Tugas Penyuluhan dan Komunikasi Perikanan
Falsafah, Prinsip, dan Etika Penyuluhan
“
KELOMPOK 1
FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012
“
ANGGOTA KELOMPOK:
1.
DENNI ARISTIAWAN
2.
FITRIAH
3.
DARNI
4.
MEGAWATI
5.
RUTH ANGKA PALAYUKAN
6.
MUH. FARIS
7.
NUR RAHMAT ASWAR
8.
RAHMAT BASRI
9.
SUBHAN ARTANTO
10. ANDI BATARI TENRIAMPA 11. JUMRIANI 12. YUSRIFAAT AMRAN
Falsafah, Prinsip, dan Etika Penyuluhan A. Falsafah Penyuluhan Pertanian
Meskipun telah lama dipahami bahwa penyuluhan merupakan proses pendidikan, tetapi dalam sejarah penyuluhan pertanian di Indonesia, terutama selama periode pemerintahan Orde Baru, kegiatan penyuluhan lebih banyak dilakukan dengan pendekatan kekuasaan melalui kegiatan yang berupa pemaksaan, sehingga muncul gurauan: dipaksa, terpaksa, akhirnya terbiasa. Terhadap kenyataan seperti itu, Soewardi (1986) telah mengingat kepada semua insan penyuluhan kembali untuk menghayati makna penyuluhan sebagai proses pendidikan. Tentang hal ini, diakui bahwa, penyuluhan sebagai proses perubahan perilaku melalui pendidikan akan memakan waktu lebih lama, tetapi perubahan perilaku yang terjadi akan berlangsung lebih kekal. Sebaliknya, meskipun perubahan perilaku melalui pemaksaan dapat lebih cepat dan mudah dilakukan, tetapi perubahan perilaku tersebut akan segera hilang, manakala faktor pemaksanya sudah dihentikan. Dalam khasanah kepustakaan penyuluhan pertanian, banyak kita jumpai beragam falsafah penyuluhan pertanian. Berkaitan dengan itu, Ensminger (1962) mencatat adanya 11 (sebelas) rumusan tentang falsafah penyuluhan. Di Amerika Serikat juga telah lama dikembangkan falsafah 3-T: teach, truth, and trust (pendidikan, kebenaran dan kepercayaan / keyakinan). Artinya, penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran yang telah diyakini. Dengan kata lain, dalam penyuluhan pertanian, petani dididik untuk menerapkan setiap informasi (baru) yang telah diuji kebenarannya dan telah diyakini akan dapat memberikan manfaat (ekonomi maupun non ekonomi) bagi perbaikan kesejahteraannya. Rumusan lain yang lebih tua dan nampaknya paling banyak dikemukakan oleh banyak pihak dalam banyak kesempatan adalah, yang dikutip Kelsey dan Hearne (1955) yang menyatakan bahwa falsafah penyuluhan harus berpijak kepada pentingnya pengem- bangan individu di dalam perjalanan pertumbuhan masyarakat dan bangsanya. Karena itu, ia mengemukakan bahwa falsafah penyuluhan adalah bekerja bersama masyarakat untuk membantunya agar mereka dapat meningkatkan harkatnya sebagai manusia ( helping people to help themselves). Tentang hal ini, Supadi (2006) memberikan catatan bahwa dalam budaya feodalistik, pihak yang membantu selalu ditempatkan pada kedudukan yang ”lebih tinggi” dibanding yang dibantu. Pemahaman seperti itu, sangat kontradiktif dengan teori pendidikan kritis untuk pembebasan. Karena itu, pemahaman konsep ”membantu masyarakat agar dapat membantu dirinya sendiri” harus dipahami secara demokratis yang menempatkan kedua -
belah pihak dalam kedudukan yang setara. Dari pemahaman seperti itu, terkandung pengertian bahwa: 1. Penyuluh harus bekerjasama dengan masyarakat, dan bukannya bekerja untuk masyarakat (Adicondro, 1990). Kehadiran penyuluh bukan sebagai penentu atau pemaksa, tetapi ia harus mampu menciptakan suasana dialogis dengan masyarakat dan mampu menumbuhkan, menggerakkan, serta memelihara partisipasi masyarakat. 2. Penyuluhan tidak boleh menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin terciptanya kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana, dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatankegiatan guna tercapainya tujuan, harapan, dan keinginan-keinginan masyarakat sasarannya. 3. Penyuluhan yang dilaksanakan, harus selalu mengacu kepada terwujudnya kesejahteraan ekonomi masyarakat dan peningkatan harkatnya sebagai manusia. Berkaitan dengan falsafah “helping people to help themselves” Ellerman (2001) mencatat adanya 8 (delapan) peneliti yang menelusuri teori pemberian bantuan, yaitu:
1) Hubungan Penasehat dan Aparat Birokrasi Pemerintah (Albert Hirschman), melalui proses pembelajaran tentang: ide-ide baru, analisis keadaan dan masalahnya yang diikuti dengan tawaran solusi dan minimalisasi konfrontasi/ketegangan yang terjadi: antara aparat pemerintah dan masyarakat, antar sesama aparat, dan antar kelompokkelompok masyarakat yang merasa dirugikan dan yang menimati keuntungan dari kebijakan pemerintah. 2) Hubungan Guru dan Murid (John Dewey), dengan memberikan: a. kesempatan untuk mengenali pengalamanannya, b. stimulus untuk berpikir dan menemukan masalahnya sendiri, c. memberikan kesempatan untuk melakukan “penelitian” d. tawaran solusi untuk dipelajari e. kesempatan untuk menguji idenya dengan aplikasi langsung 3) Hubungan Manajer dan Karyawan (Douglas McGregor), melalui pemberian tanggung jawab sebagai alat kontrol diri (self controle) 4) Hubungan Dokter dan Pasien (Carl Rogers), melalui pemberian saran yang konstruktif dengan memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki dan atau diusahakannya sendiri. Uji-coba kegiatan melalui pemberian dana dan manajemen dari luar, ternyata tidak akan memberikan hasil yang lebih baik. 5) Hubungan Guru Spiritual dan Murid (Soren Kierkegaard), melalui pemahaman bahwa masalah atau kesalahan hanya dapat diketahui oleh
yang mengalaminya (diri sendiri). Guru tidak boleh menonjolkan kelebihannya, tetapi harus merendah diri, siap melayani,dan menyediakan waktu dengan sabar 6) Hubungan Organisator dan Masyarakat (Saul Alinsky), melalui upaya demokratisasi, menumbuh-kembangkan partisipasi, dan mengembangkan keyakinan (rasa percaya diri) untuk meme-cahkan masalahnya sendiri. 7) Hubungan Pendidik dan Masyarakat (Paulo Freire), melalui proses penyadaran dan memberikan kebebasan untuk melakukan segala sesuatu yang terbaik menurut dirinya sendiri. 8) Hubungan Agen-pembangunan dan Lembaga Lokal (E.F. Schumacher), melalui program bantuan untuk mencermati apa yang dilakukan seseorang (masyarakat) dan membantu agar mereka dapat melakukan perbaikanperbaikan sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Berkaitan dengan konsep falsafah 3-T yang ada di Amerika, Ensminger (1962) menyatakan bahwa falsafah penyuluhan dapat dirumuskan : 1) Penyuluhan adalah proses pendidikan yang bertujuan untuk mengubah pengetahuan, sikap dan keterampilan masyarakat 2) Sasaran penyuluhan adalah segenap warga masyarakat untuk menjawab kebutuhan dan keinginannya 3) Penyuluhan bertujuan untuk membantu masyarakat agar mampu menolong dirinya sendiri 4) Penyuluhan adalah “belajar sambil bekerja” dan “percaya tentang apa yang dilihatnya” 5) Penyuluhan adalah pengembangan individu, pemimpin mereka, dan pengembangan dunianya secara keseluruhan 6) Penyuluhan adalah suatu bentuk kerjasama untuk meningkatkan kesejahteraan dan kebahagiaan masyarakat 7) Penyuluhan adalah pekerjaan yang diselaraskan dengan budaya masyarakatnya 8) Penyuluhan adalah hidup dengan saling berhubungan, saling meghormati dan saling mempercayai antara satu kepada yang lainnya. 9) Penyuluhan merupakan kegiatan dua arah, dan 10) Penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan Di lain pihak, yang bertolak dari pemahaman penyuluhan merupakan salah satu sistem pendidikan, Mudjiyo (1989) mengingatkan untuk mengaitkan falsafah penyuluhan dengan pendidikan yang memiliki falsafah: idealisme, realisme dan pragmatisme, yang berarti bahwa penyuluhan pertanian harus mampu menumbuhkan cita-cita yang melandasi untuk selalu berfikir kreatif dan dinamis. Di samping itu, penyuluhan pertanian harus selalu mengacu kepada kenyataan-kenyataan yang ada dan dapat ditemui di lapang atau harus selalu disesuaikan dengan keadaan yang dihadapi. Meskipun demikian, penyuluhan
harus melakukan hal-hal terbaik yang dapat dilakukan, dan bukannya mengajar kondisi terbaik yang sulit direalisir. Sehubungan dengan itu, sebagai proses pendidikan, di Indonesia dikenal adanya falsafah pendidikan yang dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro yang berbunyi: 1) Ing ngarso sung tulodo, mampu memberikan contoh atau taladan bagi masyarakat sasarannya; 2) Ing madyo mangun karso, mampu menumbuhkan inisyatif dan mendorong kreativitas, serta semangat dan motivasi untuk selalu belajar dan mencoba; 3) Tut wuri handayani , mau menghargai dan mengikuti keinginan-keinginan serta upaya yang dilakukan masyarakat petaninya, sepanjang tidak menyimpang/meninggalkan acuan yang ada, demi tercapainya tujuan perbaikan kese-jahteraan hidupnya. Sehubungan dengan falsafah penyuluhan pertanian yang berlandaskan pada falsafah pancasila, loekman soetrisno (1989) minta agar mengaitkannya dengan motto bangsa yang: Bhineka Tunggal Ika yang membawa konsekuensi pada: 1) perubahan administrasi penyuluhan dari yang bersifat “regulatif sentralistis” menjadi “fasilitatif partisipatif”, dan 2) pentingnya kemauan penyuluh untuk memahami budaya lokal yang seringkali juga mewarnai “local agriclutural practices”. Pemahaman seperti itu, mengandung pengertian bahwa: 1) Administrasi penyuluhan tidak selalu dibatasi oleh peraturan-peraturan dari “pusat” yang kaku, karena hal ini seringkali menja -dikan petani tidak memperoleh keleluasaan mengembangkan potensi yang dimilikinya. Demikian juga halnya dengan admi-nistrasi yang terlalu “sentralistis” seringkali tidak mampu secara cepat mengantisipasi permasalahan-permasalahan yang timbul di daerah-daerah, karena masih menunggu “petunjuk” atau restu dari pusat. Di pihak lain, dalam setiap permasalahan yang dihadapi, peng-ambilan keputusan yang dilakukan oleh petani seringkali ber-dasarkan pertimbangan bagaimana untuk dapat “menyelamatkan keluarganya”. Dalam kasus -kasus seperti itu, seharusnya penyuluh diberi kewenangan untuk secepatnya pula mengambil inisyatifnya sendir i. Karena itu, administrasi yang terlalu “regulatif” seringkali sangat membatasi kemerdekaan petani untuk mengambil keputusan bagi usahataninya. 2) Penyuluh, selain memberikan “ilmu”nya kepada petani, ia harus mau belajar tentang “ngelmu”nya petani yang se ringkali dianggap tidak rasional (karena yang oleh penyuluh dianggap rasional adalah yang sudah menjadi petunjuk pusat). Padahal, praktek-praktek usahatani yang berkembang dari budaya lokal
seringkali juga sangat rasional, karena telah mengalami proses “trial and error” dan teruji oleh waktu. B. Prinsip-Prinsip Penyuluhan Pertanian
Mathews menyatakan bahwa: prinsip adalah suatu pernyataan tentang kebijaksanaan yang dijadikan pedoman dalam pengambilan keputusan dan melaksanakan kegiatan secara konsisten. Karena itu, prinsip akan berlaku umum, dapat diterima secara umum, dan telah diyakini kebenarannya dari berbagai pengamatan dalam kondisi yang beragam. Dengan demikian “prinsip” dapat dijadikan sebagai landasan pokok yang benar, bagi pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan. Meskipun “prinsip” biasanya diterapkan dalam dunia akademis, Leagans(1961) menilai bahwa setiap penyuluh dalam melaksanakan kegiatannya harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip penyuluhan. Tanpa berpegang pada prinsip-prinsip yang sudah disepakati, seorang penyuluh (apalagi administrator penyuluhan) tidak mungkin dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik.
Bertolak dari pemahaman penyuluhan sebagai salah satu sistem pendidikan, maka penyuluhan memiliki prinsip-prinsip: 1) Mengerjakan, artinya, kegiatan penyuluhan harus sebanyak mungkin melibatkan masyarakat untuk mengerjakan/ menerapkan sesuatu. Karena melalui “mengerjakan” mereka akan mengalami proses belajar (baik dengan menggunakan pikiran, perasaan, dan ketram-pilannya) yang akan terus diingat untuk jangka waktu yang lebih lama. 2) Akibat, artinya, kegiatan penyuluhan harus memberikan akibat atau pengaruh yang baik atau bermanfaat. Sebab, perasaan senang/puas atau tidaksenang/kecewa akan mempengaruhi semangatnya untuk mengikuti kegiatan belajar/ penyuluhan dimasa-masa mendatang. 3) Asosiasi, artinya, setiap kegiatan penyuluhan harus dikaitkan dengan kegiatan lainnya. Sebab, setiap orang cenderung untuk mengaitkan/menghubungkan kegiatannya dengan kegiatan/peristiwa yang lainnya. Misalnya, dengan melihat cangkul orang diingatkan kepada penyuluhan tentang persiapan lahan yang baik; melihat tanaman yang kerdil/subur, akan mengingatkannya kepada usahaausaha pemupukan, dll. Lebih lanjut, Dahama dan Bhatnagar (1980) mengungkapkan prinsipprinsip penyuluhan yang lain yang mencakup: 1. Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. Mengenai hal ini, harus dikaji secara mendalam: apa yang benar-benar menjadi minat dan kebutuhan yang
dapat menyenangkan setiap individu maupun segenap warga masyarakatnya, kebutuhan apa saja yang dapat dipenyui sesuai dengan terse-dianya sumberdaya, serta minat dan kebutuhan mana yang perlu mendapat prioritas untuk dipenuhi terlebih dahulu. 2. Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan akan efektif jika mampu melibatkan/menyentuk organisasi masyarakat bawah, sejak dari setiap keluarga/kekerabatan. 3. Keragaman budaya, artinya, penyuluhan harus memperha-tikan adanya keragaman budaya. Perencanaan penyuluhan harus selalu disesuaikan dengan budaya lokal yang beragam. Di lain pihak, perencanaan penyuluhan yang seragam untuk seti-ap wilayah seringkali akan menemui hambatan yang bersumber pada keragaman budayanya. 4. Perubahan budaya, artinya setiap kegiatan penyuluhan akan mengakibatkan perubahan budaya. Kegiatan penyuluhan harus dilaksanakan dengan bijak dan hati-hati agar perubahan yang terjadi tidak menimbulkan kejutan-kejutan budaya. Karena itu, setiap penyuluh perlu untuk terlebih dahulu memperhatikan nilai-nilai budaya lokal seperti tabu, kebiasaan-kebiasaan, dll. 5. Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan hanya akan efektif jika mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk selalu bekerjasama dalam melaksanakan program-program penyuluhan yang telah dirancang. 6. Demokrasi dalam penerapan ilmu, artinya dalam penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakatnya untuk menawar setiap ilmu alternatif yang ingin diterapkan. Yang dimaksud demokrasi di sini, bukan terbatas pada tawar-menawar tentang ilmu alternatif saja, tetapi juga dalam penggunaan metoda penyuluhan, serta proses pengambilan keputusan yang akan dilakukan oleh masyarakat sasarannya. 7. Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat “belajar sambil bekerja” atau belajar dari pengalama n tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. Dengan kata lain, penyuluhan tidak hanya sekadar menyampaikan informasi atau konsep-konsep teoritis, tetapi harus memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk mencoba atau memperoleh pangalaman melalui pelaksanaan kegiatan secara nyata. 8. Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang selalu disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi, dan nilai sosialbudaya) sasarannya. Dengan kata lain, tidak satupun metoda yang dapat diterapkan di semua kondisi sasaran dengan efektif dan efisien. 9. Kepemimpinan, artinya, penyuluh tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang hanya bertujuan untuk kepentingan/kepuasannya sendiri, dan harus mampu mengembangkan kepemimpinan. Dalam hubungan ini, penyuluh sebaiknya mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin lokal atau memanfaatkan pemimpin lokal yang telah ada untuk membantu kegiatan penyuluhannya. 10. Spesialis yang terlatih, artinya, penyuluh harus benar-benar pribadi yang telah memperoleh latihan khusus tentang segala sesuatu yang sesuai dengan fungsinya sebagai penyuluh.
Penyuluh-penyuluh yang disiapkan untuk menangani kegiatan-kegiatan khusus akan lebih efektif dibanding yang disiapkan untuk melakukan beragam kegiatan (meskipun masih berkaitan dengan kegiatan pertanian). 11. Segenap keluarga, artinya, penyuluh harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. Dalam hal ini, terkandung pengertianpengertian: a) Penyuluhan harus dapat mempengaruhi segenap anggota keluarga, b) Setiap anggota keluarga memiliki peran/pengaruh dalam setiap pengambilan keputusan, c) Penyuluhan harus mampu mengembangkan pemahaman bersama d) Penyuluhan mengajarkan pengelolaan keuangan keluarga e) Penyuluhan mendorong keseimbangan antara kebutuhan keluarga dan kebutuhan usahatani, f) Penyuluhan harus mampu mendidik anggota keluarga yang masih muda, g) Penyuluhan harus mengembangkan kegiatan-kegiatan keluar-ga, h) memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang menyangkut masalah sosial, ekonomi, maupun budaya i) Mengembangkan pelayanan keluarga terhadap masyarakat-nya. 12. Kepuasan, artinya, penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Adanya kepuasan, akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan selanjutnya. Terkait dengan pergeseran kebijakan pembangunan pertanian dari peningkatan produktivitas usahatani ke arah pengembangan agribisnis, dan di lain pihak seiring dengan terjadinya perubahan sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia, telah muncul pemikiran tentang prinsip-prinsip (Soedijanto, 2001): 1) Kesukarelaan, artinya, keterlibatan seseorang dalam kegiatan penyuluhan tidak boleh berlangsung karena adanya pemaksaan, melainkan harus dilandasi oleh kesadaran sendiri dan motivasinya untuk memperbaiki dan memecahkan masalah kehidupan yang dirasakannya. 2) Otonom, yaitu kemampuannya untuk mandiri atau melepaskan diri dari ketergantungan yang dimiliki oleh setiap individu, kelompok, maupun kelembagaan yang lain. 3) Keswadayaan, yaitu kemampuannya untuk merumuskan melak-sanakan kegiatan dengan penuh tanggung-jawab, tanpa menunggu atau mengharapkan dukungan pihak luar. 4) Partisipatip, yaitu keterlibatan semua stakeholders sejak peng-ambilan keputusan, perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, eva-luasi, dan pemanfaatan hasil-hasil kegiatannya.
5) Egaliter, yang menempatkan semua stakehoder dalam kedudukan yang setara, sejajar, tidak ada yang ditinggikan dan tidak ada yang merasa diirendahkan. 6) Demokrasi, yang memberikan hak kepada semua pihak untuk mengemukakan pendapatnya, dan saling menghargai pendapat maupun perbedaan di antara sesama stakeholders. 7) Keterbukaan, yang dilandasi kejujuran, saling percaya, dan saling mempedulikan 8) Kebersamaan, untuk saling berbagi rasa, saling membantu dan mengembangkan sinergisme. 9) Akuntabilitas, yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka untuk diawasi oleh siapapun. 10) Desentralisasi, yang memberi kewenangan kepada setiap daerah otonom (kabupaten dan kota) untuk mengoptimalkan sumberdaya pertanian bagi sebesar-besar kemakmuran masyarakat dan kesinambungan pembangunan. C. Etika Penyuluhan
Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal adalah “kegiatan penyuluhan” bukan lagi menjadi kegiatan sukarela, tetapi tela h berkembang menjadi “profesi”. Meskipun demikian, pelaksanaan penyuluhan pertanian belum sungguh-sungguh dilaksanakan secara profesional. Hal ini, terlihat pada:
1) Kemampuan penyuluh untuk melayani kliennya yang masih terpusat pada aspek teknis budidaya pertanian, sedang aspek manajemen, pendidikan kewirausahaan, dan hak-hak politik petani relatif tidak tersentuh. 2) Kelambanan transfer inovasi yang dilakukan penyuluh dibanding kecepatan inovasi yang ditawarkan kepada masyarakat oleh pe laku bisnis, LSM, media-masa dan stakeholder yang lain. 3) Kebanggaan penyuluh terhadap jabatan fungsional yang disan-dangnya yang lebih rendah dibanding harapannya untuk mem-peroleh kesempatan menyandang jabatan struktural. 4) Kinerja penyuluh yang lebih mementingkan pengumpulan “credit point” dibanding mutu layanannya kepada masyarakat 5) Persepsi yang rendah terhadap kinerja penyuluh yang dikemu-kakan oleh masyarakat petani dan stakeholder yang lain. Kenyataan-kenyataan seperti itu, sudah lama disadari oleh masyarakat penyuluhan pertanian di Indonesia, sehingga pada Kongres Penyuluhan Pertanian ke I pada tahun 1986 disepakati untuk merumuskan “Etika Penyuluhan” yang seharusnya dijadikan acuan perilaku penyuluh.. Pengertian tentang Etika, senantiasa merujuk kepada tata pergaulan yang khas atau ciri-ciri perilaku yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengasosiasikan diri, dan dapat merupakan sumber motivasi untuk berkarya dan
berprestasi bagi kelompok tertentu yang memilikinya. Etika bukanlah peraturan, tetapi lebih dekat kepada nilai-nilai moral untuk membangkitkan kesadaran untuk beriktikad baik dan jika dilupakan atau dilanggar akan berakibat kepada tercemarnya pribadi yang bersangkutan, kelompoknya, dan anggota kelompok yang lainnya (Muhamad, 1987). Sehubungan dengan itu, Herman Soewardi mengingatkan bahwa penyuluh harus mampu berperilaku agar masyarakat selalu memberi-kan dukungan yang tulus ikhlas terhadap kepentingan nasional. Tentang hal ini, Padmanegara (1987) mengemukakan beberapa perilaku yang perlu ditunjukkan atau diragakan oleh setiap penyuluh (pertanian), yang meliputi: 1) Perilaku sebagai manusia seutuhnya, yaitu manusia yang ber-iman kepada Tuhan Yang Maha Esa, jujur, dan disiplin. 2) Perilaku sebagai anggota masyarakat, yaitu mau menghormati adat/kebiasaan masyarakatnya, menghormati petani dan keluarga-nya (apapun keadaan dan status sosial ekonominya), dan meng-hormati sesama penyuluh. 3) Perilaku yang menunjukkan penampilannyaa sebagai penyuluh yang andal, yaitu: berkeyakinan kuat atas manfaat tugasnya, memiliki tanggungjawab yang besar untuk melaksanakan peker-jaannya, memiliki jiwa kerjasama yang tinggi, dan berkemam-puan untuk bekerja teratur. 4) Perilaku yang mencerminkan dinamika, yaitu ulet, daya mental dan semangat kerja yang tinggi, selalu berusaha mencerdaskaan diri, dan selalu berusaha meningkatkan kemampuannya.
DAFTAR PUSTAKA
http://akedudi.blogspot.com/2010/05/tinjauan-mata-kuliah-penyuluhan.html. Di akses pada tanggal 5 maret 2013. http://ahmadsyufri.blogspot.com/2011/10/falsafah-prinsip-dan-etika-penyuluhan.html. Di akses pada tanggal 5 maret 2013. http://www.scribd.com/doc/93212850/Falsafah-Prinsip-Dan-Etika-PenyuluhanPertanian. Di akses pada tanggal 5 maret 2013. http://lombokagriculture.wordpress.com/2011/02/08/filosofi-prinsip-dan-etikapenyuluhan-pertanian/. Di akses pada tanggal 5 maret 2013.