Tugas Menulis Cerpen Herda Prabadipta
Aku mendapat tugas menulis cerpen alias cerita pendek oleh guru Bahasa Indonesiaku. Aku hanya tersenyum-senyum saat mendengar tugas itu. Kupikir itu adalah tugas yang mudah. Namun kalau begini terus, kupikir aku sudah salah menilai dan meremehkan tugas ini. Aku tidak punya ide sama sekali. Untuk temanya saja tidak ada bayangan apa-apa. Astaga, aku benar-benar bodoh. Sudah lewat dua hari dari tugas itu dinyatakan untuk untuk dibuat. Sepanjang itu pula aku tidak menemukan menemukan ide apapun. Aku merasa harus membuat cerita yang fantastis, agak berlebihan, berselera tinggi dan tidak kacangan. Tapi nampaknya otak ku ini hanya besar mulut. Dia bahkan tidak terlihat berusaha mencari imaji sama sekali. Padahal aku sudah membaca buku-buku novel yang ada di rumah. Ku pikir, mungkin saja kemampuan para penulis kondang itu terciprat sedikit. Setidaknya inspirasinyaaaaa....., saja. Yah, hasilnya nol besar walaupun aku sudah membaca lebih dari setengah buku-buku itu. N H Dini, Umar Kayam, A.A Navis. Gaya tulisan mereka nampak begitu elegan, memikat dan anggun. Seperti dalam novel Umar Kayam yang berjudul Para Priyayi . Dia menampilkan sosok ‘priyayi’, dengan ‘kepriyayian’nya dengan bahasanya yang gamblang namun tidak vulgar.. Ia menelanjangi tokoh dengan sangat baik. Aku tidak pernah bosan membacanya. Tapi nampaknya aku terlalu berkhayal menjadi mereka. Toh mereka tidak membuat cerita dan buku-buku itu dengan banyak ngalor-ngidul kesana kemari atau digabung dengan mengerjakan pe-er matematika. Atau mungkin bisa saja? Mereka orang-orang hebat yang sudah banyak makan asam garam. Umar Kayam adalah kelulusan Cornell University, dengan memperoleh gelar doktor. A.A Navis, penulis Robohnya Surau Kami , pernah menjadi Kepala Bagian Kesenian Jawatan Kebudayaan Propinsi Sumatra Tengah di Padang, sebelum membuat novel spektakuler itu. N H Dini, penulis yang sudah tidak terhitung lagi karya-karyanya, adalah seorang pramugari dan sudah pernah melihat negara di belahan dunia lain dengan mata
kepalanya sendiri. Astaga, mereka sudah sedahsyat itu untuk membuat kata demi kata dalam lembaran-lembaran tersebut. Aku mencoba mencari yang lebih segar, yang masih baru, yang masih fresh. fresh. Kutelusuri novel-novel ringan di deretan di bawahnya. Ada Icha Cintapuccino. Aku tau cerita ini, meskipun belum pernah Rahmanti dengan Cintapuccino. membacanya. Aku pernah menonton film yang berjudul sama, yang sebenarnya memang diangkat dari novel ini. Tapi roman seperti itu membuatku sakit perut. Mungkin nanti-nanti saja, kalau aku sudah lebih melankolis. Icha Rahmanti pun bukan cewek biasa. Dia Sarjana Teknik Arsitektur ITB dan sekarang bekerja sebagai penyiar di OZ FM Bandung. Ya ampun, keren amat. Mataku kabur mencari nama penulis muda lain. Aku mengambil buku berwarna kecoklatan bertuliskan Larung . Ah, Ayu Utami. Bahasanya begitu vulgar dan porno. Aku tidak yakin aku merasa nyaman saat membaca novel ini. Aku pernah membacanya, tapi itu dulu sekali. Aku sudah tidak ingat. Tapi yang kuingat novel ini begitu berani dan radikal . Tidak terlalu baik untuk aku yang naif ini. Orang-orang itu, aku mengagumi mereka. Aku tidak bergairah saat mengingat isi dari lemari besar itu. Ternyata ngefek banget lho! lho! Oke tidak memberi inspirasi sedikit pun, padahal biasanya ngefek banget lah mungkin sumber inspirasi untuk cerita pendek itu bukan dari sana. Mungkin dari tempat lain. Mungkin dari sekelilingku. Aku sampai melupakan aku sedang berada di sekolah dan sedang mengikuti kegiatan belajar mengajar. Lamunanku terlalu berlebihan, ngawang -ngawang kata ngawang kata orang tua. Astaga, untuk cerpen saja... “Aduh gue ngantuk, da,” teman sebangkuku memecahkan memecahkan lamunanku. “Ah, ya,” aku menjawab tanpa niat. Pandangan mataku beralih ke arah jendela. Mendung, namun warna abu-abu pekat itu nampak begitu terang di mataku. Menyilaukan sekali. Selang lima detik, baru terasa l ebih redup dan nampak lebih jelas. Maha Besar Allah yang menjadikan segala sesuatu dengan proses. Ah, ini bisa menjadi ide cerita. Tapi terlalu religius dan lugu. Gak jadi ah... lu jadi mau bikin tabungan kelas?” teman sebangkuku kembali “Eh, da, lu jadi memecah keheningan. keheningan. Ah, lagi-lagi aku terlalu asik melamun.
“Jadi, ayo aja gue mah,” aku menjawab seadanya. Toh tidak perlu ada tambahan informasi. Tiba-tiba entah kenapa aku memperhatikan teman sebangkuku ini. Wajahnya begitu bulat dan lucu. Pipinya kenyal bagai plastisin. Dia tidak pernah menggoda, tapi semua orang senang menggodanya. Matanya sayu memancarkan kebaikannya, persis dengan mata kakakku. Mungkin emang gitu ya, kalau orang paling tua. Keliatannya mbarep. Artinya paling tua. Jadi paling sabar banget, istilah orang jawanya, mbarep. dewasa, paling welas dan paling asih. “Tapi gue gak mau pegang duitnya!” dia merajuk seperti anak kecil. Benar-benar lucu. Dalam beberapa detik dia berubah 180 derajat. Sisi lainnya muncul, berputar begitu saja bagaikan mata koin. Dan tiba-tiba mirip dengan adikku yang manja dan pandai merajuk itu. Aku senyum-senyum saja melihatnya. Memang lucu kalau orang melakukan sesuatu yang mirip dengan orang lain. Tiba-tiba perhatianku berubah menjadi ke seisi kelas. Ada banyak macam manusia di sini. Ada temanku yang pintar, baik, ada yang jahil, ada yang penuh semangat, ada yang kalem, ada yang tergila-gila dengan artis Korea, ada yang pecicilan yang pecicilan,, ada juga yang judes yang judes,, ada yang kalau ngomong pedas-pedas cabe rawit. Di luar itu, mereka adalah sahabat-sahabat dan teman-teman terbaik yang pernah ada dalam kehidupan putih abu-abu ini. Orang-orang ini, aku menyayangi mereka. Akhirnya bel pulang. Aku sudah merasa cukup mengamati manusiamanusia tadi. Mungkinkah aku memakai salah satu karakter mereka untuk menjadi tokoh utamaku? Mungkin saja. Tapi cerita itu akan terlalu ringan. Aku juga kurang pandai dalam membangun konflik. Oh, itu pasti akan menjadi cerpen yang tidak menarik. Pacarku datang menghampiriku di kantin. Tepat ketika aku sedang duduk dengan si pipi kenyal dan si penggila artis korea. Aku tidak begitu excited dengan excited dengan kedatangannya. Toh dia juga tidak menyelamatkan otakku yang kelihatannya mulai berasap memikirkan ide cerpen. Dia langsung mendatangi temanku yang bulat dan lucu itu dan mulai menggodanya. Ah, dia memang menyukai anak-anak. Dia menyukai hal-hal yang lucu dan manis. Yah, tidak nampak dari perawakan luarnya, sih. Badannya besar dan kokoh bagaikan pohon beringin. Pipinya lucu padat
menggantung, yang mana aku selalu gemas untuk mencubitnya. Wajahnya garang dan kalau bicara suka nyelekit. Aku selalu membayangkan membayangkan dia adalah raksasa Rahwana kalau dalam pewayangan. Singkat kata : menyeramkan. Tapi dia memiliki banyak persamaan dengan ayahku. Ayahku yang jahil, ayahku yang tegas, ayahku yang gagah, ayahku yang pemarah, ayahku yang judes yang judes,, ayahku yang bisa segalanya, ayahku yang adil, ayahku yang bisa memimpin apapun, ayahku yang pantang menyerah, ayahku yang mencintai anak-anaknya dan tepatnya, ayahku yang keren. Mungkin itu sebabnya aku memilihnya. Dua orang itu, aku mencintai mereka. “Kesekolah bawa motor?” tanyanya dengan nada dingin, namun penuh perhatian. Aku menggeleng. Sejak mulai turun hujan aku j adi jarang membawa motor, walaupun motorku itu sudah seperti soulmateku soulmateku sendiri. Aku takut membawa motor di jalanan licin, karena aku pernah jatuh saat hari hujan. Padahal kecepatan laju motorku tidak kencang. “Mau dianter sampai rumah?” tanyanya lagi. Lagi-lagi aku menggeleng. Ibuku tidak akan suka bila mengetahui aku pulang diantar olehnya. Ibuku, yang mana aku lebih suka panggil ‘mama’, tidak terlalu merestui hubunganku ini. Bukan hal yang aneh bila seorang Ibu tidak menyetujui anaknya berpacaran. Aku terlalu muda, liar dan naif. Dia pasti khawatir pada anak perempuannya yang tidak tahu diri ini. Aku tidak ingin mengecewakan Mama. Aku tidak bisa mendeskripsikannya karena beliau adalah wanita yang hebat. Wanita yang mempunyai kenalan di segala lapisan. Wanita yang selalu menyebar tawa kemanapun dia pergi. Wanita yang bisa melakukan apa saja. Wanita yang penyabar. Wanita yang terlalu banyak menahan diri. Wanita yang terlalu banyak terisak diam-diam diantara doa setelah shalatnya. Orang ini, yang telah melahirkanku, aku mencintai dan mengidolakannya lebih dari apapun. Aku berjalan bersama pacarku ke arah mesjid yang terletak sekitar 7 meter dari gedung sekolah. Mesjid itu masih satu areal dengan sekolah. Genangan-genangan air di sepanjang perjalananku memantulkan awan yang masih abu-abu pekat. Aku sampai tidak sadar kalau selama jam pelajaran tadi turun hujan. Aku melompat ringan menghindari genangan-genangan genangan-genangan itu.
Terbersit rasa senang yang ganjil. Rasa senang yang cukup menyejukkan hatiku yang kering sedari pagi. “Apa-apaan sih lompat-lompat begitu?” tanya pacarku singkat. Nadanya sedikit menghardik. Cara bicaranya memang sering judes begitu. “Biarin,” jawabku nyengir . Toh aku senang, kamu mau apa? ceritanya kalau anak kecil,” dia berkomentar seperti ngedumel . “Lain ceritanya Lain cerita..., Ya ampun! Cerita! Cerita pendek! Beberapa menit tadi aku melupakan untuk membuat cerita pendek, topik utama yang meluluh lantak kan dan membumi hanguskan otak ku itu. Pintu mesjid terbagi dua. Sebelah kiri untuk perempuan dan sebelah kanan untuk laki-laki. Aku melambaikan tangan dan bersamaan dengan itu pacarku menghilang diantara dinding. Dia lelaki yang taat beribadah. Aku kagum sekali padanya. Selepas memperhatikannya berlalu, aku menuju pintu masuk dan mulai mempereteli perlengkapan. Sepatu, kaus kaki, tas dan jaket. Aku mengambil air wudhu dan shalat dzuhur. Aku shalat tidak terlalu serius, sebab ruangan mesjid ini sangat bising dengan suara gadis-gadis bercengkrama. Membicarakan hidup mereka yang menarik atau sekedar diskusi pelajaran. Suasana begitu bising namun nuansa damai terasa. Ini sumber inspirasi. Cerita apa yang bisa kutulis dari sini? Nampaknya tidak ada. Tapi disini terasa nyaman walaupun tidak ada yang mengajakku berbicara. Ada yang menyapaku satu-dua orang, tapi toh aku tetap pilih duduk sendiri mengamati mereka. Orang-orang ini, aku menyukai mereka. Aku sudah di angkutan umum. Aku duduk di pojok belakang. Bisa kuperhatikan pohon-pohon dan marka jalan yang bergerak mundur. Belum lagi motor-motor yang tampak mengejar. Seru sekali. Aku selalu senang kalau sedang naik angkutan umum, karena jarang leha-leha seperti ini. Kalau naik motor, tangan terasa pegal dan sekali bisa ber leha-leha pusing dengan kemacetan jalan. Apalagi, kalau naik angkutan umum, aku bisa memperhatikan dunia yang biasanya tidak pernah kuperhatikan, walaupun bila aku pulang naik motor aku melewati jalur yang sama. Aku bisa melihat toko-toko kecil yang aku tak pernah perhatikan sebelumnya Aku bisa melihat pengendara mobil
yang bosan karena hanya bisa maju sekitar 30 cm per menitnya.. Aku bisa melihat pengendara motor yang sibuk menghindari genangan air dan sangat gesit saat nyelip diantara barisan mobil-mobil itu. Aku bisa puas mengamati orang-orang dan kegiatannya yang ada di pinggir jalan atau halte. Dan lagi, wangi tanah basah favoritku terasa lebih jelas. Riuh rendah klakson membuat suasana sendiri. Suasana khas kesibukan ibu kota. Suasana seperti ini, aku selalu menikmatinya. Aku sudah sampai di rumah. Setelah mengucapkan salam aku masuk ke rumah. Rumah sepi karena semua orang sedang pergi. Ah, ketenangan seperti inilah yang aku butuhkan. Aku menyalakan komputerku. Menunggu loading nya nya dengan tenang sambil mengambil minum dan cemilan. Aku termenung sebentar sambil menatapi layar yang menyala. Aku mulai merenung, hari ini, aku merasa tidak mendapatkan inspirasi, padahal inspirasiku berada di sekelilingku! Aku tertawa kecil, berdehem dan senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Aku sudah tau apa yang ingin kutulis sekarang. Aku mulai menekan tombol-tombol abjad itu dengan tenang. Dan aku mulai tenggelam dalam dunia metafora yang aku ciptakan sendiri. Dunia yang kutahu pasti, kucintai dan kunikmati .
END.