Analisis Kasus Investasi
A. Kasus Invetasi (Pemerintah Vs PT. Newmont) 1. Lawan Newmont, Pemerintah RI Menang
JAKARTA, KOMPAS.com- Pemerintah berada di atas angin. angin. Kemarin, Majelis Hakim Hakim Arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss, memenangkan Pemerintah Indonesia dalam sengketa penjualan atau divestasi saham perusahaan tambang PT Newmont Nusa Tenggara (Newmont). Arbitrase Internasional mengabulkan satu dari dua gugatan Pemerintah terhadap Newmont yang diajukan Juni 2008. Gugatan yang ditolak majelis hakim adalah permintaan Pemerintah menghentikan kontrak karya Newmont. Majelis hakim memutuskan, Newmont harus melepas 17 persen sahamnya dalam waktu 180 hari sejak putusan keluar, kemarin (31/3). Persentase itu adalah batas kewajiban Newmont yang belum ter laksana sejak 2006 (3 persen), 2007 (7 persen), dan 2008 (7 persen). Sesuai kontrak dengan dengan pemerintah RI, Newmont harus menjual saham secara bertahap hingga mencapai 51 persen pada 2010. Newmont harus melepas 17 persen saham itu pada Pemerintah Indonesia atau pihak yang ditunjuk Pemerintah. "Saham itu harus bebas gadai," kata Jaksa Pengacara Negara, Joseph Suwardi Sabda. Sekadar catatan, saat ini Newmont telah menjaminkan sahamnya untuk meminjam dana dari perbankan. Jika Newmont tidak berhasil melaksanakan putusan ini, Pemerintah berhak mencabut kontrak karya Newmont. Simon Felix Sembiring, mantan Direktur Jenderal Mineral, Batubara, dan Panas Bumi, yang kini menjadi Staf Khusus Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), mengaku, saat ini Pemerintah tak hanya dalam posisi menunggu. "Tapi kami juga punya wewenang menagih karena punya kekuatan hukum tetap," katanya.
Setelah putusan arbitrase itu keluar, Newmont juga mem punyai kewajiban membayar biaya yang dikeluarkan Pemerintah untuk proses pengadilan sebesar 1,8 juta dollar AS. Tapi, perjalanan kasus ini masih akan panjang. Menurut Kantor berita Reuters, Newmont m alah sudah menjual 7 persen saham senilai 427 juta dollar AS kepada PT Pukuafu Indah. Perusahaan milik Yusuf Merukh ini adalah mitra lokal yang sudah menguasai 20 persen saham Newmont.(Gentur Putro Jati/Kontan) 2. Newmont Akan Patuhi Keputusan Arbitrase
JAKARTA, KOMPAS.com - Newmont Mining Corporation selaku induk usaha PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) menegaskan, akan mengikuti seluruh keputusan yang sudah dikeluarkan pengadilan arbitrase internasional terkait divestasi saham NNT Richard O Brien, Presiden Direktur dan Chief Executive Officer Newmont Mining Corporation dalam keterangan persnya membenarkan bahwa hakim panel arbitrase telah memutuskan bahwa pemegang saham asing NNT belum melaksanakan proses divestasi yang diharuskan untuk 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen. Hakim panel arbitrase menurut Richard memberikan waktu 180 hari se jak tanggal putusan dikeluarkan kepada para pemegang saham untuk bekerjasama dengan Pemerintah untuk melepas saham di NNT kepada Pemerintah atau pihak yang ditunjuk, sebagaimana dijelaskan dalam Kontrak Karya untuk saham 2006 and 2007. Hakim panel arbitrase juga me negaskan, Pemerintah Indonesia memiliki hak untuk memperoleh penawaran terlebih dahulu sehubungan dengan saham tahun 2008 sebesar 7 persen. "Tetapi panel arbitrase memutuskan bahwa Kontrak Karya NNT di Tambang Batu Hijau tidak diterminasi. Saat ini kami tengah mengkaji putusan tersebut dan berharap dapat membahas langkah ke depan dengan Pemerintah guna melaksanakan putusan Panel Arbitrase," kata Richard, Rabu (1/4). Ditambahkannya, Newmont akan tetap berkomitmen untuk melanjutkan proses divestasi sebagaimana ditetapkan dalam Kontrak Karya dan dijelaskan dalam putusan arbitrase tersebut.
Newmont Mining Corporation merupakan pemegang saham NNT bersama dengan Nusa Tenggara Mining Corporation yang merupakan afiliasi Sumitomo Cor poration, Jepang. Pada 1996 Newmont menggadaikan seluruh saham asingnya yang dimiliki Sumitomo dan Newmont Mining Corporation sebanyak 80 persen kepada Export Import B ank of Japan, US Export Import Bank, dan KFW Jerman sebesar 1 miliar dollar AS. Newmont sudah melunasinya sebagian sehingga tinggal sisa 300 juta dollar AS. Sebanyak 20 persen sisa sahamnya dimiliki oleh perusahaan lokal Pukuafu Indah.
3. Purnomo: Newmont Tak Punya Hak Banding
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro menegaskan, PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tidak memiliki hak banding atas lima keputusan pengadilan arbitrase internasional yang memenangkan pemerintah. Menurut Purnomo, pemerintah masih harus membahas langkah-langkah yang harus dilakukan terkait keputusan pengadilan arbitrase tersebut sesegera mungkin. Terutama terkait keputusan pengadilan yang menyebutkan NNT harus mendivestasikan 7 persen saham tahun 2008 untuk Pemerintah Indonesia. "Masih harus dirapatkan lagi kepada siapa pemerintah akan melepas sahamnya tersebut. Tetapi yang pasti, apa yang sudah diputuskan Pengadilan Internasional adalah putusan akhir dan tidak ada lagi upaya naik banding atas keputusan yang memenangkan pemerintah," kata Purnomo, Rabu (1/4). 4. Putusan Sengketa Divestasi Newmont Tertunda Putusan sengketa divestasi tujuh persen saham pemerintah di PT Newmont Nusa Tenggara tertunda. Majelis hakim yang dipimpin Sapawi me nyatakan belum siap membacakan putusan lantaran pendapat majelis belum bulat. Untuk itu, majelis meminta waktu dua minggu untuk memutuskan perkara ini.
"Suara majelis belum bulat. Untuk itu, kami meminta agar diberikan waktu dua minggu lagi untuk membacakan putusan ini," tutur Sapawi di ruang sidang PN Jakarta Pusat, Rabu (7/11). Kuasa hukum Masyarakat Sipil untuk Kesejahteraan Rakyat (MSKR) Nusa Tenggara Barat Ulung Purnama menyatakan tidak keberatan. Menurutnya, penundaan tersebut masih bisa diterima karena baru ditunda satu kali. “Penundaan sekali masih manusiawi.”
Sebagaimana diketahui, MSKR menggugat Menteri Keuangan, Kepala Pusat I nvestasi Pemerintah (PIP), PT Newmont Nusa Tenggara (NNT), dan Newmont Mining Corporation (NMC) terkait pembelian saham divestasi 7 persen Newmont. MSKR berpendapat pembelian saham oleh pemerintah dianggap tidak memperhatikan kepentingan masyarakat NTB. Dengan demikian, MSKR menilai saham tersebut seharusnya dimiliki oleh masyarakat NTB sendiri. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt509a2c1d82c7e/putusan-sengketa-divestasi-newmonttertunda 5. Skenario di Balik Divestasi Newmont Oleh: Doty Damayanti Pemerintah mengklaim telah memenangi arbitrase kasus divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah menyatakan bahwa panel arbitrase memutus NNT bersalah karena telah lalai dalam melakukan divestasi sebesar 17 persen dari saham yang ada. Dalam pengumuman resmi pada hari Rabu (1/4), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro menyampaikan garis besar putusan arbitrase internasional, yang menurut dia, pada pokoknya memenangkan Pemerintah Republik Indonesia. Ada lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya, menyatakan bahwa NNT telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen kepada Peme rintah RI. Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT NNT. PT NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari. Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM sama sekali tidak menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari tuntutan Pemerintah Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri kontrak karya PT NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027.
Sementara, pada hari yang sama, Newmont Mining Corporation, induk perusahaan NNT di Denver, Amerika Serikat, mengeluarkan pernyataan resmi tentang putusan arbitrase yang mengatakan pemerintah tidak berhak memutus kontrak. Pemerintah menggugat Newmont ke arbitrase internasional pada 3 Maret 2008. Di hari yang sama, Newmont juga mengajukan gugatan atas pemerintah. Proses arbitrase berj alan sejak 15 Juli 2008 melalui korespondensi sampai digelarnya sidang tertutup 3-8 Desember 2008 di Jakarta. Panel terdiri atas tiga anggota. Dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner). Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan P anas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan. Jaksa Pengacara Negara (JPN) Joseph Suwardi Sabda mengatakan, panel arbitrase menilai, kesalahan NNT yang lalai dalam melakukan divestasi 17 persen sahamnya, belumlah fatal sehingga tidak sebanding jika harus diganjar terminasi kontrak. Kondisinya akan berbeda apabila porsi saham yang lalai didivestasi itu 50 persen lebih. ”Panel menggunakan hukum yang berlaku di Inggris. Mengacu pada aturan itu, maka
ganjaran yang diberikan yang seminimal mungkin,” kata Joseph. Namun, ia mengatakan, masih ada kemungkinan kontrak NNT diakhiri jika tidak sanggup mematuhi putusan arbitrase. Sebab sesuai bunyi kontrak karya, terminasi bisa dilakukan jika perusahaan tidak sanggup memperbaiki kesalahan sampai batas waktu yang diberikan. Direktur Eksekutif Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengatakan, kisruh divestasi yang berujung pada arbitrase itu sebenarnya menunjukkan dua hal. Pertama, potret ketidakberdayaan pemerintah atas rezim kontrak karya. Kedua, berkuasanya investasi asing bermodal besar. ”Untuk menyatakan NNT lalai melakukan divestasi saja, pemerintah harus maju ke arbitrase, dan justru panel menolak tuntutan utama soal memutus kontrak,” kata Pri Agung.
Bentuk kontrak atau perjanjian menempatkan posisi pemerintah dan perusahaan pertambangan berada sejajar. Kontrak dengan perusahaan multinasional selalu memasukkan klausul penyelesaian melalui arbitrase internasional. Kontrak tidak tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia kecuali arbitrase menyatakan bahwa pihak-pihak yang terkait harus mematuhi hasil putusan.
Merunut sejumlah divestasi perusahaan pertambangan asing, yang memperoleh manfaat dari divestasi adalah kelompok-kelompok tertentu yang dekat dengan lingkaran kekuasaan. Sebagai contoh, divestasi saham PT Freeport Indonesia yang jatuh ke tangan pengusaha Aburizal Bakrie dan Bob Hasan. Bakrie juga menangguk keuntungan dengan menadah saham PT Kaltim Prima Coal yang menjadikan konsorsium perusahaan pertambangan batu bara terbesar di Indonesia, BUMI Resources. Tambang Batu Hijau, di Nusa Tenggara Barat, yang dikelola oleh NNT, menghasilkan emas dan tembaga. Direktur Indonesia Coal Society Singgih Widagdo menilai, pelaksanaan divestasi saham perusahaan tambang asing masih jauh dari semangat Pasal 33 Undang-Undang Dasar. Se jauh ini, divestasi tidak pernah benar-benar dimanfaatkan untuk mengelola sendiri kekayaan tambang. ”Apabila pemerintah serius, seharusnya dari awal badan usaha milik negara didorong membeli saham tersebut. Kalau itu dilakukan dari dulu, sekarang kita sudah punya BUMN tambang yang besarnya sama dengan perusahaan multinasional,” ujar Singgih.
Ia mencontohkan BUMN tambang asal Brasil, Companhia Vale do Rio Doce (CVRD), yang menjadi salah satu perusahaan tambang kelas dunia. Dari catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT, pemerintah pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda j elas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo. Proses divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta. Trakindo adalah mitra lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau, sedangkan BUMI dipandang Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi pemegang saham utama NNT jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi. Komposisi saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT Pukuafu Indah yang tercatat sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35 perse n Sumitomo, dan 45 persen Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi posisinya, NNT menawarkan skema pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai alasan bahwa saham yang didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada sejumlah bank asing. Artinya, siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa menjual sahamnya, sampai utang NNT itu lunas. Semua langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan bahwa jika swasta sudah mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui mekanisme B (business) to B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta yang sejalan dengan rencana pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran paling maksimal atas nilai saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak diatur secara detail dalam kontrak. Hal ini, menurut salah satu saksi yang ikut dalam sidang arbitrase, menjadi salah satu ar gumentasi Newmont kepada panel arbitrase.
Pengamat pertambangan, Ryad Charil, menilai ada skenario tertentu di balik putusan arbitrase. I a memperkirakan keruwetan atas pelaksanaan divestasi masih berpotensi pasca-arbitrase. Isu asal dana pihak ketiga, status saham yang digadai, juga isu- isu lain masih akan muncul. ”Menarik untuk dilihat, siapa yang menalangi dana pembelian saham untuk pemda, apakah pemerintah pusat memakai haknya untuk mengambil saham yang ditawarkan NNT,” kata Ryad. Sumber : Kompas Cetak
6. RI dan Newmont Bertemu
JAKARTA, KOMPAS.com — Menindaklanjuti putusan arbitrase atas divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NTT), tim pemerintah akan bertemu dengan pihak NNT. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kamis (2/4), mengatakan, ada dua tim pemerintah yang akan berunding dengan NNT, yaitu yang terkait eksekusi hasil arbitrase dan terkait teknis divestasi 17 persen pihak NNT ataupun pemerintah daerah. ”Diharapkan, awal minggu depan ada hasilnya,” kata Purnomo.
Butir kedua dan ketiga putusan arbitrase memerintahkan NNT untuk menyelesaikan divestasi sebesar 10 persen kepada pemerintah daerah dan 7 per sen kepada pemerintah pusat. Semua proses tersebut harus selesai dalam 180 hari. Dirjen Mineral Batu Bara dan Panas Bumi Bambang Setiawan mengatakan, perlu ada evaluasi harga atas nilai divestasi yang seharusnya dilakukan pada 2008. Sebab, kondisi harga komoditas saat ini lebih rendah. Nilai divestasi pada 2008 sebesar 426 juta dollar AS. Sumber : Kompas Cetak Editor :
C. Analisis Kasus PT Newmont Berdasarkan pemaparan di atas, melalui sudut pandang Arbitrase dan International Settlement Disputes dapat dianalisis beberapa hal yang berakaitan dengan sengketa antara Pemerintah dengan PT. Newmont, yaitu: 1.
Lembaga dan Hukum yang Digunakan dalam Proses Penyelesaian Sengketa
Dari sisi kelembagaan majelis hakim dalam proses arbitrase yang digunakan antara pemerintah dengan PT. Newmont adalah Majelis Hakim Arbitrase Internasional di Jenewa, Swiss. Sehubungan dengan itu, Mejelis Hakim Intenational di Jenewa tersbut termasuk sebagai Majelis Hakim Arbitrase I ntitusional yang memilki kompetensi kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus perkara dalam penyelesaian sengketa antara Pemerintah dengan Warga Negara asing. Dengan demikian, dari sisi kelembagaan pengajuan penyelesaian sengketa kepada Majelis Hakim Jenewa adalah sah. Sehubungan dengan htu, dalam klausul perjanjian kontak karya antara Pemerintah dan PT. Newmont dinyatakan bahwa: “dalam hal para pihak akan menggunakan arbitrase, maka sengeketa akan diselesaikan oleh arbitrase,
sesuai dengan peraturan Arbitrase UNCTRAL yang dimuat dalam resolusi, yang disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Tanggal 15 Desember 1976, yang berjudul Arbritation Rules of the United Nations Commision on International Trade Law yang pada waktu itu berlaku.”
Oleh karena itu, Hukum yang digunakan sebagai aturan dalam pelaksanaan Arbitrase antara Pemerintah Indonesia denga Pt. Mewmont adalah UNCTRAL. 2. Mahkamah Arbitrase (Tribunal Arbitrase). Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dalam pembentukan Tribunal Arbitrase Para Pihak dapat menyetujui arbiter yang ditunjuk oleh Centre. Sebaliknya, dapat menolak apabila arbiter yang ditunjuk tidak mereka setujui, atau apabila metode atau tata cara penunujukan mereka anggap kurang sesuai. Dalam proses penyelesaian sengketa melalu arbitrase antara Pemerintah Indonesia dan PT. Newmont menggunakan cara yang merujuk pada ketentuan Artikel 37 ayat (2) huruf (b) dengan acuan: 1.
Anggota harus terdiri dari tiga orang arbriter;
2.
Masing-masing menunjuk seorang arbriter; dan
3.
Anggota yang ketiga ini, langsung mutlak menjadi ketua (presiden) dari mahkamah yang
bersagkutan. Dalam hal yang demikian, maka para pihak dapat menunjuk masing-masing seorang arbiter dan mengangkat arbiter ketiga dengan persetujuan para pihak yang langsung mejadi ketua mahkamah arbiter yang bersangkutan.
Adapun para arbiter yang ditunjuk adalah dua orang adalah ahli hukum yang masing-masing ditunjuk oleh Pemerintah Indonesia, yaitu M Sonnarajah, dan pihak Newmont (Stephen Schwebel) dan satu ahli independen yang sekaligus menjadi ketua panel (Robert Briner). Dengan demikian, penunjukan para arbiter tersebut adalah sah. 3. Jenis Sengketa Dilihat dari jenis sengketa, dari catatan Kompas, dalam kasus divestasi NNT,pemerintah pusat sebagai pihak pertama yang punya hak untuk membeli saham, menyatakan tidak memiliki dana. Hak pembelian saham yang mulai ditawarkan tahun 2006 itu kemudian diberikan kepada pemerintah daerah, yakni Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa, dan Kabupaten Sumbawa Barat. Pemda jelas tidak memiliki kemampuan sendiri untuk membeli saham NNT tahun 2006 dan 2007 yang jika digabungkan mencapai 400 juta dollar AS. Pemda melalui badan usaha milik daerah kemudian menggandeng pihak swasta, yaitu BUMI dan Trakindo. Proses divestasi semakin ruwet dengan masuknya pihak swasta. Trakindo adalah mitra lama Newmont dalam mengelola tambang Batu Hijau, sedangkan BUMI dipandang Newmont sebagai kompetitor yang akan mengancam posisi pemegang saham utama NNT jika terus diberi kesempatan ikut dalam divestasi. Komposisi saham NNT sebanyak 20 persen dimiliki oleh PT Pukuafu Indah yang tercatat sebagai bagian dari 51 persen saham nasional, 35 perse n Sumitomo, dan 45 persen Newmont Mining Corporation. Untuk melindungi posisinya, NNT menawarkan skema pinjaman lunak kepada pemda, bahkan memakai alasan bahwa saham yang didivestasikan itu dalam posisi dijaminkan kepada sejumlah bank asing. Artinya, siapa pun yang membeli saham NNT, tidak bisa menjual sahamnya, sampai utang NNT itu lunas. Semua langkah itu dilakukan NNT yang menginterpretasikan bahwa jika swasta sudah mulai ikut, proses divestasi harus dilakukan melalui mekanisme B (business) to B murni. NNT ingin bisa memilih badan usaha swasta yang sejalan dengan rencana pengembangan bisnisnya dan bisa memberi penawaran paling maksimal atas nilai saham yang akan dijual. Isu-isu semacam ini tidak diatur secara detail dalam kontrak. Dalam kaitan ini, Pemerintah Indonesia mengajukan dua tuntutan, yaitu meminta panel arbitrase agar memutuskan bahwa pemerintah bisa melakukan terminasi kontrak karya Newmont dengan alasan karena perusahaan melakukan kelalaian alias default. Apabila terminasi tidak bisa dilakukan, pemerintah meminta arbitrase memerintahkan Newmont untuk menjual saham sesuai isi surat Dirjen Mineral Batu Bara dan P anas Bumi terkait default. Isi surat Dirjen Minerba Pabum itu diacu oleh arbitrase dalam menetapkan putusan mereka soal pelaksanaan divestasi. Sebaliknya, Newmont meminta pihak arbitrase untuk menyatakan pihaknya tidak melakukan kelalaian yang bisa berakibat pada terminasi kontrak. Meminta arbitrase menentukan apakah first right of refusal pemerintah sudah tidak berlaku lagi. Dengan alasan itu, Newmont bisa menjual sahamnya kepada pihak yang diinginkan.
Dilihat dari isi-isi tuntutan tersebut, baik tunturan Pemerintah maupun tuntun PT. Newmont keduanya merupkan yuridiksi dari Badan Arbitrase Internasional. Sehubungan dengan itu, dalam hal perselisihan diajukan berada di luar yuridiksi Centre, Sekret aris Jenderal menolak untuk mendaftar. Untuk itu, Seekretaris Jenderal membuat dan menyampaikan penolakan dalam bentuk “pemberitahuan”
atau notice kepada para pihak. Dalam hal permohonan memenuhi syarat, dan permohonan telah didaftar, maka Sekretaris Jenderal menyampaikan “ pemberitahuan” kepada para pihak dan salinan
kepada pihak lain. 4. Keputusan Ada lima poin putusan yang dihasilkan, yaitu panel memerintahkan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) melaksanakan ketentuan Pasal 24 Ayat 3 kontrak karya, menyatakan bahwa NNT telah melakukan pelanggaran perjanjian, memerintahkan kepada PT NNT untuk melakukan divestasi 17 persen saham yang terdiri dari divestasi tahun 2006 sebesar 3 persen dan 2007 sebesar 7 persen kepada pemerintah daerah. Adapun untuk tahun 2008 sebesar 7 persen kepada Peme rintah RI. Semua kewajiban tersebut di atas harus dilaksanakan dalam waktu 180 hari sesudah tanggal putusan arbitrase. Panel arbitrase juga menyatakan bahwa saham yang didivestasikan harus bebas dari gadai dan sumber dana untuk pembelian saham tersebut bukan urusan PT NNT. PT NNT diperintahkan untuk mengganti biaya-biaya yang sudah dikeluarkan oleh pemerintah untuk kepentingan arbitrase dalam perkara tersebut dalam tempo 30 hari. Dalam keterangan yang sangat singkat itu, Menteri ESDM sama sekali tidak menyinggung bahwa panel hanya mengabulkan bagian kedua dari tuntutan Pemerintah Indonesia. Arbitrase menolak gugatan pemerintah mengakhiri kontrak karya PT NNT. Kontrak NNT berlaku sampai 2027. Sehubungan dengan putusan tersebut sebagaimana paparan di atas bahwa putusan harus tertulis dan memuat segala permasalahan serta alasan-alasan yang menyangkut dasar pertimbangan putusan. Oleh karena itu, putusan ini telah sah dan memenuhi persyaratan se bagaimana ditentukan dalam Artikel 48 ISCID. Dalam hal ini, keputusan arbitrase dimumukan dalam media massa, artinya para pihak baik Pemeintah dan PT. Newmont telah sepakat untuk mengumumkan hasil putusan. Hal ini dilakukan karena, pada dasarnya setiap kegiatan penanaman modal di Indonesia menganut asas Transparansi dan Akuntabilitas sebagaimana tercantum dalam Ketentuan Umum Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007.