KESEIMBANGAN ASAM-BASA : ASIDOSIS RESPIRATORI, ASIDOSIS METABOLIK, ALKALOSIS RESPIRATORI, DAN ALKALOSIS METABOLIK
OLEH : KELOMPOK V AFTANTY PAEMBONAN ASTRI AY ROMBE BUDI UTOMO ELISABETH ELSA KARURUKAN EVI ANGELINA MALLI INDRIANI BATO ARUNG MADE DAHLIANI MELANIA STELLA DIVINA MANDARU RESKI RETIANA RUBA’
SESILIA KATEMBA ALFONSINA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN STELLA MARIS PROGRAM S1 KEPERAWATAN MAKASSAR
BAB II PEMBAHASAN
A.
KONSEP TEORI
KESEIMBANGAN ASAM-BASA : ASIDOSIS METABOLIK, ASIDOSIS RESPIRATORI, ALKALOSIS METABOLIK, DAN ALKALOSIS RESPIRATORI
Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basanya. Manfaat dari pemeriksaan
analisa
gas
darah
tersebut
bergantung
pada
kemampuan
dokter
untuk
menginterpretasi hasilnya secara tepat. Pemahaman yang mendalam tentang fisiologi asam basa memiliki peran yang sama pentingnya dengan pemahaman terhadap fisiologi jantung dan paru pada pasien-pasien kritis. Telah banyak perkembangan dalam pemahaman fisiologi asam basa, baik dalam suatu larutan maupun dalam tubuh manusia. Pendekatan tradisional dalam menganalisa kelainan asam basa adalah dengan menitik beratkan pada rasio antara bikarbonat dan karbondioksida, namun cara tersebut memiliki beberapa kelemahan. Saat ini terdapat pendekatan yang sudah lebih diterima yaitu dengan pendekatan Stewart, dimana pH dapat dipengaruhi secara independent oleh tiga faktor, yaitu strong yaitu strong ion difference difference (SID), (SID), tekanan parsial CO2, dan total konsentrasi asam lemah yang terkandung dalam plasma. Kelainan asam basa merupakan kejadian yang sering terjadi pada pasien-pasien kritis. Namun, pendekatan dengan metode sederhana tidak dapat memberikan gambaran mengenai prognosis pasien. Pendekatan dengan metode Stewart dapat menganalisa lebih tepat dibandingkan dengan metode sederhana untuk membantu dokter dalam menyimpulkan outcome pasien. Analisa Gas Darah
Salah satu faktor utama yang mempengaruhi oksigenasi sel atau jaringan adalah jumlah oksigen yang terkandung dalam darah. Tekanan gas darah tersebut dapat diukur dengan menganalisa darah arteri secara langsung atau melalui pulse oksimetri dengan melihat saturasi hemoglobin. Analisa gas darah (AGD) telah banyak digunakan untuk mengukur pH, PaO2, dan
PCO2. Akan tetapi, makna dari hasil pengukuran tersebut tergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasikannya. AGD biasanya diambil dari arteri radialis, meskipun dapat juga dari arteri lainnya seperti arteri femoralis. Pengambilan darah arteri dapat berakibat spasme, kloting intralumen, perdarahan, dan hematoma yang pada akhirnya akan menimbulkan obstruksi arteri bagian distal. Hal ini tidak terjadi jika arteri yang ditusuk memiliki kolateral yang cukup. Arteri radialis lebih dipilih karena memiliki cukup kolateral untuk menghindari terjadinya obstruksi dibandingkan dengan arteri brakhialis atau femoralis. Selain itu, letak arteri radialis lebih superfisial, mudah diraba dan difiksasi. Darah arteri diambil sebanyak 3 ml pada spuit yang sebelumnya telah diberikan heparin 0,2 ml. Sampel darah yang telah diambil harus terbebas dari gelembung udara dan dianalisa secepatnya. Hal ini disebabkan komponen seluler pada sampel masih aktif bermetabolisme, sehingga akan mempengaruhi tekanan gas. Interpretasi Hasil AGD
Secara singkat, hasil AGD terdiri atas komponen:
pH atau ion H+, menggambarkan apakah pasien mengalami asidosis atau alkalosis. Nilai normal pH berkisar antara 7,35 sampai 7,45.
PO2, adalah tekanan gas O2 dalam darah. Kadar yang rendah menggambarkan hipoksemia dan pasien tidak bernafas dengan adekuat. PO2 dibawah 60 mmHg mengindikasikan perlunya pemberian oksigen tambahan. Kadar normal PO2 adalah 80100 mmHg
PCO2, menggambarkan gangguan pernafasan. Pada tingkat metabolisme normal, PCO2 dipengaruhi sepenuhnya oleh ventilasi. PCO2 yang tinggi menggambarkan hipoventilasi dan begitu pula sebaliknya. Pada kondisi gangguan metabolisme, PCO2 dapat menjadi abnormal sebagai kompensasi keadaan metabolik. Nilai normal PCO2 adalah 35-45 mmHg
HCO3-,
menggambarkan
apakah
telah
terjadi
gangguan
metabolisme,
seperti
ketoasidosis. Nilai yang rendah menggambarkan asidosis metabolik dan begitu pula sebaliknya. HCO3- juga dapat menjadi abnormal ketika ginjal mengkompensasi gangguan pernafasan agar pH kembali dalam rentang yang normal. Kadar HCO3- normal berada dalam rentang 22-26 mmol/l
Base excess (BE), excess (BE), menggambarkan jumlah asam atau basa kuat yang harus ditambahkan dalam mmol/l untuk membuat darah memiliki pH 7,4 pada kondisi PCO2 = 40 mmHg dengan Hb 5,5 g/dl dan suhu 37C0. BE bernilai positif menunjukkan kondisi alkalosis metabolik dan sebaliknya, BE bernilai negatif menunjukkan kondisi asidosis metabolik. Nilai normal BE adalah -2 sampai 2 mmol/l
Saturasi O2, menggambarkan kemampuan darah untuk mengikat oksigen. Nilai normalnya adalah 95-98 % Dari komponen-komponen tersebut dapat disimpulkan menjadi empat keadaan yang
menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu:
Asid A sido osis re resp spir ir atori k Adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal.
Alka A lkalo losis sis r esp spii r atori k Perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik.
Asid A sido osis Me Mettabolik
Ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3- berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun. Terlihat sebagai pernafasan kussmaul. Pemberian ventilasi untuk memperbaiki pola pernafasan justru akan berbahaya, karena menghambat kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis. Untuk mengetahui penyebab asidosis metabolik, dapat dilakukan penghitungan anion gap melalui rumus (Na+ + K +) – (HCO3- + Cl-)
Batas normal anion gap adalah 10 – 12 mmol/l. Rentang normal ini harus disesuaikan pada pasien dengan hipoalbumin atau hipofosfatemi untuk mencegah terjadinya asidosis dengan anion gap yang lebih. Koreksi tersebut dihitung dengan memodifikasi rumus diatas menjadi (Na+ + K +) – (HCO3- + Cl-) – (0,2 x albumin g/dl + 1,5 x fosfat mmol/l)
Asidosis dengan peningkatan anion gap, disebabkan oleh adanya asam-asam organik lain seperti laktat, keton, salisilat, atau etanol. Asidosis laktat biasanya akibat berkurangnya suplai oksigen atau berkurangnya perfusi, sehingga terjadilah metabolisme anaerob dengan hasil sampingan berupa laktat. Pada keadaan gagal ginjal, ginjal tidak mampu mengeluarkan asam-asam organik sehingga terjadi asidosis dengan peningkatan anion gap. Asidosis dengan anion gap yang normal disebabkan oleh hiperkloremia dan kehilangan bikarbonat atau retensi H+. Contohnya pada renal tubular asidosis, gangguan GIT (diare berat), fistula ureter, terapi acetazolamide, dan yang paling sering adalah akibat pemberian infus NaCl berlebihan.
Alkalosis metabolik Adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat)
secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis biasanya berkaitan dengan gangguan ginjal, karena biasanya ginjal dapat mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
B.
Contoh
Kasus:
ASUHAN
KEPERAWATAN
GAWAT
DARURAT
SYOK
KARDIOGENIK
1. Defenisi
Syok kardiogenik merupakan stadium akhir disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung kongestif, terjadi bila ventrikel kiri mengalami kerusakan yang luas. Otot jantung kehilangan kekuatan kontraktilitasnya,menimbulkan penurunan curah jantung dengan perfusi jaringan yang tidak adekuat ke organ vital (jantung, otak, ginjal). Derajat syok sebanding dengan disfungsi ventrikel kiri. Meskipun syok kardiogenik biasanya sering terjadi sebagai komplikasi MI, namun bisa juga terajdi pada temponade jantung, emboli paru, kardiomiopati dan disritmia. (Brunner & Suddarth, 2001) Syok kardiogenik adalah syok yang disebabkan karena fungsi jantung yang tidak adekuat, seperti pada infark miokard atau obstruksi mekanik jantung, manifestasinya meliputi hipovolemia, hipotensi, kulit dingin, nadi yang lemah, kekacauan mental, dan kegelisahan. (Kamus Kedokteran Dorland, 1998)
2. Etiologi
a. Gangguan kontraktilitas miokardium b. Disfungsi ventrikel kiri yang berat yang memicu terjadinya kongesti paru dan/atau hipoperfusi iskemik c. Infark miokard akut ( AMI) d. Komplikasi dari infark miokard akut, seperti: ruptur otot papillary, ruptur septum, atau infark ventrikel kanan, dapat mempresipitasi (menimbulkan/mempercepat) syok kardiogenik pada pasien dengan infark-infark yang lebih kecil e. Valvular stenosis f.
Myocarditis ( inflamasi miokardium, peradangan otot jantung)
g. Cardiomyopathy (myocardiopathy, gangguan otot jantung yang tidak diketahui penyebabnya)
h. Trauma jantung i.
Temponade jantung akut
j.
Komplikasi bedah jantung
3. Manifestasi Klinis
a. Nyeri dada yang berkelanjutan, dyspnea (sesak/sulit bernafas), tampak pucat, dan apprehensive (anxious , discerning, gelisah, takut, cemas). b. Hipoperfusi jaringan. c. Keadaan mental tertekan/depresi. d. Anggota gerak teraba dingin. e. Keluaran (output) urin kurang dari 30 mL/jam (oliguria). f.
Takikardi (detak jantung yang cepat,yakni > 100x/menit).
g. Nadi teraba lemah dan cepat, berkisar antara 90 – 110 kali/menit h. Hipotensi : tekanan darah sistol kurang dari 80 mmHg i.
Diaphoresis (diaforesis, diaphoretic, berkeringat, mandi keringat, hidrosis, perspirasi)
j.
Distensi vena jugularis
k. Indeks jantung kurang dari 2,2 L/menit/m2. l.
Tekanan pulmonary artery wedge lebih dari 18 mmHg.
m. Suara nafas dapat terdengar jelas dari edem paru akut
Menurut Mubin (2008), diagnosis syok kardiogenik adalah berdasarkan : a.
Keluhan Pokok
Oliguri (urin < 20 mL/jam).
Mungkin ada hubungan dengan IMA (infark miokard akut).
Nyeri substernal seperti IMA.
b. Tanda Penting
Tensi turun < 80-90 mmHg
Takipneu dan dalam
Takikardi
Nadi cepat
Tanda-tanda bendungan paru: ronki basah di kedua basal paru
Bunyi jantung sangat lemah, bunyi jantung III sering terdengar
Sianosis
Diaforesis (mandi keringat)
Ekstremitas dingin
Perubahan mental
c. Kriteria Adanya disfungsi miokard disertai :
Tekanan darah sistolis arteri < 80 mmHg.
Produksi urin < 20 mL/jam.
Tekanan vena sentral > 10 mmH2O
Ada tanda-tanda: gelisah, keringat dingin, akral dingin, takikardi
4. Patofisiologi
Tanda dan gejala syok kardiogenik mencerminkan sifat sirkulasi patofisiologi gagal jantung. Kerusakan jantung mengakibatkan penurunan curah jantung, yang pada gilirannya menurunkan tekanan darah arteria ke organ-organ vital. Aliran darah ke arteri koroner berkurang, sehingga
asupan oksigen ke
jantung menurun,
yang pada gilirannya
meningkatkan iskemia dan penurunan lebih lanjut kemampuan jantung untuk memompa, akhirnya terjadilah lingkaran setan. Tanda klasik syok kardiogenik adalah tekanan darah rendah, nadi cepat dan lemah, hipoksia otak yang termanifestasi dengan adanya konfusi dan agitasi, penurunan haluaran urin, serta kulit yang dingin dan lembab Disritmia sering terjadi akibat penurunan oksigen ke jantung.seperti pada gagal jantung, penggunaan kateter arteri pulmonal untuk mengukur tekanan vent rikel kiri dan curah jantung sangat penting untuk mengkaji beratnya masalah dan mengevaluasi penatalaksanaan yang telah dilakukan. Peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri yang berkelanjutan (LVEDP = Left Ventrikel End Diastolik Pressure) menunjukkan bahwa jantung gagal untuk berfungsi sebagai pompa yang efektif.
5. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis Syok Kardiogenik :
a. Pastikan jalan nafas tetap adekuat, bila tidak sadar sebaiknya dilakukan intubasi. b. Berikan
oksigen
8 – 15
liter/menit
dengan
menggunakan
masker
untuk
mempertahankan PO2 70 – 120 mmHg. c. Rasa nyeri akibat infark akut yang dapat memperbesar syok yang ada harus diatasi dengan pemberian morfin. d. Koreksi hipoksia, gangguan elektrolit, dan keseimbangan asam basa yang terjadi. e. Bila mungkin pasang CVP. f.
Pemasangan kateter Swans Ganz untuk meneliti hemodinamik.
Medikamentosa : a. Morfin sulfat 4-8 mg IV, bila nyeri. b. Digitalis, bila takiaritmi dan atrium fibrilasi c. Sulfas atropin, bila frekuensi jantung < 50x/menit d. Dopamin dan dobutamin (inotropik dan kronotropik), bila perfusi jantung tidak adekuat Dosis dopamin 2-15 mikrogram/kg/m. e. Dobutamin 2,5-10 mikrogram/kg/m: bila ada dapat juga diberikan amrinon IV. f. Norepinefrin 2-20 mikrogram/kg/m. g. Diuretik/furosemid 40-80 mg untuk kongesti paru dan oksigenasi jaringan. Digitalis bila ada fibrilasi atrial atau takikardi supraventrikel.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG; mengetahui hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpanan aksis, iskemia dan kerusakan pola. b. ECG; mengetahui adanya sinus takikardi, iskemi, infark/fibrilasi atrium, ventrikel hipertrofi, disfungsi penyakit katub jantung. c. Rontgen dada; Menunjukkan pembesaran jantung. Bayangan mencerminkan dilatasi atau hipertrofi bilik atau perubahan dalam pembuluh darah atau peningkatan tekanan pulmonal. d. Scan Jantung; Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan gerakan jantung.
e. Kateterisasi jantung; Tekanan abnormal menunjukkan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan dan kiri, stenosis katub atau insufisiensi serta mengkaji potensi arteri koroner. f.
Elektrolit; mungkin berubah karena perpindahan cairan atau penurunan fungsi ginjal, terapi diuretic.
g. Oksimetri nadi; Saturasi Oksigen mungkin rendah terutama jika CHF memperburuk PPOM. h. AGD; Gagal ventrikel kiri ditandai alkalosis respiratorik ringan atau hipoksemia dengan peningkatan tekanan karbondioksida. i.
Enzim jantung; meningkat bila terjadi kerusakan jaringan-jaringan jantung,misalnya infark miokard (Kreatinin fosfokinase/CPK, isoenzim CPK dan Dehidrogenase Laktat/LDH, isoenzim LDH).
7. Komplikasi
a. Cardiopulmonary arrest b. Disritmi c. Gagal multisistem organ d. Stroke e. Tromboemboli
B. ASUHAN KEPERAWATAN SYOK KARDIOGENIK 1. PENGKAJIAN
PRIMARY SURVEY
Airway : penilaian akan kepatenan jalan napas, meliputi pemeriksaan mengenai
adanya obstruksi jalan napas, adanya benda asing. Pada klien yang dapat berbicara dapat dianggap jalan napas bersih. Dilakukan pula pengkajian adanya suara napas tambahan seperti snoring.
Breathing : frekuensi napas, apakah ada penggunaan otot bantu pernapasan,
retraksi dinding dada, adanya sesak napas. Palpasi pengembangan paru, auskultasi suara napas, kaji adanya suara napas tambahan seperti ronchi, wheezing, dan kaji adanya trauma pada dada.
Circulation : dilakukan pengkajian tentang volume darah dan cardiac output
serta adanya perdarahan. Pengkajian juga meliputi status hemodinamik, warna kulit, nadi.
Disability : nilai tingkat kesadaran, serta ukuran dan reaksi pupil.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan gangguan pertukaran gas ditandai dengan sesak nafas, peningkatan frekuensi pernafasan, batuk-batuk.
b.
Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat gangguan vaskuler ditandai dengan nyeri, cardiac out put menurun, sianosis, edema (vena).
c.
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme reflek otot sekunder akibat gangguan viseral jantung ditandai dengan nyeri dada, dispnea, gelisah, meringis.
d.
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan supley oksigen dan kebutuhan (penurunan / terbatasnya curah jantung) ditandai dengan kelelahan, kelemahan, pucat.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pertukaran gas ditandai dengan sesak nafas, gangguan frekwensi pernafasan, batuk-batuk Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x 24 jam diharapkan pola nafas efektif Kriteria hasil :
Frekwensi pernafasan normal
Klien tidak sesak nafas
Tidak ada batuk-batuk
Intervensi : 1) Evaluasi frekwensi pernafasan dan kedalaman. Catat upaya pernafasan, contoh adannya dispnea, penggunaan obat bantu nafas, pelebaran nasal R/ Respon pasien bervariasi. Kecepatan dan upaya mungkin meningkat karena nyeri, takut, demam, penurunan volume sikulasi (kehilangan darah atau cairan),
akumulasi secret, hipoksia atau distensi gaster. Penekanan pernapasan (penurunan kecepatan) dapat terjadi dari pengunaan analgesik berlebihan. Pengenalan disini dan pengobatan ventilasi abnormal dapat mencegah komplikasi. 2) Auskultasi bunyi nafas. Catat area yang menurun atau tidak adannya bunyi nafas dan adannya bunyi nafas tambahan, contoh krekels atau ronchi R/ Auskultasi bunyi napas ditujukan untuk mengetahui adanya bunyi napas tambahan 3)
Kolaborasi dengan beriakan tambahan oksigen dengan kanula atau masker sesuai indikasi R/ Meningkatkan pengiriman oksigen ke paru-paru untuk kebutuhan sirkulasi, khususnya adanya penurunan/ gangguan ventilasi.
b.
Ketidakefektifan ferfusi jaringan perifer berhubungan dengan gangguan aliran darah sekunder akibat gangguan vaskuler ditandai dengan nyeri, cardiac out put menurun, sianosis, edema (vena) Tujuan : Setelah diberikan askep 3x24 jam diharapkan perfusi jaringan perifer efektif Kriteria hasil :
Klien tidak nyeri
Cardiac out put normal
Tidak terdapat sianosi
Tidak ada edema (vena)
Intervensi : 1) Lihat pucat, sianosis, belang, kulit dingin, atau lembab. Catat kekuatan nadi perifer. R/ Vasokontriksi sistemik diakibatkan karena penurunan curah jantung mungkin dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit dan penurunan nadi. 2) Dorong latihan kaki aktif atau pasif, hindari latihan isometrik R/ Menurunkan statis vena, meningkatkan aliran balik vena dan menurunkan resiko tromboflebis. 3) Kalaborasi
Beri obat sesuai indikasi: heparin atau natrium warfarin (coumadin)
R/ Dosis rendah heparin mungkin diberika secara profilaksis pada pasien resiko
tinggi
dapat
untuk
menurunkan
resiko
trombofleblitis
atau
pembentukan trombusmural. Coumadin obat pilihan untuk terapi anti koangulan jangka panjang/pasca pulang.
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma jaringan dan spasme refleks otot sekunder akibat gangguan viseral jantung ditandai dengan nyeri dada, dispnea, gelisah, meringis Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x24 jam, diharapkan pasien merasa nyaman Kriteria hasil :
Tidak ada nyeri
Tidak ada dispnea
Klien tidak gelisah
Klien tidak meringis
Intervensi : 1) Pantau atau catat karekteristik nyeri, catat laporan verbal, petunjuk non verbal dan repon hemodinamik ( contoh: meringis, menangis, gelisah, berkeringat, mengcengkram dada, napas cepat, TD/frekwensi jantung berubah) R/ Mengetahui tingkat nyeri agar dapat mengetahui perencanaan selanjutnya 2) Bantu melakukan teknik relaksasi, misalnya napas dalam perlahan, perilaku diskraksi, visualisasi, bimbingan imajinasi R/ Membantu dalam menurunan persepsi atau respon nyeri. Memberikan kontrol situasi, meningkatkan perilaku positif. 3) Kolaborasi Berikan obat sesuai indikasi, contoh: analgesik, misalnya morfin, meperidin (demerol) R/ meskipun morfin IV adalah pilihan, suntikan narkotik lain dapat dipakai fase akut atau nyeri dada beulang yang tidak hilang dengan nitrogliserin untuk menurunkan nyeri hebat, memberikan sedasi, dan mengurangi kerja miokard. Hindari suntikan IM dapat menganggu indikator diagnostik dan tidak diabsorsi baik oleh jaringan kurang perfusi.
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidak seimbangan suplay oksigen dengan kebutuhan tubuh (penurunan atau terbatasnya curah jantung) ditandai dengan kelelahan, kelemahan, pucat) Tujuan : Setelah diberikan askep selama 3x24 jam, diharapkan pasien dapat melakukan aktifitas dengan mandiri Kriteria hasil :
Klien tidak mudah lelah
Klien tidak lemas
Klien tidak pucat
Intervensi : 1)
Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila pasien menggunakan vasolidator, diuretik, penyekat beta R/ Hipertensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilatasi), perpindahan cairan, (diuretik) atau pengaruh fungsi jantung
2)
Catat respon kardio pulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, disritmia, dispnea, berkeringat, pucat. R/ Penurunan atau ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas, dapat menyebabkan peningkatan segera pada frekwensi jantung dan kebutuhan oksigen, juga meningkatkan kelelahan dan kelemahan.
3)
Kaji presipitator atau penyebab kelemahan, contoh pengobatan nyeri R/ Kelemahan adalah efek samping dari beberapa obat (beta bloker, Trakuiliser dan sedatif). Nyeri dan program penuh stress juga memerlukan energi dan menyebabkan kelemahan
4)
Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas R/ Dapat menunjukkan meningkatan dekompensasi jantung dari pada kelebihan aktivitas
5)
Berikan bantuan dalam aktivitas perawatan diri sesuai indikasi, selingi periode aktivitas dengan periode istirahat.
R/ Pemenuhan kebutuhan perawatan diri pasien tanpa mempengaruhi stress miokard atau kebutuhan oksigen berlebihan 6)
Kalaborasi
Impelementasikan program rehabilitasi jantung atau aktivitas
R/ Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung atau komsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila disfusi jantung tidak dapat membaik kembali
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DKA 1. Definisi
Keto Asidosis Diabetik adalah keadaan kegawatan atau akut dari DM tipe I , disebabkan oleh meningkatnya keasaman tubuh benda-benda keton akibat kekurangan atau defisiensi insulin, di karakteristikan dengan hiperglikemia, asidosis, dan keton akibat kurangnya insulin ( Stillwell, 1992). Keto Asidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relative. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes mellitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresia osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan dapat sampai menyebabkan syok. 2. Etiologi
Dalam 50% kejadian KAD, kekurangan insulin, peningkatan konsumsi atau produksi glukoasa, atau infeksi adalah faktor pencetus. Stressor-stressor utama lain yang dapat mencetuskan diabetic ketoasidosis adalah pembedahan, trauma, terapi dengan steroid dan emosional.
3. Patofisiologi
Gejala dan tanda yang timbul pada KAD disebabkan terjadinya hiperglikemia dan ketogenesis. Defisiensi insulin merupakan penyebab utama terjadinya hiperglikemia atau peningkatan kadar glukosa darah dari pemecahan protein dan glikogen atau lipolisis atau pemecahan lemak. Hiperglikemia menyebabkan diuresis osmotik dengan hipovolemia kemudian akan berlanjut terjadinya dehidrasi dan renjatan atau syok. Glukoneogenesis menambah terjadinya hiperglikemik. Lipolisis yang terjadi akan meningkatkan pengangkutan kadar asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi ketoasidosis, yang kemudian berakibat timbulnya asidosis metabolik, sebagai kompensasi tubuh terjadi pernafasan kussmaul. 4. Tanda Dan Gejala
a). Poliuria b). Polidipsi c). Penglihatan kabur d). Lemah e). Sakit kepala f). Hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau > pada saat berdiri) g). Anoreksia, Mual, Muntah h). Nyeri abdomen i). Hiperventilasi j). Perubahan status mental (sadar, letargik, koma) k). Kadar gula darah tinggi (> 240 mg/dl)
l). Terdapat keton di urin m). Nafas berbau aseton n). Bisa terjadi ileus sekunder akibat hilangnya K+ karena diuresis osmotic o). Kulit kering p). Keringat q). Kussmaul ( cepat, dalam ) karena asidosis metabolic 5. Pemeriksaan Diagnostik
a). Kadar glukosa darah: > 300 mg /dl tetapi tidak > 800 mg/dl b). Elektrolit darah (tentukan corrected Na) dan osmolalitas serum. c). Analisis gas darah, BUN dan kreatinin. d). Darah lengkap (pada KAD sering dijumpai gambaran lekositosis), HbA1c, urinalisis (dan kultur urine bila ada indikasi). e). Foto polos dada. f). Ketosis (Ketonemia dan Ketonuria) g). Aseton plasma (keton) : positif secara mencolok h). Osmolalitas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 mOsm/l Pemeriksaan Osmolalitas = 2[Na+K] + [GDR/18] + [UREUM/6] i). Hemoglobin glikosilat : kadarnya meningkat 2-4 kali lipat dari normal yang mencerminkan kontrol DM yang kurang selama 4 bulan terakhir
j). Gas darah arteri : biasanya menunjukkan pH < 7,3 dan penurunan pada HCO3 250 mg/dl 6. Penatalaksanaan
Prinsip
terapi
KAD
adalah
dengan
mengatasi
dehidrasi,
hiperglikemia,
dan
ketidakseimbangan elektrolit, serta mengatasi penyakit penyerta yang ada. Pengawasan ketat, KU jelek masuk ICU/ICCU Fase I/Gawat : a). Rehidrasi 1). Berikan cairan isotonik NaCl 0,9% atau R L 2L loading dalam 2 jam pertama, lalu 80 tpm selama 4 jam, lalu 30-50 tpm selama 18 jam (4-6L/24jam) 2). Atasi syok (cairan 20 ml/kg BB/jam) 3). Bila syok teratasi berikan cairan sesuai tingkat dehidrasi 4). Rehidrasi dilakukan bertahap untuk menghindari herniasi batang otak (24 – 48 jam). 5). Bila Gula darah < 200 mg/dl, ganti infus dengan D5% 6). Koreksi hipokalemia (kecepatan max 0,5mEq/kgBB/jam) 7). Monitor keseimbangan cairan b). Insulin 1). Bolus insulin kerja cepat (RI) 0,1 iu/kgBB (iv/im/sc) 2). Berikan insulin kerja cepat (RI) 0,1/kgBB dalam c airan isotonic 3). Monitor Gula darah tiap jam pada 4 jam pertama, selanjutnya tiap 4 jam sekali
4). Pemberian insulin parenteral diubah ke SC bila : AGD < 15 mEq/L ³250mg%, Perbaikan hidrasi, Kadar HCO3 c). Infus K (tidak boleh bolus) ü Bila K+ < 3mEq/L, beri 75mEq/L ü Bila K+ 3-3.5mEq/L, beri 50 mEq/L ü Bila K+ 3.5 -4mEq/L, beri 25mEq/L ü Masukkan dalam NaCl 500cc/24 jam d). Infus Bicarbonat ü Bila pH 7,1, tidak diberikan e). Antibiotik dosis tinggi Batas fase I dan fase II sekitar GDR 250 mg/dl ata u reduksi Fase II/Maintenance: a). Cairan maintenance ü Nacl 0.9% atau D5 atau maltose 10% bergantian ü Sebelum maltose, berikan insulin reguler 4IU b). Kalium Perenteral bila K+ 240 mg/dL atau badan terasa tidak enak. c). Saat sakit, makanlah sesuai pengaturan makan sebelumnya. Bila tidak nafsu makan, boleh makan bubur atau minuman berkalori lain.
d). Minumlah yang cukup untuk mencegah dehidrasi. 7. Komplikasi
Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kematian akibat KAD adalah: a). Terlambat didiagnosis karena biasanya penyandang DM dibawa setelah koma. b). Pasien belum tahu bahwa ia menyandang DM. c). Sering ditemukan bersama-sama dengan komplikasi lain yang berat, seperti: renjatan (syok), stroke, dll. d). Kurangnya fasilitas laboratorium yang menunjang suksesnya penatalaksanaan KAD Komplikasi yang dapat terjadi akibat KAD yaitu: 1. Edema paru 2. Hipertrigliserida 3. Infark miokard akut 4. Hipoglikemia 5. Hipokalsemia 6. Hiperkloremia 7. Edema otak 8. Hipokalemia
ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian 1. Anamnesis :
a). Riwayat DM b). Poliuria, Polidipsi c). Berhenti menyuntik insulin d). Demam dan infeksi e). Nyeri perut, mual, mutah f). Penglihatan kabur g). Lemah dan sakit kepala 2. Pemeriksan Fisik : a). Ortostatik hipotensi (sistole turun 20 mmHg atau lebih saat berdiri) b). Hipotensi, Syok c). Nafas bau aseton (bau manis seperti buah) d). Hiperventilasi : Kusmual (RR cepat, dalam) e). Kesadaran bisa CM, letargi atau koma f). Dehidrasi 3. Pengkajian Gawat Darurat a). Airway : Kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau benda asing yang menghalangi jalan nafas b). Breathing : Kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot bantu pernafasan
c). Circulation : Kaji nadi, capillary refill 4. Pengkajian head to toe a). Data subyektif :
Riwayat penyakit dahulu
Riwayat penyakit sekarang
Status metabolik Intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori, infeksi atau penyakit-penyakit
akut lain, stress yang berhubungan dengan faktor-faktor psikologis dan social, obatobatan atau terapi lain yang mempengaruhi glukosa darah, penghentian insulin atau obat anti hiperglikemik oral. b). Data Obyektif : 1). Aktivitas / Istirahat Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, ton us otot menurun, gangguan istrahat/tidur Tanda : Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas, letargi / disorientasi, koma 2). Sirkulasi Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama, takikardia. Tanda : Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang menurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas, kering, dan kemerahan, bola mata cekung.
3). Integritas/ Ego Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi Tanda : Ansietas, peka rangsang 4). Eliminasi Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar, kesulitan berkemih (infeksi), ISK baru/berulang, nyeri tekan abdomen, diare. Tanda : Urine encer, pucat, kuning, poliuri ( dapat berkembang menjadi oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk (infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun, hiperaktif (diare) 5). Nutrisi/Cairan Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet, peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih dari beberapa hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid) Tanda : Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen, muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton) 6). Neurosensori Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parestesi, gangguan penglihatan Tanda : Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut), gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam menurun (koma), aktifitas kejang (tahap lanjut dari DKA).
7). Nyeri/kenyamanan Gejala : Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat) Tanda : Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati 8). Pernapasan Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen (tergantung adanya infeksi/tidak) Tanda : Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi pernapasan meningkat 9). Keamanan Gejala : Kulit kering, gatal, ulkus kulit Tanda
:
Demam,
diaphoresis,
kulit
rusak,
lesi/ulserasi,
menurunnya
kekuatan
umum/rentang gerak, parestesia/paralisis otot termasuk otot-otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup tajam). 10). Seksualitas Gejala : Rabas vagina (cenderung infeksi) Masalah impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita 11). Penyuluhan/pembelajaran Gejala : Faktor resiko keluarga DM, jantung, stroke, hipertensi. Penyembuhan yang lambat, penggunaan obat sepertii steroid, diuretik (thiazid), dilantin dan fenobarbital (dapat meningkatkan kadar glukosa darah). Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik sesuai pesanan. Rencana pemulangan : Mungkin memerlukan bantuan dalam pengaturan diet, pengobatan, perawatan diri, pemantauan terhadap glukosa darah.
5. Diagnosa Keperawatan yang mungkin timbul a). Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas b). Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebihan (diuresis osmotic) akibat hiperglikemia c). Risiko tinggi terjadinya ganguan pertukaran gas b/d peningkatan keasaman ( pH menurun) akibat hiperglikemia, glukoneogenesis, lipolisis 6. Rencana Keperawatan a). Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan penurunan kemampuan bernapas Kriteria Hasil :
Pola nafas pasien kembali teratur
Respirasi rate pasien kembali normal
Pasien mudah untuk bernafas.
Intervensi: 1). Kaji status pernafasan dengan mendeteksi pulmonal. 2). Berikan fisioterapi dada termasuk drainase postural. 3). Penghisapan untuk pembuangan lendir. 4). Identifikasi kemampuan dan berikan keyakinan dalam bernafas. 5). Kolaborasi dalam pemberian therapi medis b). Defisit volume cairan berhubungan dengan pengeluaran cairan berlebihan (diuresis osmotic) akibat hiperglikemia
Kriteria Hasil :
TTV dalam batas normal
Pulse perifer dapat teraba
Turgor kulit dan capillary refill baik
Keseimbangan urin output
Kadar elektrolit normal
GDS normal
Intervensi : 1). Observasi pemasukan dan pengeluaran cairan setiap jam 2). Observasi kepatenan atau kelancaran infus 3). Monitor TTV dan tingkat kesadaran tiap 15 menit, bila stabil lanjutkan untuk setiap jam 4). Observasi turgor kulit, selaput mukosa, akral, pengisian kapiler 5). Monitor hasil pemeriksaan laboratorium :
Hematokrit
BUN/Kreatinin
Osmolaritas darah
Natrium
Kalium
6). Monitor pemeriksaan EKG 7). Monitor CVP (bila digunakan) 8). Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam :
Pemberian cairan parenteral
Pemberian therapi insulin
Pemasangan kateter urine
Pemasangan CVP jika memungkinkan
c). Risiko tinggi terjadinya ganguan pertukaran gas b/d peningkatan keasaman ( pH menurun) akibat hiperglikemia, glukoneogenesis, lipolisis Kriteria Hasil : RR dalam rentang normal AGD dalam batas normal : pH : 7,35 – 7,45
HCO3 : 22 – 26
PO2 : 80 – 100 mmHg
BE : -2 sampai +2
PCO2 : 30 – 40 mmHg Intervensi : 1). Berikan posisi fowler atau semifowler ( sesuai dengan keadaan klien) 2). Observasi irama, frekuensi serta kedalaman pernafasan 3). Auskultasi bunyi paru 4). Monitor hasil pemeriksaan AGD 5). Kolaborasi dengan tim kesehatan lain dalam :
Pemeriksaan AGD
Pemberian oksigen
Pemberian koreksi biknat ( jika terjadi asidosis metabolik)
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT ARDS
I. DEFINISI
ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan akumulasi cairan yang mengandung protein di dalam parenkim paru.
II. ETIOLOGI
Menurut Hudak & Gallo ( 1997 ), gangguan yang dapat mencetuskan terjadinya ARDS adalah ; a. Trauma langsung •
Infeksi virus,bakteri
•
Contusio paru
•
Aspirasi cairan lambung
•
Inhalasi asap berlebih
•
Tenggelam
•
Keracunan oksigen
b. Trauma tidak langsung •
Sepsis
•
Trauma berat
•
Luka bakar
•
Pankreatitis
•
Overdosis Obat
III. PATOFISIOLOGI
ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular. Kerusakan awal dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung dan dapat mengaktifkan inflamasi yang dapat dibagi ke dalam 3 fase, yakni; inisiasi, amplifikasi, dan injury. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor resiko akan menyebabkan sel-sel imun melepaskan mediator-mediator inflamasi di dalam paru dan ke sistemik. Pada fase
amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi dan tertahan dalam paru. Di dalam oran target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya, fase inilah yang disebut dengan fase injury Kerusakan pada membran alveolar-kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas membran, aliran cairan yang kaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebih jauh
IV. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis utama pada kasus ARDS adalah : · Penurunan kesadaran mental · Takikardi, takipnea · Dispnea dengan kesulitan bernafas · Terdapat retraksi interkosta · Sianosis · Hipoksemia · Auskultasi paru : ronkhi basah, krekels, stridor, wheezing · Auskultasi jantung : BJ normal tanpa murmur atau gallop
V. KLASIFIKASI
Secara klinis ARDS dibagi atas 4 fase : 1. Fase laten : Fase ini berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari dengan tidak terdapatnya keluhan klinis kecuali terdapatnya p engaliran cairan limfa. 2. Fase edema intersititial : Yang ditandai dengan kerusakan kapiler dan terdapatnya porus sehingga membrana basilis alveolares lebih permeabel untuk protein. 3. Fase edema intra-alveolar :Dalam fase ini sakus alveolares penuh dengan protein. 4. Fase subakut atau kronik :Bila terjadi penyembuhan maka protein plasma, debris sel, fibrin merangsang infasi sel-sel fibroblast dan terbentuklah membrane hialin.
VI. KOMPLIKASI
Multiorgan dysfunction syndrome (MODS)
Pneumonia nosokomial
Barotrauma, pneumotoraks
Sinusitis
Trauma laring
Trakeomalasia
Fistula trakeo-esofageal
Erosi arteri inominata
Kematian
VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah : · Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ) · Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena hiperventilasi · Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi · Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini · Asidosis respiratori / metabolik terjadi pada tahap lanjut b. Pemeriksaan Rontgent Dada : · Tahap awal ; sedikit normal, infiltrasi pada perihilir paru · Tahap lanjut ; Interstisial bilateral difus pada paru, infiltrate di alveoli c. Tes Fungsi paru : · Pe ↓ komplain paru dan volume paru · Pirau kanan-kiri meningkat
VII. PENATALAKSANAAN MEDIS
· Pasang jalan nafas yang adekuat * Pencegahan infeksi · Ventilasi Mekanik * Dukungan nutrisi · TEAP * Monitor system terhadap respon · Pemantauan oksigenasi arteri * Perawatan kondisi dasar · Cairan · Farmakologi ( O2, Diuretik, A.B ) · Pemeliharaan jalan nafas
VIII. PRIORITAS MASALAH KEPERAWATAN
Prioritas masalah keperawatan pada klien dengan ARDS menurut Doenges (2001) adalah sebagai berikut : 1. Tidak efektifnya bersihan jalan nafas 2. Gangguan pertukaran gas 3. Resiko tinggi terjadi kekurangan volume cairan 4. Cemas
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN A = Airway ( jalan napas )
Adapun hal yang perlu dikaji pada jalan napas yatu :
Apakah terdapat sputum yang berlebihan
Terjadi dispnea.
Inhalansi asap gas
Infeksi difus paru/conntisio paru
Inhalansi toksin
Diagnosa keperawatan :
Bersihan jalan nafas tidak efektif b/d peningkatan jumlah / viskositas secret paru.
Intervensi
1. Kaji adanya sumbatan pada jalan napas (sputum,cairan ) R/ adanya sumbatan mempengaruhi proses respirasi 2. Observasi tanda-tanda vital R/ mengetahui keadaan umum pasien 3. Beri posisi terlentang pada permukaan rata yang keras, kedua lengan pasien di samping tubuhnya
R/ mengantisipasi trauma servikal 4. Buka jalan napas dengan tekhnik tengadahkan kepala, topang dagu untuk membuka jalan napas, jari tengah, jari manis dan kelingking digunakan untuk menopang dagu sedangkan jari telunjuk untuk mengeluarkan benda asing yang ada dalam mulut R/ memastikan tidak ada obstruksi pada jalan napas sehingga pasien dapat bernapas dengan baik. 5. Lakukan suction bila perlu R/ pengisapan di lakukan bila pasien tidak mampu mengeluarkan sekret 6.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat agen mukolitik R/ agen mukolitik menurukan kekentalan dan perlengketan secret paru untuk memudahkan pembersihan.
Evaluasi •
Jalan nafas paten dengan bunyi nafas bersih / tidak ada ronkhi.
•
Perkusi dada sonor.
B = Breathing ( pernapasan )
Adapun yang perlu dikaji pada pola pernapasan yaitu :
Pernapasan : cepat, mendengkur, dangkal
Bunyi napas : pada awal normal, ronkhi, dan dapat terjadi bronchial.
Perkusi dada : bunyi pekak diatas area konsilidasi.
Pucat.
Penurunan mental, bingung. Peningkatan fremitus ( getar, vibrasi pada dinding dad a dengan palpitasi )
Diagnosa Keperawatan :
Gangguan pertukaran gas b/d akumulasi cairan dan protein dalam area alveolar.
Intervensi
1. Kaji fungsi pernapasan ( bunyi napas, kecepatan, dan penggunaan otot bantu napas) R/ penurunan bunyi napas menunjukkan atelektasis, ronchi menunjukan akumulasi secret 2. Kaji tingkat kesadaran takikardi, takipnea
R/ merupakan tanda utama distress pernapasan dan hipoksemia 3. Lakukan pemberian terapi oksigen 3-5 liter sesuai keadaan pasien R/ akumulasi secret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat menganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh. 4. Berikan posisi semifowler R/ posisi semi fowler memungkinkan ekskursi maksimal toraks. 5. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat kortikosteroid. R/ kortikosteroid berguna pada keterlibatan luas dengan hipok sia.
Evaluasi
1. pernapasan normal 2. tidak ada tanda-tanda sianosis 3. perkusi dada : sonor
C = Circulation ( peredaran darah )
Adapun hal yang perlu dikaji pada peredaran darah yaitu:
TD: dapat normal atau meningkat pada awal ( berlanjut menjadi hipoksia ) : hipotensi terjadi pada tahap lanjut ( syok ). Frekuensi jantung: takikardi, biasanya ada. Kulit dan membran mukosa: pucat, dingin, sianosis biasanya terjadi. Karena adanya gangguan/masalah pada organ paru, maka akan terjadi penurunan balik vena. Yang kemudian akan menyebabkan penurunan curah jantung maka akan mengakibatkan sianosis, hipoksemia dan pucat
Diagnosa keperawatan :
Ketidakefektifan perfusi jaringan b/d gangguan pertukaran gas,
Intervensi
1. Kaji adanya sianosis, R/ sianosis merupakan tanda awal dan nyata terjadi sianosis. 2. Beri posisi semifowler R/ meningkatkan aliran darah balik vena.
3. Kaji pola napas pasien : auskultasi inspirasi dan ekspirasi, R/ untuk mengetahui lamanya proses pertukaran gas di dalam paru. 4. jika tidak tampak adanya ekspansi dada dan tidak teraba arteri karotis segera berikan teknik RJP R/ membantu usaha pernapasan pasien. 5. Lakukan pemasangan inkubasi untuk respiratori R/ kegagalan pernapasan akan diminimalkan dengan pemasangan respiratori.
Evaluasi •
Tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal
•
Kulit dan menbran mukosa lembab
•
Tidak ada tanda-tanda sianosis
•
Bunyi dada: sonor
D = Disability
Yang perlu dikaji adalah : •
Tingkat kesadaran
•
Gerakan ekstremitas
•
•
Glasgow coma scale (GCS), atau tentukan : alert (A),respon verbal (V), respon nyeri/ pain(P),tidak berespon/ unresponsive (U). Ukuran pupil dan respon pupil terhadap cahaya.
E= Expossure
Yang perlu dikaji adalah : •
Tanda-tanda trauma yang ada
•
Suhu tubuh
•
Suhu lingkungan
•
Tekanan darah
•
Irama dan kekuatan nadi
•
Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
•
Saturasi oksigen
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PERDARAHAAN SALURAN CERNA
Pengertian
Perdarahan bisa terjadi dimana saja di sepanjang saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus. Bisa berupa ditemukannya darah dalam tinja atau muntah darah,tetapi gejala bisa juga tersembunyi dan hanya bisa diketahui melalui pemeriksaan tertentu.
Saluran pencernaan terdiri dari : a) Mulut, b) Tenggorokan (faring), c) Kerongkongan, d) Lambung, e) Usus halus, f) Usus besar, g) Rectum, dan h) Anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yang terletak diluar saluran pencernaan,
yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
Etiologi
Penyebab varises esofagus merupakan yang terbanyak di Indonesia, disebabkan oleh penyakit sirosis hati. Sirosis hati di Indonesia masih banyak disebabkan oleh infeksi virus hepatitis B dan hepatitis C. Penyebab perdarahan non varises yang banyak di Indonesia yaitu gastritis erosif, tukak peptik. Gastritis erosif dan tukak peptik ini berhubungan dengan pemakaian obat anti inflamasi non steroid (OAINS), infeksi Helicobacter pylori dan stres. Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas disebabkan oleh ketidak seimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat anti inflamasi non steroid (OAINS), obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter pylori dan faktor radikal bebas. Yang dimaksud dengan faktor defensif yaitu aliran
darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi bikarbonat, motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan regulasi pH intra sel.
Patofisiologi
Salah satu penyebab dari perdarahan saluran cerna ialah kematian sel dalam hepar yang mengakibatkan peningkatan tekanan vena porta. Sebagai akibatnya terbentuk saluran kolateral dalam submukosa esopagus dan rektum serta pada dinding abdomen anterior untuk mengalihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar. Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tsb menjadi mengembang dan membesar (dilatasi) oleh darah (disebut varises). Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal masif. Selanjutnya dapat mengakibatkan kehilangan darah tiba-tiba, penurunan arus balik vena ke jantung, dan penurunan curah jantung. Jika perdarahan menjadi berlebihan, maka akan mengakibatkan penurunan perfusi jaringan. Dalam berespon terhadap penurunan curah jantung, tubuh melakukan mekanisme kompensasi untuk mencoba mempertahankan perfusi. Mekanisme ini merangsang tanda-tanda dan gejala-gejala utama yang terlihat pada saat pengkajian awal. Jika volume darah tidak digantikan, penurunan perfusi jaringan mengakibatkan disfungsi seluler. Sel-sel akan berubah menjadi metabolsime anaerobi, dan terbentuk asam laktat. Penurunan aliran darah akan memberikan efek pada seluruh sistem tubuh, dan tanpa suplai oksigen yang mencukupi sistem tersebut akan mengalami kegagalan.
Manifestasi klinis
Gejalanya perdarahan pada saluran pencernaan adalah : 1. Muntah darah (hematemesis) 2. Mengeluarkan tinja yang kehitaman (melena) 3. Mengeluarkan darah dari rektum (hematoskezia)
Komplikasi
Stenosis pilorus-duodenum
Perforasi
Tukak Duodenum refrakter
Syok Hipovolemik
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan yaitu pemeriksaan darah rutin berupa hemoglobin, hematokrit, leukosit, trombosit, pemeriksaan hemostasis lengkap untuk mengetahui adanya kelainan hemostasis. Pemeriksaan esofagogastroduodenoskopi merupakan pemeriksaan penunjang yang paling penting karena dapat memastikan diagnosis pecahnya varises esofagus atau penyebab perdarahan lainnya dari esofagus, lambung dan duodenum.
Pengobatan
Perdarahan dari vena varikosa pada kerongkongan bagian bawah dapat diobati dengan beberapa cara. Diantaranya dengan memasukkan balon kateter melalui mulut ke dalam kerongkongan dan mengembangkan balon tersebut untuk menekan daerah yang berdarah. Perdarahan pada lambung sering dapat dihentikan melalui endoskopi. Perdarahan pada usus bagian bawah biasanya tidak memerlukan penanganan darurat. Tetapi bila diperlukan, bisa dilakukan prosedur endoskopi atau pembedahan perut.
Penatalaksanaan
Resusitasi cairan Kumbah lambung dengan menggunakan normal saline.
Perdarahan dari pembuluh darah (varises, kelainan vaskuler) yang persisten:
Vasopresin 20 unit/1,73m2 selama 20 menit atau ocreotide 25-30 g/m2/jam, keduanya dapat diberikan selama 24 jam apabila diperlukan
Pemasangan Sengstaken-Blakemore tube
Skleroterapi
Konsul bedah anak
Perdarahan akibat ulkus : antasida, dekompresi gaster, elektrokauter, injeksi epinefrin lokal, pembedahan darurat
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA PERDARAHAN SALURAN CERNA
PRIMARY SURVAY
AIRWAY
Kontrol jalan napas pada klien dengan airway terganggu karna faktor mekanik, ataou ada gangguan fentilasi akibat gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi endotracheal, baik oral maupun nasal.
BREATHING
Kaji ventilasi apakah adekuat dan berikan oksigen. Aspirasi lambung dengan selang nasogastri. Prosedur ini membantu mendeteksi luka lambung, mengurangi kontaminasi terhadap rongga peritoneum dan mencegah komplikasi paru karena aspirasi paru.
CIRCULATION
Kaji tanda dan gejala hemoragi. Hemoragi sering menciderai abdomen, khusunya jika hati dan limfa mengalami trauma. Kontrol pendarahan dan pertahankan volume darah sampai pembedahan dilakukan.
DISABILITY
Selalu periksa tingkat kesdaran dengan GCS dan adanya lateralisasi ( pupil anisokor dan motorik yang lebih lemah satu sisi.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia.
Tujuan : Resiko gangguan perfusi jaringan tidak terjadi.
Kriteria Hasil : Mempertahankan/ memperbaiki perfusi jaringan dengan bukti tanda vital stabil, kulit hangat, nadi perifer teraba, keluaran urine adekuat.
Intervensi : 1.
Selidiki perubahan tingkat kesadaran, keluhan pusing/ sakit kepala.
R : Perubahan dapat menunjukkan ketidakadekuatan perfusi serebral sebagai akibat tekanan darah arterial. 2.
Auskultasi nadi apikal. Awasi kecepatan jantung/irama bila EKG kontinu ada. R : Perubahan disritmia dan iskemia dapat terjadi sebagai akibat hipotensi, hipoksia, asidosis,
ketidakseimbangan
elektrolit,
atau pendinginan dekat area jantung bila
lavase air dingin digunakan untuk mengontrol perdarahan. 3.
Kaji kulit terhadap dingin, pucat, berkeringat, pengisian kapiler lambat, dan nadi perifer lemah. R : Vasokontriksi adalah respon simpatis terhadap penurunan volume sirkulasi dan/ atau dapat terjadi sebagai efek samping pemberian vasopresin.
4.
Catat laporan nyeri abdomen, khususnya tiba-tiba nyeri hebat atau nyeri
menyebar ke
bahu. R : Nyeri disebabkan oleh ulkus gaster sering hilang setelah perdarahan akut karena efek bufer darah. 5.
Observasi kulit untuk pucat, kemerahan. Pijat dengan minyak. Ubah posisi dengan sering. R : Gangguan pada sirkulasi perifer meningkatkan risiko kerusakan kulit. Kolaborasi
6.
Berikan oksigen tambahan sesuai indikasi
.
R : Mengobati hipoksemia dan asidosis laktat selama perdarahan akut. 7.
Berikan cairan IV sesuai indikasi. R : Mempertahankan volume sirkulasi dan perfusi.
Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan kapasitas angkut oksigen dan faktor-faktor resiko aspirasi
Tujuan : Pasien akan mempertahankan oksigenasi dan pertukran gas yang adekuat
Intervensi keperawtan:
Kaji frekuensi, kedalaman pernapasan. Cata penggunaan otot aksesori, nafas bibir, ketidak mampuan berbicara/berbincang.
R: Berguna dalam evaluasi drajat distress pernapasan dan / atau kronisnya proses penyakit
Dorong pengeluaran sputum, pengisapan bila diindikasikan. R : kental, tebal, dan banyaknya sekresi adalah sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas kecil.
Awasi /kaji secara rutin kulit dan warna membrane mukosa R: sianosis mungkin perifer ( terlihat pada kuku) atau sentral (terlihat sekitar bibir/atau daun telinga).
Kekurangan
volume
cairan berhubungan dengan
perdarahan (kehilangan
secara aktif).
Catat karakteristik muntah dan/ atau drainase R : membantu dalam membedakan penyebab distress gaster. Darah merah cerah menandakan adanya arterial akut, darah merah gelap menandakan adanya perdarahan vena dari varises.
Awasi TTV ; bandingkan dengan hasil normal pasien atau sebelumnya. Ukur tekanan darah dengan posis duduk, berbaring, berdiri bila mungkin. R: perubahan tekanan darah dan nadi dapat digunakan unyuk perkiraan kasar kehilangan darah ( misalnya TD < 90mmHg, dan nadi lebih dari 110 diduga 25% penurunan volume atau kurang lebih 1000ml). Hipotensi portural memnunjukkan volume penurunan volume sirkulasi.
Catat respons fisiologis individual pasien terhadap perdarahan, misalnya, perubahan mental, kelemahan, gelisah, ansietas, pucat, berkeringat, takipnea, peningkatan suhu. R : simtomalogi dapat berguna dalam mengukur berat atau lamanya episode perdarahan. Memburuknya gejala dapat menunjukkan berlanjutnya perdarahan atau tidak adekuatnya pergantiaan cairan.
Ukur CPV, bila ada. R:
menunjukkan volume sirkulasi dan respon jantung terhadap perdarahan dan
penggantian cairan; Misalnya nilai CPV antara 5dan 20 cmH2O biasanya menunjukkan volume adekuat.
Awasi masukan dan haluaran dan hubungkan dengan perubahan berat badan. Ukur kehilangan darah atau cairan melalui muntah, pengisapan gaster atau lavase, dan defekasi. R: Memberikan pedoman untuk penggantian cairan.
Tinggikan kepala tempat tidur selama pemberian antasida. R : Mencegah refluks gaster dan aspirasi antasida dimana dapat menyebabkan komplikasi paru serius.
BAB I PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basanya. Pemahaman yang mendalam tentang fisiologi asam basa memiliki peran yang sama pentingnya dengan pemahaman terhadap fisiologi jantung dan paru pada pasien-pasien kritis. Saat ini terdapat pendekatan yang sudah lebih diterima yaitu dengan pendekatan Stewart, dimana pH dapat dipengaruhi secara independent oleh tiga faktor, yaitu strong ion difference (SID), tekanan parsial CO2, dan total konsentrasi asam lemah yang terkandung dalam plasma. Dari komponen-komponen disimpulkan menjadi empat keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu: Asidosis respiratorik adalah kondisi dimana pH rendah dengan kadar PCO2 tinggi dan kadar HCO3- juga tinggi sebagai kompensasi tubuh terhadap kondisi asidosis tersebut. Ventilasi alveolar yang inadekuat dapat terjadi pada keadaan seperti kegagalan otot pernafasan, gangguan pusat pernafasan, atau intoksikasi obat. Kondisi lain yang juga dapat meningkatkan PCO2 adalah keadaan hiperkatabolisme. Ginjal melakukan kompensasi dengan meningkatkan ekskresi H+ dan retensi bikarbonat. Setelah terjadi kompensasi, PCO2 akan kembali ke tingkat yang normal. Alkalosis respiratorik adalah perubahan primer yang terjadi adalah menurunnya PCO2 sehingga pH meningkat. Kondisi ini sering terjadi pada keadaan hiperventilasi, sehingga banyak CO2 yang dilepaskan melalui ekspirasi. Penting bagi dokter untuk menentukan penyebab hiperventilasi tersebut apakah akibat hipoksia arteri atau kelainan paru-paru, dengan memeriksa PaO2. Penyebab hiperventilasi lain diantaranya adalah nyeri hebat, cemas, dan iatrogenik akibat ventilator. Kompensasi ginjal adalah dengan meningkatkan ekskresi bikarbonat dan K+ jika proses sudah kronik. Asidosis Metabolik ditandai dengan menurunnya kadar HCO3-, sehingga pH menjadi turun. Biasanya disebabkan oleh kelainan metabolik seperti meningkatnya kadar asam organik dalam darah atau ekskresi HCO3 berlebihan. Pada kondisi ini, paru-paru akan memberi respon yang cepat dengan melakukan hiperventilasi sehingga kadar PCO2 turun. Alkalosis metabolic adalah keadaan pH yang meningkat dengan HCO3- yang meningkat pula. Adanya peningkatan PCO2 menunjukkan
terjadinya kompensasi dari paru-paru. Penyebab yang paling sering adalah iatrogenik akibat pemberian siuretik (terutama furosemid), hipokalemia, atau hipovolemia kronik dimana ginjal mereabsorpsi sodium dan mengekskresikan H+, kehilangan asam melalui GIT bagian atas, dan pemberian HCO3- atau prekursornya (laktat atau asetat) secara berlebihan. Persisten metabolik alkalosis
biasanya
berkaitan
dengan
gangguan
ginjal,
karena
biasanya
ginjal
dapat
mengkompensasi kondisi alkalosis metabolik.
B. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperoleh pemahaman tentang gangguan yang menyangkut keseimbangan asam basa dalam kriteria gawat darurat. Dengan demikian dapat memudahkan untuk melakukan tindakan keperawatan secara cepat dan tepat untuk mengurangi resiko terjadinya kematian atau komplikasi yang lebih berat lagi.
BAB III PENUTUP A.
KESIMPULAN Analisa gas darah merupakan salah satu alat diagnosis dan penatalaksanaan penting bagi pasien untuk mengetahui status oksigenasi dan keseimbangan asam basanya. Manfaat dari pemeriksaan analisa gas darah tersebut bergantung pada kemampuan dokter untuk menginterpretasi hasilnya secara tepat. Dari komponen-komponen disimpulkan menjadi empat keadaan yang menggambarkan konsentrasi ion H+ dalam darah yaitu: a. Asidosis Metabolik b. Asisdosis Respiratorik c. Alkalosis Metabolik d. Alkalosis Respitarorik
B.
SARAN Sebagai penulis pemula kami sadar sepenuhnya bahwa makalah ini didalamnya masih terdapat kekurangan, baik dari segi isi maupun segi penulisan, untuk itu saran dan kritis yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan sebagai perbaikanuntuk penulisan selanjutnya.