"No "Lapangan Usaha (Sektor) "PDB 10 Tahun Terakhir (%) "
" "2003 "2004 "2005 "2006 "2007 "2008 "2009 "2010 "2011 "2012 " "1
"Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan "16,58 "15,39 "13,41 "12,9
"13,8 "14,4 "15,3 "15,3 "14,7 "14,44 " "2 "Pertambangan dan Penggalian
"10,70 "8,55 "10,44 "10,6 "11,2 "11,0 "10,5 "11,1 "11,9 "11,78 " "3
"Industri Pengolahan "24,65 "28,34 "28,05 "28,1 "27,0 "27,9 "26,4 "24,8
"24,3 "23,94 " "4 "Listrik, Gas dan Air Bersih "2,22 "0,99 "0,92 "0,9 "0,9
"0,8 "0,8 "0,8 "0,8 "0,79 " "5 "Bangunan "6,00 "5,84 "6,35 "7,5 "7,7 "8,4
"9,9 "10,3 "10,2 "10,45 " "6 "Perdagangan, Hotel dan Restoran "16,32 "16,17
"15,74 "14,9 "14,9 "14,00 "13,4 "13,7 "13,8 "13,90 " "7 "Pengangkutan dan
Komunikasi "6,25 "6,10 "6,63 "6,9 "6,7 "6,3 "6,3 "6,6 "6,6 "6,66 " "8
"Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan "6,88 "8,45 "8,36 "8,1 "7,7 "7,4
"7,2 "7,2 "7,2 "7,26 " "9 "Jasa-jasa "10,39 "10,17 "10,10 "10,1 "10,1 "9,8
"10,2 "10,2 "10,5 "10,78 " "
Kinerja perekonomian Indonesia yang digambarkan oleh Produk Domestik
Bruto (PDB) atas dasar harga konstan selama 10 tahun terakhir mengalami
fluktuasi dari hampir semua sektor. Data PDB atas dasar harga berlaku
menunjukkan perubahan struktur ekonomi dari tahun ke tahun. Perbandingan
peranan antar sektor ekonomi menunjukkan bahwa hampir separuh (41,23%) PDB
Indonesia berasal dari sektor pertanian dan industri pengolahan pada
kondisi harga berlaku tahun 2003. Sektor pertanian dan industri pengolahan
masing-masing memberikan kontribusi 16,58 % dan 24,65 %.
Gejolak makroekonomi mulai terjadi sejalan dengan fluktuasi harga energi
dan komoditas sejak semester kedua 2007. Fluktuasi tersebut disusul dengan
krisis finansial yang memukul lembaga keuangan skala dunia. Implikasinya
terhadap penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan Indonesia mulai terasa
pada semester kedua 2008. Estimasi 2009 menunjukkan perekonomian dunia
mengalami pertumbuhan ekonomi stagnan bahkan minus (LM-FE UI 2013).
Perkembangan ekonomi Indonesia ditunjukkan melalui indikator makroekonomi
yang dapat dilihat pada Tabel 1. Pertumbuhan ekonomi dalam enam tahun
terakhir terus meningkat, kecuali menurun pada 2008. Inflasi sebagai
sasaran makroekonomi selain pertumbuhan ekonomi, menunjukkan performa yang
terkendali, kecuali pada saat terjadi kenaikan harga BBM, seperti pada 2005
dan 2008. Inflasi yang tinggi relatif terhadap negara lain mengakibatkan
mata uang mengalami depresiasi. Pergerakan BI rate yang naik-turun
didasarkan pada upaya pengendalian inflasi tersebut (LM-FE UI 2013).
Pertumbuhan komponen PDB dari sisi pengeluaran (dengan harga konstan),
untuk periode 2003-2007 memperlihatkan komponen konsumsi stabil pada
kisaran 3 hingga 5 %, tetapi komponen pengeluaran lainnya, termasuk
investasi (pembentukan modal tetap domestik bruto) menunjukkan pertumbuhan
yang fluktuatif. Analisis dengan harga berlaku memperlihatkan komponen
konsumsi tetap menjadi penyumbang terbesar PDB, dengan persentase di atas
50 %, disusul kontribusi dari komponen ekspor (LM-FE UI 2013).
Salah satu pelaku yang berperan dalam mendorong pengembangan ekonomi
nasional adalah BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Pada hakekatnya, sebagai
institusi yang dimiliki negara, BUMN mengemban misi bisnis dan sosial.
Sebagai entitas bisnis, BUMN dituntut untuk mampu bersaing dengan
perusahaan swasta. Kemampuan BUMN memangkan persaingan di pasar juga
ditentukan sejauh mana pengelola BUMN membidik peluang usaha yang ada (LM-
FE UI 2013).
Salah satu alasan mengapa peningkatan investasi infrastruktur sangatlah
penting adalah kenyataan bahwa Indonesia terus mencatat proses urbanisasi
yang cepat, menjadi negara dengan mayoritas penduduk yang hidup di daerah
perkotaan pada tahun 2011, menurut perhitungan PBB. Bangkitnya kota-kota di
Indonesia merupakan kekuatan ekonomi yang besar, yang mendorong peningkatan
dalam lapangan kerja non-pertanian dan pembentukan rumah tangga yang baru,
yang mendukung pertumbuhan permintaan dalam negeri dan mengangkat taraf
hidup. Pada sisi penawaran, aglomerasi ekonomi membuka kesempatan untuk
mendorong peningkatan produktivitas. Namun tidak semua daerah aglomerasi di
Indonesia mencatat kinerja yang baik, dengan aglomerasi berukuran besar dan
menengah tertinggal dari pusat perkotaan yang berukuran lebih kecil dan
kota-kota yang berukuran sangat besar (mega-city). Untuk memetik manfaat
dari aglomerasi, belanja investasi infrastruktur yang lebih tinggi dan
lebih efisien merupakan hal yang sangat penting, karena akses penduduk
Indonesia kepada layanan-layanan dasar tertinggal dibandingkan negara-
negara tetangganya. Tantangan kebijakan lainnya termasuk pengadaan rumah
dan penanganan penyebaran daerah perkotaan, yang membutuhkan peningkatan
koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah, masyarakat dan sektor swasta
(World Bank 2013).
Pada sisi produksi, hanya sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan
perikanan saja yang mencatat penurunan secara berurutan (kuartal-ke-kuartal
dengan penyesuaian musiman), yang didorong oleh penurunan pada tanaman
bukan pangan. Sektor ini cenderung menunjukkan pertumbuhan yang bergejolak
dan hanya merupakan sebagian kecil dari PDB (12,3 persen pada kuartal 4).
Pertambangan dan penggalian meningkat sebesar 0,5 persen tahun-ke-tahun
pada kuartal 4, setelah menurun sebesar 0,3 persen tahun-ke-tahun pada
kuartal ketiga. Kinerja yang lambat ini disebabkan oleh berlanjutnya
perlemahan pada ekstraksi migas, yang menurun selama enam kuartal berturut-
turut, menjadi 4,6 persen tahun-ke-tahun. Kebalikannya, pertambangan
nonmigas meningkat sebesar 4,4 persen tahun-ke-tahun. Sektor manufaktur
tumbuh dengan kuat sebesar 6,2 persen tahun-ke-tahun, dibanding 5,9 persen
pada kuartal 3, walaupun pertumbuhan manufaktur migas tetap menurun
(menyusut sebesar 3,5 persen tahun-ketahun). Konstruksi juga mencatat
kinerja yang kuat, meningkat sebesar 7,8 persen tahun ketahun, sementara
sektor jasa juga mencatat kinerja kuat, tumbuh sebesar 7,6 persen tahun-ke-
tahun pada kuartal 4 (World Bank 2013).
Tingkat dukungan di Indonesia berfluktuasi, dan untuk sebagian besar
tergantung pada rasio harga domestik dibanding dengan pasaran
internasional. Dalam jangka panjang, tingkat tunjangan cenderung meningkat
dan diberikan hampir secara eksklusif melalui dukungan harga pasar dan
subsidi input (yang sebagian besar diutamakan untuk pembelian pupuk dan
benih). Total biaya tunjangan untuk pertanian sebagai persentase dari PDB
pada 3,4% signifikan lebih tinggi dari rata-rata OECD. Ini menunjukkan
bahwa untuk Indonesia, dengan sektor pertanian yang besar dan tingkat
tunjangan pertanian yang relatif tinggi sebagaimana diukur dengan PSE,
beban atas ekonomi relatif tinggi dan cenderung untuk bertumbuh (World Bank
2013).
Perkembangan dalam Kebijakan Pertanian dalam Negeri
Para produsen beras dan gula menarik keuntungan dari harga pembelian
minimum yang ditetapkan oleh BULOG untuk pembelian beras dan tebu oleh
penggilingan beras dan tebu. BULOG hanya dapat membeli beras dari petani
pada saat harga pasar lebih rendah atau sama dengan harga pembelian resmi
pemerintah (Harga Pembelian Pemerintah, HPP). Tahun 2012, harga pembelian
minimum untuk berbagai jenis beras ditetapkan pada tingkat 25-26% lebih
tinggi dari tahun 2011, dibandingkan dengan estimasi rata-rata inflasi
harga konsumen setinggi 4,3% setiap tahun. Kenaikan dalam harga pembelian
yang setajam itu, mendorong harga beras lebih tinggi lagi di atas harga
beras yang diimpor dari Vietnam dan Thailand. Alhasil, tunjangan bagi harga
beras di pasar menjadi kontributor paling penting dalam peningkatan
tunjangan yang signifikan di Indonesia, sebagaimana diukur dengan PSE, dan
mencakup lebih dari separuh dari total nilai tunjangan untuk bidang
pertanian pada tahun 2012 di negara ini (OECD 2013).
Untuk melindungi konsumen miskin, pada tahun 2012 BULOG mendistribusikan
dalam sistem RASKIN secara total 3,4 juta ton beras untuk 17,5 juta
keluarga miskin, di mana sekitar 65% di antaranya tinggal di daerah
pedesaan (GAIN, ID1308 dan OECD, 2012). Setiap keluarga menerima 15 kg
beras per bulan dengan harga Rp 1.600/kg; berarti kurang dari sepertiga
dari harga pembelian minimum, diukur pada tingkat pengolahan yang sama.
Untuk mendukung sistem ini dibutuhkan alokasi anggaran yang besar. Biaya
total anggaran meningkat lebih dari sepertiga menjadi Rp 20,9 triliun (USD
2,2 miliar) pada tahun 2012 dan lebih besar dari jumlah total alokasi untuk
tunjangan petani dan pertanian pada umumnya (Deptan, 2013 dalam OECD 2013).
Untuk memastikan bahwa pasokan beras cukup, termasuk untuk distribusi
melalui RASKIN, di bulan September 2012 BULOG menandatangani nota
kesepahaman (MOU) untuk mengimpor 1,5 juta ton beras per tahun dari
Vietnam; jika perlu hingga tahun 2017. MOU lebih lanjut akan diupayakan
dengan Thailand, Laos, Kamboja dan Myanmar (OECD 2013).
Produksi dan perdagangan gula tetap diatur secara ketat oleh pemerintah.
Importir gula terdaftar harus membayar para petani tebu harga yang
ditetapkan pemerintah sebagai syarat untuk mendapatkan izin istimewa mereka
sebagai pengimpor gula. Tahun 2011 mereka diwajibkan untuk menunjang harga
gula andaikata harganya jatuh di bawah Rp 7.000/kg (USD 799/ton) pada
tingkat petani. Untuk tahun 2012, harga minimum dinaikkan menjadi Rp
8.100/kg (USD 866/ton). Untuk melindungi tingginya harga minimum, satu
bulan sebelum musim giling, selama musim giling, dan dua bulan setelah
musim giling impor gula dilarang (OECD 2013).
Sejalan dengan target swasembada untuk kedelai, dalam bulan Mei 2013
Keputusan Presiden Nomor 32 memberi mandat kepada BULOG untuk membeli dan
mendistribusikan kedelai untuk menstabilkan harga kedelai. Berdasarkan SK
tersebut, Kementrian Perdagangan (Deperdag) ditugaskan untuk menyiapkan
keputusan menteri yang akan menetapkan harga pembelian kedelai dan
mekanisme intervensi yang sesuai. BULOG akan diberi mandat untuk mengelola
saham domestik kedelai, untuk membeli kedelai dengan harga minimum dan
untuk menjual dan mendistribusikan kedelai kepada koperasi tempe kedelai
dan produsen tahu (Deptan, 2013 dalam OECD 2013).
Subsidi pupuk tetap merupakan program utama yang dipakai pemerintah untuk
memberikan dukungan anggaran kepada sektor pertanian. Subsidi dibayarkan
kepada produsen pupuk yang wajib menjual pupuk dengan harga yang disubsidi
kepada petani yang memenuhi syarat - mereka yang bertani atas lahan kurang
dari 2 ha. Pada tahun 2000-an, nilai subsidi ini meningkat secara dramatis
berkat keputusan untuk mempertahankan subsidi pupuk pada tingkatan yang
sama meskipun biaya produksi pupuk meningkat, tetapi lalu menurun di tahun
2010-12. Pada tahun 2012 nilai subsidi ini sebesar Rp 14,0 triliun (USD 1,5
miliar), 15% di bawah tahun 2011 dan seperempat lebih sedikit dari rekor
pada tahun 2009, tapi masih tetap merupakan 40% dari total pengeluaran
anggaran yang disediakan untuk mendukung bidang pertanian (baik pada
tingkat petani maupun sektor) (OECD 2013).
Subsidi benih merupakan arus transfer anggaran ke sektor pertanian kedua
terpenting. Petani-petani beras, jagung, kedelai dan gula adalah penerima
bantuan utama, tetapi beberapa subsidi semacam ini juga disediakan untuk
para produsen kopi, karet alam, minyak sawit dan pisang. Mereka dapat
membeli bibit dengan harga yang disubsidi, mengajukan permohonan alokasi
benih gratis setiap tahun dan menerima benih dalam hal terjadinya bencana
alam. Total nilai subsidi ini tertinggi pada tahun 2010, tetapi sejak itu
menurun dengan hampir seperlima dan mencapai nilai sebesar Rp 1,3 triliun
(USD 135 juta) pada tahun 2012 Petani dapat mengakses kredit istimewa
dengan suku bunga 5-7 persen di bawah suku bunga pasaran. Namun, fasilitas
subsidi suku bunga belum sepenuhnya digunakan oleh para petani karena
adanya kendala dalam mendapat persetujuan dari lembaga kreditor. Kesulitan
utama masih tetap kurangnya jaminan karena tidak ada hak milik atas tanah.
Untuk memecahkan masalah ini, dalam tahun 2005 telah diperkenalkan suatu
pola jaminan kredit. Sejak 2008, suatu pola finansial pedesaan langsung
mengalirkan dana kepada kelompok perhimpunan petani sebagai uang bibit yang
bisa mereka pinjamkan kepada anggota-anggota mereka berdasarkan pola kredit
mikro. Dalam tahun 2012, total alokasi anggaran untuk berbagai program
untuk mempermudah akses para petani ke kredit berjumlah Rp 584 miliar (USD
62 juta), hampir sepertiga lebih dari tahun 2011 (OECD 2013).
Di antara bentuk-bentuk lain dari subsidi input, yang paling penting
adalah bantuan yang diberikan kepada para produsen tanaman panen untuk
mengurangi kerugian pasca panen dan meningkatkan hasil panen. Pada 2012,
total alokasi untuk program ini berjumlah Rp 260 miliar (USD 28 juta), dan
kira-kira tiga perempat jumlah ini mengalir ke produsen beras (OECD 2013).
Irigasi menghabiskan sebagian besar dari tunjangan pemerintah untuk
infrastruktur pertanian. Sebagai anggota Asosiasi Pengguna Air (APA),
petani seharusnya membayar untuk biaya operasional, pemeliharaan dan
rehabilitasi sistem lokal (tersier) yang menyuplai mereka dengan air.
Petani tidak dikenakan biaya untuk penyaluran air dari sumber ke sistem
tersier melalui saluran primer dan sekunder, yang berada di bawah tanggung
jawab pemerintah pusat dan daerah. Pengeluaran pemerintah telah meningkat
selama tahun 2000-an, termasuk pembiayaan untuk membantu WUA dalam
merehabilitasi saluran irigasi pada tingkatan petani, namun Kementrian
Pekerjaan Umum menilai bahwa karena tidak adanya pendanaan yang memadai,
hanya 54% dari sistem irigasi di Indonesia kondisinya baik, sisanya rusak
dan membutuhkan rehabilitasi (OECD, 2013).
Daftar Pustaka
LM-FEUI. 2013. Proyeksi Makroekonomi Indonesia 2009-2013. Tersedia online
pada: http://lmfeui.com/data/report_PROYEKSI%20EKONOMI.pdf. Diakses pada
25 November 2013.
World Bank. 2013. Perkembangan Triwulan Perekonomian Indonesia Tekanan
Meningkat. Tersedia online pada:
http://www.worldbank.org/content/dam/Worldbank/document/EAP/Indonesia/IEQ
-MARCH-2013-BHS.pdf. Diakses pada 25 November 2013.
OECD. 2013. Kebijakan-kebijakan dalam bidang Pertanian: Pemantauan dan
Evaluasi 2013 Negara-negara OECD dan Negara-negara Berkembang. Tersedia
online pada: http://www.oecd.org/tad/agricultural-
policies/AgMon_2013_Indonesia_IDN.pdf. Diakses pada 25 November 2013.