ANALISIS KASUS SENGKETA KEPEMILIKAN PULAU SIPADAN DAN PULAU LIGITAN SERTA PENYELESAIANNYA Makalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
RUSITI 103216012
PROGRAM STUDI ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PERTAMINA 2018
Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohim Assalamu’alaikum wr.wb. Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga atas izinNya penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Analisis Kasus Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan serta Penyelesaiannya”. Proposal ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada kedua orang tua yang telah memberikan semangat, dukungan dan cinta yang tiada henti. Selain itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Imam Moesta’in selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Tidak lupa penulis juga menyampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan makalah ini. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Yang Maha Pengasih. Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, saran dan masukan yang membangun demi makalah yang lebih baik, sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan senantiasa mampu menumbuhkan dan meningkatkan rasa cinta tanah air serta kesadaran untuk terus menjaga keutuhan NKRI. Wassalamu’alaikum wr.wb.
Penulis,
ii
Daftar Isi
Kata Pengantar .......................................................................................................... ii Daftar Isi ................................................................................................................... iii BAB I Pendahuluan .................................................................................................... 1 1.1.
Latar Belakang ................................................................................................................... 1
1.2.
Rumusan Masalah ............................................................................................................ 2
1.3.
Tujuan ................................................................................................................................... 2
1.4.
Manfaat ................................................................................................................................ 2
BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 3 2.1.
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan .................................................................................. 3
2.2.
Treaty Based Title (Conventional Title) ....................................................................... 3
2.3.
Chain of Title Theory ........................................................................................................ 4
2.4.
Effective Control................................................................................................................. 4
2.5.
Effective Occupation ......................................................................................................... 5
2.6.
Mahkamah Internasional ................................................................................................. 6
BAB III Pembahasan .................................................................................................. 8 3.1.
Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ...................................... 8
3.2.
Langkah Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ................................................................................................................................. 10
BAB IV Penutup ....................................................................................................... 13 Daftar Pustaka ......................................................................................................... 14
iii
BAB I Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan letak astronomis 6oLU –
11oLS dan 95oBT – 141oBT. Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki pulau dengan jumlah lebih dari 17.000 pulau. Pulaupulau tersebut terbentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote. Menjaga kesatuan negeri merupakan tugas seluruh warga negara. Hal ini mengingat rentannya terjadi masalah-masalah yang berkaitan dengan kesatuan NKRI. Salah satu masalah yang mungkin muncul adalah diklaimnya pulau yang merupakan wilayah negara Indonesia oleh negara lain. Hal ini dapat terjadi karena terdapat beberapa pulau di Indonesia yang terletak dekat dengan negara tetangga, atau sering disebut dengan pulau terluar Indonesia. Adalah Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
yang menjadi objek
permasalahan dalam posisinya sebagai pulau terluar Indonesia. Pulau ini terletak di sebelah selatan garis 4o10’ LU yang mana berdasarkan pasal IV Konvensi 1891, wilayah yang berada di sebelah selatan garis tersebut merupakan wilayah milik Indonesia (Wirajuda, 2003). Kedua pulau tersebut menjadi objek sengketa kepemilikan antara Indonesia dengan Malaysia. Pihak Malaysia menggunakan argumentasi alternatif dengan menggunakan sejumlah fakta sebagai rujukan untuk menunjukkan adanya pengelolaan yang damai dan berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris dan juga Malaysia terhadap dua pulau sengketa (effectivities) (Wirajuda, 2003). Pada akhirnya, Mahkamah Internasional memutuskan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dimiliki sepenuhnya oleh Malaysia. Sejak
tahun
1969,
Pulau
Sipadan
dan
Pulau
Ligitan
sudah
dipersengketakan kepemilikannya oleh Indonesia dan Malaysia. Menurut Wirajuda (2003), kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan kasus yang bersifat khusus dan unik. Berbeda dengan kasus di wilayah Selat Malaka dan Laut Cina Selatan yang mana memberikan hasil kesepakatan berupa garis batas landas kontinen, untuk kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan, baik Indonesia maupun Malaysia sama-sama mengklaim kedua 1
pulau tersebut sebagai bagian dari wilayah negara mereka. Kondisi ini tentu memengaruhi kesatuan dan keutuhan wilayah NKRI. Terkait hal tersebut, penulis
ingin
menggambarkan
lebih
lanjut
mengenai
kasus
sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Penulisan makalah ini menggunakan metode studi kepustakaan dengan mencari sumber-sumber yang relevan sebagai referensi untuk kemudian disarikan menjadi sebuah informasi. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas, rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut. -
Bagaimana kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?
-
Bagaimana proses penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan?
1.3. Tujuan Berdasarkan rumusan masalah di atas, penulisan makalah ini bertujuan untuk : -
Mengetahui kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan;
-
Menggambarkan
langkah-langkah
untuk
menyelesaikan
sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan; 1.4. Manfaat Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik bagi penulis maupun pihak-pihak yang lain. Bagi penulis, makalah ini diharapkan memberikan
manfaat
berupa
pengetahuan
mengenai
konflik
sengketa
kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Bagi sisi akademis, makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat berupa informasi-informasi mengenai konflik sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Selain itu, makalah ini juga diharapkan bisa menjadi referensi bagi penulisan makalah maupun penelitian dalam lingkup yang sama. Bagi pembaca, makalah ini diharapkan
mampu
menambah
wawasan
pembaca
serta
mampu
menumbuhkan dan memerkuat semangat nasionalisme untuk terus menjaga kesatuan dan keutuhan NKRI.
2
BAB II Tinjauan Pustaka 2.1. sekitar
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan pulau yang terletak di perbatasan
wilayah
Sabah
(Malaysia)
dan
Kalimantan
Timur
(Indonesia). Kedua pulau ini dikelilingi oleh air laut dan memiliki sumber daya alam yang melimpah. Terdapat ribuan jenis coral dan sekitar 3000 jenis ikan di Laut Sipadan. Disamping itu, Laut Sipadan merupakan destinasi wisata selam yang indah. Apabila menyelam dengan kedalaman tidak kurang dari tiga meter, maka akan disambut oleh ribuan jack fish dan ribuan baracuda. Beberapa hewan langka yang hidup di sekeliling Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diantaranya hiu coral jenis black tip and white tip, penyu hijau, dan hawksbill turtle (Artika, 2012). Gambar 1. Peta Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
Sumber : google 2.2.
Treaty Based Title (Conventional Title) Treaty based title merupakan pengklaiman suatu wilayah atas dasar
perjanjian. Sebuah negara akan mengklaim bahwa sebuah wilayah merupakan bagian dari negaranya berdasarkan perjanjian yang pernah ada. Sebagai contoh, Indonesia mengakui Pulau Sipadan dan Ligitan berdasarkan treaty 3
based title. Menurut Juwana (2003), Indonesia mengklaim kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan mendasarkan pada perjanjian yang pernah dibuat oleh Inggris dan Belanda pada tahun 1891 (Perjanjian 1891) yang mana dalam Pasal IV Perjanjian 1891 ditentukan bahwa, “From 4o10’ north latitude on the east coast the boundary line shall be continued eastward along that parallel, across the Island of Sebatik: that portion of the island situated to the north of that parallel shall belong unreservedly to the British North Borneo Company, and the portion south of that parallel to the Netherlands.”
Berdasarkan ketentuan di atas, Indonesia meyakini bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari wilayah Belanda yang pada akhirnya diwariskan menjadi wilayah negaranya. 2.3.
Chain of Title Theory Chain of title theory merupakan teori yang dapat digunakan untuk mengakui kepemilikan sebuah wilayah dengan menggunakan alur tertentu untuk menunjukkan dokumen/perlakuan tertentu sebagai bukti kepemilikan suatu wilayah. 2.4.
Effective Control Effective control merupakan doktrin yang digunakan oleh Arbitrator Max
Huber pada tahun 1928 untuk menyatakan bahwa Pulau Miangas yang dipertengkarkan oleh Amerika Serikat dan Hindia Belanda dinyatakan sebagai wilayah Hindia Belanda dan sekarang menjadi wilayah yang tidak terpisahkan dari Indonesia (Djalal, 2003). Keberhasilan arbitrasi dengan menerapkan pengendalian atau penguasaan efektif tersebut telah membuktikan bahwa fungsi administrasi pemerintahan secara terus menerus dan damai dapat terselenggara, dan hal tersebut menunjukkan terjadinya pengendalian efektif yang menciptakan hak (title) bagi Belanda atas Pulau Miangas (Hendrapati, Napang, Mochtar, & Yudhariksawan, 2015). Effective control atau lebih dikenal dengan pengendalian efektif dapat dijadikan dasar untuk penentuan suatu wilayah melalui pendudukan. Secara hukum internasional, syarat effective control menjadi sesuatu yang bersifat mutlak karena semakin langkanya wilayah yang belum diduduki atau dikuasai 4
(Hendrapati et al., 2015). Pada abad ke-16, penafsiran cara ini dilakukan secara bebas ketika ditemukan banyak wilayah yang belum diduduki atau dikuasai. Ketika ditemukan sebuah wilayah yang belum dikuasai, maka suatu negara memiliki hak sementara (inchoate title) untuk menguasai wilayah tersebut dalam waktu yang wajar tidak ada negara lain yang menduduki wilayah tersebut. Setelah itu, hukum internasional akan mensyaratkan adanya effective control kepada negara agar bisa memeroleh hak atas wilayah tersebut (Hendrapati et al., 2015). Belakangan ini, effective control berkembang menjadi konsep yang bersifat relatif, yaitu dapat menyesuaikan dengan kondisi wilayah yang bersangkutan. Disamping itu, menurut Hendrapati et al. (2015) suatu negara yang ingin menjalankan effective control juga harus memiliki maksud dan keinginan untuk bertindak sebagai penguasa (the intention and will to act as sovereign). Hal ini memberikan implikasi bahwa tindakan bebas yang dilakukan oleh individu dikatakan tidak bernilai kecuali apabila dia bertindak sesuai kewenangan yang diterima dari negaranya. Salah satu syarat dari effective control yaitu tidak adanya protes dari negara yang kehilangan wilayahnya (the losing states). 2.5.
Effective Occupation Cara lain untuk mendapatkan hak atas suatu wilayah adalah melalui
effective occupation. Cara ini dianggap sebagai tindakan administratif penguasaan atas suatu wilayah yang hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah tak bertuan, dan wilayah yang dipersengketakan oleh negaranegara (Hendrapati et al., 2015). Wilayah-wilayah yang sudah diatur dan ditentukan dalam perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi ataupun registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas tidak dapat dilakukan penerapan effective occupation. Menurut Hendrapati et al. (2015) apabila suatu wilayah merupakan wilayah tandus dan tidak didiami (barren and uninhabited territory) maka effective occupation lebih mudah untuk dibuktikan daripada di wilayah yang tidak tandus dan didiami. Hendrapati et al. (2015) mengungkapkan bahwa salah satu contoh kasus yang menggunakan effective occupation adalah kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia dan Malaysia. Ketika itu, Mahkamah 5
Internasional menyelesaikan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dengan mendasarkan pada prinsip pengendalian efektif (effective occupation) yang merupakan asas hukum internasional umum. Kedua belah pihak saling menunjukkan prinsip guna membuktikan kepemilikan atas kedua pulau sengketa. Prinsip-prinsip yang diajukan oleh Malaysia telah memenuhi prinsip pengendalian efektif sehingga Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Malaysia merupakan pemilik kedua pulau sengketa. 2.6.
Mahkamah Internasional Mahkamah Internasional (International Court of Justice) merupakan
lembaga kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa. Lembaga ini didirikan pada tahun
1945
berdasarkan
Piagam
Perserikatan
Bangsa-Bangsa,
dan
berkedudukan di Den Haag. Berdasarkan Pasal 92 piagam tersebut, Mahkamah Internasional merupakan organ utama dari Perserikatan BangsaBangsa. Isi pasal tersebut menunjukkan bahwa Mahkamah Agung Internasional merupakan badan peradilan utama PBB yang akan bekerja sesuai Statuta Mahkamah Tetap Internasional dan peradilan merupakan bagian yang tidak terpisah dari piagam ini. Tujuan pendirian Mahkamah Internasional adalah untuk menyelesaikan kasus-kasus persengketaan dengan cara damai dan dilarang menggunakan cara kekerasan (Winarwati, n.d.). Kewenangan Mahkamah Internasional dalam menyelesaikan sengketa antarnegara meliputi kewenangan untuk memutuskan perkara serta memberi pendapat/nasihat kepada negara yang meminta. Disamping itu, apabila diizinkan oleh Majelis Umum, Mahkamah Internasional dapat memberikan opini kepada Majelis Umum, Dewan Keamanan PBB, dan badan-badan lain dari PBB. Putusan Mahkamah Internasional bersifat mengikat terhadap pihak-pihak yang berhubungan. Selain mengikat, putusan Mahkamah Internasional juga harus dipatuhi oleh semua pihak yang bersengketa. Apabila ada salah satu pihak yang melanggar maka akan mendapatkan sanksi. Selain menyelesaikan kasus sengketa antarnegara, Mahkamah Internasional juga menyelesaikan kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan internasional, sebagai contoh kasus antara negara dengan individu, negara dengan badan korporasi, maupun negara dengan badan bukan negara.
6
Mahkamah Internasional dijalankan oleh 15 orang hakim dengan dua orang sebagai ketua dan wakil ketua. Dalam menjalankan tugas untuk menyelesaikan sengketa, Mahkamah Internasional harus melaksanakan dengan seadil-adilnya agar sesuai dengan tujuan dibentuknya Hukum Internasional. Prosedur dan kaidah yang digunakan Mahkamah Internasional antara lain merupakan kebiasaan dan praktik, sejumlah konvensi penting (seperti Konvensi The Haque Tahun 1899 dan 1907), dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menurut Sri, 2006 dalam Winarwati, n.d., sebagai organ utama PBB, Mahkamah Internasional mempunyai tugas utama, yaitu: -
Memutuskan perkara antarnegara, baik antarnegara anggota PBB maupun bukan anggota PBB;
-
Memberikan pedoman dan men-support kerja dari organ utama PBB lainnya dan untuk badan khusus melalui pendapat hukumnya (advisory opinion);
-
Terlibat dalam kegiatan extra-judicial.
Selain tugas utama yang telah disebutkan di atas, Mahkamah Internasional juga memiliki wewenang yang diatur dalam Bab II Statuta Mahkamah Internasional yang mana dibedakan sebagai berikut : -
Wewenang Ratione Personae (pihak yang berhak mengajukan perkara ke Mahkamah);
-
Wewenang Ratione Material (sengketa apa yang diajukan). Menurut Bour Mauna, n.d. dalam Winarwati, n.d., sejak didirikan pada
tahun 1945, Mahkamah Internasional telah memutuskan 78 sengketa antarnegara dan 24 pendapat yang tidak mengikat. Semua putusan Mahkamah Internasional diterima dan dipatuhi oleh pihak yang bersengketa. Salah satu contoh putusan Mahkamah Internasional yang diterima oleh pihak yang bersengketa adalah putusan bahwa Malaysia merupakan pemilik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dalam kasus persengketaan dengan Indonesia.
7
BAB III Pembahasan
3.1.
Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan antara Indonesia
dengan Malaysia sudah terjadi sejak 1969. Kedua pulau tersebut diklaim oleh kedua negara sebagai bagian dari wilayahnya. Potensi sumber daya alam yang dimiliki oleh Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan menjadi nilai lebih apabila dapat memiliki kedua pulau tersebut. Pulau yang terletak pada 4o10’ LU tersebut diklaim baik oleh Indonesia maupun Malaysia sebagai pulau miliknya. Indonesia menggunakan dalil alternatif bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Kesultanan Bulungan yang kemudian diserahkan kepada Belanda (Wirajuda, 2003). Pengklaiman atas kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan dilakukan baik oleh Indonesia maupun oleh Malaysia menggunakan dalil uti possidetis. Menurut Wirajuda (2003), Indonesia mendasarkan klaim atas kepemilikan kedua pulau tersebut pada treaty based title atau conventional title, dengan mengacu pada penafsiran Pasal IV Konvensi 1891, yakni bahwa garis 4o10’ LU yang memberikan petunjuk tentang batas kepemilikan Belanda dan Inggris di sebelah selatan dan utara garis tersebut adalah garis yang memotong Pulau Sebatik dan terus menjulur ke laut di arah sebelah timur pulau tersebut (allocation line). Sementara itu, Malaysia menggunakan chain of title theory yang mendasarkan transfer kepemilikan melalui dua alur, yaitu (1) penyerahan wilayah dengan jalur Sultan Sulu/Spanyol/AS/Inggris/Malaysia, (2) tindakan privat akibat leasing dengan alur British North Borneo Company (BNBC) Sultan Sulu/Spanyol/AS Dent-Overbeck (BNBC)/Inggris/Malaysia. Awal mula kasus sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan adalah ketika Indonesia dan Malaysia merundingkan perbatasan landas kontinen kedua negara pada tahun 1969. Pada saat itu, Tim Teknis Indonesia mengacu kepada Perpu No. 4/1960 yang menetapkan titik-titik dari garis-garis pangkal perairan Nusantara Indonesia dan dari titik-titik tersebutlah landas kontinen Indonesia diukur ke laut, dan pada saat itu pula Indonesia merasa bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Malaysia (Djalal, 2003). Tetapi, pada saat itu pula, peta Malaysia menunjukkan bahwa garis 8
batas antara Indonesia dan Malaysia di kawasan tersebut ditarik lurus dari pantai timur Pulau Sebatik ke timur yang menjadikan kedua pulau tersebut berada di luar wilayah Malaysia dan masuk menjadi wilayah Indonesia. Menemui kenyataan aneh ini, Indonesia akhirnya berusaha agar perundingan dilanjutkan dengan
menggunakan
peta Malaysia,
sedangkan
Malaysia
berusaha agar perundingan dilanjutkan menggunakan peta Indonesia (Djalal, 2003). Menanggapi kenyataan di atas, Indonesia kemudian memeriksa arsip yang berkaitan dengan Persetujuan Inggris-Belanda (tahun 1891) dan mendapati peta lampirannya menunjukkan bahwa garis pemisah antara wilayah Inggris dan Hidia Belanda ditarik sampai jauh ke tengah laut. Hal itulah yang membuat Indonesia merasa bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan wilayah Hindia Belanda. Namun Malaysia menentang interpretasi tersebut dan menyatakan bahwa batas tersebut hanyalah sampai pantai timur Pulau Sebatik dan tidak terus ke laut. Selain itu, Malaysia menyatakan bahwa peta yang dibuat oleh Belanda hanyalah peta yang dibuat secara terpisah, bukanlah peta yang disepakati bersama. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, kedua negara kemudian sepakat untuk menetapkan status quo atas kedua pulau sengketa untuk menghindari tindakan yang dapat mengubah posisi hukum baik Indonesia maupun Malaysia. Selanjutnya,
pada
tahun
1988-1997,
kedua
negara
mencoba
untuk
menyelesaikan masalah ini secara diplomatis, dan pada akhirnya kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diselesaikan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 1997-2002. Indonesia dan Malaysia memutuskan untuk membawa masalah sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan ke Mahkamah Internasional mengingat semua proses penyelesaian politis yang pernah dicoba ternyata menemui jalan buntu. Mahkamah Internasional menetapkan 1969 sebagai critical date yang memiliki konsekuensi bahwa segala tindakan yang dilakukan oleh para pihak (Indonesia maupun Malaysia) terhadap pulau sengketa setelah tahun 1969, akan diabaikan oleh
Mahkamah Internasional. Namun, apabila dilihat dari
putusan, Mahkamah Internasional ternyata mendasarkan “effectivities” pada kegiatan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1907, bukan kegiatan
9
pariwisata bahari yang gencar dilakukan Malaysia pada periode pasca 1969 (Wirajuda, 2003).
3.2.
Langkah Penyelesaian Sengketa Kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan Penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
dilakukan melalui Mahkamah Internasional. Tanggal 17 Desember 2002, Mahkamah Internasional di Den Haag dengan suara 16:1 memutuskan bahwa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang dipertengkarkan oleh Indonesia dan Malaysia sejak 1969 dinyatakan sebagai wilayah Malaysia (Djalal, 2003). Keputusan tersebut menunjukkan bahwa Inggris yang telah mewariskan kedua pulau tersebut sejak sebelum 1969 dianggap lebih melaksanakan kedaulatan atas pulau tersebut dibandingkan Hindia Belanda yang mewariskan pulau tersebut kepada Indonesia. Keputusan yang diambil oleh Mahkamah Internasional mendasarkan pada doktrin “effectivities” sebagai pertimbangan utama untuk menyatakan bahwa Malaysia merupakan pemilik Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan (Wirajuda, 2003). Dalam penggunaan doktrin “effectivities”, Mahkamah Internasional tidak memertimbangkan tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh Indonesia maupun Malaysia setelah critical date (1969), kecuali apabila tindakan tersebut merupakan kelanjutan normal dari tindakan-tindakan sebelumnya dan bukan untuk memerkuat posisi hukum para pihak (Wirajuda, 2003). Alasan dari digunakannya doktrin effectivities adalah karena kedua negara baik Indonesia (yang menggunakan klaim conventional title) maupun Malaysia (yang menggunakan klaim chain of title theory) sama-sama lemah karena tidak dapat memberikan bukti hukum yang dapat mendukung klaim kepemilikan kedua pulau tersebut. Selain itu, Mahkamah Internasional juga berpendapat bahwa tidak ada bukti otentik yang meyakinkan bahwa kedua pulau sengketa tersebut merupakan bagian dari wilayah kekuasaan Inggris ataupun Belanda (Wirajuda, 2003). Untuk itu, Mahkamah Internasional menggunakan alternatif lain yaitu doktrin “effectivities” sebagai suatu fakta hukum yang berdiri sendiri. Menurut Wirajuda (2003), proses penyelesaian sengketa kepemilikan Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang telah diputuskan oleh Mahkamah 10
Internasional, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai klaim dari masingmasing negara. Malaysia memiliki sejumlah dokumen sebagai bukti adanya administrasi berkesinambungan yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris terhadap kedua pulau sengketa yang terlihat dari beragam manifestasi, baik bersifat administratif, legislatif, maupun quasi-yudisal. Beberapa hal tersebut terlihat pada (1) pengutipan pajak terhadap penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917; (2) penyelesaian kasus-kasus sengketa pengumpulan telur penyu di Pulau Sipadan pada tahun 1930-an; (3) penetapan Pulau Sipadan sebagai cagar burung (bird sanctuaries); (4) pembangunan dan pemeliharaan mercu suar sejak tahun 1962 di Sipadan dan tahun 1963 di Ligitan. Fakta-fakta yang disebutkan oleh Malaysia tersebut memang dalam jumlah yang sedikit namun bervariasi dan menunjukkan bahwa terdapat pengelolaan secara damai dan berlanjut dari Inggris atas kedua pulau sengketa, atau dengan kata lain bahwa terdapat pengejawantahan yang nyata untuk menegakan sifat perbuatan yang di dalamnya melekat esensi kedaulatan negara yang diwujudkan melalui itikad dan kemauan (Wirajuda, 2003). Tidak hanya Malaysia, Indonesia juga menunjukkan beberapa bukti sebagai dasar untuk mengklaim Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan sebagai bagian dari wilayahnya. Beberapa tindakan yang dijadikan bukti antara lain kegiatan survei Kapal Macasser (1903), patroli Kapal Lynx (1921), patroli TNIAL serta kegiatan penangkapan ikan tradisional oleh nelayan RI di kawasan pada tahun 1960-an (Wirajuda, 2003). Bukti-bukti yang diajukan oleh Indonesia tersebut dinilai tidak menunjukkan itikad dan kemauan untuk bertindak sesuai dengan kapasitas negara. Bahkan, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa baik laporan komandan Kapal Lynx maupun dokumen-dokumen lain yang berhubungan dengan kegiatan survei dan patroli laut diajukan Indonesia tidak menunjukkan adanya bukti bahwa baik Indonesia maupun Belanda menganggap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan serta laut di sekitarnya sebagai wilayah kedaulatannya (Wirajuda, 2003). Sebelum membawa kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ke Mahkamah Internasional, Indonesia dan Malaysia pernah menjajagi beberapa langkah penyelesaian. Tahun 1979 Malaysia diketahui menerbitkan peta yang mana kedua pulau sengketa dimasukkan kedalam wilayahnya, dan pada tahun 1988, kedua negara menggunakan upaya diplomatik untuk menyelesaikan 11
kasus sengketa ini. Pembicaraan mengenai status kepemilikan pulau sengketa mulai dilakukan pada Juni 1988 melalui pertemuan tingkat tinggi antara Presiden Suharto dan Perdana Menteri Mahathir Mohammad di Yogyakarta. Perundingan penyelesaian secara politis dilakukan secara bertahap, baik tingkat pejabat teknis (Joint Working Group on Sipadan and Ligitan/JWG), pejabat senior (Senior Official Meeting), hingga pertemuan tingkat Menteri Luar Negeri (Joint Commission Meeting). Selain melalui berbagai pertemuan, Indonesia dan Malaysia juga mencoba untuk menggunakan Wakil Khusus (Special Representative) untuk menyelesaikan masalah ini. Masing-masing Wakil Khusus dari Indonesia dan Malaysia adalah Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim. Kedua Wakil Khusus tersebut mengadakan pertemuan sebanyak empat kali, dua kali di Jakarta (17 Juli 1995 dan 26 September 1995), dan dua kali di Kuala Lumpur (22 September 1995 dan 21 Juni 1996). Setelah melakukan berbagai perundingan, tetap saja tidak menemukan kejelasan penyelesaian politis atas kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kedua negara tetap bersikeras untuk berargumentasi dan menyampaikan bukti-bukti berupa dokumen-dokumen untuk memerkuat alasan klaimnya dan mematahkan argumentasi hukum yang diajukan oleh pihak lainnya. Kondisi ini menunjukkan bahwa penyelesaian politis yang menguntungkan para pihak (win-win solution) akan sulit untuk dicapai. Upaya penyelesaian lainnya yang dapat dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia adalah melalui mekanisme ASEAN. Namun, Malaysia enggan dengan alasan adanya kekhawatiran akan ketidaknetralan sikap forum tersebut karena Malaysia memiliki sengketa kewilayahan serupa dengan Singapura (Pulau Batu Puteh) dan Philipina (Sabah) (Wirajuda, 2003). Akhirnya, pada tahun 1996, para
Wakil
Khusus
merekomendasikan
upaya
penyelesaian
setelah
mencermati kesulitan untuk memeroleh solusi politis yang dapat disepakati oleh kedua pihak, yaitu melalui pihak yang dipandang berwibawa dan netral, ialah Mahkamah Internasional. Menurut Wirajuda (2003), pertimbangan pemilihan Mahkamah Internasional adalah mengingat klaim atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan masalah hukum yang sensitif dalam hubungan kedua negara.
12
BAB IV Penutup
Salah satu konsekuensi menjadi negara kepulauan adalah rentannya terjadi sengketa kepemilikan pulau, terlebih untuk pulau-pulau yang berada terluar dan dekat dengan negara lain. Pun dengan Indonesia yang merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia. Kasus sengketa kepulauan yang pernah dialami oleh Indonesia adalah kasus sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan yang mana Indonesia bersengketa dengan Malaysia. Berbagai upaya politis telah dilakukan oleh kedua pihak untuk menyelesaikan kasus tersebut namun memberikan hasil buntu. Pada akhirnya, Indonesia dan Malaysia membawa kasus tersebut ke Mahkamah Internasional selaku lembaga yang berwibawa dan netral untuk membantu menyelesaikan masalah. Keputusan Mahkamah Internasional menyatakan bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan bagian dari negara Malaysia. Keputusan tersebut bersifat mengikat bagi kedua pihak yang bersengketa dan diterima serta dipatuhi baik oleh Indonesia maupun Malaysia. Terkait rentannya kasus sengketa kepemilikan pulau, Indonesia perlu menjaga dan memertahankan kesatuan wilayah NKRI. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan diharapkan menjadi kasus terakhir dan tidak ada lagi kasus serupa di kemudian hari. Kesadaran warga negara Indonesia untuk terus menjaga dan memertahankan keutuhan wilayah NKRI merupakan kunci agar kejadian yang sama tidak terulang. Banyaknya pulau yang dimiliki oleh Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia terlahir sebagai bangsa yang kaya akan keanekaragaman, dan terkait hal tersebut, menumbuhkan rasa cinta tanah air harus dilakukan sebagai salah satu upaya untuk menjaga kesatuan bangsa, wilayah, dan kedaulatan NKRI.
13
Daftar Pustaka Artika, P. (2012). Sipadan-Ligitan Kini Jadi Resort Andalan Malaysia. Retrieved October 23, 2018, from https://www.merdeka.com/peristiwa/sipadan-ligitan-kinijadi-resort-andalan-malaysia.html Djalal, H. (2003). PENYELESAIAN SENGKETA SIPADAN-LIGITAN : INTERPELASI?, 126–133. Fatimah, S. (n.d.). Pelajaran Berharga dari Lepasnya Si Kembar Cantik “Sipadan-Ligitan.” Retrieved October 23, 2018, from http://beesifut27.blogspot.com/2017/05/pelajaran-berharga-dari-lepasnyasi.html Hendrapati, M., Napang, M., Mochtar, S., & Yudhariksawan. (2015). Pengendalian Efektif sebagai Cara Akuisisi Teritorial: Analisis Kasus Sipadan Ligitan. Hasanuddin Law Review, 1(2), 242–264. Juwana, H. (2003). Putusan MI atas Pulau Sipadan dan Ligitan, I. Winarwati, I. (n.d.). Eksistensi Mahkamah Internasional Sebagai Lembaga Kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), 56–71. Wirajuda, H. (2003). “Kasus Sipadan-Ligitan : Masalah Pengisian Konsep Negara” Proses Penyelesaian Sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan.
14