ARENA PERTENTANGAN DAN PERJUANGAN KUASA (Serba sedikit tentang tentang Pemikiran Pierre Bourdieu)[1] Bourdieu )[1] I.
Pengantar
Pierre Bourdieu, seorang sosiolog Prancis, mempunyai latar belakang pendidikan filsafat yang cukup kuat. Gagasan dasarnya dikembangkan, diulangi, dan dirumuskan kembali dalam setiap bukubukunya. Gagasan itu terelaboasi dalam beberapa konsep utama, yaitu habitus, ranah perjuangan, kekuasaan simbolik dan modal budaya. Gagasan-gagasan Gagasan- gagasan pemikiran sosial yang “diwarnai pemberontakan” ini patut diperhitungkan karena upayanya menjembatani antara teori dan tindakan. Pada awalnya Bourdieu percaya bahwa ilmu itu bebas nilai, tetapi akhirnya ia mendobrak kebuntuan bebas nilai itu untuk terlibat dalam ranah politik. Menurutnya sosiologi harus mampu menganalisis mekanisme dominasi agar bisa menjadi instrument pembebasan bagi mereka yang didominasi. Secara khusus, saya sangat tertarik dengan pemkiran Bourdieu, karena boleh dikatakan masih cukup “segar” dalam khasana ilmu sosial (sosiologi) khususnya di Indonesia. Pemikiran tokoh ini akan digunakan sebagai “kaca mata” yang mengarahkan saya, dalam rencana penulisan tesis dengan judul : “Diskursus “Diskursus Identitas Mel-Mel dan dan Ren-Ren (Studi (Studi Sosiologis Tentang Pergulatan Identitas Mel dan Ren di Desa Ohoiwait Kecamatan Kei Besar Tengah Kabupaten Maluku Tenggara). Karena itu, elaborasi lebih lanjut dari pemikiran tokoh ini, akan sedikit bersinggungan dengan tema penelitian yang akan saya lakukan. Sebelum membahas lebih jauh tentang Bourdieu, ada baiknya dibicarakan soal latar belakang (pendidikan, kelurga dan lingkungan) yang mempegaruhi pemikirannya. Hal ini dianggap penting, sebab menurut Bourdieu cara berpikir dan bertindak seseorang sangat dipengaruhi oleh habitus-nya. Baginya, (Habitus x Modal ) + Ranah = Praktek[2]. Prakte k[2]. Sebenarnya Sebenarnya secara sederhana teorinya menyangkut “oposisi absurd antara individu dengan masyarakat” atau “mengatasi oposisi antara objektivisme dan subjektivisme” subjektivisme ”[3] II.
Memahami Latar Belakang Pierre Bourdieu
Pandangan, sikap dan tingkah laku seseorang sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi pada saat dia kecil sampai menginjak dewasa. Kondisi ini pulalah yang mungkin memengaruhi Pierre Bourdieu, yang lahir pada tahun 1930 di Denguin, Pyrenia Atlantik (Prancis). Ia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya adalah pegawai kantor pos. Bourdieu muda berhasil meniti tangga pendidikan dengan mulai belajar di lycee di Pau, kemudian lycee Louis-le Grand (Paris), ke Fakultas Sastra di Paris, Ecole Normale Superieure pada tahun 1951, ia mendapat Agregasi Filsafat. Namun ia menolak menulis tesis, sebagaian karena ia keberatan dengan kualitas di bawah rata-rata pendidikannya dan karena struktur otoriter sekolah, ia jijik dengan kuatnya orientasi komunis, khususnya Stalinis, sekolah tersebut.[4] tersebut .[4] Perlu diketengahkan pula bahwa kampus itu merupakan
tempat pemikir-pemikir besar, seperti Sartre, Levinas, Foucault, yang pernah melewatkan masa studi mereka. Pada tahun 1955 Bourdieu dianggat menjadi pengajar di lycee di Maulins, satu sekolah di tingkat provinsi, kemudian dipanggil mengikuti wajib militer pada tahun 1956 dan menghabiskan waktu dua tahun di Aljazair dengan Angkatan Barsenjata Prancis. Ia menulis buku tentang pengalamanpengalamannya dan tetap berada di Aljazair dua tahun setelah masa wajib kemiliterannya usai. Kembali ke Prancis pada tahun 1960 dan bekerja selama satu tahun sebagai asisten di Universitas Paris. Ia mengikuti kuliah antropolog Levi-Strauss di College de France dan bekerja sebagai asisten sosiolog Raymond Aron. Tahun 1962, Bourdieu menikah dan kemudian dikarunai tiga orang anak laki-laki. Ia berpindah-pinadah mengajar di fakultas Sastra di Alger 1958-1960, di Lille 1961-1964, dan sejak tahun 1964 di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS). Pada tahun-tahun berikutnya Bourdieu menjadi tokoh utama dalam lingkungan intelektual intelektual Paris, Prancis, dan pada akhirnya di dunia. Karyanya mempengaruhi sejumlah bidang berbeda, termasuk pendidikan, antropologi dan sosiologi. Pada tahun 1968 Center de Sosiologie Europeene didirikan, dan Bourdieu menjadi direktur sampai ia wafat. Ia pun menjadi direktur pada majalah Actes de la
Recherche en Sciences Sociales (ARSS) yang didirikannya pada tahun 1975. Pada tahun 1981, ketika Raymond Aron meninggal dunia, Bourdieu dipercayakan untuk menduduki jabatan prestisius jurusan sosiologi College de France, pada periode ini pula didaulat menjadi pakar sosiologi. Tahun 1993, pusat penelitiannya menerima medali emas dari CNRS (Pusat Riset Ilmiah Nasional). Pierre Bourdieu meninggal pada tanggal 23 Januari 2002[5]. 200 2[5]. Aspek menarik dari karya Bourdieu adalah bagaimana gagasan-ga gasannya terbangun dalam dialog yang terus berlanjut, kadang-kadang eksplisit dan kadang-kadang implisit, dengan gagasan-gagasan lainnya. Gagasan-gagasannya cukup dipengaruhi oleh dua pemikir terkemuka dimasa ia belajar yaitu, Jean Paul Sartre dan Claude Levi-Strauss. Dari eksistensialisme Sartre, Bourdieu belajar tentang pemahaman yang begitu kuat bahwa aktor sebagai pencipta dunia sosial mereka. Namun dia merasa bahwa Sartre melangkah terlalu jauh dalam menempatkan kekuasaan pada aktor dan dalam prosesnya mengabaikan hambatan-hambatan struktural. Lewat perspektif struktur ini, dia kemudian berpaling ke karya strukturalis Levi-Strauss. Dia tertarik pada orientasinya; sebaliknya, pada saat itu ia menggambarkan dirinya sebagai “strukturalis lugu” lugu ”[6]. Namun [6]. Namun beberapa penelitian awalnya membawanya pada kesimpulan bahwa strukturalisme membatasi, kendati dengan arah berbeda, sebagaimana eksistensialisme. Bourdieu mendefinisikan salah satu tujuan dasarnya das arnya sebagai reaksi atas eksis strukturalisme: “saya berniat untuk mengembalikan aktor di dunia nyata yang telah sirna di tangan Levi-Strauss dan para strukturalis lain…yang memandang aktor sebagai epifenomena struktur ” struktur ”[7]. Dengan [7]. Dengan kata lain, Bourdieu ingin mengintegrasikan eksistensialisme Sartre dengan strukturalisme Levi-Strauss. Dalam hal fakta sosial, Bourdieu juga cukup dipengaruhi oleh Durkheim. Ia menempatkan Saussure, Levi-
Straus, Durkheim dan Marxis dalam kelompok objektivis, sekaligus mengkritik mereka, karena baginya tokoh-tokoh tersebut mengabaikan proses konstruksi sosial yang digunakan aktor untuk memersepsi, memikirkan dan mengonstruksi struktur-struktur ini dan selanjutnya mulai bertindak atas dasar tersebut. Selain itu, Marx dan Althuser juga cukup mempengaruhi Bourdieu dalam perspektif ideologi, namun ia kemudian melakukan berbagai modifikasi, sekaligus kritik terhadapnya. Dalam perspektif ideologi, Bourdieu menghindari penggunaan kata tersebut, dan mengusulkan konsep Doxa, yang pengertiannya menyerupai ideologi. Doxa adalah sejenis tatanan sosial dalam diri individu yang stabil dan terikat pada tradisi serta terdapat kekuasaan yang sepenuhnya ternaturalisasi dan tidak dipertanyakan[8]. Dalam praktek kongkritnya, doxatampil lewat pengetahuan-pengtahuan yang begitu saja diterima sesuai dengan habitus dan field tanpa dipikir atau ditimbang lebih dahulu. III. Akar Pemikiran dan Orientasi Teoritik Pierre Bourdieu Pemikiran Bourdieu boleh dikatakan membuka tradisi baru dalam sosiologi. Alih-alih jatuh pada salah satu dualisme di atas, Bourdieu memposisikan dirinya dalam upaya mendamaikan “oposisi absurd antara individu dan masyarakat”[9]. Untuk mengatasi pertentangan ini, Bourdieu memilih menggunakan cara berpikir rasonal[10] bahwa struktur objektif dan representasi subjektif, agen dan pelaku terjalin secara dialektis dan saling mempengaruhi secara timbal-balik (dualitas).[11] Keduanya tidak saling menafikan, tapi saling berpaut dalam sebuah praktik. Di samping model pendekatan Bourdieu, berkembang individualisme-metodelogi Raymond Boudon. Dalam bukunya La logique du social (1979), menurut sosiolog ini, fenomena sosial apa pun merupakan produk tindakan-tindakan individual. Oleh karena itu, logika tindakan harus dicari pada sisi rasionalitas pelaku-pelakunya. Pendekatan seperti ini tidak jauh berbeda dari model ekonomi klasik. Konsephabitus pada Bourdieu tidak akan menerima pemisahan ketat antara pelaku sosial dan struktur-struktur yang melingkupinya. Model kedua ialah aksionalisme Alain Touraine. Pendekatan ini mendasarkan pada analisis gerakangerakan sosial dan peran mereka dalam perubahan sosial. Dalam bukunya Le retour de l’acteur (1984) Alain Touraine menekankan bahwa gerakan-gerakan sosial merupakan objek khas dan masalah sentral analisis sosiologi. Ia membedakan konsep gerakan sosial dari konsep perjuangan kelas dan dari perilaku kolektif. Pembedaan ini didasarkan pada pemahamannya bahwa ada tiga tipe konflik.[12] Kecenderungan ini berbeda dengan pendekatan Bourdieu yang memperhitungkan bahwa posisi-posisi pelaku juga terkait dengan ruang dan memang riil ditempati. Model ketiga ialah pendekatan strategis dari Michel Crozier, yang menekankan analisis hubunganhubungan kekuasaan dan organisasi-organisasi. Para pelaku sosial yang sekaligus rasional dan rasionalitasnya sebatas mempunyai makna kebebasan yang menjadi dasar kekuasaan mereka. Dalam bukunya yang ditulis bersama Erhard Friedberg, L’acteur et le system (1977), Crozier mencoba
menjelaskan dialetika antara pelaku dan sistem: struktur-struktur sosial hanya bisa diciptakan, dilanggengkan dan diubah oleh pelaku-pelaku sosial; sebaliknya pelaku sosial kendati dikatakan bebas, dikondisikan oleh struktur-struktur tersebut. Dimensi dualitas pelaku dan struktur masih sangat kuat. Berbeda dengan Bourdieu, ada upaya penyatuan kedua unsur tersebut, oleh karena itu pendekatannya disebut strukturlisme genetik.[13] Analisis struktur-struktur objektif yang tidak bisa dipisahkan dari analisis asal-usul struktur-struktur mental dalam individu-individu biologis yang sebagian merupakan produk penyatuan struktur-struktur sosial dan asal-usul struktur sosial itu sendiri. Pendekatan ini membuka cakrawala dalam menganalisis masyarakat sehingga memberi sumbangan khas. Berdasarkan ketiga model pendekatan di atas, dapat dikatakan bahwa Bourdieu menawarkan tiga perspektif yang segar (atau boleh dikatakan baru) dalam memahami masyarakat. Pertama, penggunaan konsep habitus dianggap berhasil mengatasi masalah dikotomi individu-masyarakat, agen-struktur sosial, kebebasan-determinisme. Kedua,Bourdieu mencoba membongkar mekanisme dan strategi dominasi. Menurutnya, dominasi tidak lagi diamati melulu dari akibat-akibat luar, tetapi juga akibat yang dibatinkan ( habitus). Dengan menyingkap mekanisme tersebut kepada pelaku sosial, sosiologi memberi argumen yang dapat menggerakan tindakan politik. Perubahan politik dan sosial lalu bisa dipahami sebagai bertemunya upaya dari diri dan tindakan kolektif[14]. Ketiga, Bourdieu menjelaskan logika praksis pelaku-pelaku sosial dalam lingkup sosial yang tidak setara dan konfliktual. Logika ini mengatasi model Marxis yang hanya berhenti pada penjelasan masyarakat yang dikatakan menjadi infrastruktur ekonomi. Dia mengemukakan pandangan bahwa lingkup sosial dibentuk dari beragam ranah yang otonom, (budaya, politik, gender, seni, dan tidak hanya ekonomi) yang mendefinisikan model-model dominasi. Ketiga sumbangan pemikiran itu, mungkin menunjukan keterputusan dengan beberapa tradisi sosiologis baik dari Marx maupun Weber, meskipun jejak kedekatannya masih terasa. Bourdieu memang terinspirasi dari Marx ketika berbicara tentang tatanan sosial melalui paradigma dominasi, namun ia kemudian membedakan dirinya dari Marx ketika mengembangkan teorinya tentang dominasi simbolis yang terkait dengan bidang budaya.[15] Dari Weber, Bourdieu mengembangkan apa yang disebut tindakan bermakna. Tindakan manusia terkait dengan reaksi atau perilaku orang lain. Legitimasi kekuasaan Weber, oleh Bourdieu digunakan untuk menjelaskan mekanismemekanisme dominasi, makna simbol justru sangat berperan untuk penjelasan tentang kekerasan simbolis. Bahwa yang dikuasai menerima dan merasa solider dengan yang menguasai dalam konsensus yang sama tentang tatanan yang ada. Jadi, ada semacam persetujuan dari pihak yang dikuasai.[16] IV. Fokus Pemikiran Bourdieu (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik Dalam pergulatannya tentang kekerasan simbolik, Bourdieu juga mengungkapkan soal bahasa yang dipakai sebagai “kuda tunggangan”[17] dalam mengcapai kekuasaan bagi individu atau kelompok
tertentu. Bahasa mencerminkan budi manusia, tapi bukan selamanya ia luhung. Sebab perbincangan mengenai bahasa juga mensyaratkan adanya pengetahuan yang ingin diwujutkan dalam realitas konkrit, tujuan yang melekat dalam bahasa bisa berupa kepentingan politik. Dengan teknik yang lebih halus, bahasa digunakan untuk merayu, membujuk orang untuk patuh secara sukarela. Persoalan ini merupakan perhatian Bourdieu, baginya dalam ruang sosial, bahasa memiliki keterkaitan dengan arena pertarungan kekuasaan. Ia bisa bertujuan sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan dan juga untuk melestarikan kekuasaan. Perkakas utama Bourdieu dalam memahami masyarakat adalah terletak pada konsep habitus and field, juga strategi untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan. a.
Habitus
Membahas habitus secara memadai mengandaikan suatu bentuk epistemologi sejarah dalam arti mengungkap relevnasi parktis suatu wacana.[18] Konsep ini sebenarnya berasal dari tradisi pemikiran filsafat, bukan merupakan ciptaan asli Bourdieu. Dalam bahasa Latin, habitus bisa berarti kebiasaan (habitual ), penampilan diri ( appearance), atau bisa pula merujuk pada tata pembawaan yang terkait dengan kondisi tipikal tubuh. Selain itu, istilah habitus juga menunjukan aspek perlengkapan bagi substansi tertentu, seperti yang ditemukan dalam pemikiran Aristoteles mengenai pembagian ada (being ).[19] Ritzer (2009), yang menguraikan konsep habitus Bourdieu, juga mengungkapkan habitus sebagai “akal sehat” ( common sense) yang merefleksikan pembagian objektif dalam struktur kelas seperti kelompk usia, jenis kelamin, dan kelas sosial. Dalam hal ini, habitus bisa jadi merpakan fenomena kolektif, dia memungkinkan orang untuk memahami dunia sosial, namun keberadaan berbagai habitus berarti bahwa dunia sosial dan strukturnya tidak menancapkan dirinya secara seragam pada setiap aktor. Dengan demikian habitus memungkinkan dibangunnya teori produksi sosial pelaku dan logika tindakan, ia merupakan faktor penjelasan logika berfungsinya masyarakat. Dalam perspektif ini, sosialisasi menjadi bentuk pengintegrasian habitus kelas.[20] Ia menghasilkan kepemilikan individu pada kelas dengan mereproduksi kelas sebagai kelompok yang memiliki kesamaan habitus. Haryatmoko, yang mengutip Bourdieu (1980:101) mengatakan bahwa “setiap sistem disposisi individu adalah variabel struktural sistem disposisi yang lain, dimana terungkap kekhasan posisinya di dalam kelas dan arah yang dituju. Gaya pribadi, praktik-praktik kehidupan atau hasil karya, tidak lain kecuali suatu jarak terhadap gaya khas suatu zaman atau suatu kelas, sehingga gaya itu mengacu pada gaya umum, tidak hanya melakukan keseragaman, tetapi juga melalui pembedaan yang menghasilkan pembawaan tertentu”. Pierre Bourdieu mendefinisikan habitus sebagai pengkondisian yang dikaitkan dengan syarat-syarat keberadaan suatu kelas. Menurutnya sistem-sistem disposisi tahan waktu dan dapat diwariskan, struktur-struktur yang dibentuk, yang kemudian akan berfungsi juga sebagai struktur-struktur yang membentuk adalah merupakan hasil dari suatu habitus.[21] Dengan demikian, habitus adalah
merupakan hasil ketrampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Bourdieu mencontohkan dalam hal penguasaan bahasa, penulisan atau pemikiran. Seniman, sastrawan, penulis atau pemikir dikatakan mampu menciptakan karya-karya mereka berkat kebebasan kreatifnya karena mereka tidak lagi menyadari tanda-tanda atau gaya yang sudah mereka integrasikan ke dalam dirinya. Apa yang dipercaya sebagai kebebebasan kereatif sebetulnya merupakan buah pembatasan struktur-struktur. Jadi habitus menjadi sumber penggerak tindakan, pemikiran dan representasi. Selain itu, habitus juga dipahami sebagai dasar kepribadian individu. Pembentukan dan berfungsinya habitus seperti lingkaran yang tidak diketahui ujung-pangkalnya. Di satu sisi sangat memperhitungkan hasil dari keteraturan perilaku dan di lain sisi modalitas praktiknya mengandalkan pada improvisasi dan bukan pada kepatuahan aturan-aturan. Habitus juga merupakan struktur intern yang selalu dalam proses restrukturisasi, jadi praktik dan represintasi tidak sepenuhnya deterministik (pelaku bisa memilih), namun juga tidak sepenuhnya bebas (pilihannya ditentukan oleh habitus). “Hal ini tampak dari pilihan terhadap tempat, peristiwa, orang yang dapat dikunjungi, habitus cenderung melindungi diri terhadap krisis dan dari yang mempertanyakan secara kritis dengan menjamin diri dalam lingkungan yang sedapat mungkin sudah disesuaikan, artinya dunia yang cukup stabil yang akan semakin memperteguh disposisi-disposisinya.” Teori ini mencoba mengatasi dualisme kebebasan dan determinisme. Di satu pihak teori ini tidak lepas dari suatu bentuk determinisme yang seakan-akan memenjara tindakan-tindakan dalam pembatas-pembatas; dipihak lain teori ini memberi peluang bagi konsep individu otonom, bebas dan rasional. Setiap orang dikondisikan oleh lingkungannya, diarahkan oleh rutinitas tindakan, namun kebiasaan tindakan tidak bekerja seperti halnya program yang memiliki kemampuan kreatif dan strategis dalam suatu lingkungan sosial tertentu. Pierre Bourdieu sendiri menyatakan, “Sebagai sistem skema pendorong yang diperoleh, habitusmemungkinkan kreatifitas pemikiran, seluruh persepsi dan tindakan yang terpatri dalam pembatasan yang melekat pada kondisi khas produksinya. Habitus mencoba mengatasi determinisme dan kebebasan, pengkondisian dan kreativitas, kesadaran dan ketidaksadaran, atau individu dan masyarakat .[22]” b.
)[ 23 ] Arena / Ranah (Field
Konsep habitus tidak dapat dipisahkan dari ranah perjuangan ( champ). Dua konsep ini sangat dasariah karena saling mengandaikan hubungan dua arah. Bourdieu lebih memandang “arena” sebagai relasional ketimbang secara struktural. Arena adalah jaringan relasi antarposisi objektif di dalamnya, yang menduduki posisi bisa jadi merupakan aktor atau institusi, dan mereka dihambat oleh struktur ranah. Bourdieu melihat arena, menurut definisinya sebagai arena pertempuran: “arena juga merupakan arena perjuangan”.[24] Arena adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal, seperti modal ekonomi, kultural, sosial dan simbolis. Hal ini menunjukan bahwa
realitas masyarakat yang terdiferensiasi itu, lingkup hubungan-hubungan objektif mempunyai kekhasan yang tidak bisa begitu saja tereduksi pada hubungan yang mengatur bidang lain. Karena itu, pemikiran Bourdieu yang mengatakan bahwa dalam semua masyarakat ada yang mengusai dan dikuasai, menjadi bermakna. Dalam pembedaan ini terletak prinsip dasar pengorganisasian sosial. Namun, menurutnya dominasi ini sangat tergantung pada situasi, sumber daya, dan strategi pelaku. Dalam penjelasan pada bagian awal, telah disinggung bahwa habitus mendasari terbentuknya ranah, sementara dilain pihak ranah menjadi lokus bagi kinerja habitus. Ranah merupakan arena kekuatan yang di dalamnya terdapat upaya perjuangan untuk memperebutkan sumber daya (modal), dan juga demi memperoleh akses tertentu yang dekat dengan hierarki kekuasaan. Istilah modal digunakan Bourdieu untuk memetakan hubungan-hubungan kekuasaan dalam masyarakat. Modal dalam perspektif ilmu ekonomi, memuat beberapa ciri penting, yaitu: (1) Modal terakumulasi melalui investasi; (2) Modal bisa diberikan kepada yang lain melalui warisan; (3) Modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.[25] Konsep “modal” meskipun merupakan khasanah ilmu ekonomi, namun dipakai Bourd ieu karena beberapa cirinya yang mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan, seperti yang telah disebutkan di atas. Berdasarkan hal itu, Bourdieu memberikan konstruksi teoritiknya terhadap modal sebagai berikut: “…capital is a social relation, i.e., an energy which only exists and only produces its effects in the field
in which it is produced and reproduced, each of the properties attached to class is given its value and efficacy by the specific laws af each field ” [ 26] Ide Bourdieu tentang modal seperti ini, lepas dari pemahaman tradisi Marxian dan juga konsep ekonomi formal. Konsep ini mencakup kemampuan melakukan kontrol terhadap masa depan diri sendiri dan orang lain. Pemetaan itu tidak berbentuk piramida atau tangga, tetapi lebih berupa suatu lingkup pembedaan atas dasar kepemilikan modal-modal dan komposisi modal-modal tersebut. Dengan pendekatan ini, maka setiap kelas sosial tidak dapat didefinisikan secara terpisah, tetapi selalu dalam hubungan dengan kelas-kelsa lain. Menurut Haryatmoko (2003), para pelaku menempati posisi-posisi masing-masing yang ditentukan oleh dua dimensi: pertama, menurut besarnya modal yang dimiliki; dan kedua,sesuai dengan bobot komposisi keseluruhan modal mereka: “untuk memahami bahwa sistem kepemilikan yang sama (yang menentukan posisi di dalam arena perjuangan kelas) memiliki unsur yang dapat menjelaskan, apapun bidang yang dikaji, konsusmsi makanan, praktik prokreasi, opini politik atau praktik keagamaan, dan bahwa bobot yang terkait dengan faktor-faktor yang membentuknya berbeda di satu arena dengan yang lain, dalam arena perjuangan yang satu mungkin modal budaya, ditempat lain mungkin modal ekonomi, arena lainnya lagi modal sosial, dan sete rusnya.”
Berdasarkan penjelasan di atas, modal-modal tersebut dapat digolongkan menjadi empat golongan, yakni: (1) Modal ekonomi, yang mencakup alat-alat produksi (mesin, tanah, buruh), materi (pendapatan dan benda-benda) dan uang yang dengan mudah digunakan untuk segala tujuan serta diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; (2) Modal budaya, yang mencakup keseluruhan kualifikasi intelektual yang dapat diproduksi melalui pendidikan formal maupun warisan keluarga. Misalnya kemampuan menampilkan diri di depan publik, pemilikan benda-benda budaya bernilai tinggi, pengetahuan dan keahlian tertentu dari hasil pendidikan, juga sertifikat (gelar keserjanaan); (3) Modal sosial, menunjuk pada jaringan sosial yang dimiliki pelaku (individu atau kelompok) dalam hubungan dengan pihak lain yang memiliki kuasa; dan (4) Modal simbolik, mencakup segala bentuk prestise, status, otoritas, dan legitimasi.[27] Dengan demikian, modal harus ada dalam sebuah ranah agar ranah tersebut memiliki daya-daya yang memberikan arti. Hubungan habitu, field dan modal bertaut secara langsung dan bertujuan menerangkan praktek sosial. Karakteristik modal dihubungakan dengan skema habitus sebagai pedoman tindakan dan klasifikasi dan ranah selaku tempat beroperasinya modal. Sedangkan ranah senantiasa dikelilingi oleh relasi kekuasaan objektif berdasarkan pada jenis-jenis modal yang digabungkan dengan habitus. Berdasarkan kriteria di atas, Bourdieu menyusun masyarakat dalam dua dimensi. Pertama,dimensi vertikal, dalam hal ini dapat dipertentangkan antara para pelaku – yang memiliki modal besar dalam hal ekonomi dan budaya – dengan mereka yang miskin. Kedua,susunan masyarakat menurut struktur modal. Dalam konteks ini dipertentangkan antara mereka yang memiliki modal ekonomi yang besar dengan mereka yang memiliki modal budaya yang besar. Pembedaan ini memungkinkan melihat pemisahan antara keduanya dalam proses satu tangga dalam dimensi vertikal .[28] Model pembagian kelas tersebut mendefinisikan ruang atau jarak yang dapat diramalkan yang memungkinkan perjumpaan, hubungan simpati atau bahkan hasrat. Secara lebih konkrit orang-orang yang termasuk dalam kelas atas, sedikit kemungkinannya menikah dengan orang yang berasal dari kelas bawah. Pertama, karena mereka jarang mempunyai kesempatan untuk bertemu; kedua, seandainya mereka bertemu, mereka tidak akan bisa dengan mudah saling memahami karena perbedaan latarbelakang budaya atau habitus mereka. Haryatmoko yang mengutip Borudieu (1994), mengatakan hal yang sebaliknya bahwa kedekatan lingkungan sosial sudah memungkinkan kedekatan dalam hal kepemilikan,disposisi dan selera. Mereka lebih mudah saling mendekati, digerakan. Jadi kelas tidak dipahami dalam arti Marx yaitu kelompok yang dimobilisasi untuk kepentingan bersama dan khususnya untuk melawan kelas lainnya. Namun bukan berarti kedekatang lingkungan sosial secara otomatis menjamin kesatuan. Kedekatan itu mendefinisikan secara objektif potensi kesatuan. Sedangkan menurutnya, teori Marx melakukan kesalahan karena menganggap yang ada dalam teori disamakan begitu saja dengan yang
ada dalam kenyataan. Dengan menggunakan istilah Marx sendiri, terjadi lompatan yang mematikan “dari hal-hal logis ke logika hal itu”[29] c.
Startegi
Apabila dalam ranah terjadi ompetisi antar pemain untuk memenangkan pertandingan , maka penggunaan strategi diperlukan. Startegi ini diperlukan untuk mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal dalam kaitannya dengan hirarhki kekuasaan. Menurut Bourdieu strategi yang dipakai oleh pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka strateginya diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankan status quo. Sedangkan mereka yang didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan main dan posisi-posisnya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial. Meski mengarahan tindakan, strategi bukan semata-mata hasil dari suatu perencanaan yang sadar dan terdeterminasi secara mekanis strategi merupakan produk intuitif dari pemahaman para pelaku terhadap aturan-aturan permainan dalam lintasan peristiwa atau pada ruang dan waktu tertentu. Strategi berperan sebagai manuver para pelaku untuk meningkatkan posisi mereka dalam suatu arena pertarungan. Perjuangan mendapatkan pengakuan, otoitas, modal dan akses atas posisi-posisi kekuasaan terkait dengan strategi yang para pelaku gunakan. Pierre Bourdieu menggolongkan strategi yang digunakan pelaku menjadi 5 (lima) jenis strategi, yakni: a)
Strategi investasi bologis. Strategi ini mencakup dua hal, yaitu kesuburan dan pencegaha.
Strategi kesuburan berkaitan dengan pembatasan jumlah keturunan untuk menjamin transmisi modal dengan cara membatasi jumlah anak. Sementara strategi pencegahan bertujuan untuk mempertahankan keturunan dan pemeliharaan kesehatan agar terhindar dari penyakit. b)
Strategi suksesif, strategi ni ditujukan untuk menjamin pengalihan harta warisan antar generasi,
dengan menekankan pemborosan seminimal mungkin. c)
Strategi edukatif, strategi ini berupaya menghasilkan pelaku sosial yang layak dan mampu
menerima warisan kelompok sosial, serta mampu memperbaiki jenjang hierarki. Ditempu lewat jalur pendidikan, baik secara formal maupun informal. d)
Strategi investasi ekonomi, hal ini merupakan upaya mempertahankan atau meningkatkan
berbagai jenis modal, yaitu akumulasi modal ekonomi dan modal sosial. Investasi modal sosial bertujuan melanggengkan dan membangun hubungan-hubungan sosial yang berjangka pendek maupun panjang. Agar langgeng kelangsunganya, hubungan-hubungan sosial diubah dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang bertahan lama, seperti melalui pertukaran uang, perkawinan pekerjaan dan waktu, dan
e)
Strategi investasi simbolik, strategi ini merupakan upaya melestarikan dan meningkatkan
pengakuan sosial, legitimasi, atau kehormatan melalui reproduksi skema-skema persepsi dan apersepsi yang paling cocok dengan property mereka, dan menghasilkan tindakan-tindakan yang peka untuk diapresiasi sesuai dengan kategori masing-masing. Misalnya pewarisan nama keluarga.[30] V.
Penutup
Pemikiran bourdieu, tentunya bukan tanpa kritik. Gagasannnya mengenai ranah sebagai arena pertarungan dianggap terlalu mereduksi “dunia kehidupan” pada pertarungan semata, pada hal rana sosial bukan saja arena kompetisi, melainkan juga tempat bagi pelaku untuk mendapatkan makna hidup, seperti solidaritas, kerja sama, kasih sayang dan sebaginya. Begitupun dalam konsep habitus dan field, dikritik karena ide-ide ini dianggap sebagai praktik kekerasan simbolik dalam nuansa baru. Terlepas dari berbagai kritik tersebut, Bourdieu tetap merupakan sosok pemikir yang unik. Keunikannya terletak pada upaya untuk memadukan teori dan praktek. Inti pemikirannya adalah menolak teori murni yang tidak memiliki basis empiris, namun ia pun menolak empirisisme murni yang dikerjakan dalam tempat yang hampa teori. Karena itu, ia mengatakan “…penelitian tanpa teori berarti buta, dan teori tanpa penelitian berarti hampa. ”[31] Dengan demikian ada semacam aturan yang tidak terucap dalam setiap field . Aturan yang bekerja sebagai modus dari apa yang disebutnya sebagai kekerasan simbolik. Dengan konsep ini, ia ingin memperlihatkan bentuk yang tersembunyi dalam kegiatan sehari-hari. Kekerasan dalam bentuk yang sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengandung resistensi, sebaliknya malah mengandung konformitas sebab sudah terlegitimasi secara sosial karena bentuknya yang sangat halus. Bahasa, makna dan sistem simbolik para pemilik kekuasaan ditanamkan dalam benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran. Dalam konteks ini, tawaran habitus and field menjadi bermakna untuk mengungkap realitas empirik kekerasan simbolik yang tidak disadari itu. Habitus and Field, sebagai sebuah kerangka analisis, adalah cukup fleksibel dan bagi saya cukup tepat untuk digunakan dalam kerangka analisis dominasi mel-mel terhadap ren-ren pada masyarakat Kei, khususnya pada fokus penelitian yang akan saya lakukan. Daftar Pustaka Bourdieu, Pierre, I n O t h e r W o r d s : E s s a y s T o w a r d s a R e f l ex i v e S o c i o l o g y , (Cambridge: Polity Press, 1990) Fashri, Fauzi, P e n y i n g k a p a n K u a s a S i m b o l : A p r o p r i a s i R e f l ek t i f P e m i k i r a n P i e r r e B o u r d i e u , (Yogyakarta: Juxtapose, 2007)
Giddens, Anthony, C e n t r al P r o b l e m i n S o c i a l T h e o t y , (Berkeley & Los Angeles: University of Callifornia Press, 1997) Haryatmoko, M en y i n g k a p K e p a l s u a n B u d a y a P e n g u a s a : L a n s d a s a T e o r i t i s G e r a k an S o s i a l M e n u r u t P i e r r e B o u r d i e u , (Majalah BASIS, Nomor 11-12 Tahun Ke-52, November-Desember, 2003)
Jenkins, Richard, Pierre Bo urdieu , (London: Routledge, 1992) Priyono, B. Herry, A n t h o n y G i d d e n s : S u a t u P e n g a n t a r, (Jakarta: KPG, 2002) Ritzer, George and Douglas J. Goodman, T eo r i S o s i o l o g i , (Yogyakarta: Kreasi Wacana, cetakan ketiga, 2009) Swartz, David, C u l t u r e a n d P o w e r : T h e S o c i o l o g y o f P i e rr e B o u r d i e u , (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1997), 62 Takwin, Bagus, A k a r - A k a r I d eo l o g i : P e n g a n t a r K a j i a n K o n s e p I d e o l o g i d a r i P l a t o h i n g g a B o u r d i e u , (Yogyakarta: Jalasutra, 2003)
____________, “Habitus: Perlengkapan dan Kerangka Panduan Gaya Hidup” dalam bukuResistensi Gaya Hidup : Teori dan Realitas, (Yogyakarta: Jalasutra, 2006)
Pierre Bourdieu: Sekolah, Tempat Reproduksi Kesenjangan Sosial
I. Biografi Pierre Bourdieu[1]
Pierre Felix Bourdieu lahir pada 1 Agustus 1930 di desa Denguin Pyrenees-Atlantique, Provinsi Bearn, sebelah barat daya Prancis. Ia adalah anak dari seorang pegawai kantor pos. ketika menjalani pendidikannya di Lycee[2] , di Pau, ia terkenal sebagai murid yang cerdas. Setelah lulus dari Lycee ia melanjutkan studi ke Fakultas Sastra di Paris. Berkat kecerdasannya, Bourdieu diterima dalam lingkungan elite, yakni Ecole Normale Superieure, sebuah kampus yang berisikan orang-orang dari golongan elite. Kampus itu juga merupakan tempat studi pemikir terkenal seperti Sarte, Levinas, dan Foucalt. Di sana ia belajar filsafat kepada Louis Althusser bersama dua rekannya yang juga merupakan pemikir terkenal, Aguste Compte dan Jacques Derrida. Pada masa pendidikannya ia tertarik pada karya-karya Marleau-Ponty dan Husserl. Karyakarya Heidegger “Being and Time” dan karya-karya Marx juga ikut memperkaya khazanah pemikirannya. Bahan tesisnya diambil dari “Animadversiones” karya Leibn iz. Bourdieu akhirnya menjadi pengajar Lycee di Moulins pada tahun 1955, setelah ia lulus dan mendapat agregasi filsafat. Akan tetapi tidak lama kemudian dikirim ke Aljazair lantaran adanya wajib militer. Namun selama di sanalah ia menemukan sebuah pemandangan baru, identitas baru mengenai kehidupan sosial. Hal ini ia peroleh ketika mempelajari benturan yang terjadi antara masyarakat Aljazair dengan kolonialisme Prancis melalui sebuah kontruksi mengenai struktur-struktur ekonomi dan sosial populasi pribumi. Ketika masa wajib militer usai, Bourdieu lalu menjadi pengajar yang berpindahpindah di Fakultas Sastra Universitas Aljazair. Selama di Aljazair, Bourdieu menerbitkan karta pertamanya yang berjudul Sociologie de I’Algerie. Pada tahun 1960, ia kembali ke Paris sebagai Antropolog autodidak. Ia juga masih mengajar di dua Universitas besar, yakni Universitas Paris dan Universitas Lille. Sebelum ia mendirikan pusat kajian sosiologi dan pendidikan budaya, Bourdieu sempat menjadi direktur Ecoles des Hautes Etudes
en Sciences Sociales (EHESS), sebuah lembaga akademik yang berkecimpung dalam bidang sosial dan budaya. Pada tahun 1968 ia menjadi directur Centre de Sociologie Europeene (pusat kajian sosiologi Eropa), yang kemudian bersama koleganya, mulai mempelopori riset kolektif tentang permasalahan pelestarian sistem kuasa dengan menggunakan tranmisi dari budaya dominan. Riset tersebut merupakan sebuah usaha Bourdieu untuk meruntuhkan mekanisme reproduksi sistem kuasa yang baginya merupakan sumber dari segala struktur dominant dalam masyarakat. Berkat karyakarya yang ia hasilkan, pada tahun 1993, ia dianugerahi penghargaan “Medaille d’or du Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS)”. Bourdieu pernah berkeluarga selama 21 tahun
dengan Marie-Claire Brizard (1962-1983). Ia meninggal karena kanker di rumah sakit Saint Antione Paris, pada tanggal 23 januari 2002.
II. Habitus, Arena Sosial, dan Kapital 1. Habitus Secara literer, habitus berasal dari bahasa Latin yang artinya mengacu kepada kondisi, penampakan
atau
mempertahankan
situasi beberapa
yang
tipikal
makna
asli
atau
habitual,
konsep
ini
khususnya
dalam
pada
hubungan
tubuh.
antara
Bourdieu
tubuh
dan
habitus. Pertama, dalam nalar yang sepele, habitus hanya ada selama ia ada “di dalam kepala” aktor yakni ketika masih menjadi ide dan kepala merupakan bagian dari tubuh. Kedua, habitus hanya ada di dalam, melalui dan disebabkan oleh praksis aktor dan interaksi antara dia dan ligkungan yang melingkupinya: cara berbicara, cara bergerak, cara membuat sesuatu, dll. Dalam hal ini secara empiris, habitus bukanlah konsep yang abstrak dan idealis. Ia bukan hanya termanifestasi dalam perilaku, namun merupakan bagian yang integral dari pelaku. Ketiga, transonomi praktis, yang tampak/dapat diases panca indra:laki-laki/perempuan, depan/belakang, atas/bawah, panas/dingin [3]. Menurut Bourdieu, Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktikpraktik yang terstruktur dan terpadu secara obyektif. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi struktur obyektif dan sejarah personal .[4] Habitus dapat dipandang sebagai proses perolehan yakni hasil keterampilan yang telah menjadi tindakan praktis. Habitus kemudian menjadi suatu kemampuan alamiah seseorang yang berkembang dalam suatu arena sosial. Sejak dalam kelurga, habitus mulai melekat dan dibentuk. Secara sederhana, habitus dapat juga disebut sebagai kebiasaan, yakni suatu pengulangan yang kreatif sekaligus interaktif. Hal inilah yang membuat habitus bersifat dinamis. Selain itu habitus dapat juga dipahami sebagai dasar kepribadian, yakni merupakan ide, atau kerangka penafsiran yang dapat digunakan untuk memahami dan menilai suatu realitas atau kebiasaan yang dilakukan seseorang. Walaupun begitu, habitus tidak hanya menunjuk pada ide, cara berpikir pola bertutur kata atau berpakaian seseorang, namun juga menunjuk pada raga dan pola tingkah laku seseorang. Selain itu, habitus juga dapat m embedakan suatu kelas dengan kelas lainn ya. Dalam ranah masyarakat, habitus kaum yang mendominasi biasanya yang lebih muncul ke permukaan dan menguasai medan sosial.
Habitus adalah struktur yang dibentuk sekaligus membentuk dunia sosial. Contoh habitus adalah cara berbicara yang lembut dan sopan, aksen dalam berbicara, sikap jujur dan bertanggungjawab, dll. Misalnya seseorang yang lahir dalam keluarga dan lingkungan berbahasa batak. Dalam pertumbuhan dalam keluarganya, ia akan menginternalisasikan struktur bahasa batak yang cenderung beraksen keras, cepat dan menyampaikan sesuatu dengan cenderung tanpa tedeng
aling-aling. Struktur ini akan tumbuh dan menjadi bagian dari habitusnya dan semakin dewasa habitus akan berkembang menjadi lebih matang. Habitus ini akan menjadi sangat kentara perbedaannya dengan yang lain, ketika ia bergaul dengan orang lain di luar daerahnya.
2.
Arena Sosial
Dunia sosial terbagi dalam beberapa arena atau ranah atau wilayah yang berbeda satu sama lain. Artinya masing-masing arena degerakkan oleh mekanisme yang khas atau berbeda satu sama lain dari dalam tubuhnya, namun arena-arena saling mempengaruhi satu sama lain. Arena, menurut Bourdieu, adalah wilayah terbatas yang di dalamnya terdapat perjuangan atau manuver yang memperebutkan sember atau pertaruhan dan akses terbatas. Arena adalah taruhan yang dipertaruhkan seperti gaya hidup, perumahan, pekerjaan, kekuasaan (politik), intelektual, kelas sosial, ekonomi, prestise dll[5]. Arena dapat juga diartikan sebagai sebuah permainan di mana di dalamnya capital dan habitus harus bermain. Arena menjadi penentu capital dan berlakunya sebuah habitus. Dalam hal ini arena menjadi tempat berlangsungnya perjuangan dan strategi. Seseorang yang masuk di dalamnya diandaikan telah mengusai aturan main yang ada di dalamnya .[6] Misalnya saja, seseorang yang terjun dalam dunia entertaimen, ia diandaikan mengerti bagaimana harus selalu tampil menarik, dan elegan. Konsep arena sosial ini nantinya akan berhubungan dengan pendapatnya mengenai sekolah yang menurutnya cenderung menjadi arena perjuangan sosial, yang cenderung mendorong peluang terjadinya reproduksi kesenjangan sosial. Dalam arena sosial adalah mereka yang mempunyai kepemilikan modal yang besar, yakni ekonomi, budaya, sosial atau simbolis akan menguasai dan mendominasi arena.
3.
Kapital
Kapital atau modal adalah sumber-sumber daya yang mempunyai nilai tertentu yang dimiliki oleh seseorang agar dapat bertahan dalam suatu arena. Setiap arena menuntut individu untuk mempunyai modal-modal khusus agar dapat hidup baik dan bertahan di dalamnya. Oleh karena, modal tergantung pada arena-arena itu, maka modal bersifat partikular[7]. Misalnya seorang frater yang memiliki kecerdasan dan keberanian untuk mengungkapkan pemikirannya serta memiliki modal mudah bergaul, akan mendapat posisi baik dalam lingkup komunitasnya, ia akan dipercaya dan disukai rekan-rekannya, sehingga selalu dipilih menjadi pemimpin. Modal dapat dibagi dalam berbagai macam bentuk. Pertama, modal ekonomi, modal yang paling
mudah
berubah
dan
berpindah
dalam
bentuk
lain
(uang,
tanah,
alat
produksi,
dll). Kedua, modal sosial, yang berupa berbagau jenis relasi dan hubungan yang bernilai dengan pihak-pihak yang berharga dan mempunyai pengaruh dalam kedudukan sosial. Ketiga, modal kultural, atau pengetahuan sah satu sama lain, yang (1) terintegrasi dalam pribadi seseorang (pengetahuan), (2) yang ada alam bentuk obyektif (buku) dan (3) yang terintsitusionalisasikan (gelar pendidikan SI, S2, S3 atau menjadi anggota sebuat tim peneliti). Modal yang keempat adalah modal simbolis, yang merujuk pada pengakuan sosial. Bourdieu melihat modal simbolik atau symbolic capital (seperti: harga diri, martabat, atensi) merupakan sumber kekuasaan yang krusial.
III. Sekolah: Reproduksi Kesenjangan Sosial[8] Mau tak mau Kapital mempunyai pengaruh yang besar dalam menentukan posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial. Dalam lingkup budaya sekolah, kelompok sosial menengah atas yang mempunyai dukungan kapital ekonomi akan lebih dimudahkan dalam persaingan. Tak dapat dipungkiri bahwa dalam masyarakat kita terdapat suatu dominasi budaya. Kelas dominan yang menguasai arena sosial adalah mereka yang mempunyai kepemilikan modal yang besar, yakni ekonomi,
budaya,
sosial
atau
simbolis.
Perbedaan
inilah
yang
nantinya
akan
menjadi sumber kesenjangan sosial. Sekolah yang menjadi tempat seseorang menuntut ilmu ternyata tak lepas dari pengaruh ini, malah menjadi tempat reproduksinya. Sekolah dalam hal ini juga menjadi arena sosial yang menjadi tempat pertarungan kekuatan, dan keberhasilan yang dicapai di dalamnya tergantung pada besarnya kapital dan posisinya dalam lingkup sosial. Bourdieu mengkritik pendidikan melalui sekolah cenderung menjadi tempat reproduksi kesenjangan sosial. Sejak masih di sekolah dasar, peserta didik sudah dipacu untuk berprestasi agar
masuk peringkat. Sejak dini mereka mulai berlomba memperebutkan suatu posisi tertentu karena ini bermanfaat untuk jenjang selanjutnya. Fenomena dunia saat ini pun begitu jelas. Perburuan sekolah favorit menjadi hal yang sangat biasa dan memang harus diperjuangkan oleh orang tua. Untuk mendukung proses itu tak rugi mereka mengundang jasa bimbingan belajar persiapan masuk sekolah untuk anaknya. Bagi Bourdieu, sistem sekolah menciptakan mitos bahwa semua punya kesempatan sama. Perburuan sekolah favorit ini memberi bukti, orang telah menyetujui sistem seleksi masyarakat sejak dini. Hal ini sebenarnya menunjukan bahwa tak semua didik punya kesempatan sama. Ideologi “bakat” melanggengkan mitos secara halus. Asal-usul sosialah yang sebenanya menjadi faktor paling menentukan keberhasilan atau kegagalan peserta didik di sekolah [9]. Sistem sekolah lebih menguntungkan kelas menengah ke atas, karena budaya sekolah lebih sesuai dengan habitus yang mereka miliki. Kelas sosial menengah ke atas lebih memiliki kesempatan yang besar untuk berhasil karena latar belakang budaya mereka lebih siap disbanding dengan mereka yang datang dari kelas sosial yang rendah. Dalam upaya untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan dasar (membaca, berbicara runtut, menghitung dan pemecahan masalah) peserta didik dari kelas sosial rendah sudah mengalami banyak hambatan, apalagi dalam hal pembelajaran untuk pengembangan kepribadian dan intelektual (pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap). Mereka harus berjuang keras untuk mencapai pendidikan yang bermutu, karena memang jauh dari fasilitas dan budaya. Berbeda dari mereka yang berasal dari kelas menengah ke atas, yang sejak kecil tidak asing dengan buku, komputer, perpustakaan, majalah atau Koran. Semua itu telah menjadi habitus, bagian hidup sehari-hari. Golongan menengah atas umumnya juga memiliki kebiasaan membaca dan belajar. Habitus ini mempermudah mereka untuk memenangi persaingan. Dari sini muncul ideologi “bakat”, seakan berkat bakat dan ketekunan, semua peserta didik mempunyai kesempatan yang sama untuk berhasil. Padahal, keberhasilan itu berkat habitus, hasil keterampilan dan pembiasaan. Hal ini lalu menjadi bagian kesadaran praktis, yang kemudian diungkapkan dalam kemampuan yang kelihatannya alamiah, dan bisa berkembang lantaran lingkungan sosial tertentu. Menurut Bourdieu, kesenjangan sosial dalam pendidikan terasa sekali ketika melihat kesempatan masuk ke Perguruan Tinggi. Bagi peserta yang berasal dari kelas menengah atas kemungkinannya sampai 80 %, sedangkan mereka yang berasal dari petani dan buruh hanyalah 40 %. Dari prosentasi ini terlihat bagaimana sekolah kemudian dianggapnya ikut berperan dalam memproduksi dan mereproduksi kesenjangan sosial tersebut. Berhadapan dengan sekolah, kesenjangan sosial bukanlah masalah perbedaan pendapatan, tetapi lebih pada perbedaan capital
budaya. Sekolah, sejak awal menjadi tempat yang sangat efektif untuk menaikan jenjang sosial. Melalui sekolah, seseorang dapat memperbaiki kehidupannya baik secara ekonomi, budaya maupun dalam kelas sosial. Ada hubungan antara keberhasilan di sekolah dengan pendampingan keluarga terhadap peserta didik, tingkat pendidikan keluarga dan capital ekonomi. Di hadapan masyarakat, sekolah
tampak
membuka
kesempatan
yang
sama
bagi
seluruh
kelas
sosial.
Padahal
sebenarnya menuntut suatu syarat tertentu jika ingin menempati suatu posisi tertentu dalam universitas-universitas tertentu. Bahasa bukan hanya menjadi alat komunikasi, namun juga sebagai instrumen tindakan dan kekuasaan. Menurut pengamatan Bourdieu, ada hubungan antara kemampuan berbahasa dan kelas asal sosial. Kelas sosial menengah atas biasanya mempunyai kekayaan bahasa, seperti kemampuan berbicara dengan terstruktur, logis ataupun sistematis sebagai mana diajarkan keluarga. Habitus bahasa yang diperoleh dari keluarga ikut menentukan struktur berpikir dan bertindak yang pada gilirannya akan ikut menentukan keberhasilan atau kegagalan dalam meniti jenjang pendidikan atau masa depan karirnya dalam arena sosial. Dalam arena sosial bahasa menjadi hal yang penting. Bahasa akan menjadi efektif dalam “institusi” yang memberikan otoritas kepada penutur untuk melakukan tindakan sesuai ujaran yang diucapkan. Seseorang pelaku sosial yang mempunyai otoritas tertentu dalam sebuah institusi akan memanifestasikan otoritasnya dan memberi pengaruh ketika ia berbicara dalam situasi dan kondisi yang sesuai dengan wewenanganya.
IV. Kekerasan Simbolik Modal yang cukup berpengaruh dalam kehidupan seseorang adalah modal simbolik. Ketika pemilik modal simbolik menggunakan kekuatannya, ia akan berhadapan dengan agen/pihak yang memiliki kekuatan lebih lemah, dan karena itu si agen berusaha mengubah tindakan-tindakannya. Oleh karena itu pada akhirnya hal ini menunjukkan terjadinya kekerasan simbolik ( symbolic violence). Kekerasan simbolik adalah kekerasan yang bentuknya sangat halus, kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistensi, tapi sebaliknya malah mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial sebab bentuknya sangat halus [10]. Contohnya bisa terlihat, ketika seorang gadis membawa pacarnya ke rumah orangtua si gadis. Orangtua si gadis, yang menganggap si pemuda ini tidak pantas disandingkan dengan anak perempuan mereka, menunjukkan wajah dan tindakan dengan rasa kurang simpati. Simbol-simbol ini menyampaikan pesan bahwa si gadis tidak akan diizinkan meneruskan hubungannya dengan sang
pacar. Namun, orangtua si gadis tidak secara paksa atau eksplisit menyatakan ketidaksetujuannya. Gadis itu akhirnya merasakan kekuasaan simbolik dan sistem pemaknaan (budaya) sebagai sesuatu yang sah ( legitimate) dari pihak orang tuanya. Maka, si gadis akan merasa wajib memenuhi tuntutan orangtuanya yang tak terucapkan, tanpa memperdulikan kebaikan sebenarnya dari si pemuda pelamarnya. Gadis itu dibuat menyalahartikan atau tidak mengenali hakikat si pemuda. Lebih jauh, dengan memandang kekerasan simbolik yang dilakukan orangtuanya sebagai sesuatu yang sah. Dalam pandangan Bourdieu, hal ini dapat disebut sebagai suatu doxa atau wacana yang diterima begitu saja sebagai suatu kebenaran dan tidak dipertanyakan lagi sebab-sebabnya apalagi kebenarannya.
Doxa menjadi semacam tatanan sosial dalam suatu individu yang mapan dan terikat pada tradisi, di mana di dalamnya terdapat kekuasaan yang sepenuhnya dianggap alamiah dan tidak dipertanyakan lagi. Contoh lain doxa yang kentara dalam periklanan misalnya adalah perusahaan Coca cola yang begitu gencar mengiklankan produknya, sehingga orang sampai-sampai berpikir bahwa minuman yang modern adalah Coca cola, maka tak lengkap rasanya jika lebaran atau pesta tanpa minum minuman ini. Atau “Antangin” yang dengan berani mengiklankan “orang pintar minum tolak angin”, membuat orang menjadi gensi jika tidak minum obat ini jika ma suk angin. Pengiklanan produk ini adalah sebuah bentuk kekerasan simbolik. Pengiklanan ini secara tidak sadar kita “memaksa” untuk membeli merk terkenal atau sering diiklankan itu. Modal simbolis penggunaannya rentan jatuh pada penggunaan kekuasaan simbolik untuk mempertahankan pengakuan sosial. Kekerasan simbolik pada dasarnya adalah pemaksaan kategorikategori
pemikiran
dan
persepsi
terhadap
agen-agen
sosial
terdominasi,
yang
kemudian
menganggap tatanan sosial itu sebagai sesuatu yang “adil.” Ini a dalah penggabungan struktur tak sadar, yang cenderung mengulang struktur-struktur tindakan dari pihak yang dominan. Pihak yang terdominasi kemudian memandang posisi pihak yang dominan ini sebagai yang “benar.” Kekerasan simbolik dalam arti tertentu jauh lebih kuat daripada kekerasan fisik, karena kekerasan simbolik itu melekat dalam setiap bentuk tindakan dan struktur kognisi individual, dan memaksakan momok legitimasi pada tatanan sosial[11].
V. Catatan pada pemikiran Bourdieu
Kritik Bourdieu mengenai sekolah yang menjadi tempat reproduksi kesenjangan sosial memang sangat sangat idealis sehingga sebenar nya sulit direalisasikan. T untutan terhadap kurikulum pendidikan sangatlah tinggi karena para pembuat kebijakan harus memperhatikan kapital budaya para siswanya sehingga sekolah menjadi tempat untuk menyetarakan diri dengan kaum kelas atas. Jika hal ini terjadi memang sekolah tidak hanya menjadi mitos dalam membuka kesempatan yang sama bagi mobilitas sosial namun sebenarnya gagasan ini sangat sulit direalisasikan. Melihat pemikiran ini, nampaknya Bourdieu mempunyai impian mengenai masyarakat tanpa kelas yang masing-masing anggotanya memiliki kapital budaya yang sejajar, namun rasanya amat sulit orang miskin diterima masuk dalam golongan orang kaya. Pertanyaannya, apakah mereka dapat menyesuaikan diri dengan cara dan gaya hidup mereka. Dengan adanya teori-teori yang ditawarkan oleh Bourdieu, sebenarnya Bourdieu mengajak kita untuk bersikap kritis dan sadar selalu terhadap berbagai wacana yang mewacana dan mendominasi yang dapat. Bourdieu mengajak masyarakat untuk selalu mempertanyakan berbagai paradigma yang mentradisi atau tertanam dalam individu-individu secara turun temurun dan diterima begitu
saja
sebagai
suatu
kebenaran
tanpa
dipertanyakan
lagi
sebab-sebabnya
apalagi
kebenarannya (Doxa). Masyarakat terkadang perlu mencurigai jangan-jangan paradigma itu sudah merupakan hasil produksi dari kelas yang mendominasi. Bukan tidak mungkin bahwa mereka yang memiliki modal dengan mudah membelokan wacana untuk suatu kepentingan (politis, ekonomis, budaya, sosial kemasyarakatan) yang menguntungkan mereka. Oleh karena itu, Bourdieu sebenarnya berusaha merubuhkan dominasi dari segi-segi normative yang tidak kelihatan, yang tidak problematis karena diterima begitu saja dan menjadi suatu kebenaran yang diterim a[12]. Bourdieu berpendapat bahwa kebenaran doxa itu hanya dapat dilawan dnegan munculnya wacana yang berlawanan dengan doxa (heterodoxa). Sangat bahaya jika masyarakat tidak menaruh curiga terhadap berbagai kepentingan terselubung yang ada dalam peraturan-peraturan atau norma adat, agama, wacana atau paradigma dari kelas bermodal yang berkaitan dengan budaya, sikapsikap dan kontrol ketubuhan, etika, bahasa, sampai pada gaya hidup masyarakat dengan berbagai variablenya.
VI. Penerapan dalam Dimensi Dualitas Struktural Antony Giddens Dalam teori dimensi dualitas struktural Antony Giddens disebutkan bahwa dalam masyarakat ada 3 bentuk interaksi sosial yang dominan dan selalu ada, yakni Komunikasi, kekuasaan, dan
sanksi. Ke dalam dimensi struktural ini, kami ingin mencoba memasuk cara pikir yang digunakan oleh Pierre Bourdiou mengenai kritiknya terhadap institusi sekolah. Dalam Interaksi sosial, komunikasi yang berpola akan membentuk pemaknaan (struktur). Kualitas struktur yang dihasilkan terbentuk oleh kualitas kerangka penafsiran. Dalam pemikiran Bourdieu, yang termasuk dalam kerangka penafsiran adalah arena sosial, karena di dalamnya agen-agen saling berinteraksi sesuai dengan aturan main yang hanya berlaku dalam arena itu. Selain itu ada juga dari pihak bawah: kesempatan yang sama untuk mobilitas sosial dalam sekolah, sedangkan dari pihak atas: habitus intelektualitas yang dekat dengan budaya sekolah, posisi dalam jenjang sekolah terkenal menentukan masa depan, sistem sekolah lebih menguntungkan kelas menengah ke atas, karena budaya sekolah lebih sesuai dengan habitus yang mereka miliki. Dalam interaksi sosial, kekuasaan yang berpola dalam tempat dan waktu akan membentuk dominasi, tergantung dengan modalitas. Perlu diperhatikan di sini, bahwa dalam setiap hubungan atau interaksi sosial selalu ada dominasi. Menurut Bourdieu, dari pihak kelas bawah sebenarnya hanya memiliki sedikit saja modal yang mendukung mereka dalam interaksi sosial. Mereka yang dari kelas menengah atas memiliki beberapa modal: (1) modal ekonomi: fasilitas pendidikan (komputer, alat tulis, alat komunikasi), biaya sekolah, biaya untuk pembelian buku, fasilitas sekolah, biaya mobilitas pendidikan, biaya penelitian, biaya studi banding, pembiayaan jasa pengajar les/khursus, dll,
(2) Modal politik: pengaruh
orang
tua, rekomendasi
dari sekolah awal, dll
(3) modal
budaya: habitus intelektual, keterampilan dasar (membaca, berbicara runtut, menghitung dan pemecahan masalah), pembelajaran untuk pengembangan kepribadian dan intelektual (pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap), kekayaan bahasa (kemampuan berbicara dengan terstruktur, logis ataupun sistematis), (4) modal sosial: hubungan yang baik dengan pihak sekolah atau pihak yang mempunyai pengaruh, (5) modal ideologi: terbiasa dengan pembuatan target belajar, (6) modal
fisik: kesehatan yang lebih baik, badan yang terawat dan m enarik (untuk yang terjun dalam kecantikan). Sedangkan mereka yang dari kelas bawah: biasanya hanya mengandalkan modal
fisik (keberadaan dirinya) dan modal budaya (kemampuan intelktualitas bermutu yang memang menjadi bakat bawaannya) dalam arena sosial di mana terjadi persaingan untuk mencapai suatu posisi keberhasilan. Oleh karena itu, mereka yang dari kelas bawah sebenarnya telah terhambat sejak awal. Mereka harus berjuang keras untuk mencapai pendidikan yang bermutu, yang memang jauh dari fasilitas dan budaya. Sehingga sebenarnya kemungkinan keberhasilan sudah kecil sejak awal.
Dalam interaksi sosial ada pula yang disebut sanksi. Sanksi yang berpola dalam tempat dan waktu akan membentuk legitimasi (dasar pembenaran), namun sekali lagi tetap tergantung pada modalitas. Dalam pemikiran Bouerdieu, (1) Ideologi “bakat” meracuni masyarakat. Orang -orang berpikir bahwa dasar penentuan keberhasilan dalam persaingan di sekolah semata-mata adalah karena bakat dan kemampuan alamiah, maka tanpa sadar masyarakat melegitimasi persaingan yang ada di sekolah, misalnya dalam seleksi calon murid. Hal ini seolah-olah terlihat adil dan tak perlu lagi dipermasalahkan, masyarakat tak sadar bahwa mereka yang akan berhasil kebanyakan adalah dari masyarakat kelas atas, karena telah memiliki bekal yang kuat, yakni modal-modal yang disebutkan di atas.
Selain
itu
(2) doxa, juga
dipandang
legitimasi
karena
kebenarannya
tidak
lagi
dipertanyakan. Doxa seringkali melahirkan kekerasan simbolik, karena terkadang pihak yang dominant menggunakannya tidak untuk kepentingan bersama, melainkan kepentingannya pribadi. Misalnya saja di sekolah: terkadang Dosen menyalahkan pendapat mahasiswanya dengan berbagai macam teori-teori yag seolah-olah mendukungnya, padahal ini dilakukan demi mempertahankan posisi dan kewibawaannya sebagai seorang dosen. Mahasiswa kadang tidak berani atau bahkan mengiyakan atau setuju dengan argumen dosen, karena menganggapnya sebagai suatu materi baru dari sang dosen. Daftar Pustaka
2005
Harker, R - C. Wilkes – Cheelen Kahar (eds)., (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, diterjemahkan dari An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory , oleh Pipit Maizer, Jalasutra, Yogyakarta. Haryatmoko,
2010
Dominasi Penuh Muslihat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Jenkins, Richard., 2004
Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Widya Nugroho, Y.,
2006
Membuka Selubung Dominasi Budaya dalam Mekanisme Reproduksi Kesenjangan Sosial menurut Pemikiran Pierre Bourdieu, Skripsi Teologi, Yogyakarta. http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2320&coid=1&caid=52. http://satrioarismunandar6.blogspot.com/2009/05/pierre-bourdieu-dan-pemikirannya.html.
[1] Bagian ini disarikan dari R. Harker- C. Wilkes – Cheelen Kahar (eds), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik, diterjemahkan dari An Introduction to the Work of Pierre Bourdieu: The Practice Theory , oleh Pipit Maizer, Jalasutra, Yogyakarta, 2005, vii-xiii. [2] Sekolah yang rentang waktunya setara dengan pendidikan dasar sampai menengah.
[3] Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,Kreasi Wacana, Yogyakarta 2004, 106-108. [4] R. Harker- C. Wilkes – Cheelen Kahar (eds), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik , 13. [5] Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu,Kreasi Wacana, Yogyakarta 2004, 124. [6] Bdk. R. Harker- C. Wilkes – Cheelen Kahar (eds), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik , 14. [7] Bdk. R. Harker- C. Wilkes – Cheelen Kahar (eds), (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik , xx. [8] Bagian ini disarikan dari Haryatmoko, Dominasi Penuh Muslihat, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2010, 173-180. [9] http://www.unisosdem.org/kliping_detail.php?aid=2320&coid=1&caid=52 , diakses pada 27 Oktober 2011.
KERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN MENGURAI KEKERASAN SIMBOLIK DI SEKOLAH: SEBUAH PEMIKIRAN PIERRE BOURDIUE TENTANG HABITUS DALAM PENDIDIKAN* Oleh : Noor Rochman** Kekerasan merupakan satu istilah yang tidak asing di telinga kita dan ketika kita mendengar kata “kekerasan”, sebagian besar di antara kita akan mengarahkannya pada sebuah peristiwa yang mengerikan, menakutkan, menyakitkan, atau bahkan mematikan. Fenomena kekerasan saat ini telah mewarnai hampir seluruh aspek kehidupan sosial kita baik politik, budaya, bahkan hingga pendidikan. Masih jelas di ingatan kita berbagai kasus kekerasan terjadi disepanjang tahun ini antara lain kasus kekerasan etnik dan atas nama agama di Poso dan Lampung, kekerasan terhadap jurnalis, kekerasan terhadap anak menunjukkan bahwa kekerasan adalah masalah yang sangat serius. Kasus kekerasan berikutnya yang cukup marak adalah kasus kekerasan dalam dunia pendidikan. Menurut Nanang Martono (2012), Kekerasan atau bullying di sekolah, sering dilegitimasi dengan alasan “menegakkan disiplin” di kalangan siswa atau mahasiswa misalnya kekerasan yang dilakukan guru karena siswa tidak mengerjakan PR, ribut dikelas dan bolos serta kekerasan yang dilakukan sesama siswa saat ospek. Selain alasan menegakkan disiplin juga dapat terjadi karena motif menunjukkan rasa solidaritas, proses pencarian jati diri, serta kemungkinan adanya gangguan psikologis dalam diri siswa. Misalnya, tawuran antarpelajar yang dapat dilatarbelakangi karena siswa merasa menjadi satu golongan yang membela “teman” atau “membela sekolahnya”. Fenomena ini disebut oleh Durkheim sebagai “kesadaran kolektif” dalam kelompok siswa dimana terjadi konflik antara dua atau tiga siswa dari sekolah atau “gank” yang berbeda, dapat berimbas pada tawuran antarpelajar yang melibatkan puluhan siswa dari sekolah yang berbeda atau kelompok yang berbeda dan bisa berakibat tewasnya beberapa pelajar. Uraian di atas merupakan sebuah fenomena kekerasan fisik dan psikologis yang wujudnya mudah dikenali dan dampaknya mudah untuk diamati. Namun, banyak pihak yang tidak menyadari akan adanya bentuk kekerasan lain yang hampir selalu terjadi di sekolah setiap hari. Bentuk kekerasan tersebut adalah “kekerasan simbolik”. Konsep ini dikemukakan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Perancis. Bourdieu menggunakan konsep ini untuk menjelaskan mekanisme yang digunakan kelompok kelas atas yang mendominasi struktur sosial masyarakat untuk “memaksakan” ideologi, budaya, kebiasaan, atau gaya hidupnya kepada kel ompok kelas bawah yang dodominasinya. Rangkaian budaya ini oleh Bourdieu disebut juga sebagai habitus. Akibatnya masyarakat kelas bawah, dipaksa untuk menerima, menjalani, mempraktikan, dan mengakui bahwa habitus kelas atas merupakan habitus yang pantas bagi mereka (kelas bawah), sedangkan habitus kelas bawah merupakan habitus yang sudah selayaknya “dibuang jauh - jauh”. Banyak mekanisme atau cara yang digunakan kelompok kelas atas untuk memaksakan habitusnya, salah satunya melalui lembaga pendidikan. Mekanisme sosialisasi habitus kelompok atas ini pun dapat dijumpai dalam berbagai bentuk. Kita dapat melihat bagaimana anak-anak disekolah diwajibkan memakai sepatu, seragam, serta berbagai atribut atau cara berpakaian kelompok kelas
atas yang juga harus dilakukan kelompok kelas bawah. Dengan kata lain, siswa dari kelas bawah dipaksa untuk berbusana “layaknya” kelas atas, mereka dipaksa menerima habitus kelas atas. Riwayat Singkat Bourdieu Pierre-Felix Bourdieu lahir di Desa Denguin (Distrik Pyrenees-Atlanticues), di selatan Prancis pada 1 Agustus 1930. Ayahnya adalah seorang petugas pos desa. Ia mendapatkan pendidikan Lycée (SMA) di Pau, sebelum pindah ke Lycée Louis-le-Grand di Paris, dan akhirnya masuk ke Ecole Normale Supérieure. Bourdieu belajar filsafat bersama Louis Althusser di Paris diEcole Normale Supérieure pada tahun 1951. Setelah lulus, ia bekerja sebagai guru Lycée di Moulins dari 1955 sampai 1958, ketika ia bergabung dengan dunia militer dan dikirim ke Aljazair. Pada 1958 ia menjadi pengajar di Universitas Aljazair. Pada 1960, ia kembali ke Universitas Paris mengajar sampai 1964. Bourdieu memegang jabatan Direktur Kajian di École Pratique des Hautes Études (yang kemudian menjadi École des Hautes Études en Science Sociales), di seksi Vie sejak 1964 dan seterusnya. Sejak 1981, ia menjabat ketua jurusan Sosiologi di Collége de France, di seksi Vie. Di Prancis, ia mendirikan Centre for the Sociology of Education and Culture . Dia sudah menulis beberapa buku, antara lain Sociologie de l’Algérie (1958; The Alge rians, 1962), La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique (1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998). Tema-tema bukunya berkisar kritik terhadap konsep sekaligus praktek ekonomi neoliberal, globalisasi, elitisme intelektual, dan televisi. Bourdieu menikah dengan Marie-Clarie Brizard pada 1962 dan memiliki tiga orang putra. Ia meninggal karena kanker pada usia 71 tahun pada 23 Januari 2002. Konsep Dasar Bourdieu Bourdieu merupakan sosiolog yang pemikirannya banyak diwarnai dengan ide-ide filosofis. Berikut ini beberapa konsep-konsep yang nantinya sangat bermanfaat untuk menjelaskan makna kekerasan simbolik yang kemudian dikaitkan dengan konsep pendidikan dan sekolah. 1. Modal Bourdieu memaknai modal bukan hanya dimaknai modal semata-mata sebagai modal yang berbentuk materi, melainkan modal merupakan sebuah hasil kerja yang terakumulasi (dalam bentuk yang “terbendakan” atau bersifat “menumbuh”-terjiwai dalam diri seseorang). Bourdieu menyebut istilah modal sosial ( social capital ), modal budaya (cultural capital ), modal simbolik ( symbolic capital ). Modal sosial menunjuk pada sekumpulan sumberdaya yang aktual atau potensial yang terkait dengan pemilikan jaringan hubungan saling mengenal dan/atau saling mengakui yang memberi anggotanya dukungan modal yang dimiliki bersama. Modal sosial dapat diwujudkan dalam bentuk praktis seperti pertemanan, dan bentuk terlembagakan terwujud dalam keanggotaan kelompok yang relatif terikat seperti keluarga, suku, sekolah. Modal budaya merujuk pada serangkaian kemampuan atau keahlian individu, termasuk di dalamnya adalah sikap, cara bertutur kata, berpenampilan, cara bergaul, dan sebagainya. Modal simbolik merupakan sebuah bentuk modal yang berasal dari jenis yang lain, yang disalahkenali bukan sebagai modal yang semena, melainkan dikenali dan diatur sebagai sesuatu yang sah dan natural. Modal simbolik ini berupa pemilihan tempat tinggal, pemilihan tempat wisata, hobi, tempat makan, dan sebagainya. Menurut Bourdieu modal simbolik merupakan sumber kekuasaan yang krusial. 2. Kelas Secara khusus Bourdieu mendefinisikan kelas sebagai kumpulan agen atau aktor yang menduduki posisi-posisi serupa dan ditempatkan dalam kondisi serupa serta ditundukkan atau diarahkan pada pengondisian yang serupa. Menurut Bourdieu setiap kelas memiliki sikap, selera, kebiasaan, perilaku atau bahkan modal yang berbeda. Bourdieu membedakan kelas menjadi tiga. Pembedaan ini sekali lagi didasarkan pada faktor pemilihan modal tadi. Pertama, kelas dominan, yang ditandai oleh pemilikan modal yang cukup besar. Individu dalam kelas ini mampu mengakumulasikan berbagai modal dan secara jelas mampu membedakan dirinya dengan orang lain untuk menunjukkan identitasnya. Kelas dominan juga mampu memaksakan identitasnya kepada kelas lain. Kedua, kelas borjuasi kecil. Mereka diposisikan ke dalam kelas ini karena memiliki kesamaan sifat dengan kaum borjuasi, yaitu mereka memiliki keinginan untuk menaiki tangga sosial, akan tetapi mereka menempati kelas menengah dalam struktur masyarakat. Mereka dapat dikatakan akan lebih banyak melakukan imitasi terhadap kelas dominan. Ketiga, kelas populer. Kelas ini merupakan kelas yang hampir tidak memiliki modal, baik modal ekonomi, modal budaya maupun modal simbolik. Mereka berada pada posisi yang cenderung menerima dominasi kelas dominan, mereka cenderung menerima apa saja yang dipaksakan kelas dominan. 3. Habitus
Konsep habitus bukanlah konsep yang diciptakan Bourdieu. Bourdiue hanya memperluas kembali konsep habitus yang dikemukakan Marcel Mauss, Norbert Elias, Max Weber, Durkheim, Hegel, dan Edmund Husserl dengan istilah yang berbeda namun memiliki makna yang sama. Pada awalnya, habitus diistilahkan dengan hexis, kemudian diterjemahkan Thomas Aquinas ke dalam bahasa Latin dengan istilah habitus. Habitus juga dapat dirumuskan sebagai sebuah sebagai sebuah sistem disposisi-disposisi (skema-skema persepsi pikiran, dan tindakan yang diperoleh dan bertahan lama). Habitus juga merupakan gaya hidup ( lifestyle), nilai-nilai (values), watak ( dispositions), dan harapan (expectation) kelompok sosial tertentu. Sebagian habitus dikembangkan melalui pengalaman. Bourdieu merumuskan konsep habitus sebagai analisis sosiologis dan filsafati atas perilaku manusia. Dalam arti ini, habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis (Reza A.A Wattimena: 2012). Setiap kelas akan memiliki habitus yang berbeda-berbeda. Habitus inilah yang kemudian dipaksakan kelas dominan kepada kelas terdominasi. Kelas dominan akan selalu memaksakan habitusnya melalui berbagai mekanisme kekuasaan. 4. Kekerasan dan Kekuasaan Menurut Bourdieu, kekerasan berada dalam lingkup kekuasaan. Hal tersebut berarti kekerasan merupakan pangkal atau hasil sebuah praktik kekuasaan. Ketika sebuah kelas mendominasi kelas yang lain, maka di dalam proses tersebut akan menghasilkan sebuah kekerasan. Untuk menjalankan aksi dominasi melalui kekerasan ini, kelas dominan selalu berupaya agar aksinya tidak mudah dikenali. Mekanisme kekerasan yang dilakukan kelas dominan dilakukan secara perlahan namun pasti, sehingga kelas dominan tidak sadar bahwa dirinya menjadi objek kekerasan. Dengan demikian, kelas dominan memiliki kekuasaan yang digunakan untuk mendominasi kelas yang tidak beruntung, kelas tertindas. Mekanisme kekerasan seperti inilah yang kemudian disebut sebagai kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting dalam ide teoretis Bourdieu. Makna konsep ini terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi realitas yang diinternalisasikan kepada aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah, bahkan makna sosial tersebut kemudian dianggap benar oleh aktor lain tersebut. Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” yang dimiliki menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”. Proses ini menurut Bourdieu dap at dicapai melalui proses inkalkulasi atau proses penanaman yang berlangsung secara terus-menerus. Sekolah sebagai Arena Terjadinya Kekerasan Simbolik Pendidikan bagi Bourdieu, hanyalah sebuah alat untuk mempertahankan eksistensi kelas dominan. Sekolah pada dasarnya hanya menjalankan proses reproduksi budaya ( cultural reproduction), sebuah mekanisme sekolah, dalam hubungannya dengan institusi yang lain, untuk membantu mengabadikan ketidaksetaraan ekonomi antargenerasi. Kelas dominan mempertahankan posisinya melalui apa yang disebut Illich- hidden curriculum, sekolah memengaruhi sikap dan kebiasaan siswa dengan menggunakan budaya kelas dominan. Kelas dominan memaksakan kelas terdominasi untuk bersikap dan mengikuti budaya kelas dominan melalui sekolah. Sekolah hampir selalu menerapkan budaya kelas dominan dalam aktivitasnya. Siswa dari latar belakang kelas bawah (kelompok minoritas di sekolah) mengembangkan cara berbicara dan bertindak yang biasa digunakan kelas dominan atau yang biasa diistilahkan Bourdieu dengan habitus. Sekolah-sekolah menurut Bourdieu merupakan tempat untuk menyosialisasikan habitus kelas dominan sebagai jenis habitus yang alami dan memosisikan habitus kelas dominan sebagai satusatunya habitus yang tepat dan paling baik serta memperlakukan setiap anak (siswa) seolah-olah mereka memiliki akses yang sama kepada habitus tersebut. Menurut Bourdieu: … budaya elite begitu dekat dengan budaya sekolah, sehingga anak -anak dari kelas menengah ke bawah hanya dapat memperoleh sesuatu yang diberikan kepada anak-anak dari kelaskelas terdidik –gaya, selera, kecerdasan- dengan usaha yang sangat keras. Pendeknya, berbagai sikap dan kemahiran yang kelihatannya natural dalam anggota kelas terdidik dan yang lazimnya diperkirakan datang dari mereka, tepatnya karena sikap-sikap dan kemahiran itu adalah budaya kelas tersebut. Dengan cara ini, habitus kelas dominan ditransformasikan menjadi bentuk modal budaya yang diterima begitu saja oleh sekolah-sekolah dan bertindak sebagai alat seleksi yang paling efektif dalam proses-proses reproduksi sebuah masyarakat yang hierarkis. Mereka yang memiliki habitus
yang sesuai (dengan habitus kelas dominan) akan menerima keberhasilan, sementara mereka yang tidak mampu menyesuaikan habitusnya, akan mengalami kegagalan. Agar kelas bawah dapat mengalami keberhasilan, maka ia harus melakukan –apa yang disebut- proses borjuasi, meniru habitus kelas dominan. Habitus kelas dominan selalu diposisikan sebagai habitus yang paling baik dan paling sempurna. Pernyataan di atas semakin menunjukkan bahwa sekolah akan selalu menciptakan ketidaksetaraan sosial dalam masyarakat. Bagaimanapun juga, meskipun sistem pendidikan memberikan akses seluas-luasnya bagi semua kelas, namun sistem ini tetap tidak akan menguntungkan bagi kelas bawah. Hal ini dikarenakan kelas dominan memiliki modal budaya yang jauh melebihi kapasitas kelas bawah. Bagi Bourdieu, peserta didik dari kelas dominan lebih diuntungkan karena memiliki modal budaya. Mereka beruntung berkat asal keluarga yang memungkinkan mendapatkan kebiasaan budaya (membaca, menulis, diskusi), latihan-latihan dan sikap yang langsung membuat mereka lebih siap bersaing di sekolah. Mereka juga mewarisi pengetahuan dan keterampilan, serta selera yang sangat mendukung pengembangan budaya yang dituntut oleh sistem pendidikan di sekolah. Privilese budaya ini mengemuka karena familiaritas mereka dengan karya-karya seni dan sastra berkat kunjungan teratur mereka ke museum, nonton teater dan konser serta kegiatan sejenis lainnya. Sebaliknya, peserta didik yang berasal dari kelas bawah, satu-satunya akses ke buaya luar adalah sekolah. Bagi lapisan kelas bawah sekolah merupakan bentuk akulturasi budaya. Perilaku di dalam budaya universitas mengandaikan isi dan modalitas proyek profesional yang merupakan budaya kelas dominan. Pengajaran budaya mengandaikan corpus pengetahuan, keterampilan termasuk dalam cara berbicara atau bertutur kata yang biasanya dimiliki kaum terdidik. Kebiasaan membaca tumbuh di perpustakaan rumah, modal budaya berkembang dengan pembiasaan melihat pertunjukan-pertunjukan pilihan yang berkualitas. Kemampuan percakapan yang bersifat alusif yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang terdidik berkembang dalam kalangan sosial tertentu. Warisan budaya seperti itu biasanya diwariskan secara tidak langsung, penuh diskresi, bahkan dapat dikatakan tanpa upaya metodis atau tindakan yang kelihatan karena telah menjadi bagian dari habitus kalangan terdidik. Untuk itu, tidak mengherankan bila bagi kalangan elite, pendidikan merupakan kelanjutan kelangsungan pewarisan budaya dan bagian dari strategi kekuasaan, sedangkan untuk kelas miskin sekolah merupakan simbolisasi akses ke kalangan elite. Sekolah menjadi satu-satunya alat yang mampu menjanjikan harapan keberhasilan sosial, sedangkan untuk kalangan atas sistem pendidikan menjamin pelanggengan privilesemereka. Selain itu, sekolah juga beroperasi dalam batasan-batasan habitus tertentu, akan tetapi sekolah juga bereaksi terhadap kondisi eksternal yang berubah-ubah. Sekolah selalu beradaptasi dengan kondisi di luar dirinya, seperti menyesuaikan diri dengan kondisi sosial, ekonomi, politik, perkembangan teknologi yang turut memengaruhi kinerja dan fungsi sekolah. Sekolah menawarkan berbagai “fungsi” positif yang dinilai berpihak pada kelas bawah, akan tet api sebenarnya fungsi-fungsi tersebut tidak jauh bedanya sebagai fungsi mempertahankan dominasi kelas atas yang dominan. Ketika tenaga ahli banyak dibutuhkan dalam dunia kerja, maka sekolah pun berlomba-lomba memberikan keterampilan bagi individu dari kelas bawah, seperti kursus komputer, menjahit, bahasa asing, perbankan, dan sebagainya. Individu kelas bawah tersebut sebenarnya digiring untuk mengikuti habitus kelas dominan, mereka diciptakan untuk melayani kelas dominan guna memenuhi kebutuhan akan kelas pekerja. Individu kelas bawah diciptakan untuk menjadi kelas bawah pula dalam dunia kerja. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah lebih banyak menyediakan habitus kelas dominan. Kegiatan les piano atau les-les musik yang ditawarkan lebih banyak berpihak pada selera, keinginan, kegemaran, atau bahkan bakat yang dimiliki kelas dominan. Sekolah-sekolah menawarkan kegiatan belajar tambahan, seperti les mata pelajaran bagi siswanya, tentu saja dalam hal ini adalah siswa yang memiliki materi yang lebih, sehingga mampu membayar biaya les tambahan. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar yang menawarkan berbagai cara praktis dalam mengerjakan soal ujian mengindikasikan masih kurangnya materi yang disampaikan guru di sekolah. Pemisahan materi ini, bahkan merupakan proses yang disengaja untuk memaksa siswa mengikuti kegiatan pelajaran tambahan ini. Artinya, secara tidak langsung siswa yang berasal dari kelas bawah tidak akan mampu mendapatkan materi pelajaran secara penuh, karena sebagaian materi yang lain akan disampaikan melalui bimbingan belajar. Siswa dari kelas bawah juga tidak akan mendapatkan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian. Sekali lagi, cara-cara ini hanya akan diperoleh bila siswa mengikuti bimbingan belajar yang tentu saja berbiaya mahal. Dengan demikian, sekolah telah menjadi tempat yang paling strategis untuk berlangsungnya praktik-praktik kekerasan simbolik. Proses ini terjadi ketika siswa dari kelas bawah secara tidak sadar dipaksa untuk menerima semua habitus kelas dominan melalui, misalnya, berbagai peraturan sekolah
yang hanya mengakomodasi kelas habitus kelas dominan, memberikan materi, baik melalui kurikulum formal maupun kurikulum tersembunyi yang sekali lagi tidak pernah disadari siswa kelas terdominasi: melalui kurikulum, melalui bahasa, melalui kegiatan ekstrakurikuler, dan mekanisme lainnya. Setiap hari mereka selalu “dikenalkan” dengan habitus kelas dominan, mereka dikenalkan dengan budaya, kebiasaan, gaya hidup, selera, cara berpakaian, cara bersikap, cara berperilaku, cara bertutur kata, cara bertindak “yang baik” menurut kelas dominan. Akan tetapi, mereka selalu menganggap hal tersebut sebagai sebuah keharusan, sebuah hal biasa yang sudah diatur “dari sananya”, sehingga mereka pun akhirnya menerima habitus kelas dominan dengan lapang dada. Padahal di sisi lain, mereka tidak sadar bila habitus mereka telah diinjak-injak, dicampakan, dibuang, dianggap sebagai habitus yang tidak berguna di sekolah. Habitus mereka tidak boleh dibawa di sekolah; di sekolah mereka harus berperilaku layaknya kelas dominan. Mereka harus mengenakan berbagai atribut yang notabene bukanlah habitus mereka: berdasi, bersepatu, mereka juga dipaksa berseragam (meskipun mereka tidak mampu membeli seragam dan sepatu), dan lebih parah lagi, warna dan jenis sepatu pun sering kali diatur sedemikian rupa-warna sepatu harus hitam; ketika pelajaran olahraga, siswa harus memakai sepatu khusus olahraga.
Referensi : Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah; Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu . Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Kritis bersama Pierre Wattimena, Reza A.A. 2012. Berpikir Bourdieu.http://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierrebourdieu/ diakses tanggal 13 Oktober 2012