ANALISIS STILISTIKA "PADA SUATU HARI" AGUS R. SARJONO
Puji Santosa
1. Pengantar
Agus R. Srajono adalah penyair muda yang telah menghasilkan banyak karya
sastra, baik puisi maupun esai. Salah satu buku kumpulan sajaknya Kenduri
Air Mata: Dua Kumpulan Sajak (1994), yang memuat sajak "Pada Suatu Hari".
Sajak itu dipilih sebagai sampel pembahasan sajak Indonesia kontemporer
berdasarkan kajian stilistika. Pemilihan sampel ini beralasan bahwa sajak
"Pada Suatu Hari" tersebut memiliki syarat-syarat penanda khusus struktur
kebahasaan, seperti pertimbangan diksi, sarana retorika, pemanfaatan daya
guna bunyi, dan sejumlah piranti puitis yang lainnya. Selain itu, pemakaian
dialog-dialog dalam sajak tersebut menunjukkan bahwa sajak itu memiliki
kekhasan tersendiri sebagai sebuah bangunan imajiner yang disebut sajak
naratif. Pesona estetis seperti itulah yang akan dianalisis dalam subab
makalah ini.
2. Kerangka Teori
Stilistika adalah cabang ilmu linguistik terapan yang mengarah kepada
studi tentang gaya (style) atau kajian terhadap wujud pemakaian kebahasaan,
khususnya yang terdapat dalam karya sastra (Lecch & Short, 1981: 13).
Sebenarnya, kajian stilistika itu tidak hanya terbatas pada ragam karya
sastra, tetapi dapat diterapkan terhadap berbagai ragam pemakaian bahasa.
Hanya saja, pada umumnya kajian stilistika lebih sering dikaitkan dengan
ragam bahasa sastra. Dalam kajian sastra, biasanya stilistika dimaksudkan
untuk menerangkan hubungan antara bahasa dengan fungsi artistik dan
maknanya (Leecch & Short, 1981: 13).
Gaya (style) artinya suatu hal yang pada umumnya tidak lagi
mengandung sifat kontroversial, menyaran pada pengertian cara penggunaan
bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, dalam bentuk
tertentu, dan untuk tujuan tertentu (Leech & Short, 1981: 10). Itulah
sebabnya gaya (style) sangat bergantung pada konteks, bentuk, dan tujuan
yang hendak dicapai. Gaya (style) bahasa dalam kesusastraan memang ditulis
dalam konteks kesastraan, memakai bentuk-bentuk tertentu, dan bertujuan
untuk memperoleh afek artistik yang bermakna (menonjol).
Kajian stilistika, seperti yang disarankan oleh Leech & Short (1981:
75--80), dapat diarahkan pada semua kategori kebahasaan, yaitu leksikal,
gramatikal, pemakaian majas, dan kohesi dan konteks. Atas dasar teori Leech
& Short (1981) dan Pradopo (1987) serta Waluyo (1987), seperti yang telah
dikemukakan dalam pengantar, inilah sajak "Pada Suatu Hari" karya Agus R.
Sarjono akan dikaji dengan pendekatan stilistika yang memumpunkan pada
masalah gaya bahasa pengarang, terutama yang berhubungan dengan (1)
pemilihan leksikal, (2) struktur kalimat yang dihubungkan dengan gaya
bersajak, (3) pemakaian sarana retorika (personofikasi atau penginsanan),
dan (4) piranti puitis yang lainnya.
3. Anggapan Dasar
Sehabis membaca sajak "Pada Suatu Hari" karya Agus R. Sarjono yang
dimuat dalam kumpulan sajak Kenduri Air Mata: Dua Kumpulan Sajak (1996)
timbul berbagai kesan sebagai anggapan dasar penulis dalam mengkaji sajak
tersebut dengan pendekatan stilistika. Kesan atau tanggapan secara intuitif
itu timbul karena pengaruh dari efek pembacaan secara terus menerus yang
mencoba melibatkan diri ke dalam sajak tersebut. Kesan sebagai anggapan
dasar tersebut ada empat masalah sebagai berikut.
1) Sajak tersebut memiliki gradasi (tingkat dalam peralihan suatu keadaan
kepada keadaan yang lain) secara gradual, berangsur-angsur dari
sedikit demi sedikit ke perubahan yang lebih besar. Perubahan itu juga
menunjukkan adanya sifat atau keadaan tokoh dengan citra negatif:
angkuh, ke barat-baratan, dan sok berkuasa.
2) Sajak di atas mengandung ironi terhadap suatu peristiwa atau kejadian
yang hidup di tengah-tengah masyarakat modern. Sifat ironis sajak ini
mempertentangkan keadaan yang hingar bingar penggusuran dengan suara
hati yang tidak lagi mendapat tanggapan sehingga dicabik kesunyian.
3) Sajak "Pada Suatu Hari" itu merupakan sebuah potret, peristiwa sesaat
yang terjadi pada suatu hari, dan penuh dengan lambang-lambang hidup
sebagai personikasi kehidupan manusia yang penuh dengan kekontrasan
(bertolak belakang antara kenyataan dan angan-angan).
4) Sajak "Pada Suatu Hari" penuh dengan ritme yang dinamis karena
menggunakan berbagai piranti puitis secara baik, misalnya munculnya
aliterasi, asonansi, dan repetisi. Hal itu membuat sajak tersebut
terasa lebih hidup dan bermakna.
Sejumlah kesan di atas menjadi dasar kajian stilistika terhadap sajak
"Pada Suatu Hari" karya Agus R. Sarjono. Kesan yang pertama akan dibuktikan
melalui pemilihan leksikal atau diksi. Kesan kedua akan dibuktikan melalui
penyiasatan struktur kalimat. Kesan yang ketiga akan dibuktikan melalui
pemakaian gaya penginsanan atau personifikasi sebagai sarana retorika.
Kesan yang keempat akan dibuktikan melalui pemanfaatan sarana puitis
kesastraan, seperti pemanfaatan daya guna bunyi dan repetisi.
4. Pembahasan
Sebagaimana telah diutarakan di atas, sajak "Pada Suatu Hari" karya
Agus R. Sarjono akan dikaji melalui pendekatan stilistika. Dengan
pendekatan ini diharapkan dapat ditunjukkan secara nyata hubungan antara
kebahasaan (sebagai sarana ekspresi pengarang) dengan nilai artistik yang
terkandung dalam sajak tersebut. Agar lebih jelas bagi pembaca, sajak "Pada
Suatu Hari" tersebut dikutip sebagai berikut.
PADA SUATU HARI
(1) Maukah kau dengar kisahku, bisik Buldozer
(2) sambil mengisap pipa pada hamparan sawah dan pematang. Tidak!
(3) jawab sawah sambil tergopoh. Kami sibuk dan harus pergi
(4) sebelum fajar pagi.
(5) Maukah kau dengar kisahku, ucap Buldozer
(6) sambil mengunyah pizza pada sungai dan batu-batu. Tidak!
(7) Kami sibuk. Kami harus berangkat sebelum malam
(8) jadi pekat. Tempat ini sudah bukan
(9) milik kami lagi.
(10) Maukah kau dengar kisahku, rengek Buldozer
(11) sambil mencekal jalur-jalur pematang dan jemari sungai. Tidak!
(12) meskipun kami ingin. Kami sibuk. Lihatlah
(13) traktor-traktor dan surat keputusan dan pidato pengarahan
(14) telah tiba. Kami mesti berangkat sebelum terlambat
(15) dan air mata menjadi jerat.
(16) Buldozer itupun tersedu dicabik sunyi. Ia ingin bercerita
(17) Ia ingin ada yang bersedia mendengarnya.
1991
(Agus R. Sardjono, Kenduri Air Mata, 1994: 7)
4.1 Pemilihan Leksikal
Pemilihan leksikal atau diksi dalam sajak "Pada Suatu Hari" mengacu
kepada pengertian kata atau frasa yang sengaja dipilih oleh pengarang dalam
sajaknya tersebut dengan maksud tertentu. Pilihan leksikal itu dilakukan
guna mendapatkan kata atau frasa yang tepat berdasarkan seleksi bentuk dan
makna yang sesuai dengan konteks. Itulah sebabnya pilihan leksikal dianggap
suatu hal yang penting dalam sebuah sajak karena mampu menimbulkan efek
makna yang estetis. Pembahasan leksikal ini akan dikaitkan dengan perubahan
sikap atau keadaan secara gradual dari citra negatif ke citra yang lebih
baik sosok tokoh Buldozer.
Kata Buldozer (baris 1, 5, 10, dan 16) dalam sajak "Pada Suatu Hari"
karya Agus R. Sarjono hadir dalam setiap bait sebagai tokoh utama yang
dikisahkan oleh aku-lirik. Berdasarkan kaidah penyerapan bahasa asing ke
dalam bahasa Indonesia, kata Buldozer itu penyerapannya ke dalam bahasa
Indonesia kurang tepat. Kata itu dalam bahasa Inggrisnya adalah: bulldozer
(Echols, 1996: 87) dan diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi buldoser
(Tim Penyusun Kamus, 1988: 134). Kehadiran kata Buldozer dalam sajak
tersebut kalau bukan merupakan kekeliruan penyair dalam penyerapan ke dalam
bahasa Indonesia, tentu memiliki maksud dan makna tersendiri yang harus
ditafsirkan oleh pembaca. Dituliskannya kata Buldozer dengan huruf kapital
pada huruf awal [B], dihilangkannya salah satu huruf el [l], dan
dipertahankannya huruf zet [z] dimaksudkan sebagai lambang alat kekuasaan.
Arti denotatif buldoser (sebagai kata benda) adalah traktor beroda rantai
dilengkapi alat untuk meratakan tanah, menumbangkan pohon besar, dan
sebagainya (Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 1988: 134). Sebagai kata kerja
transitifnya, bulldoze, artinya 'meratakan atau memaksa dengan kekerasan'
(Echols, 1996: 87).
Pilihan leksikal yang menunjukkan adanya perubahan secara gradual
keadaan atau sifat tokoh Bolduzer, sebagai lambang alat kekuasaan,
ditunjukkan dengan kata bisik (baris 1), ucap (baris 5), rengek (baris 10),
dan tersedu (baris 16). Pilihan kata itu menunjukkan adanya gradasi sifat
atau keadaan dari yang kecil dan pelan menuju ke yang besar dan nyaring.
Kata bisik berarti: suara desis perlahan-lahan (Tim Penyusun Kamus, 1988:
121), ucap berarti: kata, kalimat atau bagian kalimat yang dilisankan (Tim
Penyusun Kamus, 1988: 982), rengek berarti: meminta sesuatu dengan mendesak
sambil menangis-nangis kecil (Tim Penyusun Kamus, 1988: 742), dan kata
tersedu berarti: mengeluarkan suara seperti pada orang yang lama menangis
(Tim penyusun Kamus, 1988: 793).
Apabila pengertian kata-kata tersebut dihubungkan dengan konteks akan
menjadi sebuah pemahaman makna perubahan sifat atau keadaan tokoh, yaitu
dari permintaan yang hanya berdesis perlahan-lahan ke permintaan yang
disertai dengan berkata secara lisan, kemudian menuju ke permintaan yang
disertai dengan tangis kecil dan mendesak, dan akhirnya permintaan itu
tidak dikabulkan sehingga terasa sedih dengan lama menangis. Keadaan
pertama, dengan makna kata bisik, menyiratkan adanya kesantunan tokoh
melakukan pekerjaannya. Keadaan kedua, dengan makna kata ucap, menyiratkan
perubahan watak tokoh yang sudah tidak sabar lagi karena permintaannya
tidak ditanggapi sehingga harus melaksanakan tugasnya dengan terpaksa.
Keadaan ketiga, dengan makna kata rengek, menyiratkan adanya permintaan
yang disertai dengan paksaan tetapi tetap tidak dikabulkan. Keadaan
keempat, dengan makna kata tersedu, menyiratkan adanya keputusasaan tokoh
karena segala permintaannya tidak dikabulkan.
Sementara itu, citra tokoh Buldozer juga mengesankan sebagai tokoh
yang angkuh terhadap rakyat, bergaya hidup kebarat-baratan, dan sok
berkuasa. Hal itu secara nyata ditunjukkan dengan ungkapan sambil mengisap
pipa (baris 2), sambil menguyah pizza (baris 6), dan sambil mencekal jalur-
jalur (baris 11). Pilihan leksikal mengisap pipa mendasarkan pada konvensi
budaya di Indonesia bahwa perbuatan itu hanya dilakukan oleh orang-orang
yang termasuk kelas ekonomi ke atas, orang gedongan, dan para priyayi.
Tentu pilihan leksikal itu menjadi lambang keangkuhan tokoh bagi rakyat
yang didera penderitaan akibat penggusuran-penggurusan oleh penguasa yang
semena-mena.
Frasa mengunyah pizza melambangkan gaya hidup tokoh yang kebarat-
baratan karena pizza bukan makanan yang berasal dari rakyat setempat. Jenis
makanan itu diimpor dari Barat. Frasa mencekal jalur-jalur melambangkan
tokoh yang sok berkuasa. Kata mencekal merupakan akronim dari "melakukan
tindakan cegah dan tangkal". Orang yang melakukan tindakan itu tentu
memiliki kekuasaan atau setidak-tidaknya merupakan alat yang dipakai oleh
penguasa untuk melakukan tindaknnya terhadap rakyat. Itulah sebabnya tokoh
Buldozer memiliki citra negatif sebagai tokoh yang angkuh, bergaya hidup
kebarat-baratan, dan sok berkuasa sehingga suaranya tidak didengar
(dipercaya) oleh rakyat.
Gradasi secara gradual tidak hanya ditunjukkan pada perubahan sifat
atau keadaan tokoh utama, Buldozer, tetapi juga pada perubahan keadaan
tokoh rakyat. Pada diri tokoh rakyat ini dilambangkan dengan pilihan kata
sawah dan pematang (baris 2), sungai dan batu-batu (baris 6), dan pematang
dan sungai (baris 11). Hal ini menunjukkan bahwa rakyat, kelas ekonomi
bawah, adalah masyarakat yang agraris dan bukan masyarakat maritim atau
masyarakat industrial. Sawah, pematang, sungai, dan batu-batuan merupakan
urusan dunia pertanian atau tanah pertanian sebagai bentuk wujud nyata
masyarakat agraris. Masyarakat kelas ekonomi bawah itu harus digusur oleh
tangan-tangan kekuasaan melalui alat-alat penguasa, seperti Buldozer,
traktor-traktor, surat keputusan, dan pidato pengarahan (baris 13). Tingkah
masyarakat yang panik karena miliknya yang digusur itulah yang menunjukkan
perubahan secara gradual.
Pemilihan leksikal tergopoh, sibuk, dan harus pergi (baris 3) secara
jelas menyiratkan perubahan secara gradual tokoh rakyat yang terusir dari
tempat tinggalnya. Kata tergopoh artinya: tergesa-gesa, terburu-buru, lekas-
lekas dalam melakukan suatu pekerjaan (Tim Penyusun Kamus, 1988: 282), kata
sibuk artinya: banyak yang dikerjakan, penuh dengan kegiatan (Tim Penyusun
Kamus, 1988: 836), dan kata harus pergi berarti: keadaan yang mewajibkan
(tidak boleh tidak) meninggalkan tempatnya.
Rentetan peristiwa yang satu ke peristiwa yang lainnya secara tersirat
menunjukkan perubahan secara gradual penggusuran tanah milik rakyat.
Pilihan-pilihan leksikal itu juga menyiratkan tokoh rakyat yang lemah dan
tak berdaya menghadapi penggusuran. Tentu pilihan leksikal itu sudah
disesuaikan dengan maksud dan tujuan pengarang guna memperoleh efek estetis
nilai sajak. Dengan pilihan leksikal seperti itu memungkinkan sajak
bernilai arstistik sehingg terjadi koherensi antara bentuk dan makna secara
utuh dan terpadu.
4.2 Struktur Kalimat
Suatu hal yang paling menarik dalam sajak "Pada Suatu Hari" karya
Agus R. Sarjono ini adalah sajian gaya bersajak yang menggunakan dialog
atau cakapan. Dialog itu terjadi antara alat penguasa, yang dilambangkan
dengan Buldozer, dengan rakyat, yang dilambangkan dengan sawah, pematang,
sungai, dan batu-batu. Namun, bentuk dialog itu tidak disajikan dalam
sebuah tanya jawab seperti lazimnya dalam sebuah drama--dengan nama tokoh
dan diikuti dengan tanda titik dua [:] atau tanda kutipan langsung dengan
tanda petik dua ["...."]. Semua kalimat sepertinya ditulis dalam bentuk
kalimat deklaratif (berita). Padahal, apabila diamati secara sungguh-
sungguh dalam sajak itu terdapat pula kalimat interogatif (tanya) dan
kalimat imperatif (perintah) yang dikombinasikan secara baik dalam sajak
tersebut.
Ketaksaan kalimat dalam sajak itu disebabkan oleh tidak adanya tanda
tanya [?] untuk kalimat interogatif pada akhir kalimat. Tanda seru [!] yang
umumnya dipakai pada bagian akhir kalimat imperatif tidak dipakai. Tanda
seru [!] itu justru dipakai dalam jawaban singkat kalimat minor "Tidak!"
(baris 2, 6, dan 11). Selain pemakaian tanda seru untuk kalimat minor itu,
semua kalimat hanya dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan tanda
titik [.] sebagai perwujudan bentuk kalimat deklaratif.
Tiga kalimat yang ditulis dengan awal kapital dan diakhiri dengan
tanda titik pada bait pertama, kedua, dan ketiga itu sebenarnya merupakan
kalimat interogatif. Hal itu disebabkan oleh munculnya partikel -kah yang
berfungsi sebagai pengubah kalimat deklaratif menjadi kalimat interogatif
atau pengubah intonasi kalimat deklaratif menjadi intonasi kalimat
interogatif (Alwi, 1993: 343). Perhatikan ketiga kalimat yang ditulis
secara deklaratif berikut.
1) Maukah kau dengar kisahku, bisik Buldozer sambil mengisap pipa pada
hamparan sawah dan pematang. (baris 1 dan 2)
2) Maukah kau dengar kisahku, ucap Buldozer sambil mengunyah pizza
pada sungai dan batu-batu. (baris 5 dan 6)
3) Maukah kau dengar kisahku, rengek Buldozer sambil mencekal jalur-
jalur pematang dan jemari sungai. (baris 10 dan 11)
Apabila kalimat (1), (2), dan (3) itu diubah menjadi kalimat
interogatif yang lazim tentu akan tersusun kalimat sebagai berikut.
1) Apakah kau mau mendengar kisahku? bisik Buldozer sambil mengisap
pipa pada hamparan sawah dan pematang. (baris 1 dan 2)
2) Apakah kau mau mendengar kisahku? ucap Buldozer sambil mengunyah
pizza pada sungai dan batu-batu. (baris 5 dan 6)
3) Apakah kau mau mendengar kisahku? rengek Buldozer sambil mencekal
jalur-jalur pematang dan jemari sungai. (baris 10 dan 11)
Pemakaian kalimat seperti kalimat deklaratif itu memang dipilih oleh
penyair untuk menyatakan sebuah ketaksaan dan nilai artistik sebuah sajak.
Dimunculkannya bentuk kalimat seperti itu semakin memainkan peranan
pentingnya struktur kalimat dalam membangun sebuah sajak. Kalimat-kalimat
pertanyaan itu dikombinasi secara baik dengan kalimat-kalimat jawaban tokoh
rakyat yang dilambangkan dengan kata sawah, pematang, sungai, dan batu-batu
sebagai berikut. Perhatikan kalimat-kalimat berikut.
(1) Tidak! jawab sawah sambil tergopoh. (baris 2 dan 3)
(2) Kami sibuk dan harus pergi sebelum fajar pagi. (baris 3, dan 4)
(3) Tidak! (baris 6)
(4) Kami sibuk. (baris 7)
(5) Kami harus berangkat sebelum malam jadi pekat. (baris 7 dan 8)
(6) Tempat ini sudah bukan milik kami lagi. (baris 8, dan 9)
(7) Tidak! meskipun kami ingin. (baris 11 dan 12)
(8) Kami sibuk. (baris 12)
(9) Lihatlah traktor-traktor dan surat keputusan dan pidato
pengarahan telah tiba. (baris 12, 13, dan 14)
(10) Kami mesti berangkat sebelum terlambat dan air mata menjadi
jerat. (baris 14, dan 15)
Kesepuluh kalimat di atas merupakan jawaban dari tokoh rakyat yang
juga menggunakan kata persona kami. Munculnya tanda seru [!] sesudah kata
tidak dalam kalimat (1), (3), dan (7) di atas bukan merupakan kalimat
imperatif, melainkan sebuah penegasan dari jawaban tokoh rakyat. Bentuk
kalimat (1), (3) dan (7) tersebut termasuk kategori kalimat minor atau
kalimat tak lengkap, yaitu kalimat yang tidak ada subjek dan predikatnya
(Alwi, 1993: 410). Apabila ketiga kalimat tersebut dibuat menjadi kalimat
lengkap, harus menyertakan bagian pokok dari kalimat pertanyaannya. Ketiga
bentuk kalimat lengkap itu sebagai berikut.
(1a) Kami tidak mau mendengar kisahmu, jawab sawah sambil tergopoh.
(3a) Kami tidak mau mendengar kisahmu.
(7a) Kami tidak mau mendengar kisahmu, meskipun kami mengingankan hal
itu.
Kehadiran kalimat-kalimat minor itu memang dipilih oleh penyair untuk
lebih memadatkan makna sehingga timbul nilai artistik sajak. Demikian pula
dihadirkannya kalimat imperatif (perintah) pada kalimat (9) merupakan daya
kreatif penyair untuk menghadirkan makna yang mengandung sifat ironis.
Makna yang bersifat ironis ini secara implisit menunjukkan bahwa rakyat
mampu memerintah alat penguasa yang angkuh, bergaya hidup kebarat-baratan,
dan sok berkuasa.
Nilai ironi sajak itu diperkuat dengan tiga kalimat dalam bait
terakhir, yaitu
Buldozer itupun tersedu dicabik sunyi;
Ia ingin bercerita; dan
Ia ingin ada yang bersedia mendengarnya.
Ketiga kalimat itu kontras dengan hingar bingarnya rakyat yang
mengurus perpindahan karena digusur oleh alat penguasa. Di situlah letak
ironi sajak ini. Alat penguasa yang selama ini mendapat citra negatif ingin
berbuat baik, tetapi rakyat sudah tidak mempercayainya lagi sehingga merasa
sedih dam menangis "tersedu dicabik sunyi". Tidak ada rakyat yang mau
mendengar "kisah"-nya. Suara hati nurani sudah tidak ada lagi yang
mendengarkannya. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.
4.3 Penginsanan
Penginsanan atau personifikasi adalah bahasa kiasan yang memberikan
sifat-sifat hidup (bernyawa) kepada benda-benda yang tidak bernyawa
(Atmazaki, 1993: 53). Benda-benda mati itu dibuat dapat berpikir, berbuat,
atau dapat disuruh melalukan sesuatu seperti yang dilakukan oleh manusia.
Dalam sajak "Pada Suatu Hari" benda mati yang diinsankan itu adalah
buldozer dan sawah. Tokoh Buldozer mewakili alat penguasa dan sawah
mewakili rakyat jelata. Gaya penginsanan dalam sajak tersebut disajikan
melalui sebuah dialog antara alat penguasa dan rakyat yang terjadi pada
suatu hari. Perhatikan kutipan berikut.
1) Maukah kau dengar kisahku, bisik Buldozer sambil mengisap pipa pada
hamparan sawah dan pematang. (baris 1 dan 2)
2) Maukah kau dengar kisahku, ucap Buldozer sambil mengunyah pizza
pada sungai dan batu-batu. (baris 5 dan 6)
3) Maukah kau dengar kisahku, rengek Buldozer sambil mencekal jalur-
jalur pematang dan jemari sungai. (baris 10 dan 11)
4) Buldozer itupun tersedu dicabik sunyi. Ia ingin bercerita. Ia ingin
ada yang bersedia mendengarnya. (baris 16 dan 17)
Contoh kutipan di atas menunjukkan gaya penginsanan yang dilakukan
oleh penyair guna menghidupkan tokoh Buldozer. Buldozer sebagai benda mati
dihidupkan oleh pengarang seolah-olah dapat melakukan perbuatan seperti
lazimnya manusia. Dalam sajak tersebut Buldozer dapat berbicara, berbisik,
berucap, merengek, mengisap pipa, mengunyah pizza, mencekal, menangis
tersedu, merasa kesunyian, dan memiliki keinginan-keinginan lazimnya
manusia. Tentu maksud penyair dalam sajak ini dengan menggunakan gaya
penginsanan adalah ingin menggambarkan bayangan secara konkret dan
sekaligus sebagai personikasi hidup manusia.
Bentuk penginsanan yang lain dapat kita temukan dalam sajak "Pada
Suatu Hari" adalah sebagai berikut.
5) Tidak! jawab sawah sambil tergopoh. Kami sibuk dan harus pergi
sebelum fajar pagi. (baris 2, 3, dan 4)
6) Tidak! Kami sibuk. Kami harus berangkat sebelum malam jadi pekat.
Tempat ini sudah bukan milik kami lagi. (baris 6, 7, 8, dan 9)
7) Tidak! meskipun kami ingin. Kami sibuk. Lihatlah, traktor-traktor
dan surat keputusan dan pidato pengarahan telah tiba. Kami mesti
berangkat sebelum terlambat dan air mata menjadi jerat. (baris 11,
12, 13, 14, dan 15)
Bentuk penginsan dalam contoh di atas secara eksplisit terlihat pada
contoh (5), yaitu tokoh sawah yang menjawab pertanyaan tokoh Buldozer
sambil tergopoh. Tokoh sawah yang merupakan benda mati dihidupkan oleh
penyair guna menggambarkan secara konkret perilaku tokoh. Contoh (6) dan
(7) secara eksplisit memang tidak ditunjukkan siapa yang berbicara. Namun,
untuk mengetahui siapa yang berbicara pada contoh (6) dan (7) harus
memperhatikan dan bertolak pada contoh (5). Dari contoh (5) itulah kita
mengetahui bahwa yang berbicara pada contoh (6) dan (7) masih tetap tokoh
sawah yang menggunakan pesona kata kami. Pesona kami juga sudah muncul pada
contoh (5) yang merujuk pada tokoh sawah. Contoh (6) dan (7) merupakan
kelanjutan jawaban tokoh sawah atas permintaan atau pertanyaan tokoh
Buldozer.
Penginsanan dalam sajak "Pada Suatu Hari" ini merupakan sebuah potret
kehidupan yang dapat terjadi pada suatu saat atau suatu hari. Peristiwa-
peristiwa yang dialami oleh tokoh personifikasi Buldozer atau sawah dapat
terjadi pada diri manusia, siapa pun orangnya. Personifikasi Buldozer dan
sawah merupakan lambang hidup manusia yang penuh dengan kokontrasan, yang
bertolak belakang antara kenyataan dan angan-angan. Impian dan kenyataan
sering kali berbeda.
4.4 Piranti Kepuitisan
Piranti kepuitisan merupakan alat bagi penyair untuk membuat sajak
menjadi puitis, bernilai artistik, dan menarik perhatian pembaca atau
pendengar. Dalam sajak "Pada Suatu Hari" menggunakan piranti puitis
pemanfaatan daya guna bunyi (aliterasi, asosanasi) dan perulangan atau
repetisi. Aliterasi dan asonansi terjadi dalam satu larik sajak. Perulangan
atau repetisi dapat terjadi pada satu larik sajak, antarlarik sajak,
ataupun antarbait dalam satu sajak. Perhatikan contoh-contoh kutipan
berikut.
Maukah kau dengar kisahku, bisik Buldozer
sambil mengisap pipa pada hamparan sawah dan pematang. Tidak!
jawab sawah sambil tergopoh. Kami sibuk dan harus pergi
sebelum fajar pagi.
(Sarjono, 1994: 7)
Larik pertama sajak tersebut terdapat persamaan bunyi aliterasi [k],
seperti maukah, kau, kisahku, dan bisik. Aliterasi tersebut dikombinasi
dengan asonansi bunyi [u], seperti kau dan kisahku. Larik kedua terdapat
aliterasi bunyi [s] dan [p], seperti pada kata sambil, mengisap, sawah dan
mengisap, pipa, pada, hamparan, pematang. Aliterasi bunyi [s] dan [p] masih
dimunculkan kembali dalam larik ketiga dan keempat, seperti pada kata
sawah, sambil, sibuk, sebelum dan tergopoh, pergi, pagi. Aliterasi tersebut
dikombinasi dengan bunyi vokal [a], [i], dan [u] sehingga terjadi variasi
bunyi yang menarik seperti sebuah simfoni atau orkestrasi. Efek puitis yang
ditimbulkan dari variasi bunyi-bunyi tersebut selain untuk kelancaran
penyucapan, juga menimbulkan suasana syahdu dan prihatin pada satu sisi dan
suasana keangkuhan atau kesombongan pada sisi yang lainnya. Dua suasana
yang kontras dalam sajak tersebut secara implisit dapat ditimbulkan oleh
kombinasi aliterasi dan asonansi. Dengan adanya kontras seperti itu sajak
"Pada Suatu Hari" menarik pembaca secara ironis.
Perulangan dan repetisi memegang peran utama dalam sajak "Pada Suatu
Hari". Banyak perulangan yang terjadi dalam sajak tersebut, misalnya
perulangan kata seperti pada kata batu-batu, jalur-jalur, dan traktor-
traktor. Tujuan diadakan perulangan dalam beberapa kata atau kalimat dalam
sajak tersebut adalah untuk menegaskan maksud dan memperoleh efek puitis
pada pembacaan sajak. Perhatikan kutipan berikut.
1) Maukah kau dengar kisahku, bisik Buldozer sambil mengisap pipa pada
hamparan sawah dan pematang. (baris 1 dan 2)
2) Maukah kau dengar kisahku, ucap Buldozer sambil mengunyah pizza
pada sungai dan batu-batu. (baris 5 dan 6)
3) Maukah kau dengar kisahku, rengek Buldozer sambil mencekal jalur-
jalur pematang dan jemari sungai. (baris 10 dan 11)
4) Buldozer itupun tersedu dicabik sunyi. Ia ingin bercerita. Ia ingin
ada yang bersedia mendengarnya. (baris 16 dan 17)
5) Tidak! jawab sawah sambil tergopoh. Kami sibuk dan harus pergi
sebelum fajar pagi. (baris 2, 3, dan 4)
6) Tidak! Kami sibuk. Kami harus berangkat sebelum malam jadi pekat.
Tempat ini sudah bukan milik kami lagi. (baris 6, 7, 8, dan 9)
7) Tidak! meskipun kami ingin. Kami sibuk. Lihatlah, traktor-traktor
dan surat keputusan dan pidato pengarahan telah tiba. Kami mesti
berangkat sebelum terlambat dan air mata menjadi jerat. (baris 11,
12, 13, 14, dan 15)
Perulangan yang terjadi pada (1), (2), dan (3) merupakan bentuk
kesejajaran atau paralelisme. Unsur terpenting dalam perulangan ini adalah
kesejajaran pola, bukan perulangan kata, frasa, ataupun baris. Unsur-unsur
perulangan kata, frasa, dan baris merupakan unsur yang mendukung perulangan
pola ketatabahasaannya.
Perulangan yang terjadi pada contoh (4), (5), (6), dan (7) lebih
ditekankan pada repetisinya. Oleh karena itu, unsur yang diulang pada (4),
(5), (6), dan (7) dapat berbentuk kata, frasa, kalimat, baris, atau bait.
Contoh (4) dengan memunculkan kalimat repetisi: "Ia ingin bercerita. Ia
ingin ada yang bersedia mendengarnya" ingin menegaskan betapa besar
keinginan tokoh ia (Buldozer) kisahnya didengar oleh orang lain. Pada
contoh (5), (6), dan (7) yang ditegaskan oleh penyair adalah jawaban tokoh
sawah yang "Tidak!" bersedia mendengar kisah tokoh Buldozer dengan alasan
kesibukan. Fungsi perulangan dalam repetisi itu adalah untuk menegaskan
maksud pengarang dan sekaligus mempertajam kepekaan pembaca terhadap
lingkungan sosial-budayanya.
5 Penutup
Struktur kebahasaan dalam sajak menjadi faktor utama memahami makna
sajak secara utuh dan padu. Pemilihan leksikal, penyiasatan struktur
kalimat, pemanfaatan lambang dan personifikasi, serta penggunaan berbagai
piranti puitis dalam sajak "Pada Suatu Hari" secara umum memberikan kesan
sebagai gaya bersajak yang baik dan menarik. Berbagai cara digunakan oleh
penyair untuk menghadirkan "peristiwa" yang terjadi pada suatu hari:
penggusuran tanah milik rakyat oleh alat-alat penguasa. Rakyat lemah dan
tak berdaya menghadapi mesin-mesin penguasa: traktor-traktor, surat-surat
keputusan, dan pidato pengarahan. Rakyat sibuk mengurus kepindahannya.
Sementara itu, alat penguasa (Buldozer) ingin kisahnya didengar oleh
rakyat. Namun, tak satu pun rakyat mau mendengarkan kisah yang akan
dibisikkan, diucapkan, dan direngekkan itu. Semua itu ironi bagi kehidupan
manusia. Kemampuan Agus R. Sarjono menghadirkan sajaknya memang ditunjang
oleh pemakaian bahasa yang bernas.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, et al. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Atmazaki. 1993. Analisis Sajak: Teori, Metodologi, dan Aplikasi. Bandung:
Angkasa.
Carter, Ronald (ed.). 1982. Language and Literature. An Introductory Reader
in Stylistics. London, Boston, Sydney: George Allen & Unwin Ltd.
Echols, John M. dan Hassan Shadily. 1996. Kamus Inggris Indonesia. Cetakan
ke XXIII. Jakarta: Gramedia.
Effendi, S. 1982. Bimbingan Apresiasi Puisi. Jakarta: Tangga Mustika
(cetakan ke-3).
Leech, Geoffrey N. and Michael H. Short. 1981. Style in Fiction. London and
New York: Longman Inc.
Luxemburg, Jan van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diindonesiakan Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
UniversityPress.
Sarjono, Agus R. 1994. Kenduri Air Mata. Bandung: Studi Teater Bandung.
Suharianto, S. 1981. Pengantar Apresiasi Puisi. Surakarta: Widya Duta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1988. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Waluyo, Herman J. 1987. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1956. Theory of Literature. New York:
Harcourt, Brace and World.