Nama
: Syinta Ramadhani
Nim
: 1002101010121 1002101010121
Hari/Tanggal : Rabu/ 26 September 2012 2012 Ttd
:
PENYEMBELIHAN YANG BERETIKA BERDASARKAN ANIMAL WELFARE
Berdasarkan UU No.18 tahun 2009 Animal Welfare adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan ke adaan fisik f isik dan mental hewan menurut ukuran perilaku peril aku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. Animal Welfare memiliki 3 aspek penting yaitu : Welfare Science, etika dan hukum. Welfare science mengukur efek pada hewan dalam situasi dan lingkungan berbeda, dari sudut pandang hewan. Welfare ethics mengenai bagaimana manusia sebaiknya memperlakukan hewan. Welfare law mengenai bagaimana manusia harus memperlakukan hewan. Animal welfare berbicara tentang kepedulian dan perlakuan manusia pada masing-masing satwa, dalam meningkatkan kualitas hidup satwa secara individual. Sasaran Animal Welfare adalah semua hewan yang berinteraksi dengan manusia dimana intervensi manusia sangat mempengaruhi kelangsungan hidup hewan, bukan yang hidup di alam. Dalam hal ini adalah hewan liar dalam kurungan (lembaga konservasi, entertainment, laboratorium), hewan ternak dan hewan potong (ternak besar/kecil), hewan kerja dan hewan kesayangan. Cara untuk menilai kesejahteraan hewan dikenal dengan konsep “Lima Kebebasan” (Five of Freedom) yang dicetuskan oleh Inggris sejak tahun 1992. Lima unsur kebebasan tersebut adalah: 1.
Bebas dari rasa lapar dan haus
2.
Bebas dari rasa tidak nyaman
3.
Bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit
4.
Bebas mengekspresikan perilaku normal
5.
Bebas dari rasa stress dan tertekan.
Kelima faktor dari 5 kebebasan saling berkait dan akan berpengaruh pada semua faktor apabila salah satu tidak terpenuhi atau terganggu. Contohnya kasus penyiksaan terhadap sapi yang akan dipotong, disamping melanggar UU, tidak manusiawi, juga bertentangan dengan nilai agama. Oleh karena itu pemerintah harus serius mengontrol kualitas RPH agar memenuhi standar higienis, aman, kesmawet, dan animal welfare. Kesehatan Masyarakat Veteriner (Kesmavet), RPH dan kesejahteraan hewan (animal welfare) sudah diatur di UU 6/1967 tentang Ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU 18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, dan Peraturan Mentan 13/2010 tentang Persyaratan RPH Hewan Ruminansia dan Unit Penangan Daging (Meat Cutting Plant). Di pasal 66 UU 18/ 2009, misalnya, disebutkan bahwa pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus dilakukan di RPH dan mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesmavet dan animal welfare. Dengan adanya rancangan Undang-Undang dan Kebijakan Pembangunan Peternakan akan berfungsi sebagai dasar hukum bagi penyelenggaraan pembangunan peternakan dan kesehatan hewan sehingga pembangunan peternakan khususnya dalam bidang pemotongan hewan bisa menjamin kesejahteraan bagi hewan ternak dan produk daging yang dihasilkan dari proses pemotongan terbukti ASUH ( Aman, Sehat, Umun dan Halal). Pemotongan dan pembunuhan hewan harus dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan penyalagunaan dan perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari penyiksaan. Penyembelihan hewan potong di Indonesia harus menggunakan metode secara Islam (Manual Kesmavet, 1992). Hewan yang disembelih harus memenuhi syarat dan rukun yang telah ditentukan menurut syariah. Penyembelihan dilaksanakan dengan memotong mari’ (kerongkongan), hulqum (jalan pernapasan) dan dua urat darah pada leher (Nuhriawangsa, 1999). Hewan yang telah pingsan diangkat pada bagian kaki belakang dan digantung. Pisau pemotongan diletakkan 45 derajat pada bagian brisket (Smith et al., 1978), dilakukan
penyembelihan oleh modin dan dilakukan bleeding, yaitu menusukan pisau pada leher kearah jantung (Soeparno, 1992). Posisi ternak yang menggantung menyebabkan darah keluar dengan sempurna (Blakely dan Bade, 1992). Prosedur Pemotongan Hewan Daging adalah salah satu pangan asal hewan yang mengandung zat gizi yang sangat baik untuk kesehatan dan pertumbuhan manusia, serta sangat baik sebagai media pertumbuhan mikroorganisme. Daging (segar) juga mengandung enzim-enzim yang dapat mengurai/memecah beberapa komponen gizi (protein, lemak) yang akhirnya menyebabkan pembusukan daging. Oleh sebab itu, daging dikategorikan sebagai pangan yang mudah rusak (perishable food). Salah satu tahap yang sangat menentukan kualitas dan keamanan daging dalam mata rantai penyediaan daging adalah tahap di rumah pemotongan hewan (RPH). Di RPH ini hewan disembelih dan terjadi perubahan (konversi) dari otot (hewan hidup) ke daging, serta dapat terjadi pencemaran mikroorganisme terhadap daging, terutama pada tahap eviserasi (pengeluaran jeroan). Penanganan hewan dan daging di RPH yang kurang baik dan tidak higienis akan berdampak terhadap kehalalan, mutu dan keamanan daging yang dihasilkan dan akan berdampak pada kesehatan masyarakat. Di dalam Undang-Undang Peternakan dan kesehatan Hewan Bab I Pasal 1 ayat 38 disebutkan bahwa Kesehatan masyarakat veteriner adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung memengaruhi kesehatan manusia. Oleh sebab itu, penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan di RPH sangatlah penting, atau dapat dikatakan pula sebagai penerapan sistem produk safety pada RPH. Aspek yang perlu diperhatikan dalam sistem tersebut adalah higiene, sanitasi, kehalalan, dan kesejahteraan hewan. Sembelih atau pemnyembelihan hewan adalah suatu aktifitas, pekerjaan atau kegiatan menghilangkan nyawa hewan atau binatang dengan memakai alat bantu atau benda yang tajam ke arah urat leher saluran pernafasan dan pencernaan. Agar binatang yang disembelih halal dan boleh dimakan, penyembelihan hewan harus sesuai dengan aturan agama islam. Jika binatang yang mau disembelih masuk ke lubang yang sulit dijangkau maka diperbolehkan melukai bagian mana saja asalkan mematikan binatang tersebut sedangkan
yang dimaksud dengan Prosedur Standar Operasi Pemotongan Sapi adalah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH) baik menggunakan alat dan mesin peternakan yang modern ataupun yang tradisional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 dan Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1) yaitu: a) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasa l 1 ayat 40 . Alat dan mesin peternakan adalah semua peralatan yang digunakan berkaitan dengan kegiatan peternakan dan kesehatan hewan, baik yang dioperasikan dengan motor penggerak maupun tanpa motor penggerak. b) Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1) Pemerintah menetapkan jenis dan standar alat dan mesin peternakan yang peredarannya perlu diawasi. Alat-alat benda tajam dan tumpul yang tidak diperbolehkan untuk penyembelihan / pemotongan hewan : gigi, kuku, tulang, listrik/disetrum, benda tumpul untuk memukul, panahan/busur dana anak panah, boomerang, sumpit, gada, palu, martil, dan lain-lain. Pada proses pemotongan ternak di Indonesia harus benar-benar memperhatikan hukumhukum agama Islam, karena ada kewajiban menjaga ketentraman batin masyarakat. Pada pelaksanaannya ada 2 cara yang digunakan di Indonesia, yaitu : a). Tanpa “Pemingsanan” Cara ini banyak dilakukan di Rumah-rumah Potong tradisional. Penyembelihan dengan cara ini ternak direbahkan secara paksa dengan menggunakan tali temali yang diikatkan pada kaki-kaki ternak yangdihubungkan dengan ring-ring besi yang tertanam pada lantai Rumah Potong, dengan menarik tali-tali ini ternak akan rebah. Pada penyembelihan dengan sistem ini diperlukan waktu kurang lebih 3 menit untuk mengikat dan merobohkan ternak. Pada saat ternak roboh akan menimbulkan rasa sakit karena ternak masih dalam keadaan sadar.
b). Dengan Pemingsanan Di Rumah Potong Hewan yang besar dan modern, sebelum ternak dipotong terlebih dahulu dilakukan “pemingsanan”, maksudnya agar ternak tidak menderita dan aman bagi yang memotong.
Gambar 1. Cara Pemingsanan Ternak dengan Penembakan Pen
Gambar 2. Prosedur pelayanan pemotongan di RPH
Gambar 3. Pemotongan hewan secara tradisional
Gambar 4. Pemotongan hewan secara modern Pemotongan dilakukan pada ternak dalam keadaan posisi rebah, kepalanya diarahkan ke arah kiblat dan dengan menyebut nama Allah, ternak tersebut dipotong dengan menggunakan pisau yang tajam. Pemotongan dilakukan pada leher bagian bawah, sehingga tenggorokan, vena yugularis dan arteri carotis terpotong. Menurut Ressang (1962) hewan yang dipotong baru dianggap mati bila pergerakan-pergerakan anggota tubuhnya dan lain-lain bagian berhenti. Oleh karena itu setelah ternak tidak bergerak lagi leher dipotong dan kepala dipi-sahkan dari badan pada sendi Occipitoatlantis. Pada pemotongan tradisional, pemotongan dilakukan pada ternak yang masih sadar dan dengan cara seperti ini tidak selalu efektif untuk menimbulkan kematian dengan cepat, karena kematian baru terjadi setelah 3-4 menit. Dalam waktu tersebut merupakan penderitaan bagi ternak, dan tidak jarang ditemukan kasus bahwa dalam waktu tersebut ternak berontak dan bangkit setelah disembelih. Oleh karena itu pengikatan harus benarbenar baik dan kuat. Cara penyembelihan seperti ini dianggap kurang berperikemanusiaan.Waktu yang diperlukan secara keseluruhan lebih lama dibandingkan dengan cara pemotongan yang menggunakan pemingsanan. Dengan adanya perbedaan dalam cara penyembelihan tersebut, pihak australia menuduh Indonesia melakukan tindak kekerasan terhadap hewan yang akan dipotong padahal Indonesia mempunyai standar dan cara yang sudah ditetapkan menurut Islam dan Undang-Undang. Undang-Undang yang mengatur dalam hal perlakuan terhadap ternak ini antara lain: 1. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 42. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang damanfaatkan manusia.
2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab II Pasal 3 huruf a. Pengaturan penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan bertujuan untuk: 1. Mengelola sumber daya hewan secara bermartabat, bertangung jawab, dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat (1) dan (2). a. Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit, ternak ruminansia betina produktif diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif disingkirkan untuk dijadikan ternak potong. b. Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. 3. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab IV Bagian keempat Pasal 34. (1)
Peternak dan perusahaan peternakan melakukan tata cara panen yang baik untuk mendapatkan hasil produksi dengan jumlah dan mutu yang tinggi.
(2)
Pelaksanaan panen hasil budi daya harus mengikuti syarat kesehatan hewan, keamanan hayati, dan kaidah agama, etika, serta estetika.
4. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 56. Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk: 1. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis; 2. Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan, dan kehalalan produk hewan; 3. Penjaminan higiene dan sanitasi; 4. Penegmbangan kedokteran perbandingan; dan 5. (1)
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kesatu Pasal 61. Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus: 1. dilakukan di rumah potong; dan
2. mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. (2)
Dalam rangka menjamin ketenteraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memerhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat.
(3)
Menteri menetapkan persyaratan rumah potong dan tata cara pemotongan hewan yang baik.
(4)
Ketentuan mengenai pemotongan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dikecualikan bagi pemotongan untuk kepentingan hari besar keagamaan, upacara adat, dan pemotongan darurat.
6. UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua Pasal 66. (1)
Untuk kepentingan kesejahteraan hewan dilakukan tindakan yang berkaitan dengan penangkapan dan penanganan; penempatan dan pengandangan; pemeliharaan dan perawatan; pengangkutan; pemotongan dan pembunuhan; serta perlakuan dan pengayoman yang wajar terhadap hewan.
(2)
Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara manusiawi yang meliputi: 1. penangkapan dan penanganan satwa dari habitatnya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang konservasi; 2. penempatan
dan
pengandangan
dilakukan
dengan
sebaik-baiknya
sehingga
memungkinkan hewan dapat mengekspresikan perilaku alaminya; 3. pemeliharaan, pengamanan, perawatan, dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapr dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan, serta rasa takut dan tertekan 4. pengangkutan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa takut, dan tertekan serta bebas dari penganiayaan; 5. penggunaan dan pemanfaatan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari penganiayaan dan penyalahgunaan;
6. pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut, dan tertekan, penganiayaan, dan penyalahgunaan 7. perlakuan terhadap hewan harus dihindari dari tindakan penganiayaan dan penyalahgunaan. (3)
Ketentuan yang berkaitan dengan penyelenggaraan kesejahteraan hewan diberlakukan bagi semua jenis hewan bertulang belakang dan sebagian dari hewan yang tidak bertulang belakang yang dapat merasa sakit.
(4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
7.
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Bagian kedua Pasal 67. Penyelenggaraan kesejahteraan hewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah Daerah bersama masyarakat Syarat Sah Penyembelihan hewan : Hewan tidak haram dimakan (anjing, hyena, kucing, babi, dan lain sebagainya) Binatang masih hidup atau bukan bangka Disembelih secara islam dan menyebut nama Allah SWT Penyembelihan sengaja dilakukan secara sadar Kondisi Aman dan Sehat, dapat dilakukan dengan cara memeriksa kesehatan sapi pada :
Awal Proses pemotongan (ante mortem), untuk memeriksa penyakit-penyakit yang menular.
Akhir proses pemotongan (post mortem),yaitu pemeriksaan kesehatan daging untuk mengetahui kandungan bakteri/bakteri/ parasit dan kelainan patologis yang membahayakan kesehatan atau yang menyebabkan daging sapi tidak layak lagi untuk dikonsumsi.
Sedangkan halal, adalah cara memotong sapi dengan disertai doa dan prosedur yang sesuai dengan ketentuan agama Islam serta di sembelih oleh seorang Muslim. Untuk memenuhi persyaratan ASUH, proses pemotongan sapi harus dilakukan melalui prosedur
dan tahap-tahap proses yang baku (standar). Standar dan prosedur operasi
(S.O.P)
pemotongan sapi yang telah ditetapkan oleh pemerintah adalah sbb:
Mengistirahatkan sapi (rekondisi) yang akan dipotong minimal + 8 jam.
Pemeriksaan sebelum proses penyembelihan (ante mortem) oleh petugas yang berkepentingan.
Sapi dimasukan ke ruang pemotongan yang telah memenuhi pers yaratan higienis dan sanitasi.
Sesuai standar Halal, sapi direbahkan mengarah kiblat.
Sapi dibersihkan dari segala kotoran yang melekat di badannya.
Dilakukan proses pemotongan.
Didiamkan beberapa saaat hingga darah betul-betul tiris/ habis, kemudian daging dimatangkan (aging), dengan cara menyimpannya pada suhu kamar (27 – 300C) selama 24 – 48 jam atau pada suhu pendinginan (10 -150C) selama 5 – 7 hari. Hal ini dilakukan karena setelah proses pemotongan, karkas (daging)nya akan mengalami rigor mortis, yaitu pengerasan dan peng-kakuan daging akibat terjadinya kekejangan (kontraksi) urat daging. Daging demikian jika dimasak akan menghasilkan hidangan daging yang keras dimakan. Penyimpanan karkas, di samping untuk pematangan daging juga bertujuan untuk persediaan bahan mentah (stock) dan untuk menunggu angkutan atau pemasaran.
Proses pemisahan kepala dari badan.
Proses pengulitan.
Pemeriksaan kesehatan daging.
Pemisahan daging, organ dalam, jeroan di ruang yang sudah ditentukan.
Pemeriksaan post mortem oleh petugas keur master, jika produk daging dinyatakan sehat dengan stempel khusus, boleh dipasarkan dan didistribusikan.
Dengan adanya aturan pemerintah yang tercantum didalam Undang-Undang dan prosedur pemotongan hewan yang benar diharapkan semua RPH ataupun perusahaan peternakan skala kecil bisa mengetahui dan menerapkan bagaimana cara memotong hewan yang benar sehingga terjamin kesejahteraan bagi masyarakat dan hewan.
KESIMPULAN
Adapun kesimpulan yang dapat di ambil dari peper ini adalah
Berdasarkan UU No.18 tahun 2009 Animal Welfare adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia.
Animal Welfare memiliki 3 aspek penting yaitu : Welfare Science, etika dan hukum. Welfare science mengukur efek pada hewan dalam situasi dan lingkungan berbeda, dari sudut pandang hewan. Welfare ethics mengenai bagaimana manusia sebaiknya memperlakukan
hewan.
Welfare
law
mengenai
bagaimana
manusia
harus
memperlakukan hewan.
Prosedur Standar Operasi Pemotongan Sapi adalah alur proses untuk memproduksi daging sapi yang Aman, Sehat, Umum dan dan Halal (ASUH) baik menggunakan alat dan mesin peternakan yang modern ataupun yang tradisional seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 40 dan Bab IV Bagian ketiga Pasal 24 ayat (1).
Undang-Undang yang mengatur dalam hal perlakuan terhadap ternak dan cara pemotongan antara lain: UU Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab I Pasal 1 ayat 42, Bab II Pasal 3 huruf a, Bab IV Bagian Kesatu Pasal 18 ayat (1) dan (2), Bab IV Bagian keempat Pasal 34, Bab VI Bagian kesatu Pasal 56, Bab VI Bagian kesatu Pasal 58, Bab VI Bagian kesatu Pasal 58, Bab VI Bagian kesatu Pasal 61, Bab VI Bagian kedua Pasal 66, Bab VI Bagian kedua Pasal 67.
Pemerintah mempunyai kewenangan terhadap perlindungan peternak, perusahaan peternakan, hewan ternak dan konsumen sehingga semua aspek yang ada didalamnya mendapatkan kesejahteraan yang diatur dalam Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2009 Bab VI Pasal 63, Bab VI Pasal 64.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus.2012.http://ainuly90.blogspot.com/2012/04/kesejahteraan-hewan-bagikesehatan.html di akses tanggal 23/09/2012. Anonimus.2012http://hannayuri.wordpress.com/2011/11/01/undang-undang-peternakan-dankesehatan-hewan-tentang-pemotongan-hewan/ di akses tanggal 22/09/2012 Blakely, J. and D. H. Bade, 1992. The Science of Animal Husbandry. Penterjemah: B. Srigandono. Cet. ke-2. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Manual Kesmavet, 1993. Pedoman Pembinaan Kesmavet . Direktorat Bina Kesehatan Hewan Direktorat Jendral Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta. Nuhriawangsa, A. M. P., 1999. Pengantar Ilmu Ternak dalam Pandangan Islam: Suatu Tinjauan tentang Fiqih Ternak . Program Studi Produksi Ternak, Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Pranoto,Achmad,E.2012.http://ekoachmadpranoto.blogspot.com/2012/03/animal psychology.html di akses tanggal 23/09/2012. Smith, G. C., G. T. King dan Z. L. Carpenter, 1978. Laboratory Manual for Meat Science. 2nd ed . American Press, Boston, Massachusetts. Soeparno, 1992. Ilmu dan Teknologi Daging . Cetakan ke-1. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.