BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau
buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan
sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai
saluran itu. Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani
memiliki nama lain yaitu Anus imperforata.
Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi
kecil terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi
besar terjadi pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki
lebih sering terjadi daripada pada perempuan. Pada laki-laki paling sering
didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering
didapatkan fistula rektovestibuler.
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat
kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan
feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi
kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau
pemeriksaan perineum.
2. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak dengan gangguang
sistem eliminasi yaitu atresia ani.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani.
b. Mengetahui etiologi dari atresia ani.
c. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani.
d. Mengetahui komplikasi yang timbul dari atresia ani.
e. Memahami patofisiologi dari atresia ani.
f. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani.
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani.
1.3 Rumusan Masalah
a. Apa yang dimaksud dengan atresia ani?
b. Apa saja etiologi dari atresia ani?
c. Apa saja manifestasi klinis pada atresia ani?
d. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
e. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
f. Bagaimana penatalaksanaan pada atresia ani?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?
BAB II
TINJAUAN TEORI
1. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani
yaitu 'a' yang berarti "tidak ada" dan trepsis yang berarti "makanan atau
nutrisi". Dalam istilah kedokteran, "atresia" berarti suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu "anus imperforata".
Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana rektum tidak mempunyai
lubang keluar. (Walley, 1996)
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang
anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam
atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum.
(Purwanto, 2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal
anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya lubang
atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang
berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi
pada masa kehamilan.
2. Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1) Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2) Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan pertumbuhan
saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3) Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini.
Janin yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat
kehamilan mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah
komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani
yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1
dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara
atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal
tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda
dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani
bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan
paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan
vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan
lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae,
dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan
adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%,
dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).
3. Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas
M. levator ani (M. puborektalis) dengan jarak antara
ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari 1
cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan fistel
ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M.
levator ani tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator
ani sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum
paling jauh 1 cm.
4. Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih
tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita
sering ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air
besar feses keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah
rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula
rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang
rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
5. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara
lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet
training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan
6. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari
tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari embrionik
bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka
yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal. Terjadi stenosis
anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal
karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10
minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina.
Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus sehingga
menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal mengalami
obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui
fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-
laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat
(rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah
fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-
hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol
karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus
bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal
adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi
menderita ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang
tertimbun dapat mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis yang
berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra,
dilatasi Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang
tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan.
Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan
sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan
normal. Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan
pemberian laktulose. Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik
tanpa atau dengan fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian
dilanjutkan dengan dilatasi pada anus slama 23 bulan. Tindakan ini
paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit
dan kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah
sampai tepi anus lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila
jarak antara ujung rektum uang buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5
cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan melalui anoproktoplasti
pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu dilakukan
pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan
lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta
menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada
kolon transversum atau kolon sigmoideum. Beberapa metode pembedahan
rekonstruktif yang dapat dilakukan adalah operasi abdominoperineum
terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital posterior pada
usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode Stephen
setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10
hari setelah operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua
di rumah, mula-mula dengan jari kelingking kemudian dengan jari
telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan definitif. Sedangkan
pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian
dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada
megakolon congenital.
Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah
infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.
8. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum
yang buntu setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan,
bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3
menit, sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi,
kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior dan lateral
setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan
kejelasan keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak
pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran
urinaria.
9. Pathways
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
b. Identitas Penanggung Jawab
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan:
Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani
3. Pola Fungsi Kesehatan
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah
4. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda-tanda vital
Nadi : 120 – 140 kali per menit
Tekanan darah : normal
Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC
Pernafasan : 30 – 40 kali per menit
BB : > 2500 gram
PB : normal
c. Data sistematik
1) Sistem kardiovaskuler
Tekanan darah normal
Denyut nadi normal (120 – 140 kali per menit )
2) Sistem respirasi dan pernafasan
Klien tidak mengalami gangguan pernapasan
3) Sistem gastrointestinal
Klien mengalami muntah-muntah, perut kembung dan membuncit
4) Sistem musculosceletal
Klien tidak mengalami gangguan sistem muskuloskeletal
5) Sistem integumen
Klien tidak mengalami gangguan sistem integumen
6) Sistem perkemihan
Terdapat mekonium di dalam urin.
2. Data Fokus
"Data Subjektif "Data Objektif "
"Ibu klien mengatakan anaknya "Perut klien kembung "
"muntah-muntah pada umur 24-48"Tidak terdapat lubang "
"jam kelahiran "anus/salah letak pada klien "
"Ibu klien mengatakan anaknya "Terdapat feses yang keluar "
"tidak mengeluarkan mekonium "bersama urin "
"melalui lubang anus " "
3. Analisa Data
"Data "Masalah "Etiologi "
"DS: "Ketidakseimbangan "Kegagalan intake"
"Ibu klien mengatakan "nutrisi kurang "makanan (ASI) "
"bahwa ananknya sering "dari kebutuhan " "
"muntah "tubuh " "
"DO: " " "
"Anak menangis, mual, " " "
"perut kembung, menolak " " "
"pemberian ASI " " "
"DO : "Gangguan eliminasi"Feses masuk ke "
"Feses keluar bersamaan "urine "uretra (dysuria)"
"dengan urine " " "
"DS : "Cemas orang tua "Kurangnya "
"Ibu klien mengatakan " "pengetahuan "
"bahwa dirinya bingung " "terkait penyakit"
"melihat kondisi sang anak" "anak "
"DO: "Kerusakan "Pemasangan "
"Terpasang kolostomi pada "Integritas Kulit "Kolostomi "
"klien " " "
"DS: "Nyeri akut "Trauma jaringan "
"Ibu klien mengatakan " " "
"bahwa anak menangis " " "
"DO: " " "
"Klien terlihat lemas dan " " "
"tidak nyaman " " "
"DO: "Inkontinensia "Abnormalitas "
"BAB klien tidak "defekasi "sfingter rektal "
"terkontrol sebagaimana " " "
"normalnya " " "
"DS: "Resiko Infeksi "Trauma jaringan "
"Ibu klien mengatakan " "post operasi "
"bahwa luka pada anaknya " " "
"memerah dan seperti " " "
"terjadi peradangan " " "
"DO: " " "
"Ada tanda-tanda radang " " "
"pada daerah post operasi " " "
"antara lain: rubor, " " "
"dolor, calor, tumor " " "
"Pasien terlihat tidak " " "
"nyaman " " "
3.2 Diagnosa Keperawatan
"No. "Diagnosa Keperawatan "Ditemukan Masalah "Masalah Selesai "
" " "Tgl. "Paraf "Tgl. "Paraf "
"1. "Ketidakseimbangan nutrisi " " " " "
" "< dari kebutuhan tubuh " " " " "
" "b.d. ketidakmampuan " " " " "
" "mencerna makanan (mual, " " " " "
" "muntah) " " " " "
"2. "Gangguan eliminasi urine " " " " "
" "b.d. obstruksi anatomik " " " " "
" "(atresia ani), dysuria " " " " "
"3. "Kecemasan orangtua b.d. " " " " "
" "kurangnya pengetahuan " " " " "
" "terkait penyakit anak " " " " "
"4. "Kerusakan integritas kulit" " " " "
" "b.d. pemasangan kolostomi " " " " "
"5. "Nyeri akut b.d trauma " " " " "
" "jaringan pasca operasi " " " " "
"6. "Inkontinensia defekasi b.d" " " " "
" "abnormalitas sfingter " " " " "
" "rektal " " " " "
"7. "Resiko infeksi b.d trauma " " " " "
" "jaringan pasca operasi, " " " " "
" "perawatan tidak adekuat " " " " "
3.3 Perencanaan
Nama Klien : An. Mawar
No. Register : 0123
Ruang : Teratai
" " "Intervensi "TTD "
"No "Dx. Kep " " "
" " "Tujuan dan NOC "Tindakan "Rasional " "
" " " "Keperawatan/NIC " " "
"1. "Ketidakseimbangan "Setelah dilakukan "Memonitor mual dan "Mengetahui berapa " "
" "nutrisi kurang dari "tindakan keperawatan "muntah "output yang keluar " "
" "kebutuhan b.d. "selama 1x24 jam "Kaji kemampuan klien "Memberikan makanan " "
" "ketidakmampuan "diharapkan kebutuhan "untuk mendapatkan "sesuai kemampuan (oral" "
" "mencerna makanan "nutrisi klien "nutrisi yang dibutuhkan"atau NGT) " "
" " "terpenuhi dengan "Memonitor status gizi "Mengetahui status gizi" "
" " "kriteria hasil: "Kolaborasi dengan "dan meminimali-sir " "
" " "Mampu "dokter "malnutrisi " "
" " "mengidentifikasikan " "Terkait pemasangan NGT" "
" " "kebutuhan nutrisi (4) " " " "
" " "Tidak ada tanda-tanda " " " "
" " "malnutrisi (4) " " " "
"2 "Gangguan eliminasi "Setelah dilakukan "Memantau tanda-tanda "Mengetahui tingkat " "
" "urine b.d. obstruksi "asuhan keperawatan "vital dan tingkat "distensi kandung kemih" "
" "anatomik (atresia "selama 1x24 jam "distensi kandung kemih "klien " "
" "ani), dysuria "diharapkan gangguan "dengan palpasi dan "Mengetahui jumlah " "
" " "elimnasi urine dapat "perkusi "output (urine) dan ada" "
" " "teratasi kriteria "Periksa dan timbang "tidaknya feses yang " "
" " "hasil: "popok klien "bercampur " "
" " "Kandung kemih pasien "Melakukan penilaian "Memastikan apakah " "
" " "kosong secara penuh (4)"pada fungsi kognitif "saluran kemih normal " "
" " "Intake cairan dalam "4. " " "
" " "rentang normal (4) " " " "
" " "Bebas dari ISK (4) " " " "
"3 "Kecemasan orang tua "Setelah dilakukan "Kaji status mental dan "Derajat ansietas akan " "
" "berhubungan dengan "asuhan keperawatan 1x24"tingkat ansietas dari "dipengaruhi bagaimana " "
" "kurang pengetahuan "jam diharapkan rasa "klien dan keluarga. "informasi tersebut " "
" "tentang penyakit dan "cemas orangtua dapat "Dengarkan dengan penuh "diterima. " "
" "prosedur perawatan "hilang atau berkurang. "perhatikan "Menjadi pendengar yang" "
" " "Kriteria Hasil: "Jelaskan dan persiapkan"baik dapat mengurangi " "
" " "1.) Ansietas berkurang "untuk tindakan prosedur"rasa cemas orangtua " "
" " "2.) Ibu klien tidak "sebelum dilakukan "Membuat orang tua " "
" " "gelisah "operasi. "lebih mengerti keadaan" "
" " " "Beri kesempatan klien "anaknya " "
" " " "untuk mengungkapkan isi"Dapat meringankan " "
" " " "pikiran dan bertanya. "ansietas terutama " "
" " " "Ciptakan lingkungan "ketika tindakan " "
" " " "yang tenang dan nyaman."operasi tersebut " "
" " " " "dilakukan. " "
" " " " "Mengungkapkan rasa " "
" " " " "takut dan bertanya " "
" " " " "secara terbuka dimana " "
" " " " "rasa takut dapat " "
" " " " "ditujukan. " "
" " " " "Lingkungan nyaman " "
" " " " "dapat mengurangi cemas" "
"4 "Kerusakan integritas "Setelah dilakukan "Hindari kerutan pada "Untuk mencegah " "
" "kulit b.d. pemasangan"asuhan keperawatan "tempat tidur "perlukaan pada kulit " "
" "kolostomi "selama 1x24 jam "Jaga kebersihan kulit "Untuk menjaga " "
" " "diharapkan kerusakan "agar tetap bersih dan "ketahanan kulit " "
" " "integritas kulit dapat "kering "Untuk mengetahui " "
" " "berkurang kriteria "Monitor kulit akan "adanya tanda kerusakan" "
" " "hasil: "adanya kemerahan "jaringan kulit " "
" " "Integritas kullit yang "Oleskan lotion/baby oil"Untuk menjaga " "
" " "baik bisa "pada daerah yang "kelembaban kulit " "
" " "dipertahan-kan (4) "tertekan "Untuk menjaga " "
" " "Perfusi jaringan baik "Monitor status nutrisi "keadekuatan nutrisi " "
" " "(3) "klien "guna penyembuhan luka " "
" " "Menunjukan pemahaman " " " "
" " "dalam proses perbaikan " " " "
" " "kulit dan mencegah " " " "
" " "terjadinya cedera " " " "
" " "berulang (4) " " " "
"5 "Nyeri akut b.d trauma"Setelah dilakukan "Observasi reaksi "Untuk mengetahui " "
" "jaringan (post "asuhan keperawatan "nonverbal dari "bagian mana yang nyeri" "
" "operasi) "selama 1x24 jam "ketidaknyamanan klien "Dengan dukungan orang " "
" " "diharapkan nyeri akut "Bantu klien dan "tua disekitar klien " "
" " "dapat berkurang "keluarga untuk mencari "bisa mengurangi nyeri " "
" " "kriteria hasil: "dan menemukan dukungan "Lingkungan yang nyaman" "
" " "Klien tampak nyaman dan"Kontrol lingkungan yang"dapat mengurangi rasa " "
" " "tenang (4) "dapat memengaruhi nyeri"nyeri " "
" " " "Kolaborasi dengan "Analgesik dapat " "
" " " "dokter terkait "mengurangi nyeri " "
" " " "pemberian analgesik " " "
"6 "Inkontinensia "Setelah dilakukan "Intruksikan keluarga "Untuk mengetahui " "
" "defekasi b.d "asuhan keperawatan 1x24"untuk mencatat keluaran"bentuk fisik feses " "
" "abnormalitas sfingter"jam diharapkan "feses "yang keluar " "
" "rektal "pengeluaran defekasi "Jaga kebersihan baju "Mencegah terjadinya " "
" " "terkontrol dengan "dan tempat tidur "resiko infeksi " "
" " "kriteria hasil: "Evaluasi status BAB "Mengetahui " "
" " "Defekasi lunak, feses "secara rutin "perkembangan perubahan" "
" " "berbentuk (4) " "defekasi " "
"7 "Resiko infeksi b.d "Setelah dilakukan "Monitor tanda dan "Untuk mengetahui tanda" "
" "trauma jaringan, "tindakan keperawatan "gejala infeksi sistemik"infeksi lebih dini " "
" "perawatan tidak "selama 1x24 jam "dan lokal "Untuk menghindari " "
" "adekuat "diharapkan klien bebas "Batasi pengunjung "kontaminasi dari " "
" " "dari tanda-tanda "Pertahankan teknik "pengunjung " "
" " "infeksi dengan kriteria"cairan asepsis pada "Untuk mencegah " "
" " "hasil: "klien yang beresiko "penyebab infeksi " "
" " "Klien bebas dari tanda "Inspeksi kondisi "Untuk mengetahui " "
" " "dan gejala infeksi (4) "luka/insisi bedah "kebersihan luka dan " "
" " "Jumlah leukosit dalam "Ajarkan keluarga klien "tanda infeksi " "
" " "batas normal (4) "tentang tanda dan "Agar gejala infeksi " "
" " " "gejala infeksi "dapat di deteksi lebih" "
" " " "Laporkan kecurigaan "dini " "
" " " "infeksi "Agar gejala infeksi " "
" " " " "dapat segera teratasi " "
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak
rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur; (2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam
kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan; (3) Adanya gangguan atau
berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal
serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai
keenam usia kehamilan; (4) Berkaitan dengan sindrom down.
Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien apabila
atresia ani terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan pemasangan
kolostomi sedangkan pada yang rendah dilakukan dilatasi rutin.
2. Saran
Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi.
Biasanya terjadi ketika organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat,
kita harus senantiasa untuk memingatkan kepada ibu untuk selalu berpola
hidup sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan masalah kehamilan
kepada ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani,
maka perawat harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya
agar dapat mengatasi masalah yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus (diakses pada
09 November 2016)
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang.
http://chocolateperfect.blogspot.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5.
Jakarta. EGC
Marlaim. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas
Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.
Jakarta. Trans Info Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita.
Jakarta. Trans Info Media
-----------------------
Perubahan Defekasi:
Pengeluaran Tak Terkontrol
Iritasi Mukosa
Operasi Anoplasti
Peningkatan Tekanan Intraabdominal
Ketidakseimbangan Nutrisi < Kebutuhan Tubuh
Resiko Infeksi
Perawatan tidak adekuat
Nyeri
Gang. Rasa Nyaman
Inkontinensia Defekasi
Trauma jaringan
Abnormalitas spingter rektal
Resiko kerusakan kulit
Mual, muntah
Ansietas
Keracunan
Reabsorbsi sisa metabolisme
Gang. Eliminasi Urine
Nyeri
Gang. Rasa nyaman
Dysuria
Mikroorganisme masuk ke saluran kemih
Feses Menumpuk
Feses Masuk Ke Uretra
Vistel Rektovaginal
Feses Tidak Keluar
ATRESIA ANI
Gangguan Pertumbuhan
Fusi
Pembentukan anus dari tonjolan embrionik
Kelainan kogenital