ORDO DIPTERA Mata Kuliah : Entomologi Kesehatan Masyarakat Masyarakat Dosen : Tri Wahyuni S., S.Si., MPH.
Disusun oleh: Aurelia Inggrid Mahayuni
1403329041
UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN MASYARAKAT PROGRAM STUDI ALIH JALUR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT YOGYAKARTA 2015
BAB I PENDAHULUAN
A. Nyamuk Sebagai Vektor
Nyamuk termasuk jenis serangga dalam ordo diptera, dari kelas insecta. Nyamuk mempunyai dua sayap bersisik, tubuh yang langsing dan enam kaki panjang. Antar spesies berbeda-beda tetapi jarang sekali panjangnya melebihi 15 mm. (Levine, 1994). Nyamuk mengalami empat tahap dalam siklus hidup yaitu telur, t elur, larva, pupa dan dewasa. Nyamuk menghisap darah bukan untuk mendapatkan makanan melainkan untuk mendapatkan protein yang terdapat dalam darah sebagai nutrisi telurnya. Nyamuk jantan dan betina hanya memakan cairan nektar bunga, sedangkan nyamuk nyamuk menghisap darah demi kelangsungan kelangsungan spesiesnya. (Spielman.2001) Seekor nyamuk jantan telah cukup dewasa untuk kawin akan menggunakan antenanya (organ pendengar) untuk menemukan nyamuk betina. Fungsi antena nyamuk jantan berbeda dengan nyamuk betina. Bulu tipis di ujung antenanya sangat peka terhadap suara yang dipancarkan nyamuk betina. Tepat di sebelah organ seksual nyamuk jantan, terdapat anggota tubuh yang membantunya mencengkram nyamuk betina ketika mereka melakukan perkawinan di udara. Nyamuk jantan terbang berkelompok, sehingga terlihat seperti awan. Ketika seekor betina memasuki kelompok tersebut, nyamuk jantan berhasil mencengkram nyamuk betina dan akan melakukan perkawinan denganya selama penerbangan. Perkawinan tidak berlangsung lama dan nyamuk jantan akan kembali ke kelompoknya setelah melakukan perkawinan. Sejak saat itu, nyamuk betina memerlukan darah untuk perkembangan perkembangan telurnya.
2
BAB II AEDES AEGYPTI DAN AEDES ALBOPICTUS
A. Aedes Aegypti 1. Klasifikasi Ae. aegypti adalah sebagai berikut :
Golongan : Animalia Filum
: Arthropoda
Klas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Familly
: Culicidae
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes aegypti
2. Morfologi
Nyamuk Aedes merupakan sejenis nyamuk yang biasanya ditemui di kawasan tropis. Namanya diperoleh dari perkataan Yunani aēdēs, yang berarti "tidak menyenangkan", karena nyamuk ini menyebarkan beberapa penyakit berbahaya seperti demam berdarah dan demam kuning. Aedes yang berperan sebagai vector penyakit semuanya tergolong stegomya dengan ciri-ciri tubuh bercorak belang hitam putih pada dada, perut, tungkai. Corak ini merupakan sisi yang menempel di luar tubuh nyamuk. Corak putih pada dorsal dada (punggung) nyamuk berbentuk seperti siku yang berhadapan. Adapun metamorphosis Aedes aegypti dari stadium telur, larva, pupa sampai menjadi nyamuk dewasa adalah sebagai berikut : a. Telur Aedes Aegypti Setiap kali bertelur, nyamuk betina dapat mengeluarkan sekitar 100 butir telur dengan ukuran sekitar 0,7 mm per butir. Ketika pertama kali dikeluarkan oleh induk nyamuk, telur Aedes aegypti berwarna putih dan lunak. Telur tersebut kemudian menjadi berwarna hitam dan keras. Telur tersebut berbentuk ovoid yang meruncing dan selalu diletakkan satu per satu. Induk nyamuk biasanya meletakkan telurnya di dinding tempat penampungan air, seperti gentong, lubang batu dan lubang pohon di atas garis air Telur Aedes aegypti dapat bertahan pada kondisi kering pada waktu dan intensitas yang bervariasi hingga beberapa bulan. Jika tergenang dalam air, beberapa telur mungkin menetas dalam beberapa menit, sedangkan yang lain mungkin membutuhkan waktu lama terbenam dalam air. Penetasan telur berlangsung dalam beberapa hari atau minggu. Telur-telur Aedes aegypti dapat berkembang pada habitat kontainer kecil yang rentan terhadap kekeringan. Bertahan dalam kekeringan dan kemampuan telur Aedes aegypti untuk menetas dapat 3
menimbulkan masalah dalam pengendalian tahap immatur. Telur Aedes aegypti paling banyak diletakkan pada ketinggian 1,5 cm diatas permukkan air, dan semakin tinggi dari permukaan air atau semakin mendekati permukaan air jumlahnya semakin sedikit. b. Larva Aedes Aegypti Larva Aedes aegypti memiliki sifon yang pendek, dan hanya ada sepasang sisik subsentral yang jaraknya lebih dari ¼ bagian dari pangkal sifon. Ciri-ciri tambahan yang membedakan larva Aedes aegypti dengan genus lain adalah sekurang-kurangnya ada tiga pasang setae pada sirip ventral, antena tidak melekat penuh dan tidak ada setae yang besar pada toraks. Ciri ini dapat membedakan larva Aedes aegypti dari umumnya genus Culicine, kecuali Haemagogus dari Amerika Selatan. Larva Aedes aegypti bergerak aktif, mengambil oksigen dari permukaan air dan makan pada dasar tempat perindukan. c. Pupa Aedes Aegypti Stadium pupa atau kepompong merupakan fase akhir siklus nyamuk dalam lingkungan air. Stadium ini membutuhkan waktu sekitar 2 hari pada suhu optimum atau lebih panjang pada suhu rendah. Pada fase ini adalah periode waktu atau masa tidak makan dan sedikit bergerak. Pupa biasanya mengapung pada permukaan air di sudut atau tepi-tepi tempat perindukan. Ketika pertama kali muncul, pupa Aedes aegypti berwarna putih, akan tetapi dalam waktu singkat pigmennya berubah. Pupa Aedes aegypti berbentuk koma dan juga dikenal dengan istilah “tumblers”. d. Nyamuk Aedes Aegypti Dewasa Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki ukuran sedang dengan tubuh berwarna hitam kecoklatan. Tubuh dan tungkainya ditutupi sisik dengan gari-garis putih keperakan. Di bagian punggung tubuhnya tampak dua garis melengkung vertikal di bagian kiri dan kanan yang menjadi ciri dari spesies ini. Pada umumnya, sisik-sisik pada tubuh nyamuk mudah rontok atau terlepas sehingga menyulitkan identifikasi pada nyamuk-nyamuk tua. Ukuran dan warna nyamuk jenis ini kerap berbeda antar populasi, tergantung dari kondisi lingkungan dan nutrisi yang diperoleh nyamuk selama perkembangan. Nyamuk jantan dan betina tidak memiliki perbedaan dalam hal ukuran nyamuk jantan yang umumnya lebih kecil dari betina dan terdapatnya rambut-rambut tebal pada antena nyamuk jantan. Kedua ciri ini dapat diamati dengan mata telanjang. Aedes aegypti bentuk domestik lebih pucat dan hitam kecoklatan.
3. Habitat, Kebiasaan Hidup dan Reproduksi Nyamuk Aedes Aegypti
Secara bioekologis spesies nyamuk Aedes aegypti mempunyai dua habitat, yaitu: perairan untuk fase pradewasanya (telur, larva, dan pupa), dan daratan atau udara untuk nyamuk dewasa. Walaupun habitat nyamuk dewasa di daratan atau udara, akan tetapi nyamuk ini juga mencari 4
tempat di dekat permukaan air untuk meletakkan telurnya. Bila telur yang diletakkan nyamuk tersebut tidak mendapat sentuhan air atau kering, telur tersebut masih mampu bertahan hidup antara 3 bulan sampai satu tahun. Masa hibernasi telur-telur itu akan berakhir atau menetas bila sudah mendapatkan lingkungan yang cocok pada musim hujan untuk menetas. Telur nyamuk akan menetas antara 3 – 4 jam setelah mendapat genangan air menjadi larva. Habitat larva yang keluar dari telur tersebut hidup mengapung di bawah permukaan air. Perilaku hidup larva tersebut berhubungan dengan upayanya menjulurkan alat pernafasan yang disebut sifon, menjangkau permukaan air guna mendapatkan oksigen untuk bernafas. Habitat seluruh masa pradewasanya dari telur, larva dan pupa hidup di dalam air walaupun kondisi airnya sangat terbatas Aedes aegypti lebih menyukai tempat di dalam rumah penduduk, berbeda dengan Aedes albopictus yang lebih menyukai tempat di luar rumah penduduk, yaitu hidup di pohon atau kebun atau kawasan pinggir hutan. Di dalam rumah Aedes aegypti seringkali hinggap pada pakaian yang digantung untuk beristirahat dan bersembunyi, menantikan saat tepat inang datang untuk mengisap darah. Informasi tentang habitat dan kebiasaan hidup nyamuk tersebut sangat penting untuk mempelajari dan memetakan keberadaan populasinya untuk tujuan pengendaliannya baik secara fisik-mekanik, biologis ma upun kimiawi. Dengan demikian, sarang telur Aedes aegypti paling banyak ditemukan di wadah air rumah tangga buatan manusia. Nyamuk Aedes aegypti betina yang sudah dibuahi akan menghisap darah dalam waktu 24-36 jam. Darah merupakan sumber protein yang penting untuk mematangkan telur nyamuk. Nyamuk Aedes aegypti sangat antropofilik, walaupun ia juga bisa makan dari hewan berdarah panas lainnya. Sebagai hewan diurnal, nyamuk betina memiliki dua periode aktivitas menggigit. Pertama di pagi hari selama beberapa jam setelah matahari terbit, dan kedua, di sore hari selama beberapa jam sebelum gelap. Puncak aktivitas menggigit yang sebenarnya dapat beragam bergantung lokasi dan musim. Jika masa makannya terganggu, Aedes aegypti dapat menggigit lebih dari satu orang. Perilaku ini semakin memperbesar proses penyebaran epidemi. Dengan demikian, bukan hal yang luar biasa jika beberapa anggota keluarga yang sama mengalami penyakit ini yang terjadi dalam 24 jam, memperlihatkan bahwa mereka terinfeksi nyamuk infektif yang sama. Aedes aegypti biasanya tidak menggigit di malam hari, tetapi akan menggigit saat malam di kamar yang terang. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti betina dewasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk ketersediaan tempat bertelur dan darah dengan jarak kurang lebih 100 meter dari lokasi kemunculan. Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata lama hidup hanya delapan hari. Selama musim hujan, saat masa bertahan hidup lebih panjang, resiko penyebaran virus semakin besar. Nyamuk sebagai vektor dapat terinfeksi jika ia mengisap darah manusia yang mengandung virus. Pada kasus DF/DHF, veraemia dalam tubuh manusia dapat terjadi 1 – 2 hari sebelum 5
mulai demam dan berlangsung kurang lebih selama lima hari setelah mulai demam. Setelah masa inkubasi instrinsik selama 10 – 12 hari, virus berkembang menembus usus halus untuk menginfeksi jaringan lain di dalam tubuh nyamuk, termasuk kelenjar ludah nyamuk. Jika nyamuk itu menggigit orang yang rentan lainnya setelah kelenjar ludahnya terinfeksi, nyamuk itu akan menularkan virus dengue ke orang tersebut melalui suntikan air ludahnya. Nyamuk Aedes aegypti dewasa memiliki rata-rata hidup hanya delapan hari. Selama musim hujan, saat bertahan hidup lebih panjang resiko penyebaran lebih besar. Besarnya pH air yang ada di sekitar masyarakat cukup bervariasi tergantung pada jenis air serta letak geografis. Telur relatif lebih cepat menjadi nyamuk pada pH netral (6;6,5;7) dibandingkan pada pH asam dan basa. Jumlah telur paling banyak ditemukan pada pH 6,5 dan 7. Pada keadaan optimal yaitu cukup makanan dan suhu air 25 0C-270C, perkembangan larva selama 6-8 hari. Bila suhu air lebih dari 280C atau kurang dari 24 0C, perkembangan larva menjadi lama, larva mati pada suhu kurang dari 10 0C atau lebih dari 40 0C. Pencahayaan ruangan dapat mempengaruhi pertumbuhan larva Aedes aegypti. Larva dapat berkembang biak pada pencahayaan kurang dari 85 lux. Sedangkan di atas 85 lux larva Aedes aegypti pertumbuhan akan terhambat dan akhirnya akan mati. Aedes aegypti merupakan spesies nyamuk yang hidup dan ditemukan di negara-negara yang terletak antara 350 Lintang Utara dan 35 0 Lintang Selatan pada temperatur udara paling rendah sekitar 100C. Pada musim panas, spesies ini kadang-kadang ditemukan di daerah yang terletak sampai sekitar 450 Lintang Selatan. Selain itu ketahanan spesies ini juga tergantung pada ketinggian daerah yang bersangkutan dari permukaan laut. Aedes aegypti dapat ditemukan pada ketinggian antara 0 – 1000 m diatas permukaan laut. Ketinggian yang rendah (<500 m) memiliki tingkat kepadatan populasi yang sedang sampai berat, sedangkan di daerah pegunungan (>500m) kepadatan populasi rendah. Batas ketinggian penyebaran Aedes aegypti di kawasan Asia Tenggara berkisar 1000 – 1500 m. Dengan ciri highly antropophilic dan kebiasaan hidup di dekat manusia. Aedes aegypti dewasa menyukai tempat gelap yang tersembunyi di dalam rumah sebagai tempat beristirahatnya. Nyamuk ini merupakan vector efisien bagi arbovirus Ae aegypti
juga mempunyai kebiasaan mencari makan (menggigit manusia untuk dihisap
darahnya) sepanjang hari terutama antara jam 08.00-13.00 dan antara jam 15.00-17.00. Sebagai nyamuk domestik di daerah urban, nyamuk ini merupakan vector utama (95%) bagi penyebaran penyakit DBD. Jarak terbang spontan nyamuk betina jenis ini terbatas sekitar 30-50 meter per hari. Jarak terbang jauh biasanya terjadi secara pasif melalui semua jenis kendaraan termasuk kereta api, kapal laut dan pesawat udara.
6
4. Vektor Penyakit
Vektor klasik penyakit DBD adalah jenis nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus terutama bagi negara Asia, Philipina, dan Jepang. Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Ae. Aegypti dan Ae. albopictus. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Ae. aegypti. Penyakit ini dapat menyerang semua orang dan dapat mengakibatkan kematian terutama pada anak dan serta menimbulkan kejadian luar biasa atau wabah. Penyakit ini ditularkan orang yang dalam darahnya terdapat virus Dengue. Orang ini biasanya menunjukan gejala sakit tetapi juga tidak sakit yaitu jika mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue. Jika orang digigit nyamuk Ae. aegypti maka virus akan masuk bersama darah yang dihisapnya. Di dalam tubuh nyamuk itu, virus Dengue akan berkembang biak dengan cara membelah diri dan menyebar di seluruh bagian tubuh nyamuk. Dalam waktu satu minggu jumlahnya dapat mencapai puluhan atau bahkan ratusan ribu sehingga siap untuk ditularkan atau dipindahkan kepada orang lain. Selanjutnya pada waktu nyamuk menggigit orang lain, maka setelah alat tusuk nyamuk (proboscis) menemukan kapiler darah, sebelum darah orang tersebut dihisap terlebih dahulu dikeluarkan air liur dari kelenjar air liur nyamuk agar darah yang dihisap tidak membeku. Bersama dengan air liur nyamuk Ae. aegypti yang membawa virus Dengue itu akan terserang penyakit demam berdarah, orang yang mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, tidak akan terserang penyakit ini, meskipun di dalam darahnya terdapat virus tersebut. Sebaliknya pada orang yang tidak mempunyai kekebalan yang cukup terhadap virus Dengue, dia akan sakit demam ringan bahkan sakit berat yaitu demam tinggi disertai perdarahan bahkan syok, tergantung dari tingkat kekebalan tubuh yang dimilikinya.
B. Aedes Albopictus 1. Klasifikasi Ae. Albopictus adalah sebagai berikut :
Golongan : Animalia Filum
: Arthropoda
Klas
: Insekta
Ordo
: Diptera
Familly
: Culicidae
Genus
: Aedes
Spesies
: Aedes albopictus
7
2. Morfologi
Secara morfologis nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sangat mirip. Akan tetapi keduanya dapat dibedakan dari strip putih yang terdapat pada bagian skutumnya, bahwa skutum Aedes aegypti berwarna hitam dengan dua strip putih sejajar di bagian punggung (dorsal) tengah yang diapit oleh dua garis lengkung berwarna putih. Sementara itu, skutum Aedes albopictus juga berwarna hitam, namun hanya berisi satu garis putih tebal di bagian dorsalnya. Adapun metamorphosis Aedes albopictus dari stadium telur, larva, pupa sampai menjadi nyamuk dewasa adalah sebagai berikut : a. Telur Ae. albopictus Telur nyamuk Ae. albopictus berwarna hitam, yang akan menjadi lebih hitam warnanya ketika menjelang menetas, bentuk lonjong dengan satu ujungnya lebih tumpul dan ukurannya lebih kurang 0,5 mm. Kehidupan nyamuk Ae. albopictus dimulai dari telur yang diletakkan pada dinding dekat permukaan air. Perletakan dapat terjadi kira-kira 4 sampai 5 hari sesudah kawin atau 7 hari sesudah menghisap darah pada suhu 21ºC dan 3 hari pada suhu 28ºC. Perletakan telur Ae. albopictus sama seperti Ae. aegypti yaitu pada wadah-wadah berair dengan permukaan yang kasar dan warna yang gelap, diletakkan satu-satu di dinding dekat permukaan air. Jumlah telur yang diletakkan seekor nyamuk Ae. albopictus betina rata-rata 62,4 butir, pada sebuah pengamatan diketahui, dari 50 ekor
Aedes albopictus betina
meletakkan 4.478 butir telur. Setiap ekor betina meletakkan telur antara 2 sampai 8 kelompok. Berarti seekor Ae. albopictus betina rata-rata dapat bertelur kira-kira 89 butir. Telur Aedes Sp umumnya tahan sampai berbulan-bulan dengan pengeringan dan menetas beberapa saat setelah kontak dengan air. Kelembaban yang terlampau rendah dapat menyebabkan telur menetas. Telur akan menetas dalam waktu satu sampai 48 jam pada temperatur 23 sampai 27ºC dan pada pengeringan biasanya telur akan menetas segera setelah kontak dengan air. Sedangkan untuk mendapatkan jumlah penetasan telur Ae. albopictus yang paling tinggi adalah dengan perlakuan didiamkan selama 2 hari dalam air sesudah bertelur kemudian dikeringkan selama 5 hari. Proses menetas terjadi pada ujung tumpul yang dimulai dengan terjadinya sobekan melintang dan dengan dorongan kepala bagian tumpul tersebut akan terlepas. b. Larva Ae. Albopictus Larva Ae. albopictus kepala berbentuk bulat silindris, antena pendek dan halus dengan rambut-rambut berbentuk sikat di bagian depan kepala, pada ruas abdomen VIII terdapat gigi sisir yang khas dan tanpa duri pada bagian lateral thorax (yang membedakannya dengan Ae. aegypti), berukuran lebih kurang 5 mm.
8
Dalam membedakan instar dari larva Ae. albopictus dapat dipakai perbedaan lebar seperti pada Ae. aegypti yaitu : instar I dengan lebar kepala lebih kurang 0,3 mm, instar II lebar kepalanya lebih kurang 0,45 mm, instar III lebar kepala lebih kurang 0,65 mm, instar IV lebar kepala lebih kurang 0,95 mm. Larva umumnya mempunyai masa hidup rata-rata 6-8 hari, dengan perincian masa instar berkisar kira-kira yaitu : instar I antara 1-2 hari; instar II antara 2-3 hari; instar III antara 2-3 hari dan instar IV sampai menjadi pupa rata-rata selama 3 hari. Secara umum pada suhu optimum 21- 25ºC masa larva berkisar antara 10-12 hari sedangkan pada pada suhu 23-27ºC pada 6-8 hari. Tempat-tempat penampungan air baik yang terjadi secara alami maupun buatan manusia yang pernah ditemui adanya larva Ae. albopictus antara lain adalah seperti tempat penampungan air bersih pada bak mandi dan drum atau tempayan, tempat-tempat tertampungnya air hujan pada bambu yang terpotong, kaleng beas, botol pecah atau ban bekas, keramik, jambangan bunga, perangkap semut, dan dapat juga pada ketiak daun. Kadang-kadang larva masih dijumpai hidup pada air jernih yang sedikit/ tidak ada kemungkinan mengandung makanan. c. Pupa Ae. albopictus Pupa Ae. albopictus bentuk seperti koma dengan cephalothorax yang tebal, abdomen dapat digerakkan vertikal setengah lingkaran, warna mulai terbentuk agak pucat berubah menjadi kecoklatan kemudian menjadi hitam ketika menjelang menjadi dewasa, dan kepala mempunyai corong untuk bernapas yang berbentuk seperti terompet panjang dan ramping. Pupa biasanya mempunyai masa hidup sampai menjadi dewasa antara 1 sampai 2 hari atau pada suhu kamar berkisar antara 1 sampai 3 hari. Pupa jantan dan betina dibedakan dari ukurannya yaitu pupa betina lebih besar dari yang jantan. Pupa yang baru berwarna pucat lalu menjadi coklat dan kemudian berwarna hitam menjelang menjadi dewasa. d. Nyamuk Dewasa Ae. Albopictus Nyamuk Dewasa Ae. albopictus tubuh berwarna hitam dengan bercak/garis-garis putih pada notum dan abdomen, antena berbulu/plumose, pada yang jantan palpus sama panjang dengan proboscis sedang yang betina palpus hanya 1/4 panjang proboscis, mesonotum dengan garis putih horizontal, femur kaki depan sama panjang dengan proboscis, femur kaki belakang putih memanjang di bagian posterior, tibia gelap/ tidak bergelang pucat dan sisik putih pada pleura tidak teratur.
3. Habitat, Kebiasaan Hidup dan Reproduksi Nyamuk Aedes albopictus
Ae. albopictus termasuk dalam subgenus yang sama dengan Ae. Aegyti (Stegomyia). Spesies ini tersebar luas di Asia dan Negara beriklim tropis sampai yang beriklim subtropis. 9
Selama dua decade terakhir, spesies ini telah melebarkan sayapnya sampai ke Amerika Selatan dan Utara, Karibia, Afrika, Eropa Utara dan beberapa kepulauan Pasifik. Ae. albopictus mempunyai kebiasaan bertelur di luar rumah terutama di
hutan bambu.
Nyamuk ini akan menggigit sepanjang hari, mulai dari pagi hari sampai sore hari. Bahkan sanggup menghisap darah sampai beberapa kali. Ae. albopictus merupakan nyamuk kebun (forest mosquito) yang memperoleh makanan dengan cara menggigit dan menghisap darah berbagai jenis binatang, berkembangbiak di dalam lubang – lubang pohon, lekukan tanaman, potongan batang bambu dan buah kelapa yang terbuka. Larva atau bentuk imatur nyamuk jenis ini mempunyai habitat hidup dalam genangan air dalam kaleng, tempat penampungan lain termasuk timbunan sampah di udara terbuka. Habitat larva yang semacam ini menyebabkan spesies ini banyak dijumpai di daerah pedesaan, pinggiran kota dan taman – taman kota. Ae. albopictus pada dasarnya adalah spesies hutan yang beradaptasi dengan lingkungan manusia di pedesaan, pinggiran kota dan perkotaan. Nyamuk bertelur dan berkembang di lubang pohon, ruas bambu, dan pangkal daun sebagai habitat hutannya, serta penampung buatan di daerah perkotaan. Nyamuk ini merupakan penghisap darah yang acak dan lebih zoofilik (memilih hewan) daripada Ae. aegypti. Jarak terbangnya bisa mencapai 500 meter. Tidak seperti Ae. aegypti, beberapa strain dari spesies ini berhasil beradaptasi dengan cuaca dingin di wilayah Asia Utara dan Amerika, saat telurnya menghabiskan musim dingin dengan beristirahat. Dalam musim penghujan relative tersedia lebih banyak tempat yang cocok bagi habitat Ae. albopictus. Itulah sebabnya jumlah populasi Ae. Albopictus sangat erat kaitannya dengan musim penghujan. Dalam bentuk dewasa spesies ini juga mempunyai kebiasaan mencari makan pada siang hari. Jarak terbang nyamuk dewasa betina jenis ini berkisar antara 400 – 600 meter. Kesempatan berpindah tempat secara pasif bagi Ae. albopictus lebih terbatas sebab spesies ini hidup di luar rumah. Namun di sisi lain, kebiasaan mencari makan Ae. Albopictus memungkinkan spesies ini mentransmisikan virus Dengue dari kera ke manusia dan sebaliknya. Di beberapa wilayah Asia, Ae. albopictus terkadang diduga sebagai vektor epidemic DBD walaupun tidak sepenting Ae. aegypti. Di laboratorium, kedua spesies nyamuk tersebut dapat menularkan virus Dengue secara vertical melalui nyamuk betina ke telur sampai keturunannya walaupun Ae albopictus lebih cepat melakukannya. Nyamuk Ae. albopictus yang membutuhkan darah dalam hidupnya adalah nyamuk betina sebelum maupun sesudah kawin. Kebiasaan mencari darah nyamuk Ae. Albopictus terjadi hampir sepanjang hari sejak pagi kira-kira pukul 07.30 sampai sore antara pukul 17.30 dan 18.30, dengan aktifitas mengigit pada sore hari 2,4 kali lebih tinggi daripada pagi hari. Pada percobaan laboratorium, nyamuk betina yang belum pernah kawin dan belum pernah bertelur mempunyai aktifitas mengigit tertinggi pada pukul 10.30 dan sore hari antara pukul 15.30 dan 10
17.30. Nyamuk Ae. albopictus merupakan nyamuk yang selalu menyenangi darah manusia dengan puncak aktifitas pada saat matahari terbit dan sebelum matahari terbenam. Sifat mengigit nyamuk Ae. albopictus adalah secara multiple/mengigit beberapa kali pada beberapa individu. Nyamuk betina sesudah kenyang/penuh menghisap darah tidak akan menghisap darah lagi sampai kepada sesudah perletakkan telurnya. Nyamuk betina Ae. Albopictus cenderung terbang di sekitar tempat perindukan, tetapi pada keadaan angin tenang dapat terbang maksimal pada jarak 434 meter. Tinggi terbangnya tidak jauh dari permukaan tanah dan bergerak ke semua arah. Naluri terbang ini biasanya untuk tujuan mendapatkan mangsa, mancari tempat untuk bertelur, mencari pasangannya (pada jantan) dan mencari tempat untuk beristirahat. Nyamuk Ae. albopictus di Jawa ditemui pada daerah dengan ketinggian sampai 1400 meter di atas permukaan laut. Dalam musim penghujan relative tersedia lebih banyak tempat yang cocok bagi habitat Ae. albopictus. Itulah sebabnya jumlah populasi Ae. Albopictus sangat erat kaitannya dengan musim penghujan. Dalam bentuk dewasa spesies ini juga mempunyai kebiasaan mencari makan pada siang hari. Jarak terbang nyamuk dewasa betina jenis ini berkisar antara 400 – 600 meter. Kesempatan berpindah tempat secara pasif bagi Ae. albopictus lebih terbatas sebab spesies ini hidup di luar rumah. Namun di sisi lain, kebiasaan mencari makan Ae. Albopictus memungkinkan spesies ini mentransmisikan virus Dengue dari kera ke manusia dan sebaliknya. Di beberapa wilayah Asia, Ae. albopictus terkadang diduga sebagai vektor epidemi DBD walaupun tidak sepenting Ae. aegypti. Di laboratorium, kedua spesies nyamuk tersebut dapat menularkan virus Dengue secara vertical melalui nyamuk betina ke telur sampai keturunannya walaupun Ae albopictus lebih cepat melakukannya.
4. Vektor Penyakit
Vektor klasik penyakit DBD adalah jenis nyamuk Ae. aegypti dan Ae. albopictus terutama bagi negara Asia, Philipina, dan Jepang. Vektor DBD di Indonesia adalah nyamuk Ae. Aegypti dan Ae. albopictus. Pada kejadian wabah demam berdarah dengue (DBD), Ae. albopictus sering dianggap sebagai vektor sekunder sesudah Ae. aegypti. Tetapi pada beberapa kasus ledakan DBD, Ae. albopictus dapat berperan sebagai vektor utama, seperti yang pernah terjadi di Burma pada tahun 1975, di Singapura pada tahun 1969 dan di Indonesia pada waktu terjadi wabah di Bantul Yogyakarta tahun 1977. Pada beberapa penyelidikan di laboratorium dapat terlihat bahwa Ae. albopictus mampu menjadi penular/reservoir dari penyakit yang disebabkan oleh Dirofilaria immitis, Plasmodium lophurae, Plasmodium gallinaceum, Plasmodium fallax dan beberapa virus penyebab penyakit Western encephalistis, Chikungunya dan Japanese encephalistis.
11
BAB III CULEX QUINQUEFASCIATUS
A. Klasifikasi
Klasifikasi nyamuk Culex menurut Romoser & Stoffolano (1998), adalah sebagai berikut : Phylum
: Arthropoda
Classis
: Insecta
Subclassis : Pterygota Ord0
: Diptera
Subordo
: Nematocera
Familia
: Culicidae
Subfamilia : Culicianae Genus
: Culex
Spesies
: Culex quinquefasciatus Say.
Genus Culex dikenali dengan struktur sketelumnya yang trilobus, ujung abdomen yang tumpul dan badannya yang penuh dengan sisik-sisik. Selain itu, struktur yang membedakan genus ini dengan genus yang lain adalah struktur yang disebut pulvilus yang berdekatan dengan kuku diujung kaki nyamuk (Setiawati, 2000).
B. Morfologi Nyamuk Culex quinquefasciatus Say Nyamuk mempunyai beberapa ciri yaitu tubuhnya dibedakan atas kaput, toraks, abdomen dan mempunyai 3 pasang kaki dan sepasang antena. Satu pasang sayap dan halter menempatkan nyamuk dalam ordo Diptera. Sisik pada sayap dan adanya alat mulut yang panjang seperti jarum menempatkan nyamuk ke dalam familia Culicidae (Borror dkk., 1992). Genus Culex dicirikan dengan bentuk abdomen nyamuk betina yang tumpul pada bagian ujungnya. Nama lain nyamuk Culex quinquefasciatus adalah Culex pipiens fatigans Wiedemann (Setiawati, 2000). Kepala Culex umumnya bulat atau sferik dan memiliki sepasang mata, sepasang antena, sepasang palpi yang terdiri atas 5 segmen dan 1 probosis antena yang terdiri atas 15 segmen. Berbeda dengan Aedes, pada genus Culex tidak terdapat rambut pada spiracular maupun pada post spiracular. Panjang palpus maxillaries nyamuk jantan sama dengan proboscis. Bagian toraks nyamuk terdiri atas 3 bagian yaitu protoraks, mesotoraks dan metatoraks. Bagian metatoraks mengecil dan terdapat sepasang sayap yang mengalami modifikasi menjadi halter. Abdomen terdiri atas 8 segmen tanpa bintik putih di tiap segmen. Ciri lain dari nyamuk Culex adalah posisi yang sejajar dengan bidang permukaan yang dihinggapi saat istirahat atau saat menusuk dengan kaki belakang yang sedikit terangkat (Setiawati, 2000).
12
Nyamuk Culex quinquefasciatus berwarna coklat, berukuran sedang, dengan bintik-bintik putih di bagian dorsal abdomen. Sedangkan kaki dan proboscis berwarna hitam polos tanpa bintik-bintik putih. Spesies ini sulit dibedakan dengan nyamuk genus Culex lainnya. Seluruh siklus hidup Culex quinquefasciatus mulai dari telur hingga dewasa membutuhkan waktu sekitar 14 hari. Untuk bertelur, nyamuk betina akan mencari tempat yang sesuai seperti genangan air yang lembab. Adapun siklus metamorfosis nyamuk Culex quinquefasciatus adalah Metamorfosis sempurna (holometabola) sebagai berikut : 1. Telur Nyamuk Culex meletakkan telur di atas permukaan air secara bergerombol dan bersatu membentuk rakit sehingga mampu untuk mengapung. Sekali bertelur menghasilkan 100 telur. Telur akan menjadi jentik setelah sekitar 2 hari. 2. Larva Salah satu ciri dari larva nyamuk Culex adalah memiliki siphon. Siphon dengan beberapa kumpulan rambut membentuk sudut dengan permukaan air. Nyamuk
Culex mempunyai 4
tingkatan atau instar sesuai dengan pertumbuhan larva tersebut, yaitu : a. Larva instar I, berukuran paling kecil yaitu 1 – 2 mm atau 1 – 2 hari setelah menetas. Duriduri (spinae) pada dada belum jelas dan corong pernafasan pada siphon belum jelas. b. Larva instar II, berukuran 2,5 – 3,5 mm atau 2 – 3 hari setelah telur menetas. Duri-duri belum jelas, corong kepala mulai menghitam. c. Larva instar III, berukuran 4 – 5 mm atau 3 – 4 hari setelah telur menetas. Duri-duri dada mulai jelas dan corong pernafasan berwarna coklat kehitaman. d. Larva IV, berukuran paling besar yaitu 5 – 6 mm atau 4 – 6 hari setelah telur menetas, dengan warna kepala. 3. Pupa (kepompong) Tubuh pupa berbentuk bengkok dan kepalanya besar. Pupa membutuhkan waktu 2-5 hari. Pupa tidak makan apapun. Sebagian kecil tubuh pupa kontak dengan permukaan air, berbentuk terompet panjang dan ramping, setelah 1 – 2 hari akan menjadi nyamuk Culex (Kardinan, 2003). 4. Nyamuk Dewasa Ciri-ciri nyamuk Culex dewasa adalah berwarna hitam belang-belang putih, kepala berwarna hitam dengan putih pada ujungnya. Pada bagian thorak terdapat 2 garis putih berbentuk kurva. Culex betina memiliki antena berambut jarang (pilose) palpus lebih pendek daripada probocsis. Culex jantan memiliki antena berambut lebat (plumose), palpussama atau melebihi panjang proboscis.
13
C. Habitat, Kebiasaan Hidup dan Reproduksi Nyamuk Culex
Nyamuk tertarik pada benda dan pakaian berwarna gelap, manusia serta hewan. Hal ini disebabkan oleh rangsangan bau zat-zat yang dikeluarkan hewan, terutama CO2 dan beberapa asam amino.
Berbeda dengan nyamuk Anopheles, nyamuk genus Culex mempunyai kebiasaan
menghisap pada malam hari saja. Jarak terbang nyamuk Culicini sangat pendek hanya beberapa puluh meter saja (Dinata, 2009). Berkembang biak di tempat kotor atau di rawa-rawa. Penularan penyakit dengan cara membesarkan tubuhnya. Jarak terbang Culicinini biasanya pendek yang mencapai jarak rata-rata hanya beberapa puluh meter saja. Nyamuk betina menghisap darah untuk proses pematangan telur, berbeda dengan nyamuk jantan. Nyamuk jantan tidak memerlukan darah tetapi hanya menghisap sari bunga. Setiap nyamuk mempunyai waktu menggigit, kesukaan menggigit, tempat beristirahat dan berkembang biak yang berbeda-beda satu dengan yang lain. Tempat berkembang biak : Nyamuk Culex sp suka berkembang biak di sembarang tempat misalnya di air bersih dan air yang kotor yaitu genangan air, got terbuka dan empang ikan. Perilaku makan : Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam hari. Nyamuk Culex sp suka menggigit binatang peliharaan, unggas, kambing, kerbau dan sapi. Menurut penelitian yang lalu kepadatan menggigit manusia di dalam dan di luar rumah nyamuk Culex sp hampir sama yaitu di luar rumah (52,8%) dan kepadatan menggigit di dalam rumah (47,14%), namun ternyata angka dominasi menggigit umpan nyamuk manusia di dalam rumah lebih tinggi (0,64643) dari nyamuk menggigit umpan orang di luar rumah (0,60135). Kesukaan beristirahat : Setelah nyamuk menggigit orang atau hewan nyamuk tersebut akan beristirahat selama 2 sampai 3 hari. Setiap spesies nyamuk mempunyai kesukaan beristirahat yang berbeda-beda. Nyamuk Culex sp suka beristirahat dalam rumah. Nyamuk ini sering berada dalam rumah sehingga di kenal dengan nyamuk rumahan. Aktifitas menghisap darah : Nyamuk Culex sp suka menggigit manusia dan hewan terutama pada malam hari (nocturnal). Nyamuk Culex sp menggigit beberapa jam setelah matahari terbenam sampai sebelum matahari terbit. Dan puncak menggigit nyamuk ini adalah pada pukul 01.00-02.00. Habitat : Nyamuk dewasa merupakan ukuran paling tepat untuk memprediksi potensi penularan arbovirus. Larva dapat di temukan dalam air yang mengandung tinggi pencemaran organik dan dekat dengan tempat tinggal manusia. Betina siap memasuki rumah-rumah di malam hari dan menggigit manusia dalam preferensi untuk mamalia lain.
D. Faktor Lingkungan Fisik
1. Suhu Faktor suhu sangat mempengaruhi nyamuk Culex sp dimana suhu yang tinggi akan meningkatkan aktivitas nyamuk dan perkembangannya bisa menjadi lebih cepat tetapi apabila 14
suhu di atas 350C akan membatasi populasi nyamuk. Suhu optimum untuk pertumbuhan nyamuk berkisar antara 200C – 300C. Suhu udara mempengaruhi perkembangan virus dalam tubuh nyamuk. 2. Kelembaban Udara Kelembaban udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam udara yang dinyatakan dalam (%). Jika udara kekurangan uap airyang besar maka daya penguapannya juga besar. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa udara (trachea) dengan lubang-lubang pada dinding tubuh nyamuk (spiracle). Adanya spiracle yang terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturannya. Pada saat kelembaban rendah menyebabkan penguapan air dalam tubuh sehingga menyebabkan keringnya cairan tubuh. Salah satu musuh nyamuk adalah penguapan, kelembaban mempengaruhi umur nyamuk, jarak terbang, kecepatan berkembang biak, kebiasaan menggigit, istirahat dan lain-lain. 3. Pencahayaan Pencahayaan ialah jumlah intensitas cahaya menuju ke permukaan per unit luas. Merupakan pengukuran keamatan cahaya tuju yang diserap. Begitu juga dengan kepancaran berkilau yaitu intensitas cahaya per unit luas yang dipancarkan dari pada suatu permukaan. Dalam unit terbitan SI, kedua-duanya diukur dengan menggunakan unit lux (lx) atau lumen per meter persegi (cd.sr.m-2). Bila dikaitkan antara intensitas cahaya terhadap suhu dan kelembaban, hal ini sangat berpengaruh. Semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang dipancarkan ke permukaan maka keadaan suhu lingkungan juga akan semakin tinggi. Begitu juga dengan kelembaban, semakin tinggi atau besar intensitas cahaya yang dipancarkan ke suatu permukaan maka kelembaban di suatu lingkungan tersebut akan menjadi lebih rendah.
E. Vektor Penyakit
Nyamuk Culex merupakan golongan serangga penular (vektor). Nyamuk dari genus Culex dapat menyebarkan penyakit Japanese Encephalitis (radang otak), West Nile Virus, Filariasis, Japanese enchepalitis, St Louis encephalitis. dan Filariasis. Japanese Encephalitis (JE) adalah suatu penyakit yang menyerang susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh virus. Ada beberapa macam encephalitis diantaranya Japanese Encephalitis dan St Louis Encephalitis. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit nematoda yang disebut filaria. Culex sp., nyamuk yang biasa berada di sekeliling manusia, merupakan salah satu vektor filariasis limfatik. Penyakit ini dapat menurunkan produktivitas penderita, karena adanya cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, skrotum, payudara, dan genitalia wanita apabila tidak diobati (Center for Disease Control and Prevention, 2007; Wayangankar, 2010). Gejala klisnis filariasis limfatik disebabkan oleh microfilaria dan cacing dewasa baik yang hidup maupun yang mati. Microfilaria biasanya tidak menimbulkan kelainan tetapi dalam keadaan tertentu 15
dapat menyebabkan occult filariasis. Gejala yang disebabkan oleh cacing dewasa menyebabkan limfadenitis dan limfagitis retrograd dalam stadium akut, disusul dengan okstruktif menahun 10 sampai 15 tahun kemudiam. Perjalanan filariasis dapat dibagi beberapa stadium: stadium mikrofilaremia tanpa gejala klinis, stadium akut dan stadium menahun. Ketiga stadium tumpang tindih, tanpa ada batasan yang nyata. Gejala klinis filariasis bankrofti yang terdapat di suatu daerah mungkin berbeda dengan dengan yang terdapat di daerah l ain (Parasitologi Kedokteran, 2008). Pada penderita mikrofilaremia tanpa gejala klinis, pemeriksaan dengan limfosintigrafi menunjukkan adanya kerusakan limfe. Cacing dewasa hidup dapat menyumbat saluran limfe dan terjadi dilatasi pada saluran limfe, disebutlymphangiektasia. Jika jumlah cacing dewasa banyak dan lymphangietaksia terjadi secara intensif menyebabkan disfungsi system limfatik. Cacing yang mati menimbulkan reaksi imflamasi. Setelah infiltrasi limfositik yang intensif, lumen tertutup dan cacing mengalami kalsifikasi. Sumbatan sirkulasi limfatik terus berlanjut pada individu yang terinfeksi berat sampai semua saluran limfatik tertutup menyebabkan limfedema di daerah yang terkena. Selain itu, juga terjadi hipertrofi otot polos di sekitar daerah yang terkena (Pathology Basic of Disease, 2005). Stadium akut ditandai dengan peradangan pada saluran dan kelenjar limfe, berupa limfaadenitis dan limfagitis retrograd yang disertai demam dan malaise. Gejala peradangan tersebut hilang timbul beberapa kali setahun dan berlangsung beberapa hari sampai satu atau dua minggu lamanya. Peradangan pada system limfatik alat kelamin laki-laki seperti funikulitis, epididimitis dan orkitis sering dijumpai. Saluran sperma meradang, membengkak menyerupai tali dan sangat nyeri pada perabaan. Kadang-kadang saluran sperma yang meradang tersebut menyerupai hernia inkarserata. Pada stadium menahun gejala klinis yang paling sering dijumpai adalah hidrokel. Dapat pula dijumpai gejala limfedema dan elephantiasis yang mengenai seluruh tungkai, seluruh lengan, testis, payudara dan vulva. Kadang-kadanag terjadi kiluria, yaitu urin yang berwarna putih susu yang terjadi karena dilatasi pembuluh limfe pada system ekskretori dan urinary. Umumnya penduduk yang tinggal di daerah endemis tidak menunjukan peradangan yang berat walaupun mereka mengandung mikrofilaria (Parasitologi Kedokteran, 2008). Filariasis limfatik mengenai lebih dari 90 juta orang di seluruh dunia dan ditemukan pada negara tropis dan subtropis. Di Afrika Tengah, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan, sedikitnya 21 juta orang terkena filariasis. Di Indonesia, sampai Oktober 2009 penderita kronis filariasis tersebar di 386 kabupaten / kota. Filariasis limfatik juga telah ditetapkan sebagai masalah kesehatan publik oleh WHO pada tahun 1997 sehingga diadakan program eliminasi secara global. Berbagai upaya untuk menghindari penularan dapat dilakukan untuk mengurangi angka kejadian filariasis (Center for Disease Control and Prevention, 2007; Depkes R I, 2009). Pencegahan filariasis yang paling efektif adalah mencegah cucukan nyamuk pembawa mikrofilaria. Mencegah cucukan nyamuk salah satunya dengan menggunakan repelen, yaitu bahan 16
untuk menjauhkan diri dari serangga. Selain itu, pemberantasan sarang nyamuk dan tidur menggunakan kelambu juga dapat dilakukan. Penggunaan larvasida dapat mencegah bertambahnya nyamuk dengan cara membunuh larva (Hunter, 1966; Motta, 2007).
17
BAB IV ANHOPELES SP
A. Klasifikai
Kingdom
: Animal
Phylum
: Arthropoda
Kelas
: Insecta
Ordo
: Diphtera
Family
: Culicidae
Sub Family : Anophelini Genus
: Anopheles
Spesies
: Anopheles sp
B. Morfologi Nyamuk Anopheles sp
Panjang telur kurang-lebih 1mm dan memiliki pelampung di kedua sisinya. Dalam keadaan diam (istirahat), jentik nyamuk Anopheles sejajar dengan permukaan air dan ciri khasnya yaitu spirakel pada bagian posterior abdomen, tergal plate pada bagian tengah sebelah dorsal abdomen dan bulu palma pada bagian lateral abdomen. Larva beristirahat secara paralel dengan permukaan air. Pupa, mempunyai tabung pernapasan (respiratory trumpet) yang berbentuk lebar dan pendek yang digunakan untuk pengambilan oksigen dari udara. Dewasa, bercak pucat dan gelap pada sayapnya dan beristirahat di kemiringan 45 derajat suatu permukaan. Warnanya bermacam-macam, ada yang hitam, ada pula yang kakinya berbercak- bercak putih.
C. Siklus Hidup Nyamuk Anopheles
Semua serangga termasuk nyamuk, dalam siklus hidupnya mempunyai tingkatan-tingkatan yang kadang-kadang antara tingkatan yang sama dengan tingkatan yang berikutnya terlihat sangat berbeda. Berdasarkan tempat hidupnya dikenal dua tingkatan kehidupan yaitu : 1. Tingkatan di dalam air. 2. Tingkatan di luar tempat berair (darat/udara). Untuk kelangsungan kehidupan nyamuk diperlukan air, siklus hidup nyamuk akan terputus. Tingkatan kehidupan yang berada di dalam air ialah: telur. jentik, kepompong. Setelah satu atau dua hari telur berada didalam air, maka telur akan menetas dan keluar jentik. Jentik yang baru keluar dari telur masih sangat halus seperti jarum. Dalam pertumbuhannya jentik Anopheles mengalami pelepasan kulit sebanyak empat kali. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan jentik antara 8-10 hari tergantung pada suhu, keadaan makanan serta species nyamuk. Dari jentik akan tumbuh menjadi kepompong (pupa) yang 18
merupakan tingkatan atau stadium istirahat dan tidak makan. Pada tingkatan kepompong ini memakan waktu satu sampai dua hari. Setelah cukup waktunya, dari kepompong akan keluar nyamuk dewasa yang telah dapat dibedakan jenis kelaminnya. Setelah nyamuk bersentuhan dengan udara, tidak lama kemudian nyamuk tersebut telah mampu terbang, yang berarti meninggalkan lingkungan berair untuk meneruskan hidupnya didarat atau udara. Dalam meneruskan keturunannya. Nyamuk betina kebanyakan hanya kawin satu kali selama hidupnya. Biasanya perkawinan terjadi setelah 24 -48 jam dari saat keluarnya dari kepompong.
D. Aspek Perilaku (Bionomik) Nyamuk
Bionomik nyamuk mencakup pengertian tentang perilaku, perkembangbiakan, umur, populasi, penyebaran, fluktuasi musiman, serta faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi berupa lisan fisik (musim. kelembaban. angin. matahari, arus air). lingkungan kimiawi (kadar gram, PH) dan lingkungan biologik seperti tumbuhan bakau, gangang vegetasi disekitar tempat perindukan dan musim alami. Sebelum mempelajari aspek perilaku nyamuk atau makhluk hidup lainnya harus disadari bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan biologik selalu ada variasinya. Variasi tingkah laku akan terjadi didalam spesies tunggal baik didaerah yang sama maupun berbeda. Perilaku binatang akan mengalami perubahan jika ada rangsangan dari luar. Rangsangan dari luar misalnya perubahan cuaca atau perubahan lingkungan baik yang alami manpun karena ulah manusia. Perilaku mencari darah nyamuk dapat ditinjau dari beberapa segi yaitu: 1. Perilaku mencari darah dikaitkan dengan waktu .
Nyamuk Anopheles pada umumnya aktif mencari darah pada waktu malarn hari. apabila dipelajari dengan teliti ternyata tiap spesies mempunyai sifat yang tertentu, ada spesies yang aktif mulai senja hingga menjelang tengah malam dan sampai pagi hari. 2. Perilaku mencari darah dikaitkan dengan tempat .
Apabila dengan metode yang sama kita adakan. Penangkapan nyarnuk didalam dan diluar rumah maka dari hasil penangkapan tersebut dapat diketahui ada dua golongan nyamuk, yaitu: eksofagik yang lebih senang mencari darah diluar rumah dan endofagik yang lebih senang mencari darah didalam rumah. 3. Perilaku mencari darah dikaitkan dengan sumber darah.
Berdasarkan macam darah yang disenangi, kita dapat membedakan atas: antropofilik apabila lebih senang darah manusia, dan zoofilik apabila nyamuk lebih senang menghisap darah binatang dan golongan yang tidak mempunyai pilihan tertentu. 4. Frekuensi menusuk
Telah diketahui bahwa nyamuk betina biasanya hanya kawin satu kali selama hidupnya Untuk mempertahankan dan memperbanyak keturunannya, nyamuk betina hanya memerlukan 19
darah untuk proses pertumbuhan telurnya. Tiap sekian hari sekali nyamuk akan mencari darah. Interval tersebut tergantung pada species, dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, dan disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim Indonesia memerlukan waktu antara 48-96 jam. 5. Perilaku Istirahat.
Istirahat bagi nyamuk mempunyai 2 macam artinya: istirahat yang sebenarnya selama waktu menunggu proses perkembangan telur dan istirahat sementara yaitu pada waktu nyamuk sedang aktif mencari darah. Meskipun pada umumnya nyamuk memilih tempat yang teduh, lembab dan aman untuk beristirahat tetapi apabila diteliti lebih lanjut tiap species ternyata mempunyai perilaku yang berbeda-beda. Ada spesies yang halnya hinggap tempat-tempat dekat dengan tanah ( An.Aconitus) tetapi ada pula species yang hinggap di tempat-tempat yang cukup tinggi (An.Sundaicus). Pada waktu malam ada nyamuk yang masuk kedalam rumah hanya untuk menghisap darah orang dan kemudian langsung keluar. Ada pula yang baik sebelum maupun sesudah menghisap darah orang akan hinggap pada dinding untuk beristirahat. 6. Perilaku Berkembang Biak.
Nyamuk Anopheles betina mempunyai kemampuan memilih tempat perindukan atau tempat untuk berkembang biak yang sesuai dengan kesenangan dan kebutuhannya Ada species yang senang pada tempat-tempat yang kena sinar matahari langsung (an. Sundaicus), ada pula yang senang pada tempat-tempat teduh (An. Umrosus). Species yang satu berkembang dengan baik di air payau (campuran tawar dan air laut) misalnya ( An. Aconitus) dan seterusnya Oleh karena perilaku berkembang biak ini sangat bervariasi, maka diperlukan suatu survai yang intensif untuk inventarisasi tempat perindukan, yang sangat diperlukan dalam program pemberantasan.
E. Vektor Penyakit
Nyamuk Anopheles bisa menyebabkan penyakit malaria. Nyamuk ini suka menusuk dalam posisi menungging alias posisi badan, mulut, dan jarum yang dibenamkan ke kulit manusia dalam keadaan segaris. Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit jenis plasmodium ditandai demam berkala, menggigil dan berkeringat. Penyakit ini dapat mengakibatkan kematian bagi penderitanya. Pada saat ini nyamuk vektor malaria di Indonesia yang ditemukan sebanyak 20 spesies dari genus Anopheles. Empat di antaranya adalah Anopheles Aconitus, Anopheles Sundaicus, Anapheles Maculatus dan Anopheles Barbirostris. Ada beberapa jenis vektor malaria yang perlu diketahui diantaranya. 1. An. Aconitus. 2. An. Sundaicus. 3. An. Maculatus. 4. An. Barbirostris.
20
Dalam menentukan apakah nyamuk anophelini yang hidup di alam bebas berfungsi sebagai vektor malaria adalah dengan jalan menemukan stadium sporozoit dari plasmodium di kelenjar liur nyamuk. Cara untuk menemukan sporozoit ini adalah dengan membedah nyamuk betina. Untuk menentukan vektor di suatu daerah endemik malaria, perlu diketahui beberapa faktor, antara lain: 1. Kebiasaan nyamuk anophelini mengisap darah manusia. 2. Umur nyamuk betina yang lebih dari 10 hari. 3. Kepadatan nyamuk anophelini melebihi spesies lain. 4. Hasil percobaan di laboratorium menunjukkan kemampuan mengembangkan plasmodium menjadi stadium sporozoit bila nyamuk betina diinfeksi. Pengendalian ektor untuk pemberantasan malaria ini dapat dilakukan berbagai cara, antara lai n: 1. Mengobati penderita sampai sembuh hingga tidak ada sumber penularan. 2. Mengusahakan agar tidak terjadi kontak antara manusia dengan nyamuk anophelini dengan cara: a. Memasang kawat kasa di bagian-bagian rumah yang terbuka seperti jendela, pintu dan ventilasi lainnya. b. Penggunaan kelambu. c. Melindungi dari gigitan nyamuk dengan repellent. d. Memberikan penyuluhan tentang kesehatan lingkungan yang berkaitan dengan pemusnahan tempat perindukan nyamuk.
21
DAFTAR PUSTAKA
Amir Hamzah. 2010. Model Populasi Nyamuk Aedes Aegypti. Jurnal Ilmiah. ITB Annisa M. A. 2014. STUDI EKOLOGI TEMPAT PERINDUKAN VEKTOR MALARIA DI DAERAH RAWA DESA LEMPASING KECAMATAN PADANG CERMIN KABUPATEN PESAWARAN PROPINSI LAMPUNG. Fakultas MIPA, Universitas Lampung. Astuti, Monica Anjar Wiji. 2011. UJI DAYA BUNUH EKSTRAK BUNGA KECOMBRANG (Nicolaia speciosa (Blume) Horan.) TERHADAP LARVA NYAMUK Culex quinquefasciatus Say. S1 thesis UAJY Boesri, Hasan. 2011. Biologi Dan Peranan Aedes Albopictus (Skuse) 1894 Sebagai Penular Penyakit . Jurnal Ilmiah. Balai Besar Penelitian Dan Pengembangan Vektor Dan Reservoir Penyakit Salatiga, Badan Litbangkes Diah F. R., Adil U. 2013. Identifikasi Aedes Aegypti Dan Aedes Albopictus. Jurnal Ilmiah. Balai Litbang P2B2 Banjarnegara Ginting , Andri Mahyugi. 2005. Uji Dayaguna Bacillus Sphaericus Terhadap Mortalitas Larva Culex Quinquefasciatus, Aedes Aegypti, Dan Anopheles Aconitus Di Laboratorium . Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam . Universitas Sebelas Maret Rozana A. W. 2013. Identifikasi Telur Nyamuk Tertangkap Pada Ovitrap Berbahan Bambu (Studi Populasi Di Kelurahan Kemandungan Rt.03 Rw.Ii Kota Tegal) . Jurnal Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Semarang Siti Mundriah. 2013. Identifikasi Jenis Nyamuk Di Perumahan Bukit Kencana Jaya Rt.05 Rw.Xv Semarang . Jurnal Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Semarang Tri R, Bambang Y. 2009. Aktivitas Menggigit Nyamuk Culex Quinquefasciatus Di Daerah Endemis Filariasis Limfatik Kelurahan Pabean Kota Pekalongan Provinsi Jawa Tengah . Jurnal Ilmiah. Loka Litbang P2B2 Banjarnegara Kris C. M.___. Morfologi, Klasifikasi, Siklus Hidup, Habitat dan Penyakit yang ditularkan oleh Nyamuk Aedes sp. Jurnal Ilmiah. Universitas Airlangga, Institute of Tropical Disease (ITD)
22