PENGANGGARAN PARTISIPATIF: PENELUSURAN BIBLIOGRAPHY ATAS KERANGKA TEORI DAN PRAKTEK
Oleh SUHIRMAN -
Kelompok Keahlian Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Kebijakan – Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembagnan Kebijakan (SAPPK) – Institut Teknologi Bandung (ITB)
-
Koordinator Forum Pengembangan Partisipasi Masyarkat (FPPM)
BANDUNG,
JANUARI 2007
ABSTRAK Tulisan ini mencoba menelusuri literatur mengenai penganggaran dengan fokus pada penganggaran partisipatif yang saat ini menjadi tema penting dalam literatur akademik mengenai penganggaran sekaligus juga telah meluas dalam praktek pemerintahan khususnya di tingkat lokal. Tulisan akan dibagi dalam tiga bagian utama. Pertama, membahas berbagai pendekatan dalam alokasi anggaran baik pendekatan substantif maupun pendekatan prosedural. Kedua, membahas mengenai penganggaran partisipatif dalam teori dan praktek di beberapa negara. Ketiga, membahas mengenai prospek ilmu perencanaan dalam studi mengenai anggaran. Terakhir penulis mengemukakan mengenai prospek dan kekhasan pendekatan ilmu perencanaan terhadap penganggaran yang fokus pada kajian mengenai pembentukan keputusan dan tindakan kolektif dalam alokasi anggaran.
ii
ISI TULISAN 1
PENGANTAR
1
2
TIGA PENDEKATAN DALAM PENGANGGARAN: SUBSTANTIF, PROSEDURAL, DAN POLITIK
1
2.1 2.2 2.3 3
4
5
6
Pendekatan Substantif: Anggaran sebagai allokasi Sumber daya Kuangan secara Efektif dan Efisensi
1
Pendekatan Prosedural: Anggaran Sebagai Mekanisme Untuk Mobilisasi dan Koordinasi
3
Pendekatan Politik: Anggaran sebagai Permainan Kekuasaan
5
ISU-ISU KONTEMPORER: DESENTRALISASI, PERAN WARGA, ETIKA
6
3.1
Desentralisasi Fiskal
6
3.2
Peran Warga dalam Penganggaran
7
3.3
Etika Penganggaran
9
PENGANGGARAN PARTISIPATIF: TEORI DAN PRAKTEK DI BEBERAPA NEGARA
9
4.1
Konteks Teoritis
4.2
Praktek: Asal-usul (Geneologi) dan Persebaran (Geografi)
10
4.3
Kritik dan Isu-isu Kritis
13
PENGANGGARAN PARTISIPATIF: AGENDA PENELITIAN DALAM ILMU PERENCANAAN
9
14
5.1
Mengapa Studi Anggaran?
14
5.2
Pendekatan Eklektik Terhadap Anggaran
15
5.3
Pendekatan Ilmu Perencanaan: Studi Mengenai Tindakan Kolektif dalam Anggaran
16
CATATAN AKHIR
17
iii
1
PENGANTAR
Penganggaran adalah kegiatan untuk menterjemahkan sumber daya keuangan ke dalam tujuan manusia (Wildavsky, 1986). Penganggaran sektor publik menjadi perhatian luas dalam literatur –baik ekonomi, administrasi publik, maupun politik- karena alokasi sumber daya publik merupakan instrumen penting dari pemerintah. Samuelson (2000), menegaskan bahwa salah satu fungsi pemerintah yang tidak dapat dilakukan oleh pasar adalah melakukan redistribusi sumber daya. Salah satu intrumen redistribusi adalah alokasi sumber daya keuangan – melakukan penarikan pajak dan belanja publik-. Tulisan ini mencoba menelusuri literatur mengenai penganggaran dengan fokus pada penganggaran partisipatif yang saat ini menjadi tema penting dalam literatur akademik mengenai penganggaran sekaligus juga telah meluas dalam praktek pemerintahan khususnya di tingkat lokal. Tulisan akan dibagi dalam tiga bagian utama. Pertama, membahas berbagai pendekatan dalam alokasi anggaran baik pendekatan substantif maupun pendekatan prosedural. Kedua, membahas mengenai penganggaran partisipatif dalam teori dan praktek di beberapa negara. Ketiga, membahas mengenai prospek ilmu perencanaan dalam studi mengenai anggaran.
. 2
TIGA PENDEKATAN DALAM PENGANGGARAN: SUBSTANTIF, PROSEDURAL, DAN POLITIK
Sebagai salah satu bentuk sumber daya, maka keuangan merupakan sumber daya yang terbatas dibanding dengan kebutuhan manusia. Karena dana terbatas ketimbang kebutuhan maka, penganggaran merupakan mekanisme untuk mengalokasikan sumber daya. Dalam konteks sumber daya publik yang terbatas maka, tahun 1940, V.O. Key mengemukakan pertanyaan dasar yang disebutnya “masalah dasar penganggaran” yaitu “atas dasar apa kita mengalokasikan X dolar untuk aktivitas A daripada untuk aktivitas B?” (Key, 1940: 1138). Selama hampir 8 dekade para akademisi dan praktisi menjawab “masalah dasar dalam penganggaran” tersebut. Berdasarkan pada penelusuran literatur, paper ini akan memetakan tiga pendekatan utama untuk menjawab pertanyaan V.O. Key yaitu: 1) pendekatan substansi; 2) pendekatan prosedural; dan 3) pendekatan politik. 2.1
Pendekatan Substantif: Anggaran sebagai allokasi Sumber daya Kuangan secara Efektif dan Efisensi
Pendekatan substantif terhadap anggaran telah menjadi perhatian yang cukup lama dari ilmu ekonomi, terutama ekonomi dan keuangan publik. Dalam buku pegangan (hand-book) mengenai Keuangan Publik, Rossen (2006) menempatkan keuangan publik sebagai instrumen pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar (market failure) yaitu: barang publik, eksternalitas, monopoli alamiah dan asimetri informasi.. Sebagai intrumen untuk mengatasi kegagalam pasar maka, merujuk pada Pinto (1980), pendekatan ekonomi publik terhadap sektor publik menekankan pada alokasi anggaran publik sebagai instrumen untuk menyelesaikan tujuan fiskal yang telah ditetapkan agar memenuhi efisensi pasar (market efficiency) dan program publik yang efektif (public program effectiveness). Penganggaran secara esensial dipandang sebagai alat untuk menempatkan sumber daya (resouce allocation) sesuai kebutuhan dengan asumsi bahwa kebutuhan memiliki nature ekonomi dan bahwa alokasi sumber daya yang optimum adalah mungkin. Penganggaran adalah proses mengkalkulasi implikasi fiskal yang relevan dari tiap pilihan alokasi, sekaligus secara eksplisit memformulasikan struktur preferensi dan keinginan masyarakat. Anggaran juga merefleksikan permintaan masyarakat terhadap barang publik dan trade-off dari berbagai pilihan. 1
Menurut Fozzard (2001), teori ekonomi mendekati pertanyaan alokasi sumber daya keuangan dengan mengembangkan beberapa pendekatan –dalam ilmu perencanaan sering disebut sebagai ’rasionalitas ekonomi- yaitu: 1. Pendekatan barang publik dan rasionalisas untuk intervensi publik Pendekatan barang publik dan rasionalitas untuk intervensi publik menyatakan bahwa dalam pasar sempurna, alokasi sumber daya yang efisien akan dicapai dengan kekuatan permintaan (demand) dan penawaran (supply) melalui mekanisme harga, tanpa memerlukan intervensi publik. Intervensi publik diperlukan dalam kasus terjadinya kegagalan pasar, yaitu ketika mekanisme harga menghasilkan alokasi sumber daya yang berbeda dari optimasi sosial (social optimum). Kegagalan pasar terjadi karena beberapa alasan yaitu: barang publik, ekternalitas, monopoli alamiah (natural monopoly) atau informasi yang tidak seimbang (asymmetrical information). Karena itu, menurut Fozzard (2001), dalam pendekatan ini respon dan jumlah belanja publik sangat tergantung pada jenis dan tingkat kegagalan pasar yang hendak dikoreksi oleh sektor publik. 2. Pendekatan utilitas marginal dan efektifitas biaya Ekonomi publik –sebagai salah satu cabang ekonomi klasik- percaya bahwa individuindividu akan mengejar kepuasan marginal (marginal utility) yang sama dari setiap unit pengeluaran untuk mengkonsumsi barang dan jasa. Secara prinsip, pemerintah harus mengalokasikan sumber daya dengan dasar yang sama: ’..hanya jika individu akan mendapatkan kepuasan lebih dari pendapatannya dengan mempertahankan keseimbangan tertentu antara bermacam-macam pengeluaran, maka komunitas akan memikirkan pemerintahannya...’. Prinsip ini mengantarkan alokasi belanja publik pada satu postulat bahwa sumber daya keuangan seharusnya didistribusikan diantara penggunaan yang berbeda yang tingkat kepuasan marjinalnya sama diantara semua orang. 3. Pendekatan efisiensi alokatif dan analisis manfaat-biaya Jika konsep kepuasan sosial (social utility) atau kesejahteraan (welfare) akan digunakan sebagai pedoman untuk alokasi sumber daya oleh pemerintah, maka dua unsur pokok harus dipenuhi. Pertama, kriteria dan mekanisme untuk rekonsiliasi dari perbedaan-perbedaan relatif kepuasan individu untuk kombinasi yang berbeda terhadap barang dan jasa. Dengan kriteria dan mekanisme yang menyeluruh tersebut maka fungsi kepuasan sosial yang menyeluruh dapat dideskripsikan. Kedua, denominator dari kepuasan bersama sebagai dasar untuk perbandingan dari alternatif penggunaan dana publik. Pendekatan efektifitas biaya (cost-effectiveness) tidak dapat menyajikan unsur pertama, dan hanya menyediakan jawaban parsial atas pertanyaan kedua. Solusi menyeluruh ditemukan dalam konsep efisiensi alokatif dan penilaian atas manfaat-biaya, keduaanya digunakan dalam analisis manfaat-biaya (cost-benefit anlaysis). 4. Pendekatan preferensi warga dan pengambilan keputusan kolektif Analisis manfaat-biaya berjalan berdasarkan konstruksi pengukuran teknis terhadap kepuasan sebagai pedoman untuk alokasi sumber daya yang optimum. Pendekatan alternatif lain yang mungkin untuk alokasi sumber daya adalah berdasarkan pada preferensi warga. Secara prinsip, preferensi yang rasional secara ekonomis akan sama dengan fungsi kepuasan warga. Ini membutuhkan mekanisme untuk menghitung dan menjumlahkan seluruh preferensi warga. Dalam pasar, kepuasan dicapai melalui mekanisme harga yang ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran. Penyelesaian ini tidak dapat diterapkan dalam sektor publik. Dalam
2
sektor publik, preferensi warga dicapai melalui konsultasi langsung dan intrumen pemilihan (voting). 5. Pendekatan kesetaraan dan tergeting Selain memperhatikan kegagalan pasar sebagai dasar rasionalitas untuk belanja publik, saat ini diterima secara luas bahwa pengurangan kesenjangan sosial dan kemiskinan merupakan dasar yang absah bagi pemerintah untuk melakukan belanja (Tanzi et al, 1999). Dalam pendekatan ini, metode analisis fokus pada distribusi pendapatan, yang biasanya diukur dari dampak pajak, pengeluaran dan pendapatan rumah tangga diantara kelompok sosial yang berbeda. Pendekatan ini konsisten dengan kerangka konseptual dimana kesetaraan dan kemiskinan didefinisikan dengan ukuran pendapatan. Meskipun karakteristik satu dimensi dari kesetaraan dan kemiskinan berdasarkan pendapatan ini tidak kuat, tetapi ini merupakan fase yang penting dari pemikiran mengenai dampak distribusi dari belanja publik sebagai salah satu kriteria untuk menilai dan mendesain kebijakan pengeluaran. Untuk menjawab seluruh persoalan di atas ( 1 sampai dengan 5), ilmu ekonomi publik telah memanfaatkan dan mengembangkan berbagai metode kunatitatif seperti metode statistik dan ekonometri. 2.2
Pendekatan Prosedural: Anggaran Sebagai Mekanisme Untuk Mobilisasi dan Koordinasi
Meskiput pendekatan substantif menyediakan pedoman untuk pembuatan kebijakan, menurut Fozzard (2001) pendekatan ini tidak menyediakan solusi yang memuaskan untuk menjawab masalah penganggaran. Sumber daya dialokasikan melalui proses pembuatan kebijakan yang melibatkan lembaga-lembaga yang beragam, yang masing-masing merepresentasikan kepentingan tertentu. Karena itu analisis terhadap belanja pemerintah juga harus fokus pada desain kelembagaan sebagai wahana proses dan lembaga-lembaga (aktor) terlibat. Desain kelembagaan –struktur, proses, dan aktor- merupakan interest utama dalam ilmu administrasi publik. Karena itu proses penganggaran telah lama menjadi salah satu lokus kajian administrasi publik. Lebih jauh, merujuk pada Pinto (1986), anggaran publik dalam administrasi publik tidak hanya dipandang sebagai bentuk alokasi untuk pemenuhan kebutuhan masyarakat atas barang publik dan trade-off diantara pilihan. Proses penganggaran juga dapat dipandang sebagai pembentukan strategi untuk koordinasi dan kombinasi sumber daya dalam pola-pola tindakan untuk mencapai tujuan. Dalam kontek ini, penganggaran merupakan alat untuk menilai dan mengontrol pencapaian tujuan secara efektif. Penganggaran tidak dibatasi sebagai pembentukan pola-pola pilihan untuk alokasi tetapi sebagai pola-pola pilihan untuk mobilisasi. Melalui proses ini sumber daya langka dengan beragam segmen masyarakat dilegitimasi tidak hanya berdasarkan rasionalitas ekonomi tetapi juga berdasarkan rasionalitas untuk mencapai pemenuhan tujuan secara efektif. Anggaran bukan hanya mengartikulasikan kebutuhan dan sumber daya dalam batasan optimalitas ekonomi dan konsolidasi sistem ekonomi, tetapi dalam batasan yang lebih luas yaitu integrasi sosial dan politik yang dapat dikelola. Merujuk pada Forester dan Adams (1997), reformasi anggaran yang sukses mensyaratkan perhatian terhadap kontek organisasi, khususnya dinamika tingkah laku manusia. Tujuan dan eksekusi dari reformasi anggaran harus ’cocok’ dengan dinamika tujuan dan kebutuhan organisasi. Lebih jauh, Forester dan Adam berargumen bahwa pelaksanaan anggaran yang sukses membutuhkan perubahan organisasi yang terencana, dimana isu-isu perubahan
3
tingkah laku dan diimplementasikan.
budaya
organisasi
dijawab,
Menurut Fozzard (2001), pendekatan dikelompokkan dalam beberapa pendekatan yaitu:
ketika
reformasi
prosedural
terhadap
direncanakan anggaran
dan dapat
1. Pendekatan penganggaran administratif Pendekatan penganggaran administratif diperkenalkan pada akhir abad 19 dan awal abad 20 sebagai alat bagi legislatif untuk mengontrol keputusan untuk alokasi sumber daya oleh eksekutif. Ini dicapai dengan memisahkan tanggung jawab dan otoritas untuk proses alokasi sumber daya diantara lembaga-lembaga yang berkompeten. Pemisahan yang tegas antara fungsi kebijakan dan fungsi administrasi ditetapkan secara hukum. Fungsi kebijkan adalah tanggung jawab para politisi baik di kabinet maupun di lembaga legislasi, sedangkan yang kedua adalah tanggung jawab birokrat di kementrian keuangan dan lembaga-lembaga belanja. Birokrasi mungkin memberikan nasehat kepada politisi, tetapi keputusan sepenuhnya merupakan tanggung jawab politisi. Kementrian juga bertanggung jawab kepada legislasi untuk pemanfaatan dana secara benar sesuai dengan persepsi legislator, khususnya berkaian dengan alokasi anggaran dan prosesdur administrasi, meskipun aktivitas sehari-hari untuk pengelolaan dana merupakan tanggung jawab birokrasi. Melalui prosedur check and balance ini diasumsikan bahwa anggaran akan teralokasikan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan (Sundelsen, 1938). Meskipun peran legislatif sebagai lembaga yang melakukan kontrol diterima secara luas, tetapi sampai sejauh mana peran kontrol dari lembaga legislatif masih terus menjadi perdebatan. Lebih jauh Silverman (1974) menyatakan bahwa meskipun administrasi publik telah berkontribusi terhadap studi dan reformasi sistem penganggaran publik, peran legislatif dalam proses penganggaran masih memiliki sedikit perhatian. Kritik terhadap pengabaian peran legislatif dalam penganggaran publik bukan hanya didasarkan pada alasan intelektual melainkan juga preferensi nilai. Lebih jauh, studi kontempores yang dilakukan oleh Boordeaux (2006) masih menemukan bahwa satu masalah berulang dalam pelaksanaan reformasi anggaran di tingkat negara dan daerah adalah apakah dan bagaimana melibatkan legislatif di dalam usahausaha tersebut. Boordeaux, menempatkan legislator sebagai aktor penting untuk pelaksanaan reformasi yang efektif terutama berkaitan dengan peranannya untuk melakukan diseminasi informasi yang luas mengenai anggaran publik. 2. Rasionalisme Sejak tahun 1950-an berkembang pendekatan rasionalis yang berusaha untuk menghubungkan kebijakan dengan tujuan spesifik untuk intervensi publik. Kebalikan dari pendekatan administratif –dimana kebijakan merupakan tanggung jwab politisi- rasionalisme percaya bahwa para teknokrat seharsunya terlibat dalam mendefinisikan tujuan melalaui proses analisisis masalah. Sekali tujuan ditetapkan, para teknokrat akan mempunyai cara yang tepat untuk mencapainya dengan melakukan analisis dan mengemukakan strategi-strategi alternatif. Ini meliputi tahapan identifikasi seluruh solusi yang mungkin, menilai kelayakan dan dampaknya, dan menyeleksi pilihan yang dianggap terbaik secara transparan dengan menggunakan kriteria (baik kuantitatif maupun kualitatif). Intervensi sektor publik jadinya dirancang untuk mencapai tujuan kebijakan dengan sedapat mungkin menggunakan sumber daya yang paling efisien. Implementasi kebijakan dimonitor dan dievaluasi untuk menghasilkan umpan balik yang bermanfaat untuk analisis dan formulasi kebijakan lebih lanjut (Patton dan Sawaicki, 1980 dalam Fozzard, 2001).
4
3. Inkrementalisme Berbeda dengan pendekatan rasionalis yang mengejar solusi optimal melalui analisis terhadap kepentingan publik yang luas, Linblom (1979) menyarankan agar pembuat kebijakan menggunakan proses ‘disjointed incrementalism’. Dalam pandangan ini, pembuat kebijakan dihadapkan pada dua hal yaitu: 1) bounded rasionality (keterbatasan pengetahuan) dan 2) kepentingan pribadi atau kelompok. Pandangan ini menganjurkan agar pengambil kebijkan hanya fokus pada isu spesifik –yang informasinya dapat dikumpulkan secara lengkap- dan fokus untuk melakukan reformasi sosial sesuai dengan pentingannnya. Prosedur formal dan informal terus dilakukan untuk menambah pengetahuan dan menyesuaikan kepentingan, Dengan demikian proses pembuatan keputsan dapat dilihat sebagai ‘….produk dari permainan yang melibatkan strategi, keahlian, dan permainan dari kepentingan aktor yang bertingakat sesua dengan aturan main yang disepakati ..”(Jones, 1996 dalam Fozzard 2001). Hasil yang terjadi adalah berupa perubahan inkremental yang fokus pada isu-isu tertentu. 4. Pendekatan pilihan ublik (public choice) Asumsi utama dari teori ‘pilihan publik’adalah bahwa manusi adalah rasional, yaitu ia akan berusaha untuk mengoptimalkan kepuasannya diantara pilihan-pilihan yang tersedia. Sementara itu, pembuat kebijakan tidak memiliki informasi yang lengkap dan tindakan mereka dibatasi oleh peraturan (kraan, 1996). Untuk itu yang perlu dibuat adalah kerangka kerja kelembagaan yang dapat memoderasi berbagai kepentingan dengan aturan main yang adil. Dengan cara pandang ini maka pendekatan pilihan publik dapat membangun teori positif yang dapat menjelaskan tingkah laku dari pembuat kebijakan, interaksi diantara mereka dan implikasinya terhadap outcomes anggaran. Berdasarkan teori ini maka rekomendasi dapat disusun untuk membuat kerangka kelembagaan yang sesuai dengan tujuan dari belanja publik. Dalam perkembangannnya, analisis pilihan publik kemudian diperluas bukan hanya di dalam arena birokrasi tetapi juga di arena politik. 5. Pendekatan principal and agen Anggaran dapat dilihat sebagai transaksi yang diatur oleh kontrak antara ’prinsipal’ (yang memberi mandat) dan agen (yang menyediakan barang dan jasa dengan harga tertentu) (Patashnik, 1996). Kontrak antara principal – agen dapat ditelusuri dalam proses alokasi anggaran yang meliputi: pemilih – legislator; legislator - pemerintah; menteri keuangan – lembaga belanja, menteri – birokrat, dan birokrat senior – pelaksana belanja (Moe, 1984). Kontrak ini dibingkai dan terjadi dalam struktur kelembagaan di berbagai tingkat. Dalam lembaga-lembaga ini anggaran dinegosiasikan, dimonitor dan dilaksanakan (williamson, 1998).
2.3
Pendekatan Politik: Anggaran sebagai Permainan Kekuasaan
Dalam konteks kelembagaan yang lebih luas, proses penganggaran juga dipandang sebagai persoalan politik yang lebih luas dan tidak semata-mata politik dalam pengertian representasi (pemilihan umum), mengutip Aaron Wildavsky (2001) “..all budgeting is about politiks, most politics is about budgeting, and budgeting therefore be understood as part of political game..”. Dengan pendekatan ini maka Wildavsky (1986) mendefinisikan anggaran sebagai “...usaha-usaha untuk mengalokasikan sumber daya keuangan melalui proses politik untuk melayani cara-cara hidup yang berbeda. Dengan definisi ini Wildavsky menempatkan model-model kelembagaan anggaran sebagai subordinasi dari model-model regim politik yaitu: regim pasar, regim sektarian, dan regim hierarkis.
5
Dalam konteks politik, Kelly (2005) mencoba menghubungkan perubahan dukungan publik untuk peranan pemerintah dengan fokus reformasi anggaran–dengan studi kasus di masyarakat Amerika-. Menurut Kelly, ketika masyarakat Amerika percaya bahwa sektor privat lebih dari sektor publik, maka reformasi anggaran dipusatkan pada kontrol biaya dan peningkatan efisiensi. Ketika masyarakat Amerika berbalik pada pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh sektor privat, reformasi anggaran dipusatkan pada program-program efektifitas. Kelly mengklaim bahwa dia memiliki jawaban terhadap pertanyaan V.O. Key tentang teori anggaran yaitu bahwa anggaran adalah teori siklus politik yang didorong oleh perubahan opini publik mengenai peran pemerintah yang pantas. Kaufman (2004), menghubungkan proses anggaran dengan ‘rent seeking’. Terminologi ‘rent-seeking’ merujuk pada kelompok kepentingan tertentu yang berusaha mencari keuntungan khusus dengan sedikit atau tanpa biaya. Karena belanja pemerintah memiliki potensi untuk menciptakan baik biaya maupun keuntungan bagi pembayar pajak, kebijakan fiskal biasanya dipandang sebagai arena utama untuk aktivitas ‘rent-seeking’. Kaufman juga menggarisbawahi strategi dan perbedaan distribusi kepentingan yang berkuasa terhadap pembuatan kebijakan di tingkat kota. Untuk melihat kecenderungan ‘rent-seeking’, Kaufman melakukan studi emprik dengan menggunakan dua gelombang panel data mengenai representasi kelompok kepentingan dan belanja sosial perkotaan untuk menjelaskan validitas dari perbedaan teori-teori ‘rent-seeking’. Studi Kaufman ini mencatat peran kompetisi antara bermacam-macam sektor ekonomi lokal sebagai kekuatan untuk pembentukan dan mobilisasi organisasi kelompok kepentingan. Hagen, Sørensen dan Norli (1996), menunjukkan kecenderungan mengenai studi-studi penetapan anggaran pemerintah saat ini yang lebih banyak menekankan pada proses tawar menawar (bargaining) antara ‘penjaga’ dan ‘advokat’. Pendekatan ini sebelumnya tidak diimplementasikan dalam analisis dan pembentukan model formal untuk proses penganggaran. Hagen dkk menggunakan model Nas untuk menjelaskan kekuasaan dalam dua interpretasi dengan mengestimasi model sejumlah data time seris lintas-sektor dari satu kota di Norwegia. Berdasarkan studinya, Hagen dkk menjelaskan dampak prosedur kelembagaan dalam ’perundingan kekuasaan’(bargaining power). Hagen dkk juga mengoperasikan parameterparameter dari model Nash sebagai variable endogenous, dan mengestimasi dampak dari tahun pemilihan, penganggaran jangka panjang dan tipe managerial dari pembuatan anggaran. Ia menunjukkan bahwa prosedur anggaran dan siklus pemilihan berdampak pada kekuatan berunding dari para negosiator. 3
ISU-ISU KONTEMPORER: DESENTRALISASI, PERAN WARGA, ETIKA
Selain persoalan klasik, isu-isu aktual mengenai anggaran bergeser seiring dengan perkembangan. Literatur mengenai penganggaran saat ini mengulas setidaknya ada 3 isu utama yang berpengaruh pada proses penganggaran yaitu: isu desentralitasi, isu partisipasi warga, dan isu etika. 3.1
Desentralisasi Fiskal
Desentralisasi dapat diartikan sebagai” :..pengalihan kekuasaaan dan/atau wewenang untuk merencanakan, memutuskan, dan/atau mengelola fungsi publik, dari tingkat pemerintah yang lebih tinggi ke tingkat pemerintah yang lebih rendah..”(Diane Conyers, 1990) dalam tingkat tertentu desentralisasi memungkinkan …orang-orang yang berwenang dalam institusi pada tingkat menengah dan atau daerah dipilih secara langsung dan tidak langsung lewat pemungutan suara..” (Manor, 1996). Saat desentralisasi terjadi, dan bila demokratis, pemerintah
6
pusat diminta memainkan peran baru serta membentuk hubungan baru dengan lembaga pemerintahan di tingkat lokal. Saat ini desentralisasi telah dipromosikan dan menjadi praktek hampir semua negara demokratis. Gelombang desentralisasi ini dipercaya telah mengubah relasi antara negara dengan warganya. Meagher (1999) percaya bahwa desentralisasi dapat mendekatkan pemerintah kepada rakyatnya. Lebih jauh -dalam masyarakat yang majemuk secara etnis, regional, agama, dan sejarah- desentralisasi dipercaya dapat menghilangkan kendala dalam pengambilan keputusan, penerimaan publik atas keputusan pemerintah, dan memfasilitasi tindakan dan kerja sama kolektif. Ini terjadi karena kepercayaan yang besar, tindakan kolektif, dan keputusan yang memiliki legitimasi akan diperoleh dalam lingkungan yang lebih homogen. Dalam lingkungan yang benar –misalnya dalam situasi pemerintah transparan dan masyarakat sipil memiliki keleluasaan untuk beroperasi- desentralisasi akan meningkatkan akuntabilitas pegawai pemerintah dan mencegah berbagai bentuk korupsi. Desentralisasi dapat mendorong akuntabilitas dan mengurangi korupsi dalam pemerintahan karena pemerintah lokal lebih dekat dengan warganya, sehingga warga akan lebih hirau dengan tindakan pemerintah daerah (Ostrom, Schroeder, and Wynne 1993). Sebagai dampak dari persaingan antar pemerintah daerah dalam menyediakan barang publik, akan mendorong disiplin dari aparatur pemerintah daerah, karena warga dapat memilih pelayanan publik yang lain. Meskipun janji-janji desentralisasi cukup mengesankan, dalam studi yang dilakukan oleh Levaggi (2002) dan Kohl (2003) yang menghubungkan desentralisasi dengan devolusi fiskal cukup menarik perhatian. Rosella Levaggi (2002) mendiskusikan alokasi belanja pubik diantara pelayanan yang berkompetisi. Beberapa negara seperti Italy menggunakan konsep ‘kendala anggaran berganda’; yaitu pada tingkat tinggi mengeset belanja secara total dan alokasinya antara pelayanan yang berkompetisi.. Ini berbeda dengan negara lain yang hanya mendefinisikan anggaran secara total, dan detail alokasi anggaran di tingkat lokal diserahkan peada pemerintah daerah. Levaggi juga menjelaskan cara-cara yang berbeda dari struktur dan pilihan antara agen yang berkompetisi. Analisis Levaggi menunjukan bahwa anggaran lebih ketat yang terjadi pada kendala anggaran berganda mungkin akan optimal; ini berarti otonomi dalam desentralisasi –dalam konteks alokasi sumber daya keuangan- tidak selalu merupakan alternatif terbaik. Kesimpulan menarik kedua adalah bahwa desentralisasi memang memungkinkan pemerintah pusat untuk memperluas informasi kepada agensi di tingkat lokal, tetapi dalam struktur insentif harus dirancang untuk menghindarkan kolusi diantara aktor nasional dan aktor lokal yang terlibat dalam transaksi. Kohl (2003), pada tahun 1994 melakukan studi empiris di Bolivia. Sebagai bagian dari kecenderungan global, Bolivia melakukan program desentralisasi yang ambisius yaitu bukan hanya mentransfer dana dan kewajiban baru bagi pemerintahan lokal tetapi juga memandatkan penganggaran partisipatif dan pengawasan oleh organisasi lokal. Kohl menyajikan penilaian atas program ini dengan fokus pada desentralisasi terhadap efisensi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan akuntabilitas politik. Kohl menunjukan bahwa pemerintah lokal dengan organisasi grass-root dan organisasi non-pemerintah yang kuat secara relatif berhasil mendorong proses desentralisasi yang demokratis, meskipun desentralisasi tidak mendorong pembangunan ekonomi. Kohl mencatat bahwa di banyak pemerintahan lokal, kebijakan desentralisasi telah menimbulkan perkubuan diantara elit lokal, menguatnya klientelisme, dan desentralisasi korupsi. 3.2
Peran Warga dalam Penganggaran
Andrew dan Jennifer (2007) menyatakan bahwa desentralisasi diusulkan oleh banyak lembaga internasional sebagai strategi untuk meningkatkan partisipasi publik. Organisasi dana 7
seperti World Bank, menstimulasi proses desentralisasi di banyak negara dan berharap ini akan memproposikan pemberdayaan warga, mengurangi korupsi, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Omar Azfar (1999) menyebutkan bahwa partisipasi warga dalam penyedian jasa publik merupakan syarat penting bagi terlaksananya pemerintahan yang baik di tingkat warga. Di sisi lain, partisipasi warga dalam kebijakan alokasi barang publik dan anggaran daerah juga akan lebih efektif di tingkat pemerintahan lokal. Heimans (2002), menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sipil dalam manajemen belanja publik menjanjikan peningkatan outcome sosial dan ekonomi sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga publik. Penganggaran partisipatif tergantung pada tiga komponen stakeholder dalam penganggaran yaitu: pemerintah, masyarakat sipil dan legislatif. Namu keberhasilan program penganggaran partisiatif biasanya terkait dengan komitmen dan kapasitas dari para stakeholders ini. Karena itu Heiman menekankan pentingnya peningkatan kapasitas untuk tiga stakeholdrs yang terlibat dalam penganggaran yang meliputi kapasitas: kelembagaan, mengelola proses, mengelola waktu, dan mengelola aktor yang berperan di dalamnya. Meskipun desentralisasi dan partisipasi warga diterima secara luas sebagai instrumen penting bagai kesejahteraan, banyak studi yang bersikap kritis terhadap kesimpulan tersebut. Andrew dan Jennifer (2007) melakukan analisis komparatif mengenai hubungan antara desentralisasi dan partisipasi di tingkat lokal di Brazil, Jepang Rusia dan Swedia. Analisis regresi multivariat dengan menggunakan data dari Proyek Demokrasi dan Pemerintahan Lokal dilakukan untuk menguji hipotesis mengenai ‘one size fits all’dan ‘diversity in development’. Hasilnya menujukan bahwa hipotesis kedua lebih mendekati kebenaran. Mempersepsi otonomi sebagai memberikan dampak pada keterbukaan dan partisipasi tergantung pada pertimbangan negara. Di Jepang –misalnya- otonomi justru menurunkan kemauan pejabat publik untuk membuka partisipasi publik. Andres dan Jennifer menyajikan data empiris untuk menolak kepercayaan yang meluas bahwa proses desentralisasi akan menghasilkan outcome yang sama tanpa mempertimbangkan konteks negara. Andres dan Jennifer juga memberikan penilaian ktiris kepada para praktisi yang ada dalam tekanan negara dana untuk mengimplementasikan proses desentraliasi tanpa pertimbangan yang matang mengenai konteks dan kekuatan politik di negaranya. Ebdon (2004) mencatat bahwa meskipun didorong oleh para akademisi dan organisasi profesional, partisipasi warga dalam penganggaran partisipatif di tingkat lokal tidak merata. Ebdon melakukan analisis efektivitas mekanisme masukan warga dalam proses anggaran dengan studi kasus di dua kota di Kansas. Kajian ini menyimpulakan bahwa mekanisme masukan dari warga mempunyai efektifitas yang kecil yaitu: hasil yang tidak jelas, kesulitan dalam penerapan, dan kendala politik dan lingkungan. Masukan warga nampaknya hanya memiliki dampak yang kecil terhadap keputusan anggaran meskipun di dua kota tersebut proses partisipasi telah terlembaga. Namun demikian, Ebdon mencatat bahwa mekanisme input warga telah melayani dua tujuan yaitu: pendikan politik warga dan dukungan untuk proposal khusus. Perdebatan mengenai manfaat partisipasi warga dalam penganggaran –yang masih mengundang perdebatan pro dan kontra yang luas- diumpamakan oleh Franklin dan Ebdon (2005) sama dengan perumpamaan orang buta yang menyentuh bermacam-macam bagian dari unta. literatur yang luas menggunakan variable yang beragam tetapi tidak terintegrasi dengan baik. Dengan demikian kita tidak melihat keseluruhan gambar dan hanya menjadikan varibalevarable menjadi memiliki nilai penjelasan yang kecil dan masih sangat sedikit uji sistematik dari berbagai hipotesis untuk area ini. Untuk mengelola kompleksitas yang disebabkan oleh variable yang beragam, Franklin dan Ebdon menyarankan untuk mengetes model sebab-akibat (causal model) dengan empat faktor yang berbeda (struktur, partisipan, proses, dan mekanisme) yang diperkirakan mempengaruhi partisipasi warga. 8
3.3
Etika Penganggaran
Alexander (1999). menganalisis kode etik dalam literatur penganggaran publik untuk menunjukkan kebutuhan akan pentingnya etika dan tanggung jawab bagi para prefesional. Melaui contoh mengenai bagaimana proses pengangaran di tingkat negara dan di tingkat lokal yang dilakukan administrator, Alexander berargumen bahwa sejumlah aktivitas administratif dalam penganggaran masih belum dibahas dalam literatur akademis saat ini. Alexander menyarankan bahwa keputusan penganggaran harus berhubungan dengan pemahaman mengenai bagaimana aktifitas adminitratif tersebut berdampak pada kesejahteraan bersama. Terakhir, Alexander berargumen bahwa pendidikan mengenai anggaran publik harus mempertimbangkan faktor-faktor kelembagaan dan kepentingan publik jangka panjang. Faktor-faktor itu memberi sinyal kepada tindakan adminsitratif dan mempersiapakn administrator anggaran untuk memahami peran dan tanggung jawabnya. Ini berarti, pendidikan mengenai proses anggaran harus sensitif dengan isu-isu etika yang berkembang di masyarakat. 4 4.1
PENGANGGARAN PARTISIPATIF: TEORI DAN PRAKTEK DI BEBERAPA NEGARA Konteks Teoritis
Beberapa penulis mengenai penganggaran partisipatif umumnya berpendapat bahwa penganggaran partisipatif merupakan alternatif bagi model demokrasi liberal (Baiocchi , 2001; Avritzer, 2007; Sauza, 2007; Wainwright, 2003), strategi redistribusi yang demokratis (Santos, 1998; Souza, 2001; Snyder dan Baquero, 2006) dan salah satu model tata pemerintahan partisipatif (Wampler, 2000; Fung dan Wright, 2002) . Avritzer (2007) menyatakan bahwa penganggaran partisipatif merupakan tantangan atas tiga asumsi konsep demokrasi liberal yang bersifat elitis. Pertama, adalah konsep yang meluas dari tradisi demokrasi yang bersifat elitis, bahwa untuk mengkonsolidasi demokrasi maka harus dicegah bentuk-bentuk partisipasi secara langsung. Kedua, ide bahwa bentuk hierarki dari administrasi yang rasional hanya dapat dipenuhi oleh birokrasi yang terisolasi. Ketiga adalah bahwa bentuk-bentuk tindakan kolektif adalah bertentangan dengan mobilisasi dan pelembagaan. Kebalikan dari asumsi di atas Avritzer menyatakakan bahwa -sebagaimana ditunjukan dalam kasus Brazil-, pertama, partisipasi langsung meruapakan strategi yang efektif untuk konsolidasi demokrasi. Kedua, klaim bahwa rasionalitas dapat diperoleh melalui proses diskusi antara kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh birokrasi. Ketiga, hampir seluruh bentuk-bentuk tindakan kolektif dari warga adalah demokratis dan dapat memproduksi rancangan kelembagaan baru yang partisipatif dan cocok dengan lemen budaya baru di dalam komunitas politik. Ketiga konsep tanding dari demokrasi elitis ini disebut oleh Alvritzer sebagai demokrasi deliberatif. Menurut Souza (2007), ada dua mekanisme untuk merancang peningkatan demokrasi deliberatif di Brazil yaitu: penganggaran partisipatif dan komite komunitas. Menurut Souza, meskipun kapasitas pemerintahan lokal tidak sama dalam memperkuat warga, beberapa kemajuan telah dibuat melalui demokrasi deliberatif di tingkat lokal, meskipun keberlanjutan dari eksperimen ini belum jelas Wainwright (2003), menunjukkan bahwa demokrasi liberal yang ditopang oleh ekonomi yang bersifat kapitalistik di banyak negara ternyata gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat. Demokrasi liberal justru dituduh Wainwright sebagai kuda troya bagi kelompok elit kapitalis guna mendapatkan hak-hak istimewa untuk memapankan kepentingan mereka. Dalam demokrasi liberal, mengutip kata-kata Lula –Presiden Brazil- “..banyak orang yang bekerja lima sampai tujuh hari, tetapi mereka tidak dapat makan roti..”Dengan kata lain, demokrasi liberal 9
mendukung ketimpangan pendapatan dan kesengsaraan rakyat. Sebagai alternatifnya Wainwrigt menawarkan ‘demokrasi popular’ yaitu demokrasi yang menempatkan rakyat bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai pengambil kebijakan. Salah satu eksperimen bagi ‘popular democracy’ adalah participatory budgeting yaitu keterlibatan warga dalam alokasi sumber daya keuangan. Wainwright mengidentifikasi faktor kunci bagi keberhasilan popular democracy yaitu: adanya partai politik yang memiliki ideologi progresif, adanya gerakan sosial yang solid, dan kepemimpinan yang memihak. Santos (1998) menghubungkan penganggaran partisipatif dengan redistribusi kekayaan yang adil secara demokratis. Dalam konteks redistribusi kekayaan, Santos menganalisis proses partisipasi anggaran sebagai proses redistribusi kekayaan dengan menggunakan kerangka kerja: efisiensi redistributif, akuntabilitas dan kualitas dari representasi dalam demokrasi partisipatoris dan hubungan antara proses penganggaran partisipatif dengan lembaga legislatif yang memiliki legalitas formal dalam menyetujui anggaran. Souza (2001) berargumen bahwa meskipun beberapa klaim dan hasil berkaitan dengan eksperimen membutuhkan penelitian lebih lanjut, pengalaman partisipasi anggaran di dua kota telah membuat masyarakat miskin yang terabaikan untuk terlibat dalam memutuskan prioritas investasi di dalam komunitasnya. Sedangkan Snyder dan Buquero (2006) menghubungkan penganggaran partisipatif dengan usaha-usaha untuk memecahkan klientelisme dalam proses penganggaran yang menyebabkan kelompok-kelompok miskin tidak memiliki akses untuk terlibat dalam proses penganggaran. Snyder dan Buquero menuduh klientelisme sebagai penyebab utama dari ketimpangan alokasi anggaran. Wampler (2000), menghubungkan penganggaran partisipatif dengan gagasan mengenai tata pemerintahan partisipatoris. Menurut Wampler, demokrasi partisipasi berkaitan dengan dua hal yaitu: 1) desain kelembagaan untuk para aktor dalam membentuk strategi dan pilihan politik dan 2) desain untuk menghubungkan strategi dan pilihan politik para aktor terhadap outcome kebijakan. Secara lebih operasional, Fong dan Wright (2002) mengekplorasi gagasan mengenai Empowered Participatory Governance (EPG) sebagai salah satu model tata pemerintahan yang untuk demokrasi partisipatoris. EPG memiliki tiga karakteristik yaitu: 1) fokus pada isu yang spesifik dan terukur (tangible), 2) pelibatan orang kebanyakan yang bekepentingan dengan isu-isu publik yang akan berdampak pada mereka, dan 3) pengembangan wahana musyawarah untuk memecahkan isu ini. Untuk mendukung kegiatan ini dibutuhkan reformasi kelembagaan yang mendasar yaitu: 1) devolusi dalam pengambilan keputusan kepada unit/kelembagaan lokal yang akan diperkuat –ini adalah salah satu strategi praktis dalam pendalaman demokrasi-; 2) penciptaan keterkaitan tanggung jawab, distribusi sumber daya, dan komunikasi yang menghubungkan unit-unit satu sama lain kepada pihak yang memiliki otoritas formal dan 3) pemanfaatan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mendukung dan membimbing pemecahan masalah secara terdesentralisasi. Berdasarkan karakteristik tersebut, Fong dan Wright memasukan penganggaran partisipatif di Brazil sebagai salah satu penerapan EPG. 4.2
Praktek: Asal-usul (Geneologi) dan Persebaran (Geografi)
Banyak literatur menunjukkan bahwa praktek penganggaran partisipatif yang memenuhi kerangka teoritik – sebagai demokrasi deliberatif, strategi redistribusi, dan tata pemerintahan partisipatif- dapat dilihat di Porto Alegre yaitu salah satu kota di Brazil. Praktek tersebut kemudian menyebar ke kota-kota lain di Brazil terutama di Recife dan Sao Paulo. Penganggaran partisipatif juga menyebar lintas negara ke beberapa negara Amerika Latin (Bolivia dan Argentina) serta ke beberapa kota di Eropa dan Amerika. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh UNDP (2000), saat ini sudah lebih dari 300 pemerintah daerah yang menjalankan perencanaan dan penganggaran partisipatif. Kerangka hukum dan kelembagaan mengenai perencanaan dan penganggaran partisipatif di berbagai negara dapat berbeda-beda. Tetapi secara generik, penganggaran partisipatif dapat 10
diartikan sebagai: “mekanisme (atau proses) melalui mana penduduk secara langsung memutuskan atau berkontribusi terhadap keputusan yang dibuat mengenai semua atau sebagian sumber daya publik (termasuk anggaran) yang tersedia”. Penelusuran terhadap literatur mengenai praktek penganggaran partisipatif di Porto Alegre menunjukkan bahwa penganggaran partisipatif semula merupakan gerakan politik dari partai politik dan gerakan sosial untuk memperdalam demokrasi dan meredistribusi kekayaan secara adil dengan cara-cara yang demokratis (lihat Baiocchi , 2001; Avritzer, 2007; Sauza, 2007; Wainwright, 2003; Santos, 1998; Souza, 2001; Snyder dan Baquero, 2006 dan Wampler, 2000). Menurut Schneider dan Baquero (2006), sampai tahun 1986 –ketika Partai Serikat Pekerja Menang- atas partai politik yang didukung oleh regim militer, keuangan publik di Porto Allegre Brazil masih menghadapi problem struktural. Salah satunya adalah hubungan patron klien dalam alokasi anggaran. Sebagai akibatnya alokasi anggaran tidak sesuai dengan kepentingan publik, melainkan memperkaya kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan. Sebagai akibat situasi di atas, maka alokasi anggaran ditandai dengan korupsi yang tinggi, in-efisiensi, dan tidak legitimate. Problem kemiskinan dan infrastruktur yang kasat mata juga tidak terespon dalam alokasi anggaran. Sebagai akibatnya, tingkat kemiskinan dan kerusakan infrastruktur terus meningkat. Di sisi yang lain, pihak yang kaya juga enggan membayar pajak karena mereka tahu bahwa pajak yang dibayarkan ke negara tidak untuk diredistribusi melainkan digunakan untuk memperkaya pejabat publik, politisi, dan kelompokkelompok yang dekat dengan kekuasaan. Untuk mengatasi masalah ini, sejak tahun 1986, partai politik pemenang pemilu yang baru yaitu –Partai Pekerja- menerapkan inovasi dalam alokasi anggaran yang disebut “participatory budgeting” dalam inovasi ini pemerintah melibatkan kelompok-kelompok masyarakat secara luas –baik yang berbasis ketetanggan maupun yang berbasis isu- untuk terlibat dalam formulasi program pembangunan dan proses-proses alokasi anggaran. Dalam melakukan analisa terhadap praktek penganggaran partisipatif, literatur biasanya melihat dari beberapa perspektif yaitu: 1) menggambarkan kelembagaan untuk penganggaran partisipatif, 2) menggambarkan perluasan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses penganggaran, dan 3) Melihat dampak penganggaran partisipatif terhadap alokasi sumber daya dan tingkat pembayar pajak. 1. Mekanisme kelembagaan penganggaran partisipatif Menurut Jacobi (1999), proses penganggaran partisipatif terdiri atas tiga tahapan penting. Pertama, administrasi perkotaan untuk merancang prioritas investasi dan secara informal mendiskusikannya dengan warga di bagian-bagian kota. Kedua, prioritas dilegitimasi oleh Forum Anggaran Kota, pertemuan formal yang melibatkan wakil warga dari bagian kota. Ketiga, rencana investasi dilaksanakan dengan kontrol dari Forum Warga Kota. Melalui mekanisme ini Melo dkk (2001) berkesimpulan bahwa penganggaran partisipatif adalah salah satu pendekakatan yang secara eksplisit menghubungkan antara proses pembuatan kebijakan kota yang formal dan top-down dengan proses informal dan bottom-up yang dibuat melalui proses negosiasi di tingkat komunitas. Siklus penganggaran partisipatif ini menurut Jacobi (1999) merupakan alat efektif untuk demokratisasi management perkotaan terutama dengan memecahkan pola lama relasi klientelisme, mempromosikan desentraliasi dalam pengambilan keputusan di tingkat kota dan meningkatkan kontrol publik dalam kebijakan investasi perkotaan.
11
2. Perluasan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses penganggaran Berdasarkan penelitian lapangan di Porto Alegre, Schneider dan Baquero (2006)) mekanisme yang terbuka dalam proses penganggaran telah memperluas partisipasi warga dalam proses penyusunan program pembangunan dan alokasi anggaran. Avritzer (2000) menekankan bahwa Penganggaran partisipatif adalah salah satu bentuk musyawarah warga yang telah berhasil mengatasi keterbatasan kelembagaan demokrasi liberal yang elitis saat ini. Dalam kasus Brazil, penganggaran partisipatif telah mengatasi klientelisme dalam kelembagaan poltik dan menyajikan budaya yang lebih demokratis dan egalitarian. Penganggaran partisipatif adalah proses musyawarah yang menjawab jarak antara elit politik dengan masyarakat dan merenovasi budaya publik. Penganggaran partisipatif menyediakan skenario politik dalam bentuk musyawarah warga yang secara langsung menjawab kendala demokrasi di wilayah kota dengan cara mengatasi kekosongan mekanisme kelembagaan dengan cara memperluas budaya warga untuk merespon masalah spesifik. Penganggaran partisipasi adalah contoh yang sangat baik mengenai bagaimana memanfaatkan potensi demokrasi dengan cara mentransformasi musyawarah informal menjadi berguna dalam kebijakan publik. Ia merupakan salah satu alternatif demokrasi di tingkat publik yang lebih luas dan di semua tingkat. Pertama nilai-nilai demokrasi ditransformasikan menjadi kebudayaan publik, kemudian mentransfernya dalam pembuatan kebijakan publik melalui desain kelembagaan yang inovatif. Desain kelembagaan yang inovatif merupakan komponen utama yang membuat budaya demokrasi yang lebih egaliter. Penganggaran partisipatif, menunjukan bahwa realisasi demokrasi yang mendekati ideal membutuhkan usaha-usaha untuk meradikalkan aspek musyawarah dalam demokrasi. Setelah mendiskusikan mengenai kelembagaan penganggaran partisipatif di Porto Alegre, Baiocchi (2001) berargumen bahwa eksperimen tersebut menawarkan contoh yang sukses mengenai bagaimana mengatasi masalah musyawarah (deliberasi) yang tidak seimbang. Selanjutnya penulis berargumen bahwa eksperimen di Porto Alegre juga menawarkan contoh yang bisa diharapkan mengenai bagaimana cara membantu asosiasi warga yang tidak terorganisasi menjadi masyarakat sipil yang kuat. Terakhir, eksperimen partisipasi yang sangat sukses membutuhkan pertanyaan mengenai dalam kontek apa ia dapat berhasil. Dalam hal ini Baiocchi berargumen bahwa kita tidak boleh lupa mengenai kebutuhan untuk terus meningkatkan dalam masyarakat yang demokratis. Ketiga masalah ini –penguatan warga, konteks, dan legitimasi- harus dijawab oleh lembaga yang menerapkan demokrasi deliberatif yang memberdayakan (Empowered Participatory Democracy). Souza (2001) berargumen bahwa meskipun beberapa klaim dan hasil berkaitan dengan eksperimen penganggaran partisipatif membutuhkan penelitian lebih lanjut, pengalaman partisipasi anggaran di dua kota –Porto Alegre dan Belo Horizonte- telah membuat masyarakat miskin yang terabaikan untuk terlibat dalam memutuskan prioritas investasi di dalam komunitasnya. Lebih jauh, partisipasi anggaran dalam masyarakat yang sangat timpang seperti di Brazil seharusnya dinilai lebih untuk mempertinggi kewargaan ketimbang untuk keuntungan material 3. Dampak penganggaran partisipatif terhadap alokasi sumber daya dan tingkat pembayar pajak Literatur mengenai penganggaran partisipatif lebih banyak fokus pada analisis kelembagaan (prosedur) dan perluasan peran warga dalam pengambilan keputusan. Sangat sedikit analisis penganggaran partisipatif yang fokus pada analisis terhadap outcome penganggaran partisipatif baik terhadap masyarakat luas maupun terhadap pembayar pajak. Dari literatur yang sedikit tersebut Sausa, Schneider dan Sauza dapat disebut sebagai pelopor untuk studi ini. Menurut Sausa (1998), penganggaran partisipatif merupakan satu experimen di 12
perkotaan yang bertujuan untuk me-redistribusi sumber daya kota kepada kelompok sosial yang rentan. Karena itu Sousa menghubungkan partisipasi anggaran dengan alokasi sumber daya untuk pembiayaan sektor publik yang sangat dibutuhkan oleh kelompok miskin. Sausa juga menghubungkan penganggaran partisipatif dengan peningkatan akses kelompok miskin terhadap pelayanan dasar. Berdasarkan pada hasil analisis mengenai alokasi sumber daya Schneider dan Baquero (2006) berkesimpulan bahwa proses partisipasi telah ‘merasionalisasi’ alokasi sumber daya. Dalam penganggaran partisipatif, alokasi sumber daya keuangan telah melewati proses perdebatan yang luas sehingga dapat memenuhi kebutuhan secara optimum. Schneider dan Baquero juga menghubungkan diterapkannya penganggaran pajak daerah. Menurut Scheider dan Baquero, peningkatan pajak daerah berkaitan dengan penerapan penganggaran partisipatif. Alasannya adalah alokasi sumber daya melalui penganggaran partisipatif telah meningkatkan kepercayaan pembayar pajak sehingga meningkatkan keinginan untuk membayar pajak (willingness to pay) terhadap pemerintah. akan yang dan pertumbuhan pajak daerah dan meningkatkan pajak pemerintah, Sedangkan Souza (2001), menganalisis dampak penganggaran partisipatif terhadap perbaikan pelayanan publik yang dibutuhkan secara luas masyarakat seperti ari bersih, sekolah, dan jalan. 4.3
Kritik dan Isu-isu Kritis
Literatur mengenai penganggaran partisipatif telah mencatat banyak sisi positif terhadap praktek penganggaran partisipatif baik di Brazil –sebagai rumah pertama praktek penganggaran partisipatif- maupun di berbagai tempat di seluruh dunia. Meskipun demikian, ada beberapa penulis yang bersikap kritis terhadap penganggaran partisipatif (Utzig, 1999) dan beberapa orang yang memberikan sinyal untuk berhati-hati dengan proses ini dalam konteks sosial politik yang berbeda (Wampler, 2000). Literatur terbaru bahkan menyatakan adanya krisis praktek penganggaran partisipatif di tempat kelahirannya (Sneider, 2007). Utzig (1999) menganalisis proses penganggaran partisipatif dengan menggunakan dua kriteria yaitu: 1) kerangka prinsip-prinsip legitimasi dalam demokrasi, dan 2) kriteria kinerja administratif. Kedua kerangka kerja ini menurut Utzig sangat esensial untuk lebih memahami pengalaman, menganalisis kekuatan dan menguji kemungkinan untuk menggunakan proses yang sama dalam pemerintahan lokal yang lain. Meskipun Utzig sepakat bahwa penganggaran partisipatif telah meningkatkan kualitas demokrasi substantive yaitu dimana keputusan memiliki legitimasi yang kuat dari warga tetapi Utzig meragukan penganggaran partisipatif telah meningkatkan kinerja administratif. Menurut Utzig, penganggaran partisipatif telah melahirkan kelembagaan yang komplek, rentan, dan penuh konflik sehingga masih dipertanyaakan kelangsungan sistem ini di masa depan terutama jika dikaitkan dengan sistem administrasi yang efisien. Selanjutnya Utzig menekankan bahwa kelembagaan penganggaran partisipatif di Porto Allegre lahir dari kondisi yang spesifik atas konstelasi politik dan budaya masyarakatnya, sehingga kelembagaan ini tidak serta merta dapat diadopsi oleh pemerintahan lokal yang lain. Setelah menjelaskan kelembagaan, proses, waktu dan aktor-aktor yang terlibat dalam penganggaran partisipatif, Brian Wampler (2000) berkesimpulan bahwa sustainabilitas dan kesuksesan penganggaran partisipatif ditentukan oleh tiga faktor utama yaitu: 1) komitmen politik dari partai dan pemerintah yang berkuasa, 2) budaya warga (civic culture), dan 3) birokrasi yang responsif. Meskipun turut mempromosikan penganggaran partisipatif, Wampler menekankan agar para imitator berfikir kritis mengenai kondisi-kondisi yang memungkinkan penganggaran partisipatif dapat bekerja secara efektif. Tantangan yang paling serius dari praktek penganggaran partisipatif datang dari Kota Porto Alegre sendiri sebagai ibu kota penganggaran partisipatif. Menurut Aaron Schneider (2007), mencatat bahwa krisis bermula ketika partai pekerja –sebagai inisiator penganggaran 13
partisipatif- dikalahkan oleh koalisi partai-partai pesaingnya setelah selama 18 tahun berkuasa. Sekretatis pemerintah daerah yang baru dalam pidatonya sering menyatakan bahwa pendekatan teknokratis dan birokratis akan membuat alokasi anggaran lebih efisien. Data statistik mengenai kemiskinan akan menjadi rujukan utama ketimbang data hasil diskusi warga. Scheneider menyatakan bahwa pendekatan ini akan mereduksi peran warga dalam alokasi sumber daya, dan lebih menempatkan warga sebagai penerima manfaat. Meskipun klaim efektifitas dalam memerangi kemiskinan masih diragukan, penulis merasa yakin bahwa pendekatan ini akan merubah kelembagaan dan budaya partisipasi warga dalam proses penganggaran. Tantangan lain bagai penganggaran partisipatif adalah perkembangan teknologi informasi. Oliveira dkk (2003) mencatat bahwa hingga tahun 2001 kota-kota yang mempraktekan penganggaran partisipatif belum menggunakan internet sebagai alat untuk memperluas dan mendorong proses penganggaran partisipatif. Inovasi mengenai penggunaan internet dilakukan oleh Kota Ipatinga dalam proses memilih prioritas dan alokasi anggaran untuk proyek lokal. Melalui internet, warga mendaftarkan prioritas mereka dan menelususri penyediaan proyek-proyek publik. Hasil dari inovasi ini, menunjukkan peningkatan 44 sampai 125 persen dalam jumlah input warga terhadap prioritas anggaran. Dampaknya juga tampak untuk capaian yang baik di atas input tradisional; partisipan orang muda tampaknya meningkat di dalam proses, sementara warga dengan pendidikan rendah juga menggunakan internet sebagai alat untuk mengatasi inklusi. Secara keseluruhan, ‘Penganggaran Partisipatif yang Interaktif’ di Ipatinga merupakan canel tambahan dalam hubungan antara negara dengan masyarakat: ruang virtual menyediakan demokratisasi untuk partisipasi dan kontrol sosial. Selama musyawarah regional dan kota, debat dan negosiasi didefinisikan dimana sumber daya publik akan diterapkan; partisipasi on-line memfasilitasi interaksi bagian-bagian tertentu dari proses; keputusan final tetap terjadi di dalam pertemuan tatap muka. Pemanfaatan internet tentu saja akan merubah desain kelembagaan dari penganggaran partisipatif yang berimplikasi pada budaya warga. Tantangan ini, menurut Oliveira perlu dihadapi secara serius oleh para promotor penganggaran partisipatif. 5
5.1
PENGANGGARAN PARTISIPATIF: AGENDA PENELITIAN DALAM ILMU PERENCANAAN Mengapa Studi Anggaran?
Snyder (1988), menyatakan bahwa perencanaan kota pada tahun 1980-an mulai memikirkan mengenai keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran. Ada dua hal yang menyebabkan kecenderungan ini. Pertama, perencanaan kota memperluas objek kajiannya ke wilayah perencanaan ekonomi dan sosial. Berbeda dengan tradisi sebelumnya -yang fokus pada ruang fisik dan land-use- badan perencanaan biasanya menyusun rencana berjangka panjang, sedangkan penganggaran yang bersifat tahunan menjadi isu dari lembaga pelaksana. Perencanaan ekonomi dan sosial –yang didalamnya telah memuata pemrograman- telah menyebabkan perencana untuk memikirkan kebijakan jangka menengah dan jangka pendek termasuk mengenai alokasi belanja publik. Kedua, kecenderungan ilmu perencanaan yang tidak hanya menginginkan perencanaan hanya sebuah produk dokumen melainkan juga menyajikan rekomendasi mengenai bagaimana rencana itu dapat dilaksanakan sebagai tindakan kolektif (colletive action). Pemikiran ini telah mendorong perencana untuk juga merancang kelembagaan dan skema pendanaan barang publik. Snyder juga menjelaskan ruang lingkup studi keuangan publik yang minimal harus dikuasai oleh perencana. Sayang sekali, gagasan Snyder mengenai kuangan publik dalam perencanaan hanya menempatkan keuangan dalam perspektif perencanaan rasional komprehensif sehingga hanya melihat keuangan dalam perspektif ekonomi publik. 14
Dalam konteks kelembagaan yang luas, Wildavsky (2001) melihat bahwa perencanaan dan penganggaran merupakan satu mata uang yang sama. Untuk itu beberapa negara telah mencoba menerapkan apa yang disebut dengan Planning, Programing, dan Budgeting System (PPBS). PPBS menurut Wildavsky sangat penting untuk melihat runutan pengambilan keputusan dan strategi para aktor dalam proses perencanaan. Edward (2007) menyatakan bahwa perencana secara siginifikan dapat mempengaruhi kebijakan fiskal melalui keputusan sehari-hari yang mereka buat dan rencana yang mereka laksanakan. Untuk memahami bagaimana sistem pendidikan perencanaan menjawab isu-isu fiskal dalam pendidikan perencanaan, Edward telah melakukan survey mengenai pendidikan perencanaan di AS dan Kanada dan menganalisis silabus mata kuliah keuangan publik di sekolah perencanaan. Hasil survey menunjukan gambaran yang menarik mengenai signifikansi keuangan publik terhadap kajian akademik dan praktek perencanaan. 5.2
Pendekatan Eklektik Terhadap Anggaran
Kalau kita gabungkan berbagai pendekatan mengenai anggaran maka pada dasarnya studi anggaran meliputi tiga aspek yaitu: 1) alokasi sumber daya keuangan untuk pencapaian tujuan (pertumbuhan, efektifitas, efisiensi, dan sustainability; 2) struktur dan proses-proses mobilisasi dan koordinasi antar lembaga; dan 3) kekuasaan dan strategi politik aktor-aktor politik baik dalam lembagalembaga politik formal maupun diluar lembaga politik formal. Untuk ketiga aspek tersebut di atas telah berkembang metode dan pendekatan berbeda yang umumnya menjadi fokus disiplin ilmu yang berbeda pula. Studi mengenai alokasi menjadi fokus kajian ilmu ekonomi publik, studi mengenai mobilisasi dan koordinasi antar lembaga publik menjadi fokus kajian ilmu administrasi publik, dan studi mengenai kekuasaan dan strategi aktor menjadi fokus kajian ilmu politik. Ketiga bidang kajian telah mengembangkan berbagai metode dan pendekatan untuk menjelaskan fenomena penganggaran. Ilmu ekonomi memanfaatkan matimatika, statistik dan ekonometri untuk menjelaskan alokasi. Ilmu administrasi menggunakan teori organisasi dan teori belajar untuk menjelaskan mobilisasi dan koordinasi. Sedangkan ilmu politik menggunakan teori sosiologi dan politik –dalam beberapa hal juga model matematik- untuk menjelaskan strategi aktor. Dalam gambar 1 penulis mencoba mengintegrasikan ketiga komponen studi mengenai anggaran. Pada gambar tersebut, dapat dilihat bahwa studi anggaran dapat dimulai dengan analisis terhadap kepentingan yang diperjuangkan, nilai-nilai yang dianut dan strategi yang dipilih oleh para aktor. Selanjutnya para aktor akan memperjuangkan kepentingannya terhadap anggaran melalui lembaga-lembaga dan proses-proses penganggaran baik formal maupun informal. Hasil dari proses interaksi dalam kelembagaan dapat diukur dengan kriteria yang dikembangkan dalam ilmu ekonomi. Berdasarkan kritteria tersebut maka kita dapat menilai outcome anggaran apakah mendukung atau bertentangan dengan tujuan untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan (dalam konteks bagan, berarti dibaca dari bawah ke atas). Tentu saja pendekatan eklektik ini tidak harus bersifat linear. Peneliti dapat berfikir sebaliknya yaitu dari outcome yang diharapkan. Pilihan strategi alokasi untuk mencapai outcome yang diharapkan. Berdasarkan tujuan dan strategi alokasi, maka dapat dilihat desain kelembagaan untuk mobilisasi dan koordinasi. Selanjutnya dapat dianalisis bagaimana aktor-aktor memperjuangkan kepentingannya dalam alokasi anggaran (gambar dibaca dari atas ke bawah).
15
Gambar 1. Komponen-komponen Demokratisasi Anggaran di Tingkat Lokal
GOAL
Keberlanjutan
Efisiensi
Efektifitas
Pertumbuhann
Kesejahteraan & Keadilan
Substansi/ Cakupan
Prosedur & Kelembagaan
Proses-proses Penganggaran (Kelembagaan untuk Mobilisasi dan Koordinasi) Komunitas
5.3
Aktor Politik
Birokrasi
Kelompok Fungsional
Media Massa
Aktor
Pendekatan Ilmu Perencanaan: Studi Mengenai Tindakan Kolektif dalam Anggaran
Kalau perencanaan baik dari sisi teori maupun praktek memiliki hubungan yang erat dengan penganggaran, maka apa pendekatan yang spesifik dari ilmu perencanaan terhadap penganggaran? Merujuk pada (Friedman, 1987) perencanaan dapat didefinisikan sebagai ”membuat keputusan secara rasional”. Keputusan yang dibuat tersebut tidak bersifat individual, melainkan bersifat kolektif. Karena itu, perencanaan ada di domain publik dan keputusan yang dibuat merupakan ’keputusan kolektif (collective decision)’ yang menjadi pijakan dari tindakan kolektif (collectif action). Habermas (1984), membedakan dua jenis keputusan kolektif di ranah publik yaitu keputusan yang meng-agregasi pendapat/kepentingan dan keputusan untuk pembentukan kehendak. Agregasi pendapat/kepentingan diperoleh melalui voting atau pemilu. Keputusan ini menunjukkan jumlah orang yang sependapat, memilih, atau berkepentingan yang sama. Namun ia tidak menunjukan alasan yang sama mengenai mengapa? dan atas dasar apa? (setiap orang memiliki alasan berbeda mengapa ia memilih si A dalam voting/pemilu ketimbang si B). Sebagai konsekwensinya maka, kita tidak bisa menilai kualitas keputusan hasil voting/pemilu. Voting/pemilu hanya mengabsahkan orang atau kelompok orang untuk berkuasa. Keputusan kedua adalah keputusan untuk pembentukan kehendak. Keputusan ini tidak mungkin dicapai lewat pemilu, melainkan melalui ’musyawarah’ -dalam bahasa Habermas disebut tindakan komunikatif-. Berbeda dengan pemilu, keputusan kolektif yang diperoleh melalui musyawarah dapat dinilai karena ia merupakan hasil dari interaksi dan refleksi yang intens dari setiap aktor di dalam forum/kelembagaan musyawarah. Kita bisa menciptakan keputusan terbaik forum musyawarah yang ideal –dalam bahwa Habermas ’ideal speech’- yaitu dengan menciptakan ruang publik yang terbuka, partisipatoris, dan bebas dari dominasi untuk berdiskusi dan membentuk kesepakatan. Gagasan mengenai tindakan komunikatif, pembentukan kehendak, 16
keputusan kolektif, dan ’ideal speech’yang dikemukakan oleh Habermas ini nampaknya sangat berpengaruh dan diperasionalkan oleh akademisi perencanaan. Dalam literatur, pendekatan perencanaan yang mengambil model Habermas ini disebut sebagai pendekatan kolaboratif (Patsy Healey, 1997), pendekatan pembentukan konsensus (Ines, 1999 dan 2004), pendekatan pembelajaran sosial (Forester, 1989), dan pendekatan partisipatif (Forester, 2000) Berdasarkan pada pendekatan perencana yang menggunakan pendekatan perencanaan berbasis pada pembentukan konsensus, maka studi tentang anggaran fokus pada kajian mengenai pembentukan kesepakatan dalam alokasi anggaran. Analisis mengenai pembentukan kesepakatan melibatkan: 1) aktor-aktor yang memiliki kepentingan yang saling bersaing dan nilai-nilai yang berbeda; 2) proses-proses di dalam lembaga-lembaga penganggaran; dan 3) tujuan akhir yang diperjuangkan dari alokasi anggaran. Dengan merujuk pada gambar. 1, maka studi perencanaan bersifat eklektik, tetapi berbeda dengan pendekatan ekonomi, administrasi publik dan politik, studi perencanaan terhadap anggaran fokus pada pembentukan kesepakatan kolektif dan tindakan kolektif. Dengan pendekatan ini, maka studi mengenai teori dan praktek penganggaran partisipatif –sebagai salah satu strategi pembentukan keputusan dan tindakan kolektif- merupakan lokus yang sangat penting dari studi perencanaan. 6
CATATAN AKHIR
Studi penganggaran –khususnya penganggaran partisipatif- dalam perencanaan bermanfaat baik terhadap ilmu perencanaan sendiri maupun terhadap studi mengena anggaran. Terhadap ilmu perencanaan, studi mengenai anggaran dapat dipandang sebagai perluasan lokus kajian –yang selama ini lebih banyak di bidang land-use, infrastruktur, dan tata ruang- ke bidang-bidang kebijakan yang tempo pengambilan keputusannya rutin dan berjangka pendek. Sedangkan terhadap studi penganggaran, pendekatan ilmu perencanaan sebagai pendekatan yang eklektik tetapi tetap fokus pada keputusan dan tindakan kolektif akan memberikan kerangka integratif mengenai alokasi, koordinasi, dan peran kekuasaan dalam alokasi sumber daya keuangan publik. Studi perencanaan terhadap penganggaran partisipatif sangat relevan karena penganggaran partisipatif melibatkan desain kelembagaan yang kompleks, aktor yang beragam, dan nilai-nilai yang berbeda. Proses-proses yang terjadi dan nilai-nilai yang berkembang dalam pembuatan keputusan dan tindakan kolektif menjadi sangat berguna untuk menjelaskan penganggaran partisipatif secara lebih komprehensif. -------------------------
17
Lampiran:
ANNOTATED BIBLIOGRAPHY BUKU 1.
Fischer, Frank. 2003. Reframing Public Policy: Discursive Politics and Deliberative Practices. Oxford: Oxford University Press. Buku ini menjelaskan dan menganalisa kebijakan publik dalam perspektif wacana sebagai tantangan terhadap pendekatan teknokratis dan empiris dalam studi kebijakan. Dalam buku ini, Fischer menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan pada dasarnya adalah proses pembentukan wacana. Karena itu praktek-praktek musyawarah untuk pembentukan konsensus lebih tepat diterapkan dalam menjelaskan dan menganalisa kebijakan publik. Buku ini menjelaskan secara rinci mengenai bagaimana membentuk teori kebijakan dalam konstruksi wacana yang berdasarkan pada ide, bahasa dan makna sosial. Selanjutnya buku ini menjelaskan mengenai wacana politik dan kebijakan publik serta bagaimana memahamai wacana kebijakan dalam realitas empiris. Sebagai penutup, Fischer menyarankan agar tata pemerintahan dijalankan secara deliberatif yang dapat mempertemukan warga dan para ahli agar berdialog untuk menghasilkan kebijakan publik yang baik. Buku ini merupakan buku yang sangat lengkap menawarkan alternatif untuk memahami dan menganalisis kebijakan publik. Kata kunci: wacana, kebijakan publik, politik, praktek.
2.
Fong, Archun dan Eric Olin Wright. 2002. Deepening Democracy: Institutional Innovations in Empowered Participatory Governance. Verso: London Dalam buku ini Fong dan Wright mengekplorasi gagasan mengenai Empowered Participatory Governance (EPG) sebagai perwujudan dari pendalaman demokrasi. EPG memiliki tiga karakteristik yaitu: 1) fokus pada isu yang spesifik dan terukur (tangible), 2) pelibatan orang kebanyakan yang bekepentingan dengan isu dan 3) pengembangan wahana musyawarah untuk memecahkan isu ini. Untuk mendukung kegiatan ini dibutuhkan reformasi kelembagaan yang mendasar yaitu: 1) devolusi dalam pengambilan keputusan kepada unit/kelembagaan lokal yang akan diperkuat –ini adalah salah satu strategi praktis dalam pendalaman demokrasi-; 2) penciptaan keterkaitan tanggung jawab, distribusi sumber daya, dan komunikasi yang menghubungkan unit-unit satu sama lain kepada pihak yang memiliki otoritas formal dan 3) pemanfaatan lembaga-lembaga pemerintahan untuk mendukung dan membimbing pemecahan masalah secara terdesentralisasi. Fong dan Wright selanjutnya membahas tiga contoh penerapan EPG yaitu penganggaran partisipatif di Brazil, desentralisasi perencanaan di Kerala, dan pengelolaan pendidikan di Chicago. – sebagai salah satu praktek EPG- merupakan contoh nyata dari pendalaman demokrasi di tingkat kelembagaan pemerintahan dan praktek keseharian. Buku yang dikembangkan dari proyek riset ini berhasil menggambarkan secara mendalam mengenai konsep dan praktekpraktek EPG di berbagai negara. Kata kunci: Pemberdayaan, Tata Pemerintahan Partisipatif, Penganggaran Partisipatif, Pendalaman Demokrasi.
18
3.
Gunning Patrick, 2002. Understanding Democracy: An introduction to Public Choice, in http://www.fortunecity.com/meltingpot/barclay/212/votehtm/cont.htm Buku ini membahas prinsip-prinsip dan kelembagaan demokrasi dengan pendekatan pilihan publik yang biasa digunakan dalam ekonomi publik. Karena itu buku ini sangat tajam mengulas mengenai proses, keputusan politik dan kebijakan dalam perspektif ekonomi misalnya principal-agent teori, asimetri informasi, dan barang publik. Analisis terhadap pengambilan keputusan di lembaga-lembaga demokratis –seperti pemilu, legislasi, voting, dll- menjadi pusat analisis dari buku ini. Dengan demikian buku ini bukan hanya menempatkan politik dalam kontek analisis ekonomi, tetapi juga menempatkan ekonomi menjadi lebih politis. Kata kunci: pilihan publik, demokrasi, pengambilan keputusan.
4.
Habermas, Jurgen. 1975. Legitimation Crisis. Beacon Press; Boston Dalam buku ini Habermas mengemukakan bahwa analisis Marxis tradisional terhadap kecenderungan krisis dalam sistem kapitalis sudah kuno dengan relatif suksesnya kompromi negara kemakmuran (welfare state). Sebagai gantinya dia menegaskan bahwa krisis yang terjadi dalam ranah ekonomi akan beralih, melalui tindakan (kebijakan) negara, ke ranah budaya. Pada gilirannya krisis ini akan mengancam integrasi sosial, merusak berbagai sumber daya yang dibutuhkan negara demi berlanjutnya pengelolaan sektor ekonomi yang sedang berajalan. Lebih khusus lagi, krisi itu kemungkinan besar akan mengakibatkan hilangnya legitimasi lembaga pemerintahan. Selanjutnya Habermas mengulas bahwa krisis terjadi sebagai akibat dari ekspansi rasionalitas instrumental –yang perwujudannya dalam buku ini disebut sebagai sistem- ke dalam dunia kehidupan sosial dan budaya –yang dalam buku ini disebut sebagai lifeworld-. Karena itu, untuk mengatasi krisis Habermas menyarankan agar ekspansi dan dominasi sistem ke dalam lifeworld dicegah. Meski cukup provokatif, dalam buku ini Habermas tidak menyajikan detail jalan keluar dari krisi yang memuaskan. Meski demikian buku ini secara detail dapat menjelaskan mengenai bagaimana krisis terjadi dalam masyarakat kapitalis lanjut. Kata kunci: krisis, kapitalisme lanjut, sistem, dunia kehidupan (lifeworld)
5.
Habermas, Jurgen. 1984. The Theory of Communicative Action. Beacon Press: Boston. Meskipun Inez (2004) menyatakan bahwa gagasan Habermas mengenai tindakan komunikatif bukan satu-satunya sumber dari teori perencanaan komunikatif, tidak dapat disangkal bahwa buku ini merupakan buku yang paling banyak dikutif dan dijadikan dasar bagi teori perencanaan komunikatif. Buku ini dibagi dalam dua jilid. Jilid pertama membahas mengenai konsep rasio, bagaimana rasionalitas instrumental terbentuk dan bagaimana rasionalitas instrumental berekspansi dari wilayah sains ke ekonomi, politik dan budaya. Habermas juga membahas mengenai berbagai implikasi dari perluasan rasio instrumental tersebut dalam lapangan politik, sosial dan budaya. Pada Jilid ke II, Habermas membahas keterbatasan dari rasio instrumental sebagai pandangan menyeluruh terhadap dunia. Sebagai pelengkap, Habermas menyajikan alternatif rasio dan tindakan komunikatif 19
dalam lapangan sosial, politik dan budaya. Rasio komunikatif memungkinkan manusia dapat berbicara dan saling memverifikasi gagasannya mengenai dunia yang kompleks. Rasio komunikatif yang bekerja dalam relasi kekuasaan yang stara inilah yang dapat menghasilkan konsensus mengenai yang baik dan buruk sebagai pedoman bagi tindakan. Kata kunci: rasio, rasionalitas instrumental, rasionalitas komunikatif, tindakan komunikatif. 6.
Habermas., Jurgen. 1989. The structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Bourgeois Society. Beacon Press: Boston. Dalam buku ini Habermas mencoba menyelidiki akar sosiologis dan histori terbentuknya ”öffentlicheit”atau ”ruang publik”. Akar-akar tersebut dilacak jauh sampai ke sejarah Perancis di Penghujung Abad Tengah saat para bangsawan dan tuan tanah serta para satria sudah mengadakan pertemuan-pertemuan yang jadi cikal bakal bagi apa yang disebut ruang publik. Yang paling mengesankan dari kajian Habermas adalah bahwa ruang publik sesungguhnya terbentuk dari kedai-kedai minum di Eropa abad Pencerahan, karena di tempat-tempat seperti inilah para saudagar dan kelas menengah lainnya membicarakan persoalan bisnis mereka yang lambat laun berubah menjadi pembicaraan tentang masalahmasalah kemasyarakatan yang lebih luas. Di titik ini Habermas menjelaskan mengenai pertumbuhan ruang publik dan kepentingan. Habermas mengemukakan transformasi masyarakat Barat mengenai ruang publik terjadi ketika para saudagar dan kelas menengah menyebarluaskan kepentingan mereka melalui media cetak dengan cara-cara komunikasi yang belum ada sebelumnya. Dalam buku ini Habermas mendemontrasikan gagasan dan teori komunikasi secara empiris. Menurut Habermas prubahan struktural ruang publik kelas menengah di Eropa terjadi melalui medium komunikasi. Kata kunci: ruang publik, borjuis, transformasi struktural, opini publik
7.
McCarthy, Thomas. 1982. The Critical Theory of Jurgen Habermas. The MIT Press: Massachusetts. Dalam buku ini McCarthy mencoba menelusuri asal usul dan mengeksplorasi pemikiran yang berkembang dalam teori kritis terutama yang dikembangkan oleh Habermas. Hampir seluruh pemikiran Habermas tidak luput dalam pembahasan buku ini termasuk: teori dan praktek dalam peradaban ilmiah, pengetahuan dan kepentingan manusia, metodologi teori kritis, teori komunikasi dan persoalan legitimasi dalam kapitalisme maju. Dalam buku ini penulis berhasil menunjukan bahwa meskipun pemikiran Habermas sangat luas, tetapi ada benang merah yang dapat diambil yaitu kegalauan Habermas terhadap krisis-krisis yang terjadi dalam masyarakat kapitaslisme lanjut sebagai dampak akibat dari rasionalitas tunggal dan teknokratisasi kehidupan. Dalam buku ini McCartyh juga berhasil mendemontrasikan usaha-usaha Habermas dalam mengeksplorasi kepentingan dan potensi rasionalitas manusia yang multidemensi –kepentingan instrumental, kepentingan praktis, dan kepentingan akan kekuasaan- ketiga dimensi itu membutuhkan jenis rasionalitas dan keputusan yang berbeda. Dengan demikian buku ini sangat baik dan lengkap untuk mengantarkan orang ke dalam pemikiran Habermas. Kata kunci: teori kitis, rasionalitas, tindakan komunikatif.
8.
Rossen, Harvey S. 2006. Publik Finance. McGraw-Hill Higher Education: New York 20
Buku ini merupakan buku pegangan (hand-book) bagi pelajar yang mengambil mata kuliah Keuangan Publik. Dalam buku ini, keuangan publik ditempatkan sebagai instrumen pemerintah untuk mengatasi kegagalan pasar seperti: barang publik, eksternalitas, dan asimetri informasi. Karena itu buku ini dibuka dengan pembahasan mengenai aspek-aspek tersebut secara mendetail. Selanjutnya buku ini membahas bagaimana anggaran dialokasikan untuk mengatasi kegagalan pasar baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Ilustrasi dari negara AS sering dijadikan rujukan untuk kasus empiris. Dalam konteks penganggaran, buku ini membahas sangat baik mengenai konsep ’median voters’yang itu pendekatan penganggaran yang tidak lepas dari keputusan politik dan preferensi sosial masyarakat. Dengan kata lain buku ini lebih maju dari kebanyakan pendekatan neo-klasik lainnya yang jarang membahasan aspek sosial dan politik dalam proses penganggaran. Kata kunci: keuangan publik, barang publik, ekstrenalitas, median voters. 9.
Wainwright, Hilary. 2003. Reclaim the State: Experiments in Popular Demokracy. Vero: London. Dalam buku ini Wainwright menunjukkan bahwa demokrasi liberal yang ditopang oleh ekonomi yang bersifat kapitalistik di banyak ternyata gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat. Demokrasi liberal justru dituduh Wainwright sebagai kuda troya bagi kelompok elit kapitalis guna mendapatkan hak-hak istimewa untuk memapankan kepentingan mereka. Dalam demokrasi liberal, mengutip kata-kata Lula –Presiden Brazil- “..banyak orang yang bekerja lima sampai tujuh hari, tetapi mereka tidak dapat makan roti..”Dengan kata lain, demokrasi liberal mendukung ketimpangan pendapatan dan kesengsaraan rakyat. Sebagai alternatifnya Wainwrigt menawarkan ‘demokrasi popular’ yaitu demokrasi yang menempatkan rakyat bukan hanya sebagai pemilih tetapi juga sebagai pengambil kebijakan. Untuk mendukung gagasannya Wainwrght, menunjukkan berbagai ekperiment mengenai ‘popular democracy’yaitu participatory budgeting di Brazil, keleompok ketetanggan di East Manchester dan gerakan-gerakan sosial untuk menentang privatisasi sektor publik di Luton dan Newcastel. Dari berbagai kasus tersebut Wainwright menunjukkan bahwa ‘popular democracy’adalah mungkin. Ia juga mengidentifikasi keberhasilan dari popular democracy yaitu: adanya partai politik yang memiliki ideologi progresif, adanya gerakan sosial yang solid, dan kepemimpinan yang memihak. Kata kunci: demokrasi popular, gerakan sosial, reclaiming democracy.
10. Wampler, Brian. 2000. Private Executives, Legislative Brokers, and Participatory
Publics: Building Local Democracy in Brazil. PhD Dissertation. The University of Texas at Austin, disponibile sul sito www.democraciaparticipativa.org Dalam desertasi ini, Wampler mencoba memberikan kontribusi pada dua kerangka kerja teoritis. Pertama, pemahaman institusional untuk menganalisis peranan lembaga dan aktor dalam membentuk strategi dan pilihan politik para aktof dan 2) menganalisis bagaimana strategi dan pilihan politik para aktor berpengaruh pada lembaga dan outcome kebijakan. Untuk menggambarkan dua kerangka kerja tersebut, Wampler mencoba melakkan studi di Brazil dengan menganalisis sejarah politik dan pembentukan kelembagaan pemerintahan di Brazil. Berdasarkan pendekatanya kelembagaan dan aktor, Wampler berhasil menelusuri darimana muncul gagasan demokrasi partisipatoris, kelembagaan dan tantangan yang dihadapi. Pada tingkat yang lebih mikro, Wampler menganalisis kelembagaan, prospek dan 21
tantangan penganggaran partisipatif di beberapa kota di Brazil. Menurut Wampler, partisipasi anggaran merupakan kombinasi dari kelembagaan politik dan tata pemerintahan yang membuka ruang publik bagai NGO dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. Kata kunci: Demokrasi lokal, Struktur, Agen, partisipasi anggaran.
11. Wampler Brian, 2000 A guide to Participatory Budgeting, diakses dari situs
www.internationalbudget.org Buku ini merupakan buku panduan untuk ’penganggaran partisipatif’di Porto Alegre Brazil –kota pertama yang mempelopori penganggaran partisipatif-. Bagian pertama buku mengungkapkan mengenai lanskap politik Brazil ketika pertama gagasan mengenai penganggaran partisipatif digulirkan serta hasil-hasil yang diperoleh sebagai dampak dari penerapan penganggaran partisipatif dalam alokasi anggaran dan budaya politik warga. Selanjutnya buku ini membahas A sampai Z dari kelembagaan, proses, waktu dan aktoraktor yang terlibat dalam partisipasi anggaran. Terakhir buku ini ditutup dengan refleksi mengenai sustainabilitas dan faktor-faktor yang akan mempengaruhi kesuksesan partisipasi anggaran yaitu: komitmen politik dari partai dan pemerintah yang berkuasa, budaya warga, dan birokrasi yang responsif.. Dengan demikian buku ini bukan sekedar mempromosikan penganggaran partisipatif, melainkan juga mengajak berfikirt kritis mengenai kondisikondisi yang memungkinkannya dapat bekerja secara efektif. Kata kunci: penganggaran partisipatif, politik, budaya warga. 12. Wood, Terence. 2004. Participatory Democracy in Porto Alegre and Belo Horizonte.
Phd. Thesis in Victoria University of Wellington, Wellington, New Zealand Penganggaran partisipatis sebagai salalah satu bentuk Demokrasi Partisipatoris menyebar luas di kota-kota Barazil. Buku ini –yang diangkat dari desertasi- mendeskritpsikan penganggaran partisipatif di dua kota di Brazil yaitu Proto Alegre dan Belo Horizonte. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan partisipasi anggaran di dua kota dan mengidentifikasi dua variable kunci yang mempengaruhi outcomes dari penganggaran partisipatif. Penelitian menggunakan baik data primer maupun data stkunder. Data primer diperoleh melalui 22 kali interview semi-struktur yang dilakukan sejak April – Mei 2004, dan data sekunder adalah literatur mengenai penganggaran partisipatif di Porto Alegre dan Belo Horizonte. Temuan kunci dari studi ini adalah bawha penganggaran partisipatif baik di Porti Alegre dan Belo Horizonte telah menunjukkan sukses yang signifikan. Pada saat yang sama, penganggaran partisipatif di Porto Alegre dan Belo Horizonte menghadapi masalah-masalah yang membatasi kemampuannya untuk memproduksi hasil. Di beberapa area dimana outcome dari penganggaran partisipatif juga tidak jelas, Beberapa outcome dari penganggaran partisipatif di Porto Alegre dan Belo Horizonte adalah sama meskipun mereka menggunakan proses yang sama. Dua variabel kunci diidentifikasi dalam analisis yaitu: kemempuan penganggaran partisipatif untuk memproduksi hasil yang terukur dan tingkat kebutuhan masyarakat kota terhadap pelayanan publik di tingkat lokal. Penelitian ini juga menganalisis variabel sekunder yang mempengaruhi outcoes dari penganggaran partisipatif. Kata kunci: Demokrasi langsung, Tata Pemerintahan Partisipatif, Penganggaran Partisipatif, Pendalaman Demokrasi.
22
13. Wildavsky, Aaron. 2001. Budgeting and Governing. Transaction Publisher: London.
Buku ini merupakan kumpulan paper -16 paper- dari Wildavsky dalam rentang waktu antara 1966 – 1986. Wildavsky adalah ilmuwan politik yang meletakkan dasar-dasar kajian politik terhadap proses penganggaran. Bagi Wildavsky, anggaran adalah usaha-usaha untuk mengalokasikan sumber daya keuangan melalui proses politik untuk melayanan cara hidup yang beragam. Karena itu, buku ini lebih fokus pada analisis ’permainan politik’ dalam proses dan kelembagaan penganggaran. Bagi Wildavsky, “..all budgeting is about politiks, most politics is about budgeting, and budgeting therefore be understood as part of political game..”. Wildavsky juga menempatkan model-model proses anggaran dalam kaitannya dengan model-model regim politik yaitu regim pasar, regim sektarian, dan regim hierarkis. Kata kunci: politik, anggaran, regim. 14. UNDP. 2005. Citizen Participation And Pro-poor Budgeting. Department of Economic
and Social Affairs, Division for Public Administration and Development Management. Mendorong kemitraan antara sektor masyarakat sipil, sektor publik dan sektor privat diakui oleh PBB sebagai instrumen penting dalam mencapai pertumbuhan dan sustainabilitas pembangunan manusia. Hal itu dikuatkan dengan Resolusi PBB No. 50/225 yang menetapkan kolaborasi antar sektor merupakan komponen utama dalam proses pmebangunan. Ini ditekankan lagi dalam dokumen MDGs tahun 2000 yang mengaitkan partisipasi sebagai komponen utama dalam anggaran yang pro-poor. Buku ini membahas mengenai konsep partisipasi dan prakteknya di beberapa negara dalam berbagai sektor pembangunan terutama dalam kaitannya dengan penganggaran partisipatif. Buku ini juga mengungkapkan contohcontoh sukses mengenai anggaran partisipatif yang berhasil mendorong anggaran yang pro-poor. Kata kunci: partisipasi warga, pro-poor, penganggaran.
PAPER 15. Abers, Rebecca. 1998. Practicing Radical Democracy Lessons from Brazil. Paper
presented at the Workshop: Insurgent Planning Practices – Perugia, Italy, June 21-27. Berdasarkan kajian atas banyak literature, Abers menyimpulkan bahwa banyak ahli menekankan pada pencipataan ruang-ruang baru dan peran masyarakat sipil (civil society) ketimbang menempatkan negara sebagai ruang yang lebih inklusif, egalitarian, dan partisipatif dalam mengatasi keterbatasan demokrasi perwakilan. Demokrasi radikal (radical democracy) percaya bahwa perluasan partisipasi warga adalah mungkin karena kemampuannya untuk mengeliminasi ketimpangan sosial dan alienasi politik. Sayang sekali model demokrasi radikal jarang dapat secara jelas menggambarkan mengenai ’get there from here’. Dalam paper ini Abers berusaha menunjukan bagaimana usaha-usaha aktual untuk ’meradikalkan demokrasi’ untuk tata pemerintahan dapat menciptakan praktek transformasi bagi aktor-aktor negara ’here-and-now’. Ketika warga mendapatkan keuntungan dari melakukan kontrol terhadap aparatur negara, aktor radikal dipaksa untuk menkonfrontasikan kontradiksi antara aspirasi yang utopian dengan kondisi saat ini. Adalah jelas, usaha-usaha untuk mengatasi dilema ini masih sedikit, Tetapi keberhasilan yang sedikit ini –misalnya keberhasilan dari penganggaran partisipatif- dapat menceritakan pada 23
kita mengenai bagaimana mempraktekan demokrasi radikal ketimbangan teori demokrasi yang abstrak. Kata kunci: demokrasi radikal, masyarakat sipil, aktor negara. 16. Abers, Rebecca. 2000. Overcoming the Dilemmas of Participatory Democracy: The
Participatory Budget Policy in Porto Alegre, Brazil. Paper dipresentasikan dalam International Congress of the Latin American Studies Association ke XXII, 16 – 18 Maret 200, Miami, Florida. Dalam paper ini, Abers menjelaskan partisipasi anggaran sebagai satu kasus kebijakan dan praktek demoktasi partisipatif yang disponsori oleh negara. Hasilnya adalah devolusi fiskal yang efektif dan kekuasaan untuk pengambilan keputusan yang nyata dari warga. Penganggaran partisipatif di Porto Alegre adalah bendera dari program Partai Pekerja (Partido dos Trabalhadores), yang berkuasa sejak 1989 di sebuah kota dengan penduduk 1,3 juta. Kebijakan ini melibatkan forum ketetanggaan, bagian kota (regions), forum tematik dan forum kota yang luas sebagai wahama untuk warga kota -lebih dari 15.000 orang berpartisipasi- setiap tahun untuk berdiskusi mengenai bagaimana pemerintah kota seharusnya mengalokasikan belanja pemerintah. Kebanyakan partisipan merepresentasikan organisasi ketetanggaan yang miskin, tidak memiliki pengalaman praktis dalam organisasi warga sebelummnya dan tidak punya pengalaman dalam kebijakan. Selanjutnya, dalam paper ini Abers menjelaskan beberapa argumen mengenai partisipasi dan menganalisa bagaimana tiga masalah partisipasi yaitu masalah implementasi, masalah ketidakadilan, dan masalah ko-optasi ditanggulangi dalam kasus penganggaran partisipatif di Porto Alegre. Kata kunci: partisipasi, partisipasi anggaran, implementasi, ketidakadilan, ko-optasi 17. Alexander, Jennifer. 1999. ‘A New Ethics of The Budgetary Process’, Journal of
Administration & Society. 32; 542. Peper ini menganalisis kode etik dalam literatur penganggaran publik untuk menunjukkan kebutuhan akan pentingnya etika dan tanggung jawab bagi para prefesional. Melaui contoh mengenai bagaimana proses pengangaran di tingkat negara dan di tingkat loka yang dilakukan administrator, Aleander dalam artikel ini berargumen bahwa sejumlah aktivitas administratif penganggaran masih belum dibahas dalam literatur akademis saat ini. Paper ini menyarankan bahwa keputusan penganggar harus berhubungan dengan pemahaman mengenai bagaimana aktifitas adminitratif tersebut berdampak pada kesejahteraan bersama. Terakhir, Alexander berargumen bahwa pendidikan mengenai anggaran publik harus mempertimbangkan faktor-faktor kelembagaan dan kepentingan publik jangka panjang. Faktor-faktor itu memberi sinyal kepada tindakan adminsitratif dan mempersiapakn administrator anggaran untuk memahami peran dan tanggung jawabnya. Kata kunci: kode etik, etika profesi, administrasi penganggaran. 18. Andrew, Christina W., Michiel S. De Vries. Jennifer. 2007. High expectations, varying
outcomes: decentralization and participation. Journal of International Review of Administrative Sciences 2007; 73; 424 Dua puluh tahun terakhir, desentralisasi diusulkan sebagai strategi untuk meningkatkan partisipasi publik. Organisasi dana seperti World Bank, menstimulasi proses desentralisasi di banyak negara dan berharap ini akan memproposikan pemberdayaan warga, mengurangi 24
korupsi, meningkatkan efisiensi, dan meningkatkan kualitas pelayanan publik. Paper ini merupakan analisis komparatif mengenai hubungan antara desentralisasi dan partisipasi di tingkat lokal di Brazil, Jepang Rusia dan Swedia. Analisis regresi multivariat dengan menggunakan data dari Proyek Demokrasi dan Pemerintahan Lokal dilakukan untuk menguji hipotesis mengenai ‘one size fits all’dan ‘diversity in development’. Hasilnya menujukan bahwa hipotesis kedua lebih mendekati kebenaran. Mempersepsi otonomi sebagai memberikan dampak pada keterbukaan dan partisipasi tergantung pada pertimbangan negara; di Jepang –misalnya- otonomi justru menurunkan kemauan pejabat publik untuk membuka partisipasi publik. Paper ini menyajikan data empiris untuk menolak kepercayaan yang meluas bahwa proses desentralisasi akan menghasilkan outcome yang sama tanpa mempertimbangkan konteks negara. Keyakinan ini ini telah didesiminasikan secara luas melalui berbagai publikasi di negara berkembang, kususnya negara yang didanai organisasi multilateral seperti World Bank. Paper ini memberikan penilaian ktiris kepada para praktisi yang ada dalam tekanan negara dana untuk mengimplementasikan proses desentraliasi tanpa pertimbangan yang matang mengenai konteks dan kekuatan politik di negaranya. Kata kunci: desentralisasi, partisipasi warga. 19. Avritzer, Leonardo. 2007. Modes of Democratic Deliberation: theoretical remarks on
particip-atory budgeting in Brazil, di download tanggal 24 Desembr 2007 di situs http://www.ces.fe.uc.pt/ emancipa/research/en/texs.html. Dalam paper ini Avritzer menganalisis penganggaran partisipatif dengan kerangka analisa demokrasi deliberatif. Konsep demokrasi deliberatif dapat ditelusuri sejak Toquile yang banyak mengkritik kegagalan demokrasi perwakilan dalam masyarakat liberal. Beberapa prinsip demokrasi partisipatif dielaborasi seperti: ruang publik yang terbuka, percakapan ideal, partisipatsi aktif dari partisipan, dan dukungan kelembagaan dicoba diterapkan untuk menganalisis praktek penganggaran partisipatif. Avritzer menyimpulkan bahwa penganggaran partisipatif merupakan praktek yang diturunkan dari model teoritis para promotornya yang berasal dari para aktivis politik dan akademisi progresif. Kata kunci: demokrasi deliberatif, penganggaran partisipatif. 20. Avritzer Leonardo,2000. Public deliberation at the local level: participatory budgeting in
Brazil, paper dipresentasikan dalam konferensi “Experiments for Deliberative Democracy”. Wisconsin : USA Penganggaran partisipatif adalah salah satu bentuk musyawarah warga yang telah berhasil mengatasi keterbatasan kelembagaan demokrasi liberal saat ini. Dalam kasus Brazil, penganggaran partisipatif telah mengatasi klientelisme dalam kelembagaan poltik dan menyajikan budaya yang lebih demokratis dan egalitarian. Penganggaran partisipatif adalah proses musyawarah yang menjawab jarak antara elit politik dengan masyarakat dan merenovasi budaya publik. Penganggaran partisipatif menyediakan skenario politik dalam bentuk musyawarah warga yang secara langsung menjawab kendala demokrasi di wilayah kota dengan cara mengatasi kekosongan mekanisme kelembagaan dengan cara memperluas budaya warga untuk merespon masalah spesifik. Penganggaran partisipasi adalah contoh yang sangat baik mengenai bagaimana memanfaatkan potensi demokrasi dengan cara mentransformasi musyawarah informal menjadi berguna dalam kebijakan publik. Ia merupakan salah satu alternatif demokrasi di tingkat publik yang lebih luas dan di semua tingkat. Pertama nilai-nilai demokrasi ditransformasikan menjadi kebudayaan publik, 25
kemudian mentransfernya dalam pembuatan kebijakan publik melalui desain kelembagaan yang inovatif. Desain kelembagaan yang inovatif merupakan komponen utama yang membuat budaya demokrasi yang lebih egaliter. Penganggaran partisipatif, menunjukan bahwa realisasi demokrasi yang mendekati ideal membutuhkan usaha-usaha untuk meradikalkan aspek musyawarah dalam demokrasi. Kata kunci: demokrasi deliberatif, budaya warga, penganggaran partisipatif. 21. Baiocchi, Giampaolo. 2001. ‘Participation, Activism and Politics: The Porto Alegre
Experiment and Deliberative Democratic Theory’. Journal of Politics & Society, Vol 29 No. 1, 43 – 72. Setelah mendiskusikan mengenai kelembagaan penganggaran partisipatif di Porto Alegre, dalam paper ini Baiocchi berargumentasi bahwa eksperimen tersebut menawarkan contoh yang sukses mengenai bagaimana mengatasi masalah musyawarah (deliberasi) yang tidak seimbang. Selanjutnya penulis berargumen bahwa eksperimen di Porto Alegre juga menawarkan contoh yang bisa diharapkan mengenai bagaimana cara membantu asosiasi warga yang tidak terorganisasi menjadi masyarakat sipil yang kuat. Terakhir, eksperimen partisipasi yang sangat sukses membutuhkan pertanyaan mengenai dalam kontek apa ia dapat berhasil. Dalam hal ini Baiocchi berargumen bahwa kita tidak boleh lupa mengenai kebutuhan untuk terus meningkatkan dalam masyarakat yang demokratis. Ketiga masalah ini –penguatan warga, konteks, dan legitimasi- harus dijawab oleh lembaga yang menerapkan demokrasi deliberatif yang memberdayakan (Empowered Participatory Democracy). Kata kunci: deliberatif demokrasi, pemberdayaan, penganggaran partisipatif. 22. Boordeaux, Carolyn. 2006. Do Legislatures Matter in Budgetary Reform?. Public
Budgeting & Finance / Spring 2006. Satu masalah berulang dalam pelaksanaan reformasi anggaran di tingkat negara adalah apakah dan bagaimana melibatkan legislatif di dalam usaha-usaha tersebut. Paper ini menempatkan legislator adalah kritis untuk pelaksanaan reformasi yang efektif dan behwa perbedaan kelembagaan legislatif mungkin akan mempunyai efek yang berbeda baik untuk legislatif maupun agen pelaksana. Dengan menggambarkan survey yang multistas, analisis ini menuntukan tingkat yang lebih tinggi dari tanggung jawab legislatif untuk anggaran sebagaimana keterlibatan legislatif dalm pengawasan kinerja nformasi adalah secara signifikan berkaitan dengan meningkatan pemanfaatan ukuran kinerja dalam pembuatan keputusuan anggaran baik di tingkat legislatif maupun di tingkat agen. Kata kunci: legislatif, proses penganggaran, reformasi. 23. Ebdon, Carol dan Aimee Franklin. 2004. ‘Searching for a Role for Citizen in the
Budget Process’. Journal of Public Budgeting & Finance/Spring 2004. Meskipun didorong oleh para akademisi dan organisasi profesional, partisipasi warga dalam penganggaran partisipatif di tingkat lokal tidak merata,. Paper ini melakukan analisis efektifitas mekanisme masukan warga dalam proses anggaran dengan studi kasus di dua kota di Kansas. Kajian ini menyimpulakan bahwa mekanisme masukan dari warga mempunyai efektifitas yang kecil yaitu: hasil yang tidak jelas, kesulitan dalam penerapan, 26
dan kendala politik dan lingkungan. Masukan warga nampaknya hanya memiliki dampak yang kecil terhadap keputusan anggaran meskipun di dua kota tersebut proses partisipasi telah terlembaga. Namun demikian, mekanisme input warga telah melayani dua tujuan yaitu: pendikan politik warga dan dukungan untuk proposal khusus. Paper ini menegaskan bwahwa menggambarkan manfaat dan kesulitan dalam melibatkan warga adalah berguna untuk pemerintah yang ingin melibatkan warga di dalam penganggaran. Kata kunci: proses penganggaran, warga, partisipasi. 24. Edward, Mary M. 2007. ‘Public Finance in Planning Education and Practice’. Journal
of Planning Education and Research, Vol. 27, No. 2, 217-227 (2007). Perencana secara siginifikan dapat mempengaruhi kebijakan fiskal melalui keputusan sehari-hari yang mereka buat dan rencana yang mereka laksanakan. Untuk memahami bagaimana sistem pendidikan perencanaan menjawab isu-isu fiskal dalam pendidikan perencanaan, penulis melakukan survey mengenai pendidikan perencanaan di AS dan Kanada dan menganalisis silabus mata kuliah keuangan publik di sekolah perencanaan. Paper ini menunjukkan hasil analisis dan menkontraskan hasil survey dengan praktek perencanaan. Dalam survey kedua, perencana diminta untuk mengemukakan pandangan mereka mengenai kepentingan keuangan publik terhadap perencanaan yang efektif. Setelah dibandingkan, hasil survey menunjukan gambaran yang menarik mengenai signifikansi keuangan publik terhadap kajian akademik dan praktek perencanaan. Penelitian ini ditujukan untuk mendampingi program perencanaan dalam mengevaluasi kurikulum mereka untuk keuangan publik dan kontribusinya terhadap profesi perencanaan. Kata kunci: keuangan publik, pendidikan, praktek perencanaan. 25. Fischer,
Frank. 1998. ‘Beyond Empiricism:Policy Inquiry In Postpositivist Perspective’. Policy Studies Journal, Vol. 26. No.1 (Spring, 1998): 129-146.
Dalam paper ini Fischer mencoba mengkritik pertumbuhan sains kebijakan yang didominasi metodologi neo-positivis. Fischer menunjukkan bahwa sains kebijakan yang didominasi oleh paradigma neo-positivis tidak hanya gagal dalam usahanya untuk membangun badan pengetahuan yang berguna untuk generalisasi yang bersifat prediktif, tetapi ia juga gagal untuk menyediakan penyelesaian yang efektif bagi masalah sosial. Bagian penting dari kegagalan ini adalah karena baik sains maupun sosiologi sain, mencoba menerapkan ‘hard sain’ yang menekankan pada konsep tradisional mengenai objektifitas. Selanjutnya Fischer menawarkan pendekatan post-positivis untuk sains kebijakan. Pendekatan post-positivis terhadap sain kebijakan dirancang untuk menyelesaikan realitas sosial yang kompleks dan multidimensi. Sebagai orientasi yang diskursif berdasarkan pada alasan tertentu, pendekatan post-positivis meletakan pencarian empirik dalam kerangka kerja interpretasi yang lebih luas. Lebih dari alternatif epistemologis, pendekatan ini menyediakan penjelasan yang lebih baik mengenai masalah aktual yang dapat dilakukan sains sosial di dalam praktek. Paper ini ditutup Fischer dengan diskusi ringkas mengenai implikasi dari pendekatan post-positivis baik untuk kurikulum pendidikan maupun untuk praktek demokratis dalam penelitian kebijakan. Kata kunci: neo-positivis, post-positivis,diskursif.
27
26. Flyvberg, B. 2002. ‘Bringing Power to Planning Research: One Researcher’s Praxis
Story’. Journal of Planning Education and Research , vol. 21, no. 4, Summer 2002, pp. 353-366. Dalam paper ini Flyvberg mencoba menjawab apa yang disebut masalah terbesar dalam teori perencaan, yaitu ambivalensi mengenai kekuasaan yang ditemukan oleh peneliti, teoritisi dan pelajar perencanaan. Flyvberg menarasikan bagaimana ia sampai tertarik untuk memahami isue kekuasaan dalam perencanaan. Ia memberikan contoh bagaimana metodologi dibangun untuk studi mengenai kekuasaan dalam perencanaan yang disebutkanya ”phronetic planning research”, dapat diterapakn dalam praktek. Phronetic Planning Research mengikuti tradisi studi kekuasaan yang dilakukan sejak Machiavelli, Nietzsche hingga Michel Foucault dan Pierre Bourdieu. Ia fokus pada empat pertanyaan rasionalitas nilai: 1) akan pergi kemana kita dengan perencanaan? 2) Siapa yang menang dan siapa yang kalah, dan dengan mekanisme kekuasaan seperti apa? 3) Apakah ini dirasakan perkembangannya? 4) apa yang harus dilakukan? Pertanyaan iniditunjukan dengan persoalan khusus dari perencanaan perkoataan di Skandinavia. Flyvberg menemukan bahwa pertanyaan dan jawaban atas pertanyaan akan berimplikasi pada perbedaan dalam praktek perencanaan. Ini membuat perencanaan menjadi masalah penelitian. Kata kunci: Penelitian perencanaan, teori perencanaan, kekuasaan, phronesis, naratif. 27. Forester, John P dan Guy B. Adams. 1997. ‘Budgetary Reform Through
Organizational Learning: Toward an Organizational Theory of Budgeting’. Administration & Society 1997; 28; 466. Usaha-usaha untuk reformasi anggaran telah meninggalkan kekecewaan. Pilihan-pilihan yang menjanjikan, dasar-dasar nilai ekonomi, tampaknya gagal ketika dikonfrontasikan dengan realitas politk. Meskipun demikian, pencarian terus dilakukan. Pengarang berargumen bahwa reformasi anggaran yang sukses mensyaratkan perhatian terhadap kontek organisasi, khususnya dinamika tingkah laku manusia. Tujuan dan eksekusi dari reformasi anggaran harus ’cocok’ dengan dinamika tujuan dan kebutuhan organisasi. Lebih jauh, pengarang berargumen bahwa pelaksanaan yang sukses membutuhkan perubahan organisasi yang terencana, dimana isue-isue perubahan tingkah laku dan budaya organisasi dijawab, ketika reformasi direncanakan dan diimplementasikan. Paper ini menyarankan bahwa teori organisasi dari anggaran tidak hanya menyediakan penjelasan yang lebih baik untuk mengatasi kegagalan reformasi anggaran tetapi juga menjanjikan potensi untuk sukses yang lebih besar pada usaha-usaha reformasi tertentu. Kata kunci: reformasi, proses anggaran, organisasi teori. 28. Fozzard, Adrian. 2001. The Basic Budgeting Problem: Approaches to Resource
Allocation in the Public Sector and their Implications for Pro-Poor Budgeting. Working Paper 147. Centre for Aid and Public Expenditure. Overseas Development Institute: London. Paper ini mencoba membahas pertanyaan V.O. Key yang dikemukakan 60 tahun yang lalu yaitu: ”Berdasarkan apa kita memutuskan untuk mengalokasikan X dolar untuk aktivitas A ketimbang aktivitas B”? (Key, 1940: 1138). Menurut Fozzard, ada dua pendekatan utama 28
untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, jawaban yang didasarkan pada teori ekonomi. Teori ekonomi mendekati pertanyaan itu dengan mengembangkan beberapa pendekatan yang berbeda yaitu: 1) pendekatan barang publik dan rasionalisasi untuk intervensi publik, 2) pendekatan utilitas marginal dan efektifitas biaya, 3) pendekatan efisiensi alokatif dan analisis manfaat-biaya, 4) pendekatan preferensi warga dan pengambilan keputusan kolektif, dan 5) kesetaraan dan tergeting. Pendekatan kedua adalah pendekatan yang lebih fokus pada kelembagaan dan proses alokasi sumber daya. Pendekatan ini dapat dikelompokan ke dalam: 1) penganggaran administratif, 2) rasionalisme, 3) inkremetalisme, 4) pilihan publik, dan 5) prinsipal dan agent. Dalam paper ini, Fozzard membahas berbagai pendekatan tersebut dan implikasinya terhadap anggaran pro-poor. Kata kunci: alokasi sumber daya, pro-poor, kelembagaa. 29. Franklin, Aimee L dan Carol Ebdon. 2005. ‘Are we All Touching the Same Camel?:
Exploring a Model of Participation in Budgeting’. The American Review of Public Administration 35; 168 Teori menyediakan sejumlah preskripsi normatif mengenai partisipasi warga dalam keputusan penganggaran. Beberapa kota berjuang untuk mewujudkannya dengan berbagai aktivitas pelibatan warga dan melaporkan outcome yang mengecewakan. Mengapa ini terjadi? Ini mungkin disebabkan -sama dengan perumpamaan orang buta yang menyentuh bermacam-macam bagian dari unta-, literatur yang luas menyarankan banyak variable yang beragam tetapi tidak terintegrasi dengan baik. Dengan demikian kita tidak melihat keseluruhan gambar dabn hanya menjadikan varibale-varable menjadi memiliki nilai penjelasan yang kecil dan masih sangat sedikit testing sistematik dari hipotesis untuk area ini. Untuk mengelola kompleksistas yang disebabkan oleh variable yang beragam, Franklin mengetes model sebab-akibat (causal model) dengan empat faktor yang berbeda (struktur, partisipan, proses, dan mekanisme) yang diperkirakan mempengaruhi partisipasi warga yang efektif dengan kasus di dua kota. Ini adalah penerapan yang terbatas, karena itu model ini tidak dimaksudkan untuk menguji validitas prediktif. Kata kunci: partisipasi warga, penganggaran pemerintahan lokal, pemerintahan lokal. 30. Hagen, Terje P., Rune J. Sørensen and Øyvind Norli. 1996. ‘Bargaining Strength in
Budgetary Processes: The Impact of Institutional Procedures’. Journal of Theoretical Politics; 8; 41-63. Dalam paper ini Hagen dkk., menunjukkan kecenderungan mengenai studi-studi penetapan anggaran pemerintah saat ini yang lebih banyak menekankan pada proses tawar menawar (bargaining) antara ‘penjaga’ dan ‘advokat’. Pendekatan ini sebelumnya tidak diimplementasikan dalam analisis dan pembentukan model formal untuk proses penganggaran. Dalam paper ini Hagen dkk menggunakan model Nas untuk menganalisis pemerintahan lokal, Model ini diterapkan dengan dua asumsi mengenai konflik. Paper ini menjelaskan kekuasaan dalam dua interpretasi dengan mengestimasi model sejumlah data time seris lintas-sektor dari satu kota di Norwegia. Terakhir, penulis menjelaskan dampak prosedur kelembagaan dalam ’perundingan kekuasaan’(bargaining power). Paper ini mengoperasikan parameter-parameter dari model Nash sebagai variable endogenous, dan mengestimasi dampak dari tahun pemeilihan, penganggaran jangka panjang dan tipe managerial dari pembuatan anggaran. I a menunjukkan bahwa prosedur anggaran dan siklus pemilihan berdampak pada kekuatan berunding dari para negosiator.
29
Kata kunci:perundingan, penganggaran, pemerintahan lokal, belanka publik, prosedur kelembagaan. 31. Heimans, Jeremy. 2002 Strengthening Participation in Public Expenditure Management: Policy Recommendations For Key Stakeholders. OECD Development Centre. Partisipasi masyarakat sipil dalam manajemen belanja publik menjanjikan peningkatan outcome sosial dan ekonomi sekaligus meningkatkan kepercayaan terhadap lembagalembaga publik. Penganggaran partisipatif tergantung pada tiga komponen stakeholder dalam penganggaran yaitu: pemerintah, masyarakat sipil dan legislatif. Namum keberhasilan program penganggaran partisiatif biasanya terkait dengan komitmen dan kapasitas dari para stakeholders ini. Paper ini diperuntukan sebagai dukungan peningkatan kapasitas dengan menyajikan informasi yang lengkap mengenai penganggaran partisipatif meliputi: kelembagaan, proses, waktu, dan aktor yang harus berperan di dalamnya. Kata kunci: manajemen belanja publik, masyarakat sipil, pemerintah, legislator. 32. Jacobi, Pedro. 1999. Challenging Traditional Participation in Brazil: The Goals of
Participatory Budgeting. Working Paper No. 32 Woodrow Wilson International Center For Scholars Washington. Dengan menggunakan mekanisme ‘penganggaran partisipatif’yang dijalankan di Kota Proto Alegre, Pedro Jacobi menganalisis praktek baru untuk alokasi sumber daya di beberapa kota di Brazil. Berdasarkan studinya tersebut, Jacobi sampai pada kesimpulan bahwa penganggaran partisipatif adalah alat efektif untuk demokratisasi management perkotaan terutama dengan memecahkan pola lama relasi klientelisme. Menurut Jacobi, mekanisme baru mempromosikan desentraliasi dalam pengambilan keputusan di tingkat kota dan meningkatkan kontrol publik dalam kebijakan investasi perkotaan. Menurut Jacobi, proses penganggaran partisipatif terdiri atas tiga tahapan penting. Pertama, administrasi perkotaan untuk merancang prioritas investasi dan secara informal mendiskusikannya dengan bagianbagian kota. Kedua, prioritas dilegitimasi oleh Forum Anggaran Kota, pertemuan formal yang melibatkan wakil dari bagian kota. Ketiga, rencana investasi dilaksanakan dengan kontrol dari Forum Warga Kota. Kata kunci: penganggaran partisipatif, kontrol publik, prioritas investasi. 33. Justice, Jonathan B.2006. ‘E-Government as an Instrument of Fiscal Accountability
and Responsiveness: Do the Best Practitioners Employ the Best Practices?’ The American Review of Public Administration Transparansi fiskal dan partisipasi warga dalam proses penganggaran dipromosikan secara luas sebagai alat dan tujuan dari akuntabilitas demokratik dan alokasi yang responsif untuk pemanfaatan dana publik. Di sisi lain, selama dekade yang lalu akademisi dan praktisi – yang antusias dengan e-government- telah menekankan potensi dari penggunaan teknologi informasi untuk meningkatkan tata pemerintahan demokratis. Dengan menggunakan teori dan praktek administrasi publik, Justice mengembangkan kriteria untuk menilai usaha-usaha e-budgeting –melalui contoh Web-site- yang dijalankan oleh pemerintahan di tingkat negara dan lokal. Meskipun para praktisi terus maju dalam mengembangkan potensi e-government untuk meningkatkan akuntabilitas fiskal dan responsivitas, kajian akademik mengenai masalah ini masih sedikit. Temuan ini membimbing untuk agenda penelitian dan praktek pemanfaatan e-government untuk mendorong transparansi fiskal dan partisipasi. 30
Kata kunci: penganggaran publik, e-governmentm akuntabilitas, transparansi, partisipasi warga. 34. Kaufman, Jason. 2004. ‘Rent-Seeking And Municipal Social Spending: Data From
America’s Early Urban-Industrial Age’. Urban Affairs Review 2004; 39; 552. Terminologi ‘rent-seeking’ merujuk pada kelompok kepentingan tertentu yang berusaha mencari keuntungan khusus dengan sedikit atau tanpa biaya. Karena belanja pemerintah memiliki potensi untuk menciptakan baik biaya dan keuntungan bagi pembayar pajak, kebijakan fiskal biasanya dipandang sebagai arena utama untuk aktivitas ‘rent-seeking’. Menurut Kaufman, ada lima teori yang berbeda untuk pembangunan perkotaan amerika pada abad 19 yang cocok untuk menjelaskan fenomena ini. Masing-masing teori pemprediksi pemenang dan pecundang yang berbeda sebagaimana ia juga menggarisbawahi strategi dan perbedaan distribusi kepentingan yang berkuasa terhadap pembuatan kebijakan di tingkat kota. Studi ini menggunakan dua gelombang panel data mengenai representasi kelompok kepentingan dan belanja sosial perkotaan untuk menjelaskan validitas dari perbedaan teori-teori ‘rent-seeking’. Masing-masing teori secara umum menekankan pada ‘self-seeking’, studi ini mencatat peran dari kompetisi antara bermacam-macam sektor dari ekonomi lokal sebagai kekuatan untuk pembentukan dan mobilisasi organisasi kelompok kepentingan. Temuan ini kontras dengan teori rent-seeking yang memprediksi perluasan kerja sama antara komunitas dan atau kelas untuk mencapai tujuan umum. Usul untuk penelitian lanjut untuk topik ini yang dianjurkan. Kata kunci: politik perkotaan, kelompok kepentingan, rent-seeking, asosiasi warga. 35. Kelly, Janet M. 2005. ‘A Century of Public Budgeting Reform: The "Key" Question’.
Journal of Administration & Society 37; 89. Satu abad reformasi anggaran merefleksikan satu abad perubahan dukungan publik untuk peranan pemerintah di masyarakat Amerika. Ketika masyarakat Amerika percaya bahwa sektor privat lebih dari sektor publik, maka reformasi anggaran dipusatkan pada kontrol biaya dan peningkatan efisiensi. Ketika masyarakat Amerika berbalik pada pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan oleh sektor privat, reformasi anggara dipusatkan pada program-program efektifitas. Penulis mengklaim bahwa dia memiliki jawaban terhadap pertanyaan V.O. Key tentang teori anggaran. Menurut penulis, sejarah telah menunjukannya. Teori anggaran adalah teori siklus politik yang didorong oleh perubahan opini publik mengenai peran pemerintah yang pantas. Ada dua gambaran yang berlangsung terus dari praktek penganggaran yang tumbuh di abad yang lalu. Penganggaran inkremental yang merefleksiskan preferensi orang Amerika untuk perubahan kebijakan yang inkremental. Bentuk tradisional atau line-item yang mempromosikan akuntabilitas keuangan. Kata kunci: reformasi anggaran, sejaran anggaran, siklus politik. 36. Kohl, Benjamin. ‘Democratizing Decentralization in Bolivia: The Law of Popular
Participation’. Journal of Planning Education and Research 2003; 23; 153. Pada tahun 1994, sebagai bagian dari trend globarl, Bolivia menetapkan program desentralisasi yang abisius yang bukan hanya mentransfer dana dan kewajiban baru bagi pemerintahan lokal tetapi juga memandatkan penganggaran partisipatif dan pengawasan 31
oleh organisasi lokal. Artikel ini menyajikan penilaian atas program ini dengan fokus pada desentralisasi terhadap efisensi pemerintahan, pembangunan ekonomi, dan akuntabilitas politik. Berdasarkan studi ini, Kohl menunjukan bahwa pemerintah lokal dengan organisasi grass-root dan organisasi non-pemerintah yang kuat secara relatif berhasil mendorong proses desentralisasi yang demokratis, meskipun desentralisasi tidak mendorongi pembangunan ekonomi. Di banyak pemerintahan lokal, kebijakan desentralisasi telah menimbulkan perkubuan elit lokal, menguatnya klientelisme, dan desentralisasi korupsi. Kata kunci: desentralisasi, partisipasi, Bolivia, Amerika latin, demokratisasi, reformasi politik 37. Lavalle, Adrián Gurza, Peter P. Houtzager, and Graziela Castello. 2005. In whose
name? Political representation and civil organisations in Brazil IDS Working Paper 249, First published by the Institute of Development Studies in June 2005. Sampai tahun 2005, di Brazil banyak organisasi ketetanggan dan LSM yang mengklaim sebagai representasi masyarakat. Penelitian ini menncoba menjawab dua pertanyaan utama yaitu: 1) NGO mana yang dapat dinyatakan sebagai representasi masyarakat? dan 2) dalam terminologi apa NGO dapat dikatakan sebagai merepresentasikan masyarakat? Untuk menjawab pertanyaan penelitian, penulis berusaha menggunakan metode: 1) Menyusun indikator untuk menilai apakah suatu NGO dapat dikatakan merepresentasikan masyarakat. Indikator tersebut adalah: advokasi, asosiasi lokal, pelayanan, dan network, 2) Mendaftar NGO yang mengklaim sebagai representasi masyarakat. Daftar meliputi: nama, kegiatan, dana, keanggotaan, dll dan 3) Menghubungkan tabel yang diisi oleh NGO dengan jenis representasi NGO terhadap masyarakat. Sebagai studi kasus dipilih kota Sao-Paulo di Brazil. Kota ini merupakan kota terpadat dan paling terfragmentasi di Brazil. Sebagai hasilnya, penelitian ini menghasilkan gambaran yang kaya mengenai konstelasi NGO berikut makna representasinya di Brazil. Kata kunci: organisasi ketetanggaan, LSM, representasi 38. Levaggi, Rosella. 2002. ‘Decentralized Budgeting Procedures for Public Expenditure’.
Public Finance Review; 30; 273. Paper ini mendiskusikan alokasi belanja pubik diantara pelayanan yang berkompetisi. Beberapa negara seperti Italy menggunakan konsep ‘kendala anggaran berganda’; yaitu pada tingkat tinggi mengeset belanja secara total dan alokasinya antara pelayanan yang berkompetisi, sedangkan negara lain hanya mendefinisikan anggaran secara total. Paper ini menjelaskan cara-cara yang berbeda dimana hubungan antara agen yang terlibat distrukturkan dan menentukan bahwa pilihan antara sistem yang berkompetisi tergantung pada tujuan yang ingin dikejar oleh agen yang telibat. Analisis menunjukan bahwa anggaran lebih ketat yang terjadi pada kendala anggaran berganda mungkin akan optimal; ini berarti otonomi dalam desentralisasi tidak selalu merupakan alternatif terbaik. Kesimpulan menarik kedua adalah bahwa desentralisasi fungsional memungkinakan pemerintah pusat untuk memperluas informasi kepada agensi, tetapi dalam kasus ini sturktur insentif harus menghindarkan kolusi diantara aktor yang terlibat. Kata kunci: desentralisasi, prosedur anggaran, belanja publik, kendala anggaran.
32
39. Melo, Marcus, Flávio Rezende dan Cátia Lubambo an . 2001. Urban Governance,
Accountability and Poverty: The Politics of Participatory Budgeting in Recife, Brazil. Working Paper 27. The Department for International Development (DFID). Penganggaran partisipatif adalah salah satu pendekakatan yang secara eksplisit menghubungkan antara proses pembuatan kebijakan kota yang formal dan top-down dengan proses informal dan bottom-up yang dibuat melalui proses negosiasi di tingkat komunitas. Pengalaman ini telah menarik perhatian dan menempatkannya sebagai salah satu praktek terbaik dalam Tata Pemerintahan Kota. Paper ini mendiskusi kemungkinan penerapan penganggaran partisipatif di kota lain selain Porto Alegre sebagai tempat lahirnya penganggaran partisipatif. Kota yang dipilih adalah Recife, yaitu kota yang meiliki konteks politik dan sosial yang berbeda dengan Proto Alegre. Analisis menggunakan metode kualitatif dan metode kuantitatif. Agar dapat menangkap proses dalam cara pandang warga, khususnya orang miskin, diskusi kelompok terfokus (FGD) dan pendekatan kualitatif lain digunakan di dalam komunitas masyarakat miskin dan kelompok marginal. Issue yang dicoba untuk dijawab adalah: Apakah penganggaran partisipatif meningkatkan kapasitas kelompok sosial yang marginal dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan mengenai alolasi sumber daya publik? Apakah penganggaran partisipatif meningkatkan akses orang miskin dalam pelayanan kota? dan apakah belanja pemerintah loka merefleksikan prioritas bagi orang miskin? Kata kunci: partisipasi anggaran, orang miskin, kelompok marginal.
40. Najjar, George K. 1978. ‘Social Systems Delimitation and Allocative Mechanisms:
Perspectives on Budgeting for Development’. Administration & Society; 9; 495. Literatur administrasi pembangunan terlalu menekankan pada pendekatan pertukaran pasar untuk alokasi sumber daya nasional. Kosongnya analisis sistematis mengenai aspek pertukaran di luar pasar, transfer satu arah, literatur menanggalkan baik kegagalan teknis dari pasar dan tendensiya untuk menekankan pada logika operasional dari masyarakat. Paper ini berargumen bahwa pemanfaatan transfer anggaran publik untuk membatasi pasar dan membantu menciptakan unit pekerjaan akan menjadi produktif. Konsep mengenai anggaran ’substantivesynergistic’ diperkenalkan sebagai alat operasional untuk model yang disarankan. Kata kunci: anggaran, pasar, ekstra-pasar, substantivesynergistic. 41. Oliveira, Fernanda Martinez de., Jose Carlos Vaz, dan Winthrop Carty. 2003.
Internet Use and Citizen Participation in Local Government: Ipatinga’s Interactive Participatory Budgeting. Public Management and Citizenship Program, Getulio Vargas Foundation (Brazil), Polis Institute (Brazil), and Institute of Democratic Governance and Innovation, Harvard University (US). Sejak akhir tahun 1980-an, sejumlah pemerintah lokal Brazil telah menggunakan ‘penganggaran partisipatif’ sebagai satu mekanisme untuk melibatkan warga dalam proses pembentukan anggaran. Bagaimanapun, hingga tahun 2001 kota-kota tersebut belum menggunakan internet sebagai alatu untuk memperluas dan mendorong proses ini hingga 33
Kota Ipatinga menggunakannya dalam proses memilih prioritas dan alokasi anggaran untuk proyek lokal. Melalui internet, warga mendaftarkan prioritas mereka dan menelususri penyediaan proyek-proyek publik. Hasil dari inovasi ini, menunjukkan peningkatan 44 sampai 125 persen dalam jumlah input warga terhadap prioritas anggaran. Dampaknya juga tampak untuk capaian yang baik di atas input tradisional; partisipan orang muda tampaknya meningkat di dalam proses, sementara warga dengan pendidikan rendah juga menggunakan internet sebagai alat untuk mengatasi inklusi. Secara keseluruhan, ‘Penganggaran Partisipatif yang Interaktif’ di Ipatinga merupakan canel tambahan dalam hubungan antara negara dengan masyarakat: ruang virtual menyediakan demokratisasi untuk partisipasi dan kontrol sosial, apakah untuk aktor yang secara tradisional mengambil peran dalam keputusan kota untuk partisipan baru. Selama musyawarah regional dan kota, debat dan negosiasi didefinisikan dimana sumber daya publik akan diterapkan; partisipasi on-line memfasilitasi interaksi bagian-bagian tertentu dari proses; keputusan final tetap terjadi di dalam pertemuan tatap muka. Kata kunci: interaktif, internet, penganggaran partisipatif.
42. Robinson, Mark. 2006. Budget Analysis And Policy Advocacy: The Role Of
Nongovernmental Public Action. IDS Working Paper 279 September 2006. Paper ini menjelaskan dampak dan signifikansi dari analisis anggaran independen dan inisiatif advokasi yang dirancang untuk meningkatkan transparansi anggaran dan memfokuskan pada kemiskinan untuk prioritas belanja pemerintah. Paper ini menggambarkan studi kasus di enam kelompok anggaran di Brazil, Kroasia, India, Meksiko, Afrika Selatan dan Uganda yang melibatkan organisasi non pemerintah, lembaga penelitian dan gerakan sosial. Temuan menunjukan bahwa inisiatif anggaran masyarakat sispi berkontribusi pada penignkatan transparansi dalam keputusan dan proses anggaran, menignkatkan perhatian dan melek anggaran, dan memperdalam keterkaitan dalam proses angggaran dari legislator, media dan organisasi masyarakat sipil. Sementara struktur dari proses anggaran membuat perubahan substansial dalam prioritas sulit untuk dicapai, kelompok anggaran secara langsung berkontribusi memberikan dampak posisitf dalam alokasi anggaran dan meningkatkan pelaksanaan, jua meningkatkan akuntabilitas dari pembuat keputusan. Dampak penelusuran belanja juga ditemukan secara efektif dalam menjamin pemanfaatan belanja pendidikan dan kesehatan. Meningkatkan alokasi anggaran dan pemanfaatan dana publik yang bermanfaat untuk orang miskin dan kelompok tidak beruntung dapat menjamin keadilan yang lebih luas dalam prioritas anggaran dan tujuan keadilan sosial lebih lanjut. Aktivitas kelompok anggaran memperkuat demokrasi dengan meningkatkan akuntabilitas, transparansi dan pendalaman partisipasi. Kata kunci: masyarakat sipil, anggaran, belanja publik, advokasi, akuntabilitas, transparansi.
43. Pinto, Rogerio F. 1980. ‘Public Sector Budgeting: A Public Economics and a Public
Administration Approach’. International Review of Administrative Sciences 1980; 47; 27. Paper ini menjelaskan perbandingan rasionalitas antara pendekatan ekonomi publik dan administrasi publik terhadap penganggaran publik dengan menekankan bagaimana konseptualisasi dari masing-masing disiplin membimbing pada perbedaan postulat dan praktek. Pendekatan ekonomi publik terhadap sektor publik tampaknya menekankan bahwa anggaran publik terutama sebagai alat untuk menyelesaikan tujuan fiskal yang didefinisikan 34
dalam empat aktivitas eknonomi. Penganggaran secara esensial merupakan alat untuk menempatkan sumber daya sesuai kebutuhan dengan asumsi bahwa kebutuhan memiliki nature ekonomi dan bahwa alokasi sumber daya yang optimum adalah mungkin. Penganggaran adalah proses mengkalkulasi implikasi fiskal yang relevan dari tiap pilihan alokasi sekaligus secara eksplisit memformulasikan struktur preferensi dan keinginan masyarakat. Anggaran juga merefleksikan permintaan masyarakat terhadap barang publik dan trade-off dari berbagai pilihan. Sedangkan anggaran publik dalam administrasi publik tidak hanya dipandang sebagai berntuk kebutuhan masyarakat atas barang publik dan tradeoff diantara pilihan. Penganggaran juga adalah pembentukan strategi untuk koordinasi dan kombinasi sumber daya dalam pola-pola tindakan untuk mencapai tujuan. Lebih jauh, dalam kontek ini penganggaran juga merupakan alat untuk menilai dan mengontrol pencapaian tujuan secara efektif. Penganggaran tidak dibatasi sebagai pembentukan pola-pola pilihan tetapi sebagai pola-pola pilihan untuk mobilisasi. Melalui proses ini sumber daya langka dengan beragam segmen masyarakat dilegitimasi tidak hanya berdasarkan rasionalitas ekonomi tetapi juga berdasarkan rasionalitas untuk mencapai pemenuhan tujuan secara efektif. Dalam konteks ini, anggaran bukan hanya mengartikulasikan kebutuhan dan sumber daya dalam batasan optimalitas ekonomi dan konsolidasi sistem ekonomi, tetapi dalam batasan yang lebih luas yaitu integrasi sosial dan politik yang dapat dikelola. Kata kunci: Penganggaran, ekonomi publik, administrasi publik. 44. Santos, Boaventura de Sousa. 1998. ‘Participatory Budgeting in Porto Alegre: Toward
a Redistributive Democracy’. Journal of Politics & Society, Vol. 26 No. 4, 461 – 510. Dalam paper ini Santos menganalisa satu experimen di perkotaan yang bertujuan untuk meredistribusi sumber daya kota kepada kelompok sosial yang rentan melalui ‘Partisipasi Anggaran’ yang mulai dijalankan sejak 1989. Dalam bagian pertama paper, Santos secara ringkas mendeskripsikan kondisi Porto Alegre saat ini dan pemerintahannya dalam kontek sistem politik di Barzil dan menyajikan beberapa informasi dasar mengenai kota. Pada bagian kedua, Santos mendeskripsikan gambaran utama mengenai kelembagaan dan proses penganggaran partisipatif dan kriteria serta metodologi untuk distribusi sumber daya. Pada bagian ketiga, Santos menganalisis evolusi inovasi kelembagaan sampai paper ini dibuat. Terakhir, Santos menganalisis proses partisipasi anggaran dengan mengikuti kerangka kerja: efisiensi redistributif, akuntabilitas dan qualitas dari representasi dalam demokrasi partisipatoris, otonomi penganggaran partisipatif vis-a-vis pemerintah kota, dari teknobirokrasi ke teknodemokrasi, dua kekuasaan dan kompetisi legitimasi, dan hubungan antara penganggaran partisipatif dengan lembaga legislatif yang memiliki legalitas formal dalam menyetujui anggaran. Kata kunci: redistribusi, demokrasi, partisipasi anggaran, sumber daya. 45. Schneider, Aaron and Marcelo Baquero. 2006. S Get What You Want, Give What You
Can: Embedded Public Finance in Porto Alegre. IDS Working Paper No. 266, Mei 2006. Sampai tahun 1986 –ketika Partai Serikat Pekerja Menang- keuangan publik di Porto Allegre Brazil masih menghadapi problem struktural. Salah satunya adalah hubungan patron klien dalam alokasi anggaran. Sebagai akibatnya alokasi anggaran tidak sesuai dengan kepentingan publik, melainkan memperkaya kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan. Sebagai akibat situasi di atas, maka alokasi anggaran ditandai dengan korupsi yang tinggi, in-efisiensi, dan tidak legitimate. Problem kemiskinan dan infrastruktur yang 35
kasat mata juga tidak terespon dalam alokasi anggaran. Sebagai akibatnya, tingkat kemiskinan dan kerusakan infrastruktur terus meningkat. Di sisi yang lain, pihak yang kaya juga enggan membayar pajak karena mereka tahu bahwa pajak yang dibayarkan ke negara tidak untuk diredistribusi melainkan digunakan untuk memperkaya pejabat publik, politisi, dan kelompok-kelompok yang dekat dengan kekuasaan. Untuk mengatasi masalah ini, sejak tahun 1986, partai politik pemenang pemilu yang baru yaitu –Partai Pekerja- menerapkan inovasi dalam alokasi anggaran yang disebut “participatory budgeting” dalam inovasi ini pemerintah melibatkan kelompok-kelompok masyarakat secara luas –baik yang berbasis ketetanggan maupun yang berbasis isu- untuk terlibat dalam formulasi program pembangunan dan proses-proses alokasi anggaran. Untuk melihat bagaimana Aaron Scheider dan Marcelo Baquero dalam paper ini untuk: 1) menggambarkan kelembagaan untuk penganggaran partisipatif, 2) menggambarkan perluasan kelompok-kelompok masyarakat dalam proses penganggaran, dan 3) Melihat dampak penganggaran partisipatif terhadap dua hal yaitu alokasi sumber daya dan tingkat pembayar pajak. Berdasarkan penelitian lapangan di Porto Alegre, penulis berkesimpulan bahwa: 1) mekanisme yang terbuka dalam proses penganggaran telah memperluas partisipasi warga dalam proses penyusunan program pembangunan dan alokasi anggaran dan 2). Proses partisipasi telah merasionalisasi alokasi sumber daya dan meningkatkan pajak pemerintah. Kata kunci: embedded, alokasi sumber daya, penganggaran partisipatif. 46. Schneider, Aaron. 2007. Crisis in the Home of Participatory Budgeting: Technical
Accuracy and Hierarchy. Cidade, Porto Alegre: Brazil. Paper ini membahas mengenai krisis keberlanjutan penganggaran partisipatif di Kota Porto Alegre tempat kelahiran ‘penganggaran partisipatif’. Menurut penulis, krisis ini bermula ketika partai pekerja –sebagai inisiator penganggaran partisipatif- dikalahkan oleh koalisi partai-partai pesaingnya setelah selama 18 tahun berkuasa. Sekretatis pemerintah daerah dalam pidatonya sering menyatakan bahwa pendekatan teknokratis dan birokratis akan membuat alokasi anggaran lebih efisien. Data statistik mengenai kemiskinan akan menjadi rujukan utama ketimbang data hasil diskusi warga. Penulis –sebagai akademisi yang tidak memiliki kepentingan politik- menyatakan bahwa pendekatan ini akan mereduksi peran warga dalam alokasi sumber daya, dan lebih menempatkan warga sebagai penerima manfaat. Meskipun klaim efektifitas dalam memerangi kemiskinan masih diragukan, penulis merasa yakin bahwa pendekatan ini akan merubah budaya partisipasi warga. Kata kunci: akurasi teknis, hirarki, penganggaran partisipatif. 47. Silverman, Eli B. 1974. ’Public Budgeting and Public Administration: Enter the
Legislature’. Public Finance Review 1974; 2; 472. Meskipun administrasi publik telah berkontribusi terhadap studi dan reformasi sistem penganggaran publik, peran legislatif dalam proses penganggaran masih memiliki sedikit perhatian. Kritik terhadap pengabaian peran legislatif dalam penganggaran publik bukan hanya didasarkan pada alasan intelektual melainkan juga preferensi nilai. Hampir semua reformasi yang berusaha meningkatkan peran legislatif ditolak. Strategi alternatif untuk meningkatkan kekuasaan legislatif dihadapkan pada dua nilai yang berbeda yaitu: 1) pembagian kerja ketimbang sentralisasi, 2) pemilihan evaluasi dan pengawasan ketimbang formulasi kebijakan yang komprehensif; dan 3) biaya ekonomi dan politik dan manfaat ketimbang analisis ekonomi murni.
36
Kata kunci: penganggaran publik, administrasi publik, legislatif.
48. Snyder, James C. 1988. ‘Perencanaan Fiscal dan Penetapan Anggaran’ dalam
Perencanaan Kota. Erlangga: Jakarta. Dalam paper ini Snyder mendeskripsikan mengenai hubungan antara perencanaan dan penganggaran, serta menjelaskan mengapa keterkaitan antara perencanaan dan penganggaran baru tdirasakan pada tahun 1980-an yaitu ketika perencanaan kota memperluas objek kajiannya tidak hanya ruang fisik dan land-use melainkan juga masuk ke wilayah perencanaan ekonomi dan sosial. Sebagai bagian dari kompilasi buku pengantar, paper ini juga menjelaskan ruang lingkup studi keuangan publik yang minimal harus dikuasai oleh perencana. Paper ini juga menempatkan perencanaan dan penganggaran dalam konteks managemen perkotaan. Sayang sekali, paper ini hanya menempatkan keuangan dalam perspektif perencanaan rasional komprehensif sehingga hanya melihat keuangan dalam perspektif ekonomi publik. Kata kunci: perencanaan fiskal, penganggaran. 49. Souza, Celina. 2001. ‘Participatory Budgeting in Brazilian Cities: Limits and
Possibilities in Building Democratic Institution’. Journal of Environment & Urbanization 13 (2), pp. 159-184. Sebagaimana banyak negara demokratis saat ini, Brazil sedang berusaha untuk memperkuat lembaga-lembaga demokrasinya. Sebagai hasilnya, beberapa eksperimen dibuat pada seluruh tingkatan pemerintahan untuk mendukung peningkatan partisipasi warga di dalam proses pembuatan keputusan. Salah satu eksperimennya adalah penganggaran partisipatif di tingkat lokal yang melibatkan warga dalam pengambilan keputusan untuk alokasi anggaran. Dalam paper ini, Souza mereview berbagai literatur mengenai penganggaran partisipatif di Brazil, menganalisis dua contoh kasus yang paling terkenal yaitu di Kota Porto Alegre dan Belo Horizonte. Dengan menggunakan data sekunder, Souza mendeskripsikan gambaran eksperimen, mendiskusikan hasilnya, dan debat mengenai klaim yang dibuat dalam literatur mengenai dua kasus tersebut. Souza berargumen bahwa meskipun beberapa klaim dan hasil berkaitan dengan eksperimen membutuhkan penelitian lebih lanjut, pengalaman partisipasi anggaran di dua kota telah membuat masyarakat miskin yang terabaikan untuk terlibat dalam memutuskan prioritas investasi di dalam komunitasnya. Lebih jauh, partisipasi anggaran juga berargumen bahwa mendorong partisipasi dalam masyarakat yang sangat timpang seperti di Brazil seharusnya dinilai lebih untuk mempertinggi kewargaan ketimbang untuk keuntungan material. Kata kunci: partisipasi anggaran, kewargaan, pengambilan keputusan. 50. Souza, Celina. 2007. ‘Local Democratization in Brazil: Strengths and dilemmas of
deliberative democracy’. Palgrave Macmillan Journals, Palgrave Macmillan Ltd., Houndmills, Basingstoke, Hampshire,RG216XS, England. http://www.palgravejournals.com/ development/ journal/ v50/ n1/ full/1100338a.html#bib14.
37
Dalam paper ini Souza menganalisis dua mekanisme untuk merancang peningkatan demokrasi deliberatif di Brazil yaitu: penganggaran partisipatif dan komite komunitas. Dia berusaha menjawab: 1) bagaimana pengalaman ini dilaksanakan dan 2) bagaimana ia dapat terus berlangsung. Souza berargumen bahwa meskipun kapasitas pemerintahan lokal tidak sama dalam memperkuat warga kebanyakan, beberapa kemajuan telah dibuat melalui demokrasi deliberatif di tingkat lokal, meskipun keberlanjutan dari eksperimen ini belum jelas. Kata kunci: pemerintah lokal, partisipasi, pemberdayaan, desentralisasi, penganggaran partisipatif, komite komunitas. 51. Utzig, Josè Eduardo. 1999. Participatory Budgeting of Porto Alegre: A discussion in the
Light of the Principle of Legitimasy and of The Criterion of Governance Performance. Democracia Participativa: Porto Alegre – Brazil. Dalam paper ini, Utzig menganalisis proses penganggaran partisipatif dengan menggunakan kerangka prinsip-prinsip legitimasi dalam demokrasi dan kriteria kinerja dalam tindakan administratif. Kedua kerangka kerja ini menurut Utzig sangat esensial untuk lebih memahami pengalaman, menganalisis kekuatan dan menguji kemungkinan untuk menggunakan proses yang sama dalam pemerintahan lokal yang lain. Untuk isue pertama, Utzig mengaitkan penganggaran partisipatif dengan bentuk demokrasi yang substantive yaitu dimana keputusan memiliki legitimasi yang kuat dari warga. Menurut Utzig, penganggaran partisipatif bukanlah pengganti melainkan penambah demokrasi perwakilan. Sedangkan untuk isue kedua, Utzig mengaitkan penganggaran partisipatif dengan empat komponen kinerja pemerintahan yaitu: 1) kinerja keuangan, 2) cakupan dan kualitas pelayanan publik, 3) kinerja me-redistribusi, dan 4) efisiensi administrasi. Menurut Utzig, meskipun dapat ditelusuri secara historis bahwa penganggaran partisipatif itu meningkatkan kinerja pemerintahan, tetapi penganggaran partisipatif ternyata telah melahirkan kelembagaan yang komplek, rentan, dan penuh konflik sehingga masih dipertanyaakan kelangsungan sistem ini di masa depan terutama jika dikaitkan dengan sistem administrasi yang efisien. Selanjutnya Utzig menekankan bahwa kelembagaan penganggaran partisipatif di Porto Allegre lahir dari kondisi yang spesifik atas konstelasi politik dan budaya masyarakatnya, sehingga kelembagaan ini tidak serta merta dapat diadopsi oleh pemerintahan lokal yang lain. Kata kunci: demokrasi substantif, partisipasi anggaran, kinerja pemerintahan.
38