BERBAGAI ISTILAH TENTANG MANUSIA: SUATU TINJAUAN QUR’ANIK
Upaya untuk menyingkap hakikat manusia secara utuh telah banyak menyita perhatian, baik dari kalangan ilmuan, filosof, bahkan para agamawan sepanjang masa. Pendefinisian ini dipandang perlu untuk membantu manusia mengenal dirinya dan mampu menentukan bentuk aktivitas yang dapat mengantarkannya pada makna kebahagiaan yang sesungguhnya. Namun upaya tersebut sering mengalami kegagalan, sebab, manusia hanya mampu menyingkap hakikat dirinya pada batas instrumen dan bukan pada substansi. Sulitnya menyingkap substansi manusia bahkan disadari oleh Alexis Carrel. Carrel menyebut manusia sebagai makhluk misterius dan unik yang tidak mampu ditelusuri secara keseluruhan (Alexis Carrel, 1987: 42). Ketidakmampuan manusia dalam menelusuri substansi dirinya secara utuh, disebabkan karena keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya, terutama dalam menyingkap hal-hal rohaniah yang bersifat abstrak. Keterbatasan ini menurut Quraish Shihab, disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: Pertama, yaitu: Pertama, dalam sejarah sejarah kehidupannya, manusia manusia lebih tertarik tertarik melakukan penyelidikan tentang alam materi (konkrit), dibanding pada hal-hal yang bersifat immaterial (abstrak). Kedua, (abstrak). Kedua, keterbatasan akal manusia yang hanya mampu memikirkan hal-hal yang bersifat instrumental ketimbang hal-hal yang bersifat substansial dan kompleks. Ketiga, kompleks. Ketiga, kompleksitas dan uniknya manusia (Quraish Shihab, 1997: 227). Ketika berbagai upaya tersebut mengalami jalan buntu dan tumbuhnya kesadaran manusia akan keterbatasannya, manusia kemudian mencoba mengenal dirinya melalui pendekatan agama. Hal ini disebabkan karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang dalam penciptaannya terdapat unsur-unsur Ilahiyah Ilahiyah (Roh Ilahi), yang substansinya hanya Allah yang mengetahui sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang roh, kecuali sedikit. (Q.S. Al-Isra’, 17: 85). Dengan demikian, maka satu-satunya jalan untuk mengenal manusia itu sesungguhnya, adalah dengan merujuk kepada wahyu ilahi (Al-Qur’an). Setidaknya ada empat kata yang digunakan al-Qur’an untuk menunjuk makna manusia, yaitualyaitu al Basyar, al-Insan, al-Naas, al-Naas, dan Bani dan Bani Adam. Adam. Meskipun keempat kata tersebut menunjuk pada makna manusia, namun secara khusus memiliki penekanan pengertian yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat dilihat pada uraian berikut: 1. a.
Manu Manusi sia a seba sebaga gaii al-Basyar.
Kata al-Basyar , dinyatakan dalam al-Qur’an al-Qur’an sebanyak 36 kali dan tersebar dalam 26 surat. (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, 1988: 153). Secara etomologi, al-basyar berarti al-basyar berarti kulit kepala, wajah, atau tubuh yang menjadi tempat tumbuhnya rambut (Al-Ragib al-Isfahany, tt: 46). Manusia dinamai basyar karena basyar karena kulitnya tampak jelas, dan berbeda dengan kulit binatang yang lain. Di samping itu , al-basyar juga al-basyar juga dapat diartikan mulasamah, mulasamah, yaitu persentuhan kulit antara lakilaki dengan perempuan (Ibn Manzhur, 1992: 306). Makna etimologis ini dapat dipahami bahwa manusia merupakan makhluk fisik-biologis yang memiliki segala sifat kemanusiaan dan keterbatasan, seperti makan, minum, seks, keamanan, kebahagiaan, dan lain sebagainya. Maknamakna al-basyar ini al-basyar ini dapat pula dilihat pada konteks ayat yang menggambarkan potensi al-
basyar manusia seperti kulit tubuh manusia (Q.S. 74:27-29), penegasan bahwa nabi juga adalah manusia seperti pada umumnya yang butuh makan dan minum (Q.S. 23:23, 3:79, 5:18, 6:91, 14:10-11, 16:104, 21:3, 23:24, 26:154, 186, 36:15, 41:6, 42:51, 64:6, 74:31, 11:27, 12:31, 17:9394, 23:34, dan 54:24), hubungan laki-laki dan perempuan atau persetubuhan (Q.S. 19:2, 3:47), manusia pada umumnya (QS. 74:25, 19:26, 74: 36, 19:17), proses penciptaannya dari tanah (QS. 38:71-76, 25:54, 30:20, dan 15:28), dan akhirnya akan menemui kematian (Q.S. 21:34-35). Dengan demikian, semua penggunaan kata al-basyar dalam al-Qur’an menunjuk pada gejala umum yang tampak pada fisik atau lahiriyahnya, yang secara umum antara satu dengan yang lainnya mempunyai persamaan-persamaan. Pengertian al-basyar , tidak lain adalah manusia dalam kehidupannya sehari-hari yang berkaitan dengan aktivitas lahiriyahnya, yang dipengaruhi oleh dorongan kodrat alamiahnya seperti; makan, minum, bersetubuh, dan akhirnya akan mati mengakhiri kegaitannya. 1. b. Manusia sebagai al-Insan
Di dalam al-Qur’an kata insan disebut sebanyak 73 kali dan tersebar dalam 43 surat (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, op.cit., h.119). Kata insan berasal dari kata “uns” secara etimologis berarti jinak, harmoni, dan tumpah. Ada pula yang berpendapat bahwa kata “uns” berasal dari kata “nasiya” yang berarti lupa, atau dari kata “nasa-yanusu” yang berarti guncang (Quraish Shihab, op.cit., h. 278). Dengan demikian, sebagai al-insan, manusia adalah makhluk yang jinak dan harmoni sehingga ia dapat menampilkan kelembutan, keramahan dan kesopanan, dan karena ia dapat hidup berdampingan dengan orang lain. Bersamaan dengan itu, sebagai insan, manusia juga adalah makhluk berpotensi lupa terhadap sesuatu, bahkan juga lupa dengan Tuhan. Selanjutnya, di dalam al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang berbicara tentang manusia sebagai insan yang dikaitkan dengan berbagai kegiatan manusia. Kata insan digunakan untuk menjelaskan sifat umum, serta sisi kelebihan dan kelemahan manusia (Q.S. 53:24-25, 42:48, 33:72, 19: 66-67, 17:100, 70:19, 103:2), terkadang digunakan untuk menjelaskan tentang kegiatan manusia dalam belajar (Q.S. 96:1-5, dan 55:1-3), sebagai makhluk yang memiliki musuh dan suka bermusuhan, (Q.S. 12:5, dan 17:53), sebagai makhluk yang dapat mengelola dan merencanakan waktu (Q.S. 103:1-3), sebagai makhluk yang dapat memikul beban amanah yang dipercayakan kepadanya (Q.S. 33:72), sebagai makhluk yang harus menanggung akibat dari usaha dan perbuatan yang dilakukannya (Q.S. 53:39, dan 79:35), sebagai makhluk yang memiliki komitmen moral (Q.S. 29:8, 31:14, dan 46:15), makhluk yang dapat melakukan usaha dibidang peternakan (Q.S. 28:23, dan 25:49), makhluk yang dapat melakukan kegiatan pelayaran (Q.S. 2:164), makhluk yang dapat melakukan perubahan sosial (Q.S. 3:140 dan 8:26), makhluk yang dapat melakukan tugas kepemimpinan (Q.S. 2:124), makhluk yang dapat menguasai ruang angkasa (Q.S. 55:33), makhluk yang taat menjalankan ibadah (Q.S. 2:21), dan makhluk yang mendambakan kehidupan bahagia di dunia dan di akhirat (Q.S. 17:71). Di samping itu, kata al-insan digunakan al-Qur’an untuk menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani (Samsul Nizar, 2002: 6). Harmonisasi kedua aspek tersebut dengan berbagai potensi yang dimilikinya mengantarkan manusia sebagai makhluk Allah yang unik dan
istimewa, sempurna dan memiliki diferensiasi individual antara satu dengan yang lain, dan sebagai makhluk dinamis, sehingga mampu menyandang predikat khalifah Allah di muka bumi. Segala kegiatan manusia dalam konteks al-insan tersebut di atas yang ada di dalam al-Qur’an menunjukkan adanya bidang kegiatan manusia yang amat luas, di mana semua kegiatan manusia ini pada dasarnya adalah kegiatan yang disadari dan berkaitan dengan kapasitas akal dan aktualisasinya dalam kehidupan konkrit. Dari kata al-insan ini pula, terlihat sesungguhnya manusia merupakan makhluk Allah yang memiliki sifat-sifat manusiawi yang bernilai positif dan negatif. Agar manusia bisa selamat dan mampu memfungsikan tugas dan kedudukannya di muka bumi dengan baik, maka manusia harus senantiasa mengarahkan seluruh aktivitasnya, baik fisik maupun psikisnya sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam.
1. c.
Manusia sebagai al-Nas
Kata al-Nas dinyatakan dalam al-Qur’an sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surat (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, op.cit., h. 895). Kata al-nas menunjukkan pada eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan, tanpa melihat status keimanan dan kekafirannya (Al-Ragib al-Isfahany, op.cit., h. 509). Dalam menunjuk makna manusia, kata alnas lebih bersifat umum bila dibandingkan dengan kata al-insan (Samsul Nizar, op.cit., h. 12). Keumuman tersebut dapat dilihat dari penekanan makna yang dikandungnya. Kata al-nas menunjuk manusia sebagai makhluk sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering melakukan mafsadat dan merupakan pengisi neraka, di samping Iblis. (Q.S. 2:24, dan 10:11). Kata al-nas juga dinyatakan Allah dalam al-Qur’an untuk menunjuk bahwa sebagian besar manusia tidak memilik ketetapan keimanan yang kuat. Kadangkala ia beriman, sementara yang lain ia munafik (Q.S. 2:8, 13, 44, dan 83). Kata al-nas juga menunjuk manusia sebagai makhluk yang berbeda secara ras, suku, dan bahkan agama (Q.S. 49:13). Dengan demikian, makna manusia dalam konteks al-nas dalam al-Qur’an mengacu kepada manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi bermasyarakat yang akan mengargai perbedaan suku, kultur, ras, agama, dan lain sebagainya. 1. d. Manusia sebagai Bani Adam
Kata Bani Adam, dijumpai dalam al-Qur’an sebanyak 7 kali dan tersebar dalam 3 surat (Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, op.cit.,h. 32). Secara etimologi kata Bani Adam menunjukkan arti pada keturunan nabi Adam a.s. Melihat konteks penggunaan kata Bani Adam di dalam alQur’an, seperti kemuliaan anak-anak adam dalam kehidupan (Q.S. 17:70), kebolehan berhias (Q.S. 7:31), keharusan mengikuti ajaran para rasul (Q.S. 7:35), dan lain sebagainya. Dengan demikian, kata Bani Adam menunjukkan pada manusia sebagai makhluk sosial yang melakukan
aktivitas secara bersama-sama, seperti melakukan aktivitas secara bersama-sama, melakukan komunikasi sosial, pemanfaatan sumber daya alam, peng gunaan fasilitas sosial, dan lain sebagainya. Menurut al-Thabathaba’i, penggunaan kata Bani Adam menunjuk pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah. Kedua, saling mengingatkan agar tidak terprosok pada bujuk rayuan syaithan. Ketiga, memanfaatkan segala yang ada di alam semesta dalam rangkah ibadah kepada Allah (Muhammad Husein al-Thabathabai, 1983: h. 68, 155, dan 102). Bila dilihat dari pandangan al-Thabathabai di atas, terlihat bahwa pemaknaan kata Bani Adam, lebih ditekankan pada aspek amaliah manusia sekaligus pemberi arah ke mana dan dalam bentuk apa aktivitas yang dilakukan. Pada diri manusia diberikan potensi kebebasa untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam kehidupannya untuk memanfaatkan semua fasilitas yang ada di alam semesta ini secara maksimal.
1. Implikasi Paedagogis Konsep Manusia dalam al-Qur’an Berdasarkan kajian tentang konsep al-Basyar, al-Insan, al-Nas, dan Bani Adam yang terdapat di dalam al-Qur’an serta penjelasannya yang diberikan p ara ulama sebagaimana tersebut di atas, terlihat dengan jelas bahwa manusia adalah makhluk yang memiliki potensi intelektual, spiritual, sosial, dan jasmani dengan berbagai cabangnya. Dengan berbagai potensi ini, maka manusia sebagai makhluk yang idealis, dapat membuat perencanaan masa depannya, merumuskan konsep dan teori tentang berbagai aspek kehidupan. Dari sekian banyak ayat al-Qur’an yang menyinggung manusia tersebut pula, terlihat adanya potensi jiwa dan raga, berpikir dan bekerja, berinteraksi secara sosial, yang ideal dan nyata yang dimiliki manusia. Potensi-potensi itulah yang mendorong manusia berpikir dan b erbudaya. Dan, agar manusia dapat berpikir kreatif dan berbudaya sangat membutuhkan pendidikan dalam arti seluas-luasnya. Dari proses berpikir itu sebagai bentukan proses pendidikan terjadi hubungan dialektika antara akal dengan ciptaan Tuhan, sehingga manusia dapat mengenal dan berhubungan dengan kebenaran Tuhan yang terkandung dalam ciptaan-Nya. Implikasi paedagogiek dari konsep-konsep tentang manusia tersebut dapat dicermati pada hakikat makna yang diinformasikan di dalam al-Qur’an. Manusia dalam konteks al-Insan misalnya, secara hakikat adalah manuia yang berakal yang memerankan diri sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian ideal, sedangkan kata al-Basyar menunjuk pada manusia yang berbuat sebagai subjek kebudayaan dalam pengertian material, seperti yang terlihat pada aktivitas fisiknya. Dengan demikian, penjelasan tentang manusia dalam konteks al-insan-albasyar dalam al-Qur’an erat kaitannya dengan gambaran tentang potensi intelektual-rohaniah dan fisik-biologis manusia dalam hubungannya dengan makhluk yang dapat melaksanakan aktivitas belajar dan mengajar.
Dari berbagai aktivitas/kegiatan yang dilakukan manusia itu secara antropologis, tentunya tidak terlepas dari perwujudan eksistensi dirinya sebagai makhluk pendidikan (animal educable) yang dapat belajar dan mengajar, dan dari semua bentuk perwujudan eksistensi diri manusia itu kemudian itulah membentuk kebudayaan. Jadi, Insan-basyar pada hakikatnya adalah manusia sebagai kesatuan yang membentuk kebudayaan. Kebudayaan tidak dapat dilepaskan dari sisi penggunaan akal dan aktivitas fisik manusia dalam kehidupan masyarakat. Dari konteks ini pula kata insan dan basyar pada dasarnya menunjuk pada manusia yang tunggal yang mempunyai dua dimensi, dimensi insan pada kapasitas akalnya dan dimensi basyar pada kapasitas aksinya. Sebagai kesatuan insanbasyar, maka perwujudannya dalam realitas kehidupan manusia selalu berkaitan dengan aktivitas kebudayaannya. Wujud kebudayaan tersebut mencakup yang ideal yang bersifat abstrak, yaitu proses pikir maupun yang material yang bersifat nyata (Musa Asy’ari, ibid., h. 35). Demikian pula penggunaan kata al-nas dan bani Adam. Hakikat pemaknaan dari kata al-nas maupun bani Adam menunujukkan secara komprehensif manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang bermasyarakat, yaitu makhluk yang eksistensi dan kelangsungan hidupnya amat bergantung dengan orang lain secara sosial yang sangat heterogen dan plural. Maka kata al-nas dan bani Adam menunujukkan adanya manusia memiliki potensi untuk membangun kehidupan sosial secara harmonis dan menghargai berbagai kemajemukan yang ada. Pendidikan, harus membantu mengarahkan perkembangan dan pertumbuhan potensi sosial manusia tersebut agar mampu mengelola kehidupan yang plural dan multikultur. Dengan memahami kerangka dasar ini, maka sungguhpun manusia itu berbeda, namun ia tetap dalam satu kesatuan universal. Pendidikan harus dapat membina unsur al-nas dan bani Adam manusia, atau bahwa pendidikan itu harus mendidik orang agar mampu bermasyarakat dan mengembangkan kebudayaan dan peradabannya yang tidak lepas dari hakikat pencipaataan manusia itu sendiri, yaitu agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi “abid” yang ta’aat dan dapat menjadi “khalifah” yang bermanfaat bagi semua aspek kehidupan (rahamatan li al-alamin). Informasi dan konsep tentang manusia dengan berbagai potensi yang dimilikinya itu amat menolong manusia dalam rangka merancang kegiatan pendidikan dan pengajaran melalui strategi pembelajarn yang bersifat konsepsional dan tepat. Tanpa memiliki pengetahuan yang luas, mendalam dan komprehensif tentang manusia akan gagal dalam merancang konsep dan strategi pembelajarannya yang matang, utuh dan komprehensif. Di sinilah letak relevansi kajian tentang manusia sebagai makhluk pendidikan (animal educable) dengan perumusan konsep strategi pembelajaran. Setiap konsep perumusan strategi pembelajaran tanpa mendalam konsep manusia, bukan saja akan gagal dalam merumuskan konsep tersebut, melainkan dapat mengaikabtakan keliru dalam membangun karakter generasi anak bangsa. Dalam kegiatan belajar mengajar, seorang pendidik dapat mengembangkan potensi insan, basyar, nas, dan bani Adam yang dimiliki manusia tersebut, kemudian mengarahkan, membimbing dan memberdayakannya, sehingga berbagai potensi tersebut menjadi aktual dan dapat menolong dirinya sendiri, masyarakat, bangsa, dan agamanya di mana ia berada. Dengan cara demikian, akan tercipta keadaan manusia yang sutuhnya (insan kamil.
PENUTUP
Berdasarkan uraian dan analisis tersebut di atas, dapat diambil beberapa catatan kesimpulan sebagai penutup tulisan ini sebagai berikut; Pertama, bahwa kajian terhadap konsep manusia sebagai makhluk pendidikan penting dilakukan, karena berbagai rumusan tentang pendidikan dengan berbagai komponennya baru akan dapat dicapai apabila berdasarkan pada konsep manusia yang komprehensif. Kedua, Islam dengan sumber utamanya al-Qur’an dan as-Sunnah, ternyata mengandung petunjuk yang jelas tentang konsep manusia dengan menggunakan empat istilah, yaitu; basyar, insan, nas, dan bani Adam, menunjukkan bahwa manusia memiliki potensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dapat diterapkan dalam merancang konsep pendidikan dan pembelajaran.