BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Definisi
Cedera kepala adalah benturan mendadak pada kepala dengan atau tanpa kehilangan kesadaran. ( Susan M, Tucker, Dkk. 1998). Cedera kepala adalah gangguan traumatic yang menyebabkan gangguan fungsi otak disertai atau tanpa disertai perdarahan intertial dan tidak mengganggu jaringan (kontinuitas jaringan otak baik). (Brunner (Brunner dan Suddart. 2000). Epidural hematoma adalah perdarahan dalam ruang epidural diantara tulang tengkorak dan duramater, biasanya : melibatkan fraktur temporoparietal yang mengakibatkan laserasi arteri meningeal medialis. (Susan M, Tucker, Dkk. 1998). Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial. (Susan M, Tucker, Dkk. 1998). 2.2 Anatomi dan Fisiologi
Otak adalah suatu alat tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat computer dari semua alat tubuh, jaringan otak dibungkus oleh selaput otak dan tulang tengkorak yang kuat dan terletak dalam cavum cranii. Otak terdiri dari tiga selaput otak (meningen). Otak terdiri dari tiga selaput otak (meningiens) : a.
Duramater (lapisan sebelah luar). Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat.
b.
Arakhnoida (lapisan tengah).Selaput tipis yang memisahkan duramater dengan piamater membentuk sebuah balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh sistem syaraf sentral.
1
c.
Piamater (lapisan dalam). Selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piamater berhubungan dengan arakhnoid melalui me lalui strukturstruktur jaringan ikat disebut tuberkel.
Bagian-bagian Otak : a. Serebrum (otak besar). Merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi peuh depan ats rongga pada otak besar ditemukan lobus-lobus yaitu : 1) Lobus Frontalis adalah bagian depan dari serebrum yang terletak di depan sulkus sentralis. Lobus Frontalis pada korteks serebri terutama mengendalikan keahlian motorik ( misalnya menulis, memainkan alat musik atau mengikat tali sepatu) lobus frontalis juga mengatur ekspresi wajah dan isyarat tangan. 2) Lobus Parietalis, terdapat dibawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus oksipitalis. Lobus paretalis pada korteks serebri menggabungkan kesan dari bentuk tekstur dan berat badan ke dalam persepsi per sepsi umum, kemampuan matematika dan bahasa berasal dari daerah ini, juga membantu mengarhkan posisi pada ruang sekitarnya dan mersakan posisi dari bagian tubuhnya. 3) Lobus temporalis, terdapat di bawah lateral dari fisura serebralis dan di depan lobus oksipitalis. Lobus temporalis mengolah kejadian yang baru saja terjadi menjadi mengingatnya sebagai memori jangka panjang, juga memahami suara dan gambaran, menyimpan memori dan mengingatnya kembali serta menghasilkan jalur emosional. 4) Lobus Oksipitalis, yang mengisi bagian belakang dari cerebrum. b. Batang Otak (trunkus serebri). Disensepalon ke ats berhubungan dengan serebrum dan medula oblongata ke bawah dengan medula spinalis. Serebrum melukat pada batang otak di bagian medula oblongata, pons varoli dan mensesepalon. c. Serebrum (otak kecil). Terletak Terleta k pada bagian bawah dan belakang tengkorak dipisahkan dengan serebrum oleh fisura transversalis dibelakang oleh pons varoli
2
dan di atas medula oblongata. Oragn ini banyak menerima serabut aferent sensoris merupakan pusat koordinasi dan intelegensi. (Hudak dan Gall o.1996) 2.3 Etiologi
Penyebabnya belum diketahui pasti, tapi dapat diperkirakan karena :
1.
Genetik
Tumor susunan saraf pusat primer nerupakan komponen besar dari beberapa gangguan yang diturunkan sebagi kondisi autosomal, dominant termasuk sklerasis tuberose, neurofibromatosis.
2.
Kimia dan Virus
Pada binatang telah ditemukan bahwa karsinogen kimia dan virus menyebabkan terbentuknya neoplasma primer susunan saraf pusat tetapi hubungannya dengan tumor pada manusia masih belum jelas.
3.
Radiasi
Pada manusia susunan saraf pusat pada masa kanak-kanak menyebablkan terbentuknya neoplasma setelah dewasa.
4.
Trauma
Trauma yang berulang menyebabkan terjadinya meningioma (neoplasma selaput otak). Pengaruh trauma pada patogenesis neoplasma susunan saraf pusat belum diketahui.
2.4 Klasifikasi
1.
Glioma
Jumlah ½ tumor otak. Tumbuh pada tiap jaringan dari otak. Infiltrasi dari terutama ke jaringan hemisfer cerebral. Tumbuh sangat cepat, sebagian orang bias hidup beberapa bulan sampai tahun. 2.
Meningoma
3
Dari 13 % sampai 18 % merupakan tumor primer intracranial. Tumbuh dari selaput meningeal otak. Biasanya jinak tapi bisa berubah menjadi maligna. Biasanya
berkapsul
dan
penyembuhan
melaui
bedah
sangat
mungkin.
Pertumbuhan kembali mungkin 3.
Tumor Pituitari
Tumor pada semua kelompok umur, tapi lebih sering pada wanita. Tumbuh dari berbagai jenis jaringan. Pendekatan pembedahan biasanya berhasil. Kekembuhan kembali mungkin. 4.
Neuroma (Schwannoma, neuro)
Neuroma akustik sangat sering. Tumbuh dari sel-sel Schwann di dalam meatus auditori pada bagian vestibular saraf cranial III. Biasanya jinak bisa berubah menjadi maligna. Akan tmbuh kembali bila tidak terangkat lengkap. Reseksi bedah sukar karena lokasinya. 5.
Tumor Metastase
Dari 2 % sampai 20 % penderita kanker terjadi metastase ke otak Sel kanker menjangkau otak lewat sistem sirkulasi. Reaksi bedah sangat sukar, pemgobatan kurang berhasil. Pemulihan dibawah satu tahun atau dua tahun tidak biasa.
2.5 Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan gangguan neurologik progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua faktor yaitu gangguan fokal disebabkan oleh tumor dan kenaikan tekanan intrakranial. Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neuron. Perubahan suplai darah akibat tekanan yang ditimbulkan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai kehilangan fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai gejala perunahan kepekaan neuron dihubungkan dengan kompesi invasi dan perubahan suplai darah ke jaringan otak. Bebrapa
4
tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim otak sekitarnya sehingga memperberat ganggguan neurologist fokal. Peningkatan tekanan intrakranial dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak, terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan serebrospinal. Beberapa tumor dapat menyebabkan perdarahan. Obstruksi vena dan edema yang disebabkan oleh kerusakan sawar darah otak. Semuanya menimbulkan kenaikan volume intracranial dan meningkatkan tekanan intracranial. Obstruksi sirkulasi cairan serebrospinal dari ventrikel lateral ke ruangan subaraknoid menimbulkan hidrosefalus. Peningkatan tekanan intrakranial akan membahayakan jiwa. Mekanisme kompensasi memerlukan waktu lama untuk menjadi efektif dan oleh karena itu tak berguna apabila tekanan intrakranial timbul cepat. Mekanisme kompensasi ini antara lain bekerja menurunkan volume darah intracranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel dan mengurangi sel-sel parenkim, kenaikan tekanan yang tidak diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum yang timbul bilagirus medialis lobus temporalis bergeser ke inferior melalui insisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi menekan mesensenfalon, menyebabkan hilangnya kesadaran dan menekan saraf otak ketiga. Kompresi medula oblogata dan henti pernafasan terjadi dengan cepat. Perubahan fisiologi lain terjadi akibat peningkatan intracranial yang cepat adalah bradikardia progresif, hipertensi sistemik (pelebaran tekanan nadi), dan gangguan pernafasan.
2.6 Manifestasi Klinis
1. Manifestasi klinik umum (akibat dari peningkatan TIK, obstruksi dari CSF).
Sakit kepala Nausea atau muntah proyektil Pusing
5
Perubahan mental
Kejang
2. Manifestasi klinik lokal (akibat kompresi tumor pada bagian yang spesifik dari otak) : 1. Perubahan
penglihatan,
misalnya:
hemianopsia,
nystagmus,
diplopia, kebutaan, tanda-tanda papil edema. 2. Perubahan bicara, msalnya: aphasia 3. Perubahan sensorik, misalnya: hilangnya sensasi nyeri, halusinasi sensorik. 4. Perubahan motorik, misalnya: ataksia, jatuh, kelemahan, dan paralisis. 5. Perubahan bowel atau bladder, misalnya: inkontinensia, retensia urin, dan konstipasi. 6. Perubahan dalam pendengaran, misalnya : tinnitus, deafness. 7. Perubahan dalam seksual 2.7 Komplikasi
1.
Edema cerebral.
2.
Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral.
3.
Hypovolemik syok.
4.
Hydrocephalus.
5.
Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus).
6.
Gangguan
perfusi
jaringan
sehubungan
dengan
tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 – 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini. 7.
Infeksi. Infeksi luka sering muncul pada 36 – 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme;
6
gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi
luka
yang
paling
penting
adalah
perawatan
luka
dengan
memperhatikan aseptik dan antiseptik. 2.8 Pemeriksaan Diagnostik
a. CT-Scan (Ceputeraise Tomografi Scanning). Untuk mengindentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinasi ventikuler dan perubahan jaringan otak. b. MRI (Magnetik Resonan Imaging). Digunakan untuk mengidentifikasi luas dan letak cedera. c. Cerebral Angiography. Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi oedema, trauma dan perdarahan. d. EEG (Elektro Ensefalo Graphy). Untuk melihat perkembangan gelombang yang patologis. e. X-Ray. Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan stuktur garis (perdarahan/oedema). f. BAER (Brain Evoked Respone). Mengoreksi batas fungsi kortek dan otak
kecil.
g. PET (Positron Emission Tomography). Mendeteksi perubahan aktifitas metabolisme
otak.
h. Lumbal Pungsi. Dapat dikatakan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid. i. Kadar elektrolit. Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan TIK (Tekanan Intra Kranial). j. Screen Toxicologi. Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran. k. GDA (Gas Darah Analisa). Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigen yang dapat meningkatkan TIK (Tekanan Intra Kranial).
7
l. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography). Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak. m. Mielografi. Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya penyimpangan medulla spinalis. n. Ekoensephalografi. Untuk menentukan posisi stuktur otak dibagian garis tengah dan jarak dari garis tengah ke dinding ventikuler atau dinding ventikuler ke – 3. o. EMG (Elektromiografi). Digunakan untuk menentukan ada tidaknya gangguan neuromuskuler dan miopatis. (Doengoes Marillyn.2000)
2.9 Penatalaksanaan Medis
1.
Pembedahan dengan craniotomy
2.
Radiotherapi
Biasanya merupakan kombinasi dari terapi lainnya tapi tidak jarang pula merupakan therapi tunggal. Adapun efek samping : kerusakan kulit di sekitarnya, kelelahan, nyeri karena inflamasi pada nervus atau otot pectoralis, radang tenggorkan. 3.
Kemoterapi
Pemberian obat-obatan anti tumor yang sudah menyebar dalam aliran darah. Efek samping : lelah, mual, muntah, hilang nafsu makan, kerontokan membuat, mudah terserang penyakit. 4.
Manipulasi hormonal.
Biasanya dengan obat golongan tamoxifen untuk tumor yang sudah bermetast ase. 5.
Psikologi
Tujuan penatalaksanaan unit gawat darurat pada injury kepala pasien yang postoperative adalah sama sepeti pre-operativ, yakni: optimisasi physiologic. Prinsip kontrol tekanan intracranial dan optimisasi perfusi tekanan cerebral seperti halnya pemeliharaan oxygenation yang cukup dari perfusi darah : a.
Ventilasi
Hyperventilation bukanlah suatu therapy yang tidak berbahaya ( disebabkan alkalosis, hypokalemia, vasoconstricsi dengan ischemia) dan bagaimanapun secara relatif tidak efektif dalam pengerutan pembuluh darah cerebral setelah
8
beberapa jam. Normocapnia harus dirawat sedapat mungkin. Drainase CSF dari suatu kateter/pipa ventricular dalam saluran tubuh lebih disukai untuk mereduksi/mengurangi ICP ( dan optimisasi pada tekanan perfusion cerebral) untuk metabolically deranging therapies seperti hyperventilation dan diuresis. b.
Fluids/cairan
Walaupun penggantian cairan bukan sebagian besar diantaranya intracranial sebagai intra-abdominal atau perawatan intrathoracic post operasi trauma kepala penatalaksanaan cairan adalah komplikasi perawatan pada kontrol hipertensi intracranial seperti diuresis dan hyperventilation kedua-duanya yang mana cenderung
menyebabkan berkurangnya volume dan metabolisme alkalosis.
Solusinya Isotonik IV harus digunakan dalam semua kasus. Jumlah volume Darah yang bagus tidak hanya meningkatkan kapasitas oksigen tetapi juga menyebabkan unsur selularnya tidak pecah ( seperti albumin) ke dalam molekul lebih kecil yang berdifusi ke membran alveolar dalam paru-paru dan dari intravascular ke ruang extravascular yang membawa cairan pada paru-paru dan edema cerebral. Pasien dengan berbagai trauma, laserasi kulit kepala, perdarahan subdural, dan injury sering kehilangan sejumlah darah dalam jumblah yang besar pada saat itu mereka tiba di ruang op di ICU. Transfusi diberikan kepada pasien dengan hematocrit yang rendah
pada level kritis (pada umumnya di bawah 25%)
terutama ketika disertai dengan hypotension, tachycardia, dan berkurangnya urin output. c.
Nutrisi
Dukungan nuitrisi harus segera setelah trauma kepala craniotomy ketika pasien bowel sounds. Pemberian makanan Enteral itu baik tidak hanya untuk mencegah perdarahan tetapi juga nutrisi diatur melalui rute ini jadi lebih siap diserap dan metabolisme tanpa resiko dari hepatitis, sepsis, dan komplikasi lain yang berhubungan dengan total parenteral nutrition ( TPN)., seandainya bowel berbunyi adalah suatu pngembalian lambat, TPN yang pertama dapat dimulai dalam duapuluh empat jam setelah suatu operasi trauma kepala.
9
2.9 Dampak Post Cranial Terhadap Tubuh yang lain
a. Sistem Kardiovaskuler Craniotomy bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. b.
Sistem Pernafasan Adanya edema paru dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Konsentrasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF ( Cerebral Blood Fluid ). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.Tingginya TIK dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla
oblongata
menyebabkan
pernafasan
ataksia
(kurangnya
koordinasi dalam gerakan bernafas). c.
Sistem Eliminasi Pada pasien dengan post craniotomy terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan dapat timbul hiponatremia.
10
d.
Sistem Pencernaan Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung.
e.
Sistem Muskuloskeletal Akibat dari post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control volunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur. Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau “strip motorik “. Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga, pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.
11
2.11
Indikasi Kraniotomy
Indikasi tindakan kraniotomi atau pembedahan intrakranial adalah sebagai berikut : a.
Pengangkatan jaringan abnormal baik tumor maupun kanker.
b. Mengurangi tekanan intrakranial. c.
Mengevakuasi bekuan darah .
d. Mengontrol bekuan darah, e.
Pembenahan organ-organ intrakranial,
f.
Tumor otak,
g. Perdarahan (hemorrage), h. Kelemahan dalam pembuluh darah (cerebral aneurysms) i.
Peradangan dalam otak
j.
Trauma pada tengkorak.
12
BAB III ASUHAN KEPERAWATAN TEORITIS 3.1 PENGKAJIAN 1.
Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan suatu proses yang sistematika dalam pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi status status kesehatan klien (Nursalam, 2001 : 17). Tahap proses keperawatan dimulai dengan pengkajian, menentukan diagnosa, membuat perencanaan, melakukan tindakan atau implementasi dan evaluasi. a.
Pengumpulan Data 1).
Identitas Klien
Dikaji tentang identitas klien yang meliputi nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, pendidikan terakhir, status perkawinan, alamat, diagnosa medis, nomor medrek, tanggal masuk Rumah Sakit dan tanggal pengkajian. Juga identitas penanggung jawab klien yang meliputi : nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan terakhir dan hubungan dengan klien. 2).
Riwayat Kesehatan a).
Alasan Masuk Merupakan alasan yang mendasari klien dibawa ke Rumah Sakit
atau kronologis yang menggambarkan perilaku klien dalam mencari pertolongan. b).
Keluhan Utama Merupakan
keluhan
yang
dirasakan
klien
saat
dilakukan
pengkajian, nyeri biasanya menjadi keluhan yang paling utama terutama pada pasien post op kraniotommy (Muttaqin, 2008 : 154). c).
Riwayat Kesehatan Sekarang
Merupakan pengembangan dari keluhan utama yang dirasakan klien melalui metode PQRST dalam bentuk narasi:
13
P:
( Provokatif/Pariatif ) : Hal yang memperberat atau memperingan, nyeri yang dirasakan biasanya bertambah bila klien berjalan, bersin, batuk atau napas dalam. Klien dengan post craniotomy biasanya merasakan nyeri semakin berat saat digerakan, dan nyeri dirasakan berkurang saat didiamkan.
Q:
(Quality/Quantity) : Kualitas dari suatu keluhan atau penyakit yang dirasakan. Biasanya nyeri yang dirasakan klien seperti ditusuktusuk.
R:
( Region/Redition) : adalah daerah atau tempat dimana keluhan dirasakan, apakah keluhan itu menyebar atau mempengaruhi ke area lain. Biasanya lokasi nyeri dirasakan sekitar kepala yang telah dilakukan pembedahan.
S:
(Saverity/Scale) : adalah keganasan atau intensitas (skala) dari keluhan tersebut. Skala nyeri antara 0-5. Nyeri yang dirasakan tergantung dari individu biasanya diukur menggunakan skala nyeri 0-5
T:
(Time) : adalah waktu dimana keluhan dirasakan pada klien yang mengeluh nyeri tanyakan apakah nyeri berlangsung terus menerus atau tidak. Biasanya klien merasakan nyeri terus-menerus.
d). Riwayat Kesehatan Masa lalu Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif dan konsumsi alkohol berlebihan (Muttaqin, 2008 : 154).
14
e).
Riwayat Kesehatan keluarga Dikaji apakah anggota generasi terdahulu ada yang menderita
hipertensi dan diabetes melitus, penyakit menular seperti tuberkulosis dan penyakit yang sama seperti klien.
3).
Data Biologis Data ini dapat diperoleh dari anamnesa baik dari klien atau dari
keluarga yaitu menyangkut pola kebiasaan, meliputi: a).
Pola Nutrisi Dikaji tentang frekuensi makan, jenis diit, porsi makan, riwayat alergi terhadap suatu jenis makanan tertentu. Pada klien post craniotomy biasanya terjadi penurunan nafsu makan akibat mual dan muntah (Brunner dan Suddarth, 2008). Dikaji tentang jumlah dan jenis minuman setiap hari. Minuman yang harus dihindari pasien post craniotomy akibat cedera kepala yaitu minuman beralkohol dan yang mengandung kafein karena dapat meningkatkan derajat dehidrasi dan dapat menimbulkan rasa pusing pada kepala.
b).
Pola Eliminasi Dikaji frekuensi BAB, warna, bau, konsistensi feses dan keluhan klien yang berkaitan dengan BAB.
Pada klien post craniotomy pola
defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus (Muttaqin, 2008 : 160). Setelah pembedahan klien mungkin mengalami inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan dan ketidakmampuan mempergunakan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang-kadang kontrol spingter urinarius hilang atau berkurang (Muttaqin, 2008 : 160). c).
Pola Istirahat dan Tidur Dikaji mengenai kebutuhan istirahat dan tidur, waktu tidur, lamanya tidur setiap hari, apakah ada kesulitan dalam tidur. Pada klien
15
post craniotomy sering terjadi pusing dan sakit kepala dan hal ini mungkin akan mengganggu istirahat tidur klien. d). Pola Personal Hygiene Dikaji mengenai frekuensi dan kebiasaan mandi, keramas, gosok gigi dan menggunting kuku. Pada klien post craniotomy kemungkinan dalam perawatan dirinya tersebut memerlukan bantuan baik sebagian maupun total. e).
Pola Aktivitas sehari-hari Dalam aktivitas sehari-hari dikaji pada pola aktivitas sebelum sakit dan setelah sakit.
f).
Pola Mobilisasi Fisik Dikaji dalam kegiatan yang meliputi pekerjaan, olah raga, kegiatan diwaktu luang dan apakah keluhan yang dirasakan mengganggu aktivitas klien tersebut (Brunner dan Suddarth, 2001).
4).
Pemeriksaan Fisik Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksan fisik sangat berguna untuk
mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaikanya dilakukan secara persistem dengan fokus pada pemeriksaan fisik pada pemeriksaan sistem persyarafan yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan klien. Teknik yang digunakan ada 4, yaitu inspeksi, palpasi, auskultasi, dan perkusi. Pada klien dengan post craniotomy akan ditemukan kelainan pada beberapa sistem tubuh, diantaranya : a)
Sistem pernafasan Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi dari perubahan jaringan serebral. Pada keadaan hasil dari pemeriksaan fisik sistem ini akan didapatkan hasil : 1) Inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan alat bantu napas dan peningkatan frekuensi pernapasan. Ekspansi dada : dinilai penuh atau tidak penuh dan kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu dinilai :
16
retraksi dari otot-otot interkostal, substernal, pernapasan abdomen dan respirasi paradoks (retraksi abdomen pada saat inspirasi). Pola napas paradoksal dapat terjadi jika otot-otot interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada. 2) Pada palpasi frenitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain. 3) Pada perkusi adanya suara redup sampai pekak. 4) Pada auskultasi, bunyi napas tambahan seperti napas berbunyi, stridor, ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sehingga didapatkan pada klien dengan penurunan tingkat kesadaran. 5) Pada klien dengan post craniotomy dan sudah terjadi disfungsi pusat pernapasan, klien biasanya terpasang ETT dengan ventilator dan biasanya klien dirawat di ruang perawatan intensif sampai kondisi klien menjadi stabil. Pengkajian klien dengan pemasangan ventilator secara komprehensif merupakan jalur keperawatan kritis. Pada klien dengan tingkat kesadaran compos mentis, pengkajian pada inspeksi pernapasan tidak ada kelainan. Palpasi toraks didapatkan taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi tidak didapatkan bunyi napas tambahan. b)
Sistem Kardiovaskuler Pengkajian ini pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) Hasil pemeriksaan kardiovaskular klien post craniotomy akibat cedera kepala pada beberapa keadaan dapat ditemukan tekanan darah normal atau berubah, nadi bradikardi, takikardia dan aritmia. Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam
upaya
menyeimbangkan
kebutuhan
oksigen
perifer.
Nadi
bradikardia merupakan tanda dari perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat menunjukkan adanya perubahan perfusi jaringan atau tanda-tanda awal dari syok. c)
Sistem Persyarafan Post craniotomy akibat cedera kepala menyebabkan berbagai defisit neurologis terutama akibat pengaruh peningkatan tekanan intrakranial
17
yang disebabkan adanya perdarahan baik bersifat hematom intraserebral, subdural dan epidural. Pengkajian sistem persyarafan merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya. Pengkajian tingkat kesadaran klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem persyarapan. Pengkajian fungsi serebral. Pengkajian ini meliputi statusmental , fungsi intelektual (biasanya pada beberapa keadaan klien cedera kepala didapatkan penurunan dalam memori jangka panjang dan pendek), lobus frontal (biasanya pada klien dengan cedera kepala kerusakan fungsi kognitif
dan
efek
psikologis
terjadi
jika
trauma
kepala
yang
mengakibatkan adanya kerusakan pada lobus frontal, kapasitas, memori atau kerusakan fungsi intelektual yang lebih tinggi), hemisfer (pada klien dengan cedera kepala biasanya mempunyai kerentanan terhadap sisi kolateral sehinga kemungkinan terjatuh ke sisi berlawanan tersebut). Pengkajian saraf kranial yang meliputi : Saraf I (pada keadaan post craniotomy klien akan mengalami kelainan pada fungsi penciuman unilateral atau bilateral), Saraf II (hematom palpebra pada klien cedera kepala akan menurunkan lapang pandang dan menggangu fungsi saraf optikus), Saraf III, IV dan VI (terjadinya gangguan mengangkat kelopak mata terutama pada klien dengan trauma yang merusak rongga orbita), Saraf V (pada beberapa keadaan cedera kepala menyebabkan paralisis
saraf trigeminus, didapatkan penurunan kemampuan koordinasi gerak mengunyah), Saraf VII (persepsi pengecapan mengalami perubahan, Saraf VIII (perubahan fungsi pendengaran pada klien cedera kepala
ringan biasanya tidak didapatkan apabila trauma yang terjadi tidak melibatkan saraf vestibulokoklearis), Saraf IX dan X (kemampuan menelan kurang baik dan kesulitan membuka mulut, Saraf XI (bila tidak melibatkan trauma pada leher, mobilitas klien cukup baik serta tidak ada artrofi otot), saraf XII (indera pengecapan mengalami perubahan). Pengkajian sistem motorik, pada saat inspeksi umum didapatkan hemiplegia karena lesi pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis atau
18
kelemahan salah satu sisi tubuh adalah tanda lain dari tonus otot, kekuatan otot dan keseimbangan dan koordinasi. Pengkajian
refleks
dilakukan
pemeriksaan
refleks
profunda,
pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respon normal. Permeriksaan refleks patologis pada fase akut refleks sisi yang lumpuh akan menghilang. Pengkajian sistem sensorik kehilangan karena cedera kepala dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat dengan kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh serta kesulitan dalam stimulus visual, taktil dan auditorius. d)
Sistem Perkemihan Setelah post craniotomy klien mungkin mengalami inkontinesia urine, dapat terlihat dari produksi urine pada urine bag atau bllader, ketidakseimbangan mengkomunikasi kebutuhan dan ketidak mampuan untuk menggunaan sistem perkemihan karena kerusakan kontrol motorik dan postural.
e)
Sistem Pencernaan Klien dengan post craniotomy didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual dan muntah pada fase akut. Pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
f)
Sistem muskuloskeletal Akibat dari
post craniotomy dapat mempengaruhi gerakan tubuh.
Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari – hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur. g)
Sistem Integumen Adanya perubahan warna kulit, pucat dan sianosis pada klien menggunakan ventilator dapat terjadi akibat adanya hipoksemia. Warna kemerahan pada kulit dapat menunjukkan adanya demam dan infeksi. Integritas kulit untuk menilai adanya lesi dan dekubitus..
19
(Muttaqin, 2008 : 155-161). 5).
Data Psikologis Data psikologis yang perlu dikaji adalah status emosional, konsep diri, mekanisme koping klien dan harapan serta pemahaman klien tentang kondisi kesehatan sekarang. Menurut Kelliat (2005 : 77), yang perlu dikaji pada aspek psikologis yaitu konsep diri. Konsep diri didefinisikan sebagai semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat orang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri terdiri dari :
a).
Citra Tubuh ( Body Image) Kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari
terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan sekarang serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi. Biasanya klien dengan post craniotomy merasa ada yang berubah pada kepalanya. b).
Ideal Diri Persepsi individu tentang bagaimana dia seharusnya berperilaku
berdasarkan standar, aspirasi, tujuan, atau nilai personal tertentu. Biasanya klien dengan post craniotomy berharap cepat sembuh dan fungsi sarafnya kembali seperti semula. c).
Harga Diri Penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan
menganalisa seberapa baik prilaku seseorang sesuai ideal diri. Biasanya klien dengan post craniotomy mengalami penurunan harga diri. d). Identitas Serangkaian pola perilaku yang dihadapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu diberbagai kelompok sosial. Biasanya klien dengan post craniotomy merasa terganggu dengan keadaannya karena fungsinya tidak bisa berjalan dengan baik. e).
Peran Pengorganisasian perinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab
terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi, dan keunikan individu.
20
Biasanya klien dengan post craniotomy klien merasa terganggu dalam melaksanaan tugas dan peran tersebut karena penyakitnya sekarang.
6).
Data sosial dan budaya Perlu diamati penampilan klien secara umum, bagaimana hubungan
interpersonal klien dan keluarga, sesama klien yag dirawat dalam satu ruangan serta tim kesehatan. Kaji kemampuan berkomunikasi dan peran klien dalam keluarga, gaya hidup, faktor sosial serta support sistem yang ada pada klien dengan post craniotomy.
7).
Data Spiritual Ada beberapa hal yang perlu dikaji untuk mendapatkan data spiritual,
yaitu nilai-nilai atau norma-norma kegiatan keagamaan dan moral, serta menyangkut masalah keyakinan dan penerimaan diri terhadap penyakit dan keyakinan akan kesembuhan penyakitnya. 8).
Data Penunjang Meliputi
farmakoterapi
dan
prosedur
diagnostik
medik
seperti
pemeriksaan darah, urine, radiologi dan cystos copy. 9).
b.
Data Pengobatan a).
Obat-obat Analgetik (obat anti nyeri)
b).
Obat-obat Antibiotik (anti mikrobal)
c).
Obat antiemetik (anti mual)
Analisa Data
Proses analisa adalah menghubungkan data yang diperoleh dengan konsep, teori, prinsip asuhan keperawatan yang relevan dengan kondisi klien (Hidayat, 2004:104).
a.
1)
Primary Survey
Airway
21
-
Periksa jalan nafas dari sumbatan benda asing (padat, cair) setelah dilakukan
pembedahan akibat pemberian anestesi. -
Potency jalan nafas, à meletakan tangan di atas mulut atau hidung.
-
Auscultasi paru à keadekuatan expansi paru, kesimetrisan.
2)
Breathing
-
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung,
sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas. -
Perubahan pernafasan (rata-rata, pola, dan kedalaman). RR < 10 X / menit à
depresi narcotic, respirasi cepat, dangkal à gangguan cardiovasculair atau rata-rata metabolisme yang meningkat. -
Inspeksi: Pergerakan dinding dada, penggunaan otot bantu pernafasan
diafragma, retraksi sternal à efek anathesi yang berlebihan, obstruksi. 3)
Circulating:
-
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi.
Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia). -
Inspeksi membran mukosa : warna dan kelembaban, turgor kulit, balutan.
4)
Disability : berfokus pada status neurologi
-
Kaji tingkat kesadaran pasien, tanda-tanda respon mata, respon motorik dan
tanda-tanda vital.
22
-
Inspeksi respon terhadap rangsang, masalah bicara, kesulitan menelan,
kelemahan atau paralisis ekstremitas, perubahan visual dan gelisah. 5)
Exposure
-
Kaji balutan bedah pasien terhadap adanya perdarahan b.
Secondary Survey : Pemeriksaan fisik
Pasien nampak tegang, wajah menahan sakit, lemah. Kesadaran somnolent, apatis, GCS : 4-5-6, T 120/80 mmHg, N 98 x/menit, S 37 4 0C, RR 20 X/menit. 1)
Abdomen.
Inspeksi tidak ada asites, palpasi hati teraba 2 jari bawah iga,dan limpa tidak membesar, perkusi bunyi redup, bising usus 14 X/menit. Distensi abdominal dan peristaltic usus adalah pengkajian yang harus dilakukan pada gastrointestinal. 2)
Ekstremitas
Mampu mengangkat tangan dan kaki.Kekuatan otot ekstremitas atas 4-4 dan ekstremitas bawah 4-4., akral dingin dan pucat. 3)
Integumen.
Kulit keriput, pucat. Turgor sedang 4)
Pemeriksaan neurologis
Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : -
Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi,
pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
23
-
Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan
sebagian lapang pandang, foto fobia. -
Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
-
Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
-
Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus
menyebabkan kompresi spasmodik diafragma. -
Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah
satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. c.
1)
Tersiery Survey
Kardiovaskuler
Klien nampak lemah, kulit dan kunjungtiva pucat dan akral hangat. Tekanan darah 120/70 mmhg, nadi 120x/menit, kapiler refill 2 detik. Pemeriksaan laboratorium: HB = 9,9 gr%, HCT= 32 dan PLT = 235. 2)
Brain
Klien dalam keadaan sadar, GCS: 4-5-6 (total = 15), klien nampak lemah, refleks dalam batas normal. 3)
Blader
Klien terpasang doewer chateter urine tertampung 200 cc,
warna kuning
kecoklatan.
24
3.2 Aplikasi NANDA, NOC, dan NIC No. NANDA
1.
Ganggguan nyaman
NOC
NIC
rasa Tujuan:
1.Kaji nyeri, catat lokasi,
nyeri
berhubungan dengan
karakteristik, skala (0-10). Setelah
dilakukan
Selidiki
dan
tindakan
keperawatan perubahan rasa nyeri dapat teratasi tepat. atau tertangani dengan
luka insisi.
baik.
laporkan
nyeri
dengan
2.Pertahankan
posisi
istirahat semi fowler. Kriteria hasil: 3.Dorong ambulasi dini. Melaporkan rasa nyeri
hilang atau terkontrol.
4.Berikan kantong es pada
Mengungkapkan metode abdomen.
pemberian
menghilang 5.Berikan analesik sesuai
rasa nyeri. Mendemonstrasikan
penggunaan
indikasi.
teknik
relaksasi dan aktivitas hiburan
sebagi
penghilang rasa nyeri. 2.
Kerusakan integritas Tujuan:
1.Kaji dan catat ukuran,
kulit
warna, keadaan luka, dan
berhubungan
dengan luka insisi.
Setelah
diberikan
pasien
tidak
tindakan
kondisi sekitar luka.
mengalami
gangguan integritas kulit.
2.lakukan kompres basah dan
Kriteria hasil:
Menunjukkan
sejuk
atau
terapi
rendaman. 3.lakukan perawatan luka
penyembuhan luka tepat
25
waktu.
pasien dan
mandi, lalu keringkan kulit
Pasien
dengan hati hati.
untuk
perilaku
meningkatkan
penyembuhan
dan
4.berikan priopritas untuk meningkatkan kenyamanan dan kehilanan pasien.
mencegah komplikasi.
Resiko
sesudah
menukjukkan
menunjukkan
3.
hygiene
tinggi Tujuan:
1.awasi tanda-tanda vital,
infeksi berhubungan
perhatikan demam, Setelah dilakukan tindakan dengan higiene luka menggigil, berkeringat dan keperawatan pasien diharapkan yang buruk. perubahan mental dan tidak mengalami infeksi. peningkatan nyeri abdomen.
Kriteria hasil:
2.Lihat lika insisi dan menunjukkan balutan. catat karakteristik, adanya tanda infeksi. drainase luka. Tidak terjadi infeksi. Tidak
3.Lakukan
cuci
tangan
yang baik dan lakukan perawatan luka aseptik. 4.Berikan antibiotik sesuai indikasi. 4.
Gangguan
perfusi Tujuan:
1.Observasi
aringan berhubungan dengan pendarahan.
terhadap
Setelah
dilakukan
ekstermitas
pembengkakan,
dan eritema.
perawatan tidak terjadi gangguan jaringan.
perfusi 2.Evaluasi status mental. perhatikan hemaparalis,
terjadinya afasia,
26
Kriteria hasil:
kejang,
muntah
dan
peningkatan TD.
Tanda-tanda vital stabil.
Kulit klien hangat dan kering
Nadi perifer ada dan kuat. Masukan atau haluaran
seimbang. 5.
Kekurangan volume Tujuan:
1.awasi intake dan out put
cairan berhubungan
cairan.
dengan
perdarahan
setelah
tindakan
post operasi.
pasien
dilakukan keperawatan 2.Awasi
kaji
menunjukkan membrane mukosa, turgor
keseimbangan
cairan kulit, membrane mukosa,
yang adekuat.
nadi perifer dan pengisian
Tanda-tanda vital stabil. kapiler.
Mukosa lembab
Turgor kulit/ pengisian
3.Awasi
pemeriksaan
laboratorium.
kapiler baik.
TTV,
Haluaran urine baik.
4.Berikan cairan IV atau produk
darah
sesuai
indikasi 6.
Pola nafas inefekti Tujuan:
1.Evaluasi
berhubungan dengan efek anastesi.
setelah
dilakukan
frekuensi
pernafasan dan kedalaman. tindakan
perawatan pasien menunjukkan 2.Auskultasi bunyi nafas. pola nafas yang efektif. 3.Lihat kulit dan membran Kriteria hasil:
mukosa
untuk
melihat
adanya sianosis.
volume nafas adekuat.
27
klien
dapat 4.Berikan
mempertahankan
tambahan
pola oksigen sesuai kebutuhan.
nafas normal dan efekti dan
tidak
ada
tanda
hipoksia. 7.
Bersihan jalan napas Tujuan:
1.Awasi frekuensi, irama,
inefektif
kedalaman pernafasan.
berhubungan dengan penumpukan secret.
setelah
dilakukan
keperawatan
tindakan pasien 2.Auskultasi
menunjukkan bunyi nafas yang perhatikan elas.
paru, stridordan
penurunan bunyi nafas.
Kriteria hasil:
3.Dorong
batuk
atau
latihan pernafasan. frekuensi nafas dalam
rentang normal.
4.Perhatikan adanya warna
bebas dipsnea.
pucat
atau
merah
pada
luka. 8.
Perubahan
pola Tujuan:
1.Catat
eliminasi
urin
selidiki penurunan aliran
berhubungan dengan
setelah
dilakukan
keperawatan
efek anastesi.
tindakan
keluaran
urine,
urine secara tiba-tiba.
pasien
menunjukkan aliran urine yang 2.Awasi TTV, kaji nadi lancar.
perifer,
turgor
kulit,
pengisian kapiler. Kriteria hasil:
Haluaran urine adekuat.
3.Dorong
peningkatan
cairan
pertahankan
dan
pemasukan akurat. 9.
Perubahan kurang kebutuhan
nutrisi Tujuan:
1.Timbang
dari
BB
secara
teratur. Setelah
dilakukan
tindakan
28
berhubungan dengan keperawatan mual muntah.
menunjukkan
pasien 2.Auskultasi bising usus, keseimbangan catat bunyi tak ada atau
berat badan.
hiperaktif.
Kriteria hasil:
3.Tambahkan diet sesuai toleransi.
Berat badan klien tetap seimbang.
29
BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan
Craniotomy adalah perbaikan pembedahan, reseksi atau pengangkatan pertumbuhan atau abnormalitas di dalam kranium, terdiri atas pengangkatan dan penggantian tulang tengkorak untuk memberikan pencapaian pada struktur intracranial. Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Penyebab craniotomy akibat cedera kepala antara lain : kecelakaan lalu lintas, perkelahian, jatuh, cedera saat berolahraga dan cedera kepala terbuka atau yang sering disebabkan oleh peluru atau pisau. 4.2
Saran
Agar pembaca memahami dari penjelasan craniotomy, mulai dari klasifikasi, etiologi, patofiologi, manifestasi klinik, komplikasi, dampak bagi tubuh yang lain, serta penatalaksanaan medis dari kraniotomy.
30