BAB III
FILSAFAT ILMU
Pada bab ini akan dibahas tentang pengertian filsafat ilmu pengetahuan
dan ilmu pengetahuan, serta persamaan dan perbedaan yang mendasar tentang
keduanya dengan filsafat. Selain itu juga akan dikaji tentang cara kerja
ilmu empiris yang sifatnya induktif, cara kerja ilmu deduktif dan ilmu-ilmu
kemanusiaan. Pengenalan tentang berbagai bentuk pengetahuan dan ilmu
pengetahuan sangatlah berguna terutama dalam menentukan dasar seseorang
dalam memasuki dunia ilmu pengetahuan atau dunia ilmiah.
3.1 PENGETAHUAN DAN ILMU PENGETAHUAN
3.1.1 Pengertian Pengetahuan
Bagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah
keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu
yang tampak konkret, nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat
kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan
diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya belum pernah
dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan
pengalaman indrawi sangat menentukan. Seseorang dapat membuktikan secara
indrawi, secara konkret, secara faktual, dan bahkan ada saksi yang
mengatakan, bahwa benda itu, misalnya kursi, memang benar ada dan berada di
ruang kerja seseorang. Dengan pembuktian secara indrawi: karena sentuhan,
penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen
yang menguatkannya, maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang
pengetahuan itu. Bagaimana sebenarnya pengetahuan berasal? Pengetahuan
muncul karena adanya gejala. Gejala-gejala yang melekat pada sesuatu
misalnya bercak-bercak merah pada kulit tubuh manusia, aroma bau tertentu
karena seseorang sedang membakar sate ayam, bau yang menyengat karena sudah
lama got itu tidak dibersihkan, semua gejala itu muncul dihadapan kita.
Kita harus "menangkap" gejala itu atas dasar pengamatan indrawi, observasi
yang cermat, secara empiris dan rasional. Pengetahuan yang lebih menekankan
adanya pengamatan dan pengalaman indrawi dikenal sebagai pengetahuan
empiris atau pengetahuan aposteriori. Selain telah mengenal adanya
pengetahuan yang bersifat empiris, maka pengetahuan empiris tersebut harus
dideskripsikan, sehingga kemudian kita mengenal adanya pengetahuan
deskriptif. Pengetahuan deskriptif muncul bila seseorang dapat melukiskan,
menggambarkan segala ciri, sifat, gejala yang nampak olehnya, dan
penggambaran tersebut atas dasar kebenaran (objektivitas) dari berbagai hal
yang diamatinya itu.
Pengalaman pribadi manusia tentang sesuatu dan terjadi berulang kali
juga dapat membentuk suatu pengetahuan baginya. Sebagai contoh, Ani merasa
bahwa ia akan terlambat kuliah di kampus (kuliah di mulai pukul 9 pagi)
apabila berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi, karena perjalanan ke kampus
membutuhkan waktu 2 jam. Selama ini ia sering terlambat masuk kuliah karena
berangkat dari rumah pukul 7.30 pagi. Untuk itu ia telah berpikir dan
memutuskan bahwa setiap hari ia harus berangkat pukul 6.30 agar tidak
terlambat di kampus. Contoh tersebut menunjukkan bahwa pemikiran manusia
atau kesadaran manusia dapat dianggap juga sebagai sumber pengetahuan dalam
upaya mencari pengetahuan. Selain pengamatan yang konkret atau empiris,
kekuatan akal budi sangatlah menunjang. Kekuatan akal budi yang kemudian
dikenal sebagai rasionalisme, (yaitu pandangan yang bertitik tolak pada
kekuatan akal budi) lebih menekankan adanya pengetahuan yang sifatnya
apriori, suatu pengetahuan yang tidak menekankan pada pengalaman.
Matematika dan logika adalah hasil dari akal budi, bukan dari pengalaman.
Sebagai contoh, dalam logika muncul pertanyaan: "jika benda A tidak ada,
maka dalam waktu yang bersamaan, benda itu, A tidak dapat hadir di sini",
dalam matematika, perhitungan 2+2=4, penjumlahan itu sebagai sesuatu yang
pasti dan sangat logis.
3.1.2 Pengertian Ilmu Pengetahuan
Sebuah pernyataan yang muncul dibenak setiap orang, sebenarnya ilmu
pengetahuan atau pengetahuan ilmiah itu apa? Apakah ada perbedaan antara
pengetahuan dengan ilmu pengetahuan? Untuk menjawab hal itu perlulah kita
mengulasnya dengan cermat. Ilmu pengetahuan muncul karena adanya pengalaman
manusia ketika ia mendapatkan pengetahuan tertentu melalui proses yang
khusus. Sebuah cerita tentang Newton, bagaimana ia menemukan teori
gravitasi dalam ilmu fisika bermula ketika ia merasakan sesuatu, yaitu apel
yang jatuh dan menimpa kepalanya saat sedang duduk di bawah pohon apel.
Pengalaman tentang sesuatu itulah yang menyebabkan orang kemudian berpikir
dan berpikir lebih lanjut tentang sebab peristiwa tersebut. Berkat
ketekunan, kesabaran, keingintahuan serta didukung dengan kepandaian dan
intelegensi yang memadai dan daya kreativitas yang tinggi seseorang dapat
menciptakan teori-teori atau hukum atau dalil dan teori-teori tersebut agar
dapat diterapkan bagi kepentingan umat manusia. Munculnya teknologi atau
hasil dari ilmu pengetahuan (berupa benda-benda di sekeliling manusia
seperti misalnya mobil, pesawat terbang, kereta api, komputer, telpon
selular, dan sebagainya), dari masa ke masa telah menunjukkan bahwa ilmu
pengetahuan memang mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Tetapi pengalaman yang bersifat indrawi belumlah cukup untuk
menghasilkan ilmu pengetahuan. Pengalaman indrawi tersebut harus mengalami
proses ilmiah yang lebih lanjut, dan hal ini dikenal sebagai proses
metodologis. Proses metodologis adalah suatu proses kerja di dalam kegiatan
ilmiah (misalnya dapat berada dalam suatu laboratorium) untuk mengolah
gejala-gejala pengetahuan dan bertujuan mendapatkan kebenaran dari gejala-
gejala tersebut. Untuk itulah di dalam setiap proses metodologis atau
proses kegiatan ilmiah, observasi atau pengamatan yang cermat terhadap
objek penelitian haruslah diperhatikan dengan benar. Pengamatan secara
empiris atau indrawi yang didukung dengan alat bantu tertentu seperti
misalnya mikroskop, tape recorder atau kuesioner sangat membantu bagi
seorang peneliti dalam mencari dan menemukan fakta penelitiannya. Hasil
dari ilmu pengetahuan yang mendasarkan pada pengamatan indrawi dan faktual
disebut sebagai ilmu pengetahuan empris. Ini berarti bahwa ilmu empiris
bergantung pada objek penelitian yang sangat konkret dan terlihat,
tersentuh, terdengar dan tercium oleh panca indra manusia. Di sisi lain,
ilmu pengetahuan haruslah dapat dilukiskan, digambarkan, diuraikan secara
tertulis tentang segala ciri-ciri, sifat maupun bentuk dari gejala-
gejalanya, dan ilmu pengetahuan semacam itu disebut sebagai ilmu
pengetahuan deskriptif. Contoh ilmu empiris adalah antara lain: ilmu
kedokteran, antropologi, arkeologi, ilmu teknik, biologi, ilmu kimia, ilmu
fisika, sedang contoh ilmu deskriptif adalah antara lain: ilmu filsafat,
susastra, ilmu kedokteran, biologi, ilmu keperawatan, sosiologi,
antropologi, dan sebagainya.
Bagi seorang ilmuwan lingkup ilmiah sangat mendukung dalam proses
penelitiannya. Lingkup ilmiah tersebut haruslah sangat dikenal dan
diakrabinya. Ia harus mengenal tentang langkah-langkah dalam kegiatan
penelitiannya atau istilah teknis dalam kegiatan penelitian. Ia harus dapat
berpikir logis, runtut dalam setiap langkah ataupun tahapan dalam setiap
penelitiannya. Tahapan penelitian atau cara kerja ilmiah lazimnya dilalui
dengan proses penalaran yang meliputi , misalnya :
a). Observasi yaitu pengamatan terhadap objek penelitian yang sifatnya
konkret seperti manusia, bangunan, monumen, tumbuh-tumbuhan, penyakit dan
sebagainya dan objek penelitian tersebut merupakan fenomena bagi
penelitian seseorang atau peneliti.
b). Fakta yaitu suatu realitas yang dihadapi seorang peneliti, sesuatu yang
saya lihat atau sesuatu tentang apa yang terjadi yang berkaitan dengan
gejala dalam fenomena seseorang.
c). Data yaitu hasil atau sejumlah besaran atau kuantitas yang berasal dari
fakta yang telah ditemukan oleh si peneliti. Di dalam data inilah seorang
peneliti telah menemukan gejala yang lebih bersifat kuantitatif dan
konkret/faktual dari objek penelitiannya, misalnya jumlah rumah sakit
swasta yang ada di DKI Jakarta ada 30 buah; penderita diabetes mellitus
pada Puskesmas Rawamangun pada bulan Maret 2006 berjumlah 10 orang, dan
sebagainya.
d). Konsep merupakan pengertian atau pemahaman tentang sesuatu (yang
berasal dari fakta), dan pemahaman itu berada pada akal budi atau rasio
manusia. Konsep selalu dipikirkan oleh manusia, dan oleh karenanya
menjadi pemikiran manusia. Bagi seseorang atau peneliti yang memiliki
konsep tertentu atau konsep tentang sesuatu maka konsep tersebut harus
dituliskan agar dapat dipahami oleh orang lain.
e) Klasifikasi atau penggolongan atau kategori adalah mengelompokkan gejala
atau data penelitian ke dalam kelas-kelas atau penggolongan ataupun
kategori atas dasar kriteria-kriteria tertentu. Syarat klasifikasi atau
penggolongan ataupun kategori haruslah memiliki ciri, sifat yang homogen
atau sama. Apabila ciri, sifat dari gejala itu tidak sama, maka
klasifikasi dari suatu gejala atau data penelitian tersebut tidak
menunjukkan kadar ilmiah yang benar.
f) Definisi yaitu merumuskan tentang sesuatu atau apa yang disebut
(definiendum) dengan perumusan tertentu atau apa yang dinamakan
(definiens). Definisi membantu seorang peneliti atau ilmuwan untuk
merumuskan tentang sesuatu/ hal itu agar orang lain lebih mudah memahami
perumusan tersebut. Untuk itu ada beberapa jenis definisi yang dijelaskan
sebagai berikut :
(1). Definisi etimologis yaitu menjelaskan sesuatu atas dasar asal
katanya. Misalnya kata biologi berasal dari bahasa Yunani (bios dan
logos), yang artinya ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup
(2). Definisi stipulatif adalah merumuskan sesuatu atau istilah tertentu
yang akan digunakan untuk masa depan. Pengertian masa depan adalah
suatu pengerti-an yang diarahkan pada kegiatan seminar, ceramah, isi
buku dan dalam kegiatan ilmiah tertentu istilah-istilah yang baru
dimunculkan.
(3). Definisi deskriptif merumuskan tentang sesuatu atas dasar sejarah,
ciri, sifat, kriteria-kriteria yang ada pada sesuatu atau gejala-
gejala itu.
(4). Definisi operasional merumuskan tentang pelaksanaan atau cara kerja
dari fungsi dan peran gejala, alat atau benda tertentu. Definisi
operasional lazim digunakan dalam ilmu teknik, ilmu pengetahuan
kealaman.
(5). Definisi persuasif merumuskan sesuatu dengan tujuan agar rumusan
tersebut dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Definisi persuasif
sering dipakai dalam kegiatan periklanan yang ditayangkan dalam media
elektronik maupun media cetak, kegiatan kampanye politik dan
sebagainya.
Definisi yang telah disebutkan di atas ternyata harus dipahami bahwa
setiap perumusan definisi selalu menggunakan pernyataan bahasa. Bagi ilmu
pengetahuan maka bahasa memegang peran penting, karena dapat
mengungkapkan segala kegiatan penelitian seorang ilmuwan baik itu secara
lisan maupun tertulis. Terutama dalah bahasa tulisan, maka bahasa ilmiah
(bahasa ilmu) yaitu bahasa yang digunakan seorang ilmuwan dalam
penelitiannya sangatlah penting karena segala upaya pembenaran
metodologisnya berada di dalamnya seperti penjelasan dalam perumusan
hipotesa, konsep, definisi, teori dan sebagainya.
Langkah proses penalaran pada penelitian berikutnya yaitu:
g). Hipotesa adalah suatu ramalan atau prediksi dalam kegiatan penelitian
yang harus dibuktikan kebenarannya. Dalam hipotesa tersebut, perumusan
masalah sangatlah penting. Seorang peneliti harus mampu merumuskan
permasalaan penelitian dengan cermat dan teliti. Dan atas dasar hipotesa
tersebut, maka ilmuwan atau peneliti akan menganalisanya lebih lanjut.
h). Teori adalah hubungan yang sedemikian rupa antara gejala satu dengan
gejala lainnya dan hubungan tersebut telah dibuktikan kebenarannya.
Sebenarnya, teori yang telah teruji kebenarannya berasal dari hipotesa
yang telah ada (yang sebenarnya berasal dari kerja keras si ilmuwan,
usaha yang tak mengenal lelah dan selalu melakukan trial dan error, uji
coba dan pada akhirnya si ilmuwan itu membuahkan hasil teori yang sahih).
3.1.3 Cara Kerja Ilmu Empiris
a). Pengertian Ilmu Empiris
Ilmu Empiris adalah ilmu yang bertitik tolak pada pengalaman indrawi.
Pengalaman indrawi diartikan sebagai sentuhan, penglihatan, penciuman,
pengecapan seseorang terhadap sesuatu yang diamatinya. Dengan demikian
pengalaman indrawi dari seorang ilmuwan berkaitan dengan objek penelitian
yang sifatnya sangat konkret, faktual. Dalam pengamatan atau observasi
terhadap objek tersebut, seorang peneliti atau ilmuwan atau mahasiswa dapat
menggunakan sarana untuk menunjang pengamatannya itu. Sarana itu dapat
berupa alat-alat seperti mikroskop, teleskop, thermometer, neraca ataupun
alat-alat pengukur lainnya. Tujuan pengamatan untuk memperoleh ataupun
menangkap semua gejala terhadap semua objek yang diamatinya serta
menjelaskan dengan benar. Hasil dari pengamatan itu berupa data awal yang
harus dicatat dengan cermat, yang kelak akan sangat berguna bagi analisis
sebuah penelitian.
b). Objek Ilmu Empiris
Ilmu empiris memiliki objek yang dapat dibedakan dari dua aspek, yaitu
objek materi dan objek formal. Objek materi berupa apa saja yang dapat
dimati oleh manusia, seperti alam semesta, mahluk hidup di dunia ini, dan
manusia. Objek forma adalah pokok perhatian seseorang terhadap sesuatu yang
menjadi minatnya yang sangat khusus. Objek forma atau aspek yang khusus
dalam ilmu empiris dapat berupa misalnya minat yang sangat tinggi tentang
kesehatan manusia, tentang pertumbuhan dan perkembangan dari tumbuh-
tumbuhan, dari hewan, serta adat istiadat suatu bangsa/masyarakat tertentu.
Dari hasil objek forma yang beraneka ragam itulah memunculkan ilmu-ilmu
tertentu yang sifatnya empiris, misalnya ilmu kedokteran, biologi, ilmu
teknik, botani, zoologi, antropologi, ilmu sosial.
c). Pendekatan atau Metode Ilmu Empiris
Pendekatan atau metode merupakan cara seorang ilmuwan atau peneliti
atau mahasiswa mendapatkan data saat ia sedang melakukan pengamatan.
Lazimnya di dalam ilmu empiris seorang ilmuwan atau mahasiswa menggunakan
pendekatan atau metode induktif. Metode induktif adalah sebuah metode yang
digunakan dalam ilmu empiris yang mencoba menarik kesimpulan dari penalaran
yang bersifat khusus untuk sampai pada penalaran yang umum sifatnya. Pada
penalaran yang sifatnya khusus itu, seorang pengamat akan mengamati
beberapa hal atau sesuatu yang memiliki ciri-ciri yang khusus. Sebagai
contoh, saat Toby melihat buah jeruk yang diletakkan di dalam sebuah
keranjang, ia melihat bahwa keduapuluh jeruk itu berwarna kuning dan
bentuknya bulat. Atas dasar itulah Toby menyimpulkan bahwa jeruk (yang
berjumlah 20) yang berada di dalam keranjang semuanya berwarna kuning dan
bentuknya bulat. Metode induksi berguna bagi ilmu empiris karena
mendasarkan pada pengamatan faktual dan dipakai sebagai landasan berpijak
pada ilmu empiris.
3.1.4 Cara Kerja Ilmu-ilmu Deduktif
a). Pengertian Ilmu Deduktif
Ilmu deduktif adalah ilmu pengetahuan yang membuktikan kebenaran
ilmiahnya melalui penjabaran-penjabaran (=deduksi). Berbeda dengan ilmu
empiris yang mendasarkan atas pengalaman indrawi, maka penjabaran-
penjabaran itu melalui penalaran yang berdasarkan hukum-hukum serta norma-
norma yang bersifat logis. Dari hukum-hukum serta norma-norma logis
memunculkan suatu penalaran yang mencoba membuktikan sesuatu atas dasar
perhitungan yang sangat pasti. Dengan demikian dalam ilmu deduktif terdapat
suatu penalaran yang diperoleh dari kesimpulan yang bersifat umum untuk
menuju ke penalaran yang bersifat khusus.
Ilmu-ilmu deduktif dikenal sebagai ilmu matematik. Penalaran yang
deduktif diperoleh dari penjabaran dalil-dalil, atau rumus-rumus yang tidak
dibuktikan kebenarannya melalui penyelidikan empiris, melainkan melalui
penjabaran dalil-dalil yang telah ada sebelumnya. Suatu dalil atau rumus
mate-matika dibuktikan kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang telah ada
atau dalil lain, berdasarkan suatu perhitungan/hitung-menghitung, ukur-
mengukur, timbang-menimbang, bukan atas dasar observasi. Dalam membuktikan
kebenaran itulah kita mengenal adanya, pada awalnya aritmatika, matematika,
goniometri, ilmu ukur dan sebagainya. Asas matematika hanya mengenal
"logika dua nilai" ("two value logic") yaitu benar dan tidak benar (salah).
Contoh yang sederhana adal dua ditambah dua adalah empat. Itu berarti
penjumlahan tersebut memiliki nilai benar. Apabila kita mengatakan bahwa
tiga dikalikan empat hasilnya lima belas, maka hasil itu dikatakan tidak
benar (salah).
b). Objek Ilmu Deduktif
Objek pada ilmu deduktif adalah angka atau bilangan yang mungkin
jumlahnya satu atau lebih dari satu, yang kemudian dikenal dengan himpunan
atau semacam deret. Objek tersebut sebenarnya sebagai sebuah lambang atau
simbol yang digunakan sebagai relasi antar objek. Kita mengenal angka
romawi (I, II, IV dan seterusnya) atau angka-angka yang lazim dikenal
sebagai : 1, 2, 3, dan seterusnya, dan semuanya itu merupakan sebuah simbol
atau lambang yang telah dikenal dan diakrabi oleh kita semua. Selain itu
dikenal juga simbol dalam bentuk lain seperti: +, -, >, <, (, % dan
sebagainya. Pemakaian simbol-simbol dalam ilmu deduktif berguna agar
validitas atau keabsahan dari pembuktian penjabaran-penjabaran dalil atau
axioma atau rumus terbukti tidak salah dan dianggap benar.
3.1.5 Cara Kerja Ilmu-ilmu Empiris Yang Lebih Khusus: Ilmu Alam, Ilmu
Hayat dan Ilmu-Ilmu Tentang Manusia
a). Cara Kerja Ilmu Alam
1) Pengertian Tentang Ilmu Alam
Ilmu alam adalah ilmu yang membahas tentang gejala-gejala alam (gejala
alam yang tidak hidup). Sifat ilmu alam adalah empiris, artinya gejala alam
itu dianggap sebagai fenomena yang dapat dibuktikan secara indrawi, dan
konkret. Contoh Ilmu-ilmu alam adalah geologi, astronomi, hidrologi, ilmu
kimia, fisika, meteorologi, geodesi.
2) Sifat Ilmu Alam
Adanya praanggapan bahwa ada hukum alam, yang dapat dikenakan pada
seluruh gejala alam. Sifat hukum alam memiliki ciri kuantitatif, suatu ciri
yang melekat pada gejala alam yang muncul di masa lalu maupun di masa yang
akan datang. Ciri kuantitatif merujuk pada kenyataan bahwa gejala alam
memiliki besaran tertentu dan karenanya dapat dihitung, diukur secara
matematis. Selain itu hukum alam memiliki sifat mekanistis, yaitu sifat
keteraturan yang melekat pada gejala alam dan sifat keteraturan itu
berjalan secara berkala serta memiliki siklus tertentu.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Alam
Pertama, melalui metode observasi atau pengamatan melalui panca indra
manusia serta didukung oleh alat tertentu, alat yang dioperasionalkan untuk
menunjang pengamatan tersebut. Kedua, metode deskripsi yang bertujuan untuk
melukiskan, menggambarkan tentang gejala alam serta interaksi di antara
gejala-gejala alam tersebut. Ketiga, metode erklaeren atau metode
eksplanasi, adalah metode untuk menerangkan tentang berbagai hubungan
gejala alam itu satu dengan yang lainnya. Keempat, metode kausalitas, yaitu
metode yang mencoba menjelaskan gejala alam atas dasar hubungan sebab
akibat.
b). Cara Kerja Ilmu Hayat
1) Pengertian Ilmu Hayat
Ilmu hayat adalah ilmu pengetahuan yang membahas gejala alam yang
bersifat hidup, atau memiliki sifat kehidupan. Sifat ilmu hayat adalah
empiris, artinya gejala alam yang dianggap hidup dapat diamati secara
indrawi atau faktual, nyata. Contoh pada ilmu hayat adalah ilmu tumbuh-
tumbuhan, ilmu hewan (zoologi)
2) Sifat Ilmu Hayat
Ilmu hayat memiliki organ-organ yang dapat tumbuh, mati, berkembang
biak. Setiap organ dapat memiliki sel, jaringan yang membentuk suatu sistem
yang memiliki nama, fungsi, peran/tugas, kegunaan serta tujuan tertentu.
Sebagai suatu sistem yang baik, maka setiap organ itu memiliki daya-daya
hidup saling melengkapi, saling menunjang sehingga sistem itu berjalan
dengan sempurna.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Hayat
Pertama, metode kausal yang berguna untuk melihat hubungan sebab
akibat yang berasal dari hubungan atau interaksi antar organ. Di dalam
hubungan kausalitas itu sebenarnya terdapat semacam "informasi" di antara
masing-masing organ, sehingga memungkinkan organ itu berproses swakendali
atau disebut sebagai proses sibernetik. Proses sibernatik merupakan proses
yang dikendalikan oleh adanya informasi umpan balik dari organ-organ yang
berjalan secara teratur (mekanistis). Proses umpan balik tersebut diartikan
sebagai hubungan timbal balik di antara organisme. Sebagai contoh, daun
mangga ketika masih tunas (kecil) berwarna hijau muda, ketika tumbuh
menjadi lebih besar berwarna hijau tua, dan ketika daun itu mati berwarna
kekuningan dan setelah mengering, maka daun itu gugur. Selama pohon mangga
itu masih hidup, maka terulang proses pertumbuhan daun itu. dari tunas daun
hingga daun berwarna hijau tua kemudian kekuningan dan proses tersebut
disebut sebagai proses sibernetik (proses swakendali), Sementara itu karena
adanya asupan informasi masing-masing organisme melalui sel fotografik maka
proses itu dapat berjalan dan berlangsung secara teratur dan berkala.
Kedua, metode mekanistis, yaitu metode yang memunculkan adanya
keteraturan tentang sistem yang berlaku pada gejala atau daya-daya hidup
dari organisme. Metode mekanistis memiliki tujuan tertentu yang disebut
sebagai tujuan finalis (tujuan akhir) agar sistem organisme berjalan dengan
sempurna.
Ketiga, metode genetik, yaitu metode yang mengkaji tentang penelusuran
secara historis bagaimana terjadinya sebuah organ, sel ataupun jaringan
tertentu.
Keempat, metode fungsional, yaitu metode yang melihat bahwa masing-
masing organisme itu memiliki fungsi tertentu yang memungkinkan sistem
organ itu berjalan dengan teratur dan baik.
c). Cara Kerja Ilmu-ilmu Kemanusian
1) Pengertian Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Ilmu-ilmu kemanusiaan adalah ilmu yang mengkaji masalah kemanusiaan
seperti masalah: budaya, sosial, politik, ekonomi, yang terdapat pada
masyarakat. Ilmu-ilmu kemanusiaan memiliki objek kajian yang diamati secara
empiris dan objek itu dianggap kongkret karena masalah kemanusiaan itu
memiliki objek yang khusus yaitu manusia atau masyarakat tertentu. Contoh
ilmu-ilmu kemanusiaan adalah antropologi, ilmu susastra, ilmu arkeologi,
ilmu sejarah, ilmu sosial, ilmu ekonomi.
2) Sifat Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Sifat yang paling menonjol pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah objeknya
berkaitan dengan manusia yang memiliki tindakan bermakna (meaningfull
action). Di dalam tindakan (perilaku) bermakna manusia atau seseorang
manghasilkan karya-karya tertantu misalnya karya sastra seperti Romeo dan
Juliet karya William Shakespeare dari Inggris, karya seni seperti tari
Pendet, lukisan yang termashur yaitu Monalisa karya Michelangelo. Untuk
itulah apabila ingin mengkaji ilmu-ilmu kemanusiaan dengan lebih mendalam
haruslah digunakan metode yang tepat, agar objektivitas dan kebenaran
ilmiahnya dapat terungkap dengan benar dan sahih.
3) Pendekatan atau Metode Ilmu-ilmu Kemanusiaan
Metode yang sangat mendasar pada ilmu-ilmu kemanusiaan adalah metode
pemahaman (methode verstehen). Metode pemahaman digunakan untuk memahami,
meyakini tindakan-tindakan manusia ketika ia melakukan suatu karya seni
ataupun terlibat dalam peristiwa sejarah, misalnya jatuhnya pemerintahan
Orde Baru di Indonesia pada tahun 1998. Di dalam metode pemahaman digunakan
metode wawancara mendalam (depth intervieuw), yang bertujuan untuk memahami
dengan lebih baik dan mendalam tentang para pelaku budaya yang terlibat,
misalnya pada peristiwa sejarah ataupun saat membuat karya seni. Metode
yang lain adalah metode deskripsi, yaitu metode yang digunakan oleh para
peneliti untuk mencatat, melukiskan dan menggambarkan tentang seluruh sifat
dan karakteristik dari objek penelitiannya.
Pada awalnya ilmu-ilmu kemanusiaan hanya menggunakan metode
kualitatif, yaitu metode yang bertitik tolak pada nilai-nilai (value)
kemanusiaan (nilai moral, nilai budaya, nilai agama, nilai
estetis/keindahan, dan sebagainya) dalam menganalisis data penelitiannya.
Tetapi dengan perkembangan dan demi kemajuan ilmu itu, maka ilmu-ilmu
kemanusiaan di awal abad XX dan sampai saat ini telah menggabungkan metode
statistik ke dalam penelitiannya. Sebagai contoh, di dalam penelitian pada
psikologi, ilmu sosial, serta ilmu ekonomi, mereka telah menggunakan metode
statistik dalam mengolah data penelitiannya.
3.2 REVOLUSI ILMU PENGETAHUAN
Apa yang hendak kita ketahui tentang revolusi ilmu pengetahuan? Apakah
revolusi semacam itu memiliki kegunaan bagi kita? Sebenarnya revolusi macam
apakah itu? Jawaban ini membutuhkan penjelasan yang cukup cermat. Revolusi
ilmu pengetahuan muncul di Eropa sekitar Abad XVII. Pada masa itu Eropa
dilanda krisis kehidupan yang cukup berat.
Banyaknya pengangguran, kehidupan perekonomian yang tidak
menguntungkan sebagian rakyat jelata dan kehidupan kenegaraan feodalisme
yang sangat materialistis kapitalis menumbuhkan berbagai gejolak pada
bangsa Eropa. Berbagai revolusi ditemui dalam sejarah perjalanan bangsa
Eropa, seperti Revolusi Industri, Revolusi Pertanian, Revolusi Perancis,
serta Revolusi Ilmu Pengetahuan.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah suatu revolusi yang terjadi di Eropa
pada abad XVII. Revolusi itu menandai bangkitnya kelompok intelektual
bangsa Eropa mengenai cara berpikir keilmiahan. Sebenarnya apa arti
revolusi ilmu pengetahuan itu bagi kita sekarang? Yang diartikan sebagai
reolusi ilmu pengetahuan adalah sebuah revolusi tentang perubahan cara
berpikir serta persepsi manusia dalam mendapatkan pengetahuan bagi dirinya.
Perubahan persepsi manusia tersebut adalah tentang bagaimana cara berada
sebuah objek yang menjadi pokok perhatian dalam kegiatan ilmiahnya. Sebuah
objek (misalnya benda) dalam penelitian haruslah berada dan tampil di depan
seorang mahasiswa atau peneliti secara nyata, konkret. Benda tersebut
tampil secara konkret karena adanya persentuhan indrawi si peneliti atau
mahasiswa terhadap benda tersebut. Selain itu benda tersebut dapat diukur
dan terukur secara matematis, sehingga orang dapat mengamati tentang berat,
gerak, atau perubahan yang terjadi pada benda tersebut.
Revolusi ilmu pengetahuan adalah perubahan cara berpikir masyarakat
intelektual Eropa dari cara berpikir yang ontologis ke cara berpikir
matematis mekanistis. Cara berpikir ontologis adalah warisan yang
ditinggalkan bangsa Eropa ketika Abad atau Masa Pertengahan (Middle Ages)
diberlakukan hukum agama bagi segala-galanya, termasuk kegiatan ilmu
pengetahuan. Dunia yang dialami manusia beserta pengetahuan yang
dimilikinya merupakan keberadaan secara apa adanya (natura), alamiah yang
memang itu milik manusia. Keadaan itu berlangsung cukup lama, hingga muncul
Abad Renaissance yang mengubah segalanya. Manusia tidak lagi menjadi citra
Tuhan, tetapi manusia memiliki rasio atau kesadaran manusia (akal budi)
serta kreativitas keinginan untuk maju, memperbaiki kebudayaan manusia.
Dunia manusia dan pengetahuannya adalah dunia antroposentris, dunia
yang terpusat pada "kekuataan" akal budi manusia. Pada masa Renaissance
dibangun kejayaan bangsa Eropa, yaitu mulai dipelajarinya pengetahuan yang
berlandaskan rasionalitas dan empiristis. Berbagai peninggalan bangunan,
yang megah seperti karya seni (seni lukis, pahat dan arsitektur) yang
berada di daratan Eropa menandai bangkitnya bangsa Eropa untuk menguasai
dunia seni maupun ilmu pengetahuan. Tokoh-tokoh pembaharu Humanis
Renaissance, seperti Leonardo da Vinci, Michelangelo. N. Copernicus, J.
Keppler dan Galileo Galilei sangatlah termashur dengan karya-karya seni dan
penemuan dalam bidang ilmu pengetahuan. Fenomena alam, sosial budaya
dipelajari, diamati secara cermat untuk kemudian dimanfaatkannya. Dari
upaya yang cukup lama dan tak kenal lelah, maka berkembanglah ilmu-ilmu
pengetahuan kealaman seperti fisika, ilmu kimia, kedokteran dan itu
berkembang hingga ke Abad Aufklaerung (Abad Pencerahan), abad XVIII.
Perintis ilmu fisika adalah Sir Isaac Newton yang mendasarkan fisika klasik
dengan bukunya "Philosophiae Naturalis Principia Mathematica" - "Ilmu
Pengetahuan Alam berdasarkan prinsip-prinsip matematis". Sejak itulah ilmu
pengetahuan berkembang pesat dengan pendekatan matematis yang diterapkan
dalam kajiannya.
Cara berpikir matematis mekanistis dalam revolusi ilmu pengetahuan
yang dipelopori oleh Newton menjadi semacam "gaya" para intelektual untuk
membuat analisis dalam penelitiannya. Pengamatan terhadap alam disekeliling
para ilmuwan dilihat sebagai sesuatu yang dapat diukur, benda dianggap
memiliki kriteria tertentu (berat, luas, isi dan sebagainya.). Dengan
pengamatan semacam itulah, maka berbagai pendekatan terhadap cara kerja
ilmu pengetahuan dikembangkan. Pendekatan yang bersifat kausalitas (hukum
sebab akibat) sangat mewamai cara kerja ilmu pengetahuan. Benda atau
sesuatu memiliki sifat seperti alam semesta, terstruktur, sehingga
keteraturan hukum alam, atau sifat mekanistis itu menjadi fokus dalam cara
kerja ilmu. Cara kerja ilmiah didukung dengan percobaan atau eksperimen
yang selalu berusaha menyempurnakan hasil percobaannya itu melalui usaha
trial and error – uji coba. Dalam laboratorium percobaan itu didukung juga
dengan sebuah "model", suatu tiruan dari objek yang sesungguhnya, yang
kemudian dijadikan sebagai objek penelitian. Dengan model itu para peneliti
dapat menganalisis dan mengembangkan penelitiannya dengan lebih sempurna.
Akibat dari "perjalanan" dan proses revolusi ilmu pengeta-huan,
memunculkan adanya nilai-nilai dasar yang tampil pada perubahan cara
berpikir manusianya. Nilai-nilai dasar itu, pertama nilai alam. Alam
semesta memiliki tata susunan yang berada pada hukum alam dan kosmos adalah
sesuatu yang dianggap memiliki struktur tertentu. Kedua, nilai budaya.
Kemajuan manusia ditandai dengan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan yang
dapat digunakan untuk memajukan kebudayaan manusia. Dengan kemajuan manusia
terutama dalam cara berpikir yang antroposentris, manusia mampu mengubah
kebudayaannya dan teknologinya menjadi sesuatu yang sangat berarti dan
bermakna bagi kehidupan manusia melalui proses belajar. Ketiga, nilai
ekonomi. Nilai ini tercipta karena para pelaku revolusi ilmu pengetahuan
memiliki semangat kerja yang tinggi. Para ilmuwan mulai menciptakan
teknologi yang tepat guna bagi kebutuhan masyarakat, sehingga diciptakan
mesin untuk mengisi kebutuhan kehidupan manusia dalam berbagai sektor
industri. Pada awalnya industri mula-mula berasal dari kerja rumahan
(industri rumahan) hingga ke industri pabrikasi. Hasil atau barang yang
diciptakan berkat adanya mesin-mesin (industri pabrikasi) tersebut dan
mampu menembus pasaran dengan daya jual yang tinggi. Dengan demikian
tercipta adanya nilai ekonomis yang menuntut kemandirian, tanggung jawab
serta kerjasama diantara para pelaku tersebut agar nilai ekonomis dapat
dimanfaatkan tidak hanya bagi sekelompok orang saja tapi seluruh
masyarakat.
3.3 PENGERTIAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
3.3.1 Kedudukan Filsafat Ilmu
Filsafat Ilmu atau Filsafat Ilmu Pengetahuan berasal dari tradisi
Filsafat Barat. Sejak sekitar abad XIX dan diper-kenalkan oleh sekelompok
ahli ilmu pengetahuan kealaman yang berasal dari universitas Wina, maka
Filsafat Ilmu menjadi mata ajaran dari universitas tersebut. Para ahli ilmu
pengetahuan kealaman yang berasal dari berbagai disiplin ilmu (ilmu kimia,
fisika, matematika) antara lain Morits Schlick, Hans Hahn, Hans Reichenbach
memberikan sumbangan yang besar dalam awal perkembangan filsafat ilmu.
Mereka itu, dan dipelopori oleh Moritz Schlick tergabung dalam kelompok
diskusi ilmiah, yang kemudian dikenal sebagai "Lingkaran Wina" (Viena
Circle). Kelompok atau lingkaran Wina menginginkan bahwa di dalam ilmu
pengetahuan terdapat unsur pemersatu. Unsur pemersatu haruslah bertitik
tolak pada bahasa ilmiah dan cara kerja ilmiah yang pasti dan logis.
Kelompok Wina menyebutnya unsur pemersatu sebagai ilmu yang terpadu
(unified sciences).
Pada saat ini, filsafat ilmu menjadi sangat berkembang, menjadi kajian
filsafat ilmu yang lebih modern. Beberapa bidang keilmuan sangat
membutuhkan tentang proses kerja ilmiah yang relevan dengan pokok perhatian
atau fokus yang lebih spesifik. Salah satu contoh, adalah munculnya kajian
tentang filsafat ilmu kedokteran, filsafat ilmu sosial. Dalam kajian
tersebut fokus filsafat ilmu diarahkan pada bagaimana ciri dan cara kerja
kegiatan ilmiah diterapkan pada persoalan manusia dan kesehatan atau
kehidupan manusia dalam kehidupan sosial serta interaksi dengan masyarakat.
Secara historis, filsafat ilmu telah diperkenalkan oleh bangsa Yunani,
diawali oleh filsuf Aristoteles (abad VI seb.M). Dan dalam tradisi filsafat
Barat telah dikenal pula adanya pembidangan dalam filsafat yang menyangkut
tema-tema tertentu. Tema-tema besar itu berupa ontologi, epistemologi dan
aksiologi. Tema ontologi berbicara tentang problem "Ada", yaitu tema yang
membahas masalah keberadaan tentang sesuatu, misalnya keberadaan mahluk
hidup, alam semesta, yang semuanya itu merupakan keberadaan yang dapat
ditangkap dan dibedakan secara empiris. Sisi lain terdapat keberadaan
sesuatu yang tidak dapat ditangkap dan hadir secara empiris, atau konkret,
yaitu metafisika. Metafisika (meta: di belakang, fisika: sesuatu yang
konkret) adalah sebagai sesuatu yang mengkaji tentang berbagai hal seperti
gagasan, idea, ataupun konsep. Gagasan ataupun konsep itu sebagai semacam
prinsip yang muncul atas dasar penalaran manusia. Prinsip itu sendiri
memang tidak dapat dibuktikan secara empiris, tetapi orang akan mengenal
prinsip tersebut apabila diaktualisasikan melalui sebuah tulisan. Sebagai
contoh, gagasan Einstein tidak akan dikenal luas oleh masyarakat ilmuwan,
apabila Einstein tidak membuktikan gagasannya tanpa menuliskan gagasannya
itu melalui berbagai penelitiannya yang tidak kenal lelah secara trial
error (uji coba) yang kemudian dikenal sebagai teori relativitas.
Tema kedua, epistemologi yaitu tema yang mengkaji tentang pengetahuan
(episteme adalah pengetahuan). Dalam pembahasan tentang epistemologi
(pengetahuan) dibahas berbagai hal seperti batas pengetahuan, sumber
pengetahuan, serta kriteria tentang kebenaran. Batas pengetahuan adalah
pengalaman manusia dalam mengkaji sesuatu yang menjadi minat penelitiannya.
Oleh karena itulah setiap ilmu pengetahuan, misalnya ilmu kedokteran dengan
psikologi sangat berbeda, karena masing-masing ilmu memiliki ruang lingkup
tersendiri (objek forma yang berbeda). llmu kedokteran membahas tentang
masalah kesehatan manusia yang berkaitan dengan penyakit tertentu sedang
psikologi membahas perilaku manusia dari aspek kejiwaannya. Sumber
pengetahuan manusia adalah akal budinya. Dengan akal budinya manusia mampu
untuk berpikir tentang sesuatu, memikirkan gagasan untuk menciptakan karya-
karya seni ataupun teknologi, dengan akal budinya pula manusia dapat
belajar, berhubungan dengan orang lain, mampu berdialog tentang apa saja
dengan siapa saja. Sedang kriteria kebenaran sebagai upaya pencarian
objektivitas terhadap pengenalan manusia yang bersifat empiris. Apa yang
dilihat, misalnya sebuah kursi, maka kursi itu haruslah sesuai dengan
kriteria kursi: memiliki kaki empat, sandaran, alas duduk, terbuat dari
kayu. Atas dasar itulah maka objektivitas sebuah benda yang diamati
memiliki kebenaran.
Tema ketiga, aksiologi, yaitu tema yang membahas tentang masalah nilai
atau norma yang berlaku pada kehidupan manusia. Nilai diartikan sebagai
sebuah penilaian tentang apa yang telah dilakukan oleh manusia dalam
kaitannya dengan relasi manusia, baik atau buruknya tindakan manusia. Nilai
(value) muncul dalam kehidupan manusia dalam bentuk sebagai nilai yang
berada dalam sistem kemanusiaan seseorang, misalnya nilai moral/nilai etis,
nilai budaya, nilai keagamaan / religius, nilai keindahan. Sebagai contoh,
Tedy memiliki nilai moral yang tinggi, karena ia bekerja sebagai seorang
arsitek di sebuah perusahaan kontraktor bangunan "Indah Selalu" dengan
penuh tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi terhadap tugasnya. Ia tidak
suka memfitnah ataupun menjelek-jelek teman sejawatnya dihadapan atasannya,
agar supaya ia dapat menjadi orang kepercayaannya.
Dari uraian yang telah dijelaskan di atas, maka sampailah kita pada
pemetaan atau kedudukan filsafat ilmu apabila ia diletakkan pada lingkup
ilmu filsafat. Agaknya lingkup epistemologi menjadi tempat yang tepat bagi
filsafat ilmu.
Filsafat ilmu membahas tentang persoalan ilmu pengetahuan dengan
berbagai problematisnya, terutama yang berkaitan dengan metodologis atau
pembenaran ilmiah. Dengan kata lain, ciri keilmiahan suatu ilmu pengetahuan
dengan cara kerja ilmiah menjadi bahan yang dikaji dalam filsafat ilmu.
Sedang epistemologi membahas tentang batas, sumber dan kebenaran
pengetahuan, yang semuanya itu memerlukan kajian yang bersifat rasional.
Demikian juga filsafat ilmu mengkaji ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan
berlandaskan rasionalitas atau akal budi manusia. Ini berarti bahwa
jembatan rasionalitas menjadi media bagi filsafat ilmu dengan aspek
epistemologi untuk menemukan kebenaran ilmiah atau validitas ilmu
pengetahuan.
3.3.2 Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Filsafat Ilmu
Tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah (1) seseorang (peneliti,
mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara
kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis. (2)
seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah
dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu
budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu
sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut
seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah,
kehidupan sosial politik dan sebagainya. (3) Seseorang (peneliti,
mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah
(penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh
bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung
jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalah
euthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan problematik,
penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas
kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah.
3.3.3 Cara Kerja dan Problema Filsafat Ilmu
Cara kerja filsafat ilmu haruslah dimulai dengan suatu anggapan bahwa
setiap ilmu pengetahuan dianggap sebagai ilmu yang bersifat sistematis
(sistem dalam susunan penge-tahuan dan cara memperolehnya karena adanya
berbagai hubungan gejala yang teratur sehingga merupakan suatu keseluruhan
yang utuh), logis (gejala pengetahuan diamati dan dianalis secara
rasional), intersubjektif (kepastian ilmu pengetahuan tidak melulu
didasarkan pada emosi maupun pemahaman si ilmuwan tetapi didasarkan dan
dijamin oleh sistem pengetahuan itu sendiri), rasional serta memiliki cara
kerja ilmu pengetahuan yang diupayakan pembenaran secara metodologis.
Dengan demikan filsafat ilmu dapat melihat bahwa refleksi kritis
terhadap ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan dapat menunjukkan adanya dua
aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal lebih
diarahkan pada kegiatan ilmiah yang bersifat metodologis. Aspek internal
atau context of justification sangat berkaitan dengan pembenaran suatu
pengetahuan. Sebagai contoh ilmu kedokteran, dan teknik akan menjadi sangat
kokoh apabila secara de jure memiliki landasan filosofis yaitu kebenaran
epistemologis (teori kebenaran atau teori pengetahuan). Aspek eksternal
atau context of discovery lebih mengarah pada hasil dari ilmu pengetahuan
dan teknologi yang dihasilkan oleh para ilmuwan di masa lalu hingga kini.
Untuk itulah timbulnya ilmu pengetahuan dan pelaksanaan aplikatifnya serta
kegunaan ilmu itu dapat dtelusuri secara historis atau melalui sejarah ilmu
pengetahuan. Dalam rangka penelusuran secara historis, secara de facto
hasil maupun teknologi ilmu diterima dan digunakan oleh manusia sesuai
dengan kebutuhannya. Perkembangan teknologi akan menjadi berkembang dengan
pesat seiring dengan kemajuan dan perkembangan setiap ilmu itu sendiri.
3.4 TEORI KEBENARAN
Di dalam bagian ini akan dijelaskan bahwa kebenaran dalam kegiatan
ilmiah dan filsafat ilmu bersumber pada. kebenaran epistemologi. Kebenaran
filsafat ilmu itu mengacu pada teori pengetahuan. atau teori kebenaran
klasik yang terkait dalam tradisi filsafat Barat. Teori pengetahuan
dipandang sebagai teori kebenaran yang sifatnya universal dan berlaku umum
untuk berbagai bidang keilmuan (misalnya ilmu kedokteran, teknik, ilmu
ekonomi, ilmu budaya dan sebagainya) yang bertujuan mencari objektivitas
dan kebenaran ilmiah.
Teori pengetahuan atau teori kebenaran dalam epistemologi mengenal
tiga teori kebenaran, yaitu teori korespondensi, teori koherensi dan teori
pragmatik. Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang bersumber dari
persesuaian antara seorang subjek dengan objek yang dilihatnya. Sebagai
contoh, seseorang akan mengatakan bahwa yang dilihatnya adalah sebuah meja
besi apabila kriteria akan meja besi (berkaki empat, terbuat dari besi) itu
sesuai benar dengan meja itu. Ini berarti bahwa ada teori korespondensi
dalam kasus itu. Teori koherensi akan terjadi apabila ada persesuaian di
antara beberapa subjek dengan objek yang diamatinya. Sebagai contoh, semua
orang di rumah bapak Santoso setuju dan sepakat bahwa televisi itu memiliki
antena yang berwarna merah. Hal itu menunjukkan bahwa ada kebenaran
koherensi di antara semua orang di rumah bapak Santoso. Sedang teori
pragmatik adalah teori kebenaran yang terjadi karena ada manfaat serta
kegunaan dari sebuah ilmu pengetahuan. Contoh, Tuti akan belajar dengan
tekun di Fakultas Teknik Arsitektur agar ia cepat lulus menjadi seorang
arsitek dan dapat segera bekerja.
Teori kebenaran (teori korespondensi, koherensi dan pragmatik) yang
ada pada filsafat ilmu adalah sebagai dasar mencari kebenaran dalam setiap
kegiatan ilmu pengetahuan. Dalam pencarian kebenaran itu, terjadi berbagai
perubahan-perubahan gejala, peningkatan ataupun kemajuan-kemajuan bagi ilmu
itu sendiri Tiga teori kebenaran itupun mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu
secara konkret, yaitu sebagai penerapan antara sisi teoritis dengan sisi
praktis, praktek dan kegunaannya.
Di sisi lain, batas pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori
kebenaran. Apakah yang disebut sebagai batas pengetahuan itu? Batas
pengetahuan adalah pengetahuan yang memiliki keluasan wilayah secara
tertentu. Melalui keluasannya yang terukur itu, pengetahuan dibatasi oleh
panca indera manusia. Dengan demikian sejauh mata memandang terhadap apa
yang dilihat kita, maka hal menjadi pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa
pengetahuan manusia bersumber pada indera manusia dan hasil pengetahuan itu
disebut sebagai pengetahuan indrawi atau pengetahuan empiris (empiris dari
kata empêria yang artinya pengalaman manusia muncul karena diperoleh oleh
sentuhan indrawi). Selain pengetahuan indrawi, maka terdapat pengetahuan
non indrawi yang menjadi sumber pengetahuan manusia. Pengetahuan non
indrawi adalah pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia atau rasio
manusia. Melalui akal budi atau rasio, manusia dapat berpikir, dapat
memiliki gagasan atau ide dan hasil dari kemampuan berpikir itu adalah
pengetahuan non indrawi atau pengetahuan rasional.
Bagaimana dengan struktur pengetahuan? Struktur pengetahuan juga
menjadi landasan bagi teori kebenaran. Struktur pengetahuan adalah susunan
dari berbagai elemen pengetahuan yang dilandasi dengan suatu konsep
tertentu. Berbagai elemen pengetahuan seperti fenomena atau gejala atau
sesuatu yang berada di depan kita (gunung, pasien, rumah, mobil ambulans)
atau ide tentang masa depan sebuah negara, teori Newton, semua itu dapat
menjadi elemen dari "bangunan" pengetahuan kita. Sebenarnya, bangunan
pengetahuan itu merupakan kumpulan berbagai elemen yang disusun sedemikian
rupa hingga membentuk bangunan pengetahuan yang kokoh. Dalam proses
kegiatan itu terdapat pelaku yang sangat berperan, yaitu subjek. Subjek
diartikan sebagai seseorang yang tertarik mencari pengetahuan dan pencarian
tentang pengetahuan itu atas dasar minat serta keterarahan
(intensionalitas). Dan yang dicari dalam pengetahuan adalah objek.
Dengan demikian terdapat interaksi antara subjek dengan objek dalam
pencarian pengetahuan. Struktur pengetahuan akan terjadi apabila ada
hubungan atau interaksi antara subjek dengan objek
3.5 PARADIGMA ILMU PENGETAHUAN
Paradigma ilmu haruslah dilihat sebagai sebuah model penyelidikan
ilmiah yang digunakan sebagai pola dasar untuk berpikir, merencanakan
usulan penelitian, atau berbagai kasus penelitian seperti studi kasus pada
ilmu-ilmu empiris, ilmu filsafat, dan ilmu pengetahuan alam. Tujuan
paradigma ilmu adalah menemukan kebenaran. Kebenaran ilmu pengetahuan pada
hakikatnya tidak memiliki kemutlakan, tidak absolut. Setiap kebenaran yang
dimunculkan oleh paradigma tertentu terbuka untuk difalsifikasi atau dikaji
apabila kebenaran itu mulai digoyahkan oleh pendapat-pendapat baru.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, paradigma yang dianggap sebagai
model atau pola berpikir bagi seorang peneliti memiliki kriteria dasar,
seperti nilai kualitas, nilai kuantitas, dan nilai kebenaran. Nilai-nilai
yang dimiliki paradigma akan membentuk sebuah model paradigma. Atas dasar
itulah, penulis meletakkan model dasar pada paradigma. Paradigma ilmu
mengenal enam paradigma dasar, yaitu (1) paradigma kuantitatif, (2)
paradigma kualitatif, (3) paradigma induktif-deduksi, (4) paradigma
piramida atau limas ilmu, (5) paradigma siklus empiris, dan (6) paradigma
"rekonstruksi teori".
Paradigma kuantitatif adalah model penyelidikan ilmiah yang bertitik
tolak pada perhitungan matematis. Objek penelitian yang menampilkan
berbagai gejala atau fenomena empiris harus dilihat sebagai "elemen" yang
dapat dihitung dengan perhitungan (besaran) tertentu dan untuk itu
digunakan "alat" bantu perhitungan matematis. Gejala-gejala medis pada si
pasien seperti suhu tubuh dapat diukur dengan alat pengukur. Gejala gempa
dapat diukur besar tekanannya dengan skala Richter. Paradigma kualitatif
adalah model penyelidikan ilmiah yang melihat kualitas-kualitas objek
penelitiannya seperti perasaan (emosi) manusia, pengalaman menghayati hal-
hal religius (sakral), keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah, dan
simbol-simbol ritual atau artefak tertentu. Kualitas-kualitas itu haruslah
dinilai atau "diukur" berdasarkan pendekatan tertentu (rmsalnya menggunakan
metode semiotik, metode hermeneutik, teori sistem) yang sesuai dengan objek
kajiannya. Paradigma kualitatif menghindari perhitungan matematis, karena
yang dicari adalah value 'nilai' yang muncul dari objek kajian yang
bersifat khusus, bahkan sangat spesifik, unik, dan selalu mengandung
meaning full action.
Paradigma induktif-deduksi adalah model penyelidikan ilmiah yang
digunakan sebagai pola berpikir seorang peneliti untuk memiliki penalaran
yang induktif (mengambil kesimpulan dari hal-hal yang khusus untuk sampai
pada hal yang umum) dan deduktif (mengambil kesimpulan dari penalaran yang
bersifat umum untuk sampai pada hal-hal yang khusus). Paradigma induktif-
deduktif dapat digunakan seseorang sccara bersamaan, artinya ia dapar
berpikir induktif dahulu untuk kemudian berpikir secara deduktif, tetapi
seseorang dalam proses kerja ilmiah dapat pula menggunakan penalaran
induktif atau deduktif saja. Tujuan paradigma induktif-deduktif lebih
bersifat aplikatif dalam penalaran dan digunakan dalam suatu penelitian
ilmiah agar seseorang dapat memiliki penalaran yang logis dan konsep
berpikir yang runtut. Sebagai contoh, penalaran induktif-deduktif dapat
diterapkan ketika mencari data, mengkategorisasi data, perumusan masalah,
dan sebagainya.
Paradigma piramida atau Limas Ilmu adalah model penyelidikan ilmiah
dengan menggunakan konsep yang bertujuan mengkonstruksi tahapan-tahapan
kegiatan ilmiah secara berlapis-lapis seperti bentuk piramida. Bagian bawah
piramida merupakan bagian yang paling dasar dan paling luas, sedangkan
makin ke atas luas lapisan piramida makin berkurang. Lapisan teratas
merupakan kerucut piramida. Lapisan-lapisan itu dimaksudkan sebagai
gambaran proses penelitian yang mengacu tahapan-tahapan observasi, data,
hipotesis, pengujian hipotesis, dan hasil penelitian yang berupa teori
baru. Pola pikir seorang ilmuwan dibentuk seperti model piramida berlapis:
semakin ke atas tujuan penelitian makin tercapai, dan pada puncak kerucut
merupakan gambaran ditemukannya sebuah teori baru. Bentuk atau model
piramida lain adalah piramida ganda. Piramida ganda atau bahkan menjadi
piramida-piramida lain akan muncul apabila seseorang mampu membuat piramida
lain atas dasar landasan piramida yang telah ada.
Bagan. Model Piramida Ilmu
Piramida ganda
Piramida terbalik
Piramida terbalik adalah suatu kerangka berpikir atau model piramida
yang berlandaskan sebuah teori. Kegiatan penelitian yang menggunakan model
piramida terbalik memulai proses kerjanya dari sebuah teori (teori yang
telah dianggap baku). Melalui teori, seorang peneliti akan memulai
kegiatannya dengan observasi terhadap teori tersebut. Observasi menentukan
langkah berikutnya, yahu tahap-tahap penelitian atau lapisan piramida
seperti data, permasalahan (hipotesis), pembuktian-pengujian hipotesis, dan
hasil penelitian yang berupa teori baru.
Paradigma siklus empiris sangat diakrabi ilmu-ilmu empiris. Paradigma
tersebut membutuhkan langkah awal, yaitu observasi yang bersifat induktif
Beberapa tokoh seperti de Groot dan Walter Wallace menampilkan siklus
empiris yang beranjak pada pengamatan faktual. Pada umumnya, paradigma
siklus empiris memiliki komponen-komponen yang saling berkaitan dan
hubungan-hubungan yang sedemikian rupa tersebut dapat dievaluasi secara
siklus (periodik, berkala). Tahapan-tahapan dalam siklus empiris akan
membentuk pola berpikir bagi subjek (Ilmuwan/peneliti) dalam melakukan
kegiatan ilmiahnya. Walter Wallace mencoba menjelaskan paradigma siklus
empiris secara rinci dengan memperhatikan unsur metodologis. Paradigma
siklus empiris adalah model penyelidikan ilmiah yang sifatnya berkala,
memiliki beberapa elemen yang terdiri dari komponen informasi (data,
konsep, kategori) dan komponen kontrol metodologis (evaluasi, pengujian,
teori). Setiap komponen dapat terdiri dari beberapa komponen dan disusun
sedemikan rupa sehingga membentuk hubungan yang nantinya digunakan dalam
proses kegiatan ilmiah. Kemampuan seseorang dalam mengolah data dan
pengujian hipotesis sangat menentukan hasil penelitiannya.
Paradigma "rekonstruksi teori" adalah model penyelidikan ilmiah yang
berusaha membangun (rekonstruksi) beberapa teori atau metode yang digunakan
dalam sebuah penelitian. Tujuan digunakannya paradigma rekonstruksi teori
adalah untuk menunjang proses penelitian agar berjalan lebih sempurna
sehingga kebenaran ilmiahnya pun dapat terjaga sesuai dengan proses
metodologis yang berlaku. Untuk itu, apabila seseorang ingin menggunakan
paradigma "rekonstruksi teori" harus memahami dengan benar teori-teori yang
akan digunakannya dan memastikan dengan benar bahwa teori-teori itu saling
menunjang dan berguna (dapat diterapkan) dalam penelitiannya. Berbagai
pertimbangan yang sifatnya rasional, misalnya penguasaan teori dan
kemampuan menerjemahkannya secara aplikatif, harus menjadi pertimbangan
utama apabila seseorang akan menggunakan paradigma "rekonstruksi teori".
Semua paradigma yang ada dapat digunakan oleh seorang peneliti dalam
penelitiannya. Sebagai konsep berpikir, model penyelidikan ilmiah sangatlah
abstrak. Paradigma digunakan untuk tujuan menuntun pola pikir seseorang ke
arah norma metodologis sehingga secara dejure dapat dipertahankan secara
benar dan sahih. Paradigma ilmu dapat diperkaya apabila si ilmuwan mampu
merekonstruksikan berbagai teori yang telah ada. Rekonstruksi tersebut
harus disertai dengan sebuah "catatan" bahwa berbagai teori yang akan
direkonstruksi harus saling menunjang dan sesuai dengan tujuan penelitian.
Kemampuan ilmuwan mengabstraksi sangat diperlukan agar rekonstruksi
terhadap sebuah paradigma menjadi lebih sahih dan menunjang kebenaran
ilmiah.