2.1 Emerging Disease
2.1.1 Pengertian
Emerging disease adalah penyakit baru, masalah baru dan ancaman baru. Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir (Mayer, 2000).
Emerging disease adalah suatu penyakit yang meningkat cepat kejadian dan penyebarannya. Termasuk di dalamnya tipe-tipe infeksi baru yang merupakan akibat dari perubahan organisme, penyebaran infeksi yang lama ke daerah atau populasi yang baru. Terjadinya gangguan terhadap ekosistem telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem dan fungsinya. Perubahan komposisi dan fungsi ekosistem mengakibatkan berubahnya keseimbangan alam khususnya predator, serta patogen dan vektornya. Beberapa perubahan ekosistem akibat aktivitas manusia yang mengganggu secara langsung ataupun tidak langsung terhadap ekosistem antara lain : perkembangan pertanian, manajemen sumberdaya air, deforestasi atau pertambangan (Carvalho et.al, 2009).
2.1.2 Faktor-faktor Yang Berpengaruh Terhadap Terjadinya Emerging Disease
Meskipun kemajuan luar biasa dalam penelitian medis dan perawatan selama abad 20, penyakit menular tetap menjadi penyebab utama kematian di seluruh dunia karena tiga alasan: (1) munculnya penyakit infeksi baru (emerging disease); (2) munculnya kembali penyakit menular lama (re-emerging disease), dan (3) intractable infectious disease (Schriefer, 2012).
Emerging disease termasuk wabah penyakit menular yang tidak diketahui sebelumnya atau penyakit menular baru yang insidennya meningkat signifikan dalam dua dekade terakhir. Re-emerging disease atau yang biasa disebut resurging disease adalah wabah penyakit menular yang muncul kembali setelah penurunan yang signifikan dalam insiden dimasa lampau. Ada beberapa faktor yang menyebabkan dua permasalahan ini selalu muncul hampir disetiap tahunnya,yaitu :
Evolusi dari microbial agent seperti variasi genetik, rekombinasi, mutasi dan adaptasi
Hubungan microbial agent dengan hewan perantara (zoonotic encounter)
Perubahan iklim dan lingkungan
Perubahan prilaku manusia seperti penggunaan pestisida, penggunaan obat antimikrobial yang bisa menyebabkan resistensi dan penurunan penggunaan vaksin.
Pekembangan industri dan ekonomi
Perpindahan secara massal yang membawa serta wabah penyakit tertentu (travel diseases)
Perang seperti ancaman penggunaan bioterorisme atau senjata biologis (Schriefer, 2012).
Sudah banyak microbial agent (virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir
Grup II : Re-emerging pathogen
Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme
Terjadinya gangguan terhadap ekosistem telah menyebabkan perubahan komposisi ekosistem dan fungsinya. Perubahan komposisi dan fungsi ekosistem mengakibatkan berubahnya keseimbangan alam khususnya predator, serta patogen dan vektornya. Beberapa perubahan ekosistem akibat aktivitas manusia yang mengganggu secara langsung ataupun tidak langsung terhadap ekosistem antara lain : perkembangan pertanian, manajemen sumberdaya air, deforestasi atau pertambangan (Carvalho et.al, 2009).
Penyebab gangguan ekosistem sangat banyak, termasuk perubahan suhu rata-rata lokal, perubahan siklus air, perubahan distribusi air akibat irigasi dan pembangunan bendungan, perubahan akibat pencemaran pupuk dan pestisida, sampai pada perubahan akibat urbanisasi. Umumnya gangguan ekosistem, kerusakan dan fragmentasi habitat terjadi sebagai akibat dari konversi habitat alami menjadi lahan pertanian atau peternakan, pemukiman. Hal tersebut menjadi penyebab utama meningkatnya penyakit infeksi menular pada manusia dewasa ini (Mayer, 2000).
Beberapa penyebab utama gangguan ekosistem yang menyebabkan ledakan penyakit infeksi menular pada manusia meliputi : perusakan ekosistem hutan, sistem pengairan, perkembangan pertanian, urbanisasi dan perubahan iklim.
1. Perusakan ekosistem hutan dan deforestasi
Hutan merupakan habitat asli banyak jenis serangga yang terlibat dalam transmisi penyakit. Beberapa kelompok serangga yang menjadi vektor utama penyakit menular adalah nyamuk Anopheles, Aedes, Culex dan Mansonia ; lalat hitam Simulium ; lalat Chrysops dan lalat tsetse Glossina. Deforestasi menciptakan batas hutan dan interface baru yang memacu pertumbuhan populasi hewan inang reservoir dan vektor. Secara bersamaan adanya batas hutan yang baru seringkali menarik perhatian manusia untuk menghuni daerah perbatasan hutan yang beresiko tinggi (Molyneux, 2008).
Kerusakan habitat hutan juga menyebabkan perubahan atau hilangnya vektor yang sebelumnya menempati habitat tersebut. Ketidakberuntungnya adalah jenis vektor pengganti ternyata merupakan inang yang lebih disukai oleh patogen dan mempunyai dominansi yang tinggi terhadap populasi vektor sebelumnya. Deforestasi semacam ini menyebabkan terjadinya penurunan biodiversitas vektor serangga hutan. Meledaknya penyakit malaria akibat populasi nyamuk Anopheles yang meningkat, merupakan contoh paling umum akibat deforestasi, seperti terjadi di negara-negara Asia tenggara dan Amerika Selatan (Molyneux, 2008).
Deforestasi juga menyebabkan terjadinya wabah penyakit manusia yang diperantarai oleh siput. Wabah schistosomiasis terjadi akibat ledakan populasi siput yang menjadi vektor dari cacing Schistosoma. Meningkatnya populasi satu jenis siput menjadi yang dominan di ekosistem hutan yang rusak, telah menyebabkan berkurangnya biodiversitas siput dan meningkatnya penderita schistosomiasis penduduk yang tinggal di sekitar hutan. Contoh wabah schistosomiasis yang disebarkan oleh siput terjadi Kamerun dan Filipina (Paterson, 2008).
2. Manajemen sumber dan badan air / Irigasi
Sumber air dan badan-badan air yang secara alamiah berupa sungai, rawa dan danau merupakan habitat dari banyak jenis mahluk hidup yang membentuk ekosistem air tawar seperti sungai, rawa dan danau. Pembangunan saluran irigasi, waduk dan bendungan telah mengubah keseimbangan ekosistem yang menyebabkan terjadinya ledakan penyakit menular (Molyneux, 2008).
Contoh yang paling akurat adalah pada tahun 1990 di India terjadi wabah yang dikenal dengan "irrigation malaria" yang menimpa lebih dari 200 juta penduduk pedesaan di India. Hal ini terjadi akibat buruknya sistem irigasi yang menyebabkan terjadinya ledakan populasi nyamuk Anopheles culicifacies yang merupakan vektor utama malaria di India (Molyneux, 2008).
Perubahan ekosistem sungai juga telah menyebabkan wabah penyakit schistosomiasis yang disebarkan oleh vektor siput dan wabah penyakit onchocerciasis yang disebarkan oleh lalat hitam Simulium, serta wabah malaria yang disebarkan oleh nyamuk Anopheles. Hal tersebut terjadi karena terjadinya perubahan ekosistem sungai dapat menyebabkan terbentuknya kolam-kolam still-water yang menjadi tempat breeding yang ideal bagi vektor-vektor serangga tersebut. Beberapa kasus meledaknya penyakit schistosomiasis akibat kerusakan ekosistem sungai terjadi di DAS bendungan Diama Senegal dan bendungan Aswan di Mesir (Molyneux, 2008).
Perubahan ekosistem bendungan buatan manusia juga menyebabkan terjadinya wabah schistosomiasis di Bendungan Aswan Mesir dan saluran irigasi sungai Nil di Sudan. Cacing Schistosoma ternyata dibawa oleh nelayan pendatang, kemudian disebarkan oleh vektor perantara yaitu siput Bulinus truncatus. Terjadinya kelimpahan populasi fitoplankton telah menyebabkan ledakan populasi B. truncatus. Selain penyakit schistosomiasis, juga terjadi wabah filariasis yang disebarkan oleh nyamuk Culex pipiens. Populasi Culex pipiens meledak akibat terbentuknya water-table pada saluran irigasi yang arusnya tertahan (Paterson, 2008).
3. Perkembangan pertanian
Pertanian dalam arti luas mencakup budidaya tanaman, perikanan dan peternakan. Ternak dan unggas menjadi hewan reservoir dari banyak patogen penyakit menular manusia. Perkembangan perikanan dan peternakan memberikan kontribusi pada penyebaran dan munculnya penyakit menular baru (Tishkoff, 2004).
Wabah penyakit salmonellosis yang disebabkan bakteri Gram negatif Salmonella enteridis, terjadi pada daerah yang berdekatan dengan peternakan unggas (ayam). Ledakan S. enteridis telah menghilangkan jenis Salmonella yang non patogenik pada manusia yaitu S. gallinarum (Tishkoff, 2004).
Wabah penyakit Japanese encephalitis (JE) yang disebabkan oleh virus yang disebarkan nyamuk Culex sp. banyak terjadi di Cina, Nepal, India, Thailand, Sri Lanka dan Taiwan. Penyakit JE merupakan endemik daerah pertanian padi, dengan babi sebagai hewan reservoirnya. Ledakan wabah JE terjadi akibat perkembangan peternakan babi di negara-negara tersebut, yang menyebabkan virus JE meningkat jumlahnya (Tishkoff, 2004).
4. Urbanisasi
Manusia modern di banyak negara di dunia melakukan urbanisasi ke kota-kota besar. Hal itu menyebabkan populasi penduduk kota lebih besar dibandingkan penduduk desa. Makin meningkatnya laju urbanisasi ke kota membutuhkan pemekaran daerah untuk pemukiman, sehingga terjadi perubahan ekosistem di daerah suburban. Perubahan daerah suburban telah menyebabkan ledakan penyakit menular manusia seperti demam berdarah dengue (DBD) yang disebarkan oleh nyamuk Aedes aegypti, seperti terjadi di Singapura, Rio de Janeiro dan Jakarta (Mayer, 2000).
Pemukiman kumuh akibat urbanisasi merupakan lingkungan dengan sanitasi yang sangat buruk. Genangan-genangan air banyak ditemukan di pemukiman kumuh dan sanitasi yang buruk tersebut menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk A. aegypti yang menjadi vektor utama virus DBD (Molyneux, 2008).
Selain nyamuk, hewan reservoir yang menjadi vektor penyakit menular manusia yang hidup di daerah pemukiman kumuh adalah tikus. Tikus menjadi hewan yang mengikuti migrasi penduduk dari satu tempat ke tempat yang baru. Sanitasi lingkungan yang buruk menambah peluang populasi tikus untuk meledak sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Penyakit leptospirosis menjadi wabah yang banyak terjadi di pemukiman kumuh (Mayer, 2000).
5. Perubahan Iklim
Bukti iklim bumi yang meningkat dikarenakan gas greenhouse yang berasal dari aktivitas manusia telah banyak buktinya, dan dampak dari iklim global telah merobah sistim biologi yang mengkontrol terjadinya suatu penyakit. Perobahan iklim telah mengganggu ekosistim sehingga mempengaruhi populasi serta interaksi antara vektor penyakit, inang dan pathogen. Ledakan penyakit kolera telah dihubungkan dengan peningkatan suhu dimana suhu yang lebih panas tersedianya nutrisi seperti fitoplankton yang merupakan sumber makanan dari copepod yang merupakan vektor Vibrio cholerae penyebab penyakit kolera. Perubahan iklim juga mempengaruhi vektor penyakit seperti dicontohkan pada nyamuk. Nyamuk secara umum repoduksinya meningkat, dan juga menggigit lebih banyak pada suhu yang lebih panas (Paterson, 2008).
6. Biogeografi Penyakit
Penyebaran penyakit tergantung pada faktor-faktor seperti: interaksi antara kesesuaian abiotik, keterbatasan biotik, dan kemampuan penyebaran yang dicirikan dengan daerah distribusi. Faktor faktor di atas telah menjadikan perpindahan geografi penyakit menjadi sangat complex (Carvalho et al., 2009).
Suatu spesies patogen mungkin memiliki toleransi yang besar terhadap abiotik kondisi seperti temperatur, curah hujan atau radiasi matahari, namun faktor biotik seperti vektor menyebabkan penyebarannya terbatas. Kekebalan tubuh juga sangat berperan seperti pada penyakit Lesmaniasis yang disebabkan oleh Leishmania spp. Disamping itu ras manusia juga mempengaruhi terjadinya penyakit (Carvalho et al., 2009).
Kemampuan mobility dari patogen membatasi penyebaran pada geografi potensial. Patogen dan parasit adalah organisme mikroskopik dan sering tidak dilengkapi dengan kemampun untuk bergerak, dengan demikian diasumsikan kemampuan meyebarnya rendah. Namun karena mereka berasosiasi dengan inang yang lebih besar (vektor) memungkinkan kemampuan menyebarnya menjadi sangat besar (Paterson, 2008).
Sudah banyak microbial agent (virus, bakteri, jamur) yang telah terindikasi menyebabkan wabah penyakit bagi manunsia dan juga memiliki karakteristik untuk mengubah pola penyakit tersebut sehingga menyebabkan wabah penyakit yang baru. Seperti yang dirilis dalam National Institute of Allergy and Infectious Disease (NIAID) yang membagi menjadi 3 kelompok besar, yaitu :
Grup I : Pathogen baru yang diakui dalam 2 dekade terakhir
Grup II : Re-emerging pathogen
Grup III : Pathogen yang berpontesial sebagai bioterorisme (Carvalho et al., 2009).
2.1.3 Penanggulangan Terhadap Kasus Emerging Disease
WHO telah merekomendasikan kepada setiap negara dengan sebuah sistem peringatan dini (early warning system) untuk wabah penyakit menular dan sistemsurveillance untuk emerging dan re-emerging disease khususnya untuk wabah penyakit pandemik. Sistem surveillance merujuk kepada pengumpulan, analisis dan intrepretasi dari hasil data secara sistemik yang akan digunakan sebagai rencana penatalaksaan (pandemic preparedness) dan evaluasi dalam praktek kesehatan masyakarat dalam rangka menurunkan angka morbiditas dan meningkatkan kualitas kesehatan(Center for Disease Control and Prevention/CDC). Contoh sistem surveillance ini seperti dalam kasus severe acute respiratory syndrome (SARS), di mana salah satu aktivitas di bawah ini direkomendasikan untuk harus dilaksanakan yaitu:
Komprehensif atau surveillance berbasis hospital (sentinel) untuk setiap individual dengan gejala acute respiratory ilness ketika masuk dalam rumah sakit.
Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di dalam komunitas.
Surveillance terhadap kematian yang tidak dapat dijelaskan karena acute respiratory ilness di lingkup rumah sakit.
Memonitor distribusi penggunaan obat antiviral untuk influenza A , obat antrimicrobial dan obat lain yang biasa digunakan untuk menangani kasus acute respiratory illness (Paterson, 2008).
Fungsi utama dari sistem surveillance ini adalah :
Menyediakan informasi seperti pemantauan secara efektif terhadap distribusi dan angka prevalensi, deteksi kejadian luar biasa, pemantauan terhadap intervensi, dan memprediksi bahaya baru.
Melakukan tindakan dan intervensi. Sehingga diharapkan munculnya kejadian luar biasa yang bersifat endemik,epidemik dan pandemik dapat dihindari dan mengurangi dampak merugikan akibat wabah penyakit tersebut (Paterson, 2008).
2.2 Penyakit Virus Ebola
2.2.1 Pengertian
Ebola Virus Disease (EVD) adalah salah satu dari banyak penyakit demam berdarah virus. lni adalah penyakit yang sering beraklbat fatal pada manusla dan primata (seperti monyet, gorlla, dan simpanse). EVD disebabkan oleh infeksi dengan virus dari genus Ebolavirus. Ketika infeksi terjadi, gejala biasanya muncul secara tiba-tiba. Spesies Ebolavirus pertama ditemukan pada tahun 1976 di tempat yang sekarang dikenal sebagai Republik Demokratik Kongo dekat Sungal Ebola. Sejak itu, wabah terus muncul secara sporadls (Ksiazek et al., 1999).
Ada lima subspesies dari Ebolavirus. Empat darl lima telah menyebabkan penyakit pada manusia; virus Ebola (Zaire ebola virus); Virus Sudan (Sudan ebolavirus); Virus TAl Forest (TAl Forest ebolavirus, sebelumnya Pantai Gading ebolavirus); dan virus Bundibugyo (Bundibugyo ebolavirus). Kelima, virus Reston (Reston ebolavirus), telah menyebabkan penyakit pada primata bukan manusia, tapi tidak pada manusia. Host reservoir dari Ebolavirus masih belum diketahui. Namun, atas dasar bukti yang tersedia dan sifat virus yang sama, peneliti percaya bahwa kelelawar menjadi reservoir yang paling mungkin, Empat dari lima subtipe terjadi pada host hewan asli Afrika (Ksiazek et al., 1999).
2.2.2 Sumber Dan Cara Penularan
Pada awal mulanya virus ini diyakini menulari manusia lewat daging gorila yang dijual dan disantap oleh masyarakat di Afrika. Namun, beberapa ilmuwan meragukan teori itu. Para ilmuwan itu lebih meyakini kelelawar buah sebagai penyebab utama melalui beberapa penelitian yang dilakukan oleh Emerging Infectious Diseases. Di Afrika, kelelawar buah, terutama spesies dari genus Hypsignathus Monstrosus, Epomops Franqueti dan Torquata Myonycteris, dianggap mungkin host alami untuk virus Ebola. Akibatnya, distribusi goegrafis dari virus Ebola menjadi tumpah tindih dengan berbagai kelelawar buah lainnya. Kelelawar buah diyakini dapat membawa dan menyebarkan virus tanpa terjangkit. Penularan itu terjadi ketika monyet atau manusia memakan buah yang telah terkena air liur kelelawar; atau dapat juga disebabkan ketika monyet atau manusia menyentuh benda-benda yang telah terkena air liur kelelawar, yang kemudian menyentuh mata atau mulut sendiri. Namun demikian, virus Ebola juga ditemukan di dalam tubuh hewan primata—monyet, gorilla dan simpanse (Towner, 2008).
Virus Ebola tidak menular melalui udara, tetapi melalui kontak langsung dengan cairan penderita, seperti darah, kotoran, keringat dan muntah. Namun demikian, virus Ebola terus bermutasi dengan cepat. Direktur Pusat Penelitian dan Kebijakan Penyakit Menular di Universitas Minnesota, Michael Osterholm, dalam sebuah artikelnya yang dikutip Reuter, menyebutkan bahwa ancaman penyebaran Ebola melalui udara adalah nyata, sebagai resiko dari hasil mutasi Ebola. Beberapa ahli virus meragukan pandangan dan peringatan Michael Osterholm itu, walaupun mereka mengakui bahwa virus Ebola terus mengalami mutasi (Grard et al., 2007).
Pemutasian virus Ebola dibuktikan dalam sebuah studi yang dipublikasikan melalui jurnal sains pada Agustus lalu. Para peneliti menemukan 99 Genom virus Ebola dari sampel darah 78 pasien di Sierra Leone. Para peneliti itu menyebutnya sebagaiakumulasi cepat dan variasi genetik, atau dengan kata lain frekuensi perubahan virus dalam jumlah besar hanya dalam beberapa pekan awal terjadinya wabah. Namun demikian, perubahan virus Ebola tidak terasosiasi dengan perubahan biologis atau fungsi biologisnya, yang tidak memberi kemampuan virus baru menyebar melalui udara. Seperti HIV dan flu, virus Ebola merupakan virus yang material genetiknya terkandung dalam asam Ribonukleat (RNA), bukan asam Deoksiribonukleat (DNA).Hal ini dikatakan oleh Anthony Fauci dari Institut Nasional AS pada saat dengar pendapat di Senat AS (Towner, 2008).
Virus Ebola memiliki daya tahan hidup cukup lama di permukaan benda. Untuk itu, benda yang telah terkontaminasi dengan cairan tubuh penderita, seperti sarung tangan karet, jarum suntik atau baju khusus yang dikenakan para medis saat menangani pasien Ebola, dapat menjadi media penularan virus ini. Semua alat-alat medis hanya sekali pakai. Benda-benda yang telah terkontaminasi dengan cairan penderita harus dibakar, sebagai cara untuk mencegah penularannya. Cara yang salah saat penanganan proses pemakaman korban Ebola, dengan cara menyentuh langsung korban, turut menjadi andil dalam penyebaran virus ini secara meluas. Orang-orang yang bekerja di bidang kesehatan—dokter dan perawat—beresiko tinggi tertular virus ini, apabila tidak menggunakan pakaian khusus dan mengikuti prosedur standar yang telah ditentukan (Grard et al., 2007).
2.2.3 Tanda Dan Gejala
Hal yang tersulit dari virus Ebola adalah pendeteksian awal pada orang yang terjangkiti virus ini. Orang yang terjangkiti Ebola akan menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit dan infeksi lain. Untuk itu, bila ingin melakukan diagnosis, penyakit yang menunjukkan gejala serupa, seperti malaria, kolera, demam berdarah, types dan virus-virus lainnya harus dikecualikan terlebih dahulu. Orang yang terinfeksi Ebola akan menunjukkan gejala flu, demam tinggi, sakit tenggorokan, sakit kepala, nyeri otot, yang kemudian dikuti dengan mual, muntah, diare dan ruam. Pada fase yang lebih lanjut, virus ini dapat menimbulkan gangguan funsi ginjal, hati dan pendarahan—pendarahan internal dan eksternal. Pendararah dapat terjadi pada kulit, mata, hidung dan mulut (Grard et al., 2007).
Masa inkubasi Ebola terhitung sangat cepat, antara 2-21 hari sejak terinfeksi. Untuk itu, penanganan terhadap suspek Ebola harus dilakukan dengan sesegera mungkin. Bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat, tingkat kematian pada pasien Ebola adalah 90%. Andaipun mendapat perawatan medis yang optimal, jika terlambat didiagnosa, tingkat mortalitas masih cukup tinggi, sekitar 60% (Leroy, 2000).
Penyakit ebola sangatlah berbahaya karena pada saat virus Ebola menginfeksi tubuh manusia, dengan segera virus tersebut masuk ke dalam sel tubuh dan menggandakan diri, yang membuat sel tubuh pecah dan mengeluarkan virus-virus baru yang akan menginfeksi sel tubuh lainnya dan mengacaukan system tubuh secara keseluruhan. Virus Ebola juga memproduksi protein yang disebut ebolavirus glycoprotein, yang langsung menempel pada sel dalam pembuluh darah. Protein ebolavirus glycoprotein akan menipiskan lapisan pembuluh, yang memicu kebocoran darah dalam tubuh (Leroy, 2000).
Virus Ebola juga menurunkan kemampuan tubuh dalam mengkoagulasi darah yang menyebabkan pendarahan internal. Di samping itu, virus Ebola juga melemahkan system kekebalan tubuh, seperti yang dilakukan virus HIV yang menyebabkan AIDS. Bedanya, virus Ebola akan memengaruhi sel darah putih dan membuat sel tersebut tidak bisa memperingatkan tubuh akan bahaya kesehatan yang mengancam, terutama dari hati, ginjal, empedu dan otak. Ketika sel darah putih dilemahkan virus Ebola, tubuh akan memproduksi molekul yang disebut sitokin. Dalam kondisi tubuh yang sehat, keberadaan sitokin akan merangsang otak untuk melepaskan sel penangkal penyakit. Namun, dalam kasus virus Ebola, sitokin dilepaskan terlalu berlebihan, sehingga menyebabkan gejala seperti flu. Ini merupakan gejala awal Ebola (Leroy, 2000).
Secara umum, tahap pertama Ebola memang dimulai dengan gejala mirip flu. Namun, jika Ebola tidak segera ditangani, dari gejala mirip flu, virus akan terus melemahkan pertahanan tubuh dan membuat pasien mengalami dehidrasi parah dari muntah, diare, dan tekanan darah yang rendah. Pendarahan hanya akan muncul pada tahap terakhir serangan virus Ebola, yang pada akhirnya membuat pasien Ebola akan meninggal karena shock dan kegagalan fungsi multi organ. Orang yang terinfeksi dapat bertahan terhadap serangan virus Ebola, apabila orang tersebut memiliki imunitas yang sehat. Jika system kekebalan tubuh berada dalam kondisi optimal, semua infeksi virus bisa dimentahkan. Selain itu, kecepatan diagnosa juga sangat menentukan. Semakin cepat penanganan medis diberikan setelah terinfeksi, semakin tinggi angka kelangsungan hidup pasien (Paterson, 2008).
2.2.4 Diagnosis, Pemeriksaan Klinis Dan Penunjang
Penyakit lain yang biasanya terdeteksi sebelum seorang penderita didiagnosis EVD antara lain: malaria, demam typhoid, shigellosis, kolera, leptospirosis, pes, rickettsiosis, demam kambuh, meningitis, hepatitis dan demam berdarah virus lainnya (Leroy, 2000).
lnfeksi virus Ebola dapat didiagnosls di laboratorium melalui beberapa jenis tes:
1. enzyme-linked immunosorbent assay {EUSA)
2. Tes deteksi antigen
3. Uji serum netrallsasi
4. Reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT·PCR) assay
5. lsolasi virus dengan kultur sel (Carvalho et al., 2009).
Untuk memastikan seseorang terjangkiti Ebola, harus dilakukan diagnosis dengan menguji darah untuk antibodi virus, RNA virus, atau virus itu sendiri. Ketika seseorang terinfeksi Ebola, hal yang bisa dilakukan dokter adalah terus mencoba untuk mempertahankan tekanan darah pasien tetap normal dengan memberikan cairan khusus yang mengandung elektrolit dan obat-obatan. Bila seorang pria selamat dari penyakit ini, pria tersebut masih bisa menularkannya lewat semen (sperma) selama dua bulan (Leroy, 2000).
2.2.5 Tatalaksana Dan Prognosis
Pengobatan standar untuk EVO masih terbatas pada terapi suportif.lni terdiri dari:
Menyeimbangkan cairan tubuh dan elektrolit pasien
Mempertahankan status oksigen dan tekanan darah
Memberikan pengobatan untuk setlap kompfikasi infeksl yang terjadi (MacNeil, 2011).
Pengobatan tepat waktu pada penderita EVD adalah penting walaupun sangat menantang karena penyakit ini sulit untuk dldiagnosis secara klinis pada tahap awal lnfeksi. Karena gejala awal seperti sakit kepala dan demam tidak spesifik untuk menentukan seseorang terinfeksi EVD, kasus EVD mungkin awalnya salah didiagnosis, Namun, jika seorang pasien memiliki gejala awal EVD dan ada alasan kuat sehingga pasien tersebut dinyatakan sebagai suspek, pasien harus diisolasi dan petugas kesehatan harus segera mengetahui hal ini. Terapi suportif dapat dilanjutkan dengan menggunakan pakaian pelindung yang tepat sampai sampel dari pasien diuji untuk mengkonfirmasi lnfeksi (MacNeil, 2011).
Sampai saat ini belum ditemukan vaksin untuk kasus EVD. Beberapa vaksin masih dalam tahap pengujian, namun belum ada satu pun yang dapat digunakan untuk kasus klinis. Penderlta sakit parah memerlukan perawatan yang intensif. Pasien serlng mengalami dehldrasi dan membutuhkan rehidrasi oral dengan larutan yang mengandung elektrolit atau cairan intravena (MacNeil, 2011).
Tidak ada pengobatan khusus yang dapat dilakukan. Beberapa obat baru maslh.dalam tahap evaluasi. Pasien serlng mengalami dehidrasi dan membutuhkan rehidrasi oral dengan larutan yang mengandung elektrolit atau cairan lntravena. Virus ebola menyebabkan kasus EVD pada manusia, dengan CFR sampai 90% (MacNeil, 2011).
2.3 Emerging Disease Penyakit Virus Ebola Di Dunia
2.3.1 Virus Ebola Menjadi Emerging Disease
Virus ini ditemukan pada tahun 1967 (Marburg virus) dan tahun 1976 (Ebola) kedua virus ini termasuk pada famili Filoviridae, dan merupakan virus yang berasal dari Afrika. Virus Ebola terbatas distribusinya di daerah dataran rendah hutan tropis evergreen di Afrika (Congo Basin, dan daerah sekitar perbatasan Liberia-Ivory Cost). Sedangkan Marburg virus terbatas pada daerah agak humid hutan tropis di bagian timur dan selatan Afrika. Namun karena berasosiasi dengan vektor maka virus ini sering ditemukan di luar daerah geografinya. Seperti contoh Marburg virus di temukan di Marburg (Jerman) tahun 1967 dan Johannesburg (Afrika Selatan) tahun 1975. Sedangkan Ebola ditemukan di Virginia, Texas dan Filipina sekitar tahun 1990an. Penyebaran keluar ini dimungkinkan oleh adanya vektor seperti primata yang membawa virus ini (WHO, 2013).
Saat ini virus Ebola tengah menjadi epidemi di Afrika Barat. Bahkan, sejak bulan Maret menyebar, sudah ada sekitar 900 orang yang tewas karena Ebola. Kono, virus ini menyebar cepat karena bisa menular lewat bersentuhan dengan korban yang terinfeksi. Lebih jauh, belum ada pengobatan yang terbukti bisa menyembuhkan Ebola. Ini pula yang membuat harapan hidup bagi mereka yang terinfeksi sangat tipis (Kompas, 2014).
Secara umum pengenalan penyakit baru pada populasi dapat disebabkan oleh faktor-faktor berikut:
Transfer antar-spesies
Dari berbagai mekanisme penyebaran penyakit yang ada, tampaknya inilah yang paling penting. Penyakit dapat tersebar dari dan pada manusia serta mamalia lain (CDC, 2014).
Difusi spasial
Kemampuan manusia untuk melakukan perjalanan yang meningkat pesat mengubah ekologi manusia dari penyakit infeksi menular. Diperkirakan satu juta orang berpindah tempat secara internasional dalam seharinya dan satu juta orang berpindah tempat dari negara berkembang ke negara maju (dan sebaliknya) dalam satu minggu (Garrett, 1996 dalam Mayer). Sehingga jika seseorang terkena penyakit di satu benua makan esok harinya ia dapat berpindah tempat ke benua lain dan menyebarkan penyakit tersebut. Sehingga pola difusi secara khusus akan dapat ditentukan dengan memahami asal dan tujuan perjalanan manusia (CDC, 2014).
Evolusi patogenik, atau perubahan dalam struktur dan imunitas dari patogen yang lebih awal muncul
Virus dapat melakukan mutasi, mungkin diakibatkan oleh resistensi antimicrobial, tapi mutasi pun dapat terjadi secara acak. Jika mutasi ini terjadi secara acak, maka kemunculan penyakit pun dapat terjadi di daerah mana saja secara acak. Namun bagaimanapun penyebarannya akan tergantung dari orang yang membawanya. Kemunculan penyakit dalam populasi manusia akan tergantung dari kecocokan dalam ruang dan waktu dari agen dan inang dari penyakit tersebut (Leroy, 2000).
Deskripsi baru dari patogen yang telah ada di manusia selama bertahun-tahun namun baru dikenali
Penyakit dapat tidak dikenali akibat dari kurngnya teknologi untuk mengidentifikasi penyakit atau kurangnya kerangka kerja konseptual untuk mengenali sindrom secara benar dan merujuknya pada penyakit tertentu (Paterson, 2008).
Perubahan dalam hubungan manusia dengan lingkungan
Penyebab ekonomi dan sosial dari kemunculan penyakit yakni perubahan dalam penggunaan lahan, pekerjaan dan aktivitas manusia, dan urbanisasi, terintegrasi dengan faktor biologis seperti mutasi, faktor genetik dan perubahaan dalam zoonotic pool. Pengetahuan akan pola pergerakan manusia dan transportasi sangat penting untuk memahami pola kemunculannya dan semua ini terintegrasi dengan bantuk organisasi sosial dalam masyarakat (Paterson, 2008).
2.3.2 Upaya Dunia Melawan Penyakit Virus Ebola
Sejak Ebola kembali merebak dan menjadi epidemi di kawasan Afrika Barat pada awal tahun ini, berbagai upaya dilakukan untuk membendung penyebaran lebih jauh lagi. WHO mendorong dunia internasional lebih aktif lagi untuk melakukan pencegahan itu. Badan kesehatan dunia ini menghimbau pada dunia internasional untuk lebih banyak lagi mengirimkan tenaga medis ke Afrika Barat. Laju penyebaran virus Ebola di keempat negara yang menjadi daerah epidemi, tidak sebanding dengan tenaga medis yang tersedia saat ini. Hambatan lain dalam menangani penyebaran Ebola di negara-negara epidemi, ketidakcukupan ruang karantina yang tersedia membuat semakin sulit untuk mengatasi penularannya (Kompas, 2014).
Menanggapi seruan WHO itu, Barack Obama, Selasa, 16 September 2014, menyatakan akan mengirimkan 3.000 personel militer AS ke kawasan Afrika Barat, dalam upaya global melawan Ebola. Prancis, melalui Presiden Francois Hollande, mengumumkan rencana untuk membangun rumah sakit militer di kawasan hutan terisolasi di Guinea (Kompas, 2014).
Sejak Ebola pertama kali ditemukan pada tahun 1976, para ahli di berbagai negara seolah berpacu dengan waktu untuk menemukan obat yang mampu melawan ganasnya virus Ebola. ZMapp, yang diproduksi oleh Mapp Biopharmaceutical di San Diego, AS, adalah salah satu obat dari sedikit obat yang dibuat untuk melawan Ebola. Obat ini belum pernah diujicobakan kepada manusia, namun memiliki reaksi yang positif pada simpanse. Obat yang belum pernah diujikan pada manusia, memiliki resiko bahaya. Namun, WHO terpaksa menyetujui menggunakan obat itu pada penderita Ebola, mengingat tingkat terjangkitan yang tinggi (WHO, 2013).
Dokter Kent Brantly, Direktur medis untuk kelompok Pusat Pengelolaan Konsolidasi Kasus Ebola, yang juga tergabung dalam organisasi amal Samaritan Purse, dan Nancy Writebol, seorang pekerjaan kemanusiaan yang bekerja untuk organisasi amal Serving In Mission (SIM), adalah dua penderita Ebola yang sembuh setelah menggunakan obat ZMapp, dalam sebuah pengawasan perawatan yang ketat di Unit Penyakit Menular Rumah Sakit Emory, AS. Meskipun demikian, obat ini belum dapat dikatakan ampuh untuk melawan virus Ebola. Pendeta Miguel Pajares (Spanyol) dan dokter Abraham Borbor (Liberia), dua pasien Ebola sebelumnya yang meninggal, meskipun telah diberikan obat ini. Walaupun keampuhan masih diragukan, obat ZMapp tetap dikirimkan ke negara-negara epidemi Ebola, yang membuat ketersediaan obat ini semakin menipis. Hal ini disebabkan oleh produksi ZMapp cukup lambat. Anti bodinya harus ditumbuhkan menggunakan daun tembakau yang dimodifikasi secara khusus (MacNeil, 2011).
Untuk mengisi kukurangan dan kekosongan obat ZMapp dengan obat lainnya, Jepang menawarkan diri untuk menyediakan obat anti influenza, yaitu Favipiravir bagi penderita Ebola. Obat ini dikembang oleh Toyama Chemical Co, anak perusahaan Fujifilm Holdings Corp. Takao Aoki menyebutkan virus Ebola dan influenza memiliki tipe yang serupa dan respon yang sama. Obat Favipiravir dapat mencegah replikasi gen virus di dalam sel yang terinfeksi untuk mencegah propagasi. Sementara, obat anti replikasi lainnya dirancang untuk menghambat pelepasan partikel virus baru untuk mencegah penyebaran infeksi.
Untuk mengatasi penyebaran Ebola yang demikian cepat, pemerintah Kanada turut menyumbang 1.000 dosis vaksin yang diberi nama VSV-EBOV. Vaksin ini sama dengan obat ZMapp, belum pernah diuji pada manusia. Vaksin ini baru dicoba pada hewan primate dan dinilai cukup menjanjikan untuk menangkal penyebaran virus Ebola (Towner, 2008).
Setelah berhasil pulih dari penyakit Ebola, orang yang terinfeksi virus tersebut diyakini memiliki anti bodi di dalam tubuhnya. System kekebalan tubuh dari bekas pasien Ebola akan membantu melawan virus pada orang yang tengah terinfeksi Ebola. Hal ini dilakukan oleh dr. Kent Brantly pada salah seorang pekerja kemanusiaan dr. Rick Sacra. Meskipun penggunaan serum dari bekas pasien yang berhasil selamat dari satu penyakit, bukanlah hal yang baru, WHO terus mendorong untuk menggunakan metode itu. Tidak mengherankan bila kini di Negara tertentu, darah bekas penderita Ebola ramai diburu orang, khususnya di pasar gelap. Hingga saat ini, dunia internasional terus berusaha melakukan perlawanan terhadap Ebola. Pemerintah di negara-negara epidemi, melarang penduduknya untuk keluar rumah (Towner, 2008).