BAB I KONSEP DASAR PERUBAHAN SOSIAL
A. Perubahan Sosial sebagai Inti Studi Sosiologi Sosiologi merupakan studi mengenai masyarakat dalam suatu sistem sosial. Di dalam sistem sosial tersebut, masyarakat selalu mengalami perubahan. Tidak ada masyarakat yang tidak mengalami perubahan, walaupun dalam taraf yang paling kecil sekalipun, masyarakat (individu) akan selalu berubah. Perubahan tersebut dapat berupa perubahan yang kecil sampai pada taraf perubahan yang sangat besar yang mampu memberikan pengaruh yang besar bagi aktifitas atau perilaku manusia. Perubahan dapat mencakup aspek yang sempit maupun yang luas. Aspek yang sempit dapat meliputi aspek perilaku dan pola pikir individu. Aspek yang luas dapat berupa perubahan dalam tingkat struktur masyarakat yang nantinya dapat memengaruhi perkembangan masyarakat di masa yang akan datang. Studi mengenai perubahan sosial yang menjadi inti studi dalam sosiologi, sudah dimulai pada sekitar abad XVIII. Ibnu Khaldun, seorang pemikir Islam dalam bidang ilmu sosial, pertama kali memperkenalkan konsep perubahan sosial. Perubahan sosial menurut Khaldun, bahwa masyarakat secara historis bergerak dari masyarakat nomaden menuju masyarakat (yang tinggal) menetap. Selain Khaldun, beberapa ilmuwan sosial (sosiologi) di abad XIX sampai XX, juga menjelaskan beberapa konsep perubahan sosial. Auguste Comte (yang dikenal sebagai bapak sosiologi) menjelaskan mengenai kajian sosiologi menjadi dua sudut pandang utama, yakni statika sosial dan dinamika sosial. Perubahan sosial merupakan satu kajian dinamika sosial. Comte menjelaskan mengenai perubahan tahap kehidupan manusia mulai dari tingkat teologis—metafisis—dan positivistik. Konsep statika dan dinamika sosial Comte dipertahankan oleh Spencer melalui konsep struktur dan fungsi. Struktur mengacu pada konsep statika sosial, dan fungsi mengacu pada konsep dinamika sosial. Beberapa tokoh yang lain di antaranya : Emile Durkheim (pergerakan dari solidaritas mekanik menuju solidaritas organik), Marx (dari tingkat primitif sampai komunis), Tonies (dari gemeinschaft sampai geiselschaft), Weber (dari konsep masyarakat irasional menuju masyarakat rasional) dan lainnya. Dari pemikiran beberapa tokoh sosiologi tersebut, nampak jelas bahwa studi mengenai perubahan sosial selalu menjadi fokus kajian sosiologi. Kajian tersebut tidak semata terbatas pada proses perubahannya, mekanisme perubahan, arah perubahan, melainkan sampai pada pembahasan mengenai dampak atau konsekuensi-konsekuensi perubahan sosial serta solusi yang ditawarkan oleh para sosiolog.
P a g e |2
B. Pengertian Perubahan Sosial Perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi di dalam atau mencakup sistem sosial. Lebih tepatnya, terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu yang berlainan. Untuk itu, konsep dasar mengenai perubahan sosial menyangkut tiga hal, yaitu : a. perbedaan; b. pada waktu yang berbeda; dan c. di antara sistem sosial yang sama (Sztompka, 2004 : 3). Adakalanya perubahan hanya terjadi sebagian ruang lingkupnya, tanpa menimbulkan akibat besar terhadap unsur lain dari sistem tersebut. Namun, perubahan mungkin juga mencakup keseluruhan (atau sekurang-kurangnya mencakup inti) aspek sistem, menghasilkan perubahan secara menyeluruh dan menciptakan sistem yang secara mendasar berbeda dari sistem yang lama. Berikut ini diberikan definisi mengenai perubahan sosial yang dikemukakan oleh beberapa tokoh : 1. Kingsley Davis: perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat. 2. Mac Iver: perubahan yang terjadi dalam hubungan sosial atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan. 3. Gillin dan Gillin: suatu variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan dalam masyarakat. 4. Koenig: modifikasi-modifikasi yang terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. 5. Hawley: setiap perubahan yang tak terulang dari sistem sosial sebagai satu kesatuan. 6. Soelaiman Munandar: perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi dari bentuk-bentuk masyarakat. 7. Selo Soemarjan: segala perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. 8. Moore: perubahan penting dari struktur sosial, yaitu pola-pola perilaku dan interaksi sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat. 9. Macionis: transformasi dalam organisasi masyarakat dalam pola berpikir dan dalam perilaku pada waktu tertentu. 10. Persell: modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat. 11. Ritzer, et all : mengacu pada variasi hubungan antarindvidu, kelompok, organisasi, kultur dan masyarakat pada waktu tertentu. 12. Lauer: perubahan fenomena sosial di berbagai tingkat kehidupan manusia, mulai dari tingkat individu-individu sampai dengan tingkat dunia.
P a g e |3
13. Harper: pergantian (perubahan) yang signifikan tentang struktur sosial dalam kurun waktu tertentu. Perubahan di dalam struktur menurut Harper, mengandung beberapa tipe perubahan struktur sosial, yaitu: 1. Perubahan dalam personil, yang berhubungan dengan perubahan-perubahan peran dan individu-individu baru dalam sejarah kehidupan manusia yang berkaitan dengan keberadaan struktur. 2. Perubahan dalam cara bagian-bagian dari struktur berhubungan. 3. Perubahan dalam fungsi-fungsi struktur, berkaitan dengan apa yang dilakukan masyarakat dan bagaimana masyarakat tersebut melakukannya. 4. Perubahan dalam hubungan struktur yang berbeda. 5. Kemunculan struktur baru, yang merupakan peristiwa munculnya struktur baru untuk menggantikan struktur sebelumnya. Menurut Himes dan Moore (dalam Soelaiman, 1998), perubahan sosial mempunyai tiga dimensi, yaitu: dimensi struktural, kultural dan interaksional. 1. Dimensi Struktural mengacu pada perubahan-perubahan dalam bentuk struktural masyarakat, menyangkut perubahan dalam peranan, munculnya peranan baru, perubahan dalam struktur kelas sosial dan perubahan dalam lembaga sosial. Perubahan tersebut meliputi: a. Bertambah dan berkurangnya kadar peranan. b. Menyangkut aspek perilaku dan kekuasaan. c. Adanya peningkatan atau penurunan sejumlah peranan atau pengkategorian peranan. d. Terjadinya pergeseran dari wadah atau kategori peranan. e. Terjadinya modifikasi saluran komunikasi di antara peranan-peranan atau kategori peranan. f. Terjadinya perubahan dari sejumlah tipe dan daya guna fungsi sebagai akibat dari struktur. 2. Dimensi kultural mengacu pada perubahan kebudayaan dalam masyarakat. Perubahan ini meliputi: a. Inovasi kebudayaan. b. Difusi. c. Integrasi 3. Dimensi interaksional mengacu pada adanya perubahan hubungan sosial dalam masyarakat. Meliputi: a. Perubahan dalam frekuensi. b. Perubahan dalam jarak sosial. c. Perubahan perantara. d. Perubahan dari aturan atau pola-pola. e. Perubahan dalam bentuk interaksi.
P a g e |4
D. Mitos-mitos Perubahan Sosial (Lauer, 2001) 1. Mitos Penyimpangan Mitos penyimpangan tentang perubahan sosial berkaitan dengan perspektif struktural fungsional. Perspektif ini mempunyai pandangan bahwa masyarakat merupakan sebuah sistem yang stabil yang memiliki tatanan sosial yang relatif stabil dan terintegrasi. Keteraturan dan kestabilan masyarakat yang terus menerus dianggap sebagai kondisi yang normal, sedangkan perubahan dianggap sebagai kondisi yang menyimpang. Atas dasar itu, perspektif ini mengabaikan arti penting perubahan sosial sebagai sarana menjaga keutuhan sistem sosial. Menurut perspektif ini, untuk dapat memahami perubahan sosial, diperlukan pemahaman mengenai masyarakat dalam kondisi statis. Perspektif fingsional struktural mempunyai beberapa asumsi dasar menurut Berghe (dalam Lauer, 2001: 105-106) : a. Masyarakat harus dianalisis sebagai keseluruhan, sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling berhubungan yang saling berhubungan. b. Hubungah sebab akibat bersifat jamak dan timbal balik. c. Sistem sosial senantiasa berada dalam kondisi “keseimbangan dinamis”, penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu. d. Integrasi sempurna tidak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan, namun cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi. e. Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih merupakan proses penyesuaian daripada perubahan revolusioner. f. Perubahan merupakan hasil penyesuaian atas perubahan yang terjadi di luar sistem, pertumbuhan melalui diferensiasi dan melalui penemuanpenemuan internal. g. Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama. Dalam pandangan struktural fungsional, masyarakat sebagai sistem sosial memiliki kemampuan fleksibel terhadap berbagai kondisi karena pada dasarnya masyarakat mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri dan mengadaptasi dirinya dengan sesuatu yang baru yang berasal dari dalam maupun dari luar. Mekanisme yang dimiliki suatu sistem sosial cenderung menunjukkan kemampuannya dalam menjadikan dirinya tetap dalam keadaan yang seimbang. Perubahan yang terlalu cepat memang dapat merusak sistem. 2. Mitos Trauma Mitos ini pada umunya menyatakan bahwa perubahan merupakan sesuatu yang abnormal. Suatu perubahan dipandang sebagai “siksaan”, sebagai kondisi yang penuh krisis, dan adanya suatu campuran tangan asing yang tidak dikehendaki. Akibat dari pandangan tersebut, maka tedapat sejumlah faktor yang dapat
P a g e |5
menjadi penghambat suatu perubahan, antara lain : sikap anggota masyarakat, nilai-nilai budaya, stratifikasi sosial yang kaku, ketimpangan sosial dan faktor sosial psikologis. Terdapat perbedaan pandangan mengenai sebab timbulnya rintangan terhadap perubahan ini. Spicer menyatakan bahwa orang selalu mengubah cara-cara mereka, tetapi mereka akan merintangi perubahan karena tiga hal : jika perubahan dapat mengancam keamanan mendasar; jika perubahan itu tidak dipahami; dan jika perubahan itu dipaksakan terhadap mereka. Mitos trauma banyak dijelaskan melalui pendapat Spicer ini. 3. Mitos Perubahan Satu Arah dan Mitos Utopia Mitos perubahan satu arah berkaitan dengan pandangan kaum evolusioner, yang menyatakan bahwa semua masyarakat bergerak menuju satu tujuan yang sama dan menempuh jalan yang sama pula untuk mencapai tujuan tersebut. Mitos satu arah ini juga banyak dikenal disebut sebagai teori konvergensi atau teori kontradiksi antara tradisional dan modern. Pada dasarnya teori ini merupakan teori determinisme teknologi, meskipun derajat determinisme teknologi berbeda di kalangan teorisi Pandangan tersebut, menurut Lauer, dapat membawa masyarakat pada mitos pemikiran utopia. Mitos utopia ini mempunyai asumsi bahwa masyarakat industri modern mencerminkan wujud tertingginya dalam prestasi manusia. 4. Mitos Ilusi Semantik Mitos ini menyimpulkan bahwa semua teori mempunyai implikasi, baik mengenai perubahan semantik ataupun keadaan sosial statis, karena semua teori pada dasarnya membahas materi yang sama. Perbedaannya adalah pada tingkat ketepatannya dengan masyarakat yang menjadi tempat teori itu dirumuskan. Menurut Lauer, kesimpulan ini adalah keliru. Menurutnya, semua teori memang mengandung dinamika tertentu, semua teori menyatakan jenis perubahan tertentu, semua teori jelas mengakui bahwa kehidupan sosial bukanlah sesuatu yang tidak berdaya. Namun, tidak semua teori menjelaskan tentang perubahan, kecuali bagi pandangan struktural fungsional. Selain itu, menurut Lauer, terdapat teori yang beranggapan bahwa perubahan merupakan sesuatu yang alamiah, sedangkan teori lain memandangnya sebagai sesuatu yang terjadi melalui semacam paksaan. E. Perbedaan Perubahan Sosial dan Perubahan Kebudayaan Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan hanya dapat dibedakan apabila kita membedakan secara tegas pengertian antara masyarakat dan kebudayaan. Dengan membedakan dua pengertian tersebut, maka dengan sendirinya kita akan membedakan antara perubahan sosial dengan perubahan kebudayaan.
P a g e |6
Davis menyatakan bahwa perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan kebudayaan. Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagiannya, yaitu ilmu pengetahuan, seni, filsafat hingga perubahan dalam bentuk dan aturanaturan sosial. Persamaan antara perubahan sosial dan perubahan kebudayaan adalah bahwa keduanya berhubungan dengan masalah penerimaan cara-cara baru atau suatu perubahan terhadap cara-cara hidup manusia dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Masyarakat menurut Davis merupakan suatu sistem hubungan antara organisasi-organisasi dan bukan hubungan antara sel-sel. Kebudayaan mencakup segenap cara berpikir dan bertingkah laku yang timbul karena interaksi yang bersifat komunikatif seperti menyampaikan buah pikiran secara simbolis dan bukan muncil karena warisan biologis. Proses perubahan sosial dapat diketahui dari ciri-cirinya sebagai berikut : 1. Tidak ada masyarakat yang berhenti perkembangannya karena setiap masyarakat mengalami perubahan yang terjadi secara lambat maupun cepat. 2. Perubahan yang terjadi pada lembaga kemasyarakatan tertentu akan diikuti oleh perubahan pada lembaga-lembaga sosial yang lain. 3. Perubahan yang berlangsung sangat cepat, biasanya mengakibatkan disorganisasi karena dalam masyarakat ada proses penyesuaian diri/adaptasi. Disorganisasi yang diikuti oleh proses reorganisasi akan menghasilkan pemantapan kaidah-kaidah dan nilai yang baru. 4. Suatu perubahan tidak dapat dibatasi pada aspek kebendaan atau spiritual saja, karena keduanya mempunyai kaitan timbal balik yang kuat. 5. Secara tipologis, perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai : a. Proses sosial, yang menyangkut sirkulasi/rotasi ganjaran fasilitas-fasilitas dan individu yang menempati posisi tertentu pada suatu struktur. b. Segmentasi, yaitu keberadaan unit-unit secara struktural tidak berbeda secara kualitatif dari keberadaan masing-masing unit-unit tersebut. c. Perubahan struktural, yaitu munculnya kompleksitas baru secara kualitatif mengenai peranan-peranan dan organisasi. d. Perubahan dalam struktur kelompok, yaitu perubahan dalam komposisi kelompok, tingkat kesadaran kelompok dan hubungan-hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. F. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Sosial Pada umumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dapat digolongkan pada faktor dari dalam dan faktor dari luar masyarakat (Soekanto, 1999 : 352-366). 1. Faktor yang berasal dari dalam : a. Bertambah dan berkurangnya penduduk.
P a g e |7
b. Penemuan-penemuan baru. c. Pertentangan atau konflik. d. Terjadinya pemberontakan atau revolusi. 2. Faktor yang berasal dari luar : a. Lingkungan alam fisik yang ada di sekitar manusia. b. Peperangan c. Pengaruh kebudayaan masyarakat lain. Selain faktor di atas, juga dapat dijelaskan mengenai faktor yang mendorong (mempercepat) dan faktor yang menghambat proses perubahan sosial. 1. Faktor yang mempercepat proses perubahan sosial a. Kontak dengan budaya lain. b. Sistem pendidikan formal yang maju. c. Sikap menghargai hasil karya seseorang dan keinginan untuk maju. d. Toleransi terhadap perbuatan-perbuatan yang menyimpang. e. Sistem stratifikasi masyarakat yang terbuka. f. Penduduk yang heterogen. g. Ketidakpuasan masyarakat terhadap bidang-bidang kehidupan tertentu. h. Orientasi masa depan. i. Nilai bahwa manusia harus senantiasa berikhtiar untuk memperbaiki hidupnya. 2. Faktor yang menghambat proses perubahan sosial a. Kurangnya hubungan dengan masyarakat lain. b. Perkembangan ilmu pengetahuan yang lambat. c. Sikap masyarakat yang sangat tradisional. d. Adanya kepentingan-kepentingan yang telah tertanam dengan kuat atau versted interest. e. Rasa takut akan terjadinya kegoyahan pada integrasi kebudayaan. f. Prasangka terhadap hal-hal baru atau asing atau sikap yang tertutup. g. Hambatan-hambatan yang bersifat ideologis. h. Adat atau kebiasaan. i. Nilai bahwa hidup ini pada hakikatnya buruk dan tidak mungkin diperbaiki. Faktor pendorong perubahan sosial juga dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu: faktor sosial, psikologis dan budaya. Faktor dorongan sosial berkaitan dengan aspek organisasi sosial, seperti keluarga, kelompok-kelompok sosial tertentu, organisasi kemsyarakatan dan sebagainya, yang menjadi faktor pendorong terhadap terjadinya perubahan sosial. Faktor psikologis pada dasarnya berkaitan dengan keberadaan individu-individu dalam menjalankan perannya di masyarakat. Individu kreatif dan individu bermotivasi merupakan salah satu agen perubahan di masyarakat. Faktor budaya setempat juga sangat mempengaruhi kelancaran proses perubahan sosial yang terjadi. Dukungan budaya atas penerimaan sesuatu yang
P a g e |8
baru akan mempermudah terjadinya proses perubahan sosial. Akan tetapi, faktor budaya dapat pula menjadi faktor penghambat bagi kelancaran proses perubahan sosial. Beberapa unsur dalam masyarakat juga dapat menjadi penghambat proses perubahan sosial, baik dari aspek sosial, psikologis budaya ekonomi maupun politik. Faktor sosial di antaranya adalah stratifikasi sosial yang kaku, ketimpangan sosial yang terjadi, fragmentasi komunitas, kepentingan kelompok serta beberapa benturan kebudayaan. Dari aspek psikologis, suatu inovasi baru tidak demikian mudah dapat diterima oleh suatu masyarakat apabila masyarakat yang bersangkutan pernah mengalami hal yang buruk yang disebabkan suatu inovasi baru. Strategi perubahan perilaku dengan cara pemaksaan sering kali menjadi efektif. Tentu saja strategi ini perlu didukung oleh strategi yang lain, seperti strategi persuasif. Berkaitan dengan faktor budaya, suatu perubahan bisa mendapat rintangan dari masyarakat oleh karena perubahan tersebut dinilai akan mengganggu tatanan sosial yang telah mapan. Atau, perubahan tersebut dinilai bertentangan dengan nilai fundamental yang telah lama dianut masyarakat setempat. Di bidang ekonomi misalnya, program IOE dapat membantu pertumbuhan industri dan memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat di dunia ketiga. Namun di lain pihak, akumulasi modal sulit direalisasikan, kekuatan perekonomian tidak mandiri dan rapuh, bahkan melahirkan kemiskinan dan penderitaan yang lebih parah. Dalam bidang politik, masih terdapat korelasi yang kuat antara pembangunan demokrasi politik dengan keberhasilan pembangunan ekonomi seperti kemakmuran, industrialisasi, urbanisasi dan pendidikan. Pandangan politik yang berbeda memungkinkan proses perubahan di masyarakat, terutama akses masyarakat lapisan bawah terhadap berbagai sumber daya. Masyarakat lapisan bawah cenderung inferior, masyarakat menengah cenderung tidak mandiri serta masyarakat lapisan atas kurang berpihak pada rakyat kecil.