BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hadist menurut logat berarti kabar, berita atau hal yang diberikan turun-temurun. Hadist menurut istilah dalam agama berarti berita turuntemurun tentang perkataan, perbuatan nabi atau kebiasaan nabi ataupun halhal yang diketahuinya terjadi diantara sahabat tetapi te tapi dibiarkannya. Sedangkan Sunnah menurut logat berarti jalan atau tabiat atau kebiasaan. Sunnah menurut istilah ialah jalan yang ditempuh atau kebiasaan yang dipakai atau diperintahkan oleh Nabi. Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam memenuhi tuntutan kebutuhan manusia di mana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan bagaimana caranya berhubungan dengan Tuhan atau Khaliqnya, serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluk, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, manusia memerlukan suatu tuntunan dan pegangan agar dalam mengolah alam ini mempunyai arah yang jelas dan tidak bertentang dengan kehendak Allah. Islam sebagai ajaran agama yang diturunkan oleh Allah kepada umat manusia melalui Rasul-Nya adalah satu pegangan dan tuntunan bagi manusia itu sendiri dalam mengarungi kehidupan ini. Allah mengutus para Nabi dan Rasul-Nya untuk memberi petunjuk kepada umatnya salah satunya yaitu dengan Hadist. Mengenai kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur‟an Al-Qur‟an,, seluruh umat Islam
kecuali
sebagian
kecil
saja,
sepakat
tentangnya,
sehingga
konsekuensinya adalah bahwa seluruh umat Islam tidak dibenarkan hanya berpegang pada salah satu saja dari kedua sumber hukum tersebut, yaitu AlQur‟an dan Qur‟an dan al-Hadist, tetapi diwajibkan mengikuti Hadist Nabi sebagaimana kewajiban mereka dalam mengikuti Al-Qur‟an Al-Qur‟an..
1
Dalam makalah ini akan dibahas lebih lanjut mengenai Hadist sebagai sumber hukum islam kedua. 1.2 Rumusan Masalah
1. Mengapa Allah tidak menjadikan petunjuk-Nya menjadi satu dalam kitabullah (Al-Qur‟an) saja? 2. Mengapa Al-Hadist merupakan sumber hukum Islam yang kedua? 3. Apa fungsi Hadist terhadap Al-Qur‟an?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Mengetahui alasan mengapa Allah tidak menjadikan petunjuk-Nya menjadi satu dalam kitabullah (Al-Qur‟an saja). 2. Mengetahui alasan mengapa harus ada Hadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua. 3. Mengetahui fungsi Hadist terhadap Al-Qur‟an.
2
BAB II PEMBAHASAN
Berdasarkan kajian pustaka yang telah dilakukan oleh penulis, menjawab permasalahan yang sudah disebutkan di atas mengenai alasan mengapa Allah tidak menjadikan petunjuk-Nya dalam satu kitabullah saja, mengapa ada AlHadist sebagai sumber hukum Islam yang kedua, dan apa fungsi Hadist terhadap Al-Qur‟an, berikut adalah pemaparannya. Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah (suri tauladan). Apabila semua wahyu Allah diturunkan dalam bentuk kitabullah, tanpa ada yang diturunkan dalan bentuk Hadist Nabi, maka manusia sebagai umatnya akan sulit sekali memahami maksud-maksud teks wahyu tersebut. Demikianlah Allah menurunkan wahyu-Nya melalui dua bentuk, yaitu al-Qur ‟an dan Al-Hadist yang menjadi pelengkap kesempurnaan ajaran Islam. Adapun fungsi Hadist terhadap Al-Qur‟an yaitu untuk menetapkan hukum yang terdapat di dalam Al- Qur‟an yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam AlQur‟an dan Sunnah itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. Menempati posisi kedua setelah Al-Qur‟an, Sunnah memiliki fungsi sebagai bayan (penjelas) atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dan maksud-maksud ayat yang terdapat di dalam AlQur‟an. Sesuai dengan firman Allah ” Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir .” (QS An-Nahl ayat 44) Berikut akan kami paparkan beberapa poin penting mengenai sumber hukum Islam kedua yaitu As-Sunnah atau Al-Hadist.
2.1 Kedudukan Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam
Terdapat dua argumen yang membuktikan keabsahan Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua, yaitu argumen naqli dan argumen aqli.
3
1. Argumen Naqli
a. Dalil Al-Qur‟an Al-Quran menerangkan bahwa kewajiban mentaati Allah menyebabkan kewajiban
mentaati
Rasul-Nya,
dan
kewajiban
mentaati
Rasul-Nya
menyebabkan kewajiban mentaati risalah dan apa yang diajarkannya. b. Dalil Hadist Selain kewajiban taat kepada Rasul serta menjadikan ajarannya sebagai pedoman hidup dijelaskan di dalam al-Quran, hal itu dijelaskan pula di dalam beberapa riwayat Hadist. 2. Argumen Aqli
Jumhur ulama menyatakan bahwa As-Sunnah memiliki kedudukan kedua setelah Al-Qur ‟an. Dalam hal ini Al-Suyuti dan Al-Qasimi memberikan sebuah pemikiran yang rasional dan tekstual. Adapun argumen tersebut ialah: 1. Al-Qur‟an memiliki sifat qath’i al -wurud , sedang As-Sunnah bersifat zhanni al-wurud . Oleh sebab itu yang bersifat qath’i harus didahulukan. 2. As-Sunnah memiliki peran sebagai penjabaran Al-Quran. Ini harus dipahami bahwa yang menjelaskan (As-Sunnah) berkedudukan setingkat di bawah yang dijelaskan (Al-Quran). 3. Adanya beberapa Hadist dan atsar yang memberikan keterangan tentang urutan dan kedudukan As-Sunnah setelah Al-Qur‟an. Hal ini bisa di lihat dari dialog antara Nabi dengan Mu‟az bin Jabal yang waktu itu diutus ke negeri Yaman sebagai Qadli. Nabi bertanya: “Dengan apa kau putuska n suatu perkara?”. Mu‟az menjawab, “Dengan Kitab Allah”. Jika tidak adanya nashnya, maka dengan Sunnah Rasulullah, dan jika tidak ada ketentuan dalam Sunnah maka dengan berijtihad. 4. Al-Qur‟an berasal dari Allah sedang As-Sunnah atau Al-Hadist berasal dari hamba dan utusannya, maka selayaknya segala sesuatu yang berasal dari Allah itu lebih tinggi kedudukannya dibanding sesuatu yang berasal dari hamba-Nya.
4
Disamping itu, ada beberapa poin lain yang menjadi argument aqli mengenai kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua, yaitu a. Ijma’ Ulama
Berdasarkan Ijma‟ Ulama, seluruh umat Islam telah mengamalkan AsSunnah atau Al-Hadist disamping mengamalkan Al-Qur‟an, sejak zaman Rasulullah masih hidup sampai sekarang. Hadist tersebut dapat terjaga karena generasi Rasulullah yang mengamalkan dan mengajarkannya sehingga Hadist tersebut dapat meyebar dan diwarisi umat Islam sampai sekarang. Beberapa peristiwa sejarah yang membuktikan adanya kesepakatan umat dalam menggunakan Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua setelah AlQur‟an, di antaranya adalah Suatu ketika Abdurrahman bin Yazid pernah melihat seorang laki-laki yang melakukan ihram dengan menggunakan pakaian yang berjahit, kemudian Abdurrahman meminta agar orang itu melepas pakaiannya dan mengikuti Sunnah Nabi tentang cara berpakaian saat berihram. Kemudian laki-laki tersebut berkata,”Coba bacakan kepada saya ayat AlQur‟an yang mengharuskan aku melepas pakaianku ini.” Abdurrahman kemudian membacakan firman Allah, “Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu. Maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu. Maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr ayat 7) b. Hadist Sesuai dengan Petunjuk Akal
Satu diantara fungi Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua adalah sebagai uswah (contoh-contoh) dalam menjalankan perintah Allah melalui Kitabullah. Fungsi Hadist dalam hal ini berkaitan dengan tingkat intelektual masyarakat pada waktu Al-Qur‟an diturunkan tidaklah sama, dan tentu saja perbedaan ini akan terus bergulir sepanjang zaman. Sehingga Nabi bertugas memberikan bimbingan kepada umatnya untuk mengamalkan ajaran agama Islam sesuai dengan tingkat rasio yang bisa dijangkau masing-masing sahabat beliau. Sehingga seringkali kita dapatkan apabila ada dua orang atau dua kelompok yang saling bertentangan dalam memahami risalah Islam, kemudian dihadapkan kepada Nabi, maka beliau tidak langsung menyalahkan salah
5
satunya, tetapi membolehkan perbedaan tersebut dan membiarkan keduanya menjalankan syari‟at sesuai dengan apa yang dipahaminya. Dengan de mikian Hadist selalu sejalan dengan akal beserta segala kapasitasnya.
Seluruh uraian di atas dimaksudkan untuk memberi gambaran mengenai kedudukan dan pentingnya menempatkan Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur ‟an. Dalam hal ini yang dimaksudkan penulis adalah Hadist shahih dan mutawatir.
2.2 Fungsi Hadist Terhadap Al-Qur’an
Seperti yang kami paparkan sebelumnya diatas bahwa Hadist berfungsi untuk menetapkan hukum yang terdapat di dalam Al- Qur‟an dan bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam AlQur‟an dan As-Sunnah itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. Menempati posisi kedua setelah Al-Qur‟an, As-Sunnah memiliki fungsi sebagai bayan (penjelas) atau penafsir yang dapat mengungkapkan tujuan dan maksud-maksud ayat yang
ada di dalam Al-Qur‟an. Adapun penjelasan-penjelasan mengenai fungsi Hadist terhadap Al-Qur‟an diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Bayan Al-Taqrir
Bayan Taqrir disebut juga dengan bayan al-Ta’kid atau bayan al-Isbat , yaitu sunah berfungsi untuk mengokohkan atau menguatkan apa yang telah disebutkan di dalam Al-Qur‟an.
2. Bayan Al-Tafsir
Bayan Al-Tafsir adalah penjelasan Hadist terhadap ayat-ayat yang memerlukan perincian atau penjelasan lebih lanjut, seperti pada ayat-ayat yang mujmal, mutlak dan „amm. Maka fungsi Hadist dalam hal ini adalah memberikan perincian (tafshil ) dan penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an
6
yang masih mujmal , memberikan taqyid atas ayat-ayat yang masih mutlaq, serta memberikan takhshish atas ayat-ayat yang masih umum. a. Bayan Tafshil (Merinci Ayat-ayat Mujmal)
Yang dimaksud dengan Bayan Tafshil ialah, bahwa Sunnah itu menjelaskan atau memperinci ke-mujmal -an Al-Qur‟an, karena Al-Qur‟an bersifat mujmal (global) maka agar dia dapat berfungsi kapan saja dan dalam keadaan apa saja diperlukan perincian, maka dari itulah fungsi Sunnah sangat diperlukan.
b. Bayan Taqyid (Mentaqyid Ayat-ayat yang Mutlaq)
Kata mutlaq berarti kata yang menunjuk pada hakekat kata itu sendiri apa adanya, dengan tanpa memandang kepada jumlah maupun sifatnya. Mentaqyid yang mutlaq artinya membatasi ayat-ayat yang mutlaq dengan sifat, keadaan, atau syarat-syarat tertentu. Contohnya sabda Nabi SAW yang mentaqyid ayat yang mutlaq adalah:
o m “Tangan pencuri tidak boleh dipotong, kecuali pada pencurian senilai seperempat dinar atau lebih.” (Shahih Muslim. Kitab Hudud . Hadist no.3190) Hadist ini mentaqyid Surah Al-Maidah ayat 38 yang berbunyi: “ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka potonglah tangan keduanya sebagai pembalasan atas apa yang mereka perbuat dan sebagai siksaan dari Allah…”
c. Bayan Al-Takhshish (Mengkhususkan
Ayat-ayat yang Bersifat
Umum)
Selain bersifat umum mujmal (global), Al-Qur‟an juga memiliki ayat-ayat yang bersifat umum, dari sini fungsi Sunnah adalah mengkhususkan. Perbedaannya dengan bayan tafshil ialah pada bayan tafshil , Sunnah berfungsi sebagai penjelas yang terlihat tidak ada pertentangan di dalamnya, sedangkan pada bayan takhsish terlihat adanya pertentangan antara Al-Qur‟an dan Sunnah. 7
Adapun contoh Sunnah yang men -takhsish-kan Al-Qur‟an adalah : Dalam Al-Qur‟an dikatakan bahwa setiap orang dihalalkan menikahi wanita-wanita bahkan juga berpoligami, tetapi dalam Hadist dikata kan:
”Tidak boleh seorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ’ammah (saudara bapaknya ), dan seorang wanita dengan khalah (saudara ibu)nya”.( Shahih Muslim. Kitab al-Nikah. Hadist no.2517) Dan juga dalam Hadist :
. ”Sesungguhnya Allah mengharamkan mengawini seseorang karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya karena senasab” Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Al-Qur‟an mengemukakan hukum
atau
aturan-aturan
yang
bersifat
umum,
yang
kemudian
dikhususkan dengan Sunnah.
3. Bayan Al-Tasyri’
Yang dimaksud dengan bayan tasyri‟ adalah penjelasan tasyri
yang
’
berupa mengadakan, mewujudkan, atau menetapkan suatu hukum atau aturan-aturan syara
yang tidak terdapat dalam Al-Qur‟an. Rasulullah saw
’
berusaha menunjukkan suatu hukum dengan cara menjawab pertanyaan pertanyaan yang diajukan para sahabat yang tidak didapati jawabannya dalam Al-Qur‟an. Sebagai contoh dalam masalah ini adalah Hadist tentang zakat fitrah sebagai berikut:
“ Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah kepada umat Islam pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau gandum untuk setiap orang, baik merdeka
8
atau hamba sahaya, laki-laki atau perempuan .”( Shahih Muslim. Kitab Zakat . Hadist no.1.636) Bayan ini oleh sebagian ulama disebut juga sebagai bayan zaid „ala alKitab al-Karim (tambahan terhadap nask Al-Qur‟an). Disebut tambahan karena sebenarnya di dalam Al-Qur‟an sendiri telah terdapat ketentuan-ketentuan pokoknya. Berdasarkan hal tersebut tampaknya terbukti apa yang dikatakan oleh Abu Zahrah bahwa tidak ada satu Hadist pun yang berdiri sendiri, yang tidak ditemukan aturan pokoknya dalam Al-Qur‟an.( Muhammad Abu Zahrah. Ushul Fiqh. (Dar Al-Fikr, t.t.). hal.112)
4. Bayan Al-Naskh
Ketiga bayan yang telah diuraikan diatas tampaknya disepakati oleh para ulama, meskipun untuk bayan Al-Tasyri’ sedikit dipermasalahkan, sedangkan untuk bayan yang terakhir ini, yaitu bayan naskh, terdapat banyak sekali perbedaan pendapat. Di antara ulama ada yang mengakui dan menerima fungsi Hadist sebagai nasikh dan ada banyak yang menolaknya. Dalam beberapa literatur didapati para ulama mutakalimin yang menyetujui Hadist sebagai bayan Al- Naskh seperti
Mu‟tazilah
dan
Asy‟ariyah, ulama Malikiyah, Hanafiyah, Ibnu Hazm serta sebagian ulama Zahiriyah. Sedangkan para ulama yang menolaknya diantaranya ialah AsSyafi‟i dan mayoritas pengikutnya, juga mayoritas ulama dari kelompok Zahiriyah. Di antara para ulama baik mutaqaddimin maupun muta’ak hirin terdapat perbedaan pendapat dalam mendefinisikan bayan nasakh ini. Perbedaan pendapat ini terjadi karena perbedaan mereka dalam memahami makna nasakh dari sudut kebahasaan. Menurut ulama mutaqaddimin, bayan nasakh adalah adanya dalil syara
yang datangnya kemudian. Berdasarkan pengertian tersebut, maka
’
ketentuan yang datang kemudian dapat menghapus ketentuan yang datang terdahulu. Kelompok ulama yang membolehkan Hadist menasakh Al-Qur‟an berpendapat bahwa Hadist sebagai ketentuan yang datang kemudian daripada Al-Qur‟an dalam hal ini dapat menghapus ketentuan isi kandungan Al-
9
Qur‟an. Demikian pendapat ulama yang menganggap adanya fungsi bayan nasakh. Kelompok ulama yang membolehkan adanya nasakh Hadist terhadap AlQur‟an, juga berbeda pendapat mengenai macam Hadist yang dapat dipakai me-nasakh, 1. Kelompok yang membolehkan me-nasakh Al-Qur‟an dengan segala macam Hadist, meskipun Hadist ahad . Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Hazm, sebagian pengikut Zahiriyah, serta para ulama mutaqaddimin. Menurut mereka, meskipun Hadist ahad hanya bisa menimbulkan zhan (sangkaan), namun tetap bisa menasakh Al-Qur‟an. Karena mereka memahami arti nasakh dalam berbagai bentuk, sekalipun tafshil atas yang mujmal, takhshish atas yang „amm, dan taqyid atas yang mutlaq. Semua bentuk bayan tersebut dianggap sebagai nasakh menurut Ibnu Hazm dan golongan yang sepakat dengannya. Dan Rasulullah saw mempunyai tugas untuk menjelaskan Al-Qur‟an, bahkan mereka percaya bahwa nasakh terjadi atas ayat-ayat Al-Qur‟an dalam jumlah yang sangat besar.
2. Kelompok yang membolehkan dengan syarat bahwa Hadist yang menasakh haruslah Hadist mutawatir. Pendapat ini dikemukakan oleh kaum Mu‟tazilah. Alasan mereka adalah karena Al-Qur‟an adalah mutawatir dari segi lafalnya, maka dari itu yang mutawatir hanya bisa dinasakh dengan yang mutawatir pula. 3. Kelompok ulama yang membolehkan me-nasakh dengan Hadist masyhur , tanpa harus dengan Hadist mutawatir . Pendapat ini dikemukakan oleh para ulama Hanafiyah karena mereka memahami makna nasakh secara sederhana, yaitu apa yang datang kemudian dapat merubah hukum yang terdahulu.
10
Salah satu contoh yang dapat diajukan oleh kelompok yang mengakui adanya fungsi bayan nasakh adalah sabda Nabi saw dari Abu Umamah alBahili yang berbunyi:
“Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada tiap-tiap orang haknya (masing-masing). Maka tidak ada wasiat bagi ahli waris .”(
Hadist
diriwayatkan oleh Ahmad dan Arba‟ah, kecuali al-Nasa‟i. Hadist ini dinilai hasan oleh Ahmad dan Tirmidzi.) Hadist ini menurut mereka yang mengakui adanya bayan nasakh, menasakh hukum wasiat bagi kedua orang tua dan kerabat yang terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 180 berikut,” Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (Ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa .”
Adapun kelompok yang tidak sepakat tentang nasakh Hadist terhadap AlQur‟an, mereka berargumen berdasarkan surat Yunus ayat 15 berikut: “ Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami yang nyata, orangorang
yang
tidak
mengharapkan
pertemuan
dengan
kami
berkata:
"Datangkanlah Al Quran yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya Aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)". Ayat tersebut merupakan penegasan dari Allah bahwa Dia mewajibkan kepada Nabi untuk mengikuti semua yang diwahyukan kepadanya, dan melarang untuk merubah (me-nasakh) dari pihak dirinya sendiri. Inilah argumen yang dikemukakan oleh As-Syaf i‟i dan di dukung oleh mayoritas madzhab Zahiriyah. Berdasarkan ayat ini, mereka tidak sepakat menasakh AlQur‟an dengan Hadist, meskipun dengan Hadist mutawatir. Selanjutnya As-Syafi‟i menegaskan bahwa mengenai firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 106, “ Apa saja yang Kami nasakh atau Kami jadikan
11
manusia lupa kepadanya, maka Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. ” Ayat ini menurutnya menjelaskan bahwa yang mendatangkan yang lebih baik atau yang sebanding itu adalah Allah, karena dhamir -nya kembali kepada Nya. Dan mendatangkan yang lebih baik itu maksudnya adalah me-nasakh AlQur‟an dengan Al-Qur‟an, karena Sunnah tidak sebanding dengan Al-Qur‟an, dan Sunnah tidak lebih baik dari Al-Qur‟an.
2.3 Pandangan Ulama Tentang Kemandirian Hadist Dalam Menetapkan Hukum
Al-Qur‟an menekankan bahwa Rasulullah saw bertugas menjelaskan maksud firman-firman Allah.( Q.S. Al-Nahl:44) Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya. Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah Fi Makanatiha Wa Fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur‟an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syar a‟. Dengan menunjuk kepada pendapat As-Syaf i‟i dalam al-Risalah, Abdul Halim Mahmud menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan Al-Qur‟an, ada dua fungsi Sunnah yang tidak di perselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir . Yang pertama sekedar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Qur‟an, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur‟an. Persoalan yang di perselisihkan adalah, apakah Hadist atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qur‟an? Para ulama dalam menanggapi masalah ini, terbagi menjadi dua kelompok, pertama, kelompok yang mengatakan bahwa Sunnah mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, baik Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap Al-Qur‟an maupun Sunnah yang berfungsi sebagai penetap dan pembentuk hukum, meskipun tidak ada dalil yang menjelaskannya di dalam Al-Qur‟an.
12
Kedua, ulama yang berpendapat bahwa Sunnah tidak mempunyai kewenangan di dalam menetapkan suatu hukum, kecuali ada dalilnya dalam Al-Qur‟an. Ini berarti mustahil bagi Rasul untuk melakukan suatu perbuatan syar‟i yang tidak berdasarkan pada Al-Qur‟an. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada „ishmah (keterpeliharaan Nabi Muhammad SAW dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) dengan didukung sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw untuk ditaati. Selain itu, kelompok ini juga berargumen dengan adanya kewajiban untuk mentaati dan mengikuti Rasulullah saw sebagaimana yang telah diperintahkan Allah dalam beberapa firman-Nya. Firman Allah dalam surat al-Nisa
ayat 80, ” Barang siapa yang
’
mentaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah .” Ayat ini menegaskan bahwa mentaati Rasul adalah identik dengan mentaati Allah. Juga firman Allah dalam Surat Al-Hasyr ayat 7, “Apa saja yang diberikan Rasul kepadamu. Maka terimalah, dan apa saja yang dilarangnya bagimu. Maka tinggalkanlah.”
Allah
telah
memberikan
kekhususan
kepada
Rasul-Nya
dengan
memberikan sesuatu yang harus ditaati dan tidak boleh didurhakai, yaitu Sunnah yang beliau bawa dan tidak terdapat dalam Al-Qur‟an. Kelompok ulama yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah swt (dalam hal ini Al-Qur‟an), ketika hendak menetapkan hukum. Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa Sunnah Rasul tidak lain hanyalah sekadar penjelasan terhadap tuntunan yang diterima dari Allah swt, sebagaimana penjelasan beliau tentang tata cara shalat, ketentuan hukum jual beli serta hukum syar a‟ yang lainnya. Ketentuan-ketentuan hukum itu secara keseluruhan telah ada di dalam Al-Qur‟an baik secara global maupun secara terperinci. Adapun firman Allah yang menjelaskan tentang kewajiban taat kepada Rasulullah saw seperti dalam Q.S. An- Nisa‟ ayat 80 yang dijadikan dasar bagi
13
ulama yang mengakui atas kemandirian Sunnah, merupakan kewajiban untuk mentaati segala penjelasan dan semua keterangannya.( Dr. Ahmad Umar Hasyim. Al-Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. (t.tp.Maktabah Gharib.t.t.). hal 35). Jika persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi As-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash Surat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut. Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan Hadist yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud . Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al- Qur‟an terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (Hadist) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti." Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh Hadist. Pendapat yang demikian ketat tersebut tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya.
Mereka
berpendapat
bahwa
Hadist
dapat
saja
diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan Hadist tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk 14
Madinah yang sejalan dengan kandungan Hadist yang dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, Hadist yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks Surat Al-Nisa' ayat 24. Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela AsSunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, AsSunnah dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan AlQuran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya? Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu Hadist yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih
juga
ditemukan
pertentangan,
maka
tidak
ada
jalan
kecuali
mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Qur ‟an) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (Hadist).
Dalam masalah ini, salah satu sumber kami yakni Bapak Chamim Tohari sebagai penulis jurnal ”Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua” memandang bahwa perbedaan dari kedua kelompok yang berselisih di atas bertolak dari pemahaman bahwa Sunnah yang tidak ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur‟an di anggap tidak sejalan dengan Al-Qur‟an. Oleh karena tidak sejalan, maka tidak boleh diamalkan meskipun kelompok yang lainnya membolehkan mengamalkannya. Hal ini tentu saja perlu diluruskan, karena suatu ajaran Rasulullah saw tidak boleh dikatakan bahwa ajaran itu tidak didapatkan dasarnya di dalam AlQur‟an dan
tidak
dapat
dikatakan
tidak
sejalan
dengan
Al-Qur‟an.
Sebagaimana yang tertera di dalam Al-Qur‟an, dasar perintah dan larangan bersifat global dan universal. Seperti kewajiban shalat, di dalam Al-Qur‟an hanya dijumpai perintah wajibnya shalat, sedangk an jumlah raka‟atnya tidak dapat dicari dalam Al-Qur‟an. Juga kewajiban zakat dalam Al-Qur‟an, tidak
15
ditemukan ketentuan-ketentuan yang jelas tentang macam-macan jenis harta yang wajib dizakati, juga jumlah zakat dari berbagai jenis harta yang wajib dizakati. Semua ketentuan tersebut hanya diperoleh dari Sunnah Rasulullah saw. Jumlah rak a‟at dalam shalat, macam dan jenis harta yang wajib dizakati, beserta jumlah zakat yang harus dikeluarkan, semua ketentuan dari Rasul tersebut tidak dapat dikatakan tidak sejalan dengan Al-Qur‟an, tetapi justru sebagai penjelas melalui uswah Rasulullah saw. Sekiranya contoh-contoh dari Rasulullah tersebut tidak dapat diamalkan, lantas darimana kita mengetahui tata cara menjalankan perintah shalat dan zakat? Selain itu tidak tepat juga dikatakan bahwa dalam hal ini Sunnah bersifat mandiri sebagai sumber hukum syar a‟, tetapi yang benar adalah Sunnah muncul karena kebutuhan manusia untuk memahami dan menjalankan perintah dan larangan Allah dalam AlQur‟an.
16
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan makalah kami yang berjudul “As-Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua” adalah Allah tidak menjadikan petunjuk-Nya dalam satu kitabullah saja dan Allah menjadikan Hadist sebagai penjelas Al-Qur‟an karena Nabi Muhammad SAW sebagai uswah hasanah (suri tauladan). Apabila semua wahyu Allah diturunkan dalam bentuk kitabullah, tanpa ada yang diturunkan dalan bentuk Hadist Nabi, maka umat Islam akan sulit untuk memahami isi AlQur‟an. Demikianlah Allah menurunkan wahyu-Nya melalui dua bentuk, yaitu alQuran dan Hadist Nabi yang menjadi pelengkap kesempurnaan ajaran Islam. Kedudukan Hadist sebagai sumber hukum Islam kedua dibuktikan dengan adanya dua argumen yaitu Argumen Naqli yang terdiri dari dalil Al-Qur ‟an dan dalil Hadist. Yang kedua adalah Argumen Aqli yang terdiri dari Ijma‟ Ulama dan Hadist sesuai dengan petunjuk akal. Adapun fungsi Hadist terhadap Al-Qur‟an yaitu untuk menetapkan hukum yang terdapat di dalam Al-Qur‟an yang bertujuan untuk menunjukkan bahwa masalah-masalah yang terdapat di dalam Al-Qur‟an dan Sunnah itu sangat penting untuk diimani, dijalankan dan dijadikan pedoman dasar oleh setiap muslim. AsSunnah memiliki fungsi sebagai bayan
(penjelas) atau penafsir yang dapat
mengungkapkan tujuan dan maksud-maksud ayat yang terdapat di dalam AlQur‟an. Meskipun terdapat banyak sekali perbedaan dalam memahami dan menafsirkan Hadist, namun yang terpenting adalah kita sebagai umat Islam tetap berpegang teguh pada ajaran Agama Islam dan senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Kami sebagai penulis pasti memiliki banyak kekurangan dalam menyampaikan materi karena keterbatasan ilmu yang kami miliki. Oleh karena itu kami mohon maaf atas segala khilaf dalam penulisan atau penyampaian materi. Kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan makalah yang kami susun ini.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur‟an terjemah. 2. Thohari, Chamim. Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam Kedua. Publish by http://bakulbuku.com 3. Al-Jauzi, Ibnu Qayyim. I’lam al - Muwaqi’in. Matba‟ah al-Sa‟adah, Mesir, Jilid 2, 1955. 4. Hamadah, Abbas Mutawali. As-Sunnah Al-Nabawiyah wa Makanatuha fi Tasyri’ . Dar Al-Qoumiyah Al-Nasyr, Kairo, 1965. 5. Hasyim, Ahmad Umar. Al-Sunnah al-Nabawiyah wa Ulumuha. Maktabah Gharib, t.tp. t.t. 6. Ibnu Hanbal, Imam Abdullah Ahmad. Musnad Ahmad bin Hanbal. AlMaktab Al-Islamiy, Beirut, t.t. 7. Zahrah, Muhammad Abu. Ushul Fiqh. Dar Al-Fikr, t.t. t.th. 8. Muhyiddin, Ahmad Zaki. Sumber-Sumber Hukum Islam. Diakses melalui www.pasrujambe.blogspot.com
18