BAB II PEMBAHASAN 2.1 Prinsip Etika Pelayanan Kesehatan Pada Lansia
Beberapa prinsip etika yang harus dijalankan dalam pelayanan pada penderita usia lanjut adalah (Kane et al, 1994, Reuben et al, 1996) 1996) : 1. Empati : istilah empati menyangkut pengertian : ”simpati atas dasar pengertian yang dalam”. Dalam istilah ini diharapkan upaya pelayanan geriatri harus memandang seorang lansia yang sakit denagn pengertian, kasih sayang dan memahami rasa penderitaan yang dialami oleh penderita tersebut. Tindakan empati harus dilaksanakan dengan wajar, tidak berlebihan, sehingga tidak memberi kesan over-protective dan belaskasihan. Oleh karena itu semua petugas geriatrik harus memahami peroses fisiologis dan patologik dari penderita lansia. 2. Yang harus dan yang ”jangan” : : prinsip ini sering dikemukakan sebagai non-maleficence dan beneficence. Pelayanan geriatri selalu didasarkan pada keharusan untuka mngerjakan yang baik untuk pnderita dan harus menghindari tindakan yang menambah penderita (harm) bagi penderita. Terdapat adagium adagium primum non nocere (”yang penting jangan membuat seseorang menderita”). Dalam pengertian ini, upaya pemberian posisi baring yang tepat untuk menghindari rasa nyeri, pemberian analgesik (kalau perlu dengan derivat morfina) yang cukup, pengucapan kata-kata hiburan merupakan contoh berbagai hal yang mungkin mudah dan praktis untuk dikerjakan. 3. Otonomi : yaitu suatu prinsip bahwa seorang inidividu mempunyai hak untuk menentukan nasibnya, dan mengemukakan keinginannya sendiri. Tentu saja hak tersebut mempunyai batasan, akan tetapi di bidang geriatri hal tersebut berdasar pada keadaan, apakah penderita dapat membuat putusan secara s ecara mandiri dan bebas. Dalam etika ketimuran, sering kali hal ini dibantu atau menjadi semakin rumit oleh pendapat keluarga dekat. Jadi secara hakiki, prinsip otonomi berupaya untuk melindungi penderita yang fungsional masih kapabel, sedangkan non-maleficence dan beneficence lebih bersifat melindungi penderita yang inkapabel. Dalam berbagai hal
aspek etik ini seolah-olah memakai prinsip paternalisme, dimana seseorang menjadi wakil dari orang lain untuk membuat suatu keputusan. Misalkan : Seorang ayah membuat keputusan bagi anaknya yang belum dewasa. 4. Keadilan : yaitu prinsip pelayanan geriatri harus memberikan perlakuan yang sama bagi semua penderita. Kewajiban untuk memperlakukan seorang penderita secara wajar dan tidak mengadakan pembedaan atas dasar karakteristik yang tidak relevan. 5. Kesungguhan Hati : yaitu suatu prinsip untuk selalu memenuhi semua janji yang diberikan pada seorang penderita.
2.2 Prinsip Moral Etik terhadap Lansia
Prinsip Moral Etik Terhadap Lansia 1. Respect (Hak untuk dihormati) Perawat harus menghargai atau menghormati hak-hak klien. 2. Autonomy (hak pasien memilih) Hak pasien untuk memilih perawatan yang terbaik untuk dirinya. 3. Beneficence (Bertindak untuk keuntungan pasien) Kewajiban perawat untuk melakukan hal tidak membahayakan pasien atau orang lain dan secara aktif berkontribusi bagi kesehatan dan kesejahteraan pasiennya 4. Non-Maleficence (Utamakan tiak mencederai pasien) Kewajiban perawat untuk tidak dengan sengaja menimbulkan kerugian atau cidera, yaitu dengan prinsip jangan membunuh, menghilangkan nyawa, jangan menyebabkan nyeri atau penderitaan pada klien dan jangan melukai perasaan klien. 5. Confidelity (Hak Kerahasiaan) Menghargai kerahasiaan terhadap semua informasi tentang pasien/klien yang dipercayakan pasien kepada perawat. 6. Justice (Keadilan) Kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang. Perkataan adil sendiri berarti tidak memihak atau tidak berat sebelah.
7. Fidelity (Loyal / Ketaatan) Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap kesepakatan yang telah diambil. Pada era modern, pelayanan kesehatan berbentuk Upaya Tim (tanggung jawab tidak hanya pada satu profesi) akan tetapi 80% kebutuhan dipenuhi oleh perawat. 8. Veracity (Kejujuran) Kewajiban untuk mengatakan kebenaran. Terkait erat dengan prinsip otonomi, khususnya terkait informed-consent. Prinsip ini mengikat pasien dan perawat untuk selalu mengutarakan kebenaran. 2.3 Aspek Hukum Dan Etika
Nilai etik dapat membei dampak dalam keperawatan lanjut usia. Menurut hasil
penelitian
LiseLotte Jonasson, MSc., et.all (2011),
berdasarkan
pengamatan pada lansia usia 65 tahun dan wawancara tindak lanjut dengan 20 perawat dan data dianalisis dengan analisis komparatif konstan menunjukkan adanya pengaruh etik dalam perawat lansia yaitu tiga kategori diidentifikasi berupa pertimbangan, hubungan dan perawatan. Kategori ini membentk dasar kategori inti yaitu “Penguatan”. Dalam upaya penguatan, fokusnya adalah pada orang ang membutuhkan integritas dan penentuan nasib sendiri yaitu berupa prinsip otonomi. Pembenaran menempatkan tanggung jawab khusus pada perawat akan manfaat pasien ang lebih ta melalui dukungan dan pemberian kekuatan. Penguatan tawaran lainnya dilakukan dengan dukungan dan interaksi. Hal ini tidak cukup untuk menjadi pertimbangan baik yaitu untuk mendapatkan keuntungan seseorang dan juga menutun perawat hars menghubungkan dan merawat orang tua yaitu menunjukkan non sifat mencelakakan untuk menguatkan lansia tersebut dapat meningkatkan etika asuhan keperawatan. Prinsip keadilan tidak secara khusus diidentifikasika sebagai
tindakan
keperawatan
pada
pasien.
Namun,
semua
pasien
lanjut usia menerima pengobatan, perawatan, dan penerimaan secara setara atau sama tanpa ada perbedaan. Hukum tentang Lanjut Usia dan penerapannya disuatu negara merupakan gambaran sampai berapa jauh perhatian negara terhadap para Lanjut Usianya. Baru sejak tahun 1965 di indonesia diletakkan landasan hukum, yaitu Undang-
Undang nomor 4 tahun 1965 tentang Bantuan bagi Orang Jompo. Bila dibandingkan dengan keadaan di negara maju, di negara berkembang perhatian terhadap Lanjut Usia belum begitu besar. Di Australia, misalnya, telah diundangkan Aged Person Home Act (1954), Home Nursing Subsidy Act (1956), The Home and Community Care Program (1985), Bureau for the Aged (1986), Outcome Standards of Residential Care (1992), Charter for Resident’s Right (1992), Community Option Program (1994), dan Aged Care Reform Strategy (1996). Di Amerika Serikat di undangkan Social Security Act yang meliputi older American Act (Title III), Medicaid (Title VII), Medicare (Title XIX, 1965), Social Service block Plan (Title XX) dan Supplemental Security Income (Title XVI). Selanjutnya diterbitkan Tax Equity and Fiscal Responsibility Act (1982), Omnibus Budget Reconcilliation Act (OBRA, 1987), The Continuun of Long-term Care (1987) dan Program of All Care of the Elderly (PACE, 1990). Di Inggris di undangkan National Assistence Act, Section 47 (1948) dan telah ditetapkan standardisasi pelayanan di rumah sakit serta di masyarakat. Juga telah ditentukan ratio tempat tidur per lanjut usia dan continuing care. Di Singapura dibentuk Advisory Council on the Aged, Singapore Action Group of Elders (SAGE) dan The Elders’ Village. Berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang langsung mengenai Lanjut Usia atau yang tidak langsung terkait dengan kesejahteraan Lanjut Usia telah diterbitkan sejak 1965. Beberapa di antaran ya adalah : 1. UU N0.4 tahun 1965, Tentang pemberian bantuan penghidupan orang tua,
berbunyi Bab I Ketentuan-Ketentuan Umum Pasal 1, berbunyi : “ Yang dimaksud dengan orang jompo dalam Undang undang ini ialah setiap orang yang berhubung dengan lanjutnya usia, tidak mempunyai atau tidak berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi hidupnya sehari-hari ”. Pasal 2, berbunyi: “Bantuan penghidupan yang dimaksudkan dalam Undang-undang ini adalah pemberian tunjangan dan perawatan kepada
orang jompo yang diselenggarakan secara umum oleh Pemerintah atau di rumah Badan-badan/Organisasi Swasta Perseorangan ”. Pasal 3, berbunyi: “ Tunjangan yang diberikan kepada orang jompo berupa pemberian bahan-bahan keperluan hidup atau uang, sedangkan perawatan diberikan
di
rumah
sendiri,
di
rumah
peristirahatan
atau
pengasuhan/pemondokan pada suatu keluarga ” 2. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia (Tambahan lembaran Negara nomor 3796), sebagai pengganti undangUndang nomor 4 tahun 1965 tentang Pemberian bantuan bagi Orang jompo. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 ini berisikan antara lain : 1. Hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab pemerintah, masyarakat dan kelembagaan. 2. Upaya pemberdayaan. 3. Uaya peningkatan kesejahteraan sosial lanjut usia potensial dan tidak potensial. 4. Pelayanan terhadap Lanjut Usia. 5. Perlindungan sosial. 6. Bantuan sosial. 7. Koordinasi. 8. Ketentuan pidana dan sanksi administrasi. 9. Ketentuan peralihan.
Hubungan etika dalam legalitas dokumentasi keperawatan 1. Menjaga kerahasian dan privacy catatan pasien. 2. Kewajiban moral sehat dengan pencatatan elemen-elemen informed concent. 3. Menjaga kerahasian pernyataan / keterangan saksi. 4. Menjaga kerahasian hak pilih pasien.
Pertanggung jawaban pelayanan keperawatan melalui dokumentasi keperawatan. 1. Berpegang pada kode etik. 2. Memberikan prioritas terhadap kebutuhan / masalah pasien.
2.4 Permasalahan pada Lanjut Usia Ditinjau dari Aspek Hukum dan Etik
Permasalahan yang masih terdapat pada Lanjut Usia, bila ditinjau dari aspek hukum dan etika, dapat disebabkan ole factor, seperti berikut : 1. Produk Hukum Walaupun telah diterbitkan dalam jumlah banyak, belum semua produk
hukum
dan
perundang-undangan
mempunyai
Peraturan
Pelaksanaan. Begitu juga belum diterbirkan Peraturan Daerah, Petunjuk Pelaksanaan serta Petunjuk Teknisnya, sehingga penerapannya di lapangan sering menimbulkan permasalahan. Undang-undang terakhir yang diterbitkan yaitu Undang-undang Nomor 13 tahun 1998, baru mengatur
kesejahteraan
sosial
Lanjut
Usia,
sehingga
perlu
dipertimbangkan diterbitkannya undang-undang lainnya yang dapat mengatasi permasalahan Lanjut Usia secara spesifik. 2. Keterbatasan prasarana Prasarana pelayanan terhadap Lanjut Usia yang terbatas di tingkat masyarakat, pelayanan tingkat dasar, pelayanan rujukan tingkat I dan tingkat II, sering menimbulkan permasalahan bagi para Lanjut Usia. Demikian pula, lembaga sosial masyarakat dan organisasi sosial dan kemasyarakatan lainnya yang menaruh minat pada permasalahan ini terbatas jumlahnya. Hal ini mengakibatkan para Lanjut Usia tak dapat diberi pelayanan sedini mungkin, sehingga persoalanya menjadi berat pada saat diberikan pelayanan. 3. Keterbatasan sumberdaya Manusia Terbatasntya kuantitas dan kualitas tenaga yang dapat memberi pelayanan serta perawatan kepada Lanjut Usia secara bermutu dan berkelanjutan mengakibatkan keterlambatan dalam mengetahui tandatanda dini adanya suatu permasalahan hukum dan etika yang sedang terjadi. Dengan demikian, upaya mengatasinya secara benar oleh tenaga yang berkompeten sering dilakukan terlambat dan permasalahan sudah berlarut. Tenaga yang dimaksud berasal dari berbagai disiplin ilmu, antara lain : 1. Tenaga ahli gerontology
2. Tenaga kesehatan : dokter spesalis geriatric, psikogeriatri, neurogeriatri, dokter spesialis dan dokter umum terlatih, fisioterapis, speech therapist, perawat terlatih. 3. Lembaga sosisal : sosiolog, petugas yang mengorganisasi kegiatan (case managers), petugas sosial masyarakat, konselor. 4. Ahli hukum: sarjana hukum terlatih dalam gerontology, pengacara terlatih, jaksa penuntut umum, hakim terlatih. 5. Ahli psikolog : psikolog terlatih dalam gerontology, konselor. 6. Tenaga relawan : kelompok masyarakat terlatih seperti sarjana, mahasiswa, pramuka, pemuda, ibu rumah tangga, pengurus lembaga ketahanan masyarakat desa, Rukun Warga/RW, Rukun Tetangga/RT terlatih. 7. Hubungan Lanjut Usia dengan Keluarga Menurut Mary Ann Christ, et al. (1993), berbagai isu hukum dan etika yang sering terjadi pada hubungan Lanjut Usia dengan keluarganya adalah : 1. Pelecehan dan ditentarkan (abuse and neglect) 2. Tindak kejahatan (crime) 3. Pelayanan perlindungan (protective services) 4. Persetujuan tertulis (informed consent) 5. Kualitas kehidupan dan isu etika (quality of life and related ethical issues) Menurut hasil penelitian jurnal oleh LiseLotte Jonasson, MSc., et.all (200), berdasarkan penelitiannya mengemukakan tentang cara mengatasi nilai etik dalam perawatan lansia melalui wawancara dengan 14 keluarga terdekat dilakukan dan data yang dianalisis dengan analisis komparatif konstan. Empat kategori diidentifikasi : berupa menerima, menunjukkan rasa hormat, memfasilitasi partisipasi dan menunjukkan pofesionalisme. Kategori ini membentuk dasar dari kategori inti ‘Menjadi setuju’, berikutnya sebuah konsep diidentifikasi dalam deskripsi kerabat tentang niali etis perawat dan pasien lansia berdasarkan hasil pertemuan peduli lansia. Artinya bahwa dalam melakukan praktiknya pewat dipandu oleh nilai etika, dengan mempertimbangkan pasien lansia dan keluarga terdekat pasien.
Perawat berfokus pada kesejahteraan pasien lansia sebagai kriteria akhir yang dipengaruhi oleh keluarga terdekat dan pengalaman perawat sehingga dari kondisi ini tampak terpenuhinya perawatan berkualitas bagi pasien lansia. Penelitian lain mengenai cara mengatasi etik pada perawatan lansia oleh Jour nal S. Van Der Dam, et.all, (2011), berupa dengan dibentuknya diskusi Moral Cas e Deliberation MCD) memberikan konstribusi yang lebih baik untuk mengatasi masalah nilai etik yang muncul berhubungan dengan perbedaan perspektif pada kalangan penyedia pelayanan, tenaga kesehatan, keluarga pasien, dan pasien lansia sendiri. Selain itu, perlu adanya unsur keterbukaan untuk mengatasi pemasalahan-pemasalahan mengenai isu etik khususnya mengenai refleksi moral dalam perawatan lansia sehari-hari. Sehingga masalah etik tersebut dapat diselesaikan dengan baik. 2.5 Kebijakan Pemerintah Tentang Kesejahteraan Lansia Kebijakan
Prinsip-prinsip dalam mewujudkan lanjut usia sehat, mandiri, aktif dan produktif meliputi:
1. Menjadi lanjut usia sehat adalah hak asasi setiap manusia. 2. Pelayanan kesehatan primer adalah ujung tombak untuk tercapainya lanjut usia sehat yang didukung oleh pelayanan rujukan yang berkualitas. 3. Partisipasi lanjut usia perlu diupayakan dalam kegiatan baik di keluarga maupun masyarakat berupa kegiatan sosial ekonomi sesuai dengan kemampuan, minat dan kondisi kesehatannya. 4. Pelayanan bagi lanjut usia diupayakan secara lintas program dan lintas sektor. 5. Pelayanan bagi lanjut usia perlu dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan gender. Kebijakan pelayanan kesehatan lanjut usia disusun berdasarkan prinsip-prinsip mewujudkan lanjut usia sehat sebagai berikut: 1. Pembinaan kesehatan lanjut usia terutama ditujukan pada upaya peningkatan kesehatan dan kemampuan untuk mandiri, tetap produktif dan berperan aktif dalam pembangunan, selama mungkin.
2. Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran keluarga dan masyarakat, serta menjalin kemitraan dengan Lembaga Swadaya Masyarakat, organisasi kemasyarakatan, kelompok khusus, dan swasta dalam
penyelenggaraan
upaya
kesehatan
lanjut
usia
secara
berkesinambungan. 3. Pembinaan kesehatan lanjut usia dilaksanakan melalui pendekatan holistik dengan memperhatikan nilai sosial dan budaya yang ada. 4. Pembinaan kesehatan lanjut usia dilaksanakan secara terpadu dengan meningkatkan peran, koordinasi dan integrasi dengan lintas program dan lintas sektor. 5. Pembinaan kesehatan lanjut usia dilaksanakan sebagai bagian dari pembinaan kesehatan keluarga. 6. Pendekatan siklus hidup dalam pelayanan kesehatan untuk mencapai lanjut usia sehat, mandiri, aktif dan produktif 7. Upaya kesehatan lanjut usia dilaksanakan melalui fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama dan rujukan yang berkualitas, secara komprehensif
meliputi
upaya
promotif,
preventif,
kuratif
dan
rehabilitatif.
Strategi Nasional Mengacu pada strategi lanjut usia sehat dari WHO 2013-2018 serta pada kebijakan pelayanan kesehatan lanjut usia yang komprehensif dengan memperhatikan kebijakan terkait lainnya, maka strategi nasional yang digunakan adalah: 1. Memperkuat dasar hukum pelaksanaan pelayanan Kesehatan lanjut usia. 2. Meningkatkan jumlah dan kualitas fasilitas kesehatan tingkat pertama dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan yang melaksanakan pelayanan kesehatan santun lanjut usia. 3. Membangun dan mengembangkan kemitraan dan jejaring pelaksanaan pelayanan kesehatan lanjut usia yang melibatkan lintas program, lintas sektor, organisasi profesi, lembaga pendidikan, lembaga penelitian,
lembaga swadaya masyarakat, dunia usaha, media massa dan pihak terkait lainnya. 4. Meningkatkan ketersediaan data dan informasi di bidang kesehatan lanjut usia. 5. Meningkatkan peran serta dan pemberdayaan keluarga, masyarakat, dan lanjut usia dalam upaya peningkatan kesehatan lanjut usia. 6. Meningkatkan peran serta lanjut usia dalam upaya peningkatan kesehatan keluarga dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo, Boedhi, dan Martono, Hadi. B uku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut), Edisi 2. 2000. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. SKM, Hardiwinoto, Stiabudi, Tony. Pandaun Gerontologi, Tinjauan Dari Berbagai Aspek. 2005. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.