LAPORAN PENDAHULUAN VARISELA
Nama Lain : Cacar Air, Chicken Pox
A. Peng Penger erti tian an
Varisela adalah adalah penyakit penyakit menular menular akut yang disebabk disebabkan an oleh virus virus varisela-zister (VVZ) terdapat di seluruh dunia, tanpa perbedaan pada ras dan jenis kelamin.
Penyakit ini terutama mengenai anak-anak dan merupakan
infeksi infeksi primer primer VVZ pada indiv individu idu yang yang rentan. rentan. Kurang lebih 90% kasus terjadi pada anak berusia kurang dari 10 tahun dan kurang dari dari 5% pada usia lebih dari 15 tahun. Varisela Varisela adalah adalah suatu suatu penya penyakit kit infeksi infeksi akut akut primer primer menula menularr yang yang diseba disebabka bkan n oleh oleh Varicel Varicella la Zoster Zoster Virus Virus (VZV) (VZV) yang yang menye menyeran rang g kulit kulit dan mukosa, dengan ditandai oleh adanya vesikel-vesikel (Rampengan, 1993). Varisela merupakan merupakan penyakit penyakit akut menular menular yang ditandai ditandai oleh vesikel di kulit dan selaput lendir yang disebabkan oleh virus varisella. Varisela adalah infeksi akut prime yang menyerang menyerang kulit dan mukosa secara klinis klinis
terdapat terdapat gejala konstitusi konstitusi,, kelainan kulit kulit polimorfi polimorfi terutama terutama
berlokasi di bagian sentral tubuh, disebut juga cacar air, chicken pox (Kapita Selekta, 2000). Varisela merupakan merupakan penyaki penyaki menular menular akut. Penularan Penularan dapat melalui melalui kontak langsung dengan lesi, terutama melalui udara (Siti Aisyah, 2003).
B. Klas Klasif ifik ikas asii
Menurut Siti Aisyah (2003). Klasifikasi Varisela dibagi menjadi 2 : 1.
Varisela co congenital Vari Varise sela la cong congen enit ital al adal adalah ah sind sindro rom m yang ang terd terdir irii atas atas paru parutt
sikatri sikatrisia sial, l, atrofi atrofi ekstre ekstremit mitas, as, serta serta kelain kelainan an mata mata dan susunan susunan syaraf syaraf
pusat.
Sering terjadi ensefalitis sehingga menyebabkan
kerusakan
neuropatiki. Risiko terjadinya varisela congenital sangat rendah (2,2%), walaupun pada kehamilan Varisela
trimester pertama ibu menderita varisela.
pada kehamilan paruh kedua jarang sekali menyebabkan
kematian bayi pada saat lahir. Sulit untuk mendiagnosis infeksi varisela intrauterin. Tidak diketahui apakah pengobatan dengan antivirus pada ibu dapat mencegah kelainan fetus. 2.
Varisela neonatal Varisela neonatal terjadi bila terjadi varisela maternal antara 5 hari
sebelum sampai 2 hari sesudah kelainan. Kurang lebih 20% bayi yang terpajan akan menderita varisela neonatal.
Sebelum
penggunaan
varicella-zoster immune globulin (VZIG), kematian varisela neonatal sekitar 30%. Namun neonatus dengan lesi pada saat lahir atau dalam 5 hari pertama sejak lahir jarang menderita varisela berat karena mendapat antibody dari ibunya. Neonatus dapat pula tertular dari anggota keluarga lainnya selain ibunya. Neonatus yang lahir dalam masa risiko tinggi harus diberikan profilaksis VZIG pada saat lahir
atau saat awitan infeksi
maternal bila timbul dalam 2 hari setelah lahir. Varisela neonatal biasanya timbul dalam 5-10 hari walaupun telah diberikan VZIG. Bila terjadi varisela progresif (ensefalitis, pneumonia, varisela, hepatitis, diatesis pendarahan) harus diobati dengan asiklovir intravena. Bayi yang terpajan dengan varisela maternal dalam 2 bulan sejak lahir harus diawasi. Tidak ada indikasi klinis untuk memberikan antivirus pada varisela neonatal atau asiklovir profilaksis bila terpajan varisela maternal.
C. Epidemologi
Sangat mudah menular, yaitu melalui percikan ludah dan kontak. Dapat mengenai semua golongan umur, termasuk neonatus (varisela congenital), tetapi tersering pada masa anak. Penderita dapat menularkan
penyakit selama 24 jam sebelum kelainan kulit (erupsi) timbul sampai 6 atau 7 hari kemudian. Biasanya hidup seumur hidup, varisela hanya diderita satu kali. Varisela merupakan penyakit yang sangat menular, tetapi juga tergantung kepekaan seseorang. Varisela terutama dijumpai pada individu yang belum mempunyai antibody, hal ini sesuai dengan laporan penelitian pada 143 anak yang dirawat di rumah sakit dengan berbagai penyakit lain, empat puluh sembilan anak mempunyai riwayat kontak dengan penderita varisela, dimana pada anak-anak tersebut terdapat antibody terhadap varisela, dan ternyata di dalam perkembangannya tidak ada yang menderita varisela, sedangkan pada 78 anak yang tidak pernah kontak dengan penderita varisela dilakukan pemeriksaan serologis ternyata 41 anak dengan seronegatif dan dari mereka 11 anak kemudian menderita varisela.
D. Etiologi
Menurut Richar E, varisela disebabkan oleh Herpes virus varicella atau disebut juga virus varicella-zoster (virus V-Z). menyebabkan
Virus tersebut dapat pula
herpes zoster. Kedua penyakit ini mempunyai manifestasi
klinis yang berbeda. Diperkirakan bahwa setelah ada kontak dengan virus VZ akan terjadi varisela; kemudian setelah penderita varisela tersebut sembuh, mungkin virus itu tetap ada dalam bentuk laten (tanpa ada manifestasi klinis) dan kemudian virus V-Z diaktivasi oleh trauma sehingga menyebabkan herpes zoster. Virus V-Z dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita verisela dapat dilihat dengan mikroskop electron dan dapat diisolasi dengan menggunakan biakan yang terdiri dari fibroblas paru embrio manusia.
E. Patofisiologi
Patofisiologi menurut Siti Aisyah 2003, Virus varisela- zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa saluran nafas atau orofaring. Multiplikasi virus ditempat tersebut diikuti oleh penyebaran virus
dalam
jumlah sedikit melalui darah dan limfe (viremia primer). Virus dimusnahkan oleh sel sistem retikuloendotelial, yang merupakan tempat utama replikasi virus selama masa inkubasi. Selama masa inkubasi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh yang terinfeksi, replikasi virus dapat mengalahkan pertahanan tubuh yang belum berkembang, sehingga 2 minggu setelah infeksi terjadi viremia sekunder dalam jumlah yang lebih banyak. Viremia
tersebut menyebabkan
demam dan malese anorexia serta
menyebarkan virus ke seluruh tubuh, terutama ke kulit dan mukosa. Respons
imun
pasien
yang
kemudian
berkembang
menghentikan viremia dan menghambat berlanjutnya lesi pada kulit organ lain.
akan dan
Terjadinya komplikasi varisela (pneumonia dan lain-lain)
mencerminkan gagalnya respons imun tersebut menghentikan replikasi serta penyebaran virus dan berlanjutnya infeksi. Keadaan ini terutama terjadi pada pasien imunokompromais.
Dalam 2-5
hari setelah gejala klinis varisela
terlihat, antibody (IgG, IgM, IgA) spesifik terhadap VVZ dapat dideteksi dan mencapai titer tertinggi pada minggu kedua atau ketiga. Setelah itu titer IgG menurun perlahan, sedangkan IgM dan IgA menurun lebih cepat dan tidak terdeteksi satu tahun setelah infeksi. Imunitas selular terhadap VVZ juga berkembang selama infeksi
dan menetap selama
bertahun-tahun.
Pada
pasien imunokompeten imunitas humoral terhadap VVZ berfungsi protektif terhadap varisela, sehingga pajanan ulang tidak menyebabkan infeksi (kekebalan seumur hidup). Imunitas selular lebih penting daripada imunitas humoral untuk penyembuhan varisela. Pada pasien imunokompromais, oleh karena imunitas humoral dan selularnya terganggu, pajanan ulang dapat
menyebabkan rekurensi dan varisela menjadi lebih berat dan berlangsung lebih lama.
F. Gambaran Klinik
Menurut Richar E. 1992, gambaran klinik varisela dibagi menjadi 2 stadium : 3.
Stadium prodromal : 24 jam sebelum kelainan kulit timbul, terdapat
gejala panas, perasaan lemah (malaise), anoreksia. Kadang-kadang terdapa kelainan scarlatinaform atau morbiliform. 4.
Stadium erupsi: Dimulai dengan terjadinya papula merah, kecil
yang berubah menjadi vesikel yang berisi cairan jernih dan mempunyai dasar eritematous. Permukaan vesikel tidak memperlihatkan cekungan di tengah (unumbilicated ). Isi versikel berubah menjadi keruh dalam waktu 24 jam. Biasanya vesikel menjadi kering sebelum isinya menjadi keruh. Dalam 3-4 hari erupsi tersebar; mula-mula di dada lalu ke muka, bahu dan anggota gerak. Erupsi ini disertai perasaan gatal. Pada suatu saat terdapat macam-macam stadium erupsi, ini merupakan tanda khas penyakit verisela.
Vesikel tidak hanya terdapat
di kulit,
melainkan juga di selaput lendir mulut. Bila terdapat infeksi sekunder, maka akan terjadi limfadenopatia umum. Karena kemungkinan mendapat varisela selama masa kanak-kanak sangat besar, maka varisela jarang ditemukan pada wanita hamil (0,7 tiap 1.000 kehamilan). Diperkirakan 17% dari anak yang dilahirkan wanita yang mendapat verisela ketika hamil akan menderita kelainan bawaan berupa bekas luka di kulit (cutaneous scars), berat badan lahir rendah, hipoplasia tungkai, kelumpuhan dan atrofi tungkai, kenang, retardasi mental, koriorenitis, atrofi kortikal, katarak atau
kelainan pada mata lainnya.
Angka kematian tinggi, bila seorang wanita hamil mendapat varisela dalam 21 hari sebelum ia melahirkan, maka 25% dari neonatus yang
dilahirkan akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur 5 hai.
Biasanya varisela
yang timbul
berlangsung ringan dan tidak mengakibatkan kematian. Sedangkan bila seorang wanita hamil mendapat varisela dalam waktu 4-5 hari sebelum melahirkan, maka neonatusnya akan memperlihatkan gejala varisela kongenital pada umur 5-10 hari.
Di sini perjalanan penyakit varisela
sering berat dan menyebabkan kematian sebesar 25-30%. Mungkin ini ada hubungannya dengan kurun waktu fetus berkontak dengan varisela dan dialirkannya antibody itu melalui plasenta kepada fetus. Seorang neonatus jarang mendapat varisela di bangsal perinatologi dari seorang perawat atau petugas bangsal lainnya, tapi bila ini terjadi maka perjalanan penyakit amat ringan dan terlihat gejala-gejala seperti pada anak yang besar.
G. Komplikasi
Pneumonia varisela hanya terdapat 0,8% pada anak, biasanya disebabkan oleh infeksi sekunder dan anak sembuh sempurna. Pneumonia yang disebabkan oleh virus V-Z jarang didapatkan pada anak dengan sistem imunologis normal pada anak dengan defisiensi
imunologis atau orang
dewasa tidak jarang ditemukan. Pada keadaan ini kelainan radiologis paru paru masih didapatkan selama 6-12 minggu dan angka kematiannya sebesar 20%. Mungkin juga terjadi komplikasi pada susunan saraf seperti ensefalitis, ataksia, nistagmus, tremor, mielitis tranversa, kelumpuhan saraf muka, neuromielitis optika atau penyakit Devic dengan kebutaan sementara, sindrom hipotalamus yang disertai dengan obesitas dan panas badan berulang-ulang. Pasien varisela dengan komplikasi ensefalitis setelah sembuh dapat meninggalkan gejala sisa
seperti kejang, retardasi mental,
dan kelainan
tingkah laku. Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi tersebut; sedangkan anak dengan defisiensi imunologis, pasien
leukemia dan anak yang sedang mendapatkan pengobatan anti metabolit atau steroid (pasien sindrom nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering mendapat komplikasi tersebut. Kadang-kadang varisela pada pasien tersebut dapat menyebabkan kematian.
H. Penatalaksanaan
Menurut Siti Aisyah 2003 : 5.
Pengobatan Umum Pada pasien imunokompeten varisela biasanya ringan dan dapat
sembuh sendiri. Untuk mengatasi gatal dapat diberikan kompres dingin atau lotion kalamin dan antihistamin oral. Bila lesi masih vesicular dapat diberikan bedak agar tidak mudah pecah, dapat ditambahkan antipruritus di dalamnya, misalnya mentol 0,25-0,5%. Bila vesikel sudah pecah atau sudah terbentuk krusta, dapat diberikan salap antibiotik untuk mencegah infeksi sekunder bacterial. Mandi rendam dalam air hangat yang diberi antiseptik dapat mengurangi gatal
dan mencegah infeksi bacterial
sekunder pada kulit. Krim atau lotion kortikosteroid serta salap bersifat oklusif sebaiknya tidak digunakan. Kadang diperlukan antipiretik/analgetik, tetapi golongan salisilat sebaiknya dihindari karena sering dihubungkan dengan terjadinya sindrom Reye. Kuku jari tangan harus dipotong dan dijaga kebersihannya untuk mencegah infeksi sekunder dan parut yang dapat terjadi karena garukan. 6.
Obat Antivirus Dengan tersedianya obat antivirus
yang efektif terhadap VVZ,
dokter maupun pasien/orang tua pasien sering dihadapkan pada pilihan untuk
menggunakan
imunokompeten, varisela
obat
antivirus
atau
tidak.
Pada
anak
biasanya ringan sehingga umumnya tidak
memerlukan pengobatan antivirus. Antivirus efektif bila diberikan dalam
24 jam setelah awitan lesi kulit karena dapat lebih cepat menurunkan demam serta gejala kulit dan sistemik. Pada bayi/anak imunokompromais berat, antivirus intravena merupakan obat pilihan
agar kadar dalam plasma cukup tinggi untuk
menghambat replikasi virus. Antivirus intravena secara bermakna dapat menurunkan
morbiditas
dan
mortalitas
varisela
pada
pasien
imunokompramais, terutama bila diberikan dalam 72 jam setelah awitan lesi kulit. Pada pasien imunokompromais ringan dapat diberikan antivirus oral. Beberapa antivirus terbukti efektif untuk mengobati infeksi VVZ, yaitu golongan analog nukleosida (asiklovir, famsiklovir, valasiklovir, vidarabin) dan foskarnet. Tabel. Rejimen pengobatan varisela dengan antivirus pada bayi dan anak Kelompok Pasien Neonatus
Rejimen Pengobatan Imunokompeten Imunokompromais Asiklovir 500 mg/m²IV Asiklovir 500 mg/m²IV setiap 8
setiap 8 jam selama 10 jam selama 10 hari Anak
hari Hanya simtomatik atau Ringan : dengan Asiklovir 4 x
Asiklovir 5 x 800 mg/hari peroral
20 mg/kgBB/hari per selama > 7 hari oral selama 5 hari
Berat : Asiklovir
500
mg/m²atau
10
mg/kgBB intravena setiap 8 jam selama 5-7 hari atau 48 jam setelah Pubertas
tidak terbentuk lesi baru Asiklovir 5 x 800 mg/ Ringan : hari peroral selama 7 Asiklovir 5 x 800 mg/hari peroral hari, atau Valasiklovir selama > 7 hari 3 x 1 g/hari peroral selama
7
hari,
Berat :
atau Asiklovir
Famsiklovir 3 x 500
500
mg/m²atau
10
mg/kgBB intravena setiap 8 jam
mg/hari peroral selama selama 5-7 hari atau 48 jam setelah
7 hari
tidak terbentuk lesi baru Bila resisten asiklovir : Foskarnet 40 mg/kgBB intravena setiap 8 jam sampai sembuh
I. Pencegahan
Pencegahan terhadap infeksi varisela zoster virus dilakukan dengan cara imunisasi pasif atau aktif. A. Imunisasi Pasif Imunisasi pasif biasanya diberikan pada neonatus yang dilahirkan dari ibu yang menderita varisela, kurang dari 5 hari sebelum partus atau kontak varisela pada saat setelah lahir. Dosis Zoster Imunoglubulin (ZIG): 0,6 ml/Kg.bb intramuskuler diberikan 72 jam setelah kontak. B. Imunisasi Aktif Diberikan pada anak-anak sehat maupun penderita leukemia, imunodefisiensi. Dapat diberikan dengan vaksin hidup yang dilemahkan. Vaksin yang digunakan adalah OKA Strain. Dosis yang dianjurkan ialah 0,5 cc subkutan. Pemberian vaksin ini ternyata cukup aman dan efektif dan dapat memberikan perlindungan 96%. dapat diberikan bersamaan dengan MMR dengan daya proteksi yang sama dan efek samping hanya berupa rash yang ringan. Efek samping biasanya tidak ada, tetapi bila ada biasanya bersifat ringan.
J. Pathway Keperawatan Virus Varisela – Zoster Masuk ke tubuh
Mukosa saluran nafas atas
orofaring
Multiplikasi virus dan penyebaran virus dalam jumlah sedikit melalui darah dan limfe Dimusnahkan oleh sel sistem ritikuloendotelial
Infeksi virus dihambat sebagian oleh mekanisme pertahanan tubuh dan respon imun
Replikasi virus dapat mengatasi pertahanan tubuh yang belum berkembang Viremia Sekunder
Demam
Anorexia
Hipertermi
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Malaise
Intoleransi aktifitas
Kerusakan integritas kulit
Menurut : (Nanda.2006.Panduan 2006.Definisi dan Klasifikasi)
Virus menyebar ke seluruh tubuh (kulit dan mukosa)
Diagnosa
Lesi (chicken ox
Nyeri
Keperawatan
Kurang pengetahuan
Nanda
2005-
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit (chicken pox) 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anorexia 3. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan lesi kulit 4. Hipertermi berhubungan dengan proses infoksi 5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan malaise 6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan paparan
INTERVENSI DX I :
Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit (chicken pox)
NOC :
Control nyeri
Tujuan:
Nyeri berkurang/hilang
Kriteria hasil : 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri) 2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi, nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal Skala : 1
= Tidak pernah menunjukkan
2
= jarang menunjukkan
3
= kadang menunjukkan
4
= sering menunjukkan
5
= selalu menunjukkan
NIC : Manajemen Nyeri 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
2.
Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan
3.
Ajarkan tentang teknik non farmakologi (relaksasi, distraksi)
4.
Tingkatkan istirahat
5.
Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri
6.
Control lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan.
DX II
:
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anoreksia
NOC :
Status nutrisi
Tujuan :
Status nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil 1. Mempertahankan pemasukan nutrisi 2. Mempertahankan BB 3. Melaporkan keadekuatan tingkat energi Keterangan Skala : 1
= tidak pernah menunjukkan
2
= jarang menunjukkan
3
= kadang menunjukkan
4
= sering menunjukkan
5
= selalu
DX III
:
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
lesi kulit
NOC :
Integritas jaringan, kulit dan membran mukosa
Tujuan :
Kerusakan integritas kulit tidak terjadi
Kriteria hasil 1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi)
2. Tidak ada luka pada kulit 3. Perfusi jaringan baik 4. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit Skala : 1
= ekstrem
2
= berat
3
= sedang
4
= ringan
5
= tidak ada gangguan
NIC : Presure Management 1. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2. Hindari kerutan pada tempat tidur 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap 2 jam sekali 5. Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 6. Monitor status nutrisi pasien
DX IV
:
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
NOC :
Termoregulation
Tujuan :
Tidak terjadi peningkatan suhu tubuh
Kriteria hasil 1. Suhu tubuh dalam batas normal 2. Nadi dan RR dalam rentang normal 3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing, merasa nyaman Skala : 1
= tidak normal
2
= jauh dari normal
3
= hampir normal
4
= cukup normal
5
= normal
NIC : Regyulasi Suhu 1. Observasi TTV 2. Berikan minuman per oral 3. Kompres dengan air hangat 4. Kolaborasi pemberian antipiretik
DX V
:
Intoleransi
aktifitas
berhubungan
dengan
Malaise
NOC :
Penghematan energi
Tujuan :
Dapat melakukan aktifitas secara mandiri
Kriteria hasil 1. Melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas 2. TTV dalam batas normal 3. Suhu normal Skala : 1. = tidak normal 2. = jauh dari normal 3. = hampir normal 4. = cukup normal 5. = normal NIC : Pengelolaan Energi 1. Evaluasi respon pasien terhadap aktifitas 2. Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung 3. Bantu pasien memilih posisi nyaman untuk istirahat 4. Jelaskan pentingnya istirahat dan perlunya keseimbangan antara istirahat dan aktifitas 5. Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan
DX VI
:
Kurang
pengetahuan
berhubungan
dengan
keterbatasan paparan
NOC :
Pengetahuan prosedur perawatan Tujuan
:
Diharapkan
tingkat
pengetahuan
pasien
berhubungan dengan penyakitnya dapat meningkat Kriteria hasil 1. Mendeskripsikan prosedur 2. Menjelaskan tujuan dari prosedur 3. Mendeskripsikan tahap dari prosedur 4. Mendeskripsikan hubungan pencegahan dengan prosedur 5. Mendeskripsikan perawatan mandiri dengan alat 6. Menunjukkan prosedur perawatan 7. Mendeskripsikan potensial efek seimbang Keterangan Skala : 1
= tidak ada
2
= terbatas
3
= sedang
4
= berat
5
= estensif
NIC : Mengajarkan proses penyakit 1. Tingkatkan tingkat pengetahuan pasien yang berhubungan dengan proses penyakit yang spesifik 2. Deskripsikan tanda dan gejala umum dari penyakit 3. Identifikasi penyebab yang mungkin 4. Diskusikan terapi/perawatan 5. Instruksikan kepada pasien untuk meminimalkan efek samping
EVALUASI DX I :
Nyeri akut berhubungan dengan lesi kulit (chicken pox)
Kriteria Hasil 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri,
Skala 4
mampu menggunakan teknik non farmakologi untuk mengurangi nyeri) 2. Melaporkan bahwa
dengan
4
menggunakan manajemen nyeri 3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi,
4
nyeri) 4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang 5. Tanda vital dalam rentang normal
4 4
DX II
:
nyeri
Perubahan
berkurang
nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan anoreksia
Kriteria Hasil : Kriteria Hasil 1. Mempertahankan pemasukan nutrisi 2. Mempertahankan BB 3. Melaporkan keadekuatan tingkat energi DX III
:
Skala 4 4 4
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan
lesi kulit
Kriteria Hasil : Kriteria Hasil 1. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi,
Skala 4
elastisitas, temperatur, hidrasi, pigmentasi) 2. Tidak ada luka / lesi pada kulit 3. Perfusi jaringan baik 4. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan
4 4 4
kelembaban kulit DX IV :
Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi
Kriteria Hasil :
Kriteria Hasil 1. Suhu tubuh dalam batas normal 2. Nadi dan RR dalam rentang normal 3. Tidak ada perubahan warna kulit dan tidak ada pusing,
Skala 4 4 4
merasa nyaman
DX V :
Intoleransi aktifitas berhubungan dengan Malaise
Kriteria Hasil : Kriteria Hasil 1. Melaporkan peningkatan toleransi terhadap aktifitas 2. TTV dalam batas normal 3. Suhu normal DX VI
:
Kurang
pengetahuan
Skala 4 4 4
berhubungan
dengan
keterbatasan paparan
Kriteria Hasil : 1. 2. 3. 4.
Kriteria Hasil Mendeskripsikan prosedur Menjelaskan tujuan dari prosedur Mendeskripsikan tahap dari prosedur Mendeskripsikan hubungan pencegahan
dengan
prosedur 5. Mendeskripsikan perawatan mandiri dengan alat 6. Menunjukkan prosedur perawatan 7. Mendeskripsikan potensial efek seimbang
Skala 5 5 4 4
4 4 5
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richar E. 1992, Ilmu Kesehatan Anak, Jakarta: EGC Boediardja, Siti Aisah, dkk, 2003, Infeksi Kulit Pada Bayi dan Anak, Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Daili, Sjaiful Fahmi, dkk, 2002, Infeksi Virus Herpes, Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Hidayat, Aziz Alimul, 2005, Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I, Jakarta: Salemba Medika. Jhonson, Marion, dkk, 2000, NOC, Jakarta: Morsby. Laurentz,Rampengan. 1993. Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Jakarta : EGC. Mansjoer, Arif, dkk, 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius. Mc Clonskey, Cjoane, dkk, 1995, NIC, Jakata: Morsby. Nanda, 2006, Panduan Diagnosa Keperawatan Nanda 2005-2006: Definisi dan Klasifikasi, Jakarta: EGC. Pincus, Catzel, dkk, 1990, Kapita Selekta Pediatri, Edisi. 2, Jakarta: EGC. Wilkonson, Judith M, 2006, Buku Saku Diagnosa Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Kriteria Hasil NOC, Jakarta: EGC.