ANALISA KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA ATAS KAUM MUSLIM ROHINGYA DI MYANMAR
Dwi Pragasa Ananda & Zulfikar International Human Right Class | IC FH USK
Kisah Rohingya menambah panjang sejarah kelam pelanggaran HAM di dunia
pada umumnya dan Myanmar pada khususnya. Sudah lama junta militer menerapkan peraturan ketat terhadap perkembangan agama-agama selain Budha, agama resmi Negara Myanmar. Ini membuat implementasi hak kebebasan beragama bagi agama minoritas di negara itu terbatas. Puncak penindasan dan diskriminasi terhadap etnis Rohingya terjadi pada tahun 2012 dimana konflik Rohingya bermula dari sebuah pembunuhan pada 28 Mei 2012 terhadap seorang gadis Budha bernama Ma Thida Htwe yang berumur 27 tahun, hidup di sebuah desa bernama Thabyechaung, Kyauknimaw, daerah Yanbye. Setelah Kasus ini dibawa ke pihak kepolisian setempat dan setelah penyelidikan ditetapkan beberapa tersangka. Mereka adalah Rawshi, Rawphi, dan Khochi. Ketiganya adalah pemuda Bengali Muslim, etnis Rohingya di Myanmar. Warga Myanmar yang mayoritas beragama Buddha sangat mengecam kejadian pembunuhan wanita beragama Buddha, Ma Thida Htwe tersebut. Apalagi media Myanmar setempat memberikan penekanan bahwa massa Muslim telah membunuh dan memperkosa dengan keji wanita Rakhine. Kemudian pada 4 Juni 2012 terjadilah pembunuhan terhadap muslim etnis Rohingya di dalam bus tujuan Yangoon dimana 10 orang muslim Rohingya ditemukan tewas. Sejak insiden itu, terjadi kerusuhan di Rakhine pada Juni 2012 yang berakhir pembakaran rumah, pemukulan, pemerkosaan dan pembantaian terhadap etnis Rohingya secara terus menerus di Arakan, Myanmar, dimana muslim Rohingya menjadi sasaran. Selain itu, etnis Rohingya tidak mendapat pengakuan oleh pemerintah setempat. Hal ini dilatarbelakangi oleh dihapuskannya etnis ini dari undang-undang kewarganegaraan Myanmar pada tahun 1982. Undang-undang kewarganegaraan ini mencatat 135 etnis yang diakui secara otomatis menjadi warga Negara Myanmar dan Analisi Tragedi Trisakti | Dwi Pragasa Ananda & Zulfikar 1
etnis Rohingya tidak termaksud kedalam 135 etnis tersebut. Akibat dari penghapusan ini, etnis Rohingya tidak mendapat hak-hak dasar sebagai waarga Negara Myanmar. Dengan diundangkannya UU Kewarganegaraan tahun 1982 etnis Rohingya disebut sebagai warga non-kebangsaan atau warga asing. Muslim Rohingya pun resmi dideklarasikan sebagai warga yang pantas untuk dimusnahkan. Rezim junta militer mempraktekkan dua kebijakan de-Islamisasi di Myanmar: pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya di Arakan, serta asimilasi budaya bagi umat Islam yang tinggal dibagian Myanmar. Menurut pemerintah Myanmar etnis Rohingya adalah "pendatang haram" dari Bangladesh, walau fakta sejarahnya etnis Rohingya telah ada di tanah itu (Rakhine state) selama ratusan tahun berdampingan dengan burmanese lainnya. Oleh karena itu terjadi banyak sekali penindasan, diskriminasi dan pembantaian terhadap muslim etnis Rohingya. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang dilakukan Junta Militer Myanmar antara lain kasus pemusnahan fisik melalui genosida dan pembersihan etnis Muslim Rohingya yang terjadi di Arakan, adalah banyaknya Muslim Rohingya yang ditahan dengan cara sewenang-wenang, disiksa, dieksekusi dengan cepat, dan dibunuh. Muslim Rohingya dipaksa menjadi buruh pagi-siang-malam. Sawah-sawah dirampas dan rumah mereka diakuisisi warga baru Budha. Masjid dan madrasah diledakkan lalu diganti dengan pembangunan pagoda dan kuil Buddha. Muslimah Rohingya diperkosa dan tidak diperlakukan dengan hormat. Mereka dipaksa untuk menikah dengan pria-pria Budha, dilarang mengenakan hijab, dan dilarang menikah dengan sesama Muslim Rohingya. Muslim Rohingya juga dilarang bepergian dari satu desa ke desa lain meski dalam satu kecamatan, baik itu untuk urusan kemasyarakatan, keagamaan, perdagangan, maupun bisnis. Berdasarkan keterangan dari Amnesty Internasional, orang-orang Rohingya mengalami berbagai penindasan hak asasi manusia oleh Junta Militer Burma sejak 1978. Junta militer menganggap etnis Rohingya bukanlah warga negara Myanmar. Menurutnya etnis Rohingya merupakan pendatang yang ditempatkan oleh penjajah Inggris dari Bangladesh. Untuk saat ini, orang-orang Rohingya dan orang-orang dari etnis-etnis minoritas lainnya yang berasal dari wilayah Myanmar bisa dikatakan sebagai “stateless-citizen”,
maksudnya
adalah
penduduk
yang
kehilangan
status
kewarganegaraan karena alasan-alasan politik. Yang lebih menyedihkan adalah 2 TRAGEDI TRISAKTI | DWI PRAGASA ANANDA & ZULFIKAR
perlakuan diskriminasi ini tidak hanya dilakukan oleh pemeintah tetapi juga oleh warga Negara Myanmar yang pro pemerintah, yang mempunyai keyakinan bahwa etnis Rohingya bukanlah bagian dari Myanmar. Oleh karena itu, secara terus-menerus terjadi perlakuan diskriminatif yang diterima oleh etnis Rohingya dari pemerintahan Myanmar. Perlakuan ini dinilai sangat mengganggu kehidupan masyarakat Rohingya sebagai warga dunia. Akhirnya para Etnis Rohingya mengarungi lautan demi kebebasan. Mereka terpaksa mengungsi dan menjadi “Manusia Perahu” (People Boat), mencari negeri aman yang mau menerima mereka di Asia Tenggara atau di negeri manapun diseluruh dunia. Mereka terusir dari negara Myanmar dan terpaksa mengungsi ke negara-negara sekitar Myanmar, seperti Bangladesh, Thailand, Malaysia, dan juga Indonesia. Namun pada kenyataannya, harapan mereka untuk mendapatkan perlindungan dari negara-negara tetangga seperti Indonesia dan Thailand tidak selalu mendapatkan respon yang positif. Sebagai contoh saat mereka berada di Thailand, orang-orang Rohingya sempat mendapat perlakuan yang tidak manusiawi. Saat ditangkap otoritas keamanan Thailand dan kemudian dibawa ketengah laut, disatukan dengan warga Myanmar lainnya yang sudah lebih dahulu ditangkap. Ditengah laut mereka disiksa selama tiga bulan, mereka dipukuli oleh pasukan keamanan yang datang silih berganti, diberi minum hanya seteguk air putih dalam sehari, diberi makan beras yang tidak dimasak, dan dilepaskan ketengah samudera hanya menggunakan perahu reyot tak bermesin tanpa bekal makanan yang cukup. Di lautan mereka mendapatkan banyak kendala, mulai dari kehabisan bahan makanan dan minuman, penyitaan mesin perahu dan bahan bakarnya. Di Indonesia sendiri perlakuannya sedikit lebih baik dibandingkan dengan di negara Thailand. Meskipun sedikit menuai pro dan kontra. Bagi masyarakat yang pro, mereka sepantasnya mendapatkan kepedulian dari masyarakat internasional karena menyangkut perlindungan HAM.
Analisi Tragedi Trisakti | Dwi Pragasa Ananda & Zulfikar 3