APLIKASI FITOFARMAKA, PROBIOTIK, DAN IMUNOSTIMULAN TERHADAP IKAN LELE YANG DIINFEKSI Aeromonas Hydrophila
Disusun oleh : Heru Ahdiyaka S
J3H215076
TEKNOLOGI PRODUKSI DAN MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2017
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Bakteri Aeromonas hydrophila merupakan penyebab penyakit bercak merah atau disebut juga Motile Aeromonas Septicemia (MAS) yang sering menyerang ikan air tawar dan menginfeksi semua umur. MAS merupakan penyakit bakterial yang bersifat akut, menginfeksi semua umur dan semua jenis ikan air tawar, dapat mengakibatkan kematian hingga 100%, dan sering menimbulkan kerugian yang sangat signifikan. Bakteri ini termasuk patogen oportunistik yang hampir selalu berada di air (Kamiso dan Triyanto 1993). Berbagai cara telah berhasil dilakukan untuk mengendalikan infeksi Bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan baik secara kuratif (pengobatan) maupun preventif (pencegahan). Penggunaan antibiotik dan bahan kimia dapat digunakan
untuk
menanggulangi
bakteri
Aeromonas
hydrophila,
tetapi
penggunaan antibiotik jika digunakan secara terus menerus akan menyebabkan resistensi bakteri-bakteri patogen terhadap antibiotik yang digunakan. Penggunaan bahan kimia juga memiliki dampak yang kurang baik karena dapat mencemari lingkungan. Penggunaan fitofarmaka merupakan salah satu alternatif untuk mengendalikan infeksi Aeromonas hydrophila karena terbuat dari bahan herbal dan jauh dari bahan-bahan kimia yang dapat meninggalkan residu pada tubuh ikan. Fitofarmaka adalah sediaan obat bahan alam yang telah dibuktikan keamanan dan khasiatnya secara ilmiah dengan uji praklinik dan uji klinik, bahan baku dan produk jadinya telah di standarisasi. 1.2 Tujuan Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui keefektifan bahan fitofarmaka terhadap infeksi bakteri Aeromonas hydhrophila.
II. METODOLOGI
2.1 Waktu dan Tempat Praktikum Aplikasi Fitofarmaka, Probiotik, dan Imunostimulan terhadap Ikan Lele yang Diinfeksi Aeromonas hydrophila ini dilakukan pada selama empat minggu, yaitu pada hari Jumat tanggal 21 April 2017 s.d. Sabtu, 13 Mei 2017 . Persiapan wadah dan penebaran ikan lele dilakukan pada hari Jumat tanggal 21 April 2017 dan Kamis 27 April 2017. Pembuatan simplisia fitofarmakan dilakukan pada hari seminggu sebelumnya. Ekstrasi fitofarmaka, pembuatan pakan fitofarmaka, serta penyuntikan Aeromonas hydrophila dilakukan pada hari Jumat tanggal 28 April 2017. Pemeliharaan ikan infeksi dilakukan selama dua minggu, yaitu pada hari Sabtu tanggal 29 April 2017 s.d. Jumat, 12 Mei 2017. Pemanenan dilakukan pada hari Sabtu 13 Mei 2017. Ekstrasi fitofarmakan dan pembuatan pakan fitofarmaka bertempat di Laboratorium CA BIO 2. Penyuntikan, pemeliharaan dan pemanenan bertempat di Laboratorium Lapang Perikanan Diploma IPB.
2.2 Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam pembuatan simplisia, ekstrasi fitofarmaka dan pembuatan pakan fitofarmaka antara lain blender, oven, hot plate, gelas ukur, pelet ikan lele, putih telur, akuades. Alat dan bahan yang digunakan pada penyuntikan Aeromonas hydrophila, pemeliharaan dan pemananen ikan lele terinfeksi adalah akuarium, set aerasi syringe, biakan Aeromonas hydrophila, baskom, seser.
2.3 Prosedur Kerja 2.3.1 Pembuatan dan Ekstrasi Fitofarmaka 2.3.1.1 Pembuatan Simplisia Tanaman fitofarmaka disiapkan terlebih dahulu. Kemudian tanaman dikeringkan. Pengeringan dapat dengan dua cara, yaitu dijemur tidak langsung di bawah sinar matahari atau dipanaskan dengan oven pada suhu dan wkatu tertentu. Tanaman yang sudah kering diblender agar bentuknya menjadi serbuk. Selain
blender, dapat digunakan mesin penepung agar tanaman menjadi serbuk atau simplisia yang sudah siap untuk dipakai. 2.3.1.2 Ektraksi Fitofarmaka dan Pembuatan Pakan Fitofarmaka Alat dan bahan yang akan digunakan dipersiapkan terlebih dahulu. Simplisia ditimbang sesuai dosis yang dibutuhkan. Setelah ditimbang, simplisia dimasukan ke dalam gelas piala berisi 30 ml akuades kemudia diaduk dengan menggunakan sudip. Setelah itu, gelas piala berisi simplisia yang dilarutkan dihomogenkan dengan hotplate hingga larutan tersisa kurang lebih 10-15 ml. Setelah itu, larutan fitofarmaka diangkat dan didingkan. Kemudia larutan fitofarmaka disaring dengan kain strimin dan diambil sarinya. Lalu larutan dibagi menjadi dua, untuk bagian yang pertama ditambahkan putih telur sebanyak dua ujung sendok atau 3% dari jumlah larutan. Setelah itu larutan diaduk dan kemudian ditebar ke dalam baki secara merata. Kemudia pelet ikan yang sebelumnya sudah ditimbang jumlahnya ditebar pada baki yang telat ditebari sari fitofarmaka. Pelet diaduk hingga merata dan dikipas-kipas agar tidak lembab kemudian dimasukkan ke dalam plastik tahan panas untuk stok pakan selama dua minggu. 2.3.2 Persiapan Wadah dan Ikan Uji Langkah pertama yang dilakukan dalam persiapan akuarium budidaya pemeliharaan ikan lele adalah akuarium dan peralatan dibersihkan dengan desinfektan menggunakan garam ikan. Setelah diberikan desinfektan, akuarium dan peralatan dibilas dengan air bersih. Selanjutnya, akuarium dikeringkan dan aerasi di-setting. Berikutnya, akuarium diisi air dengan ketinggian 25 cm. Kemudian selang 6 hari ikan ditebar sebanyak 10 ekor.
2.3.3 Uji in vivo Penyuntikan dilakukan pada hari yang sama dengan pembuatan pakan. Bakteri yang digunakan adalah Aeromonas hydrophila dengan dosis 0,1 ml/ekor dan menggunakan metode injeksi intramuscular. Kemudian ikan dipelihara selama dua minggudengan pemberian pakan fitofarmaka secara ad satiation tiga kali sehari. Gejala-gejala klinis yang muncul pada ikan diamati, dicatat dan
didokumentasi, selain itu dilakukan nekropsi apabila ada ikan yang mati. Ikan dipanen setelah enam haru dan dilakukan nekropsi serta didokumentasikan.
2.3.4 Gambar alur praktek
Tanggal 21/04/17 -
27/04/17 28/04/17
13/05/17
Tanggal 21 April: Persiapan Wadah Tanggal 27 April: Penebaran Ikan Uji Tanggal 28 April: Ekstrasi fitofarmaka, coating pakan, dan Uji in vivo Tanggal 29 April – 12 Mei: Pemeliharaan Ikan Tanggal 13 Mei: Panen
2.3.5 Parameter yang diuji 2.3.5.1 Jumlah Konsumsi Pakan Tingkat konsumsi pakan adalah jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ikan, dihitung dari total pakan yang diberikan dikurangi dengan total sisa pakan yang tidak dikonsumsi selama masa pemeliharaan (Kandida 2013). Jumlah konsumsi pakan dapat dihitung menggunakan rumus berikut: JKP = ∑ Pakan sediaan - ∑ Pakan yang tidak dimakan
2.3.5.2 Survival Rate Tingkat kelangsungan hidup (SR) dihitung dengan menggunakan ru,us Effendie (1997) sebagai berikut: SR = N0/Nt x 100% Dimana: N0: Populasi awal dan Nt: Populasi akhir.
2.3.5.3 Gejala Klinis Gejala klinis yang dialami oleh ikan yang akibat oleh bakteri Aeromonas hydrophila, salah satu contohnya adalah terdapatnya borok atau ulcer di bagian tubuh, expothalmia (mata menonjol), sirip geripis, anorexia (kurangnya nafsu makan), sedangkan pada bagian organ dalam warna nya memucat atau terdapat cairan lain. Selain gelaja klinis perilaku ikan selama pemeliharaan pun diperhatikan, seperti nafsu makan dan respon terhadap pakan yang diberikan.
2.3.6 Rancangan Perlakuan Tabel 1 Rancangan perlakuan Kelompok
Perlakuan
1
Mengkudu (C)
2
Bawang Putih & Meniran (C)
3
Vitamin C (A)
4
Probiotik (C)
5
Daun Sirih (B)
6
Daun Jambu Biji &Temulawak (B)
Kontrol positif
+
Kontrol negatif
-
Keterangan: A: Pencegahan, B: Pengobatan, C: Pencegahan dan Pengobatan. +: Disuntik bakteri A. hydrophila, -: Tidak disuntik bakteri. Pelakuan pencegahan berarti pakan perlakuan diberikan pada minggu pertama pemeliharaan baru kemudian ikan diinfeksikan bakteri dan diberi pakan biasa pada minggu selanjutnya. Perlakukan pengobatan berarti ika
disuntik
terlebih dahulu kemudian dipelihara selama 2 minggu dengan diberikan pakan perlakuan. Terakhir, perlakuan percegahan dan pengobatan berarti ikan diberi pakan perlakuan pada minggu pertama kemudian ikan disuntik lalu diberikan pakan perlakuan kembali untuk minggu selanjutnya.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil Berikut ini merupakan hasil dari Praktikum Aplikasi Fitofarmaka, Probiotik, dan Imunostimulan terhadap Ikan Lele yang diinfeksi Aeromonas hydrophila Tabel 1 Nilai SR ikan perlakuan, kontrol positif , dan kontrol negatif Kelompok 1 2 3 4 5 6 Kontrol (+) Pengobatan
Perlakuan Mengkudu (5 ppt) Bawang Putih + Meniran (20 ppt) Vitamin C (0,25 ppt) Probiotik (3%) Daun Sirih ( 2 ppt) Daun Jambu Biji + Temulawak (20 ppt) -
SR 100% 90% 0% 30% 100% 0% 0%
Kontrol (+) Pencegahan Kontrol (-)
-
0%
-
90%
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada Tabel 1 diketahui SSR tertinggi terdapat pada perlakuan mengkudu dan daun sirih. Sedangkan SR terendah terdapat pada perlakuan vitaminc, daun jambu biji dan temulawak, serta kontrol positif. Tabel 2 JKP ikan perlakuan, kontrol positif , dan kontrol negatif Kelompok
Perlakuan
1 2
Mengkudu (5 ppt) Bawang Putih + Meniran (20 ppt) Vitamin C (0,25 ppt) Probiotik (3%) Daun Sirih ( 2 ppt) Daun Jambu Biji + Temulawak (20 ppt) -
3 4 5 6
Kontrol (+) Kontrol (+) Kontrol (-) Keterangan: + = Respon Pakan Rendah ++ = Respon Pakan Sedang +++ = Respon Pakan Tinggi
Respon Pakan ++ +++
Jumlah konsumsi pakan (gram) 64 87,63
+ +++ +++ +
28 90,5
+ + +++
56 49 98
5
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada Tabel 2 diketahui jumlah konsumsi antara JKP tertinggi terdapat pada perlakuan kontrol negatif dan probiotik, yaitu 98 gram dan 90,5 gram. Sedangkan JKP terendah terdapat pada perlakuan daun jambu biji dan temulawak, yaitu 5 gram. Tabel 4 Gejala klinis ikan perlakuan, kontrol positif , dan kontrol negatif Kelompok 1
Perlakuan Mengkudu (5 ppt)
Gejala klinis Bekas suntikan terdapat borok, ikan terlihat lemas tapi masih bergerak.
2
Bawang Putih + Meniran (20 ppt)
Borok/ulcer sisi yang disuntik bakteri AH, sirip geripis, beberapa ikan perutnya mengembung, berlendir banyak, kulit bercak-bercak keputihan
3
Vitamin C (0,25 ppt)
Memiliki luka borok pada bagian dekat sirip dorsal bekas suntikan, warna hati memucat, perut membengkak, sirip geripis.
4
Probiotik (3%)
Bercak putih, Sirip gripis
5
Daun Sirih ( 2 ppt)
Dua hari setelah penyuntikan terdapat borok pada bekas suntikan
Gambar
Lanjutan Tabel 3 Kelompok 6
Perlakuan
Gejala klinis
Gambar
Daun Jambu Biji Terdapat ulcer pada + Temulawak (20 bekas suntikan. ppt) Perut ikan menggembung. Terdapat cairan kuning ketika dibedah
Kontrol (+) Pengobatan
-
Nafsu makan rendah, borok pada bekas suntikan tidak menutup
Kontrol (+) Pencegahan
-
Kurang respons terhadap pakan, gerak lamban, sirip gripis
Kontrol (-)
-
Agresif,respons terhadap pakan kuat, berenang aktif
Berdasarkan hasil yang didapatkan pada Tabel 3diketahui gelaja klinis yang ditimbulkan antara lain borok pada bekas suntikan, bercak putih, sirip geripis, dan perut menggembung. Selain itu adapula beberapa ikan yang organ dalamnya memucat dan terdapat cairan kuning ketika dibedah. Gelaja lain yang muncul adalah nafsu makan ikan yang rendah, respon terhadap paka yang rendah, serta ikan yang bergerak lemas. Namun, ikan kontrol negatif masih tetap normal.
3.2 Pembahasan Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk bakteri gram negatif, dimana mempunyai karakteristik berbentuk batang pendek, bersifat aerob dan fakultatif anaerob, tidak berspora, motil, mempunyai satu flagel, hidup pada kisaran suhu 25-300C. Bakteri Aeromonas hydrophyla sangat mempengaruhi usaha budidaya ikan air tawar dan seringkali menimbulkan wabah penyakit dengan tingkat kematian yang tinggi (80 – 100 %) dalam kurun waktu yang singkat (1 – 2 minggu). Sehingga sangat merugikan petani ikan dalam usaha budidaya ikan (Lukistyowati 2012). Aeromonas hydrophila memiliki kemampuan osmoregulasi yang tinggi dimana mampu bertahan hidup pada perairan tawar, perairan payau dan laut yang memiliki kadar garam tinggi dengan penyebaran melalui air, kotoran burung, saluran pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil (Mangunwardoyo 2010). Bakteri Aeromonas hidrophyla termasuk patogen oportunistik yang hampir selalu terdapat di air dan seringkali menimbulkan penyakit apabila ikan dalam kondisi yang kurang baik. Bakteri aeromonas hydrophila memiliki kemampuan osmoregulasi yang tinggi dimana mampu bertahan hidup pada perairan tawar, perairan payau dan laut yang memiliki kadar garam tingg dengan penyebaran melalui air, kotoran burung, saluran pencernaan hewan darat dan hewan amfibi serta reptil (Mangunwardoyo 2010). Bakteri Aeromonas hydrophila adalah jenis bakteri yang bersifat patogen dan dapat menyebabkan penyakit sistemik serta mengakibatkan kematian secara masal. Bakteri Aeromonas hydrophila ini seringkali mewabah di Asia Tenggara sampai sekarang. Salah satu penyakit yang dapat menyerang ikan air tawar baik ikan hias atau pun ikan konsumsi dan dapat mematikan sampai 100% ikan adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi bakteri Aeromonas hydrophila, dengan gejala klinis berupa luka dibagian tubuh ikan dan bakteri ini menyerang semua umur dan hampir semua komuditas perikanan yang ada di Indonesia, khususnya di Jawa Barat bahkan menjadi wabah mematikan pada ikan air tawar dan menyebabkan kerugian yang sangat besar (Kamiso 1993).
Aeromonas hydrophila merupakan bakteri yang secara normal ditemukan dalam air tawar atau pada ikan budidaya. Infeksi Aeromonas hydrophila dapat terjadi akibat perubahan kondisi lingkungan, stres, perubahan temperatur air yang terkontaminasi dan ketika host (inang) tersebut telah terinfeksi oleh virus, bakteri atau parasit lainnya (infeksi sekunder), oleh kerena itu bakteri ini disebut dengan bakteri yang bersifat patogen oportunistik (Dooley 1985). Penularan bakteri Aeromonas hydrophila sangat cepat melalui perantara air, kontak bagian tubuh ikan, atau peralatan budidaya yang tercemar/terkontaminasi bakteri. Bakteri ini bersifat patogen, menyebar secara cepat pada padat penebaran yang tinggi dan dapat mengakibatkan kematian benih sampai 100% (Kabata 1985). Penelitian tentang penggunaan ekstrak fitofarmaka telah banyak dilakukan dalam kegiatan akuakultur untuk mengendalikan penyakit pada ikan. Penelitian ini menggunakan simplisia rimpang temulawak yang dicampurkan dalam pakan. Penggunaan fitofarmaka yang dicampurkan ke pakan yang telah dibentuk ulang dianggap lebih praktis dalam pemberiannya pada ikan karena dapat disimpan dalam jangka waktu yang relatif lama dan dapat digunakan oleh sejumlah ikan (Sartika 2011). Menurut Sartika (2011) gejala awal dari terserang infeksi A.hydrophila adalah ikan tidak nafsu makan, berada di permukaan air dengan posisi vertikal. Faktor yang mempengaruhi penurunan nafsu makan diduga ikan stres sehingga respon saraf bekerja untuk meningkatkan sistem imun tubuh yang memungkinkan terjadinya gangguan fisiologis ikan. Ikan yang terinfeksi bakteri aeromonas hydrophila cara bergerak seekor ikan yang tidak sehat bisa lebih lambat atau lebih cepat dari biasanya, berenang kian-kemari secara cepat, berputar-putar, menyusuri tepi, rotating atau berenang dengan perut diatas merupakan tanda fatal. Penyebabnya bisa karena adanya suatu peradangan dan penyumbatan pembuluh darah, atau suatu racun(Yuasa et al. 2008). Pemberian ekstrak temulawak efektif untuk mencegah dan juga dapat menyembuhkan
peradangan
yang
terbentuk
karena
penyuntikan
atau
penginfeksian dengan A. hydrophila. Bahan aktif yang dapat menyembuhkan peradangan antara lain flavonoid yang terkandung pada temulawak, disamping
berfungsi mengurangi pembekuan darah, flavonoid juga dapat bekerja meningkatkan antibodi tubuh ikan, sehingga daya tahan tubuh ikan saat diinfeksi bakteri sangat baik dan tidak menunjukkan kelainan klinis. Mekanisme kerja bahan aktif pada temulawak dilakukan dengan cara mendenaturasi protein dan merusak membran sel bakteri dengan cara melarutkan lemak yang terdapat pada dinding sel, senyawa ini mampu melakukan migrasi dari fase cair ke fase lemak. Terjadinya kerusakan pada membran sel mengakibatkan terhambatnya aktifitas dan biosintesa enzim-enzim spesifik yang diperlukan dalam reaksi metabolisme dan kondisi ini pada akhirnya menyebabkan kematian pada bakteri (Mariyono dan Sundana 2002). Dengan meningkatkan produksi interferon dan aktifitas fagositik sel secara alami, kandungan kimia utama temulawak bersifat anti mikroba adalah fenol dan senyawa fenoli, kurkumin adalah suatu persenyawaan fenolitik yang makanisme kerjanya sebagai anti mikroba menyatakan bahwa zat kurkumin mempunyai khasiat anti bakteri yang dapat merangsang dinding kantong empedu sehingga dapat
memperlancar
metabolisme
lemak,
anti
peradangan,
antioksidan,
antibakteri, dan juga dapat digunakan untuk meningkatkan kekebalan tubuh (Darwis 1991). Zat Kurkumin pada temulawak berfungsi untuk meningkatkan nafsu makan dan berperan meningkatkan kerja organ pencernaan, merangsang dinding empedu mengeluarkan
cairan
dan
merangsang keluarnya
getah
pankreas
yang
mengandung enzim amilase, lipase dan protease untuk meningkatkan pencernaan bahan pakan karbohidrat, lemak dan protein (Sastroamidjojo, 2001). Antibakteri akan dapat melisiskan racun yang menempel pada dinding usus, sehingga penyerapan zat nutrisi menjadi lebih baik dan dapat memicu pertumbuhan (Samsundari, 2006). Dosis dan kandungan kurkumin serta minyak atsiri dalam temulawak berfungsi sebagai anti biotik, juga dapat menetralkan racun, meningkatkan sekresi empedu, sehingga dapat meningkatkan nafsu makan pada ikan uji, hal ini karena kurkumin dan minyak atsiri dapat memperbaiki kerja sistem pencernaan dan digunakan sebagai bahan pemacu pertumbuhan dan meningkatkan daya cerna (Setianingrum, 1999). Koesdarto (2001) menyatakan bahwa meningkatnya pertumbuhan didukung dengan kesehatan yang baik pada
ikan dan akan meningkatkan efisiensi penyerapan zat makanan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan produksi yang ditunjukkan dengan pertambahan bobot. Menurut Supriadi dan Taufik (1983), kisaran suhu yang baik untuk produksi antibodi adalah 25-27oC. Jika suatu perairan dengan O2 terlarut dibawah 4 ppm masih dapat ditolerir, tetapi nafsu makan ikan menjadi berkurang sehinga pertumbuhan menjadi lambat. Menurut Boyd (1979) kadar amoniak yang aman bagi ikan dan organisme adalah kurang dari 1 ppm. Naiknya kadar amoniak disebabkan dari hasil metabolisme dan penumukan sisa pakan yang ada pada wadah pemeliharaan, sisa pakan tidak dapat terurai sehingga terakumulasi didalam wadah dan lama kelamaan konsentrasi amoniak naik dan oksigen berkurang. Haffifudin (2004) menyatakan kandungan amoniak yang normal untuk kehidupan ikan berkisar pada 1-1,5 ppm. Daya racun akan meningkat seiring dengan menurunnya pH dan oksigen terlarut yang rendah. Bahan obat alternatif yang dapat digunakan untuk menanggulangi penyakit Motil Aeromonas septicemia (MAS) adalah bagian daun dari tumbuhan jambu biji (Psidium guajava L.). Hasil skrining fitokimia, daun jambu biji mengandung metabolit sekunder, terdiri dari tanin, polifenolat, flavonoid, monoterpenoid, siskulterpen, alkaloid, kuinon dan saponin (Kurniawati, 2006). Komponen utama dari daun jambu biji adalah tanin yang besarnya mencapai 9-12% (Depkes, 1989). Menurut Masduki (1996) dalam Ajizah (2004) tanin bersifat antibakteri dengan cara mempresipitasi protein. Efek antimikroba tanin melalui reaksi dengan membran sel, inaktivasi enzim, destruksi atau inaktivasi fungsi materi genetik. Alkaloid, flavonoid dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus (Ahmad, 1986 dalam ajizah, 2004). Saponin termasuk golongan senyawa triterpenoid dapat digunakan sebagai zat antimikroba (Musalam, 2001). Menurut Brock and Mardigan (1994) keefektifan senyawa antibakteri tergantung dari jenis bakteri dan karakteristik bakteri. Bakteri Aeromonas hydrophila termasuk gram negatif, oksidasi positif dan mampu memfermentasi beberapa jenis gula, seperti glukosa, fruktosa, maltosa dan trehalosa. Sejauh ini belum diketahui potensi atau efektifitas ekstrak daun jambu biji sebagai antibakteri terhadap bakteri Aeromonas hydrophila yang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri lainnya. Maka
dari itu perlu dilakukan penelitian mengenai potensi ekstrak daun jambu biji sebagai antibakteri untuk bakteri Aeromonas hydrophila sebagai penyebab penyakit MAS pada ikan air tawar lainnya. Terlihat semakin tinggi konsentrasi, kematian benih semakin tinggi. Hal ini terjadi karena ekstrak daun biji mengandung senyawa aktif sebagai antimikroba, namun dalam konsentrasi yang tinggi dapat meracuni benih gurami. Senyawa antimikroba yang bersifat racun bagi ikan jika dalam konsentrasi tinggi adalah saponin. Sebagaimana pendapat Anonim (2009), dalam jumlah besar saponin bersifat toksik (racun) dan mengancam kehidupan untuk spesies hewan tertentu. Saponin pada konsentrasi yang tinggi terasa pahit, sehingga mengurangi palabilitas terhadap pakan. Pada hewan saponin dapat menghambat aktifitas otot polos (Departement of Animal Science, 2009). Menurut Oey (1989) saponin dapat membentuk senyawa busa, dapat menghemolisis sel darah merah, merupakan racun kuat untuk ikan dan amfibi. Pada praktikum yang dilakukan dapat diketahui bahwa ikan dengan perlakuan daun jambu biji dan temulawak memiliki SR dan JKP terendah. Hal ini disebabkan karena ikan sudah mati semua pada hari pemeliharaan ke empat. Kematian ini dapat disebabkan karena biakan bakteri itu sendiri atau karena kualitas air yang buruk sehingga tidak dapat mendukung ikan yang sudah terinfeksi untuk bertahan hidup.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan Berdasarkan praktikum yang sudah dilakukan bahan fitofarmaka ekstrak daun jambu dan temulawak terbilang tidak efektif hal tersebut didasarkan dari hasil survival rate yang menunjukan hasil 0% pada hari ke dua. Selain itu faktor kepadatan bakteri dan kualitas air sangat memperngaruhi tingkat kelangsungan hidup lele. 4.2 Saran Diharapkan pada praktikum-praktikum berikutnya bahan yang digunakan sebagai bahan pengobatan lebih banyak lagi. Hal tersebut dimaksudkan agar praktikan lebih memahami dosis dan bahan yang lebih efektif
DAFTAR PUSTAKA Ajizah, A. 2004. Sensitivitas Salmonella typhymurium Terhadap Ekstrak daun Jambu Biji (Psidium guajava L.). Bioscientiae. Vol I (1): 45-73 Al-Fatlawy, H. N. K. and Hazim A. Al-Hadrawy. 2014. Isolation and characterization of A. hydrophila from the Al-Jadryia river in Baghdad (Iraq). American Journal of Educational Research. Vol 2(8): 658-662. Brock, T.D., and Mardigan M.T. 1994. Biology of Microorganism. Fifth Edition. New York. Prentice-Hall International Cipriano, R.C. 2001. Aeromonas hydrophila and Motile Aeromonand Septicemias of Fish. Disease Leaflet 68. Washingron DC. 20 hlm. Darwis Sn. A.B., N.M., Indo dan Hasiyah, S. 1991. Tanaman Obat Famili Zingiberaceae. Badan Penelitan dan Pengembangan Pertanian Pusat penelitan dan Pengembangan Tanaman Industri, Bogor. 37 hal. Effendie, M.I. 1997. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara: Yogyakarta. Ghufran, M. & Kordi, K. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Bina Adiaksa Rineka Cipta: Jakarta. Hafifudin, 2004. Potensi antibakteri daun kirinyuh (Choromolaena odorata) untuk pengobatan penyakit cacar pada ikan gurami (Osphronemous gouramy) yang disebabkan bakteri Aeromonas hydrophila. [Skripsi]. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 53 hal. Kabata, Z. 1985. Parasites and Disease of Fish Cultured in the Tropics. London and Philadelphia: Taylor and Fancis Press. Kamiso dan Triyanto. 1993. Sistem Pertahanan dan Diagnosis Serologi Penyakit Ikan. BLPP Ciawi. Bogor. Kandida, P.F. 2013. Pengaruh Perbedaan Protein Pakan dengan Penambahan Protein Sel Tunggal dari Produsi MSG terhadap Pertumbuhan Nila (Oreochromis sp.) pada Salinitas 15ppt. Journal of Aquaculture Management and Technology. Vol 2 (1): 25-37. Karunasagar. 1991. Immunological Response Indian major Carps to Eeromonas Hydhrophila vaccine. Journal of Fish Desease, 14:413-417. Koesdarto, S. 2001. Model Pengendalian Siklus Infeksi Toxocariasis dengan Fraksinasi Minyak Atsiri Rimpang Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) di Pulau Madura. J. Penelitian Media eksakta. Vol. 2(1):17-21. Kord, K.M.G. 2004. Penanggulangan Hama dan Penyakit Ikan. Rineka Cipta dan Bina Adiaksara. Jakarta. Kuby J. 1994. Immunology 2nd edition. W. H. Freeman and Company: New York. Lukistyowati, I dan Kurniasih. 2011. Kelangsungan Hidup Ikan Mas (Cyprinus carpio L) yang diberi Pakan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) dan di Infeksi Aeromonas hydrophila. Jurnal Perikanan dan Kelautan. Vol 16(1): 144-160.
Mangunwardoyo W, Ismayasari R, Riani E. 2010. Uji Patogenisitas dan Virulensi Aeromonas hydrophila Stanier pada Ikan Nila (Oreochromis niloticus Lin.). Postulat Koch. Jurnal Riset Akuakultur. Vol 5: 245-255. Mariyono dan Sundana. 2002. Teknik pencegahan dan pengobatan penyakit bercak merah pada ikan air tawar yang disebabkan oleh bakteri Aeromonas hydrophila. Buletin Teknik Pertanian. Vol. 7(1):33-36. Prapanza, I dan L.A. Marianto. 2003. Khasiat dan Manfaat Sambiloto: Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Agro Media Pustaka. Jakarta. 60 Hlm. Samsundari, S. 2006. Pengujian Ekstrak Temulawak dan Kunyit Terhadap Resistensi Bakteri Aeromonas hydrophila yang Menyerang Ikan Mas (Cyprinus carpio). Gamma. Volume II Nomor 1. September 2006: 71 – 83. Sartika Y. 2011. Efektivitas fitofarmaka dalam pakan untuk pencegahan infeksi bakteri Aeromonas hydrophila pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor. Sastroamidjojo, S. 2001. Obat Asli Indonesia. Cetakan keenam. Dian Rakyat, Jakarta. Hal 57-63. Setianingrum. 1999. Pengaruh Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) Untuk Meningkatkan Nafsu Makan Pada Penderita Anoreksia Primer. FK UNDIP. Semarang. 57 hal. Yuasa K, Kamaishi T, Hatai K, Bahnnan M, Borisuthpeth P. 2008. Two cases of streptococcal infections of cultured tilapia in Asia. Deseases in Asian Aquaculture VI. pp. 259-268. Kurniawati, A. 2006. Formulasi Gel Antioksidan Ekstrak Daun jambu Biji (Psidium guajava L) dengan Menggunakan Aquapec HV-505. [Skripsi]. Jurusan Farmasi FMIPA Universitas Padjajaran. 64 hlm Musalam, Y. 2001. Pemanfaatan Saponin Biji Teh Pembasmi Hama Udang. Pusat Penelitian Perkebunan Gambung. Kabupaten Bandung Oey Kam Nio, 1989. Zat-zat Toksik yang Secara Alamiah Ada pada Bahan Makanan Nabati. Cermin Dunia Kedokteran No. 38. Jakarta. Hlm 24.
LAMPIRAN
Gambar 1 Simplisia Fitofarmaka
Gambar 3 Ikan ber-ulcer
Gambar 5 Organ dalam Ikan
Gambar 2 Sari Fitofarmaka
Gambar 4 Perut Ikan yang menggembung