Latar Belakang TORCH adalah singkatan dari T oxoplasma oxoplasma gondii, gondii , Other atau lain-lain [T. pallidum,
Varicella-zoster virus], virus], R ubellavirus, ubellavirus, C ytomegalovirus ytomegalovirus (CMV) dan H erpes Simplex Virus (HSV). Penyakit TORCH ini dikenal karena menyebabkan kelainan dan berbagai keluhan yang bisa menyerang siapa saja, mulai anak-anak sampai orang dewasa, baik pria maupun wanita. Bagi ibu yang terinfeksi saat hamil dapat menyebabkan kelainan pertumbuhan pada bayinya, yaitu cacat fisik dan mental yang beraneka ragam. Infeksi TORCH juga dapat menyerang semua jaringan organ tubuh, termasuk sistem saraf pusat dan perifer yang mengendalikan fungsi gerak, penglihatan, pendengaran, sistem kardiovaskular serta metabolisme tubuh.1 Infeksi TORCH mempunyai manifestasi klinis yang berpotensi berat. Toksoplasmosis kongenital merupakan antara penyebab kebutaan tersering pada neonatus, meskipun dapat dicegah dengan menghindari kontak dari kucing dan daging mentah. Sementara cytomegalovirus cytomegalovirus tetap menjadi penyebab paling umum dari infeksi kongenital di Amerika Serikat. Berdasarkan studi terbaru mengenai sitomegalovirus, virus ini efektif diobati dengan Ganciclovir. Sulit untuk menentukan persentase kematian janin ( fetal ( fetal loss) loss) karena infeksi selama kehamilan awal. Meskipun kematian janin selama beberapa minggu pertama kehamilan telah diperkirakan 31% setelah implantasi, persentase ini mungkin salah. Hal ini karena wanita kadang tidak sadar bahwa mereka bahkan hamil saat kematian embrio terjadi dan dengan demikian kematian janin ini tidak diambil kira. 2 Gejala awal infeksi biasanya terlihat setelah enam sampai delapan minggu kehamilan. Pada tahap ini masih sulit untuk menentukan apakah kematian intrauterine karena gangguan organogenesis atau efek sistemik dari infeksi.1,2
1
Etiologi
Biarpun kedua toksoplasmosis dan sitomegalovirus (CMV) tergolong dalam infeksi TORCH, masing-masing mempunyai jalur transmisi yang berbeda pada bayi baru lahir (Tabel 1). Tabel 1: Perbedaan jalur transmisi infeksi Toksoplasmosis dan CMV pada bayi baru lahir Patogen
Toksoplasma gondii
Sitomegalovirus
Transplasenta
Sering
Jarang
Jalan lahir
Jarang
Sering
Sering
–
–
–
Kotoran kucing mengandung
–
(perinatal) Makanan mengandung kista atau fecaloral Udara (droplet ) Binatang
kista Cairan tubuh
–
Sering melalui saliva, urin dan air mata
1. Toksoplasmosis Toksoplasmosis disebabkan oleh protozoa Toksoplama gondii, termasuk dalam sub klas Coccidia. Toksoplasma gondii dapat menular melalui makanan berupa daging yang terkandung kista protozoa, tinja kucing yang terkandung kista protozoa, transfusi darah dari donor yang menderita toksoplasmosis a-simtomatis dan juga melalui plasenta. 30% infeksi terjadi pada bayi dari ibu yang terinfeksi saat kehamilan. Toksoplasma gondii mempunyai 2 siklus hidup yaitu siklus seksual (skizogoni) dan gametogoni (fase isosporan) yang terjadi di dalam epitel intestinum pejamu definitif (kucing peliharaan), dan siklus a-seksual (fase toksoplasmik) dalam tubuh manusia. Pada fase akut, takizoit dalam sel retikular endotelial akan membentuk pseudokista dan pada keadaan menahun membentuk kista di dalam jaringan. Di dalam tubuh kucing terdapat 2 siklus hidup T. gondii, yaitu siklus entero-epitelial dan ekstra intestinal. Pada stadium entero-epitelial terjadi produksi gametogoni dan ookist. Sedangkan kedua stadium lainnya, takizoit dan kista terjadi ekstra intestinal. Kedua stadium ekstra intestinal inilah yang menjadi sumber penularan pada golongan mamalia dan golongan burung sebagai pejamu perantara. 2
2. Sitomegalovirus (CMV) Sitomegalovirus merupakan virus DNA dari golongan herpesviridae seperti Herpes simplex virus tipe 1 dan 2, Varicella-Zoster, dan Eipstein Barr virus. Karakteristik virus dari golongan ini adalah kemampuannya untuk beradaptasi di dalam tubuh manusia sedemikian rupa sehingga dapat menimbulkan masa latent atau dormant. Sekitar 40% dari infeksi primer ibu dengan sitomegalovirus ditransmisikan ke janin. Kemungkinan terjadinya penularan adalah sama baik pada awal atau pada akhir kehamilan. Namun, infeksi maternal primer pada trimester pertama lebih cenderung menyebabkan infeksi neonatal yang jelas saat lahir dan lebih mungkin untuk menghasilkan gejala sisa berat seperti tuli dan keterbelakangan mental. Namun, infeksi maternal yang dihasilkan dari reaktivasi virus biasanya menyebabkan pelepasan virus hanya asimtomatik pada bayi. Selain rute transplasenta (sitomegalovirus kongenital), infeksi sitomegalovirus (CMV) dapat ditularkan pada saat partus melalui saluran genital ibu, selama periode postpartum dalam ASI, dan produk darah yang ditransfusikan. CMV juga mudah menyebar di pusat-pusat penitipan anak dan keluarga dengan anak-anak karena tertular melalui cairan tubuh penderita (saliva, urin, air mata dll), sehingga kebersihan tangan (hand hygiene) diharuskan terutama saat mengganti pampers anak-anak.6
3
Cara Penularan
1. Toksoplasmosis Cara penularan dapat terjadi melalui beberapa jalur:4 1. Transmisi kongenital Infeksi pada plasenta dipengaruhi oleh saat terjadinya infeksi dan terdapat korelasi positif antara isolasi parasit dari plasenta dengan infeksi pada neonatus. Namun hanya 30% infeksi terjadi pada bayi dari ibu yang terinfeksi saat kehamilan. 2. Transmisi melalui makanan Transmisi kemungkinan besar melalui daging yang mengandung kista. Transmisi melalui daging yang tidak atau kurang matang bukan merupakan jalur penularan yang penting dibandingkan dengan penularan melalui makanan yang tercemar kist a dari tinja kucing. Sedangkan penularan melalui air susu, termasuk asi tidak pernah dilaporkan. 3. Penularan lain Transmisi lain yang pernah dilaporkan ialah penularan melalui transfusi darah dari donor yang menderita toksoplasmosis a-simtomatis, baik packed red cells (PRC), suspensi granulosit atau darah segar. Penularan lain dapat terjadi melalui petugas laboratorium yang bertugas memelihara binatang, dan alat suntik yang terkontaminasi.
Gambar 1. Transmisi toksoplasma pada manusia 4
4
2. Sitomegalovirus Transmisi infeksi CMV bisa melalui intrauterin, perinatal, dan post natal, lalu penyebaran endogen. a) Transmisi intrauterin terjadi karena virus yang beredar dalam sirkulasi (viremia) ibu menular ke janin. Kejadian transmisi seperti ini dijumpai pada kurang lebih 0,5 – 1% dari kasus yang mengalami reinfeksi atau rekuren. Viremia pada ibu hamil dapat menyebar melalui aliran darah (per hematogen), menembus plasenta, menuju ke fetus baik pada infeksi primer eksogen maupun pada reaktivasi, infeksi rekuren endogen, yang mungkin akan menimbulkan risiko tinggi untuk kerusakan jaringan prenatal yang serius. Risiko pada infeksi primer lebih tinggi daripada reaktivasi atau ibu terinfeksi sebelum konsepsi. Infeksi transplasenta juga dapat terjadi, karena sel terinfeksi membawa virus dengan muatan tinggi. Transmisi tersebut dapat terjadi setiap saat sepanjang kehamilan, namun infeksi yang terjadi sampai 16 minggu pertama, akan menimbulkan penyakit yang lebih berat. b) Transmisi perinatal terjadi karena sekresi melalui saluran genital atau air susu ibu. Kira-kira 2% – 28% wanita hamil dengan CMV seropositif, melepaskan CMV ke sekret serviks uteri dan vagina saat melahirkan, sehingga menyebabkan kurang lebih 50% kejadian infeksi perinatal. Transmisi melalui air susu ibu dapat terjadi, karena 9% - 88% wanita seropositive yang mengalami reaktivasi biasanya melepaskan CMV ke ASI. Kurang lebih 50% - 60% bayi yang menyusu terinfeksi asimtomatik, bila selama kehidupan fetus telah cukup memperoleh imunitas IgG spesifik dari ibu melalui plasenta. Kondisi yang jelek mungkin dijumpai pada neonatus yang lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah. c) Transmisi postnatal dapat terjadi melalui saliva, mainan anak-anak misalnya karena terkontaminasi dari vomitus. Transmisi juga dapat terjadi melalui kontak langsung atau tidak langsung, kontak seksual, transfusi darah, transplantasi organ. d) Penyebaran endogen di dalam diri individu dapat terjadi dari sel ke sel melalui desmosom yaitu celah di antara 2 membran atau dinding sel yang berdekatan. Di samping itu, apabila terdapat pelepasan virus dari sel terinfeksi, maka virus akan beredar dalam sirkulasi (viremia), dan terjadi penyebaran per hematogen ke sel lain yang berjauhan, atau dari satu organ ke organ lainnya.
5
Epidemiologi
1. Toksoplasmosis Toksoplasmosis dijumpai menyebar di seluruh dunia. Secara geografis, kejadian serokonversi toksoplasma tergantung dari keadaan ketinggian suatu daerah dan kebiasaan makan daging kurang matang. Serokonversi makin meningkat sesuai dengan makin meningkatnya umur seseorang. Dilaporkan bahwa prevalens toksoplasmosis yang tinggi terjadi pada penduduk yang banyak memelihara kucing sebagai binatang kesayangan atau adanya tikus dan burung sebagai pejamu perantara. Survai kejadian seropositif pada dewasa di berbagai negara di dunia berkisar antara 30-75%. Sedangkan di Indonesia prevalensi zat anti IHA terhadap T. gondii berkisar 2-51%. Pada penelitian prevalensi seropositif pada ibu hamil di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta berturut-turut 14,3%, 21,5% dan 22,8% pada ibu hamil, riwayat abortus dan lahir mati. Sedangkan pada pemeriksaan 2,920 sampel di Makmal Terpadu FKUI serokonversi ditemukan pada 36,7% wanita usia subur. 2. Sitomegalovirus Infeksi CMV dijumpai secara endemik dan dapat timbul kapan saja tanpa dipengaruhi oleh perubahan musim. Tidak diketahui vektor yang menyebabkan terjadinya penularan dari satu manusia ke manusia yang lain. Prevalens infeksi CMV tinggi di negara sedang berkembang dan kasusnya banyak dijumpai pada masyarakat sosial ekonomi rendah serta banyak menyerang kelompok usia muda. Sumber infeksi adalah urin, sekret orofaring, sekret servikal dan vaginal, semen, air susu ibu, air mata dan darah pasien. Insidens infeksi CMV pada bayi sampai usia 6 bulan di Amerika berkisar antara 3056%, hal ini mungkin disebabkan karena pemberian air susu ibu di Amerika Serikat menjadi populer kembali. Hasil titer seropositif pada anak sampai usia 2 tahun yang berasal dari kalangan sosial ekonomi rendah di Kibbutz sebesar 76%, sedangkan di dua daerah perkotaan angka seropositif hanya sebesar 44% dan 54%. Dari 16,218 ibu hamil yang diteliti oleh Stagno ditemukan angka seropositif 36,5% pada ibu hamil yang berasal dari golongan sosial ekonomi tinggi, sedangkan ibu hamil yang berasal dari golongan sosial ekonomi rendah, angka seropositif meningkat menjadi 76,6%.
6
Manifestasi klinis
Infeksi TORCH merupakan gangguan pada kehamilan yang bisa membahayakan janin. Jika infeksi ini diketahui di awal masa kehamilan, risiko penularan dari ibu pada janin bisa dikurangi sehingga cacat bawaan bisa dicegah. Infeksi TORCH dapat menyebabkan 5-10 persen keguguran dan cacat bawaan pada janin yang meliputi gangguan pendengaran, retardasi mental serta kebutaan. Sebagian besar cacat itu bisa dicegah dengan melakukan skrining TORCH di trimester pertama kehamilan. Jika hasilnya negatif, para ibu bisa diberi edukasi pentingnya menjaga kebersihan diri. Namun jika hasilnya positif, dokter bisa memberikan pengobatan untuk menurunkan risiko transmisi dari ibu ke janin. Tingkat keparahan dan gejala penyakit pada bayi baru lahir tergantung pada seberapa cepat terjadi infeksi pada saat kehamilan. 1. Toksoplasmosis Pada manusia dewasa dengan daya tahan tubuh yang baik biasanya hanya memberikan gejala minimal dan bahkan sering tidak menimbulkan gejala. Apabila menimbulkan gejala, maka gejalanya tidak khas seperti: demam, sakit tenggorokan, nyeri otot, kadang-kadang nyeri dan ada pembesaran kelenjar limfe servikalis posterior, supraklavikula dan suboksiput. Pada infeksi berat, meskipun jarang, dapat terjadi sakit kepala, muntah, depresi, nyeri otot, pnemonia, hepatitis, miokarditis, ensefalitis, delirium dan dapat terjadi kejang. Pada toksoplasmosis kongenital berat dapat menyebabkan kematian janin, tetapi pada keadaan yang lain, infeksi dapat tidak memberikan gejala dan bayi dapat lahir normal. Kelainan pada janin dengan toksoplasmosis kongenital dapat berupa gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, hidrosefali, anensefali, mikrosefali. hidrops non imun, dan korioretinitis. Pada bayi dapat juga lahir tanpa gejala tetapi kemudian timbul gejala lambat seperti korioretinitis, katarak, ikterus, mikrosefali, pnemonia dan diare. Komplikasi jangka panjang yang serius adalah timbulnya kejang, retardasi mental dan gangguan penglihatan. Kebanyakan bayi yang meninggal karena infeksi toksoplasma mengalami kerusakan yang berat pada otak. Kerusakan pada pembuluh darah menyebabkan kematian fokal dan difus pada hemisfer otak, batang otak dan serebellum. Kerusakan yang lebih berat terjadi pada korteks daerah sekitar ventrikel otak, dan ganglia basalis. Seringkali terbentuk kista yang dapat menyebabkan sumbatan pada saluran serebrospinal yang dapat menyebabkan hidrosefali.
7
2. Sitomegalovirus Transmisi dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, Infeksi pada kehamilan sebelum 16 minggu dapat mengakibatkan kelainan kongenital berat. Gejala klinik infeksi CMV pada bayi baru lahir jarang ditemukan. Dari hasil pemeriksaan virologis, CMV hanya didapat 5-10% dari seluruh kasus infeksi kongenital CMV. Kasus infeksi kongenital CMV hanya 30-40% saja yang disertai persalinan prematur. Dari semua yang prematur setengahnya disertai Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT). 10% dari janin yang menunjukkan tanda-tanda infeksi kongenital mati dalam dua minggu pertama. infeksi kongenital pada anak baru lahir jelas gejalanya. Gejala infeksi pada bayi baru lahir bermacam-macam, dari yang tanpa gejala apa pun sampai berupa demam, kuning (jaundice), gangguan paru, pembengkakan kelenjar limfe, pembesaran hati dan limpa, bintik merah di sekujur tubuh, serta hambatan perkembangan otak (microcephaly). Hal ini bisa menyebabkan buta, tuli, retardasi mental bahkan kematian. Tetapi ada juga yang baru tampak gejalanya pada masa pertumbuhan dengan memperlihatkan gangguan neurologis, mental, ketulian dan visual. Komplikasi yang dapat muncul pada infeksi CMV antara lain: a) Infeksi pada sistem saraf pusat (SSP) antara lain: meningoencephalitis, kalsifikasi, mikrosefali, gangguan migrasi neuronal, kista matriks germinal, ventriculomegal y dan hypoplasia cerebellar). Penyakit SSP biasanya menunjukan gejala dan tanda berupa: kelesuan, hypotonia, kejang, dan pendengaran defisit. b) Kelainan pada mata meliputi korioretinitis, neuritis optik, katarak, koloboma, dan mikroftalmia. c) Sensorineural hearing defisit (SNHD) atau kelainan pendengaran dapat terjadi pada kelahiran, baik unilateral atau bilateral, atau dapat terjadi kemudian pada masa kanakkanak. Beberapa pasien memiliki pendengaran normal untuk pertama 6 tahun hidup, tetapi mereka kemudian dapat mengalami perubahan tiba-tiba atau terjadi gangguan pendengaran. Di antara anak-anak dengan defisit pendengaran, kerusakan lebih lanjut dari pendengaran terjadi pada 50%, dengan usia rata-rata perkembangan pertama pada usia 18 bulan (kisaran usia 2-70 bulan). Gangguan pendengaran merupakan hasil dari replikasi virus dalam telinga bagian dalam. d) Hepatomegali dengan kadar bilirubin direk transaminase serum meningkat. Secara patologis dijumpai kolangitis intralobar, kolestasis obstruktif yang akan menetap selama masa anak. Inclusian dijumpai pada sel kupffer dan epitel saluran empedu. Bayi dengan infeksi CMV kongenital memiliki tingkat mortalitas 20-30%. Kematian biasanya disebabkan disfungsi hati, perdarahan, dan intravaskuler koagulopati atau infeksi bakteri sekunder.
8
Diagnosis
1. Toksoplasmosis Pada pemeriksaan secara makroskopis, plasenta yang terinfeksi biasanya membesar dan memperlihatkan lesi yang mirip dengan gambaran khas dari eritroblastosis fetalis. Villi akan membesar, oedematus dan sering immatur pada umur kehamilan. Diagnosis dapat ditegakkan dengan adanya gambaran organisme dalam sel. Organisme sulit ditemukan pada plasenta, tetapi bila ditemukan biasanya terdapat dalam bentuk kista di korion atau jaringan subkorion. Identifikasi sering sulit, sebab sinsitium yang mengalami degenerasi sering mirip dengan kista. Pemeriksaan yang baru dan saat ini sering digunakan adalah dengan enzyme-linnked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan yang sering digunakan adalan dengan mengukur jumlah IgG, IgM atau keduanya. IgM dapat terdeteksi lebih kurang 1 minggu setelah infeksi akut dan menetap selama beberapa minggu atau bulan. IgG biasanya tidak muncul sampai beberapa minggu setelah peningkatan IgM tetapi dalam titer rendah dapat menetap sampai beberapa tahun. Secara optimal, antibodi IgG terhadap toksoplasmosis dapat diperiksa sebelum konsepsi, dimana adanya IgG yang spesifik untuk toksoplasma memberikan petunjuk adanya perlindungan terhadap infeksi yang lampau. Pada wanita hamil yang belum diketahui status serologinya, adanya titer IgG toksoplasma yang tinggi sebaiknya diperiksa titer IgM spesifik toksoplasma. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi yang baru saja terjadi, terutama dalam keadaan titer yang tinggi. Tetapi harus diingat bahwa IgM dapat terdeteksi selama lebih dari 4 bulan bila menggunakan fluorescent antibody test , dan dapat lebih dari 8 bulan bila menggunakan ELISA. Diagnosis prenatal dari toksoplasmosis kongenital dapat juga dilakukan dengan kordosintesis dan amniosintesis dengan test serologi untuk IgG dan IgM pada darah fetus. Adanya IgM menunjukkan adanya infeksi karena IgM tidak dapat melewati barier plasenta sedangkan IgG dapat berasal dari ibu. Meskipun demikian antibodi IgM spesifik mungkin tidak dapat ditemukan karena kemungkinan terbentuknya antibodi dapat terlambat pada janin dan bayi. Pedoman yang digunakan dalam menilai hasil serologi: 1. Infeksi primer akut dapat dicurigai bila 4 1. terdapatnya serokonversi IgG atau peningkatan IgG 2-4 kali lipat dengan interval 2-3 minggu. 2. Terdapatnya IgA dan IgM positif menunjukkan infeksi 1-3 minggu yang lalu. 3. IgG avidity yang rendah 9
4. Hasil Sabin-Feldman/ IFA >300 IU/ml atau 1:1000 5. IgM-IFA 1:80 atau IgM-ELISA 2.600 IU/ml 2. IgG yang rendah dan stabil tanpa disertai IgM diperkirakan merupakan infeksi lampau. 3. Satu kali pemeriksaan dengan IgG dan IgM positif tidak dapat dipastikan sebagai infeksi akut dan harus dilakukan pemeriksaan ulang atau pemeriksaan lain. 2. Sitomegalovirus Untuk dapat menegakkan diagnosis infeksi sitomegalovirus ibu dibutuhkan antara lain: a) peningkatan titer antibodi anti sitomegalovirus sebesar lebih dari 4 kali (konversi serologi) b) adanya antibodi IgM ibu, atau c) isolasi virus Pada bayi baru lahir, kultur CMV dapat diambil dari urine dan cairan amnion. TORCH screen antibody assays, terutama mengukur IgG, memerlukan 2 contoh serum untuk diagnosis yang lebih tepat, yang pertama diambil pada neonatus saat lahr, dan yang kedua pada umur 4-6 bulan. Penurunan titer antiboodi CMV menunjukkan bahwa antibodi dari ibu ke janin, dialirkan melalui plasenta. Titer yang menetap atau meninggi akan membantu diagnosis infeksi kongenital, perinatal atau paska natal. Bila ditemukan adanya IgM pada bayi baru lahir menunjukkan suatu infeksi kongenital, sedangkan IgG pada bayi dapat terjadi karena transfer pasif melalui plasenta ibu. Pemeriksaan penunjang lainnya untuk mendiagnosis abnormalitas fetus dalam kandungan adalah dengan pemeriksaan USG. Melalui USG, dapat diketahui adanya kalsifikasi intrakranial, IUGR, hidrosefalus, ventrikulomegali, oligohidramnion, plasenta besar, asites, dan peritonitis mekoneum. Karakteristik yang penting dan perlu diperhatikan pada infeksi maternal, neonatal dan kongenital adalah kemampuan penyebaran infeksi pada lingkungan sekitarnya. Bayi dengan infeksi sitomegalovirus kongenital dapat mengeluarkan virus yang infeksius dari orofaring dan traktus urinarius. Untuk itu diharapkan ibu hamil dengan seronegatif tidak melakukan kontak dengan bayi tersebut. Kemungkinan peningkatan transmisi kongenital hanya bila: 1. Didapatkan titer virus yang tinggi (menandakan adanya infeksi yang baru terjadi) 2. Adanya peningkatan lebih dari 4 kali antibodi spesifik. 3. Adanya antibodi IgM anti sitomegalovirus.
10
Penatalaksanaan
1. Toksoplasma Infeksi toksoplasma pada ibu hamil dapat dicegah dengan cara menghindari tertelannya kista atau ookista berbentuk spora dengan menjaga kebersihan diri. Perlu kebiasaan mencuci tangan sebelum makan atau setelah kontak dengan kucing/ kotoran kucing, memasak makanan sampai matang benar (>66º C) dan menggunakan sarung tangan sewaktu berkebun. Buah-buahan dan sayur mentah harus dicuci bersih dan makanan dilindungi supaya tidak dihinggapi lalat, kecoa, dan serangga atau binatang lain yang mungkin dapat membawa kontaminasi dari kotoran kucing. Pengobatan terhadap ibu hamil yang terinfeksi akut dengan tujuan mengurangi infeksi ke janin, dosis yang dianjurkan WHO adalah: 1. Kombinasi antara sulfa, pirimethamin, dan asam folat dengan dosis :
Sulfonamide/ sulfadiazin 1000 mg per hari
Pirimethamin (Daraprim) 25 mg per hari
Asam folat 10 mg/ minggu (mencegah depresi sumsum tulang)
Dosis ini diberikan selama 4 minggu dan diulang lagi dengan interval 4 minggu dengan maksimum 3 siklus pemberian sampai terjadinya persalinan. Karena teratogenik maka kombinasi pirimethamin dan sulfa baru dapat digunakan setelah kehamilan 20 minggu. 2. Pada kehamilan trimester I digunakan spiramisin, suatu antibiotika golongan makrolid dengan dosis 3x1 gram selama 4 minggu (9 juta unit) dan diulang tiap 4 minggu. 2. Sitomegalovirus Pemberian imunisasi dengan plasma hiperimun dan globulin dikemukakan telah memberi beberapa keberhasilan untuk mencegah infeksi primer dan dapat diberikan kepada penderita yang akan menjalani cangkok organ. Namun demikian, antibodi sitomegalovirus tidak dapat melindungi kemungkinan infeksi kongenital pada kehamilan yang berikutnya, sehingga kegunaan vaksinasi untuk sitomegalovirus diragukan. Akan tetapi telah muncul beberapa penelitian tentang penggunaan Ganciclovir intravena bagi mengobati infeksi sitomegalovirus dengan dosis 5 mg/kgBB IV pada tingkat konstan selama 1 jam, setiap 12 jam untuk 14-21 hari. Pemberian ganciclovir intravena ini dapat diberikan kepada dewasa (ibu hamil) dan bayi usia lebih 3 bulan yang terinfeksi sitomegalovirus. Wanita hamil dengan seronegatif harus mencegah agar tidak terlalu sering kontak dengan anak-anak usia 2-4 tahun terutama yang diketahui menderita infeksi sitomegalovirus, dan selalu menjaga kebersihan diri dengan membiasakan selalu mencuci tangan setelah kontak dengan produk cairan anak11
anak seperti muntahan, popok, dan lain-lain. 9 Pada pemberian transfusi darah, resipien dengan CMV negatif idealnya harus mendapat darah dari donor dengan CMV negatif pula. Deteksi laboratorik untuk infeksi CMV, idealnya dilakukan pada setiap donor maupun resipien yang akan mendapat transfusi darah atau cangkok organ. Apabila terdapat peningkatan kadar IgG anti- CMV pada pemeriksaan serial yang dilakukan 2x dengan selang waktu 2-3 minggu, maka darah donor seharusnya tidak diberikan kepada resipien mengingat dalam kondisi tersebut infeksi atau reinfeksi masih berlangsung. Seorang calon ibu, hendaknya menunda untuk hamil apabila secara laboratorik dinyatakan terinfeksi CMV primer akut. Bayi baru lahir dari ibu yang menderita infeksi CMV, perlu dideteksi IgM antiCMV untuk mengetahui infeksi kongenital.
12
Penutup Kesimpulan
Toksoplasmosis pada manusia khususnya pada bayi dan anak, dapat menimbulkan beberapa masalah kesehatan. Pertama, dasar dari masalah adalah sebagian besar orang telah mempunyai antibodi terhadap toksoplasma tanpa menyadari telah mendapat infeksi, termasuk ibu hamil. Sebagai akibatnya infeksi dapat mengenai janin bila ibu mendapat infeksi pada awal trimester kehamilan. Kedua, toksoplamosis kongenital memberikan masalah tersendiri oleh karena manifestasi klinis sangat bervariasi, dapat tidak tampak saat lahir sampai dijumpai gejala neurologik yang berat, bahkan dapat menimbulkan kematian pada awal kehidupan. Ketiga, gejala klinis yang tidak khas menyebabkan diagnosis sulit ditegakkan, maka pemeriksaan serologik sebagai penunjang diagnosis memegang peranan penting. 4 Infeksi sitomegalovirus pada ibu hamil merupakan penyebab resiko tinggi bayi baru lahir untuk mengalami gangguan perkembangan dikemudian hari. Oleh karena itu diperlukan kewaspadaan khusus terhadap adanya infeksi virus tersebut. Kecurigaan terhadap adanya infeksi CMV kongenital dapat diawali dengan ditemukan manifestasi klinis pada bayi baru lahir. Kecurigaan ini harus ditindaklanjuti dengan pemeriksaan laboratorium guna menunjang diagnosis tersebut. Setelah dipastikan adanya infeksi kongenital, tahap selanjutnya adalah memberikan pengobatan yang adekuat, sehingga gejala dikemudian hari dapat menjadi minimal.
13
Daftar Pustaka
1. Klein J, Remington J. Current concepts in infections of the fetus and newborn. In Infectious Diseases of the Fetus and Newborn Infant, eds Remington J and Klein J. Saunders, Philadelphia, PA 2001, 1-24. 2. Wilcox AJ, Weinberg CR, O'Connor JF, et al. Incidence of early loss of pregnancy. N Engl J Med 1988;319:189-194. 3. Mims C, Nash A, Stephen J. Mims' Pathogenesis of infectious diseases. Academic Press, San Diego, CA 2001. 4. Sumarmo S, Herry G, Sri R, Hindra I. Buku ajar infeksi dan pediatri tropis: toxoplasmosis. Jakarta. IDAI. 2015, 458-65. 5. Best JM, O'Shea S. Rubella virus. In Diagnostic Procedures for Viral, Rickettsial and Chamydial Infections, eds Lennette EH and Schmidt NJ. American Public Health Association, Washington DC 1989, 731-795. 6. Pass R. Cytomegalovirus. Dalam Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases, eds Long S, Pickering L and Prober C. Churchill-Livingston, New York, NY 2003, 10501059. 7. Fowler KB, Stagno S, Pass RF. Maternal age and congenital cytomegalovirus infection: Screening of two diverse newborn populations: 1980 – 1990. J Infect Dis 1993;168:552. 8. Maldonado Y. Rubella. Dalam Nelson Textbook of Pediatrics, eds Behrman R, Kliegman R and Jenson H. 2004, 1032-1034. Philadelphia, PA. 9. Hicks T, Fowler K, Richardson M, et al. Congenital cytomegalovirus infection and neonatal auditory screening . J Pediatr 1993;123:779. 10. Kohl S. Herpes simplex virus. In Nelson Textbook of Pediatrics, eds Behrman R, Kliegman R and Jenson H. Saunders, Philadelphia PA 2004, 1051-1057. 11. Boyer KM. Toxoplasmosis: Current status of diagnosis, treatment and prevention. Semin Pediatr Infect Dis 2000;11:165-171.
14