19
DAFTAR ISI
Daftar Isi i
Kata Pengantar ii
Bab I Pendahuluan 1
Latar belakang 1
Rumusan Masalah 2
Tujuan 2
Manfaat 3
Bab II Pembahasan 4
Pengertian 4
Faktor yang Mempengaruhi 8
Trend dan Proyeksi Urbanisasi 10
Peranan Kota 15
Masalah Kota Besar 18
Sektor Informal Perkotaan 19
Migrasi dan Pembangunan 20
Teori Ekonomi Migrasi Desa Kota 21
Dampak Urbanisasi 23
Strategi Kebijakan 25
Bab III Penutup 27
Kesimpulan 27
Daftar Pustaka 28
KATA PENGANTAR
Puji syukur hanya kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan inayah-Nya kepada kami melalui ilmu-Nya Yang Maha Luas sehingga kami dapat menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul "Urbanisasi dan Migrasi Desa-Kota". Makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah Ekonomi Pembangunan yang saat ini sedang ditempuh oleh penulis. Shalawat dan juga salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan dan suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW.
Di dalam makalah ini kami membahas tentang salah satu permasalahan kompleks yang senantiasa mengikuti pembangunan perekonomian, yaitu fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota secara besar-besaran. Hal ini mengakibatkan beberapa dampak negative bagi negara yang bersangkutan, salah satunya pengangguran yang meningkat di daerah perkotaan. Adanya fenomena perpindahan penduduk secara besar-besaran tersebut harus segera ditanggapi oleh pemerintah dengan mengambil kebijakan-kebijakan guna membendung arus perpindahan tersebut. Opsi kebijakan apa saja yang dapat diambil oleh pemerintah juga akan kita bahas disini.
Kami berharap tugas kami ini dapat memberikan kontribusi positif khususnya bagi kami selaku penyusun untuk memenuhi kewajiban kami di dalam perkuliahan dan umumnya bagi semua yang membacanya. Kami sadar bahwa di dalam penyusunan tugas kami ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kritik dan masukan sangat kami harapkan dari semua pihak.
Malang, Oktober 2015
Kelompok IX
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Di dalam pembahasan kali ini kita akan fokus pada salah satu dilema dari proses pembangunan yang paling peka dan rumit, yaitu gejala perpindahan penduduk dalam jumlah besar dari kawasan pedesaan ke kota-kota yang semakin banyak bermunculan dan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah. Kita telah mengetahui adanya pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa di dunia dan khususnya di negara-negara berkembang selama beberapa tahun belakangan ini. Jumlah penduduk dunia pada tahun 2050 di perkirakan akan mencapai lebih dari 9 miliar, dan pertumbuhan penduduk yang dramatis akan lebih banyak terjadi di berbagai kota di negara-negara berkembang.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota atau yang biasa diebut dengan urbanisasi merupakan masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial di masyarakat. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikategorikan kedalam dua macam, yakni: Migrasi Penduduk dan Mobilitas Penduduk. Migrasi penduduk adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota. Sedangkan Mobilitas Penduduk berarti perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara saja atau tidak menetap.
Untuk mendapatkan niat hijrah atau pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya. Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau faktor pendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik.
Pada pembahasan kali ini kita akan mencoba mencari tahu tentang trend dan prospek pertumbuhan perkotaan secara menyeluruh, disini kita akan mengkaji potensi peran kota baik di sektor modern maupun di sektor informal perkotaan dalam mendorong pembangunan ekonomi. Kemudian kita akan merujuk ke model teoretis terkenal mengenai transfer tenaga kerja dari desa ke kota, dalam konteks pertumbuhan yang cepat dan tingginya pengangguran di kawasan perkotaan. dalam bagian terakhir, kita akan mempertimbangkan sejumlah pilihan kebijakan yang dapat ditetapkan pemerintah negara berkembang, dalam upaya mereka mengurangi arus migrasi dari desa ke kota untuk menanggulangi masalah-masalah pengangguran serius yang terus menghantui kota.
Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini yang mengacu pada latar belakang diatas kita dapat menarik rumusan masalah sebagai berikut:
Apa definisi migrasi dan urbanisasi?
Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi urbanisasi?
Bagaimana dampak urbanisasi?
Bagaimana cara menanggulangi urbanisasi?
Tujuan
Adapun beberapa tujuan yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini antara lain;
Untuk mengetahui definisi urbanisasi
Mengetahui dan memahami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya urbanisasi serta dampaknya
Mengetahui perkembangan urbanisasi di Indonesia dan hubungan antara faktor ekonomi dengan terjadinya urbanisasi
Manfaat
Adapun manfaat beberapa manfaat penyusunan dari makalah ini, antara lain sebagai berikut:
Memenuhi tuntutan tugas dari dosen.
Dapat menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Dapat dijadikan sebagai referensi atau pedoman.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Migrasi dan Urbanisasi
Menurut KBBI pengertian migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat (negara dan sebagainya) ke tempat (negara dan sebagainya) lain untuk menetap. Migrasi merupakan perpindahan penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Migrasi dibagi menjadi dua yaitu migrasi internasional dan nasional. Migrasi internasional adalah perpindahan penduduk yang dilakukan antarnegara. Migrasi internasional dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
1. Imigrasi adalah suatu perpindahan penduduk dari negara lain ke dalam suatu negara. Sebagai contoh,orang Malaysia masuk ke Indonesia.
2. Emigrasi adalah perpindahan penduduk dari suatu negara menuju ke negara lain. Sebagai contoh,orang Indonesia yang bekerja ke Malaysia.
3. Remigrasi adalah perpindahan penduduk yang kembali ke negara asal.
Sedangkan migrasi nasional adalah suatu proses perpindahan penduduk di dalam satu negara. Migrasi nasional terdiri atas beberapa jenis,yaitu:
1. Migrasi penduduk sementara atau disebut migrasi sirkuler terdiri sebagai berikut:
a) Penglaju,Yakni perpindahan penduduk dari suatu tempat tinggal asal menuju ke tempat tujuan yang dilakukan setiap hari pulang pergi untuk dapat melakukan pekerjaan.
b) Perpindahan penduduk musiman,yakni suatu perpindahan yang bersifat sementara di musim-musim tertenju saja.
2. Migrasi penduduk menetap terdiri sebagai berikut:
a) Transmigrasi,yaitu Perpindahan penduduk dari satu wilayah untuk menetap pada suatu wilayah lain dalam wilayah suatu negara
b) Urbanisasi,yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota atau juga dari kota kecil ke kota besar.
Dan yang menjadi fokus pada pembahasan kali ini adalah urbanisasi. Hal ini terkait dengan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu daerah. Seperti yang kita ketahui bahwasannya urbanisasi adalah masalah yang cukup serius bagi kita semua. Persebaran penduduk yang tidak merata antara desa dengan kota akan menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan sosial kemasyarakatan. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah suatu masalah yang harus segera dicarikan jalan keluarnya.
Grafik Urbanisasi di IndonesiaGrafik Urbanisasi di Indonesia
Grafik Urbanisasi di Indonesia
Grafik Urbanisasi di Indonesia
Berbeda dengan perspektif ilmu kependudukan, definisi urbanisasi berarti persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Perpindahan manusia dari desa ke kota hanya salah satu penyebab urbanisasi. Perpindahan itu sendiri dikategorikan menjadi dua macam, yaitu;
Migrasi penduduk.
Yaitu perpindahan penduduk dari desa ke kota yang bertujuan untuk tinggal menetap di kota.
Mobilitas penduduk.
Mobilitas penduduk adalah perpindahan penduduk yang hanya bersifat sementara saja atau tidak menetap.
Untuk mendapatkan suatu niat untuk pergi ke kota dari desa, seseorang biasanya harus mendapatkan pengaruh yang kuat dalam bentuk ajakan, informasi media massa, impian pribadi, terdesak kebutuhan ekonomi, dan lain sebagainya.
Pengaruh-pengaruh tersebut bisa dalam bentuk sesuatu yang mendorong, memaksa atau mendorong seseorang untuk urbanisasi, maupun dalam bentuk yang menarik perhatian atau faktor penarik. Di sisi lain kota mempunyai daya tarik, di pihak lain keadaan tingkat hidup di desa umumnya mempercepat proses urbanisasi tersebut, hal ini menjadi faktor pendorong timbulnya urbanisasi.
Menurut Kingsley Davis urbanisasi adalah jumlah penduduk yang memusat di daerah perkotaan atau meningkatnya proporsi tersebut. Sedangkan menurut Bintarto urbanisasi dapat dipandang sebagai suatu proses dalam artian:
1. Meningkatnya jumlah dan kepadatan penduduk kota ; kota menjadi lebih padat sebagai akibat dari pertambahan penduduk, baik oleh hasil kenaikan fertilitas penghuni kota maupun karena adanya tambahan penduduk dari desa yang bermukim dan berkembang di kota.
2. Bertambahnya jumlah kota dalam suatu Negara atau wilayah sebagai akibat dari perkembangan ekonomi, budaya dan teknologi.
3. Berubahnya kehidupan desa atau suasana desa menjadi suasana kehidupan kota.
Urbanisasi biasanya dapat diukur dengan melihat proporsi jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan. Untuk mengukur tingkat urbanisasi di suatu daerah biasanya dengan menghitung perbandingan jumlah penduduk yang tinggal di daerah perkotaan dengan jumlah penduduk seluruhnya dalam suatu wilayah.
Adapun perhitungan dapat dicari dengan rumus:
Dimana:
U = Besarnya jumlah penduduk urban (perkotaan).
P = Populasi/ jumlah penduduk keseluruhan.
Pu = Persentase penduduk yang tinggal di perkotaan.
Urbanisasi merupakan salah satu faktor pemicu perkembangan kota. Terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota disebabkan oleh berbagai faktor, baik faktor penarik maupun prndorong. Perkembangan industri dan perdagangan di kota merupakan faktor penarik yang menyebabkan banyak orang untuk mendatanginya. Keinginan mendapatkan penghasilan yang lebih baik untuk mencukupi kebutuhan hidup merupakan penyebab utama terjadinya urbanisasi.
Meningkatnya proses urbanisasi tersebut tidak terlepas dari kebijaksanaan perkotaan, khususnya ekonomi yang dikembangkan oleh pemerintah. Hubungan positif antara konsentrasi penduduk dengan aktivitas kegiatan ekonomi ini akan menyebabkan makin membesarnya area konsentrasi penduduk, sehingga menimbulkan apa yang dikenal dengan nama daerah perkotaan.
Migran biasanya mempunyai alasan yang selektif. Sifat selektif itu berbeda-beda, ada arus migrasi yang sifat positif dan selektif negatif. Sifat positif berarti bahwa migrasi itu melibatkan orang-orang yang berkualitas tinggi dan sifat negatif adalah sebaliknya.
Migran yang tertarik pada faktor - faktor positif di daerah perkotaan cenderung merupakan seleksi positif. Orang-orang seperti ini melakukan migrasi karena dapat melihat adanya kemungkinan atau peluang yang lebih baik. Bagi daerah urban kedatangan orang-orang seperti ini malah menguntungkan karena biasanya mereka adalah orang-orang yang berpendidikan, memiliki cukup keterampilan dan semangat juang yang tinggi serta produktif. Migran dengan klasifikasi seperti inilah yang sebenarnya yang mempunyai peran sangat besar dalam memacu perkembangan daerah kota kearah lebih baik.
Faktor yang Mempengaruhi Urbanisasi
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa ada dua faktor yang mempengaruhi urbanisas, yaitu faktor pendorong dan faktor penarik. Faktor pendorong merupakan pengaruh yang mendorong seseorang untuk melakukan urbanisasi. Fakor pendorong urbanisasi diantaranya adalah:
Lahan pertanian yang semakin menyempit
Merasa tidak cocok dengan budaya tempat atau daerah asal.
Rasa jenuh atau merasa tertekan dengan peraturan-peraturan budaya di daerah membuat imigran memutuskan pindah ke jakarta mengharapkan adanya keleluasaan dalam menjalani kehidupannya.
Menganggur karena tidak banyak lapangan pekerjaan di desa. Minimnya lapangan pekerjaan di desa membuat para penduduk desa berbondong-bondong mengadu nasib ke kota.
Terbatasnya sarana dan prasarana di desa. Kurang tersedianya sarana dan prasana di pedasaan memaksa orang desa untuk berpindah ke kota agar mudah mendapatkan fasilitas sarana dan prasana yang lebih mudah di dapat dan lebih lengkap dari pada di desa. Misalnya sarana hiburan yang belum memadai di desa sedangkan di Jakarta banyak mall dan tempat hiburan yang dapat dijangkau dengan mudah.
Diusir dari desa asal, sehingga ke kota menjadi tujuan. Diusir dari desa hal ini biasanya jarang terjadi, walaupun ada tapi hanya sedikit yang menjadikan alasan urbanisasi karena diusir dari asalnya. Apabila seseorang/ keluarga di usir biasanya seseorang/keluarg tersebut melakukan kesalahan yang menyebabkan kerugian terhadap penduduk desa.
Memiliki impian kuat menjadi orang kaya, karena tingkat upah di kota lebih tinggi. Penduduk pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya Ketimpangan pembangunan daerah perdesaan dengan daerah perkotaan sangat tidak berimbang yang mengakitbatkan kurangnya peralatan dan perkembangan teknologi di desa.
Melanjutkan sekolah, karena di desa fasilitas atau mutunya kurang. Keadaan pembangunan pendidikan di desa yang kurang memadai membuat para orang tua murid memutuskan untuk mensekolahkan anak mereka ke kota dengan harapan dapat mendapatkan ilmu dan fasilitas yang memadai bagi proses belajar pembelajaran anak mereka.
Pengaruh cerita orang atau keluarga bahwa hidup di kota Jakarta mudah untuk mencari pekerjaan, atau mudahnya membuka usaha kecil-kecilan. Jakarta sebagai kota besar dan berpenduduk banyak tentunya sangat menjanjikan untuk orang-orang kecil yang berniat untuk mencari sesuap nasi dikota ini mulai dari pedagang kaki lima (PKL), pedagang asongan, tukang ojek, tukang sngat menjanjikan untuk hidup. Padahal tidak semuanya yang datang ke Jakarta mendapatkan pekerjaan. Para peruraban harus mempunyai keahlian khusus agar dapat diterima bekerja di Jakarta.
Kebebasan pribadi lebih luas. Kebebasan disini bukannya bebas melakukan apa saja akan tetapi bebas dalam konteks ini adalah dapat melakukan aktivitas sesuai dengan keinginan kita tanpa harus manaati pertaturan-peraturan yang ada di desa. Tetapi masih dalam hal yang wajar dan mengikuti dari peraturan dari pemerintah.
Adat atau adanya toleransi antar agama . Jakarta menjadi tempat berkumpulan para migran yang berpindah dari berbagai daerah, agama, suku. Karena itu budaya adat dari daerah tersebut tidak begitu kental lagi di jakarta. Saling menghormati agama orang lain tidak menggangu satu sama lain merupakan kunci dari toleransi itu sendiri.
Keadaan desa yang umumnya mempunyai kehidupan yang statis (tidak mengalami perubahan yang sangat lambat). Hal ini bisa terjadi karena adat istiadat yang masih kuat atau pun pengaruh agama.
Makin berkurangnya sumber-sumber kehidupan seperti menurunnya daya dukung lingkungan, menurunnya permintaan atas barang-barang tertentu yang bahan bakunya makin susah diperoleh seperti hasil tambang, kayu, atau bahan dari pertanian.
Lapangan kerja yang hampir tidak ada karena sebagian besar hidup penduduknya hanya bergantung dari hasil pertanian pendapatan yang rendah yang di desa
Keamanan yang kurang
Fasilitas pendidikan sekolah atau pun perguruan tinggi yang kurang berkualitas. Kebanyakan dari pelajar di desa berpindah sekolah/ kuliah di jakarta karena fasilitas sarana dan prasarana pendidikan di jakarta lebih baik dan menggunakan teknologi yang memadai di bandingkan dengan di desa asal mereka.
Sedangkan untuk faktor penarik ( Pull Factors ) urbanisasi adalah:
Kehidupan kota yang lebih modern.
Sarana dan prasarana kota lebih lengkap.
Banyak lapangan pekerjaan di kota.
Pengaruh cerita orang, bahwa hidup di kota gampang cari pekerjaan, atau mudahnya membuka usaha kecil-kecilan.
Tingkat upah di kota yang lebih tinggi.
Keamanan di kota lebih terjamin.
Hiburan lebih banyak.
Kebebasan pribadi lebih luas.
Fasilitas dan kualitas pendidikan yang tinggi.
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa faktor utama penyebab timbulnya urbanisasi yang paling kuat adalah faktor ekonomi (menjadi motif utama para migran), selain itu disusul dengan faktor tingkat pendidikan. Penyebab lain dari terjadinya urbanisasi adalah karena terjadinya "overruralisasi" yaitu tingkat dan cara produksi di pedesaan terdapat terlalu banyak orang.
Tren dan Proyeksi Urbanisasi
Adanya hubungan positif antara urbanisasi dan pendapatan perkapita merupakan fakta khusus paling jelas dan menonjol dari proses pembangunan. Umumnya, semakin maju suatu negara berdasarkan pendapatan perkapita, semakin besar jumlah penduduk yang mendiami kawasan perkotaan. Hal ini seperti yang terlihat pada grafik berikut.
Dari grafik diatas menunjukkan urbanisasi versus GNI perkapita. Dimana negara-negara berpendapatan paling tinggi, seperti Denmark, adalah Negara paling urban (penduduknya paling banyak menghuni perkotaan). Sedangkan Negara-negara miskin, seperti Rwanda, adalah Negara yang penduduknya tidak banyak berdiam di kawasan perkotaan. Pada saat yang sama, meskipun suatu Negara mejadi lebih urban ketika berkembang, namun negara-negara miskin sekarang lebih urban daripada negara-negara maju sekarang ketika dahulu berada pada tingkat pembangunan yang setara sebagaimana yang diukur dengan pendapatan perkapita dan rata-rata negara berkembang sekarang mengalami urbanisasi lebih cepat.
Sedangkan pada grafik dibawah menunjukkan urbanisasi antar waktu tertentu dan antar tingkat pendapatan yang berbeda dari tahun 1970 samapai 1995. Setiap segmen yang mewakili lintasan perjalanan sebuah negara dimulai dari titik-titik solid yang mewakili tingkat pendapatan dan urbanisasi pada tahun 1970 bagi Negara tertentu, dan berakhir pada ujung bagian garis (yang berbentuk wajik) yang menunjukkan tingkat pendapatan dan urbanisasi negara bersangkutan pada tahun 1995. Meski Bank Dunia mencantumkan keterangan dalam peraga itu yang berbunyi "urbanisasi terkait erat dengan pertumbuhan ekonomi" informasi itu dapat juga ditafsirkan untuk menunjukkan terjadinya urbanisasi di semua negara serta tidak jadi soal apakan Negara itu berpendapatan tinggi atau rendah dan apakah pertumbuhan itu positif atau negative. Bahkan ketika garis-garis itu mengarah ke kiri, yang menunjukkan adanya penurunan pendapatan perkapita dalam periode tersebut, semua garis itu umunya mengarah keatas, mengindikasikan masih berlanjutnya urbanisasi. Singkatnya, urbanisasi sedang terjadi di semua Negara di dunia, sekalipun dengan tingkat yang berbeda-beda. Jadi, kita perlu mempertimbangkan isu urbanisasi dengan seksama apakah urbanisasi hanya berkorelasi dengan pembangunan ekonomi, atau apakah terdapat hubungan sebab-akibat.
Salah satu fenomena paling penting dari semua demografi modern adalah cepatnya pertumbuhan kota di negara-negara berkembang. Pada tahun 1950 ada sekitar 275 juta orang menetap di kota di negara-negara berkembang, 38% dari 724 juta penduduk perkotaan dunia pada saat itu. Pada tahun 2010, penduduk dunia yang mendiami daerah perkotaan telah melampaui angka 3,4 miliar dan lebih tiga perempat dari semua pemukim urban tinggal di daerah-daerah metropolitan dalam negara-negara berpendapatan rendah dan menengah.
Meski laju urbanisasi di negara-negara berkembang pada akhir abad ke dua puluh dan awal abad kedua puluh satu dalam sejumlah kasus yang cukup signifikan tidak jauh lebih cepat daripada di banyak negara maju pada akhir abad ke-19, jumlah penduduk di Negara-negara berkembang (terutama di Afrika) semakin besar pada tingkat pendapatan perkapita yang lebih rendah dibandingkan dengan yang dahulu terjadi di negara-negara maju pada tahap yang setara. Dalam konteks ini, urbanisasi di Afrika tidak berkaitan dengan industrialisasi seperti dahulu dialami negara-egara yang sekarang maju. Selain itu, karena di hampir semua wilayah negara berkembang jumlah penduduknya jauh lebih besar, jumlah orang yang berduyun-duyun pergi untuk menetap di kota tidak pernah sebanyak sekarang. Hal yang juga tidak pernah terbayangkan sebelumnya adalah ukuran sebuah kota yang sangat besar dengan tingkat pendapatan yang sedemikian rendah. Kota-kota besar di negara maju masa lalu jauh lebih kecil daripada kota-kota besar di negara berkembang saat ini.
PBB memperkirakan bahwa penduduk dunia akan tumbuh pada periode tahun 2005 sampai tahun 2030 sebesar rata-rata 1,78% setiap tahun, dan pada tahun 2030 akan terdapat hampir lima miliar penduduk dikawasan perkotaan, nyaris lima per delapan dari perkiraan jumlah penduduk pada tahun itu sebesar 8,1 miliar. Jumlah orang tinggal di daerah pedesaan di dunia di proyeksikan mulai benar-benar menurun, sekitar 155 juta orang mulai dari tahun 2015 samai tahun 2030 atau sebesar -0,32% per tahun. Urbanisasi yang paling cepat sekarang berlangsung di Asia dan Afrika jauh sebelum tahun 2030 akan ada lebih dari separuh jumlah penduduk di wilayah ini yang menetap dikawasan perkotaan. Lebih dari setengah penduduk perkotaan dunia akan tinggal di Asia dan penduduk Afrika yang di perkirakan akan mencapai 784 juta pada tahun 2030 sehingga lebih besar daripada jumlah separuh penduduk Eropa yang di proyeksikan mencapai 685 juta pada tahun itu.
Meski mayoritas pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan negara berkembang akan ditemukan dikota-kota yang jumlah penduduknya kurang dari 5 juta orang, pertumbuhan penduduk di kota-kota yang berependuduk lebih dari 5 juta orang berlangsung lebih cepat ketimbang pertumbuhan penduduk di kota-kota yang lebih kecil (berpenduduk di bawah 500.000 orang) di Negara berkembang. Bahkan, menurut perkiraan PBB, pada tahun 2025 hanya separuh dari penduduk perkotaan yang tinggal di kota-kota yang berpenduduk kurang dari setengan juta orang, yang merupakan jumlah terendah yang pernah terjadi. Selain itu, negara-negara berkembang juga akan memiliki kota-kota terbesar di dunia yang mencakup kota sangat besar atau megapolitan yang berpenduduk lebih dari 10 juta orang.
Pada tahu 1975 hanya ada 3 megapolitan, tetapi pada tahun 2009 telah muncul sebanyak 21 megapolitan. Dari 21 megapolitan ini, dua per tiganya berada di negara berkembang. Pada tahun 2025, hanya 5 dari 29 kota terbesar yang akan berada di negara-negara berpendapatan tinggi. Selain itu hampir semua tambahan penduduk dunia akan menyebabkan perkembangan jumlah penduduk di kawasan pedesaan. Dan pada saat yang sama tingkat urbanisasi di negara berkembang semakin mendekati tingkat urbanisasi di negara maju.
Pertanyaan penting berkenaan dengan ukuran aglomerasi perkotaan yang tidak pernah terjadi sebelumnya ini adalah:bagaimana semua kota ini akan mengelola konsentrasi penduduk sebesar itu secara ekonomi, lingkungan, dan politik. Sekalipun benar bahwa kota besar dapat memberikan keunggulan efisiensi biaya yang disebabkan ekonomi eglomerasi serta skala ekonomi dan kedekatan (proximility) serta berbagai eksternalitas ekonomi dan social (misalnya pekerja terampil, transportasi murah, fasilitas sosian dan budaya), beban biaya social penyediaan perumahan dan layanan sosial yang terus membengkak serta meningkatnya kejahatan, polusi, dan kepadatan mungkin akan melebihi manfaat yang selama ini menjadi keunggulan kawasan perkotaan. Mantan Presiden Bank Dunia, Robert McNamara, mengemukakan keraguannya mengenai kemungkinan berhasilnya aglomerasi urban yang sedemikian besar itu:
Ukurannya begitu besar sehingga perekonomian kota itu akan menyusut karena biaya mengelola kepadatan. Cepatnya pertumbuhan penduduk yang menyebabkan penumpukan manusia akan jauh melebihi pertumbuhan infrastruktur manusia dan fisik yang dibutuhkan untuk sekedar menjalani kehidupan ekonomi yang cukup efisien serta hubungan social dan politik yang tertib, apalagi kenyamanan bagi para penghuninya.
Meluasnya urbanisasi yang berlagsung cepat dan bias perkotaan (urban bias) dalam strategi pembangunan telah menyuburkan pertumbuhan perkampungan miskin dan kumuh yang besar. Komunitas temporer seperti itu telah berkembang semakin cepat, dari favela di Rio de Janerio (Brazil) dan pueblos joven di Lima (Peru) sampai ke Bustee di Kalkuta dan bidonville di Dakkar (India). Dewasa ini, sepertiga penduduk perkotaan di semua Negara berkembang bermukim di pemukiman kumuh.
Berdasarkan laporan PBB dalam Millenium Development Goals tahun 2006 yang memperlihatkan pertumbuhan penduduk perkotaan dan pemukiman kumuh di kawasan perkotaaan dalam periode 1990-2001, Afrika sub-Sahara adalah kawasan yang paling cepat melakukan urbanisasi di dunia dan hampir penghuninya mengalami persoalan terlalu padatnya jumlah penduduk, tidak cukupnya perumahan, serta tidak memadainya ketersediaan air dan sanitasi. Hal yang sama juga terlihat di Asia Barat, dengan hamper semua pertumbuhan penduduk di perkotaan terjadi di kawasan perkotaan di Asia Selatan dan Timur telah menciptakan kota-kota dengan ukuran dan kerumitannya tidak terbayangkan sebelumnya, serta menimbulkan berbagai tantangan baru untuk menyediakan lingkungan hidup yang layak bagi kaum miskin. Afrika Utara adalah satu-satunya kawasan berkembang yang kualitas kehidupan perkotaannya mengalami peningkatan, dengan jumlah penghuni kota yang hidup di pemukiman kumuh telah menurun sebesar 0,15% per tahun.
Meski pertumbuhan penduduk dan migrasi desa-kota (rural-urban migration) yang terus meningkat merupakan penyebab utama ledakan kawasan perkampungan kumuh perkotaan,pemerintah juga turut bertanggung jawab atas timbulnya keadaan itu. Kebijakan pemerintah dalam perencanaan perkotaan yang salah arah dan peraturan tentang bangunan yang ketiggalan jaman sering kali berarti bahwa 80 sapai 90% perumahan baru di perkotaan adalah "illegal". Sebagai contoh, peraturan tentang pembangunan dijaman kolonial yang masih berlaku di Nirobi (Kenya) tidak memungkinkan membangun rumah yang "sah" menurut hukum dengan biaya kurang dari $3.500. Peraturan ini juga mengharuskan setiap pemukiman bisa diakses dengan mobil. Akibatnya, dua pertiga lahan di Nairobi hanya dihuni sekitar 10% penduduk, sedangkan banyak kawasan kumuh kondisinya tidak dapat ditingkatkan secara hukum. Demikian juga halnya dengan Manilia (Filipina), yang sebagian besar penduduknya memang sejak dulu terlalu miskin untuk dapat membeli atau menyewa rumah yang secara resmi "illegal".
Statistic menunjukkan bahwa para migran dari pedesaan meliputi sekitar 35% sampai dengan 60% dari pertambahan jumlah penduduk di perkotaan. Dalam kaitan ini, 90 dari 116 negara berkembang yang ikut serta dalam survey PBB menunjukkan bahwa Negara-negara ini telah memprakarsai kebijakan untuk memperlambat atau membalikkan tren peningkatan migrasi dari desa ke kota.
Dengan meluasnya ketidakpuasan yang disebabkan oleh pengalaman akan pertumbuhan perkotaan yang cepat di Negara-negara berlembang, isu penting yang perlu dibahas adalah sejauh mana pemerintah Negara berkembang dapat merumuskan kebijakan pembangunan yang benar-benar bisa memberikan dampak yang pasti bagi trend dan karakter pertumbuhan kawasan perkotaan. Jelas bahwa penekanan pada modernisasi industry, kecanggihan teknologi, dan pertumbuhan metropolitan menimbulkan ketidakseimbangan geografis yang cukup besar dalam kesempatan ekonomi, dan secara signifikan berkontribusi terhadap penumpukan para migran ke kawasan-kawasan perkotaan. Apakah ada kemungkinan atau keinginan untuk mencoba membalikkan tren ini dengan menerapkan kebijakan kependudukan dan pembangunan yang berbeda? Dengan menurunnya tingkat kelahiran di banyak Negara berkembang, pertumbuhan penduduk di kawasan perkotaan dan peningkatan migrasi dari desa ke kota tidak diragukan lagi akan menjadi salah satu isu pembangunan dan demokrasi paling penting dalam beberapa dasawarsa kedepan. Di kawasan perkotaan sendiri, pertumbuhan dan pembangunan sektor informal serta peran dan keterbatasannya dalam menyerap tenaga kerja dan kemajuan ekonomi akan menjadi semakin penting.
Sebelum mengkaji kondisi kota-kota di Negara berkembang secara lebih seksama, terlebih dahulu kita akan membahas potensi keunggulan yang ditawarkan kota. Kawasan perkotaan telah memainkan peran sangat konstruktif dalam perekonomian Negara-negara maju dewasa ini, dan kawasan ini masih menyisakan potensi besar dan belum terjamah untuk menghasilkan hal serupa di negar berkembang. Pengamatan lebih atas sektor informal di kota-kota yang sedang berkembang akan memunculkan gagasan mengenai potensinya sebagai mesin pertumbuhan. Kita juga akan membahas lebih dalam mengenai hal-hal apa yang berbeda dan apa saja yang salah dalam pembangunan perkotaan dan laju migrasi desa-kota yang terlalu cepat dibanyak negara berkembang. Kita akan menutup pembahasan dengan uraian tentang sejumlah kebijakan yang dapat membantu kota meningkatkan pembangunan kawasan perkotaan yang berhasil dan pada saat yang sama memberikan perhatian yang lebih seimbang dalam pembangunan kawasan pedesaan.
Peranan Kota
Secara umum sebuah kota terbentuk karena dapat memberikan keunggulan dari segi biaya kepada produsen dan konsumen, melalui apa yang dikenal sebagai ekonomi aglomerasi. Ekonomi aglomerasi muncul dalam dua bentuk yakni :
Ekonomi urbanisasi (urbanization economies): yaitu dampak-dampak yang berkaitan dengan pertumbuhan kawasan geografis yang terpusat secara umum.
Ekonomi lokalisasi (localization economies): yaitu dampak-dampak yang ditimbulkan oleh sektor-sektor khusus dalam perekonomian. Ekonomi lokalisasi sering muncul dalam bentuk keterkaitan ke depan maupun ke belakang. Contohnya ketika biaya transportasi menjadi signifikan, maka pengguna output industri akan mendapatkan keuntungan bila memilih lokasi yang lebih dekat ke pasar untuk dapat menghemat biaya. Keuntungan ini adalah salah satu jenis keterkaitan ke depan. Selain itu perusahaan yang bergerak dalam industri yang sama atau industri terkait juga dapat meraih keuntungan karena memilih lokasi di tempat yang sama, sehingga mereka dapat menarik sejumlah besar pekerja yang memiliki keterampilan khusus yang diperlukan dalam sektor tersebut, atau karena infrastruktur yang terspesialisasi. Ini adalah bentuk keterkaitan ke belakang. Pekerja dengan keterampilan khusus yang sesuai dengan industri tersebut akan lebih memilih untuk bertempat tinggal di lokasi yang sama, sehingga mereka dapat dengan mudah mencari pekerjaan baru atau memiliki posisi yang lebih menguntungkan dalam memilih peluang-peluang yang tersedia.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa ekonomi aglomerasi merupakan keunggulan atau efisiensi biaya yang diperoleh produsen ke konsumen dari lokasi dalam kota besar atau sedang, yang berwujud ekonomi urbanisasi dan ekonomi lokalisasi. Ekonomi urbanisasi merupakan akibat dari aglomerasi yang berkaitan dengan pertumbuhan umum wilayah geografi yang terkonsentrasi. Sedangkan ekonomi lokalisasi adalah akibat aglomerasi yang diperoleh sektor–sektor ekonomi, seperti pembiayaan dan kendaraan bermotor, ketika sector itu tumbuh dan berkembang dalam suatu kawasan.
Distrik Industri
Definisi kota jika dilihat dari sudut pandang ekonomi adalah suatu kawasan yang kepadatan penduduknya relative tinggi dan memiliki sejumlah aktivitas yang sangat berkaitan. Pada umumnya perusahaan juga akan lebih menyukai berada dilokasi yang memungkinkan mereka belajar dari perusahaan lain yang melakukan kegiatan atau pekerjaan serupa. Imbas pengetahuan ini merupakan manfaat ekonomi aglomerasi, bagian dari manfaat lokalisasi yang disebut sebagai :distrik industri". Di mana tepatnya lokasi industri itu tidak menjadi masalah.
Kelompok – kelompok industri merupakan hal yang biasa ditemukan di negara – negara berkembang. Dari yang berada pada tahap – tahap pembangunan industri yang bervariasi dari industry rumahan sampai dengan industri manufaktur berteknologi maju. Namun, kedinamisan kelompok tersebut berbeda – beda karena cenderung terspesialisasi pada suatu bidang. Dalam beberapa kasus, spesialiasasi yang sifatnya tradisional itu telah berkembang menjadi kelompok usaha yang lebih maju.
Kelompok usaha ini menyerupai distrik di negara maju, tetapi memerlukan pembiayaan yang memadai untuk berinvestasi dalam perusahaan – perusahaan inti yang menggunakan barang modal dalam skala yang besar.
Dalam studi yang dilakukan terhadap enam kelompok usaha representative di Afrika, Dorothy McCormick menyimpulkan bahwa, "kelompok usaha dasar menyiapkan jalan; kelompok industrialisasi memprakarsai proses spesialisasi, diferensiasi, dan pengembangan teknologi; dan kelompok industri canggih menghasilkan produk kompetitif di pasar yang lebih luas. Dalam beberapa kasus, bukti menunjukkan kegagalan koordinasi yang tidak ditanggulangi, sehingga pemerintah dapat berperan aktif menetapkan kebijakan untuk mendorong peningkatan kelompok usaha. Dalam kasus – kasus lainnya, justru pemerintah yang menyebabkan kemandekan gugus usaha karena menerapkan peraturan yang kaku dan tidak rasional, yang akibatnya jauh lebih merusak ketimbang ketidakacuhan terhadap kelompok usaha di sektor informal.
Skala Perkotaan yang Efisien
Skala perkotaan yang efisien dapat tercapai bagi sejumlah kota industry yang terkait erat, seperti industri yang memiliki keterkaitan yang kuat dari hulu ke hilir. Salah satu pengecualian yang menonjol adalah kemungkinan terjadinya imbas dari kemajuan teknologi. Akan tetapi, terdapat juga biaya penumpukan (congestion) yang penting seperti makin tingginya kawasan perkotaan, makin tinggi pula biaya real estate.
Dalam mekanisme pasar yang kompetitif, jika para pekerja di sebuah kota besar dengan upah yang lebih tinggi tetapi dengan biaya hidup yang juga tinggi tidak akan lebih beruntung secara materil dibandingkan para pekerja dengan pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan kesehatan setara yang tinggal di kota kecil dengan upah yang lebih rendah dan biaya hidup yang lebih rendah pula.
Masalah Kota Raksasa
Rute transportasi utama di negera-negara berkembang umumnya adalah warisan zaman kolonial. Rute drainase yang dibuat pada zaman kolonial mengedepankan kemudahan pengurasan SDA negeri jajahan. Biasanya, ibu kota berlokasi dekat dengan pintu keluar system ini yaitu tepi laut. Sistem tranportasi ini diacu sebagai "system hub-and-spoke".
Pendekatan bidang datar terdeferiensiasi mengedepankan dampak warisan sejarah yang masih ada sampai sekarang. Pendekatan ini mampu menjelaskan cara kita menemukan kota-kota yang terlalu besar di negera berkembang dan menyarankan kebijakan desentralisasi perkotaan yang dapat diterapkan untuk membantu mencari solusi dari masalahnya.
Adakalanya sebuah kota inti (urban core) menjadi terlalu besar, sehingga tidak dapat lagi mempertahankan biaya industri yang berlokasi di tempat itu pada tingkat minimum. Di negara-negara berkembang, pemerintah cenderung kurang terlibat dalam penyebaran aktivitas ekonomi dengan ukuran lebih dapat dikelola atau andaikan mereka memang terlibat, sering kali kurang efektif. Sebagai contoh, pemerintah ingin menyebarkan industri tanpa mempertimbangkan sifat-sifat aglomerasi; dengan memberikan insentif tetapi tidak ada upaya mengelompokkan sejumlah industri yang berkaitan.
Secara umum permasalahan yang ditimbulkan kota besar kemungkinan berasal dari kombinasi system transportasi hub-and-spoke dan penempatan ibukota secara politik di kota yang paling besar, sehingga menggabungkan dampak dari model hierarki kota dengan dampak dari model tanah terdiferensiasi. Penjelasan terbaru lainnya untuk kota besar difokuskan dari usaha-usaha yang dilakukan para diktator untuk tetap berkuasa di negaranya.
Di negara-negara berkembang, sampai saat ini hanya ada beberapa Negara yang memakai system demokrasi yang berjalan secara efektif. Faktor ekonomi politik pada akhirnya memiliki konstribusi yang penting dalam melahirkan ibukota raksasa (capital city giantism) adalah lebih menguntungkan bagi perusahaan untuk memilih lokasi di mana mereka mendapatkan akses yang lebih mudah terhadap aparat pemerintahan. Masalah ibukota raksasa ini juga dapat dilihat sebagai sebuah bentuk jebakan keterbelakangan (underdevelopment trap), yang dapat saja dihindari secara keseluruhan melalui pemberlakuan kebijakan yang demokratis bersama dengan keseimbangan iklim kompetisi untuk mengadakan ekspor maupun memenuhi konsumsi domestik.
Empat penjelasan yang menguraikan sebab-sebab timbulnya perkotaan raksasa, yaitu : produksi untuk pasar domestik yang sarat dengan proteksi dan biaya transportasi yang tinggi; sangat sedikitnya kota-kota yang lebih kecil yang memadai untuk menjadi lokasi alternatif bagi perusahaan yang mencerminkan pola infrastruktur; lokasi ibukota di kota terbesar; dan logika politid dari kediktatoran yang tidak stabil bersifat saling melengkapi dan membantu menjelaskan beberapa keunggulan demokrasi dengan kebijakan ekonomi yang lebih seimbang, termasuk investasi yang lebih terencana di bidang infrastruktur. Jika dilaksanakan dengan konsekuen, maka negara-negara ini memilki kemampuan untuk menghindari sejumlah biaya yang dapat ditimbulkan oleh kota raksasa.
Sektor Informal Perkotaan
Fokus utama teori pembangunan adalah pada hakekat masing-masing negara berkembang yang bersifat dualistik. Keberadaan sektor kapitalis perkotaan modern yang modal dan melibatkan produksi berskala besar hadir secara bersamaan dengan sektor subsistem pertanian-tradisisonal yang padat karya dan memiliki produksi yang berskala kecil. Dalam beberapa tahun terakhir, analisis terhadap sifat-sifat dualistik tersebut juga diterapkan secara spesifik terhadap perekonomian perkotaan yang dipecah menjadi sektor formal dan informal.
Keberadaan sektor informal (informal sektor) yang umumnya tidak terorganisasi dan tertata secara khusus melalui peraturan itu, resminya baru dikenal pada tahun 1970-an sesudah diadakannya serangkaian observasi di beberapa negara-negara berkembang yang sejumlah besar tenaga kerja perkotaannya tidak memperoleh tempat atau pekerjaan di sektor modern yang formal. Sektor informal terus memainkan peran yang penting di negara berkembang, meskipun selama bertahun-tahun diabaikan atau justru dimusuhi. Di banyak negara berkembang, sekitar setengah dari penduduk perkotaan bekerja di sektor informal. sektor informal pada umumnya ditandai oleh beberapa karakteristik unik seperti sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang dipakai relative sederhana. Sektor ini cenderung beroperasi seperti halnya perusahaan memonopoli persaingannya dalam menghadapi penurunan pemasukan, kelebihan kapasitas, dan mengendalikan persaingan laba (pendapatan) yang menurun terhadap rata-rata harga penawaran tenaga kerja potensial yang baru.
Migrasi dan Pembangunan
Migrasi memperburuk ketidakseimbangan structural antara desa dan kota secara langsung dalam dua hal. Pertama, di sisi penawaran , migrasi internal secara berlebihan akan meningkatkan jumlah pencari kerja di perkotaan yang melampaui tingkat atau batasan pertumbuhan penduduk, yang sedianya masih dapat didukung oleh segenap kegiatan ekonomi dan jasa-jasa pelayanan yang ada di daerah perkotaan. Kedua, di sisi permintaan, penciptaan kesempatan kerja di daerah perkotaan lebih sulit dan jauh lebih mahal daripada penciptaan lapangan kerja di pedesaan, karena kebanyakan jenis pekerjaan sektor-sektor industri di perkotaan membutuhkan aneka input-input komplementer yang sangat banyak jumlah maupun jenisnya.
Sesungguhnya, arti penting yang paling pokok atas fenomena migrasi di negara-negara berkembang tidaklah terletak pada bentuk-bentuk prosesnya atau pada dampaknya terhadap alokasi sektoral sumber daya manusia, melainkan pada implikasi-implikasi negatif yang selalu ditimbulkannya terhadap tingkat pertumbuhan ekonomi dan upaya-upaya pembangunan secara keseluruhan, terutama yang termanifestasikan atau terwujud dari proses terus memburuknya distribusi pendapatan atau hasil-hasil pembangunan. Dengan demikian kita harus mengakui bahwa arus migrasi yang jauh melampaui kesempatan kerja yang ada merupakan gejala dan salah satu penyebab utama keterbelakangan dunia ketiga. Oleh karena itu, pemahaman terhadap penyebab, faktor penentu, dan akibat-akibat dari migrasi internal desa-kota merupakan bekal pokok bagi kita untuk memahami karakteristik dan hakikat proses pembangunan, serta untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang paling tepat untuk dapat mempengaruhi proses tersebut dengan cara yang bisa diterima secara sosial. Salah satu tahapan yang sederhana tetapi sangat penting dalam rangka memahami betapa pentingnya fenomena migrasi adalah memaklumi bahwa setiap kebijakan ekonomi atau sosial yang mempengaruhi pendapatan riil penduduk pedesaan dan perkotaan, secara langsung atau tidak lngsung pada akhirnya juga akan mempengaruhi proses migrasi.
Teori Ekonomi Migrasi Desa-Kota
Urbanisasi dan industrialisasi pada dasarnya adalah dua sisi dari mata uang yang sama. Model historis ini kemudian dianggap sebagai suatu cetak biru atau standar penjelasan yang baru bagi proses.
Akan tetapi, data-data yang menonjol selama beberapa dekade terakhir, yaitu pada saat Negara-negara berkembang mengalami puncak gelombang migrasi, penduduk desa secara besar-besaran ke daerah perkotaan, ternyata tidak mendukung pernyataan atau gagasan yang menonjolkan manfaat perpindahan tenaga kerja itu; jangankan memacu industrialisasi di perkotaan, migrasi dari desa ke kota itu justru menimbulkan masalah pengangguran dan aneka kesulitan lainnya yang serba pelik dan menyusahkan. Dengan demikian, data-data empiris yang ada telah menggoyahkan kesahihan model pembangunan dua sektor dari lewis.
Model Todaro bertolak dari asumsi bahwa migrasi dari desa ke kota pada dasarnya merupakan suatu fenomena ekonomi. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan migrasi juga merupakan suatu keputusan yang telah dirumuskan secara rasional; para migran tetap saja pergi meskipun telah tahu betapa tingginya tingkat pengangguran yang ada di daerah-daerah perkotaan. Selanjutnya, model Todaro mendasarkan diri pada pemikiran bahwa arus migrasi itu berlangsung sebagai tanggapan terhadap adanya perbedaan penghasilan antara desa dan kota. Namun penghasilan atau pendapatan yang dipersoalkan di sini bukanlah penghasilan yang aktual, melainkan penghasilan yang diharapkan (expected income). Adapun premis dasar dalam model ini adalah bahw para migran senantiasa mempertimbangkan dan membanding-bandingkan berbagai macam pasar tenaga kerja yang tersedia bagi mereka di sektor pedesaan dan perkotaan, serta kemudian memilih salah satu diantaranya yang dapat memaksimumkan keuntungan yang "diharapkan" (expected gains) dari migrasi.
Pada dasarnya, model Todaro tersebut beranggapan bahwa segenap angkatan kerja, baik yang aktual maupun potensial, senantiasa membandingkan pengahasilan "yang diharapkan" selama kurun waktu tertentu di sektor perkotaan (yaitu selisih antara penghasilan dan biaya migrasi) dengan rata-rata tingkat penghasilan yang bisa diperoleh di pedesaan. Mereka baru akan memutuskan untuk melakukan migrasi jika penghasilan bersih yang tersedia di kota melebihi penghasilan bersih yang tersedia di desa.
Jadi singkatnya, model migrasi dari todaro memilki empat pemikiran dasar sebagai berikut :
Migrasi desa-kota dirangsang, terutama sekali oleh berbagai pertimbangan ekonomi yang rasional dan yang langsung berkaitan dengan keuntungan atau manfaat dan biaya-biaya relatif migrasi itu sendiri.
Keputusan untuk bermigrasi tergantung pada selisih antara tingkat pendapatan yang diharapkan di kota dan tingkat pendapatan actual di pedesaan (pendapatan yang diharapkan adalah sejumlah pendapatan yang secara rasional bisa diharapkan akan tercapai di masa mendatang). Besar kecilnya selisih pendapatan itu sendiri ditentukan oleh dua variable pokok, yaitu selisih upah aktual di kota dan di desa, serta besar atau kecilnya kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan yang menawarkan tingkat pendapatan sesuai dengan yang diharapkan.
Kemungkinan mendapatkan pekerjaan di perkotaan berkaitan langsung dengan tingkat lapangan pekerjaan di perkotaan, sehingga berbanding terbalik dengan tingkat pengangguran di perkotaan.
Laju migrasi desa-kota bisa saja terus berlangsung meskipun telah melebihi laju pertumbuhan kesempatan kerja. Kenyatan ini memiliki landasan yang rasional; karena adanya perbedaan ekspetasi pendapatan yang sangat lebar., yakni para migran pergi ke kota untuk meraih tingkat upah yang lebih tinggi yang nyata (memang tersedia). Dengan demikian, lonjakan pengangguran di perkotaan merupakan akibat yang tidak terhindarkan dari adanya ketidakseimbangan kesempatan ekonomi yang sangat parah antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan, dan ketimpangan-ketimpangan seperti itu amat mudah ditemui di kebanyakan Negara-negara Dunia Ketiga.
Meskipun model Todaro secara sekilas nampak kurang memperhatikan arti penting migrasi desa-kota (karena model ini berpendapat bahwa migrasi pada dasarnya merupakan suatu mekanisme penyesuaian alokasi tenaga kerja di desa dan kota), namun model tersebut mengandung sejumlah implikasi kebijakan yang sangat penting bagi negara-negara dunia ketiga yang terus dipusingkan oleh hal itu. Penjelasan-penjelasannya bisa dimanfaatkan untuk menunjang perumusan strategi-strategi pembangunan, khususnya yang berkenaan dengan tingkat upah dan pendapatan, pembangunan pedesaan, dan industrialisasi. Erikut ini adalah lima kebijakan yang paling penting :
Ketimpangan kesempatan kerja antara kota dan desa harus dikurangi.
Pemecahan masalah pengangguran tidak cukup hanya dengan menciptakan lapangan kerja di kota.
Pengembangan pendidikan yang berlebihan dapat mengakibatkan migrasi dan pengangguran.
Pemberian subsidi upah dan penentuan harga faktor produksi trdisional (tenaga kerja) justru menurunkan produktivitas.
Program pembangunan desa secara terpadu harus dipacu.
Dampak Urbanisasi
Dibawah ini ada beberapa dampak akibat terjadinya urbanisasi. Ada beberapa dampak positif dan negatif yang dihasilkan oleh urbanisasi, yaitu:
Dampak Positif.
Bagi Kota
Kota mendapatkan tenaga kerja yang melimpah karena banyak penduduk desa yang ke kota. Tenaga kerja tersebut biasanya gajinya murah dan bisa bekarja secara fisik.
Penduduk kota yang banyak menyebabkan terjadinya perdagangan yang besar. Hal ini disebabkan karena penduduk itu merupakan potensi konsumen yang baik untuk memasarkan produk-produk hasil produksi, makanya di kota banyak kita temui mal atau supermarket.
Pembangunan kota menjadi lebih cepat karena dukungan sumber daya manusia yang melimpah pada semua sektor kehidupan.
Munculnya banyak sekolah dan perguruan tinggi yang berkualitas. Karena persaingan yang begitu ketat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak maka banyak penduduk yang memilih lembaga pendidikan yang berkualitas.
Industri berkembang dengan baik. Hal ini dikarenakan banyak tenaga kerja dan banyaknya konsumen yang ada di kota.
Bagi Desa
Kesejahteraan penduduk desa meningkat, karena penduduk yang berhasil di kota akan mengirimkan uang ke desa.
Munculnya penduduk desa yang punya pendidikan tinggi, karena ada sebagian penduduk yang sekolah pada perguruan tinggi di kota.
Adanya alih teknologi. Penduduk desa yang di kota akan memberikan pengetahuannya kepada penduduk desa tentang teknologi yang suda berkembang di kota.
Adanya perhatian dari pemerintah untuk membangun desa supaya pemerintah bisa sukses untuk menghambat laju urbanisasi.
Adanya industri kecil dan keluarga yang berkembang di desa, karena penduduk kota yang kembali ke desa akan membuat industri skala kecil di desa, dimana pengetahuan kerajinan itu dia dapatkan sebelumnya di kota.
Dampak Negatif
Bagi Kota
Banyaknya pengangguran yang ada di kota, karena penduduk desa yang berurbanisasi mempunyai kualitas yang rendah. Sehingga tidak mampu bersaing di kota.
Munculnya tidak kriminal. Ini adalah ekses negatif dari pengangguran, sehingga banyak orang yang gelap mata untuk melakukan tindak yang tidak terpuji untuk memenuhi kebutuhannya.
Pemukiman kumuh yang semakin banyak dibangun di bantaran sungai sehingga menimbulkan banjir dan rendahnya mutu kesehatan.
Kemiskinan yang meningkat drastis di kota karena banyak orang yang tidak mendapat pekerjaan.
Kota semakin padat dan jalanan menjadi sangat macet. Sehingga mobilisasi penduduk kota menjadi terganggu.
Bagi Desa
Desa menjadi sepi dan kekurangan tenaga kerja karena penduduknya pindah ke kota.
Pembangunan desa menjadi terhambat karena kekurangan sumber daya manusia yang berkualitas.
Banyaknya fasilitas dan potensi desa yang terbengkalai, misalnya aliran irigasi menjadi tidak berguna karena banyak sawah yang tanami, karena petaninya pindah ke kota.
Industri kecil dan industri rakyat menjadi tidak berkembang dengan baik.
Fasilitas pendidikan dan kesehatan juga tidak bisa berkembang karena keengganan guru dan dokter untuk bekerja di desa.
Strategi Kebijakan Untuk Mengurangi Arus Urbanisasi
Berdasarkan analisis aspek demografis secara umum masalah urbanisasi belum sampai pada kondisi kritis atau menghawatirkan, akan tetapi bila dilihat dari segi kecepatannya maka semesti pemerintah memperhatikan atau melakukan tindakan antisipasi sejak awal, oleh karena itu perhatian pemerintah harus diarahkan pada bagaimana mengontrol atau mengendalikan arus urbanisasi sedemikian rupa sehingga selalu berjalan serasi dengan kemajuan di berbagai bidang pembangunan yang ada.
Proses urbanisasi di Indonesia sangat berkaitan dengan kebijakan pembangunan yang diambil oleh pemerintah pada masa lampau, baik menyangkut pembangunan spasial maupun sektoral. Sebagai akibat dari kebijakan spasial maka migrasi desa-kota sangat mempercepat tempo urbanisasi di beberapa daerah perkotaan.
Selain itu kebijaksanaan yang bersifat sektoral sangat diperlukan karena secara tidak langsung juga mempengaruhi urbanisasi, kebijakan sektoral ini antara lain bidang pendidikan, kependudukan, kebijakan harga, industri dan kebijakan transportasi serta komunikasi, kebijakan upah dan lain-lain.
Menurut Todaro (1997:343-345) berpendapat bahwa adapun strategi yang tepat untuk menanggulangi persoalan migrasi dan kaitannya dengan kesempatan kerja secara komprehensif, adalah sebagai berikut :
Penciptaan keseimbangan ekonomi yang memadai antara desa - kota.
Keseimbangan kesempatan ekonomi yang lebih layak antara desa dan kota merupakan suatu unsur penting yang tidak dapat dipisahkan dalam strategi untuk menanggulangi masalah pengangguran di desa-desa maupun di perkotaan, jadi dalam hal ini perlu ada titik berat pembangunan ke sektor perdesaan.
Perluasan industri-industri kecil yang padat karya.
Komposisi atau paduan output sangat mempengaruhi jangkauan kesempatan kerja karena beberapa produk. Membutuhkan lebih banyak tenaga kerja bagi tiap unit output dan tiap unit modal dari pada produk atau barang lainnya.
Penghapusan distorsi harga faktor-faktor produksi
Untuk meningkatkan kesempatan kerja dan memperbaiki penggunaan sumber daya modal langka yang tersedia maka upaya untuk menghilangkan distorsi harga faktor produksi, terutama melalui penghapusan berbagai subsidi modal dan menghentikan pembakuan tingkat upah diatas harga pasar.
Pemilihan teknologi produksi padat karya yang tepat
Salah satu faktor utama yang menghambat keberhasilan setiap program penciptaan kesempatan kerja dalam jangka panjang baik pada sektor industri di perkotaan maupun pada sektor pertanian diperdesaan adalah terlalu besarnya kekaguman dan kepercayaan pemerintah dari negara-negara dunia ketiga terhadap mesin-mesin dan aneka peralatan yang canggih (biasanya hemat tenaga kerja) yang diimpor dari negara-negara maju.
Pengubahan keterkaitan langsung antara pendidikan dan kesempatan kerja.
Munculnya fenomena "pengangguran berpendidikan" dibanyak negara berkembang mengundang berbagai pertanyaan tentang kelayakan pengembangan pendidikan khususnya pendidikan tinggi secara besar-besaran yang terkadang kelewat berlebihan.
Pengurangan laju pertumbuhan penduduk melalui upaya pengentasan kemiskinan absolut dan perbaikan distribusi pendapatan yang disertai dengan penggalakan program keluarga berencana dan penyediaan pelayanan kesehatan di daerah perdesaan.
Selain itu dikenal pula pembangunan agropolitan yang dapat mendorong kegiatan sektor pertanian dan sektor komplemennya di wilayah perdesaan. Untuk itu diharapkan adanya kebijaksanaan desentralisasi, sehingga terjadi keseimbangan ekonomi secara spasial antar wilayah perdesaan dengan kawasan perkotaan yang lebih baik dan sekaligus mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Adapun komponen dari strategi pembangunan agropolitan, antara lain :
Melakukan dan menggalakan kebijaksanaan desentralisasi dan penentuan keputusan alokasi investasi dengan mempermudah ijin-ijin kepada pihak swasta yang didelegasikan dari pusat kepada pemerintah daerah dan lokal.
Meningkatnya partisipasi kelompok sasaran dalam pembayaran sub-sub proyek untuk membangun rasa memiliki terhadap proyek yang dibangun bersama mereka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Urbanisasi merupakan salah satu aspek yang akan selalu mengiringi proses pembangunan suatu negara. Dimana urbanisasi sendiri memiliki dampak positif dan negative. Sehingga hal ini harus menjadi perhatian bagi Pemerintah khususnya, agar dampak positif yang dihasilkan lebih dominan dari pada dampak negative.
Ada beberapa faktor yang memicu timbulnya urbanisasi, salah satu yang paling dominan adalah karena faktor ekonomi. Ketidakpuasan penduduk desa dengan kondisi yang mereka alami di daerah mendorong mereka untuk mengadu nasib ke kota. Meskipun dengan persiapan seadanya. Hal inilah yang kemudian menjadi masalah yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Besarnya arus urbanisasi yang tidak terkendali justru akan membawa dampak negative bagi semua pihak, baik itu desa yang ditinggalkan maupun kota yang menjadi tempat tujuan. Yang pada akhirnya akan menjadi masalah nasional dari suatu negara.
Oleh karena itu diperlukan adanya kebijakan-kebijkan untuk menanggulangi besarnya arus urbanisasi yang ada. Dimana yang paling utama adalah menciptakan keseimbangan ekonomi anatara kota dan desa.
Daftar Pustaka
Todaro, M. P. dan Smith, S.C. (2006). Pembangunan Ekonomi. (alih bahasa: Haris Munandar; Puji A.L.). Jakarta: Erlangga.
Bintarto. 1983 Urbanisasi dam Permasalahannya, Yogyakarta: Galia Indonesia.
http://bhoeks-dou-mbozo.blogspot.co.id/2014/05/urbanisasi.html
https://daramuliya.wordpress.com/2013/11/30/ekonomi-pembangunan-urbanisasi-dan-migrasi-desa-kota-teori-dan-kebijakan/
http://rencute-ozha.blogspot.co.id/2013/01/urbanisasi-dan-migrasi-desa-kota-teori.html
http://terunesupiandi.blogspot.co.id/2014/09/summary-michael-p-todaro-and-stephen-c_92.html