8
3
waktu
frekuensi (kali)
waktu
frekuesi (kali)
waktu
frekuensi (kali)
waktu
frekuensi (kali)
waktu
frekuensi (kali)
waktu
frekuensi (kali
waktu
frekuensi (kali)
waktu
frekuensi (kali)
jenis aktivitas
persen (%)
jenis aktivitas
frekuensi (kali)
AKTIVITAS HARIAN DAN INTERAKSI SOSIAL SURILI (Presbytis comata D.) DI PUSAT REHABILITASI PRIMATA JAWA (PRPJ) THE ASPINALL FOUNDATION RANCABALI, CIWIDEY
Diajukan sebagai laporan pelaksanaan praktek kerja lapangan.
Oleh :
RINI MULIANI
1211702068
JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014 M / 1435 H
LEMBAR PENGESAHAN
AKTIVITAS HARIAN DAN INTERAKSI SOSIAL SURILI (Presbytis comata D.) DI PUSAT REHABILITASI PRIMATA JAWA (PRPJ) THE ASPINALL FOUNDATION RANCABALI, CIWIDEY
PRAKTEK KERJA LAPANGAN
Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Oleh :
RINI MULIANI
1211702068
Telah disetujui dan dan disahkan di Bandung, Tanggal ____________2014
Pembimbing Lapangan,
Sigit Ibrahim
(Head Keeper)
Dekan Fakultas Sains Dan Teknologi,
Dr. Opik Taupik Kurohman
NIP. 1968121419960310001
Dosen Pembimbing,
Astuti Kusumorini, M.Si
NIP. 196804142000023003
Ketua Jurusan Biologi,
Dr. Yani Suryani, M.Si.
NIP. 197205181998012001
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahi robbil 'alamin atas rahmat dan karunia-Nya, sehingga Laporan Praktek Kerja Lapangan yang berjudul "Aktivitas Harian dan Interaksi Sosial Surili (Presbytis comata D.) di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall Foundation Rancabali, Ciwidey" dapat diselesaikan dengan baik. Laporan Praktek Kerja Lapangan ini ditulis berdasarkan hasil penelitian di kandang surili mulai dari tanggal 11 Agustus 2014 sampai tanggal 31 Agustus 2014, waktu digunakan untuk melakukan pengamatan aktivitas harian.
Laporan ini disusun untuk memenuhi salah satu Mata Kuliah Wajib Praktek Kerja Lapangan sebagai ajang mengasah dan meningkatkan wawasan, kemampuan, keahlian serta keterampilan mahasiswa dibidangnya. Ucapan terimakasih kepada orang-orang yangselalu mendukung dan membantu saya dalam melakukan Praktek Kerja Lapangan ini, yaitu :
Dekan Fakultas Sains dan Teknologi, Dr. Opik Taupik Kurahman.
Ketua jurusan Biologi, Dr. Yani Suryani, M.Si yang selalu membimbing dalam stiap kegiatan perkuliahan.
Pembimbing Praktek Kerja Lapangan, Astuti Kusumorini, M.Si yang telah membimbing Praktek Kerja Lapangan dari awal sampai akhir kegiatan.
Manager PRPJ, Made Wedana, S.Si yang tak pernah menyerah dan tak pernah bosan membimbing selama PKL berlangsung.
Pembimbing lapangan, Sigit Ibrahim yang tak pernah lelah dan selalu ada untuk membimbing dan membantu saya dan teman-teman selama kegiatan PKL berlangsung.
Orang tua yang senantiasa mendo'akan dan mendukung anaknya dimana dan kapanpun anaknya berada dalam keadaan apapun.
Pak Ade, Pak Yayat, Pak Yana, dan semua pegawai PRPJ yang selalu membantu dan menemani selama PKL berlangsung.
Tak lupa sahabat-sahabat yang selalu saling mendorong dan mengingatkan dalam menjalani PKL hingga akhir penulisan laporan ini selesai.
Semua yang telah kalian lakukan sungguh tak ternilai harganya, mudah-mudahan Allah SWT membalas dengan balasan yang berlipat. Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap bahwa laporan ini dapat bermanfaat umumnya bagi pembaca yang ingin melakukan studi ataupun mengaplikasikan saran yang diberikan penulis pada laporan ini, serta khususnya bermanfaat bagi penulis sendiri sehingga dapat menambah wawasan.
Bandung, 5 November 2014
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI iii
DARTAR TABEL v
DAFTAR GAMBAR vi
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 2
1.2.1Tujuan Umum 2
1.2.2 Tujuan Khusus 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3
2.1 Klasifikasi 3
2.2 Morfologi 3
2.3 Habitat 4
2.4 Penyebaran 5
2.5 Perilaku 6
2.6 Pakan Alami 7
2.7 Status Konservasi 7
BAB III METODE 9
3.1 Lokasi dan Waktu Kerja Lapangan 9
3.2 Objek Penelitian 9
3.3 Alat Penelitian 9
3.4 Metode Penelitian 9
BAB IV PUSAT REHABILITASI PRIMATA JAWA (PRPJ) THE ASPINALL FOUNDATION INDONESIA 11
4.1 Sejarah Singkat 11
4.2 Struktur Organisasi 12
4.3 Lokasi 13
4.4 Visi dan Misi 13
4.5 Tujuan 13
4.6 Fasilitas 14
4.5.1 Kandang Satwa 14
4.5.2 Area Karantina 15
4.5.3 Ruang Penyimpanan Pakan 15
4.5.4 Klinik 16
4.5.5 Fasilitas Penunuang 16
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 17
5.1 Deskripsi Kandang 17
5.2 Deskripsi Objek 17
5.3 Aktivitas Harian 19
5.3.1 Aktivitas Makan dan Minum 20
5.3.2 Aktivitas Istirahat 23
5.3.3 Aktivitas Urinasi 25
5.3.4 Aktivitas Defekasi 26
5.3.5 Aktivitas Lokomosi 27
5.3.6 Aktivitas Grooming 28
5.3.7 Aktivitas Bersuara 29
5.4 Interaksi Sosial 31
5.4.1 Perilaku Agonistik 31
5.4.2 Kopulasi 32
5.4.3 Komunikasi 33
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 36
6.1 Kesimpulan 36
6.2 Saran 36
DAFTAR PUSTAKA 37
LAMPIRAN DOKUMENTASI KEGIATAN 39
LAMPIRAN DATA PENGAMATAN 40
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Keterangan
Halaman
2.1
Surili………………………………………………………..
3
2.2
Peta sebaran genus presbytis (Presbytis comata: 1, 2, 3)….
5
2.3
Status konservasi Presbytis comata menurut IUCN……….
7
3.1
Logo The Aspinall Foundation Java Primate Project……...
11
3.2
Struktur organisasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ)
12
3.3
Rute perjalanan menuju PRPJ dari Jakarta………………...
13
3.4
Denah lokasi fasilitas PRPJ………………………………..
14
3.5
Jenis kandang………………………………………………
15
5.1
Retih………………………………………………………..
18
5.2
Juleha……………………………………………………….
18
5.3
Asmara……………………………………………………..
18
5.4
Frekuensi aktivitas harian………………………………….
19
5.5
Persentase aktivitas harian…………………………………
19
5.6
Frekuensi aktivitas makan dan minum per 30 menit………
20
5.7
Frekuensi aktivitas istirahat per 30 menit………………….
23
5.8
Frekuensi aktivitas urinasi per 30 menit…………………...
25
5.9
Frekuensi aktivitas defekasi per 30 menit………………….
26
5.10
Frekuensi aktivitas lokomosi per 30 menit………………...
27
5.11
Frekuensi aktivitas grooming per 30 menit………………...
28
5.12
Frekuensi aktivitas bersuara per 30 menit………………….
29
5.13
Spektogram suara Presbytis comata……………………….
33
5.14
Frekuensi kontak fisik per 30 menit………………………..
24
5.15
Interaksi sosial Juleha dan Asmara………………………...
35
ABSTRAK
Surili (Presbytis comata D.) atau Javan Langur merupakan hewan endemik Jawa Barat yang terancam punah. Untuk melestarikan satwa ini di alam, diperlukan beberapa faktor yang dapat mendukung seperti pengelolaan yang tepat, penyuluhan kepada masyarakat mengenai pelestarian satwa langka, serta penelitian yang lebih lanjut mengenai satwa-satwa langka terutama surili. Upaya untuk melestarikan populasi surili saat ini dilakukan oleh Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ). Salah satu program pra lepas liar adalah menyatukan surili jantan dan betina dalam satu kandang, penyatuan kandang ini bertujuan untuk membentuk keluarga baru. Surili yang disatukandangkan yaitu Retih surili jantan, serta Juleha dan Asmara surili betina. Hasil menunjukkan bahwa aktivitas Retih yang paling tinggi yaitu lokomosi sebesar 37,43%, kemudian istirahat 30,80%, makan 14,53%, bersuara 9,20%, grooming 6,82%, urinasi 0,96%, dan defekasi 0,26%. Persen aktivitas Juleha yang paling tinggi yaitu istirahat sebesar 44,73%, kemudian makan 23,03%, lokomosi 21,29%, bersuara 5,83%, grooming 2,87%, urinasi 2,15%, dan defekasi 0,36%. Persen aktivitas Asmara yang paling tinggi yaitu istirahat sebesar 25,77%, kemudian lokomosi 25,35%, makan 18,33%, bersuara 16,03%, grooming 12,22%, urinasi 1,94%, dan defekasi 0,36%. Interaksi sosial ditunjukkan dengan sentuhan, grooming dan bersuara. Selama pengamatan tidak terlihat adanya aktivitas kopulasi, hal ini kemungkinan disebabkan karena waktu penelitian yang kurang maksimal dan membutuhkan waktu yang lebih lama hingga terjadi kopulasi.
Kata kunci: surili, Presbytis comata D., aktivitas harian, interaksi sosial, PRPJ The Aspinall Foundation.
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Balmford dkk. (2003 dalam Indrawan dkk., 2007) menjelaskan bahwa banyak spesies yang mengalami kepunahan lokal di wilayah penyebarannya. Spesies-spesies yang semula tersebar luas terkadang sebarannya menjadi terbatas pada "kantung-kantung" kecil, sisa habitat sebelumnya (Terborgh, 1999 dalam Indrawan).
Indrawan dkk. (2007) juga menjelaskan, ancaman utama pada keanekaragaman hayati akibat kegiatan manusia adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi habitat (termasuk polusi), perubahan iklim global, pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, invasi spesies-spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-faktor tersebut.
Salah satu dari sekian banyak hewan yang terancam punah adalah surili (Presbytis comata). Surili merupakan hewan khas dan endemik Jawa Barat. Meskipun telah mendapat status dilindungi sejak tahun 1979 melalui SK keputusan Menteri Pertanian No. 247/Kpts/ Um/ 1979; akan tetapi menurut IUCN pada tahun 2014, satwa primata ini termasuk dalam kategori terancam punah. (IUCN, 2014).
Upaya untuk melestarikan populasi surili saat ini dilakukan oleh Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ). PRPJ adalah fasilitas konservasi ex-situ yang dibangun oleh Yayasan Aspinall, bekerjasama dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dan Perum Perhutani. Maksud pembangunan fasilitas PRPJ ini adalah untuk mengelola dan merehabilitasi satwa-satwa jenis primata endemik pulau Jawa seperti Owa Jawa (Hylobates moloch), Lutung Jawa (Trachypithecus auratus sondaicus) dan Surili (Presbytis comata) yang keberadaannya di alam semakin terancam.
Setiap satwa yang direhabilitasi di PRPJ mendapatkan pemantauan yang berkala untuk ditinjau perkembangannya hingga dilepasliarkan. Salah satu program pra lepas liar adalah menyatukan surili jantan dan betina dalam satu kandang hingga
sebelum dilepasliarkan, mereka sudah mempunyai satu keluarga. Surili yang disatukandangkan yaitu Retih surili jantan, serta Juleha dan Asmara surili betina. Pengamatan dilakukan terhadap ketiga surili ini agar dapat diketahui apakah ketiga surili ini berhasil membentuk keluarga atau tidak sebelum dilepasliarkan.
Tujuan
Tujuan Umum
Meningkatkan wawasan dalam berbagai aspek yang terkait dengan biologi dalam arti luas.
Meningkatkan pemahaman akan berbagai ilmu dalam bidang biologi dan implementasinya di lapangan.
Memberikan penglaman dan meningkatkan keterampilan dalam penerapan biologi di lembaga swasta maupun instansi pemerintahan.
Mengetahui proses rehabilitasi hewan di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall Foundation.
Meningkatkan networking antara perguruan tinggi daengan PRPJ The Aspinall Foundation.
Tujuan Khusus
Mengetahui aktivitas harian dan interaksi sosial Surili di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa.
Mengetahui apakah terjadi kopulasi antara surili jantan dan betina setelah penyatuan kandang.
Menganalisa kelayakan pelepasliaran surili yang diamati.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi
Genus Presbytis Asia merupakan satwa arboreal yang menghuni hutan hujan tropis Sundaland, yaitu semenanjung Malaya dan kepulauan Indo-Melayu barat yang terdiri Sumatera, Kalimantan, Jawa, pulau-pulau Mentawai dan beberapa pulau kecil lainnya. Presbytis adalah salah satu genus primata yang paling beragam di antara primata dunia lama dengan lebih dari 50 varian warna (Meyer dkk., 2012).
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Mamalia
Ordo : Primata
Famili : Cercopthecidae
Genus : Presbytis
Spesies : Presbytis comata (Desmarest, 1822 dalam IUCN, 2014).
Surili sering disebut dengan Grizzled leaf monkeys karena pakan alami mereka, lebih dari sepertiga dari apa yang mereka konsumsi terdiri dari biji, tunas, bunga, dan buah. Menurut Strasser dkk. (1987 dalam Grzimek, 1972), lutung dan surili memiliki perut seperti perut besar pada hewan ruminansia dengan mikroba fermentasi.
2.2 Morfologi
Anak yang baru lahir berwarna putih dan memiliki garis hitam mulai dari kepala hingga bagian ekor. Panjang tubuh betina dan jantan hampir sama yaitu berkisar 420-600 mm, dengan panjang ekor berkisar 560-720 mm. berat tubuh rata-rata 6,5 kg (Supriatna dkk., 2000).Yang pernah diperoleh di Jawa Barat, Gunung Salak pada ketinggian 1.425 m (van Balen, 1915 dalam Grzimek, 1972) adalah seekor betina dengan panjang kepala dan badan 525 mm, ekor 700 mm dan tangan 284 mm. Sedangkan menurut Grzimek (1972), panjang tubuhnya 43-79 cm, panjang ekor
antara 54-107 cm, dan berat badan sekitar 7-18 kg. Juvenil Presbytis berwarna putih dengan tanda silang hitam di atas lengan. Mereka adalah spesies yang paling primitif dari famili Cercopithecidae. Adapun menurut IUCN animal info, surili mempunyai berat badan antara 6-8 kg.
Warna muka dan telinga hitam pekat dengan sedikit warna merah daging, bibir berwarna merahdaging. Warna dari bagian atas adalah kelabu kehitam-hitaman yang pada jambul (kuncung) dan kepala menjadi hitam, bagian bawah dari badan dan ekor keputih-putihan seperti halnya bagian bawah dari anggota badan. Bagian yang gundul pada tangan berwarna hitam, iris mata coklat gelap (Supriatna dkk., 2000).
Surili yang masih muda pada minggu-minggu pertama berambut halus, pendek dan berwarna keperak-perakan serta menyerupai wol. Begitu berumur 4 bulan ia sudah berwana dan berupa seperti satwa dewasa; atap kepala berkuncung kehitam-hitaman, sebelah bawah ekor berambut pendek berwarna putih kekuning-kuningan yang kearah ujung menjadi lebih panjang dan bersama-sama dengan rambut-rambut kelabu dari sebelah atas membentuk semacam kanvas (Supriatna dkk., 2000).
Ibu jari sangat pendek karena tereduksi, sementara jari lainnya panjang dan berkembang dengan baik, panjang dan ramping. Laring sangat besar dengan saccules laring untuk amplifikasi suara (Grzimek, 1972).
2.3 Habitat
Alikodra (2010) menjelaskan bahwa habitat merupakan suatu kawasan yang dapat memenuhi semua kebutuhan dasar dari populasi tertentu. Kebutuhan dasar populasi adalah untuk berlindung, berkembang biak, menyediakan makanan dan air serta pergerakan.
Hutan hujan daratan rendah sampai pegunungan (ketinggian 2.000 m). Tempat yang disukainya adalah hutan hujan dekat kebun kopi atau ladang-ladang (van Balen, 1915). Di Ranca Danau pernah dijumpai sekelompok surili, tidak jauh dari desa Tanjung (Amir, H. Dan Jan Wind, 1977). Surili merupakan primata arboreal ynag menggunakan vegetasi hutan sebagai pelindung dan sebagai sumber makanan. Kelengkapan fungsi hutan tersebut lebih berarti sebagai fungsi habitat bila ditambah dengan sumber air (Bismark, 1984). Menurut IUCN animal info, surili dapat tinggal di hutan primer dan sekunder, baik di tepian maupun pedalaman hutan. Lokasi spesifiknya meliputi dataran rendah hutan, lereng dan bukit hutan, hingga dataran tertinggi dari pegunungan yang mencapai ketinggian 2.600 m.
Menurut Whitten dkk. (1999) menjelaskan bahwa batas ketinggian habitat alami surili mungkin sekitar 1.250 m dpl, walaupun kadang-kadang ditemukan di tempat yang lebih tinggi terutama di daerah yang hutan dataran rendahnya berkurang. Populasinya hampir tidak mungkin bertahan di hutan pegunaungan yang lebih rendah karena banyak jenis pohon makanannya tidak tersedia. Hampir dua per tiga habitatnya berada di luar kawasan konservasi yang sudah ditetapkan.
2.4 Penyebaran
Di Indonesia, pulau Jawa, mungkin terbatas sampai Gunung Slamet. Terdapat dua ssp: ssp aygula (Linneaus, 1758): Jawa Barat, yaitu Ujung Kulon, Ranca Danau, Gunung Halimun, Gunung Gede dan Pangrango, Gunung Tilu. Gambar 2.2 menunjukkan peta penyebaran genus Presbytis, surili (Presbytis comata) hanya tersebar di pulau Jawa.
Gambar 2.2 Peta sebaran genus Presbytis (Presbytis comata: 1, 2, 3).
(Sumber: Meyer dkk., 2010)
Surili hidup di Cagar Alam Situ Patenggang Bandung dan Cagar Alam Kawah Kamojang Garut. Sekarang surili hanya terdapat di hutan tengah dan atas di Jawa Barat (sub motana-montana forest) dengan ketinggian di atas 1.200 m dpl. Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa satwa ini masih dapat ditemukan di hutan dataran rendah Ujung Kulon pada ketinggian sekitar 200-400 m dpl. Menurut MacKinnon (1986) surili hanya hidup pada kantung-kantung hutan dataran rendah yang tersisa di G. Halimun dan G. Gede, tetapi tempat yang memungkinkan jenis ini untuk bertahan hidup kemungkinan besar adalah hutan dataran rendah Taman Nasional Ujung Kulon (dalam Ruhiyat, 1983).
2.5 Perilaku
Nama surili disebabkan karena suaranya yang nyaring di pagi dan senja hari ataupun di siang hari bila mereka melihat sesuatu yang asing baginya.Sifat amat curiga dan penakut, oleh suatu suara yang mencurigakan mereka serentak melarikan diri dan cepat-cepat memanjat pohon yang tinggi. Kalau sekelompok surili melarikan diri timbul suara seperti badak memasuki semak belukar (Supriatna dkk., 2000). Surili merupakan hewan diurnal dan penghuni hutan arboreal (IUCN animal info, 2014).
Sama halnya dengan jenis monyet lain, surili juga hidup berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari beberapa ekor jantan dan betina dewasa, anak-anak yang belum dewasa, serta beberapa ekor anak yang masih digendong oleh induknya. Besarnya jumlah individu dalam suatu kelompok monyet sangat dipengaruhi oleh jumlah persediaan makanan (Wilson, 1975; Freeland, 1976; Tilson,1977; Bismark, 1979 dalam Irwanto, 2006) serta rendahnya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit (Freeland, 1976 dalam Irwanto, 2006).
Menurut Supriatna dkk. (2000) mereka hidup dalam kelompok yang terdiri dari 4-10 ekor. Terdapat pula yang soliter, biasanya betina yang amat tua. Sedangkan menurut Grzimek (1972) satu kelompok biasanya terdiri dari 20-40 individu yang dipimpin oleh seekor jantan yang besar. Adapun menurut IUCN animal info, satu keluarga rata-rata terdiri dari 6-7 individu (dengan rentang 3-12 individu). Wilayah surili yang diukur oleh Phyllis Jay yaitu sekitar delapan km2.Surili umumnya ditemukan pada pohon-pohon besar, tinggi,tetapi kalau sedang mencari makanan sering juga turun ke pohon yang lebihrendah atau bahkan ke tanah.
2.6 Pakan Alami
Asupan yang paling tinggi yaitu dari dedaunan hingga 91%, sedangkan dari buah-buahan hanya 9%. Mereka pemakan tumbuh-tumbuhan, buah-buah Ficus, bunga serta kuncup dari berbagai Palmae dan rotan. Sering juga menyerbu ke ladang-ladang untuk mendapatkan ubi jalar, palawija. Menurut Hoogerwerf (1970 dalam Amarasinghe dkk., 2009) di Ujung kulon makanan utamanya adalah buah-buahan, daun dan pucuk pohon, semak dan palmae. Sedangkan menurut IUCN animal info, genus Presbytis mengkonsumsi 62% daun muda dan 6% daun tua, 9% bagian tangkai, daun dan umbi-umbian.
2.7 Stastus Konservasi
IUCN mengkategorikan surili dalam status endangered dalam IUCN redlist yang berarti spesies tersebut sedang menghadapi resiko kepunahan di alam liar yang tinggi pada waktu yang akan datang. Gambar 2.2 menggambarkan status surili dan kategori yang diberlakukan oleh IUCN.
Gambar 2.3 Status konservasi Presbytis comata D. menurut IUCN, 2014.
Sejauh ini, surili hanya menerima sedikit perhatian oleh para peneliti dan konservasionis. Habitat dalam jangkauan distribusinya telah terancam oleh pemanfaatan habitat manusia. Sementara beberapa populasi Presbytis comata di Jawa Barat telah dilindungi dalam taman Nasional dan Kawasan Konservasi, diakui secara internasional bahwa tidak ada kawasan konservasi yang akan melindungi sub spesies surili di Jawa Tengah. Hanya dua survey lapangan dan satu penelitian sarjana telah dilakukan pada spesies ini selama dua decade terakhir di wilayah Jawa Tengah, terutama di daerah Gunung Dieng, di mana kepadatan hewan diperkirakan menjadi 28 individu/km2, dan ukuran total populasi sekitar 700-800 hewan. Nijman (1997dalam Setiawan dkk., 2010) telah mengunjungi gunung Slamet, namun perkiraan populasi untuk daerah ini tidak tersedia.
Menurut Prasanai dkk. (2008 dalam Prinando dkk., tanpa tahun), maraknya kegiatan eksploitasi hutan pasca reformasi pada hutan di sekitar dan di dalam tempat-tempat tersebut sedikit banyak telah mengancam kelestarian satwa primata ini. Hal ini dikarenakan, hampir sama dengan satwa primata lainnya, surili juga sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan di sekitar habitatnya. Hal ini berarti satwa ini akan terancam punah dalam waktu dekat apabila tempat yang menjadi habitatnya rusak dan tidak dilakukannya sistem pengelolaan yang baik dalam hal habitat, inventarisasi berkala dan aktivitas reproduksinya.
Perlindungan satwa liar di Indonesia, terutama satwa langka, sudah dimulai sejak tahun 1931 dengan adanya Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 (Lembaran Negara 1931 No. 226 jis 1932 No. 28 dan 1935 No.513). Primata yang dilindungi di antaranya adalah bekantan (Nasalis larvatus Wurmb.), semua jenis gibbon (Hylobates spp.), dan orangutan (Pongo pygmaeus). Upaya peningkatan konservasi satwa juga terusdilakukan melaIui penetapan dan penataan berbagai kawasan konservasi, yang saat ini kawasan konservasi darat mencapai 17% (22.702.527,17 ha) dari kawasan hutan Indonesia (Departemen Kehutanan, 2007).
Pada kawasan hutan di Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi yangdihuni oleh satwa langka yang dilindungi, primata dapat dijadikan sebagai indikator dalam mengelola hutan dan menentukan strategi konservasi.Jenis satwa ini dalam hidupnya sangat tergantung pada tegakan pohondalam melakukan aktivitas hariannya, terutama pohon sebagai sumberpakan utama. Dalam hal ini pengetahuan tentang faktor-faktor ekologisyang mempengaruhi pola perilaku makan (feeding behavior) atau ekologimakan (feeding ecology) dapat menunjang sistem pengelolaan habitat danpopulasi satwa di dalam kawasan konservasi maupun di kawasan hutanproduksi (Bismark, 1993; Meiyard dkk., 2006 dalam Bismark, 2009).
BAB III
METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Kerja Lapangan
Praktek Kerja Lapangan ini dilakukan di Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (PRPJ) The Aspinall Foundation Indonesia yang berada di Rancabali Bandung Jawa Barat. Waktu Praktek Lapangan dimulai tanggal 11 Agustus 2014 sampai tanggal 31 Agustus 2014, waktu digunakan untuk melakukan pengamatan aktivitas harian.
3.2 Objek Penelitian
Objek penelitian dalam Kerja Lapangan adalah tiga ekor surili, satu jantan bernama Retih serta dua betina bernama Juleh dan Asmara di salah satu kandang yang terdapat di PRPJ. Ketiga surili ini disatukandangkan sekitar satu bulan yang lalu dengan tujuan untuk memasangkan satu sama lain dan terjadi kopulasi, sehingga ketika dilepasliarkan mereka sudah membentuk keluarga yang utuh dan dianggap layak untuk dilepasliarkan.
3.3 Alat Penelitian
Alat yang dugunakan selama pengamatan antara lain kertas pengamatan yang sudah dibuat tabulasi, alat tulis, serta jam tangan atau stop watch.
3.4 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam pengamatan aktivitas harian ini yaitu adlibitum sampling dengan jeda durasi lima menit dan menghitung setiap aktivitas yang dilakukan selama lima menit tersebut, sehingga data berbentuk turus dalam tabulasi pengamatan.
Analisis data disajikan dalam persen aktivitas dengan rumus sbb.:
persen aktivitas=jumlah satu aktivitastotal seluruh aktivitasx 100%
Selain itu, analisis data juga disajikan dalam bentuk grafik dari data yang diperoleh sehingga terlihat frekuensi aktivitas per jam kemudian dijelaskan secara deskriptif.
Adapun aktivitas yang diamati antara lain:
Makan: Aktivitas makan mencakup dimulai dari mencari makan. Mencari makan dilakukan dengan melihat-lihat lingkungan sekitar, dan terkadang mengorek-ngorek tanah, kemudian biasanya mencoba-coba memakan makanan yang baru atau belum pernah dimakan. Aktivitas makan ini juga mencakup memilih makanan, memasukkan makanan, mengunyah, dan menelan serta minum.
Istirahat: Aktivitas istirahat mencakup diam di tempat, tidak melakukan apapun, berjemur, duduk, berbaring, dan aktivitas lainnya yang tidak melakukan perpindahan tempat.
Urinasi: Proses pengeluaran sisa metabolisme dalam bentuk cairan.
Defekasi: Proses pengeluaran sisa metabolisme dalam bentuk padat.
Lokomosi: Aktivitas lokomosi ini termasuk aktivitas-aktivitas yang memerlukan perpindahan posisi seperti berjalan, melompat dan berayun.
Grooming: Aktivitas grooming pada surili yaitu kegiatan membersihkan diri dengan membersihkan parasit yang biasa menempel pada rambut atau permukaan kulit dengan cara menelisik dan menggaruk.
Bersuara: Merupakan aktivitas yang mengeluarkan suara.
Selain itu, interaksi sosial yang diamati antara lain:
Perilaku agonistik: Merupakan bentuk konflik yang menunjukkan perilaku/postur tubuh yang melibatkan mengancam, perkelahian, melarikan diri dan diam.
Kopulasi: Proses reproduksi seksual dan perilaku yang ditunjukkannya.
Komunikasi: Komunikasi yang dilakukan surili antara lain dengan menggunakan suara dan gestur tubuh atau display.
BAB IV
PUSAT REHABILITASI PRIMATA JAWA (PRPJ) THE ASPINALL FOUNDATION INDONESIA
4.1 Sejarah Singkat
Pusat Rehabilitasi Primata Jawa (Javan Primate Conservation Project) adalah program konservasi endemik Pulau Jawa yang diinisiasi oleh The Aspinall Foundation bekerjasama dengan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementrian Kehutanan dan Perum Perhutani. Program ini meliputi kegiatan konservasi in-situ dan ex-situ. Program ini dimulai dari tahun 2008 yang meliputi observasi lokasi, pembangunan dan pengembangan, dan baru diresmikan pada tahun 2011. Gambar 3.1 merupakan logo yang sering digunakan PRPJ.
Gambar 3.1 Logo The Aspinall Foundation Java Primate Project.
(Sumber: File PRPJ)
Adapun The Aspinall Foundation merupakan sebuah lembaga swadaya non-profit yang berkantor pusat di Kent, Inggris, yang berkonsentrasi dalam bidang konservasi lingkungan terutama satwa liar. Selain program konservasi primata endemik Pulau Jawa di Indonesia, The Aspinall Foundation juga mengelola beberapa kebun binatang seperti Kebun Binatang Howletts di Canterbury, dan Port Lympne Wild Animal Parks, juga beberapa program konservasi primata seperti konservasi gorila di Kongo dan Gabon, dan lemur di Madagaskar. Kiprah Yayasan Aspinall di dunia konservasi satwa liar meliputi kegiatan penangkaran non komersial, pendidikan, manajemen ekosistem, proyek-proyek peningkatan kapasitas komunitas lokal, survey habitat dan upaya rehabilitasi satwa liar dari hasil penyitaan (penegakan hukum). Yayasan Aspinall juga berkontribusi untuk proyek konservasi satwa liar di beberapa Negara yang bekerjasama dengan organisasi setempat.
Satwa primata di PRPJ adalah tindak lanjut dari hasil proses penegakan hukum antara lain penyitaan dari masyarakat yang memelihara secara ilegal. Primata-primata tersebut selanjutnya dirahabilitasi dan akan dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya. Pembangunan PRPJ adalah tindak lanjut dari kesepakatan kerjasama antara Yayasan Aspinall dengan Ditjen PHKA dan Perum Perhutani yang ditandatangani pada bulan Mei 2010 dalam upaya melestarikan satwa primata endemik pulau Jawa.
4.2 Struktur Organisasi
Struktur organisasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa memiliki beberapa bagian seperti yang diperlihatkan gambar 3.1. Setiap bagian hanya diisi oleh satu orang kecuali keeper yang berjumlah delapan orang.
ANIMAL DIVISIONADMINISTRATIONMEDICAL DIVISIONSECURITY & MAINTENANCE DIVISIONKEEPER PROJECT MANAGER
ANIMAL DIVISION
ADMINISTRATION
MEDICAL DIVISION
SECURITY & MAINTENANCE DIVISION
KEEPER
Gambar 3.2 Struktur organisasi Pusat Rehabilitasi Primata Jawa.
(Sumber: File PRPJ)
4.3 Lokasi
Pusat Rehabilitasi Primata Jawa terletak di kaki Gunung Patuha, Rancabali, Ciwidey Bandung Jawa Barat. Akses menuju PRPJ dapat dilihat dari gambar 3.3.
Gambar 3.3 Rute perjalanan menuju PRPJ dari Jakarta.
(Sumber: File PRPJ)
4.4 Visi
Visi dari Pusat Rehabilitasi Primata Jawa sendiri adalah melestarikan spesies primata endemik Pulau Jawa dan habitatnya dengan dukungan semua pihak.
4.5 Tujuan
Mendukung upaya Ditjen PHKA untuk mengelola satwa primata hasil sitaan dan penyerahan masyarakat untuk direhabilitasi sehingga satwa primata tersebut nantinya siap untuk dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya.
Sebagai tempat mengelola satwa primata yang tidak bisa dilepasliarkan ke habitat alaminya karena alasan tertentu, seperti cacat fisik yang berat.
Sebagai wahana penelitian dan mendukung kesempatan mahasiswa dari dalam dan luar negeri untuk melakukan penelitian dengan topik primata jawa.
4.5 Fasilitas
Pusat Rehabilitasi Primata Jawa berdiri di atas lahan seluas 12 hektar seperti yang diperlihatkan gambar 3.4 ,di pinggir hutan lindung G. Tikukur yang terletak di selatan kota Bandung. PRPJ mulai dibangun pada bulan Januari 2011 dan pada bulan Juni 2011 telah menyelesaikan enam fasilitas (enclosure) primata, satu bangunan kantor lapangan dan satu fasilitas klonik satwa. Pada tanggal 20 Juni 2011 dua Owa Jawa disita dari masyarakat dan menjadi primata pertama yang menghuni PRPJ.
Gambar 3.4 Denah lokasi fasilitas Pusat Rehabilitasi Primata Jawa.
(Sumber: File PRPJ)
4.5.1 Kandang Satwa
Terdapat beberapa jenis kandang yang berbeda, diantaranya adalah kandang kawat dengan ukuran 5x5x5 meter (panjang x lebar x tinggi), open top enclosure yang dihubungkan ke kandang kawat melalui sebuah lorong, merupakan kandang yang di-seting sedemikian rupa sehingga satwa dapat beraktivitas dengan bebas tanpa terhalangi oleh atap. Disekeliling open top enclosure dipasang kawat-kawat yang dialiri listrik dengan daya yang tidak akan membahayakan satwa. Selanjutnya ada kandang net cage yang fungsinya sama dengan open top enclosure, yang membedakannya adalah jaring-jaring yang dipasang di sekeliling kandang untuk mencegah kaburnya satwa.
(b)
(c)
Gambar 3.5 Jenis kandang; (a) kandang tertutup (kandang kawat), (b) kandang terbuka (open top enclosure) tanpa net, namun dikelilingi kawat bertegangan listrik rendah, (c) kandang terbuka (open top enclosure) dengan net.
(Sumber: File PRPJ)
4.5.2 Area Karantina
Area karantina merupakan tempat menisolasi satwa-satwa yang baru datang ke Pusat Rehabilitasi Primata Jawa, terdiridari beberapa kandang kawat dan sebuah bungalow yang difungsikan sebagai tempat operasional untuk staf ataupun perawat satwa.
4.5.3 Ruang Penyimpanan Pakan
Merupakan tempat untuk menyimpan stok pakan satwa yang kebersihan dan keadaan sekitarnya sangat diperhatikan agar pakan senantiasa segar dan bebas dari mikroba berbahaya.
4.5.4 Klinik
Merupakan tempat untuk pemeriksaan kesehatan satwa, baik itu emeriksaan rutin maupun situasi-situasi di mana satwa memerlukan pemeriksaan khusus (sakit). Klinik ini dilengkapi pula denga peralatan-peralatan yang memenuni standar untuk pemeriksaan medis.
4.5.5 Fasilitas Penunjang
Fasilitas-fasilitas penunjang lainnya meliputi keeper room, perpustakaan, mushola dan dapur umum. Fasilitas-fasilitas ini sengaja dibangun untuk memberi kenyamanan untuk staf dalam melaksanakan pekerjaannya.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Deskripsi Kandang
Kandang terdiri dari dua bagian, yaitu kandang terbuka (open top enclosure) dan kandang tertutup. Kandang terbuka berukuran kurang lebih 5x5x5 m, sedangkan kandang terbuka jauh lebih luas lagi. Kandang tertutup terbuat dari besi sehingga dapat melindungi dari predator yang ada di sekitarnya juga terdapat rumah kecil untuk tidur dan tempat pakan, di dalamnya tersusun bambu-bambu untuk berpindah tempat. Kandang terbuka yaitu kandang disebelahnya yang terusun dari jaring tambang yang sangat luas dan dapat digunakan sebagai tempat aktivitas yang memerlukan ruang gerak yang luas, susunan bambu lebih banyak lagi dan lebih tinggi. Kandang tertutup dan kandang terbuka dihubungkan dengan portal yang dapat dibuka dan ditutup, pada sore hari, satwa dimasukkan ke dalam kandang tertutup, kemudian pada pagi hari tutup portal dibuka agar satwa bisa leluasa keluar masuk kandang. Kandang tertutup dibersihkan sehari sekali dengan cara disapu. Pada saat dibersihkan, satwa dipindahkan ke kandang terbuka terlebih dahulu, pintu portal ditutup baru kemudian keeper dapat membersihkan kandang.
5.2 Deskripsi Objek
Satu kandang terdiri dari tiga ekor surili, dua ekor surili betina bernama Juleha (>8 thn.) dan Asmara (2 thn.) serta seekor surili jantan bernama Retih (4 thn.). Retih terlihat mempunyai postur tubuh yang lebih besar dibanding dengan kedua betina lainnya dengan tinggi ketika duduk dari kepala hingga pijakan sekitar 45 cm, namun Juleha sedikit lebih tinggi dari Retih. Warna rambut tubuh bagian dorsal berwarna keabuan dengan warna yang lebih terang dibanding kedua betina, mempunyai ekor yang paling panjang. Rambut bagian kepala pendek dan menghadap ke belakang dengan warna lebih gelap yang melingkari bagian kepala dari wajah sampai tengkuk. Retih mempunyai karakter yang paling agresif.
Gambar 5.1 Retih. (Sumber: File PRPJ)
Juleha merupakan betina dewasa dalam kandang ini, berukuran kurang lebih 27 cm, sedikit lebih tinggi dari Retih. Mempunyai warna rambut tubuh bagian dorsal yang paling gelap kehitaman dari kepala sampai bawah. Rambut kepala sedikit panjang, berukuran sama rata dan berdiri ke arah luar. Penampilan wajah terlihat sayu dengan mata yang cekung khas bagi hewan yang sudah berumur. Juleha mempunyai sifat yang paling pendiam, tidak banyak bergerak maupun bersuara.
Gambar 5.2 Juleha. (Sumber: File PRPJ)
Asmara adalah betina muda dengan ukuran tubuh paling kecil dengan tinggi pada saat duduk sekitar 33 cm. Rambut kepala terlihat mencolok karena panjang dan mengarah ke atas. Asmara paling mudah dibedakan dari yang lainnya karena ukurannya yang jauh lebih kecil.
Gambar 5.3 Asmara. (Sumber: File PRPJ)
5.4 Aktivitas Harian
Frekuensi aktivitas selama pengamatan dihitung kemudian disajikan dalam frekuensi aktivitas harian yang ditunjukkan Gambar 5.4. Frekuensi aktivitas ini akan menunjukkan persentase aktivitas harian yang ditunjukkan gambar 5.5, ketika dibagi jumlah jenis aktivitas yang diamati.
Gambar 5.4 Frekuensi aktivitas harian.
Retih merupakan jantan yang aktif sehingga paling banyak melakukan aktivitas lokomosi, namun Juleha dan Asmara memiliki frekuensi aktivitas istirahat yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokomosi karena mereka adalah betina. Jantan memang lebih sering terlihat melakukan aktivitas lokomosi seperti melompat sambil bersuara untuk menandai daerah kekuasaannya. Frekuensi aktivitas yang paling rendah yaitu aktivitas defekasi dan urinasi. Kedua aktivitas tersebut memang tidak memerlukan waktu yang lama dan berulang-ulang.
Selain frekuensi, data juga disajikan dalam bentuk persentase seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5.5. Persentase merupakan nilai persen per aktivitas yang dilakukan oleh masing-masing ketiga individu surili. Nilai yang ditunjukkan dalam bentuk persen ini tidak jauh berbeda dengan nilai frekuensi karena data persentase diambil dari data frekuensi.
Gambar 5.5 Persentase aktivitas harian.
5.4.1 Aktivitas Makan dan Minum
Aktivitas makan mencakup dimulai dari mencari makan. Mencari makan dilakukan dengan melihat-lihat lingkungan sekitar, dan terkadang mengorek-ngorek tanah, kemudian biasanya mencoba-coba memakan makanan yang baru atau belum pernah dimakan. Aktivitas makan ini juga mencakup memilih makanan, memasukkan makanan, mengunyah, dan menelan serta minum. Satu frekuensi makan dihitung hingga seluruh aktivitas tersebut di atas dilakukan dalam waktu yang diapit oleh aktivitas lainnya.
Pemberian pakan rutin dilakukan pada sekitar pukul 08.00, 11.00, dan 15.00 oleh keeper. Pakan yang diberikan pun bervariasi pada setiap waktu, menu pakan pagi hari biasanya hampir sama dengan sore hari, biasanya terdiri dari ubi, jagung, alpukat, bengkoang, kacang panjang, selada, kacang, sirsak, mentimun, sosin, beberapa jenis dedaunan dengan kombinasi yang berbeda-beda, sedangkan dan pada siang hari biasanya diberi pakan dedaunan saja, biasanya daun kaliandra.
Gambar 5.6 Frekuensi aktivitas makan dan minum per 30 menit.
Aktivitas makan akan meningkat ketika keeper memberi pakan rutin pada jam yang telah ditentukan. Perilaku makan ini mempunyai tiga titik puncak yang dirata-ratakan yaitu pada pukul 07.00-08.00. 10.00-12.00 dan 15.00-16.00. Ketiga waktu ini merupakan waktu pemberian pakan, oleh karena ini di ketiga waktu tersebut aktivitas makan sangat tinggi. Aktivitas makan terlihat bahkan sebelum keeper memberi pakan, mereka mencar-cari makanan yang ada di dalam kandang kemudian memakannya. Oleh karena itu, sebelum waktu pemberian pakan, aktivitas makan sudah terlihat tinggi.
Persen aktivitas makan pada Retih seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 5.6 sebesar 14,53%, merupakan aktivitas tertinggi ketiga setelah lokomosi dan istirahat. Pada Juleha yang ditunjukkan grafik 3 memiliki persen aktivitas makan sebesar 23,03%, merupakan aktivitas tertinggi kedua setelah istirahat. Asmara mempunyai persen aktivitas makan sebesar 18,33%. Retih dan Asmara memang lebih aktif dibandingkan dengan Juleha, oleh karena itu persen aktivitas lokomosi mereka lebih tinggi dibandingkan dengan persen aktivitas makan.
Dalam hal pilihan pakan, Retih, Juleha dan Asmara selalu memilih ubi untuk dimakan terlebih dahulu, kemudian jagung, kacang, mentimun, dan jenis pakan lainnya. Alpukat serta jenis dedaunan selalu menjadi pilihan terakhir. Ketiga surili ini benar-benar pemilih dalam hal makanan, karena tidak begitu menyukai pakan dedaunan, mereka tidak akan memakannya sebelum jenis pakan lainnya habis dimakan.
Perilaku makan sebelum mengambil makanan, mereka selalu memilih dan mendahulukan makanan yang mereka sukai, biasanya ubi dan jagung. Surili tidak membaui makanan mereka sebelum dimakan. Makanan diambil dengan menggunakan tangan, baik tangan kiri maupun tangan kanan dengan posisi duduk di tempat pakan. Jika makanan yang diambil mempunyai kulit seperti kacang, maka mereka akan mengupasnya terlebih dahulu, jika makanan tersebut berupa ubi mereka tidak akan memakan bagian kulitnya kemudian membuangnya, dan bagian-bagian lain dari makanan yang sulit dan tidak enak dimakan biasanya mereka akan memisahkannya lalu kemudian membuangnya.
Retih, Juleha dan Asmara menggunakan gigi depan untuk memotong makanan, jika kesulitan menggunakan gigi depan biasanya mereka akan menggunakan gigi taring ataupun gigi gerham atau gigi belakang untuk memotong. Seperti pada mengupas biji buah sirsak, biji tersebut dimasukkan ke dalam mulut kemudian di gigit menggunakan gigi gerham, mengeluarkannya kembali dan mengambil bagian dalam biji, bagian luar biji yang keras kemudian dibuang. Cara mengunyah juga cenderung cepat, dalam satu detik mereka bisa mengunyah 3 sampai 5 kali kunyahan.
Retih, Juleha dan Asmara dapat mengenali makanan dengan cara visualisasi, hal ini terlihat pada saat memilih makanan yang ada dengan cara dilihat. Sama halnya ketika mendapatkan makanan yang baru bagi mereka seperti dedaunan liar yang ada di dalam kandang ataupun dedaunan dari pengayaan (enrichment) kandang, mereka mengetahui makanan tersebut enak atau tidak dengan cara dicicipi. Tidak ada perilaku membaui sebelum makan, sehingga perlu kajian lebih dalam mengenai penginderaan pada surili.
Pakan yang diberikan sebisa mungkin disesuaikan dengan pakan alami mereka. Namun, sebagian besar dari mereka lebih menyukai pakan hasil perkebunan dibandingkan dengan pakan alami. Pemberian pakan alami ini sangat penting sebagai pengenalan kepada habitatnya dan pembelajaran bagi mereka nanti ketika sudah dilepasliarkan. Maka dari itu, satwa yang tidak mau memakan pakan alami dianggap belum layak untuk dilepasliarkan.
Retih, Juleha dan Asmara sangat jarang melakukan aktivitas minum, dilihat dari frekuensi aktivitas minum yang paling sedikit di antara aktivitas lainnya. Bahkan selama waktu pengamatan Retih tidak minum, aktivitas minum Juleha teramati sebanyak dua kali, sedangkan Asmara sebanyak empat kali.
Surili melakukan aktivitas minum tidak berdampingan dengan makan. Aktivitas minum ini tidak terkait dengan waktu dan teramati tidak pada saat setelah atau sebelum makan. Seperti Asmara yang minum ketika melihat Juleha minum dan setelah melakukan aktivitas istirahat, bahkan Asmara minum pada saat Retih dan Juleha saling berkejaran.
Meskipun sangat jarang melakukan aktivitas minum, surili tetap terhidrasi dengan baik dari sumber makanan. Pakan mentah mengandung lebih banyak air dibandingkan dengan makanan yang biasa dikonsumsi manusia yang telah dimasak terlebih dahulu, karena proses pemanasan dalam pemasakan dapat menghilangkan banyak air.
Air minum di dalam kandang tersedia di dalam mangkuk yang diletakkan disamping tempat pakan. Biasanya dalam beberapa hari air akan diganti dengan yang bersih. Hal ini memperlihatkan bahwa saking jarangnya minum, bahkan selama beberapa hari air yang ada dalam satu mangkuk kecil tidak habis diminum.
5.4.2 Aktivitas Istirahat
Aktivitas istirahat mencakup diam di tempat, tidak melakukan apapun, berjemur, duduk, berbaring, dan aktivitas lainnya yang tidak melakukan perpindahan tempat. Aktivitas istirahat banyak dilakukan terutama pada saat waktu yang jauh dari waktu pemberian pakan. Retih, Juleha dan Asmara biasa melakukan aktivitas ini sambil berjemur di tempat yang paling tinggi dari kandang, baik di kandang tertutup maupun kandang terbuka. Aktivitas yang termasuk ke dalam kategori istirahat ini bila objek pengamatan tidak melakukan apapun atau tidak sedang melakukan aktivitas lainnya namun tidak berpindah tempat.
Persen aktivitas istirahat pada Retih ditunjukkan oleh Gambar 5.7 yaitu sebesar 30,80%, Juleha sebesar 44,73%, sedangkan Asmara sebesar 25,77%. Juleha lebih banyak menghabiskan waktunya dengan istirahat, sifat Juleha juga lebih pendiam dibandingkan dengan Retih dan Asmara. Sedangkan Asmara mempunyai persen aktivitas istirahat yang paling sedikit, karena sifat Asmara yang seperti anak-anak, banyak bergerak dan mencoba-coba hal yang baru, seperti menggigiti batang pohon dan jaring kandang, atau mengikuti gerak-gerik Retih dan Juleha.
Gambar 5.7 Frekuensi aktivitas istirahat per 30 menit.
Gambar 5.7 menunjukkan aktivitas istirahat tertinggi yaitu pada pukul 08.00-08.30, pada waktu tersebut Retih, Juleha dan Asmar banyak menghabiskan waktu dengan diam dan berjemur di kandang terbuka (open top enclosure), dan pada pukul 13.00-13.30, pada waktu tersebut biasanya mereka duduk di kandang tertutup karena lebih teduh dibandigkan dengan di kandang terbuka. Aktivitas istirahat banyak dilakukan setelah mereka melakukan aktivitas makan. Pada saat tersebut mereka sudah merasa kenyang, oleh karena itu mereka tidak banyak melakukan aktivitas lainnya.
Di kandang tertutup, Retih, Juleha dan Asmara mempunyai tempat favorit yaitu duduk di batang bambu paling atas dari kandang yang menghadap ke barat dengan posisi tubuh menghadap ke barat, kaki diselonjorkan ke atas dan disandarkan pada jaring besi kandang dengan posisi sejajar dengan kepala kemudian ditimpa dengan tangan yang memegang kandang tepat di atas kaki. Pada saat istirahat seperti ini Asmara selalu mendekatkan diri kepada Juleha, sedangkan Retih duduk tidak jauh dari Asmara dan Juleha. Posisi duduk ketika istirahat juga terkadang dengan menekuk kaki, memanjangkan kaki ke depan, atau melepasnya ke bawah dengan posisi tangan memegang batang bambu.
Ada juga aktivitas istirahat yang dilakukan di kandang terbuka. Tempat favorit Juleha dan Asmara berada di sisi kandang sebelah barat atas, di atas anyaman yang membentuk seperti tempat berteduh. Sedangkan tempat favorit Retih yaitu di seberangnya yang juga terdapat anyaman, namun Retih memilih bertengger di bawahnya.
5.4.3 Aktivitas Urinasi
Aktivitas urinasi baik Retih, Juleha maupun Asmara terhitung relatif sedikit jika dibandingkan dengan aktivitas makan dan istirahat. Dalam persen, Retih melakukan aktivitas ini sebesar 0,96%, Juleha sebesar 2,15%, dan Asmara sebesar 1,94%. Jumlah urin yang dikeluarkan juga bervariasi, terkadang banyak dan terkadang juga hanya beberapa tetes. Aktivitas urinasi tidak beriringan dengan aktivitas tertentu, kadang bersamaan dengan aktivitas makan, lokomosi, dan juga istirahat.
Gambar 5.8 Frekuensi urinasi per 30 menit.
Gambar 5.8 menunjukkan frekuensi urinasi tertinggi berada pada jam-jam 12.00 ke bawah, artinya lebih banyak dilakukan pada pagi hari. Hal ini berkaitan juga dengan suhu yang lebih rendah pada pagi hari dan biasanya dikeluarkan dalam jumlah yang banyak. Namun aktivitas urinasi ini juga dilakukan pada saat-saat di mana Asmara dan Juleha sedang dikejar-kejar oleh Retih. Jumlah urin yang dikeluarkan relatif sedikit. Pada saat seperti itu, Asmara dan Juleha seolah mengekspresikan kecemasan dan ketakutan terhadap perilaku agonistik Retih.
5.4.4 Aktivitas Defekasi
Persen aktivitas defekasi Retih sebesar 0,26%, Juleha sebesar 0,10%, dan Asmara sebesar 0,36%. Gambar 5.9 memperlihatkan frekuensi defekasi yang berfluktuasi, tidak tetap dan tidak mempunyai titik puncak. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas defekasi ini tidak berkaitan dengan aktivitas lainnya. Bahkan pada pukul 11.00-11.30 tidak ada sama sekali aktivitas defekasi, namun diperkirakan kemungkinan hal tersebut hanya kebetulan saja melihat aktivitas defekasi hanya terhitung beberapa kali sepanjang pengamatan. Data menunjukkan bahwa Retih melakukan defekasi sebanyak empat kali, Juleha hanya satu kali, sedangkan Asmara sebanyak enam kali.
Gambar 5.9 Frekuensi aktivitas defekasi per 30 menit.
Feses berbentuk lonjong berwarna hitam kehijauan. Namun satu kali Retih mengeluarkan feses kental berwarna kecoklatan pada saat setelah pengujian predator oleh keeper. Pada saat tersebut, keeper membawa boneka harimau yang kemudian diperlihatkan ke kandang-kandang. Tujuannya untuk melihat apakah hewan dalam kandang memperlihatkan perilaku tidak biasa seperti takut akan adanya predator alami mereka. Retih, Juleha dan Asmara memberikan respon yang positif dengan bertingkah laku tidak biasa seperti tidak melompat ke sana ke mari sambil mengeluarkan suara-suara yang keras terus menerus (alarm call).
5.4.5 Aktivitas Lokomosi
Aktivitas lokomosi ini termasuk aktivitas-aktivitas yang memerlukan perpindahan posisi seperti berjalan, melompat dan berayun. Persen aktivitas lokomosi pada Retih sebesar 37,43%, Juleha sebesar 21,29% dan Asmara sebesar 25,35%. Juleha mempunyai persen aktivitas lokomosi terendah karena memang sifatnya yang pendiam dan tidak banyak bergerak. Gambar 5.10 memperlihatkan dua titik puncak aktivitas ini yaitu pada sekitar pukul 10.30-11.30 dan 14.00-15.00. Jam-jam tersebut merupakan waktu sebelum pemberian pakan, dan mereka sering kali melihat ke arah keeper biasa datang membawa pakan. Sedangkan aktivitas lokomosi terjadi penurunan dimulai dari pukul 11.00-13.00 karena pada jam-jam tersebut mereka sedang aktif makan.
Surili mempunyai kaki yang lebih panjang dan kuat dibandingkan dengan lengan, sehingga mereka bergerak dengan cara berlari dan melompat menggunakan kaki dari satu batang bambu ke batang yang lainnya, berayun dan bergelantungan bukan aktivitas lokomosi yang utama. Ekor yang panjang juga mempermudah mereka melompat dengan jarak yang jauh. Jari-jari yang panjang memungkinkan untuk mencengkeram batang pohon yang disusun di dalam kandang menyerupai batang pohon alami.
Retih menunjukkan aktivtias lokomosi yang paling besar. Ciri khas dari Retih sebagai jantan dalam kandang yaitu melompat dari satu batang bambu ke batang lainnya dengan cepat sambil mengeluarkan suara yang keras. Kegiatan ini dilakukan dengan berulang-ulang hingga beberapa kali. Selain itu, cara berjalan Retih juga menegakkan tubuhnya dan melengkungkan ekornya ke atas menunjukkan bahwa tubuhnya besar dan kuat sebagai pejantan. Retih paling banyak melakukan lompatan dibandingkan dengan Juleha dan Asmara.
Gambar 5.10 Frekuensi aktivitas lokomosi per 30 menit.
Juleha melakukan aktivitas lokomosi paling jarang dibandingkan dengan Retih dan Asmara. Satwa yang sudah tua biasanya tidak aktif bergerak seperti satwa yang masih muda. Sedangkan Asmara banyak melakukan gerakan-gerakan yang kecil namun sering seperti berjalan-jalan. Asmara terlihat sering kali mengikuti ke mana Juleha pergi dan melakukan apa yang Juleha lakukan.
5.4.6 Aktivitas Grooming
Aktivitas grooming pada surili yaitu kegiatan membersihkan diri dengan membersihkan parasit yang biasa menempel pada rambut atau permukaan kulit dengan cara menelisik dan menggaruk. Asmara terlihat paling sering melakukan aktivitas ini dengan persentase sebesar 12,22%, Retih sebesar 6,82%, dan Juleha sebesar 2,87%.
Selain autogrooming, aktivitas membersihkan diri ini juga dilakukan satu sama lain. Selama pengamatan, Juleha terlihat beberapa kali menelisikkan Asmara, kegiatan ini biasanya dilakukan bersamaan dengan aktivitas istirahat. Asmara terlihat memberikan respon yang positif dan membiarkan Juleha melakukannya. Terkadang Asmara terlihat seolah meminta kepada Juleha untuk menelisikkannya dengan mendekatkan anggota tubuhnya. Berbeda dengan Retih yang tidak pernah melakukan grooming bersama Juleha dan Asmara.
Gambar 5.11 Frekuensi aktivitas grooming per 30 menit.
Aktivitas grooming yang teramati ada yang secara autogrooming, aktivitas ini dilakukan oleh individu itu sendiri dan selama pengamatan yang terlihat hanya menggaruk. Aktivitas menggaruk ini dilakukan kapan saja tidak mengenal waktu terlihat dari gambar 5.11 yang menunjukan fluktuasi tidak beraturan. Baik Retih, Juleha, maupun Asmara melakukan aktivitas autogrooming dengan menggaruk tubuh. Biasanya mereka menggunakan tangan untuk menggaruk bagian ventral tubuh yang terjangkau oleh tangan, mereka juga menggaruk bagian ekor dengan memegang ekor menggunakan tangan. Namun untuk bagian kepala, mereka menggunakan kaki untuk menggaruk. Asmara paling sering menggaruk tubuh, oleh karena itu grafik grooming pada Asmara paling tinggi.
5.4.8 Aktivitas Bersuara
Persen aktivitas bersuara tertinggi dimiliki oleh Asmara sebesar 16,03%, Retih sebesar 9,20%, kemudian Juleha sebesar 16,03%. Aktivitas ini ada pada titik tertinggi pada pukul 10.30-11.30 dan pukul 14.00-15.00. Grafik pada aktivitas bersuara mendekati sama dengan grafik pada aktivitas lokomosi karena aktivitas bersuara banyak dilakukan ketika melakukan aktivitas lokomosi.
Gambar 5.12 Frekuensi aktivitas bersuara per 30 menit.
Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Gooda (1996), jantan dewasa akan bersuara seperti pada Retih yang sering mengeluarkan suara dengan nada dan volume yang tinggi, terdengar seperti bunyi "kik..kik...kik.." berulang-ulang yang semakin lama nada dan volumenya semakin tinggi ketika melompat ke sana ke mari dengan kecepatan yang tinggi, sampai akhirnya berhenti ketika berhenti melompat. Juleha dan Asmara jarang mengeluarkan bunyi seperti ini, mereka melakukannya hanya ketika merasa dalam bahaya seperti pada saat dikejar Retih atau pada saat keeper memperlihatkan boneka harimau di depan mereka.
Selain suara dengan nada dan volume yang tinggi, Retih, Juleha dan Asmara juga mengeluarkan bunyi dengan nada dan volume yang rendah, terdengar seperti bunyi "er". Bunyi ini terkadang dikeluarkan dengan nada yang semula rendah kemudian sedikit meninggi, atau sebaliknya. Asmara sangat sering mengeluarkan bunyi ini, hampir di setiap pergerakkanya diiringi dengan mengeluarkan suara tersebut, oleh karena itu grafik bersuara Asmara menunjukkan frekuensi yang paling tinggi.
Baik Retih, Juleha, maupun Asmara mempunyai karakter suara masing-masing yang dibedakan dengan nada yang dikeluarkan. Retih terdengar selalu lebih dominan dalam mengeluarkan bunyi, namun Asmara yang paling sering mengeluarkan bunyi. Aktivitas bersuara ini akan dilakukan dengan frekuensi yang sangat banyak dan cepat pada saat Retih menunjukkan sifat agonistiknya terhadap Juleha dan Asmara. Pada saat tersebut, kandang terdengar sangat ramai.
5.5 Interaksi Sosial
Perilaku sosial (social behavior), yang didefinisikan secara luas, adalah setiap jenis interaksi antara dua hewan atau lebih, umumnya dari spesies yang sama. Meskipun sebagian besar spesies yang bereproduksi secara seksual harus bersosialisasi pada siklus hidup mereka dengan tujuan untuk bereproduksi, beberapa spesies menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam hubungan yang dekat dengan spesies sejenisnya (Campbell dkk., 2004).
5.5.1 Perilaku Agonsitik
Retih merupakan jantan yang dominan di dalam kandang, pada saat makan, Juleha dan Asmara tidak akan berani mengambil makanan selagi masih ada Retih di depan makanan. Jika Juleha atau Asmara ikut mengambil makanan, maka Retih akan menunjukkan perilaku agonisitik dengan mengejar, dan berusaha merebut makanannya. Sebagian besar waktu makan mereka habiskan di atas bambu dengan ketinggian antara 1-5 m. Mereka akan mengambil beberapa potong makanan kemudian membawanya ke tempat yang lebih tinggi untuk di makan. Sama halnya seperti Juleha dan Asmara, namun mereka melakukannya pada saat Retih meninggalkan makanan, dengan segera Juleha dan Asmara akan mengambil makanan sebanyak yang mereka bisa kemudian memilih tempat yang aman dan terhindar dari Retih agar bisa makan. Maka dari itu, Juleha dan Asmara selalu terlihat mewaspadai Retih ketika sendang makan, jika Retih mendekat segera Juleha dan Asmara pergi meninggalkan tempat makanan.
Selama pengamatan, ketiga surili ini tidak memperlihatkan adanya aktivitas bermain, hal ini dikarenakan Asmara yang satu-satunya betina yang masih muda tidak mempunyai individu lain yang dapat diajak bermain. Sedangkan Retih adalah jantan yang sering memperlihatkan perilaku agonistik. Retih seringkali mengejar Asmara ketika melihat Asmara menyentuh makanan di hadapannya. Kemudian terjadi aksi kejar-kejaran di mana Retih terus menerus mengejar Asmara. Pada saat seperti itu Asmara akan memperlihatkan perilaku terancam dengan terus melomat menghindari Retih sambil mengeluarkan suara. Terkadang juga pada saat seperti itu, urin Asmara keluar. Juleha biasanya menengahi Retih dan Asmara. Juleha kemudian terlihat berusaha mengejar dan mencakar Retih dan terjadi kejar-kejaran antara Retih dan Juleha. Untuk memperlihatkan kekuatannya, Juleha akan mengeluarkan suara yang keras sambil berusaha mencakar saat Retih mendekat, tapi biasanya Retih yang akan menghindari Juleha. Aktivitas ini berlangsung sangat lama, selama pengamatan tercatat hingga satu jam. Namun terkadang juga Juleha hanya diam tidak menengahi Retih dan Asmara.
Retih seringkali menunjukkan perilaku agonistiknya pada saat makan. Juleha dan Asmara tidak berani menyentuh makanan selama masih ada Retih. Retih akan merebut makanan Juleha dan Asmara jika terlihat mendapatkan makanan yang lebih disukai Retih hingga terjadi kejar-kejaran. Oleh karena itu, Juleha dan Asmara akan membawa makanan dan makan di tempat aman yang biasanya jauh dari jangkauan Retih.
Juleha terlihat lebih berani ketika menghadapi perilaku agonistik Retih, terllihat dari perilaku Juleha yang menunjukkan perlawanan. Sedangkan Asmara sama sekali tidak menunjukkan perlawanan, hanya terus menghindari Retih, terkadang pula meminta bantuan Juleha dengan mendekati Juleha sambil terus menerus bersuara.
5.5.2 Kopulasi
Metode konservasi dengan sistem penangkaran (ex situ) adalah upaya untuk mempertahankan populasi satwa liar yang mulai terancam kepunahannya. Prinsip yang harus diperhatikan dalam usaha penangkaran adalah memenuhi kebutuhan satwa untuk hidup layak dengan mengkondisikan lingkungannya seperti pada habitat alaminya, sehingga satwa tersebut dapat berproduksi dengan baik. Selain itu keberhasilan usaha budidaya dari suatu spesies, sangat didukung oleh pengetahuan dari prilaku satwa tersebut. Perilaku makan dan kawin adalah perilaku yang berpengaruh langsung terhadap perkembangbiakan satwa di penangkaran atau habitat asli (Alikodra, 1990 dalam Wirdateti dkk., 2009).
Surili merupakan hewan poligami dengan komposisi kelompok satu jantan dewasa (one male multi female troop). Terdapat pula yang soliter, biasanya betina yang sudah tua. Selama pengamatan, sama sekali tidak terlihat adanya kopulasi, baik di antara Retih dan Juleha, maupun Retih dan Asmara.Satu kesempatan Retih sudah dalam posisi kopulasi dengan Asmara, namun tidak sampai. Menurut para keeper PRPJ, surili memang membutuhkan waktu setindaknya tiga bulan untuk dapat sampai kopulasi. Namun karena surili bukan pemilih betina, biasanya penyatuan antara jantan dan betina tidak akan gagal.
5.5.3 Komunikasi
Campbell dkk. (2004) menjelaskan bahwa interaksi sosial kompetitif dan perilaku kawin melibatkan beberapa contoh pada hewan-hewan yang secara sengaja, meskipun tidak harus secara sadar, mengirimkan informasi melalui perilaku khusus yang disebut pertunjukan (display). Pengiriman informasi secara sengaja antarindividu merupakan definisi umum komunikasi dalam ekologi perilaku.
Komunikasi yang dilakukan surili antara lain dengan menggunakan suara dan gestur tubuh atau display. Gambar 5.13 menunjukkan gelombang suara yang dikeluarkan surili jantan. Namun, terkadang surili betina, dalam penelitian yaitu Juleha dan Asmara, juga mengeluarkan suara yang mirip seperti jantan ketika dalam keadaan terancam atau bahaya.
Gambar 5.13 Spektrogram suara Presbytis comata.
(Sumber: Meyer dkk. 2012)
Dalam penelitiannya, Meyer dkk. (2012) menjelaskan, seperti banyak spesies primata lainnya, surili mengeluarkan suara keras, vokalisasi mencolok yang disebut dengan loud-call atau panggilan jarak jauh.Suara yang keras diproduksi oleh spesies nonhuman primate sebagai transmisi jarak jauh. Panggilan keras dapat bervariasi dan fungsi yang berbeda-beda, bisa digunakan sebagai pertahanan diri, bersaing dalam perkawinan, menengahi jarang antarkelompok dan untuk mempromosikan kohesi dalam kelompok.
Retih mengeluarkan suara yang tinggi seperti pada gambar 13 yang menggambarkan bunyi dengan frekuensi mencapai 10 KHz, diawali dengan nada yang lebih rendah (build phase) dan semakin lama semakin tinggi (ending phase). Setiap hari Retih mengeluarkan suara seperti ini, sebagai pejantan yang ingin memperlihatkan dirinya. Sementara Juleha dan Asmara hanya mengeluarkan bunyi ini ketika dalam keadaan terdesak dan takut.
Perilaku sosial yang diperlihatkan oleh gerak tubuh juga menjadi bentuk komunikasi. Tidak seperti great apes (orangutan, simpanse, dan gorila) yang mampu berkomunikasi dengan isyarat (Grzimek, 1972; Maple, 1980), surili hanya memperlihatkan gerakan-gerakan sederhana sebagai bentuk komunikasi. Salah satunya adalah dengan sentuhan. Juleha dan Asmara seringkali terlihat berdekatan satu sama lain, biasanya Asmara bersandar kepada Juleha, kegiatan ini dilakukan ketika beristirahat. Pada saat istirahat Asmara terlihat memegang lutut atau memeluk Juleha. Sedangkan Juleha seringkali tidak merespon, namun terkadang Juleha terlihat mengelus-elus kepala Asmara dan menelisiknya. Sedangkan Retih sama sekali tidak menunjukkan perilaku seperti ini.
Gambar 5.14 Frekuensi kontak fisik per 30 menit.
Retih melakukan kontak fisik dengan Juleha dan Asmara dengan cara memegangi dan mengusap-usap bagian dorsal (punggung). Retih mendekati Juleha, namun Juleha memberikan respon negatif dengan menjauhi Retih, kemudian terjadi kejar-kejaran di mana Retih mengejar Juleha. Retih selalu mendekati Juleha kemudian memegang ekor, panggul, punggung, atau bahkan membaui vagina Juleha ketika Juleha sedang duduk, namun Juleha terlihat memberikan respon yang negatif dengan menjauhi Retih. Terkadang Juleha justru memperlihatkan perilaku agonistiknya dengan mengeluarkan suara yang tinggi sambil mencoba mencakar Retih. Terkadang berhenti begitu saja, namun juga terkadang Retih berhasil memegangi rambut bagian punggung Juleha, duduk dibelakangnya kemudian mengelus-elus dan membaui sekitar vagina. Setelah itu Juleha selalu berusaha meloloskan diri dari Retih. Berbeda dengan Asmara yang selalu mengikuti Retih. Retih melakukan hal yang sama seperti pada Juleha dan Asmara memberikan respon positif, namun setelah itu Retih terlihat tidak lagi tertarik untuk melakukan kopulasi dengan Asmara. Perilaku ini merupakan komunikasi yang menunjukkan keinginan untuk kawin.
(b)
Gambar 5.15 Interaksi sosial Juleha dan Asmara: (a) Juleha dan Asmara sedang makan bersama, (b) Asmara menyentuh dan merangkul Juleha.
Sumber: File PRPJ.
Aktivitas sosial lain yang dilakukansedang istirahat adalah grooming. Chivers, (1974 dalam Irwanto, 2006) berpendapat bahwa grooming merupakan tingkah laku sosial antara individu kera atau monyet dalam kelompoknya. Aktivitas ini diperlihatkan oleh Juleha dan Asmara.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan persen aktivitas Retih yang paling tinggi yaitu lokomosi sebesar 37,43%, kemudian istirahat 30,80%, makan 14,53%, bersuara 9,20%, grooming 6,82%, urinasi 0,96%, dan defekasi 0,26%. Persen aktivitas Juleha yang paling tinggi yaitu istirahat sebesar 44,73%, kemudian makan 23,03%, lokomosi 21,29%, bersuara 5,83%, grooming 2,87%, urinasi 2,15%, dan defekasi 0,36%. Persen aktivitas Asmara yang paling tinggi yaitu istirahat sebesar 25,77%, kemudian lokomosi 25,35%%, makan 18,33%, bersuara 16,03%, grooming 12,22%, urinasi 1,94%, dan defekasi 0,36%.Luas kandang mempengaruhi terhadap aktivitas harian surili terutama aktivitas lokomosi dan istirahat.
Berbeda dengan yang telah dijelaskan bahwa surili merupakan pemakan daun, di dalam kandang, surili lebih menyukai pakan yang mempunyai rasa manis dan mengandung karbohidrat seperti ubi dan jagung dibandingkan dengan dedaunan.
Interaksi sosial ditunjukkan dengan sentuhan, grooming dan bersuara. Selama pengamatan tidak terlihat adanya aktivitas kopulasi, hal ini kemungkinan disebabkan karena waktu Retih, Juleha dan Asmara dalam satu kandang kurang lama, sedangkan menurut keeper PRPJ, surili membutuhkan waktu sekitar tiga bulan untuk dapat kopulasi.
6.2 Saran
Diharapkan penelitian berikutnya yang dapat dilakukan mengenai macam-macam suara serta perbedaan fungsi dan maknanya yang dikeluarkan oleh surili (Presbytis comata).
Selain itu juga dapat dilakukan penelitian mengenai sistem pencernaan Presbytis yang beradaptasi dengan memakan dedaunan.
Disarankan untuk mengganti varian pakan dengan yang lebih alami secara berkala untuk membiasakan satwa dengan habitat dan pakan alaminya.
Perlu dilakukan enrichment pakan dedaunan seperti memasang dedaunan di tempat yang lebih tinggi di dalam kandang terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Alikodra, Hadi S. 2010. Teknik Pengelolaan Satwaliar dalam Rangka Memperahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor: IPB Press. (hlm. 3)
Amarasinghe, A. A. Thasun., W. Madhava S., Botejue,Lee E., Harding. Social Behaviours Of Captive Trachypithecus cristatus (Mammalia: Cercopithecidae) In The National ZoologicalGardens Of Sri Lanka.Taprobanica, ISSN 1800-427x. April, 2009. Vol. 01, No. 01: pp. 66-73. (hlm. 7)
Bismark. 2009. Biologi Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. (hlm. 8)
Campbell, N.A., J.B. Reece, L.G. Mitchell. Biologi Jilid III. Jakarta: Erlangga. (hlm. 31, 33)
Gooda, Jane. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. Charlestown: Rhode Island. (hlm. 30)
Grzimek, Benhard. 1972. Grzimek Animal Life Encyclopedia volume 10 Mammals I. New York, Cincinnati, Toronto, London, Melbourne: Van Nostard Reinhold Company. (hlm. 3, 4, 34)
Indrawan, M., Richard B. Primack, Jatna Surpriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Obor Indonesia. (hlm. 1)
Irwanto. 2006. Critical Paper A New Record On Habitat Of The Proboscis Monkey (Nasalis Larvatus) And Its Problems In South Kalimantan Indonesia. www.irwantoshut.com [diakses pada tanggal 8 April 2014]. (hlm. 6, 35)
IUCN. 2014. IUCN Red List of Threatened Species. International Union for Conservation of Nature (IUCN), Species Survival Commission (SSC), Gland, Switzerland and Cambridge, UK. www.iucnredlist.org [diakses pada tanggal 2 September 2014]. (hlm. 1, 6, 7)
Maple, Terry L. 1980. Orang-utan Behavior. New York: Van Nostrand Reinhold. (hlm. 34)
Meyer, Dirk., John K Hodges, Dones Rinaldi, Ambang Wijaya, Christian Roos, Kurt Hammerschmidt. Acoustic Structure of Male loud-calls Support Molecular Phylogeny of Sumatran and Javanese Leaf Monkeys (genus Presbytis). BMC Evolutionary Biologi 2010, 12:16. (hlm. 3, 5, 33)
Prinando, Marwa., Siva D., Azahra, Fadhilla Tamnge, Hireng Ambaraji, Niku K. G. Utomo.Pendugaan Jenis Kelamin Dan Kelas Umur Surili (Presbytis Comata) Berdasarkan Karakteristik Morfologi Dan Perilaku Sosial. (hlm. 8)
Ruhiyat, Y. 1983. Socio-ecological Study of Presbytis aygula in West Java . Primates. Vol. 24(3), 344-359. (hlm. 6)
Setiawan, Arif., Yohannes Wibisono, Tejo Suryo Nugroho, Ika Yuni Agustin, Mohamad Ali Imron, Satyawan Pudyatmoko, Djuwantoko.Javan Surili : A Survey Population and Distribution in Mt. Slamet Central Java, Indonesia.Jurnal Primatologi Indonesia, Vol. 7 No. 2 Desember 2010, p. 51-54. (hlm. 7)
Supriatna, Jatna., Edy Hendras W. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia. Jakarta: Obor Indonesia. (hlm. 3, 4, 6)
Whitten T., RE Soeriatmadja, SA Afiff. 1999. Seri Ekologi Indonesia: Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta: Prenhalindo. (hlm. 5)
Wirdateti, Ai Nuri Pratiw,. Didit Diapari Anita S., Tjakradidjaja. Perilaku Harian Lutung (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) Di Penangkaran Pusat Penyelamatan Satwa Gadog, Ciawi-Bogor. Zoo Indonesia 2009. 18(1): 33-40. (hlm. 33)
LAMPIRAN
DOKUMENTASI KEGIATAN
Aktivitas istirahat Retih, Juleha dan Asmara.
Aktivitas istirahat Retih, Juleha dan Asmara.
Aktivitas lokomosi Retih.
Aktivitas minum Asmara.
Interaksi sosial Juleha dan Asmara.
Aktivitas makan Retih.
Aktivitas makan Juleha.
Aktivitas makan Asma
LAMPIRAN
DATA PENGAMATAN
RETIH4
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
1
2
0
0
2
0
0
0
07.30
4
1
0
0
4
0
0
0
08.00
0
7
0
0
4
4
0
0
08.30
0
7
0
0
3
2
0
1
09.00
0
8
0
0
9
5
1
2
09.30
0
6
0
0
0
0
0
0
10.00
3
4
0
1
5
1
0
2
10.30
4
5
1
0
11
3
0
5
11.00
4
5
0
0
14
0
2
7
11.30
4
0
0
0
0
0
0
0
12.00
1
4
0
0
2
0
1
0
12.30
1
5
0
0
0
0
0
0
13.00
2
12
1
0
21
3
1
7
13.30
7
9
0
0
16
2
1
0
14.00
0
7
1
0
5
1
0
0
14.30
4
4
1
0
7
1
0
3
15.00
6
2
0
0
3
2
0
0
15.30
3
0
0
0
1
0
0
0
44
88
4
1
107
24
6
27
RETIH6
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
0
3
0
0
6
1
0
0
07.30
3
5
0
0
2
0
0
0
08.00
3
6
0
0
5
0
0
0
08.30
0
6
0
0
0
0
0
0
09.00
1
7
0
0
11
0
0
1
09.30
5
8
0
0
8
2
1
3
10.00
1
3
0
0
4
1
0
1
10.30
3
4
1
0
7
0
0
3
11.00
6
6
0
0
7
3
2
5
11.30
2
5
0
0
2
2
0
0
12.00
2
1
0
0
0
0
0
0
12.30
0
0
0
0
0
0
0
0
13.00
0
3
0
0
0
1
0
0
13.30
1
5
0
0
5
0
0
5
14.00
2
6
0
0
9
1
0
12
14.30
3
4
0
0
12
1
0
10
15.00
5
3
0
0
5
3
0
3
15.30
7
1
0
0
2
2
0
0
44
76
1
0
85
17
3
43
RETIH7
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
4
0
0
0
0
0
0
0
07.30
4
2
0
0
4
1
0
0
08.00
0
6
0
0
0
0
0
0
08.30
0
4
0
0
12
0
0
5
09.00
1
4
0
0
12
0
0
0
09.30
0
6
0
0
0
0
0
10.00
4
6
0
0
4
1
1
0
10.30
0
6
0
0
16
1
0
5
11.00
2
4
0
0
2
1
0
0
11.30
6
5
1
0
4
0
0
0
12.00
6
0
0
0
0
0
0
0
12.30
6
0
0
0
0
0
0
0
13.00
0
6
0
0
0
0
0
0
13.30
2
3
2
0
7
1
1
0
14.00
0
5
0
0
4
7
0
3
14.30
7
0
0
7
2
0
4
15.00
2
6
0
0
16
5
0
7
15.30
5
2
0
0
4
1
0
2
42
72
3
0
92
20
2
26
RETIH8
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
1
6
1
0
14
1
2
0
07.30
4
4
1
0
10
4
0
2
08.00
4
9
0
1
11
3
3
0
08.30
0
6
0
0
3
0
0
0
09.00
0
5
0
0
2
0
0
0
09.30
0
1
0
0
1
0
0
1
10.00
0
6
0
0
2
0
0
0
10.30
3
4
0
0
2
0
0
1
11.00
3
5
0
0
10
4
0
0
11.30
0
6
0
0
1
2
0
0
12.00
0
6
0
0
0
0
0
12.30
2
6
0
0
4
2
0
1
13.00
5
6
0
0
13
4
1
0
13.30
0
1
0
0
2
0
0
0
14.00
2
5
0
0
14
2
0
0
14.30
0
5
0
0
14
3
0
0
15.00
3
7
2
0
18
2
2
7
15.30
3
8
0
0
29
0
0
6
30
96
4
1
150
27
8
18
RETIH10
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
0
5
0
0
7
0
2
0
07.30
5
5
0
0
6
2
0
3
08.00
0
9
0
0
7
0
0
4
08.30
0
6
0
0
3
1
0
0
09.00
3
3
0
0
0
0
0
0
09.30
0
4
0
0
1
0
0
0
10.00
4
5
0
0
3
2
0
0
10.30
2
4
0
0
8
1
0
4
11.00
3
4
0
0
6
1
0
1
11.30
6
4
0
0
0
0
0
0
12.00
5
1
1
0
2
0
0
0
12.30
0
6
0
0
0
0
0
0
13.00
0
6
0
0
0
0
0
0
13.30
0
6
0
0
5
0
0
0
14.00
0
10
1
0
13
2
0
1
14.30
0
5
0
0
11
0
0
4
15.00
5
2
0
0
3
0
0
1
15.30
4
0
0
1
2
0
0
1
37
85
2
1
77
9
2
19
RETIH11
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
6
1
0
0
4
0
0
3
07.30
4
3
0
0
0
0
0
0
08.00
0
5
0
0
2
0
0
0
08.30
0
6
0
0
0
0
0
0
09.00
0
6
0
0
2
0
1
1
09.30
2
2
0
0
4
2
1
1
10.00
6
0
0
0
0
0
0
0
10.30
7
6
0
0
6
0
0
0
11.00
2
5
0
0
7
0
0
2
11.30
2
5
0
0
5
0
0
0
12.00
0
3
0
0
1
0
0
0
12.30
1
1
0
0
3
0
0
1
13.00
1
6
1
1
12
3
2
1
13.30
0
6
0
0
1
0
1
0
14.00
0
2
0
0
15
2
0
0
14.30
0
1
0
0
9
2
0
1
15.00
2
4
0
0
0
0
0
0
15.30
6
0
0
0
0
0
0
0
39
62
1
1
71
9
5
10
JULEHA4
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
3
1
0
0
2
0
0
0
07.30
4
2
0
0
1
1
0
1
08.00
0
7
0
0
2
2
0
0
08.30
1
6
1
0
2
0
0
0
09.00
0
6
1
0
7
3
2
2
09.30
0
6
0
0
0
0
4
0
10.00
3
4
1
0
3
0
0
0
10.30
6
2
1
0
6
0
0
0
11.00
4
5
0
0
11
1
2
4
11.30
4
0
0
0
0
0
0
0
12.00
0
4
1
0
2
1
1
0
12.30
1
5
0
0
3
1
2
0
13.00
0
6
1
0
2
0
1
2
13.30
7
5
0
0
8
0
1
3
14.00
0
8
0
0
2
0
1
0
14.30
4
2
0
0
3
0
2
0
15.00
6
0
0
0
1
0
0
0
15.30
3
1
0
0
1
0
0
0
46
70
6
0
56
9
16
12
JULEHA6
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
0
2
0
0
3
0
0
0
07.30
0
6
1
0
0
0
4
08.00
2
6
0
0
1
0
6
0
08.30
6
0
0
0
0
0
6
0
09.00
1
4
0
0
2
0
3
1
09.30
3
7
1
0
9
4
4
2
10.00
1
5
0
0
2
0
2
0
10.30
2
4
1
0
3
0
1
0
11.00
2
6
0
0
4
0
2
4
11.30
1
5
0
0
1
0
3
0
12.00
2
1
0
0
0
0
0
0
12.30
6
0
0
0
0
0
0
0
13.00
2
2
0
0
1
1
0
0
13.30
2
5
1
0
1
0
0
1
14.00
2
6
0
0
8
3
0
5
14.30
4
3
1
0
3
0
0
2
15.00
6
3
0
0
3
0
0
0
15.30
6
1
0
0
1
0
0
0
48
66
5
0
42
8
31
15
JULEHA7
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
4
0
0
0
0
0
0
0
07.30
6
1
0
0
1
0
1
1
08.00
0
6
0
0
0
0
2
0
08.30
0
5
0
0
2
0
0
0
09.00
4
3
0
0
5
0
0
1
09.30
0
6
0
0
0
0
6
0
10.00
3
3
0
0
3
1
1
0
10.30
0
6
0
0
2
0
0
2
11.00
2
4
0
0
0
0
0
0
11.30
1
5
0
0
2
0
0
0
12.00
5
0
0
0
0
0
0
0
12.30
6
0
0
0
0
0
0
0
13.00
0
6
0
0
0
0
0
0
13.30
6
1
0
0
3
0
1
2
14.00
4
3
0
0
3
0
0
1
14.30
0
6
0
0
0
0
3
0
15.00
1
8
0
0
3
0
1
1
15.30
5
2
1
0
3
0
0
0
47
65
1
0
27
1
15
8
JULEHA8
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
2
4
1
0
4
0
3
5
07.30
4
2
0
0
2
0
1
0
08.00
5
7
3
0
7
0
3
3
08.30
0
6
0
0
2
0
0
0
09.00
0
5
0
0
0
0
2
0
09.30
0
1
0
0
1
0
0
0
10.00
0
6
0
0
0
0
2
0
10.30
0
6
0
0
1
0
0
0
11.00
0
6
0
0
1
0
0
0
11.30
0
5
0
0
1
2
5
0
12.00
0
6
0
0
0
1
6
0
12.30
0
6
0
0
0
0
5
0
13.00
5
2
0
0
1
2
1
0
13.30
0
1
0
0
0
0
0
0
14.00
1
8
1
0
3
0
0
0
14.30
0
6
0
0
1
0
0
0
15.00
0
6
0
0
2
0
1
3
15.30
1
7
0
0
3
0
1
3
18
90
5
0
29
5
30
14
JULEHA10
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
1
5
0
0
2
0
2
1
07.30
5
4
1
1
2
0
0
0
08.00
0
6
0
0
2
0
1
0
08.30
0
6
0
0
2
0
0
0
09.00
2
1
0
0
0
0
0
0
09.30
0
4
1
0
1
0
4
0
10.00
1
4
0
0
2
1
0
0
10.30
0
7
0
0
1
1
0
0
11.00
1
5
0
0
3
1
0
0
11.30
3
4
0
0
0
0
0
0
12.00
5
3
1
0
2
0
0
0
12.30
0
6
0
0
0
0
0
0
13.00
0
6
0
0
0
0
0
0
13.30
0
6
0
0
2
2
0
0
14.00
1
6
0
0
4
0
1
0
14.30
1
5
0
0
5
0
0
0
15.00
5
2
1
0
2
0
0
1
15.30
3
0
0
0
2
0
0
1
28
80
4
1
32
5
8
3
JULEHA11
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
6
1
0
0
0
0
0
0
07.30
4
3
0
0
0
0
0
0
08.00
0
6
0
0
1
0
1
0
08.30
0
6
0
0
0
0
0
0
09.00
0
6
0
0
0
0
0
0
09.30
2
2
0
0
1
0
1
1
10.00
6
0
0
0
0
0
0
0
10.30
3
7
0
0
4
0
0
0
11.00
0
5
0
0
1
0
1
0
11.30
0
6
0
0
1
0
2
0
12.00
1
3
0
0
0
0
3
0
12.30
1
1
0
0
1
0
2
0
13.00
2
4
0
0
1
0
0
0
13.30
0
6
0
0
0
0
7
0
14.00
2
4
0
0
6
0
2
2
14.30
1
2
0
0
6
0
0
2
15.00
4
4
0
0
0
0
0
0
15.30
6
0
0
0
0
0
0
0
38
66
0
0
22
0
19
5
ASMARA4
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
3
3
0
0
0
1
0
0
07.30
4
4
0
0
0
1
1
2
08.00
0
7
0
0
4
3
0
1
08.30
0
7
1
0
2
0
0
1
09.00
0
6
1
0
9
3
5
1
09.30
0
6
0
0
0
2
4
0
10.00
6
4
0
0
10
2
0
3
10.30
5
3
1
0
11
4
0
5
11.00
4
4
1
0
10
5
0
8
11.30
6
0
0
0
0
0
0
0
12.00
0
4
1
1
2
1
0
0
12.30
2
5
1
0
0
2
2
1
13.00
2
10
0
0
17
9
0
10
13.30
5
6
0
0
9
3
0
6
14.00
3
7
0
0
2
0
0
0
14.30
4
3
0
0
8
1
2
6
15.00
6
2
0
0
1
2
0
0
15.30
3
1
0
0
1
4
0
0
53
82
6
1
86
43
14
44
ASMARA6
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
0
2
0
0
4
0
0
1
07.30
0
7
0
0
2
0
4
0
08.00
3
6
0
0
3
1
6
1
08.30
0
6
0
0
0
0
6
0
09.00
5
7
0
0
10
1
3
5
09.30
5
7
2
1
9
4
3
7
10.00
1
2
0
0
5
0
2
3
10.30
7
3
2
0
7
3
1
7
11.00
4
3
0
0
5
4
0
6
11.30
2
5
0
0
3
1
3
3
12.00
3
1
0
0
0
0
0
0
12.30
2
7
0
0
7
4
1
7
13.00
0
3
0
0
1
1
0
0
13.30
1
5
0
0
3
3
0
2
14.00
2
6
1
0
15
4
0
12
14.30
4
2
0
0
6
2
0
7
15.00
5
4
0
0
3
1
0
0
15.30
5
1
0
0
2
0
0
0
49
77
5
1
85
29
29
61
ASMARA7
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
4
0
0
0
0
0
0
0
07.30
6
2
2
0
1
0
1
1
08.00
0
6
0
0
0
0
6
0
08.30
2
6
1
0
2
5
0
1
09.00
4
3
1
0
9
6
0
2
09.30
0
6
0
0
0
0
6
0
10.00
4
4
1
0
5
4
2
3
10.30
1
6
1
0
11
2
0
11
11.00
2
4
1
0
1
0
0
0
11.30
3
4
0
0
5
2
0
2
12.00
5
0
0
0
0
0
0
0
12.30
6
0
0
0
0
0
0
0
13.00
0
6
0
0
0
0
0
0
13.30
5
0
0
0
2
1
0
2
14.00
5
0
0
0
3
4
0
3
14.30
2
3
0
0
2
5
3
6
15.00
4
6
0
0
12
0
1
10
15.30
5
2
1
0
4
3
0
0
58
58
8
0
57
32
19
41
ASMARA8
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
3
4
1
0
7
2
3
7
07.30
4
4
3
0
6
1
1
6
08.00
4
6
1
1
10
10
3
9
08.30
1
6
0
0
6
5
0
0
09.00
0
5
0
0
0
3
2
1
09.30
1
1
0
0
1
0
0
1
10.00
2
4
1
0
2
3
2
3
10.30
1
6
0
0
2
1
3
1
11.00
4
4
0
0
5
3
0
1
11.30
0
6
0
0
1
3
5
1
12.00
0
6
0
0
0
4
6
1
12.30
2
4
0
0
2
1
5
1
13.00
5
4
0
0
8
6
0
0
13.30
1
0
0
0
0
1
0
0
14.00
5
4
0
0
9
5
0
3
14.30
5
3
0
0
7
4
0
4
15.00
4
5
0
0
5
2
1
7
15.30
6
10
1
0
14
5
1
16
48
82
7
1
85
59
32
62
ASMARA10
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
0
5
0
0
6
0
2
3
07.30
5
4
1
1
6
3
0
5
08.00
0
7
0
0
3
3
1
2
08.30
0
6
0
0
3
0
0
0
09.00
2
1
0
0
0
1
0
0
09.30
0
4
0
1
1
1
4
3
10.00
6
2
0
0
3
0
0
1
10.30
3
5
0
0
8
3
0
6
11.00
2
4
0
0
5
2
0
3
11.30
6
0
0
0
0
0
0
0
12.00
6
1
1
1
1
0
0
0
12.30
2
5
0
0
0
0
0
0
13.00
0
6
0
0
0
0
0
0
13.30
0
6
0
0
6
0
1
1
14.00
3
9
0
0
9
6
0
3
14.30
2
5
0
0
9
2
0
1
15.00
5
2
1
0
3
0
0
1
15.30
3
1
0
0
1
0
0
1
45
73
3
3
64
21
8
30
ASMARA11
waktu
makan
istirahat
urinasi
defekasi
lokomosi
grooming
kontak fisik
bersuara
07.00
6
1
0
0
0
0
0
0
07.30
4
3
0
0
3
0
0
2
08.00
1
5
0
0
3
1
1
4
08.30
1
6
0
0
1
0
0
0
09.00
2
6
0
0
2
3
1
2
09.30
2
2
0
0
2
0
2
2
10.00
6
0
0
0
1
0
0
0
10.30
6
4
0
0
4
0
0
1
11.00
3
2
0
0
1
2
2
0
11.30
3
3
0
0
2
4
2
2
12.00
0
3
0
0
0
0
0
0
12.30
1
1
1
0
1
1
2
2
13.00
2
5
2
0
9
2
2
6
13.30
0
6
0
0
1
0
6
0
14.00
3
3
0
0
9
2
1
5
14.30
2
4
0
0
3
3
0
1
15.00
2
0
0
0
0
0
0
0
15.30
6
0
0
0
0
0
0
0
50
54
3
0
42
18
19
27