantia guna di nikahkan di negeri Allang. Ketiga keluarga bekerja keras dimana Latumeten terkenal sebagai tukang serba guna dengan kepandaiannya untuk mengukir prestasi. Pohon sagu ditebang dan di ambil meornya kemudian dipahat dan dibuat patung Costantia. Soplantila terkenal sebagai seorang penyihir yang ulung dan memasukkan arwah dengan kekuatan magis kedalam diri patung Costantia sehingga patung dapat berkelit tetapi tidak dapat berbicara atau tertawa. Arumbai/belang keluarga Lekatompessy juga telah rampung bersama tatangko tempat pengantin telah dipersiapkan oleh tiga keluarga. Kini saatnya Costantia/pengantin perempuan akan dijemput dan itbalah keluarga Huwaë bersama calon pengantin laki-laki. Patung Costantia sudah di dudukkan dalam tatangko yang di apit oleh anak perempuan keluarga Soplantila yang telah siap dengan segal peralatannya. Tifa dan totobuang bertlau-talu baik keluarga Lekatompessy baik keluarga Huwaë hingga pada acara penyerahan calon pengantin perempuan yang adalah patung Costantia . Petrus duduk bersanding dengan calon pengantin perempuan kekasihnya dengan hati gembira dan mulailah penyihir Soplantila memainkan peranan hingga patung itu dapat berkelit bila di pegang oleh tangan kekasihnya. Keberangkatan rombongan menuju negeri Allang
disertai dengan bunyi-bunyian dan dendang berbalasan mewarnai rombongan tersebut pada hal kejadian ini adalah suatu sandiwara belaka yang dipernakan oleh keluarga Lekatompessy dan kawan-kawannya. Costantia sesungguhnya ciptaan Allah sang kekasih yang dicintainya tidak menyanka bahwa cinta segi tiga yang diperankan olehnya bersama keluarganya akan membawa malapetaka bagi sang kekasihnya Petrus yang telah menerima janji setianya menjadi istri untuk selamanya. Rombongan pengantin kini sebentar lagi akan singgah dipelabuhan dan telah ditunggu dengan suatu upacara penerimaan oleh keluarga besar masyarakat Allang. Soplantila dan kedua keluarga lainnya Latumeten terutama keluarga Lekatompessy dengan hati yang berdebar-debar menantikan saat tertentu bila diketahui oleh keluarga HuwaË apa yang akan terjadi ata semuanya kelak. Dan disaat Petrus karena cintanya yang begitu membara menantikan pembicaraan sang kekasihnya yang dicintainya itu pada hal suatu tipuan karena yang mencium kekasihnya hanyalah patung. Disitulah Soplantila dengan serentak memainkan keahliannya maka patung Costantia itupun serentak melompat dari samping sang pengantin lakilaki kedalam laut dan hilang kedalam dasar laut. Melihat peristiwa yang tidak di inginkan oleh siapapun terutama bagi Petrus sebagai calon suami dengan tidak menunggu waktu Petrus pun langsung meceburkan dirinya bersama seluruh pakaian pengantin menyusul calon istri yang hanya patung buatan manusia. Itulah saat-saat yang menegangkan bulu roma, suatu peristiwa tragis mewarnai drama keluarga Lekatompessy dan hilanglah Petrus manusia ciptaan Allah Yang Maha Kuasa sedangkan calon istri hanya patung buatan tangan manusia. Di saatsaat yang menegangkan itu timbullah dua ekor buaya laki-laki dan perempuan sebagai tanda dan dijadikan lambang hubungan adat pela antara negeri Allang dan Lautuhalat, yang kini diletakan pada kedua ujung rumah adat / baileuw dalam negeri Allang. Keluarga Lekatompessy, keluarga Latumeten dan keluarga Soplantila kini merasa puas dan lega karena semua yang direncanakan telah terlaksana pada hal mereka tidak mengetahui bahwa drama yang diperankan oleh mereka kepada keluarga Huwaë terutama bagi Petrus sebagai calon suami anak manusia ciptaan Allah, bahwa di saat-saat genting itu pula telah terjadi kekuasaan Allah terhadap hidup manusia khususnya untuk Costantia yang dengan sadar menghianati calon suaminya, jatuh dan mati seketika dihadapan suaminya keluarga Soplantila tanpa tinggalkan kata dan keturunan. Dengan terjadinya peristiwa tersebut maka keluarga Lekatompessy menyadari akan dosa dan perbuatannya telah merampas kemahakuasaan Allah pencipta, lalu dengan sadar ketiga keluarga mengaku kesalahan mereka dan melalui suatu musyawarah besar kedua negeri Allang dan Latuhalat mengikat perjanjian dalam hubungan adat pela keras yang tidak boleh saling kawin satu dengan yang lain antar warga kedua negeri dengan dua ekor buaya sebagai lambang ikatan hubungan pela.
Sejarah Pela Porto Dan Itawaka Pada jaman dahulu negeri Sirisori berdiam di gunung Amapele. Sedangkan batas negeri Porto berada pada daerah Hatawano sampai pada Tiouw dan Air Paperu yang terletak di ujung negeri Paperu. Oleh karena begitu luasnya negeri Porto yang pada pesisir gunung bertuliskan Pantai Hatawano maka rakyat yang terdiri dari yang terdiri dari 6 negeri dan di gabungkan menjadi satu yaitu negeri Porto selalu di ganggu oleh orang-orang Lano (kaum perompak) maka demi keamanan ketuanan negeri Porto oleh Nanlohy dari Opal memrintahkan kedua kapitan yaitu Latuihamallo dan Wattimury untuk mengusir negeri Sirisori yang terletak di gunung Amapele. Mengingat masyarakat negeri Sirisori selalu bersengkongkol dengan para perompak (Lano) maka kedua kapitan tersebut bersama masyarakat Porto memerangi masyarakat Sirisori, namun masyarakat Porto menunda peperangan tersebut dan atas perlindungan yang disetujui oleh Raja Nanlohy dari Opal untuk meminta bantuan dari masyarakat Itawaka. Selanjutnya kapitan Latuihamallo di perintahkan pergi ke Itawaka menemui kapitan Papilaya namun kapitan Papilaya tidak berada di tempat, kemudian kapitan Latuihamallo hanya berbicara dengan adik kapitan Papilaya. setalah itu kapitan Latuihamallo dengan pengawalnya kembali ke negeri Porto, sementara masyarakat negeri Porto berunding di pantai Wasa tiba-tiba kapitan Papilaya telah memimpin masyarakat Itawaka untuk membantu masyarakat Porto guna memerangi negeri Sirisori yang terletak di gunung Samapela. Selanjutnya mengingat keberhasilan dalam peperangan tersebut maka negeri Porto memberikan jasa kepada negeri Itawaka yaitu sebuah ketuanan yang berada di wilayah pantai Wasa sampai dengan perbatasan Hatawano (Tuhaha). dan hingga pada tahun 80-an masyarakat Itawaka masih berkebun di wilayah tersebtu. Kemudian setelah beberapa tahunnegeri SIRISORI datang memohon kepada raja Porto . Negeri Siriscori merasa susah dan sengsara oleh karena pertuanan mereka sangat kecil , maka mereka mendatangi raja Porto guna memohon satu tempat kemudian raja Porto menyetujuinya untuk mereka berkebun di satu tempat yang di sebut dusun Pia sehingga terjadi pela antara Porto dengan Itawaka itu disebut Pela Perang atau Pela Darah.
Lagu-Lagu Daerah Ambon HIO-HIO Hio…. Hio…. manutura metenge… Manutura meteng, keno pela keno e Hio…. Hio…. manutura metenge… Manutura meteng, keno pela keno e Ole… manue… manu hata susa e… Ole manu hio wehe tupa hio e… Somba-somba hio… hio e…. Somba-somba, somba-somba hio… PELA Pela ee… Katong bakumpul rame-rame Lama-lama bar baku dapa sio… Sungguh manis lawang e..e.. Pela e..e.. Katong bakumpul rame-rame Lama-lama bar baku dapa sio… Sungguh manis lawang e..e.. Ayo pela e..e….e Hidup orang basudara Antar gandong, antar suku deng agama ee… Pela e..e.. manis lawang ee… Ina ama punya mau sio Katong hidup bae.. bae.. Biar jauh sini sana Pela e e.. Katong laen sayang laeng. Ayo pela e..e….e Hidup orang basudara Antar gandong, antar suku deng agama ee… Pela e..e.. manis lawang ee… Ina ama punya mau sio Katong hidup bae.. bae.. Biar jauh sini sana Pela e e..
Katong laen sayang laeng.
Daftar Pustaka Anwar, Ilham. 2010. Pengembangan Bahan Ajar. Bahan Kuliah Online. Direktori UPI. Bandung. Bloom, Benjamin S and Karthwohl. 1967. Taxanomi of Educational Objectives: Cognitive Domain. Hayat, Bahrul. 2012. Mengelola Kemajemukan Umat Beragama. Jakarta: PT,. Saadah Cipta Mandiri, Cetakan Pertama. Mulyana, Deddy dan Jalaluddin Rakhmat. 2006. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Berkomunikasi dengan Orang Berbeda Budaya. Bandung: Remaja Rosdikarya. Nasir, Muhammad. “Islam dan Solidaritas Sosial dalam Sayyidul Ayyam, tgl 17 Nopember 2006”. http://sayyidulayyaam.blogspot.com/2006/11/islamdansolidaritas-sosial.html. Nasution. 1999. Teknologi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Priyatna, Haris. 2013. Kamus Sosiologi: Deskriptif dan Mudah Dipahami. Bandung: Nuansa Cendikia.
Rudito, Bambang dan Melia Famiola. 2013. Social Mapping: Metode Pemetaan Sosial. Bandung: Rekayasa Sain. Rusman. 2014. Model-Model Pembelajaran. Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Edisi 2. Suparman, Atwi. 1997. Desain Instruktional. Jakarta: Rineka Cipta. Suryaningsih, Nunik Setiyo. 2010. Pengembangan media cetak modul sebagai media pembelajaran mandiri pada mata pelajaran teknologi Informasi dan Komunikasi kelas VII semester 1 di SMPN 4 Jombang. Surabaya: Skripsi yang tidak dipublikasikan. Utomo, Tjipto. 1991. Peningkatan dan Pengembangan Pendidikan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Vembriarto, St. 1975. Pengantar Pengajaran Modul. Yogyakarta: WL, Reese. 1980. Dictionary of Philosophy and Religion: Estern and Wester Thougt. Wijaya, Cece,.dkk. 1988. Upaya Pembaharuan Dalam Pendidikan dan Pengajaran. Bandung: Remadja Karya. Winkel. 2009. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta : Media Abadi. Takndare, Agustinus. 2011. Apa Arti Damai Bagi Anda ? di dalam m.kompasiana.com