BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kekerasan Dalam Rumah Tangga Kekerasan merupakan tindakan agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemukulan, pemerkosaan, dan lain-lain) yang menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain, dan hingga batas tertentu tindakan menyakiti binatang dapat dianggap sebagai kekerasan, tergantung pada situasi dan nilai-nilai sosial yang terkait dengan kekejaman terhadap binatang (Gunawan Wibisono, 2009). Undang-Undang PKDRT ini menyebutkan bahwa Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga (Pasal 1 ayat 1). 1). Menurut WHO (WHO, 1999), 1999 ), kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik dan kekuasaan, ancaman atau tindakan terhadap diri sendiri, sendiri, perorangan atau sekelompok orang atau
masyarakat
yang
mengakibatkan
atau
kemungkinan
besar
mengakibatkan
memar/trauma, kematian, kerugian psikologis, kelainan perkembangan atau perampasan hak. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan kekerasan verbal maupun fisik, pemaksaan atau ancaman pada nyawa yang dirasakan pada seorang perempuan, apakah masih anak-anak atau sudah dewasa, yang menyebabkan kerugian fisik atau psikologis, penghinaan atau perampasan kebebasan dan yang melanggengkan subordinasi perempuan (Citra Dewi Saputra, 2009). Adapun pengertian kekerasan dalam rumah tangga, sebagaimana tertuang dalam rumusan pasal 1 Deklarasi Penghapusan Tindakan Kekerasan terhadap Perempuan (istri) PBB dapat disarikan sebagai setiap tindakan berdasarkan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi (Citra Dewi Saputra, 2009). Lebih tegas lagi dapat dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga terutama digunakan untuk mengontrol seksualitas perempuan dan peran reproduksi
mereka. Hal ini sebagaimana biasa terjadi dalam hubungan seksual antara suami dan istri di mana suami adalah pihak yang membutuhkan dan harus dipenuhi kebutuhannya, dan hal ini tidak terjadi sebaliknya. Lebih jauh lagi Maggi Humm menjelaskan bahwa beberapa hal di bawah ini dapat dikategorikan sebagai unsur atau indikasi kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yaitu: 1. Setiap tindakan kekerasan baik secara verbal maupun fisik, baik berupa tindakan atau perbuatan, atau ancaman pada nyawa. 2. Tindakan tersebut diarahkan kepada korban karena ia perempuan. Di sini terlihat pengabaian dan sikap merendahkan perempuan sehingga pelaku menganggap wajar melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan. 3. Tindakan kekerasan itu dapat berbentuk hinaan, perampasan kebebasan, dll. 4. Tindakan kekerasan tersebut dapat merugikan fisik maupun psikologis perempuan. 5. Tindakan kekerasan tersebut terjadi dalam lingkungan keluarga atau rumah tangga (Gunawan Wibisono, 2009). Kekerasan dalam rumah tangga adalah pola perilaku yang penuh penyerangan dan pemaksaan, termasuk penyerangan secara fisik, seksual, dan psikologis, demikian pula pemaksaan secara ekonomi yang digunakan oleh orang dewasa atau remaja terhadap pasangan intim mereka dengan tujuan untuk mendapatkan kekuasaan dan kendali atas diri mereka (Ichamor, 2009). B. Ruang Lingkup dan Macam-macam Kekerasan Dalam Rumah Tangga Lingkup rumah tangga dalam Undang-Undang ini meliputi (Pasal 2 ayat 1): 1. Suami, isteri, dan anak (termasuk anak angkat dan anak tiri). 2. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga (mertua, menantu, ipar dan besan); dan/atau 3. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut (Pekerja Rumah Tangga).
Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2004 tindak kekerasan istri dalam rumah tangga dibedakan kedalam empat (4) macam yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan emosional (Kompas.com ,2007). Selain itu macam-macam bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga tercantum dalam Undang-Undang KDRT Pasal 5. 1. Kekerasan Fisik Menurut Pasal 6 kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Menurut Magetan, 2010 kekerasan Fisik adalah kekerasan yang pelakunya melakukan penyerangan secara fisik atau menunjukkan perilaku agresif yang dapat menyebabkan terjadinya memar hingga terjadinya pembunuhan. Tindakan ini seringkali bermula dari kontak fisik yang dianggap sepele dan dapat dimaafkan yang kemudian meningkat menjadi tindakan penyerangan yang lebih sering dan lebih serius. Kekerasan fisik meliputi perilaku seperti mendorong, menolak, menampar, merusak barang atau benda-benda berharga, meninggalkan pasangan di tempat yang berbahaya, menolak untuk memberikan bantuan saat pasangan sakit atau terluka, menyerang dengan senjata, dan sebagainya. Berikut ini ada beberapa pembagian dari kekerasan fisik itu sendiri: 1) Kekerasan Fisik Berat . Kekerasan ini berupa penganiayaan berat
seperti menendang, memukul,
melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan: a) Cedera berat b) Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari c) Pingsan d) Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati e) Kehilangan salah satu panca indera. f) Mendapat cacat. g) Menderita sakit lumpuh.
h) Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih i) Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan j) Kematian korban. 2) Kekerasan Fisik
Ringan.
Kekerasan
ini
berupa
menampar,
menjambak,
mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan: a) Cedera ringan b) Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
2. Kekerasan psikologis atau emosional (Psikis) Menurut pasal 7 kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikologis atau emosional meliputi semua tindakan yang berdampak pada kesehatan mental dan kesejahteraan pasangan, seperti: menghina, kritik yang terus menerus, pelecehan, menyalahkan korban atas segala sesuatunya, terlalu cemburu atau posesif, mengucilkan dari keluarga dan teman-teman, intimidasi dan penghinaan. 1) Kekerasan Psikis Berat Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis, yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut: a) Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun. b) Gangguan stress pasca trauma. c) Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis) d) Depresi berat atau destruksi diri e) Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya f) Bunuh diri
2) Kekerasan Psikis Ringan. Kekerasan ini berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi social, tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina, ancaman kekerasan fisik yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini: a) Ketakutan dan perasaan terteror b) Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak c) Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual d) Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis) e) Fobia atau depresi temporer
3. Kekerasan Seksual Kekerasan seksual yaitu kekerasan yang penyerangannya secara fisik oleh pelaku seringkali diikuti, atau diakhiri dengan kekerasan seksual dimana korban dipaksa untuk melakukan hubungan seksual dengan pelaku atau berpartisipasi dalam suatu kegiatan seksual yang tidak diinginkannya, termasuk hubungan seks tanpa pelindung. a) Kekerasan Seksual Berat , berupa: a) Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan. b) Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki. c) Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan. d) Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu. e) Terjadinya
hubungan
seksual
dimana
pelaku
ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
memanfaatkan
posisi
f) Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera. b) Kekerasan Seksual Ringan Kekerasan ini berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban. Kekerasan seksual menurut pasal 8 meliputi:
Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
4. Kekerasan Ekonomi Kekerasan ekonomi termasuk pasal 9 yang meliputi berbagai tindakan yang dilakukan untuk mempertahankan kekuasaan dan kendali atas keuangan, seperti: melarang pasangan mereka untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan pekerjaan, membuat pasangan mereka harus meminta uang untuk setiap pengeluaran, membatasi akses pasangan mereka terhadap keuangan dan informasi akan keadaan keuangan keluarga, dan mengendalikan keuangan pasangan. 1) Kekerasan Ekonomi Berat yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa: a) Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran. b) Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya. c) Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
2) Kekerasan Ekonomi Ringan Kekerasan ini berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.
C. Faktor-faktor terjadinya kekerasan dalam rumah tangga Ada faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu : a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya. b. Ketergantungan ekonomi Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadnya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya. c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga. Biasanya kekerasan ini dilakukan sebagai pelampiasan dari ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan, kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan kelebihan fisiknya dalam menyelesaikan problem rumah tangganya. d. Persaingan Di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan
lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang. e. Frustasi Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya. Hal ini biasa terjadi pada pasangan-pasangan seperti dibawah ini: 1. Belum siap kawin. 2. Suami belum memiliki pekerjaan dan penghasilan tetap yang mencukupi kebutuhan rumah tangga. 3. Serba terbatas dalam kebebasan karena masih menumpang pada orang tua atau mertua. 4. Kesempatan yang kurang bagi perempuan dalam proses hukum. Pembicaraan tentang proses hukum dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga tidak terlepas dari pembicaraan hak dan kewajiban suami istri. Hal ini penting karena bisa jadi laporan korban kepada aparat hukum dianggap bukan sebagai tindakan kriminal tapi hanya kesalahpahaman dalam keluarga. Hal ini juga terlihat dari minimnya KUHAP membicarakan mengenai hak dan kewajiban istri sebagai korban, karena posisi dia hanya sebagai saksi pelapor atau saksi korban. Dalam proses sidang pengadilan, sangat minim kesempatan istri untuk mengungkapkan kekerasan yang ia alami. D. Dampak Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam hal ini banyak dampak yang ditimbulkan oleh kekerasan itu sendiri. Dampak kekerasan dalam rumah tangga akan terjadi pada istri, anak, bahkan suami. 1. Dampak pada istri : 1. Perasaan rendah diri, malu dan pasif 2. Gangguan kesehatan mental seperti kecemasan yang berlebihan, susah makan dan susah tidur 3. Mengalami sakit serius, luka parah dan cacat permanen 4. Gangguan kesehatan seksual 5. Menderita rasa sakit fisik dikarenakan luka sebagai akibat tindakan kekerasan
6. Kekerasan seksual dapat mengakibatkan turun atau bahkan hilangnya gairah seks, karena istri menjadi ketakutan dan tidak bisa merespon secara normal ajakan berhubungan seks 2. Dampak pada anak : 1. Mengembangkan prilaku agresif dan pendendam 2. Mimpi buruk, ketakutan, dan gangguan kesehatan 3. Kekerasan menimbulkan luka, cacat mental dan cacat fisik 3. Dampak pada suami : 1. Merasa rendah diri, pemalu, dan pesimis 2. Pendiam, cepat tersinggung, dan suka menyendiri Selain itu menurut Surya Sukma, efek psikologis penganiyaan bagi banyak perempuan lebih parah disbanding efek fisiknya. Rasa takut, cemas, letih, kelainan stress post traumatic, serta gangguan makan dan tidur merupakan reaksi panjang dari tindak kekerasan terhadap istri juga mengakibatkan kesehatan reproduksi terganggu secara bilologis yang pada akhirnya terganggu secara sosiologis. Istri yang teraniaya sering mengisolasi diri dan menarik diri karena berusaha menyembunyikan bukti penganiyaan mereka. Perempuan terganggu kesehatan reproduksinya bila pada saat tidak hamil mengalami gangguan menstruasi seperti menorhagia, hipomenohagia atau metrohagia bahkan wanita dapat mengalami menopause lebih awal, dapat mengalami penurunan libido, ketidakmampuan mendapatkan orgasme. Diseluruh dunia satu diantara empat perempuan hamil yang mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual oleh pasangannya. Pada saat hamil, dapat terjadi keguguran/abortus, persalinan immature, dan bayi meninggal dalam rahim. Pada saat bersalin, perempuan akan mengalami penyulit persalinan seperti hilangnya kontraksi uterus, persalinan lama, persalinan dengan alat bahkan pembedahan. Hasil dari kehamilan dapat melahirkan bayi dengan BBLR. Terbelakang mental, bayi lahir cacat fisik atau bayi lahir mati. Dampak lain yang juga mempengaruhi kesehatan organ reproduksi istri dalam rumah tangga diantaranya perubahan pola pikir, emosi dan ekonomi keluarga. Dampak terhadap pola
pikir istri misalnya tidak mampu berpikir secara jernih karena selalu merasa takut, cenderung curiga (paranoid), sulit mengambil keputusan, tidak bias percaya dengan apa yang terjadi. Istri yang menjadi korban kekerasan memiliki masalah kesehatan fisik dan mental dua kali lebih besar dibandingkan yang tidak menjadi korban termasuk tekanan mental, gangguan fisik, pusing, nyeri haid, terinfeksi penyakit menular. Dampak terhadap ekonomi keluarga adalah persoalan ekonomi, hal ini terjadi tidak saja pada wanita yang tidak bekerja tetapi juga pada wanita yang bekerja atau mencari nafkah. Seperti terputusnya akses mendadak , kehilangan kendali ekonomi rumah tangga, biaya tak terduga untuk tempat tinggal, kepindahan, pengobatan, terapi serta ongkos untuk kebutuhan yang lain. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kekerasan Dalam Rumah Tangga
1. Pengkajian
Kecemasan o
Perilaku : Gelisah, ketegangan fisik, tremor, gugup, bicara cepat, menarik diri dari hubungan personal, mengahalangi, menarik diri dari hubungan interpersonal, melarikan diri dari hubungan intrapersonal.
o
Stresor Pecetus : Stesor penscetus mungkin berasal dari sumber internal dan sumber eksternal. Stressor pencetus dibagi menjadi dua kategori. Kategori pertama yaitu ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan fisiologis yang akan datang atau menurunnya kkapasitas untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Katagori kedua yaitu ancaman terhadap system diri seseorang dapat membahayakan identitas, harga diri, dan fungsi social yang terintegrasi seseorang.
o
Mekanisme koping : Tingkat kecemasan seseorang dapat menimbulkan dua mekanisme
koping.
Mekanisme
yang
pertama
adalah
mekanisme
yang
berorientasi pada tugas yaitu upaya yang disadari, dan berorientasi pada tindakan untuk memenuhi secara realistic tuntutan situasi stress(Perilaku menyerang untuk mengatasi hambatan pemenuhan, perilaku menarik diri secara fisik maupun
psikologik untuk memindahkan sumber stress, perilaku kompromi untuk mengubah tujuan). Mekanisme yang kedua adalah mekanisme pertahan ego yang membantu mengatasi ansietas. o
Gangguan Tidur
Perilaku
Sumber koping : dukungan social dari keluarga, teman, dan pemberi pelayanan juga merupakan sumber yang penting.
Mekanisme koping : represi perasaan, konflik, menyangkal masalah psikologis.
Gangguan Seksual
Perilaku
Faktor predisposisi
Faktor pencetus
Mekanisme koping
2. Diagnosa Keperawatan
Kecemasan
Ansietas
Inefektif koping
Ketakutan
Gangguan Tidur o
Gangguan cerita tubuh
o
Proses perubahan keluarga
o
Gangguan pola tidur
o
Kerusakan interaksi sosial
o
Gangguan Seksual
o
Gangguan citra tubuh
o
Ketakutan
o
Ketidakberdayaan
o
o
Nyeri Gangguan harga diri
o
Perubahan peforma peran
o
Resiko terhadap kesepian
o
Distress spiritual
o
Kerusakan interaksi social
Identifikasi Hasil
Kecemasan
Pasien akan menunjukkan cara adaptif dalam mengatasi stress
Gangguan tidur o
Pasien akan mengekspresikan perasaannya secara verbal daripada melalui perkembangan gejala-gejala fisik.
o
Gangguan seksual
Pasien akan mencapai tingkat maksimal respons seksual yang adaptif untuk meningkatkan atau mempertahankan kesehatan.
3. Perencanaan
Kecemasan o
Pasien harus mengembangkan kapasitasnya untuk mentoleransi ansietas.
o
Gangguan tidur
Penyuluhan untuk pasien tentang strategi koping yang adaptif.
Gangguan seksual
Lakukan penyuluhan