Berbagai permasalahan dalam bidang agribisnis selalu muncul mulai yang berkaitan dengan proses produksi, pascapanen (pengeringan, sortasi, dan lain-lain), penyimpanan, pengangkutan dan pemasaran. Sejauh ini proses produksi dan penanganan hasil panen komoditas lebih banyak menekankan pada kemampuan dan keterampilan petani secara individu. Proses yang melibatkan kelembagaan, baik dalam bentuk lembaga organisasi maupun kelembagaan norma dan tata pengaturan, pada umumnya masih terpusat pada proses pengumpulan dan pemasaran dalam skala tertentu. Kelembagaan pertanian dan petani belum terlihat perannya dalam mengatasi permasalahan tersebut. Padahal fungsi kelembagaan agribisnis sangat beragam, antara lain adalah sebagai penggerak, penghimpun, penyalur sarana produksi, pembangkit pembangkit minat dan sikap, dan lain-lain. Sistem produksi pertanian di Indonesia umumnya dicirikan oleh kondisi sebagai berikut: (1) skala usaha kecil dan penggunaan modal kecil; (2) penerapan teknologi usahatani belum optimal; (3) belum adanya sistem pewilayahan komoditas yang memenuhi azas-azas pengembangan usaha agribisnis; (4) penataan produksi belum berdasarkan keseimbangan antara supply dan demand ; dan (5) sistem panen dan penanganan pascapanen yang belum prima; serta (6) sistem pemasaran hasil belum efisien dan harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang (Balitbang Deptan, 2007). Pada umumnya sebagian besar pelaku agribisnis di Indonesia adalah petani kecil yang apabila berhimpun dalam kelmbagaan pertanian akan memperoleh manfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri melainkan untuk masyarakat dan bangsanya. Peran kelembagaaan pertanian sangat penting dalam menunjang kesejahteraan petani khususnya petani manggis ditengah arus globalisasi ekonomi karena manggis merupakan salah satu komoditas eksport unggulan dari negara Indonesia. Globalisasi ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan semakin terintegrasinya berbagai aspek perekonomian suatu negara dengan perekonomian dunia serta meningkatnya tingkat persaingan baik antar pelaku agribisnis maupun antar negara (Saptana, 2008). Sejalan dengan globalisasi perekonomian tersebut, terjadi pula perubahan besar pada preferensi konsumen terhadap produk-produk pertanian. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa dewasa ini konsumen tidak membeli komoditi tetapi membeli produk. Sehingga menuntut
produk pertanian khususnya manggis, harus memiliki daya saing baik di pasar lokal maupun pasar internasional. Daya
saing
produk
pertanian
tersebut
dapat
terebentuk
melalui
pemberdayaan kelembagaan agribisnis pada masing-masing lokasi yang akan meningkatkan daya saing wilayah khususnya Kabupaten Tasikmalaya sebagai sentra produksi manggis yang pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa dalam pasar internasional. Sehingga peranan kelembagaan pertanian dapat terlihat dalam meningkatkan kesejahteraan petani khususnya petani manggis yang bergabung dengan kelompok tani. Di Kabupaten Tasikmalaya, pengusahaan tanaman manggis terkonsentrasi di tujuh kecamatan, yaitu Puspahiang, Salawu, Sodonghilir, Tanjungjaya, Jatiwaras, Mangunreja, dan Sukaraja. Potensi lahan terbesar untuk tanaman manggis terdapat di Kecamatan Sodonghilir, namun areal terluas saat ini berada di Kecamatan Puspahiang. Dari data tersebut tampak bahwa lahan potensial untuk pengembangan tanaman manggis di kecamatan sentra produksi sekitar 10851 ha. Lahan yang telah diusahakan baru mencapai 1659 ha sehingga masih ada sisa areal potensial seluas 9192 ha Potensi Pengembangan Manggis di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2006 Kecamatan
Luasan (ha) Potensi
Umur tanaman Telah
Sisa
(th)
ditanami Puspahiang
1640
679
961
1-70
Salawu
2183
222
1961
1-70
208
308
1-70
Tanjungjaya 516 Sodonghilir
2860
259
2601
1-70
Mangunreja
540
17
523
1-70
Jatiwaras
2487
204
2283
1-70
Sukaraja
625
70
555
1-70
Total
10851
1659
9192
Sumber data : Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/12/11/peran-kelembagaanpertanian/