BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas Blok PDSKE tentang terapan nilai-nilai spiritual, kemanusiaan dalam dunia kedokteran. Dalam pembelajaran kedokteran ini nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual sangat dibutuhkan karena dokter harus mempunyai nilai-nilai tersebut. Tanpa nilai-nilai tersebut nilai-nilai etik dalam kedokteran akan terabaikan dan bisa disalahgunakan sehingga bisa merugikan umat manusia. Selain itu nilai spiritual dan kemanusiaan sangat diperlukan dokter karena selain pelayanan medis yang diberikan dokter seharusnya juga bisa memberi pelayanan spiritual kepada pasien agar terjadi keseimbangan antara kesehatan fisik dan mental pasien. 1.2 Rumusan Masalah
1. Apa saja potensi yang ada pada diri manusia? 2. Apakah nilai spiritual itu? 3.Apakah nilai kemanusiaan itu? 4. Apa hubungan spiritual dengan kesehatan jiwa? 5. Apa saja macam-macam pengaplikasian nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual dalam dunia kedokteran? 1.3 Tujuan Penulisan
Makalah ini dibuat selain untuk memenuhi tugas Blok PDSKE juga bertujuan untuk mengetahui guna dan manfaat dari nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan pada dunia kedokteran baik untuk mendukung profesi kedokteran dan pengobatan. 1.4 Manfaat Penulisan
Meyumbangkan sedikit pengetahuan kepada masyarakat khususnya yang bergerak dalam bidang kesehatan agar mengetahui peranan nilai-nilai kemanusian dan spiritual dan diharapkan bisa diterapkan dalam dunia kedokteran.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Potensi Manusia 2.1.1 Kecerdasan Intelektual (IQ)
Secara umum IQ mencakup pada aspek; Logic-Matematik dan Linguistik-Verbal. Kecerdasan inteligensi
yang
selalu
diberdayakan
akan
membantu
seseorang
dalam
memahami,
menganalisis,berbicara, menghitung dan bepikir. (IQ) terletak di lapisan otak yang disebut NEUCORTEX. Kecerdasan IQ tidak bisa ditingkatkan atau diubah lagi. Semisal bila IQ kita 115 maka ketika sudah tua nanti IQ kita juga akan sama. Tapi perlu dipahami bahwa, berdasarkan penelitian kecerdasan IQ hanya bisa mengantarkan orang-orang pada keberhasilan hidup maksimal 20%. Maka kita perlu menggali potensi kecerdasan emosional. 2.1.2 Kecerdasan Emosional (EQ)
banyak contoh dimasyarakat orang yang mempunyai kecerdasan intelektual rendah justru lebih sukses dalam kehidupannya dibanding orang yang mempunyai tingkat intelektual yang lebih tinggi. Tapi pada kenyataannya sistem pendidikan kita masih berpusat pada IQ, padahal kecerdasan emosional juga sangat dibutuhkan. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan,memahami,dan bersikap dalam menghadapi suatu masalah . Kecerdasan emosional terdapat pada sistem limbik yang berfungsi mengendalikan perasaan manusia. Apabila kita bisa mengendalikan, memahami dan bersikap dengan baik dalam menghadapi suatu masalah keberhasilan pun Insyaallah akan mudah dicapai. 2.1.3 Kecerdasan Spiritual (SQ)
Kecerdasan spiritual merupakan temuan terkini secara ilmiah, yang pertama kali digagas oleh Danah Zohar dan Ian Marshall, masing-masing dari harvard university dan oxford university. kecerdasan spiritual terletak pada lapisan otak God Spot. Kecerdasan spiritual sangat dibutuhkan manusia dalam kehidupan ini agar terjadi keseimbangan vertikal dan horizontal. Hubungan antara kita dengan Tuhan perlu ditumbuhkan agar manusia memahami hakikat kehidupan ini. “ Tidakkah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembahKu”(QS Azzariyat:56)
Jadi manusia harus mempunyai mening dan value dalam setiap langkah hidupnya. Tidak hanya berkualitas prima, berkesesuaian dengan masyarakat tetapi juga harus memahami makna dan hakikat kehidupan. 2.2 Nilai-Nilai Spiritual
Spiritual bagi seseorang merupakan kebutuhan dan kewajiban karena sebagai fitrah manusia dan sebagai pelaksanaan perjanjian fundamental antara manusia dan Tuhan di alam ruh. Sebagaimana Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) :” Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan :”Sesungguhnya kami (keturunan adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”(Q.7:172). Secara fitrah manusia memiliki kesiapan untuk bertauhid, mendekatkan diri kepada Tuhan, kembali kepada Tuhan, meminta pertolongan Tuhan, ketika dihadapkan dalam suatu masalah termasuk sakit. Apabila seseorang dinyatakan sakit sering menimbulkan keguncangan mental dan spiritual. Dengan santunan spiritual akan dapat menyebabkan kembali kepada Allah dan ingat Allah (dzikrullah).
Dengan
dzikrullah
dapat
menjadi
tenang
dan
tenteram.
Keberhasilan santunan spiritual dipengaruhi oleh dua hal yaitu titik Tuhan (god spot) dan suara hati spiritual. Suara hati spiritual akan mempengaruhi emosi terkendali dan tidak terkendali. Emosi terkendali
menghasilkan
pikiran
merasa
tenang
dan
tentram.
Dengan santunan spiritual paling tidak pasien mengetahui bahwa sakit merupakan cobaan dari Allah dan Allahlah yang menyembuhkan. Hubungan nilai-nilai spiritual dengan kesehatan jiwa
Seseorang mempunyai kondisi jiwa yang sehat karena perasaan, pikiran dan fisik juga sehat. Selain itu nilai-nilai spiritual juga sangat berpengaruh pada kesehatan jiwa karena ia tidak akan mengalami goncangan-goncangan, kekacauan jiwa, ataupun penyakit kejiwaan seperti kegilaan, stress, frustasi. Sebagai contoh seorang siswi yang diputus oleh pacarnya dan dia sangat terpukul atas kejadian itu. Karena tidak kuat menahan emosinya dia akhirnya mengakhiri hidupnya. Ini bukti kalau tingkat spiritualnya rendah, mudah terombang ambing keadaan, tidak mempunyai mental yang kuat dalam menghadapi suatu masalah karena dia tidak memiliki pedoman hidup.
Bila spiritual seseorang kuat maka jiwanya pun akan sehat karena ia memiliki keyakinan dalam menghadapi suatu permasalahan sehingga ia bisa mengatasi permasalahannya dengan baik tanpa menimbulkan gangguan kejiwaan yang berat. 2.3 Nilai-Nilai Kemanusiaan dalam kedokteran
Berbicara tentang nilai kemanusiaan berarti berbicara tentang beberapa aspek yang memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika, kebudayaan dan
perilaku.
Humanisme
sendiri
adalah
aliran
yang
bertujuan
menghidupkan
rasa
perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu. Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini selalu menjadi jargon seorang dokter. Etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, hak teman sejawatnya maupun hak orang lain. Bila dikaitkan dengan kebudayaan, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap dokter dalam menjalani kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan. Nilai-nilai kemanusiaan ini diharapkan bisa diterapkan dalam praktek kedokteran, pelayanan kesehatan, pendidikan kedokteran, penelitian sehingga ilmu kedokteran bisa memberi pelayanan optimal kepada masyarakat tanpa adanya penyimpangan-penyimpangan ataupun penyalahgunaan ilmu-ilmu kedokteran untuk hal-hal yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. 2.4 Pendekatan Kemanusiaan dan Spiritual dalam Dunia Kedokteran Pendekatan spiritual di Rumah Sakit
Rumah sakit berkewajiban memberi pelayanan kesehatan. Pelayanan diwujudkan dengan upaya penyembuhan pasien(kuratif), pemulihan pasien(rehabilitatif), yang ditunjang dengan upaya peningkatan kesehatan(promotif) dan pencegahan penyakit(preventif) secara menyeluruh dengan pendekatan biopsikososiospiritual sebagaimana telah disebutkan oleh WHO. Dalam hal ini spiritual menjadi kebutuhan yang perlu dalam pelayanan Rumah Sakit. Pendekatan spiritual disini berfokus pada tujuan dan arti hidup manusia dan hubungannya kepada Tuhan. Pasien dan keluarga pasien diajak untuk lebih siap menerima kondisi yang terjadi. Di RS Al Islam Bandung teknis pelaksanaan pendekatan spiritualnya dilakukan dengan membekali perawat dan tenaga kerohanian dengan tiga buku pegangan, yakni SKP (Santunan Kerohanian Pasien), TIP (Tuntunan Ibadah Pasien), dan BSM (Bimbingan Sakaratul Maut) bagi pasien-pasien terminal. Dengan demikian, pasien akan tetap melaksanakan ibadahnya sesuai dengan ketiga buku pedoman itu walaupun mereka sedang sakit.
Untuk kunjungan dan bimbingan kerohanian ini, dilakukan dua kali dalam sehari, pagi dan sore. Sebanyak 209 pasien yang dirawat selama tiga bulan di Ruang Perawatan Firdaus III RS Al Islam Bandung rata-rata mengalami penurunan tingkat kecemasan. Mereka dapat melaksanakan ibadah sesuai dengan kadar kemampuannya dan cenderung tenang. Mereka tidak mengalami stress (kecemasan) seperti pada pasien yang tidak termasuk pilot project program tersebut. Euthanasia dalam praktik kedokteran
Di zaman modern ini banyak permasalahan-permasalahan manusia karena kemajuan teknologi yang semakin canggih sehingga nilai-nilai kemanusiaan semakin tergeser. Diantara semua permasalahan ini euthanasia salah satunya. Euthanasia adalah pengakhiran hidup manusia karena berbagai pertimbangan untuk mengakhiri penderitaan pasien dan meringankan beban keluarganya atas penyakit yang tidak kunjung sembuh. Euthanasia menjadi topik yang masih diperdebatkan di dunia ini karena selain mencakup sisi medis tetapi juga kemanusiaan, sosial, agama dan yuridis yang masih menimbulkan rasa ketidakpuasan, dan belum dapat menjawab secara tepat dan objektif. Hak untuk hidup adalah hak yang paling asasi bagi semua mahluk, lebih-lebih bagi manusia. Seperti yang telah disebutkan dalam pernyataan umum hak-hak manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada Pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak akan hidup, akan
kemerdekaan da keamanan bagi dirinya. Berhubungan dengan pasal tersebut ada kaitannya, yakni beberapa pasal dalam UUD 1945 yang memuat hak-hak asasi manusia, yaitu seperti hak setiap warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat, berhak hidup sejahtera lahir dan batin, hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, dan masih banyak ketentuan UUD 1945 yang mengatur hak-hak manusia. Menyinggung masalah hak-hak asasi manusia, maka akan terlintas dalam pikiran kita bahwa hak untuk hidup adalah termasuk di dalamnya. Timbul suatu pertanyaan bagaimana hak untuk hidup bila dikaitkan dengan masalah euthanasia. Dengan pengertian lain seorang dokter, umumnya tenaga kesehatan memang menghadapi yang menempatkan seorang pasien menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan lagi. Misalnya saja seorang penderita kanker pada stadium yang sudah parah yang kondisinya sangat menderita, baik secara fisik, batin maupun materi. Melihat kondisi demikian ini, baik keluarga pasien maupun dokter yang merawatnya terkadang tidak tega, sehingga akhirnya sama-sama sepakat untuk mempercepat kematiannya yaitu dengan jalan memberikan obat dengan dosis
yang
berlebihan.
Keadaan
demikian
inilah
yang
disebut
dengan
euthanasia.
Belum jelasnya dasar hukum euthanasia menjadikan perdebatan berbagai pihak tetapi yang jelas euthanasia
dari
segi
nilai-nilai
kemanusaiaan
sangat
betrentangan
karena
telah merampas kebebasan untuk hidup seseorang dan hak untuk mempertahankan hidupnya. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan
Permasalahan-permasalahan dalam dunia kedokteran begitu kompleks. Tidak hanya penanganan medis saja yang diperlukan dalam pengobatan pasien tetapi aspek spiritual juga sangat diperlukan karena keseimbangan kesehatan antara jiwa dan fisik manusia harus berimbang. Seperti kata pepatah “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat”. Maka dari itu selain kemampuan medis dalam dunia kedokteran juga dibutuhkan pendekatan spiritual dalam pembelajarannya. Dalam kedokteran tidak lepas dari nilai kemanusiaan karena dokter dihasilkan untuk pengabdian dan kemanusiaan. Nilai-nilai seperti hubungan dengan pasien, keluarga pasien, teman sejawat sangat diperlukan agar terjalin hubungan yang harmonis sehingga dapat menghasilkan pelayanan yang
prima. Selain itu nilai-nilai kemanusiaan sangat diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan, penyimpangan dan batasan-batasan moral dalam ilmu kedokteran. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai spiritual dan kemanusaiaan sangat diperlukan dalam dunia kedokteran agar tercipta pelayanan kesehatan yang prima tanpa mengesampingkan kebutuhan dasar manusia dan kode etik kedokteran. Daftar Pustaka
http://nurulkawakibblog.blogspot.com/2009/04/urgensi-pendekatan-spiritual-di-rumah.html http://arisk-privacy87.blogspot.com/2009/03/kesehatan-mental.html http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=99921 http://jelita249.blogspot.com/2009/08/euthanasia-dalam-praktek-kedokteran.html http://shulhana.wordpress.com/ http://74.125.153.132/search?q=cache:GA9gTOnPZwUJ:www.unp.ac.id/downloads/pkmb08/bab8.pdf+pengertian+IESQ&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id UU Kesehatan nomor 36/2009 mendefenisikan kesehatan sebagai ‘keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap or ang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis’. Bandingkan dengan defenisi kesehatan menurut UU kesehatan nomor 23/1992 yang mendefenisikan kesehatan sebagai ‘keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi’. Dalam rentang waktu 7 tahun terdapat perubahan pemikiran dalam mendefenisikan kesehatan, yakni dengan memasukkan aspek spiritual sebagai bagian dari defenisi sehat. Dengan demikian, jika dipenggal, maka akan ada 1)sehat fisik, 2)sehat mental, 3) sehat spiritual dan 4) sehat sosial. Sehat fisik, sehat mental dan sebagian kesehatan sosial. Kesehatan Spritual
Sampai saat ini kesehatan spiritual belum jelas tentang definisi dan penjabarannya. Dalam tulisan Dr dr Taufiq Pasiak MKes MPd, Kesehatan Spiritual dan Kesehatan Otak, beliau pernah melakukan riset kecil-kecilan tentang pendapat tenaga medis secara umum tentang spiritual. Hasilnya beliau kelompokkan dengan tujuh pendapat tentang spritualitas tersebut, yakni; Pertama, Spiritualitas adalah berdoa dan bersembahyang. Kedua, Defenisi spiritualitas t idak jelas, apakah ini berbeda dengan agama, Ketiga, kesehatan spiritual adalah istilah baru yang belum dikenal, K eempat, apakah ada bukti ilmiah bahwa spiritual berpengaruh terhadap kesehatan, Kelima, kesehatan spiritual adalah kegiatan mistik dalam pengobatan, K eenam, Siapa yang akan melaksanakan kesehatan spiritual ini, bagaimana melaksanakannya, bukankah sudah cukup jika ruhaniwan yang mengurusnya, bagaimana caranya ia akan masuk ke dalam ilmu kedokteran, apakah spiritualitas itu sama dengan mental, sehingga cukup menjadi urusan ilmu kedokteran jiwa (psikiatri)?, Ketujuh, ilmu kedokteran itu berurusan dengan hal-hal yang nyata sedangkan spiritualitas itu tidak nyata alias gaib.
Dalam perkembangan pengetahuan lain, Ari Ginanjar pernah memperkenalkan kecerdasan spiritual dengan best sellernya buku ESQ (Emotional Spritual Question), beliau hanya menitik beratkan adanya kecerdasan secara spiritual, tidak menjelaskan sehat secara spiritual. Beliau menjabarkan jika selain kecerdasan emosional sebagai kunci menuju kesuksesan duniawi maka dibutuhkan kecerdasan spiritual untuk menjawab perasaan kosong dan hampa dalam celah batin manusia. Setelah prestasi puncak dicapai, kepuasaan kebendaan telah diraih, setelah uang hasil jerih payah berada dalam genggaman, manusia tak tahu lagi kemana harus melangkah hingga tak tahu dan mengerti untuk apa ia hidup dan dimana harus berpijak. Secara umum beliau menunjukkan jika aspek spiritual ini adalah konsep pasti dalam mengisi kekosongan batin sang jiwa. Penegasan ESQ tersebut hanya menitik beratkan bagaimana sebagai manusia mampu bertindak dengan menyeimbangkan antara duniawi dan akhirat yang berlaku secara universal bagi seluruh manusia. Dari semua penjelasan para ahli tersebut, maka sepantasnyalah spiritual perlu dikaji dari aspek kesehatan. Minimal memberi definisi yang pasti tentang kesehatan spiritual seperti dalam amanat UU kesehatan. Hal itulah yang dijelaskan oleh Taufiq Pasiak bahwa melalui Centre for Neuroscience, Health and Spirituality (C-NET) di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dikembangkanlah sebuah alat periksa kesehatan berkaitan dengan spiritualitas. Asesmen i ni dinamakan Indonesia Spritual Health Assessment (ISHA) yang merupakan implementasi dari kesehatan spiritual. Implementasi lain berupa rekam medis spiritual yang diujicobakan di RSIJ, hal ini memberikan sedikit cahaya bahwa tak semua kalangan medis alergi atau menolak mengintegrasikan spiritualitas ke dalam ilmu kedokteran. Kemutlakan Spritualitas
Walaupun belum ada definisi yang jelas tentang kesehatan spiritual itu sendiri dalam terjemahan implementatifnya, tapi sebagai manusia yang beragama maka nilai-nilai spiritual itu telah melekat pada setiap manusia pada saat dia akan dilahirkan. Dalam logika sederhana menunjukkan jika tidak ada manusia yang tidak berTuhan, bahkan orang ateis pun jika diterjemahkan secara bahasa a-tidak teis-Tuhan malah sesugguhnya semakin menunjukkan eksistensi keTuhanan pada dirinya, darimana dia mengenal kata Tuhan jika tidak mengenal Tuhan sebelumnya. Tuhan dalam wahyunya dengan tegas menyebut jika sebelum proses penciptaan manusia ada transaksi yang terjadi antara manusia dan Tuhan. Dalam bahasa Nurckholis Madjid disebut sebagai perjanjian primordial. QS: 7 : 172, “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anakanak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)". Wahyu inilah yang menurut para ulama dan cendekiawan muslim sebagai bukti akan adanya kontrak antara manusia dan Tuhan sebelum lahir di bumi ini, yaitu manusia melakukan persaksian kepada Tuhan. Ada beberapa esensi penting yang perlu dalam menilai spiritual itu, yakni spiritual adalah nilai kemanusiaan sebagai mahluk yang cenderung berTuhan dan butuh dengan Tuhan (agama). Untuk menuju kesuksesan dunia dan akhirat maka potensi fisik dan potensi jiwa (ruh) harus seiring dan sejalan sebagai khalifah dimuka bumi ini. Manusia yang bertugas memakmurkan bumi ini dengan kecerdasan intelektual dan emotional maka mampu mengelola alam ini serta berperilaku baik kepada sesama manusia (hablumminallah hablumminannas). Jika terjadi ketidak seimbangan antara dunia dan akhirat, itulah yang menjadi potensi ketidaknormalan seorang manusia yang boleh jadi sebagai wujud sakitnya spiritual. Keadaan inilah dalam perspektif penulis sebagai keadaan sehat
secara spiritual dalam UU kesehatan, yaitu kondisi masyarakat Indonesia mempercayai kehadiran Tuhan seperti dalam Ideologi Pancasila sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa. Semoga Bermanfaat.(tribunews.com)
I.
PENDAHULUAN
A. Deskripsi
Humaniora merupakan suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari segala hal yang diciptakan atau menjadi perhatian manusia baik itu ilmu filsafat, hukum, sejarah, bahasa, teologi, sastra, seni dan lain sebagainya. Atau makna intrinsik nilai-nilai kemanusiaan (Kamus Umum Bahasa Indonesia). Dalam bahasa Latin, humaniora artinya manusiawi. Menurut Martiatmodjo, BS dalam “Catatan Kecil tentang Humaniora” dikatakan sebagai Ilmu Budaya Dasar yang merupakan mata kuliah wajib di Perguruan Tinggi dan merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora. Humaniora ini menyajikan bahan pendidikan yang mencerminkan keutuhan manusia dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi. Martiatmodjo menegaskan bahwa perlunya humaniora bagi pendidik berarti menempatkan manusia di tengah-tengah proses pendidikan.
B. Manfaat/Relevansi
Lantas, apa relevansinya mempelajari humaniora bagi seorang dokter? Dokter adalah salah satu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Salah satunya dengan pengetahuan humaniora ini. Sebetulnya, pengetahuan ini haruslah terintegrasi ke dalam seluruh kurikulum kedokteran (demikian juga semua pokok bahasan yang ada dalam blok ini harus diintegrasikan ke dalam tiap-tiap blok). Karena yang kita harapkan adalah lahirnya dokter-dokter yang tidak saja kompeten dalam keilmuannya, tapi juga memiliki perilaku yang manusiawi, memperlakukan pasiennya seperti dirinya ingin diperlakukan. Tentu saja perilaku tersebut tidak akan muncul tanpa adanya pengetahuan tentang apa dan bagaimana sebetulnya sifat yang manusiawi itu. Agar Anda dapat memahami dan selanjutnya dapat menerapkan prinsip prinsip yang terkandung dalam humaniora, maka Anda diperkenalkan dengan pengetahuan ini. Tentu, pengetahuan ini sendiri belumlah cukup untuk mencapai apa
yang kita harapkan, tapi harus dipadukan dengan pengetahuan-pengetahuan lain yang akan dipelajari di dalam blok ini.
C. Tujuan Instruksional Khusus
Mahasiswa mampu menerapkan prinsip-prinsip humaniora dalam Ilmu Kedokteran dan Kesehatan
II.
PENYAJIAN
Apakah Anda pernah berpikir, ingin jadi dokter seperti apakah Anda kelak? Sudahkah Anda memiliki bayangan dokter ideal itu seperti apa? Mungkin, Anda merasa tertarik melihat dokter yang mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat. Atau mungkin juga Anda takjub melihat banyak dokter yang sejahtera dari segi finansial, segala apa yang menjadi standar kemewahan melekat pada m ereka. Atau Anda bangga melihat dokter mampu mempengaruhi jalan hidup seseorang, menyelamatkan nyawa orang-orang di dekat Anda, memberi sentuhan keajaiban dalam takdir kehidupan orang lain. Apapun yang ada dalam bayangan Anda, profesi dokter memiliki sejarah perjalanan yang lengkap. Pengetahuan humaniora ini berusaha memberi gambaran pada kita bagaimana menjadi seorang dokter yang sejatinya ideal, dokter yang manusiawi, yang berperilaku/berakhlak baik, berkepribadian profesional. Untuk mendapatkan hasil di hilir yang baik, tentu kondisi di hulu sudah harus dipersiapkan sebelumnya. Karena itu disajikan pengetahuan mengenai humaniora yang diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk dapat memahami lebih baik tentang makna kehidupan Anda sebagai seorang dokter. Mungkin saja terdapat anggapan bahwa masalah perilaku/akhlak baik dan sifat belas kasih merupakan bawaan atau sifat lahiriah seseorang, bahkan ia adalah watak alami yang melekat pada seseorang sejak dia dilahirkan, dan berkembang sesuai pengaruh lingkungannya. Menganggap sifat belas kasih atau compassion bukanlah sesuatu yang dapat dipelajari, tetapi suatu materi yang akan berpindah secara alami – melalui proses yang panjang- dari satu manusia ke manusia lain. Tapi bila kita kembali kepada jati diri sebagai manusia yang penuh dengan kekurangan, maka kita tahu bahwa banyak hal yang harus kita pelajari, cermati, hayati dan amalkan dalam hidup ini,
apalagi bila dikaitkan dengan jati diri kita sebagai seorang muslim. Dalam agama Islam diajarkan mengenai akhlak secara lengkap dan terperinci. Bedanya, konsep akhlak adalah konsep akhirat, jadi berimplikasi tidak hanya di dunia ini saja. Sedangkan, konsep humaniora yang akan kita bahas adalah konsep dunia, khususnya dunia medis jadi implikasinya jelas di dunia medis juga. Namun, sebagai seorang muslim kita tentu percaya bahwa semua aspek kehidupan kita di dunia ini pada akhirnya akan berdampak juga di akhirat kelak. Sebetulnya, dalam kurikulum kita dikenal pendidikan ilmu budaya dasar yang menurut Martiatmodjo merupakan juga terjemahan dari istilah Basic Humanities atau pendidikan humaniora. Hanya saja penyajiannya jarang dikaitkan dengan kehidupan kita kelak sebagai seorang dokter, jadi pengetahuan tersebut mengawang-awang, sangat idealis, sehingga mahasiswa sulit menerapkannya dalam realitas kedokteran yang terkenal praktis. Padahal bagi komunitas medis, apa saja yang disentuhkan pada kulitnya melalui kata medis, akan mudah melekat karena ada sekian ban yak reseptor yang sensitif dengan kata tersebut pada kulitnya. Karena itu dibutuhkan pengetahuan yang lebih integratif agar kita menjadi paham arah dan tujuan pembelajaran kita. Pengetahuan tentang humaniora sangat luas. Tapi bahasan kita dalam kuliah ini terbatas pada bidang kehidupan kita sebagai dokter. Pengetahuan ini harus dapat diterapkan di segala bidang kehidupan Anda kela k sebagai dokter. Bidang yang dimaksud antara lain:
Praktek kedokteran Pelayanan kesehatan Pendidikan kedokteran Penelitian Berbicara tentang humaniora, berarti berbicara tentang beberapa aspek yang memiliki pengertian yang saling berkaitan, di antaranya mengenai humanisme, etika, kebudayaan dan perilaku. Humaniora memberikan wadah bagi lahirnya makna intrinsik nilai-nilai humanisme. Humanisme sendiri adalah aliran yang bertujuan menghidupkan rasa perikemanusiaan/mencita-citakan pergaulan yang lebih baik. Ada juga yang berpendapat humanisme sebagai sikap/tingkah laku mengenai perhatian manusia dengan menekankan pada rasa belas kasih serta martabat individu. Pengertian etika yang dipahami lebih luas di kalangan medis selama ini s elalu menjadi jargon seorang dokter. Etika kedokteran dalam kamus kedokteran Stedman dirumuskan sebagai principles of correct professional conduct with regard to the rights
of the physician himself, his patients, and his fellow practitioners . Dengan kata lain etika dalam kedokteran merupakan prinsip-prinsip mengenai tingkah laku profesional yang tepat berkaitan dengan hak dirinya sebagai dokter, hak pasiennya, dan hak teman sejawatnya. Bila dikaitkan dengan kebudayaan, maka seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dokter adalah suatu profesi yang berhubungan langsung dengan manusia sebagai lawan interaksinya dalam konteks makhluk yang sama berbudaya. Karena itu seorang dokter harus mengetahui segala hal yang berkaitan dengan manusia, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Untuk membangun nilai-nilai sosial itu agar tetap menjadi landasan bagi setiap dokter -terutama sebagai dokter muslimdalam menjalani kehidupan profesinya yang luas, maka disinilah pengetahuan kebudayaan menjadi konsep dasar dalam membangun jati diri sebagai petugas layanan kesehatan. Sehubungan dengan itu, penggunaan konsep perilaku di sini berada dalam pengertian ketunggalannya dengan konsep kebudayaan. Perilaku seseorang, sedikit atau banyak, terkait dengan pengetahuan, nilai dan norma dalam lingkungan-lingkungan sosialnya, demikian juga halnya dengan seorang dokter. Untuk proses hulu, lingkungan pendidikan yang baik tentu akan mengantar seseorang untuk berperilaku yang baik pula. Ilmu kedokteran khususnya kedokteran umum yang menangani manusia jelas sangat paralel dengan pengetahuan budaya yang berkaitan dengan hasil kesadaran manusia. Segala penalaran dokter sebagai manusia akan sama dengan penalaran budi manusia. Ilmu kedokteran yang selalu memikirkan jasmani dan rohani manusia akan selalu dituntut oleh keadaan lingkungan masyarakat. Salah pikir dari seorang dokter berarti akan bertentangan dengan hati nurani manusia yang melekat dalam pribadi sang dokter. Sebaliknya kesuksesan dokter akan selalu menjunjung tinggi dan mengangkat nama harumnya karena segala kesuksesan itu tentu dilandasi oleh budi/pikiran manusia secara sadar. Lantas, bagaimana kaitannya dengan humanisme? Menurut Profesor U Mia Tu dari Myanmar dalam orasinya tentang humanisme dan etika dalam berbagai bidang kedokteran, terminologi humanisme awalnya dikaitkan dengan pergeseran filosofi dan budaya selama masa renaisans Er opa. Belakangan, maknanya bergeser menjadi sebuah sikap yang berkenaan dengan perhatian manusia pada sesamanya dengan menekankan pada ‘compassion’ -belas kasihan- dan martabat individual.
Secara tidak langsung, humanisme menyatakan suatu penghargaan kepada pasien sebagai seorang individu; menunjukkan belas kasih dan mengerti akan rasa takut dan khawatir dalam diri pasiennya; menyatakan suatu komunikasi yang berarti kepada pasien sebagai seseorang dan bukannya sebagai sebuah penyakit. Lebih lanjut dia mengatakan, humanisme dalam kedokteran lebih dari sebuah etika. Lebih dari sekedar menahan diri untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan fisik dan mental pasien karena kelalaian diri. Lebih dari yang sekedar tertulis dalam sumpah Hippocrates. Humanisme merupakan tindakan positif, seperti halnya belas kasihan yang bukan sekedar perasaan prihatin kepada penderitaan orang lain tapi menolong dengan memberi saran atau tindakan yang meringankan penderitaannya. Namun sungguh mengejutkan karena definisi ‘belas kasihan’ tidak masuk dalam dua kamus utama kedokteran – Dorland dan Stedman. Meskipun demikian, rasa belas kasih sama pentingnya dengan pengetahuan ilmiah dan keterampilan pada seorang dokter yang humanistik. Situasi apa yang menyebabkan sehingga humanisme dan eti ka mengilhami profesi kedokteran saat ini? Apa yang telah terjadi sehingga menyebabkan banyak dokter-dokter senior menyuarakan keprihatinannya terhadap kondisi profesi kita? Jika kita mengamati sejenak, akan disadari betapa kita telah jauh menyimpang dari idealisme sebagai dokter. Fenomena ini telah mendunia dan juga telah menyebar ke dalam negara kita. Bukan hanya praktek medis dan perawatan pasien yang menyimpang dari idealisme sosial, bahkan konsep humanisme menjadi sesuatu yang asing dalam pendidikan kedokteran dan dalam bidang penelitian kedokteran. Benar bahwa etika kedokteran termasuk dalam kurikulum pada beberapa se kolah kedokteran, namun diduga hal tersebut hanya sebagai metode resmi untuk menenangkan hati mereka. Kenyataannya, dibutuhkan lebih dari sekedar memasukkan subjek eti ka kedokteran ke dalam kurikulum agar lulusan kedokteran menjadikan humanisme dan perilaku etis sebagai sifat kedua mereka. Seorang dokter bernama Assi Ba’l mengemukakan kerisauannya tentang profesi dokter saat ini. Menurutnya ada beberapa hal yang menyebabkan terjadinya fenomena tersebut, antara lain: Pemisahan
antara jasad dan jiwa
Pemisahan
antara pencegahan dan pengobatan
Penghambaan
diri terhadap teknologi modern
Berlebihan Perbedaan
dalam mengejar spesialisasi dalam tingkat pelayanan kesehatan
Karena tuntutan akan kompetensi profesi yang semakin meningkat, dokterdokter berlomba dalam menyempurnakan sisi keilmuannya. Kegamangan menghadapi masyarakat yang gemar menggugat, ketakutan melakukan malapraktek, peningkatan kejahatan moral oleh praktisi medis, semua hal-hal tersebut menyebabkan para dokter sangat fokus pada keahlian medis mereka. Mereka menjadi sangat perhatian dalam menangani keluhan fisik pasien, yang penting pasien sembuh dari derita fisiknya. Mereka tidak perlu repot-repot menangani jiwa pasien mereka, yang penting pasien itu belum masuk kategori gila (silakan ke ahli jiwa kalau jiwa anda terganggu). Untuk urusan pencegahan penyakit, diserahkan dengan hormat kepada tem anteman mereka, ahli kesehatan masyarakat. ”Kami cukup mengobati mereka yang sakit. Kalau ikut-ikutan dalam program pencegahan, bisa-bisa kita dituding mengambil lahan kerja mereka”. Begitu barangkali yang ada dalam benak para dokter. Padahal sangat jelas bahwa para dokter pun diharapkan partisipasi aktifnya dalam program pencegahan penyakit, bahkan mulai pada tahap awal dari five level prevention, yaitu promosi kesehatan. Perkembangan teknologi dalam dunia kesehatan begitu menggila bela kangan ini. Seorang dokter tentu tidak mau ketinggalan dalam bidang teknologi atau akan dicemoohkan oleh masyarakat -yang sudah semakin kritis- tentang jati dirinya sebagai seorang profesional. Tidak ada istilah, dokter tidak mengerti tentang perkembangan jaman, walaupun dokter itu baru saja kembali dari daerah terpencil yang harus didiaminya selama dua-tiga tahun. Teknologi modern adalah suatu keharusan. Salah satu hal yang dapat memfasilitasi kebutuhan itu adalah dengan bersekolah kembali, dan yang menjadi prioritas tentunya pendidikan spesialisasi. Ikut pendidikan dokter spesialis tentunya akan membuat para dokter akan terus-mener us berhubungan dengan perkembangan teknologi karena pusat pendidikan berada di kota-kota besar. Tentu saja kita tidak dapat menyalahkan dokter yang berniat meneruskan minatnya pada ilmu tertentu. Ditopang oleh kecenderungan masyarakat yang selalu mengandalkan dokter spesialis dan bertindak merujuk dirinya sendiri langsung kepada seorang ahli, serta adanya jaminan income yang lebih menjanjikan, membuat mereka berlomba-lomba meraih gelar tersebut.
Menurut Anda, apakah semua ini tidak cukup membuat seorang dokter merasa terbebani sehingga punya waktu lagi untuk memikirkan perasaan pasiennya? Tidak cukupkah dia dapat menghilangkan keluhan pasien-pasiennya dan meringankan derita fisik mereka? Dan ada apa dengan orang-orang di sekelilingnya, toh mereka mempunyai kehidupan masing-masing yang tidak memerlukan campur tangan batinnya, selama dia tidak merugikan mereka. This is our own life, marilah kita jalani sendirisendiri tanpa saling mengganggu. Kita sendiri yang akan mempertanggungjawabkan kehidupan kita kelak. Ini betul. Tapi apakah memang semuanya harus berjalan demikian? Betulkah semata-mata tangan dingin sang dokter saja yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah pasiennya? Mari kita lihat bagaimana humaniora memandang kehidupan seorang dokter.
Humanisme dan etika dalam praktek kedokteran
Merawat orang sakit pada level fundamental berakar pada jiwa manusia dan humanisme. Misalnya seorang ibu yang merawat anak atau bayinya yang sedang sakit, kenalan/keluarga sekitarnya menawarkan bantuan berupa saran/nasihat dimanapun diinginkan, sementara seorang wanita tua di antara para warga meres pon permintaan bantuan ibu tadi. Mereka semua tidak memiliki motif yang berkaitan dengan uang dalam memberikan bantuan, tapi dilandasi atas dasar belas kasih. Pada level yang berbeda, sejak jaman dahulu orang-orang suci, pendeta, tabib dan dukun telah merawat orang-orang sakit karena adanya keyakinan bahwa penyakit adalah manifestasi dari pengaruh iblis yang dilakukan dengan perantaraan tuhan atau makhluk supernatural atau manusia lain. Motif mereka dalam menyembuhkan orang sakit mungkin tidak sepenuhnya untuk kepentingan orang sakit tersebut karena mereka memperoleh keuntungan dalam tatanan sosial atas bantuan tersebut, disamping adanya kekuasaan dan otoritas yang diberikan pada mereka dalam masyarakat. Saat hal tersebut dikaitkan dengan profesi dokter, kita diyakinkan bahwa masalah sosialnya berakar pada sikap humanisme, belas kasih terhadap penderitaan pasien, dan keinginan untuk memberikan pelayanan kesehatan. Dokter praktek dan spesialis saat ini memiliki hubungan dokter- pasien ’one-to-one’ yang unik dan sangat pribadi, melibatkan kepatuhan, ketergantungan, dan kepercayaan yang utuh dari pasien terhadap otoritas, pengetahuan dan keterampilan dokternya. Dengan otoritas tersebut terciptalah unsur kewajiban sosial untuk melayani dengan belas kasih kepada mereka yang percaya dan bergantung kepada kita.
Tetapi martabat dan status profesi dokter dulunya tidak setinggi seperti yang kita lihat sekarang. Misalnya pada jaman India kuno, hanya dokter kerajaan yang memiliki status yang tinggi. Dokter pada jaman itu dianggap tidak berdarah murni dan tidak pernah diundang pada acara-acara sesajian untuk dewa-dewa. Kasta Brahmana tidak seharusnya menerima makanan dari seorang dokter karena dianggap najis/kotor (Rao & Radhalaksmi,1960). Pada masa kekaisaran Roma, dokter adalah pekerja berat, orang liar, orang asing, dan pengobatan dianggap sebagai pekerjaan rendah. Di Inggris abad ke-18, dokter bedah dan ahli obat-obatan dianggap seperti pedagang dan termasuk kelas pinggiran. Bahkan sekurangnya di abad 19, dokter di Perancis sangat miskin dan statusnya juga rendah (Starr, 1949). Namun, dengan perkembangan dan kemajuan ilmu kedokteran dan kemampuan para dokter mempengaruhi perjalanan penyakit secara radikal, bermula di akhir abad ke-19, secara perlahan kedokteran berubah statusnya dari sekedar tukang/pekerja berat menjadi sebuah profesi dan bersamaan dengan itu kekuasaan dan martabat profesi dokter juga meningkat seterusnya hingga di abad 20 ini. Dengan tercapainya status profesi itu, segala yang menjadi karakter sebuah profesi juga didapatkan. Kedokteran memiliki otonomi, mengontrol semua yang ingin memasuki profesi ini, menetapkan standar kompetensi melalui pelatihan termasuk teori, bukan hanya keterampilan seperti pada pekerjaan tukang. Profesi kedokteran selanjutnya menyusun lembaga profesi struktural (asosiasi, publikasi, sekolah kedokteran yang dapat dikontrol) dan bertujuan memberikan pel ayanan yang humanistik kepada masyarakat untuk kepentingan mereka. Prinsip-prinsip etika telah menjadi bagian yang mendasar sejak masa awal dan berkaitan dengan kewajiban dan tanggung-jawab seorang dokter. Namun harus dicatat, bahwa semua pernyataan tentang etika dapat disesuaikan secara profesional dengan dunia medis. Dan tidak satupun yang berkenaan dengan aspek humanistik. Pola praktek dokter pada awal abad delapanbelas bersifat ‘biaya pelayanan tunggal’ yaitu seorang dokter memberikan pelayanan medis dan untuk itu dia dibayar, baik berupa uang maupun berupa hasil-hasil pertanian seperti yang masih terdapat di negara-negara berkembang di beberapa daerah dan desa yang miskin. Ini adalah masa dokter pedesaan atau dokter ‘kuno’ atau dokter keluarga yang mengetahui dengan baik keluarga tersebut, berkeliling ke rumah-rumah, dan bertindak sebagai ‘teman dan penuntun yang dapat dipercaya’, di samping merawat orang-orang sakit dalam keluarga itu.
Perkembangan kota-kota besar dan rumah-rumah sakit di abad 18 dan 19 membuat dokter-dokter desa perlahan menghilang dan semakin banyak dokter menetap di daerah kota untuk berpraktek. Hilangnya dokter pedesaan atau dokter keluarga memulai timbulnya ‘pelayanan dehumanisasi’ di rumah-rumah sakit. Dalam dekade terakhir abad 20, pola praktek di negara-negara industri berubah sama sekali dengan ekonomi berorientasi pasar. Dari praktek mandiri, sekarang kebanyakan dokter praktek berkelompok di bawah persetujuan formal penggunaan fasilitas dan peralatan medis bersama-sama dan pendapatan didistrubusikan sesuai perjanjian awal dengan melibatkan personalia kesehatan. Kalangan bisnis melihat pasar besar dalam lapangan kesehatan, hasilnya adalah meningkatnya komersialisasi layanan medis dan bertumbuhnya industri medis yang kompleks. Kedokteran tidak lagi merupakan industri rakyat seperti saat dokter berpraktek mandiri. Manager di bidang kesehatan ini – ekonom dan CEO (pejabat eksekutif), yang semakin sering memutuskan jenis praktek pelayanan dan jenis organisasi dibandingkan para dokter. Harga-harga obat melambung dan penggunaan peralatan medis yang canggih berkonsekuensi dengan pembayaran yang tinggi. Telah dikatakan, semakin dokter bergantung pada teknologi semata, semakin mereka kehilangan rasa kemanusiaannya, yang berujung pada ‘pelayanan dehumanisasi’. Hal tersebut ditambah dengan ketakutan akan tuntutan malapraktek, dokter membayar asuransi untuk dirinya, yang tentu berdampak pada pasien sehingga biaya layanan kesehatan semakin tinggi. Perubahan ini mewarnai sikap dan tingkah laku profesi yang menekankan pada aspek finansial dan teknologi dalam terapi dan merusak panggilan altruistik dan humanistik sang dokter. Lagi menurut Profesor Tu, seorang dokter di Myanmar menelaah sebuah film bergenre kedokteran, berjudul “Patch Adam”. Dia tertarik pada kritik sang pemain, yang berperan sebagai dr. Hunter Adam: “Anda bahkan tidak melihat kepada pasien saat Anda berbicara pada mereka” dan saat dia berbicara melawan Badan Medis: “Kematian bukanlah musuh, saudara-saudara, tapi sebuah kelalaian. Anda menangani penyakit, hasilnya kalah atau menang. Anda menangani pasien, anda akan menang bagaimanapun hasil akhirnya”. Keadaan ini pun sudah terlihat di negara kita. Ada berapa banyak dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan rasa belas kasih? Saya tidak menyatakan
bahwa tidak ada dokter yang memiliki rasa belas kasih karena saya mengenal beberapa dokter yang betul-betul menangani pasiennya dengan hati. Tapi, pemandangan seperti itu sangat jarang kita rasakan. Banyak dokter melayani pasiennya dengan senyum, ramah, sopan dan penuh tatakrama, tapi yang kita bicarakan dalam kaitannya dengan humanisme adalah dokter melayani pasiennya dengan melihat ke dalam perasaan pasiennya. Menampakkan pengertian akan derita pasiennya dan tidak semata-mata memburu apa yang menjadi diagnosis agar pengobatannya tepat dan pasien ini segera menyingkir dari kehidupannya yang cukup sibuk. Anda keliru jika menyangka pasien tidak membutuhkan sentuhan humanisme, dan tepat jika menduga bahwa mereka akan lebih nyaman dengan dokter yang menatap mereka saat melakukan anamnesis dan memperlihatkan sikap menerima dan mengerti akan segala keluhannya. Itu tidak sulit dilakukan. Tempatkan saja diri Anda pada posisi mereka. Lalu nilai, situasi mana yang lebih Anda sukai, ditangani oleh dokter yang berwajah dingin yang sibuk meneliti p enyakit Anda atau oleh dokter yang menunjukkan perasaan kasih akan tiap keluhan Anda.
Humanisme dan etika dalam pelayanan kesehatan
Sejak jaman dulu, pemegang kekuasaan bertanggung-jawab ter hadap kesehatan rakyatnya. Raja pada jaman Indis kuno membangun tempat untuk orangorang sakit dan cacat, bahkan tempat khusus semacam rumah sakit untuk kebidanan dan bedah. Kerajaan Romawi mengatur tempat layanan kesehatan untuk orang-orang miskin yang akan dikunjungi oleh dokter-dokter umum untuk memberikan pemeriksaan kesehatan yang dibutuhkan. Pada saat Abad Kegelapan baru saja terangkat dari Eropa, kedokteran di negara-negara Arab sangat berkembang. Terdapat rumah-rumah sakit yang besar di Damascus, Kordoba, dan Kairo yang memperhatikan segala aspek dari layanan kesehatan termasuk aspek humanistik seperti sisi spiritualnya (memperdengarkan AlQuran sepanjang saat tanpa henti), aspek-aspek estetika (seperti memainkan musik lembut di malam hari untuk membantu mereka yang sulit tidur), dan aspek-aspek yang dapat meningkatkan semangat mereka (seperti membacakan kisah-kisah yang menggugah jiwa pasien). Bahkan pasien diberikan sejumlah uang yang dapat menutupi kekurangan semasa sakit, hingga mereka mampu kembali bekerja (Guthrie, 1958). Ini adalah pendekatan yang betul-betul manusiawi.
Pelayanan kesehatan di Eropa, khususnya Inggris relatif terlambat. Butuh terjadinya suatu epidemi (kolera) untuk terbentuknya Badan Kesehatan sebagai badan resmi walaupun sebelumnya negara telah megambil alih langkah darurat jika terjadi penyakit epidemik. Perkembangan spektakuler di dunia medis pada masa-masa setelahnya mengubah pola tingkah dokter dan pelayanan kesehata n. Teknologi tersebut membutuhkan biaya yang mahal sehingga tidak mampu digapai oleh mas yarakat miskin. Ditambah lagi dengan dokter-dokter yang terlatih di rumah sakit yang sangat sedikit dibekali dengan kemampuan untuk menghadapi masalah kesehatan dalam masyarakat dan perkembangan baru dalam pelayanan kesehatan. Sekarang ini, dikembangkan filosofi baru mengenai pelayanan kesehatan berbasis persamaan dan keadilan sosial yang berakhir pada gerakan Pelayanan Kesehatan Primer dan Kesehatan untuk Semua (World Health Organisation, 1981) Seperti telah disebutkan sebelumnya, dalam era pasar ekonomi, kedokteran telah menjadi bisnis besar hingga di negara-negara berkembang. Karena bisnis bersifat mengejar keuntungan, biaya pelayanan kesehatan akhirnya meningkat. Dan akibatnya pelayanan terhadap masyarakat miskin terabaikan. Idealnya, dokter mampu melakukan praktek hingga menyentuh seluruh lapisan masyarakat, agar nilai-nilai humanisme tetap terjaga. Tentu, secara pribadi hal tersebut sulit dilaksanakan. Tapi, jika penentu kebijakan terutama dalam bidang kesehatan memperhatikan masalah ini dan berangkat dengan keikhlasan untuk berbuat demi kemanusiaan, maka teknologi yang tercanggih sekalipun dapat dimanfaatkan oleh masyarakat banyak.
Humaniora dan etika dalam pendidikan kedokteran
Lantas, apa yang bisa menjadikan seorang dokter memiliki kemampuan teknis sekaligus sikap humanistik dalam perilaku profesinya? Apakah itu bagian dari pelatihan dan pendidikan mahasiswa kedokteran dengan melihat contoh dari para dosennya? Mari kita lihat bagaimana humanisme dalam pendidikan kedokteran. Baik di dunia barat maupun dalam budaya timur, pelatihan untuk menjadi seorang dokter bermula dari sistem magang, yaitu suatu sistem pelatihan yang bersifat desentralisasi di mana murid dan gurunya terikat dalam suatu hubungan pribadi. Sejak jaman dulu, murid kedokteran di India misalnya, tinggal di rumah gurunya dan bahkan menjadi anggota keluarga yang ikut mengerjakan segala pekerjaan rumah sang guru. Karena kontak yang sangat dekat dengan gurunya, seorang murid tidak hanya belajar dari guru, tapi menyerap filosofi, sikap, tingkah laku moral, nilai-nilai dan metode
hidupnya serta cara guru menghadapi pasiennya, singkatnya ‘bedside manner’ sang guru tadi. Karena kebutuhan akan dokter dan ahli bedah semakin meningkat, perubahan sistem pelatihan mengalami perubahan. Kerajaan Romawi mengambil alih pelatihan dokter dengan menunjuk guru-gurunya. Di negara-negara Islam, pendidikan kedokteran telah berjalan dengan baik. Mereka ditempatkan di rumah sakit untuk pendidikan kedokteran. Warga yang kaya membangun rumah-rumah sakit yang mempekerjakan dokter-dokter handal yang bertanggung-jawab dalam penanganan pasien sekali gus mengajar murid-murid kedokteran. Sekolah-sekolah kedokteran di Eropa pada abad 9 hingga 13 menjadikan pendidikan kedokteran sebagai basis dan memberikan gelar dokter setelah melalui suatu pendidikan dan ujian tertentu. Fakultas kedokteran ini tidak hanya melatih para dokter tetapi juga mengontrol tindakan mereka. Dengan semakin banyaknya mahasiswa yang dilatih di rumah sakit, keadaan pasien yang sebenarnya terabaikan. Metode pengajaran klinis dengan jumlah mahasiswa yang besar berdampak buruk pada pasien. Dan metode ini diadaptasi oleh semua sentra pendidikan kedokteran di dunia. Sekarang kita mungkin dapat melihatnya di rumah-rumah sakit, beberapa pasien mengeluh jika terlalu banyak disentuh oleh mahasiswa (ko-ass). Mereka menghindar untuk dirawat di rumah sakit pendidikan karena merasa dijadikan orang coba oleh para ko-ass, terurama pasien-pasien dari golongan menengah ke atas. Sebetulnya keadaan ini dapat kita hindari bersama. Pasien tentu ti dak akan mengeluh jika tidak merasa dirinya hanya dijadikan objek pembelajaran. Caranya tentu dengan menanamkan kepercayaan kepada pasien dan masyarakat umumnya. Dan itu dapat dimulai dari Anda, sebagai calon dokter. Sebagai mahasiswa, Anda harus betul-betul memahami semua yang Anda pelajari selama proses pendidikan dan menguasai seluruh kompetensi yang sudah ditetapkan. Jika kelak Anda dipercayakan untuk memegang pasien pada saat kepanitraan klinik dan dapat menunjukkan bahwa sebagai mahasiswa kedokteran Anda cukup handal, maka pasien akan dengan senang hati mempercayakan penanganan penyakitnya pada Anda . Apalagi jika dibarengi dengan tindakan yang etis dan penuh sentuhan manusiawi, tidak akan ada pasien yang menolak Anda. Kita harus benar-benar tulus menghadapi mereka, mendengar keluhan mereka dengan s abar, memperhatikan apa yang menjadi persoalan sesungguhnya bagi mereka. Ingatlah pepatah bijak orang tua kita bahwa apa yang dilakukan dari hati sampainya ke hati juga.
Dengan begitu, Anda dapat melalui proses pendidikan kedokteran dengan baik karena sebenarnyalah hubungan yang terjadi antara Anda dengan pasien tadi adalah hubungan kerjasama. Anda, sebagai mahasi swa, membutuhkan mereka. Maka buatlah mereka pun membutuhkan Anda. Dalam pendidikan tentang bioetik dan humaniora ini, Anda akan banyak dibekali dengan pengetahuan tentang etika terutama saat Anda telah menjadi dokter. Namun sebenarnya, prinsip-prinsip etika telah tertuang secara lengkap dalam Islam, yaitu dalam ilmu tentang akhlak. Bahkan ilmu ini tidak terbatas kepada profesi dokter saja, tapi memayungi semua insan yang mengaku sebagai muslim. Jadi, saat sekarang pun prinsip-prinsip etika sudah harus kita jalankan karena akhlak -yang sumbernya jelas dari Allah SWT- berimplikasi pada akhirat yang mengikat muslim yang berakal dan dewasa, yaitu kita semua. Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, ses ama mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Selama masa pendidikan, Anda akan berhubungan dengan dosen, ses ama mahasiswa, pegawai di lingkungan Anda, dan orang-orang dalam lingkungan kampus. Sekarang ini adalah masa yang tepat bagi Anda untuk melatih diri bagaimana bersikap menjadi dokter yang baik. Betul bahwa setiap orang memiliki karakter yang berbeda, tapi sikap dan perilaku yang baik bukannya tidak dapat diamalkan. Sebagai contoh, dalam berdiskusi dengan teman-teman Anda, seringkali terjadi benturan pendapat. Walaupun Anda yakin bahwa pendapat Andalah yang benar, dan didukung oleh beberapa teman yang lain, sangat tidak bijak jika Anda langsung menyalahkan dan mematahkan pendapat teman Anda. Apalagi jika yang Anda serang adalah pribadinya, bukan opininya. Belum lagi jika menghadapi persoalan yang berbeda, adanya beban tugas dari dosen yang tidak habis-habis (walaupun alasan bahwa hal tersebut untuk kepentingan mahasiswa sendiri kadang sulit diterima), dan waktu yang terasa sangat menghimpit, tentu akan sulit bagi kita untuk tetap bersikap stabil. Masal ahnya, kita tidak punya pilihan selain menghadapinya. Kita menerima pengakuan sebagai pribadi dewasa, jadi sudah seharusnya kita menyadari konsekuensi dari suatu pilihan. Anda memilih untuk menjadi dokter, berarti sedikit banyaknya Anda tahu seperti apa profesi ini.
Dari segi keterampilan, kompetensi yang dikehendaki dijelaskan oleh masingmasing sub divisi pendidikan kedokteran. Dengan sistem integrasi yang baru diterapkan, Anda diharapkan memiliki keterampiln klinis yang lebih terarah. Keaktifan dari Anda sebagai mahasiswa diharapkan karena pembelajaran ini memang dipusatkan pada Anda (student-centered learning). Para pendidik di bidang kedokteran sepakat bahwa tujuan pembelajaran yang baru ini adalah mengarahkan pendidikan kedokteran kepada pengalaman berbasis komunitas, model yang berpusat pada pembelajar sehingga memungkinkan dokter untuk menjadi pembelajar sepanjang hayat sekali gus berpraktek dengan berbekal pengetahuan dan keterampilan yang memasukkan aspek-aspek psikososial dan biologi dalam pelayanan kesehatan.
Humanisme dan etika dalam penelitian dan pengembangan ilmu kedokteran
Kesadaran sosial, tanggung jawab sosial dan akuntabilitas sosial telah menjadi ciri profesi dokter, dan karakteristik ini dapat diterapkan juga kepada para peneliti di bidang kedokteran. Etika dan humanisme dapat diaplikasikan ke dalam seluruh spektrum kegiatan penelitian, mulai dari pemilihan topik penelitian, hingga pada cara penelitian yang dilakukan dan pada aplikasi hasil penelitian dan pengembangan. Misalnya dalam memilih topik penelitian, harus disadari bahwa peneliti memiliki tanggung jawab sosial untuk mencoba mencari solusi dari masalah-masalah yang paling banyak menyebabkan munculnya penyakit dan penderitaan dalam masyarakat. Dalam melakukan percobaan yang melibatkan manusia sebagai relawan, peneliti haruslah dibawah kontrol etis yang ketat. Dan seperti halnya seorang dokter harus memiliki perilaku medis yang baik dengan hubungan manusiawi dengan pasiennya, begitu juga seharusnya seorang peneliti. Tanggung jawab dan akuntabilitas sosial dalam penelitian dimaksudkan agar penelitian tersebut dilakukan bukan hanya untuk kepentingannya saja. Peneliti diwajibkan melihat kegunaan hasil penelitiannya. Jadi hasilnya tidak hanya berakhir di kertas jurnal saja, tapi harus mencapai ke penentu kebijakan, pembuat keputusan dalam pelayanan kesehatan, dan para profesi di bidang kesehatan serta para konsumen.
Daftar Pustaka 1. Assi Ba’l, Z.A.: Dokter -dokter, Bagaimana Akhlakmu, Gema Insani Press, Jakarta, 1992 2. •Prasetya, J.T.,: Ilmu Budaya Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 1998 3. Samil, RS. Etika Kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohrdjo. Jakarta. 2001 4. Tu, U.M. Humanism and Ethics in Medical Practice, Health Service, Medical Education and Medical Research, dalam The First Myanmar Academ y of Medical Science Oration. Myanmar.2001.