BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Thalasemia berasal dari kata Yunani, yaitu talassa yang berarti laut. Yang dimaksud dengan laut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini pertama kali dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Penyakit ini pertama sekali ditemukan oleh seorang dokter di Detroit USA yang bernama Thomas B. Cooley pada tahun 1925. Beliau menjumpai anak-anak yang menderita anemia dengan pembesaran limpa setelah berusia satu tahun. Selanjutnya, anemia ini dinamakan anemia splenic anemia splenic atauerit atauerit roblastosis atau anemia mediteranean atau anemia Cooley sesuai dengan nama penemunya. Penyakit thalasemia adalah penyakit kelainan sel darah merah yang mudah pecah sehingga penderitanya membutuhkan transfusi darah untuk menutupi kekurangan tersebut. Namun dengan transfusi darah tersebut menyebabkan tubuh penderitanya kelebihan zat besi yang bisa menimbulkan penyakit komplikasi seperti gagal jantung, diabetes, gangguan ginjal, osteoporosis dan sebagainya. Apabila thalasemia tidak ditangani dengan transfusi darah akan menyebabkan anemia kronis dan berakibat fatal. Thalasemia merupakan penyakit genetik yang diwariskan oleh orang tua kepada keturunannya. Penyakit ini tidak menular melainkan hanya diturunkan. (Atmakusuma diturunkan. (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2014). Proses pengobatan thalasemia membutuhkan waktu yang lama dan teratur, oleh karena itu anak yang menderita thalasemia harus terus menjalani pengobatan secara rutin selama berbulan-bulan serta harus mendapatkan dukungan dari orang tua (Klassen, 2011).
Thalassemia merupakan masalah besar di negara-negara di sekitar Laut Mediterania, Timur Tengah, India, Pakistan, Asia Tenggara, Rusia Selatan, dan Cina. Frekuensi pembawa thalassemia alfa (α) terentang dari Afrika ke Mediterania, Timur Tengah, Asia Timur dan Tenggara (Atmakusuma dan Setyaningsih, 2014). Berdasarkan data World Health Organisation (WHO) pada tahun 2016). 300 hingga 500 ribu kelahiran baru penyandang thalassemia berat terjadi. Thalassemia ditandai dengan gangguan sintesis atau penurunan produksi protein globin pada sel darah merah menyebabkan hemoglobin menjadi abnormal atau membentuk variasi hemoglobin selain Hb A . Mutasi yang terjadi pada gen α-globin dan gen beta globin merupakan penyebab terbanyak terjadinya kasus thalassemia, sekaligus menjadi dua tipe utama thalassemia yaitu α-thalassemia dan β-thalassemia (Weatherall dan Clegg, 2014). Berdasarkan data dari Yayasan Thalasemia Indonesia, kasus thalasemia (kelainan sel darah merah) mayor di Indonesia terus meningkat sejak lima tahun terakhir. Pada tahun 2012 terdapat 4.896 kasus thalasemia mayor dan pada 2017 terus meningkat menjadi 8.616 kasus. Dia menerangkan saat ini masih sedikit masyarakat yang memahami apa itu penyakit thalasemia sehingga pencegahan satu-satunya terhadap penyakit yang diwariskan ini, yaitu skrining, baru sedikit dilakukan oleh masyarakat. Menurut UNICEF memperkirakan sekitar 29,7 juta pembawa thalasemia beta berada di India dan sekitar 10.000 bayi lahir dengan thalasemia mayor. Menurut Kemenkes RI (2016), prevalensi carrier thalasemia di Indonesia sekitar 3-8 %. Jika di asumsikan terdapat 5 % carrier dan angka kelahiran 23 per mil dari total populasi di Indonesia 240 juta jiwa. Maka diperkirakan terdapat 3000 bayi penderita thalasemia setiap tahunnya.
Berdasarkan data tersebut dan dengan memperhitungkan angka kelahiran serta jumlah penduduk Indonesia saat ini, diperkirakan akan lahir 2500 anak thalassemia β mayor setiap tahun (Arimbawa dan Ariawati, 2011). Berdasarkan data di Pusat Thalassaemia, Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FKUI-RSCM, jumlah pasien baru terus meningkat setiap tahunnya mencapai 100 orang/tahun (Health Technology Assesment Indonesia, 2014). Thalassamia β mayor menunjukan klinis yang jelas yaitu anemia berat akibat dari eritropoiesis yang tidak efektif. Gambaran klinis yang jelas ini menyebabkan penderita thalassemia β mayor harus segera diperiksa ke pelayanan kesehatan dan lebih cepat didiagnosis. Penyandang thalassemia β mayor yang tergantung transfusi seumur hidup mengalami kelebihan besi meskipun telah mendapat terapi kelasi besi untuk mengeluarkan kelebihan besi tersebut, namun prognosisnya lebih baik bila dibandingkan dengan yang tidak mendapat terapi kelasi besi. Selain akibat transfusi darah rutin, meningkatnya penyerapan zat besi melalui traktus gastrointestinal juga berdampak pada kelebihan besi. Untuk pemantauan kelebihan besi pada pasien thalassemia β mayor dapat digunakan pemeriksaan kadar feritin serum. Kadar feritin serum hingga saat ini merupakan cara pemeriksaan tunggal yang sederhana, noninvasif, tersedia luas, mudah dilakukan, dan lebih ekonomis (Ismail dkk, 2013). Transfusi darah berulang dapat memperpanjang usia harapan hidup pasien thalassemia β mayor, tetapi juga memberikan dampak negatif terjadinya kelebihan besi yang dapat menyebabkan berbagai kerusakan organ, salah satu target utamanya adalah hati (Eleftheriou, 2012;- Anggororini, 2013). Kelebihan besi yang terus terjadi akan membentuk radikal bebas yang menyebabkan kerusakan dan kematian sel hati,
kemudian melepaskan aminotransferase ke dalam darah, yang secara biologi digambarkan dengan peningkatan aktifitas dari aminotransferase serum; alanine aminotransferase (ALT) atau serum glutamicpyruvic transaminase (SGPT) dan aspartat aminotransferase (AST) atau serum glutamic-oxaloacetic transaminase (SGOT) (Asopari, 2014; Brissot, 2014). Hockenberry & Wilson (2012), bahwa anak dengan thalasemia akan membutuhkan dan harus menjalani tranfusi darah yang teratur untuk mempertahankan kehidupannya, selain itu anak juga harus mengkonsumsi obat kelasi besi yang bertujuan untuk mengurangi kelebihan zat besi akibat transfusi darah yang dilakukan secara rutin dan dalam jangka waktu lama. Transfusi darah dapat memberikan efek samping, dimana kelebihan zat besi akibat transfusi pada mental dan fungsi sosial. Gangguan psikologis yang ditemukan seperti perasaan bersalah, marah, sedih, dan tidak percaya, takut tertekan dan cemas dapat dirasakan menetap sampai 5 tahun dan dapat kembali normal setelah beberapa tahun (Norberg & Boman, 2013).
B. Tujuan Penulisan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu
untuk memahami gambaran pengelolaan dan menerapkan
Asuhan Keperawatan pada klien yang menderita Thalassamia. 2. Tujuan Khusu a. Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan Thalassamia. b. Mahasiswa mampu mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada klien Thalassamia berdasarkan data-data yang diperoleh.
c.
Mahasiswa
mampu
mengelola
menggambarkan
perencanaan
keperawatan
dalam
klien Thalassamia.
d. Mahasiswa melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan diagnosa yang ada. e. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan pada klien Thalassamia. f.
Mahasiswa
mampu
mendokumentasikan
semua
asuhan
keperawatan
pada klien dengan Thalassamia. C. Manfaat Penulisan Beberapa mafaat yang dapat diambil dalam penulisan laporan kasus sebagai
ini adalah
berikut :
1. Bagi Mahasiswa Mempelajari dan memahami tentang asuhan keperawatan dengan masalah Thalassamia) di ruang rawat Anak RSUD H. Hanafie Muara Bungo. 2. Bagi institusi pendidikan Dapat digunakan sebagai informasi bagi institusi pendidikan keperawatan dalam mengembangkan dan meningkatkan mutu pendidikan khususnya mengenai kasus Thalassamia. 3. Bagi institusi Rumah Sakit Sebagai tambahan informasi khususnya perawat dalam meningkatkan asuhan keperawatan pada klien Thalassamia di Ruang Rawat Inap Anak RSUD H. Hanafie Muara Bungo sehingga dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.