BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengobatan komplementer merupakan suatu fenomena yang muncul saat ini diantara banyaknya fenomena-fenomena pengobatan non konvensional yang lain, seperti pengobatan dengan ramuan atau terapi (Hamijoyo, 2003). Masyarakat luas saat ini mulai beralih dari pengobatan modern (medis) ke pengobatan komplementer, meskipun pemgobatan modern juga sangat popular di kalangan masyarakat, sebagai contoh banyak masyarakat yang memilih mengobati keluarga mereka yang patah tulang ke pelayanan non medis dari pada mengobati ke Rumah Sakit ahli tulang. Sakit adalah suatu alasan yang paling umum untuk mencari pengobatan demi memperoleh kesembuhan. Hal ini dibuktikan di salah satu Negara modern (Israel), dimana dalam
sebuah
penelitian
tentang
penggunaan
klinik
pengobatan
komplementer untuk pengobatan nyeri. Data menyebutkan bahwa sekitar 395 warga negara Israel mengunjungi klinik pengobatan komplementer, 69 pasien (46,6%) dengan nyeri punggung, nyeri lutut 65 (43,9%), dan 28 (32,4%) lainnya nyeri tungkai (Peleg, 2011). Data lain menyebutkan terjadi peningkatan jumlah pengguna terapi komplementer di Amerika dari 33% pada tahun 1991 menjadi 42% di tahun 1997 (Eisenberg, 1998 dalam Snyder & Lindquis, 2002). Terapi komplementer adalah pengobatan pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dapat dipakai
sebagai pendamping terapi konvensional medis.
Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad (Moyad & Hawks, 2009). Terapi komplementer yang ada menjadi salah satu pilihan pengobatan masyarakat. Di berbagai tempat pelayanan kesehatan tidak sedikit klien bertanya tentang terapi komplementer atau alternatif pada petugas kesehatan kesehat an seperti sepert i dokter ataupun perawat (Smith et al., 2004). Klien yang menggunakan terapi komplemeter memiliki beberapa alasan. Salah satu alasannya adalah filosofi holistik pada terapi komplementer, yaitu adanya harmoni dalam diri dan promosi kesehatan dalam terapi komplementer.
1
Alasan lainnya yaitu klien ingin terlibat untuk pengambilan keputusan dalam pengobatan dan peningkatan kualitas hidup dibandingkan sebelumnya. Sejumlah 82% klien melaporkan adanya reaksi efek samping dari pengobatan konvensional yang diterima menyebabkan memilih terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). 1.2. Manfaat
1.2.1. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis terapi komplementer yang ada di masyarakat 1.2.2. Mahasiswa mengetahui jenis-jenis terapi komplementer yang dapat digunakan perawat sebagai pengobatan alternative 1.2.3. Mahasiswa mengetahui terapi komplementar berdasarkan aspek hukum, budaya, dan etika keperawatan
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Definisi Terapi Komplementer
Pengobatan komplementer adalah pengobatan nonkonvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi (Kemenkes RI, 2011) Komplementer adalah semua terapi yang digunakan sebagai tambahan untuk terapi konvensional yang direkomendasikan oleh penyelenggara pelayanan kesehatan. Terapi komplementer dipergunakan untuk melengkapi terapi konvensional (Potter, 2010). Terapi komplementer adalah pengobatan tradisional yang sudah diakui dan dapat
dipakai
sebagai
pendamping
terapi
konvensional
medis.
Pelaksanaannya dapat dilakukan bersamaan dengan terapi medis (Moyad & Hawks, 2009) 2.2. Macam-macam Terapi Komplementer
Jenis pengobatan komplementer berdasarkan Peraturan menteri kesehatan RI, Nomor: 1109/Menkes/Per/2007 yaitu pijat urut, aromaterapi, chiropraktik, yoga, mediasi, akupunktur, osteopati, akupresur, shiatsu, terapi herbal, hipnoterapi, penyembuhan spiritual, do’a, naturopati, homeopati, healing touch, tuina, jamu, gurah, makro nutrient, mikro nutrient, terapi ozon, hiperbarik,terapi energi (medan energi) (Kemenkes RI, 2011). 1. Aromaterapi 2. Chiropraktik 3. Yoga 4. Mediasi 5. Akupunktur 6. Osteopati 7. Akupresure
3
8. Shiatsu 9. Terapi herbal 10. Hipnoterapi 11. Penyembuhan spiritual 12. Do’a 13. Naturopati 14. Homeopati 15. Healing touch 16. Tuina 17. Gurah 18. Makro nutrient 19. Terapi ozon 20. Hiperbarik 21. Terapi energi (medan energi) Terapi komplementer yang direkomendasikan untuk perawat adalah : masase, terapi musik, diet, teknik relaksasi, vitamin dan produk herbal. Di Amerika terapi komplementer kedokteran dibagi empat jenis terapi : Chiropractic, Teknik Relaksasi (termasuk bagian dari Hypnomedis), Terapi Masase dan Akupunktur. Menurut National Institute of Health (NIH), terapi komplementer dikategorikan menjadi 5, yaitu : 1. Biological Based Practice : herbal, vitamin, dan suplemen lain 2. Mind-body techniques : meditasi, hypnomedis 3. Manipulative and body-based practice : pijat, refleksi 4. Energy therapies : terapi medan magnet 5. Ancient medical systems : obat tradisional chinese, aryuvedic, akupuntur Di Indonesia ada 3 jenis teknik pengobatan komplementer yang telah ditetapkan oleh Departemen Kesehatan untuk dapat diintegrasikan ke dalam pelayanan konvensional, yaitu sebagai berikut : 1. Akupunktur medic yaitu metode yang berasal dari Cina ini diperkirakan
sangat bermanfaat dalam mengatasi berbagai kondisi kesehatan tertentu dan juga sebagai analgesi (pereda nyeri). Cara kerjanya adalah dengan mengaktivasi berbagai molekul signal yang berperan sebagai komunikasi
4
antar sel. Salah satu pelepasan molekul tersebut adalah pelepasan endorphin yang banyak berperan pada sistem tubuh. 2. Terapi hiperbarik , yaitu suatu metode terapi dimana pasien dimasukkan
ke dalam sebuah ruangan yang memiliki tekanan udara 2 – 3 kali lebih besar daripada tekanan udara atmosfer normal (1 atmosfer), lalu diberi pernapasan oksigen murni (100%). Selama terapi, pasien boleh membaca, minum, atau makan untuk menghindari trauma pada telinga akibat tingginya tekanan udara. 3. Terapi herbal medik , yaitu terapi dengan menggunakan obat bahan alam,
baik berupa herbal terstandar dalam kegiatan pelayanan penelitian maupun berupa fitofarmaka. Herbal terstandar yaitu herbal yang telah melalui uji preklinik pada cell line atau hewan coba, baik terhadap keamanan maupun efektifitasnya. Berdasarkan Permenkes RI Nomor : 1109/Menkes/Per/2007 adalah : 1. Intervensi tubuh dan pikiran (mind and body interventions) Hipnoterapi, mediasi, penyembuhan spiritual, doa dan yoga. 2. Sistem pelayanan pengobatan alternatif : akupuntur, akupresur, naturopati, homeopati, aromaterapi, ayurveda 3. Cara penyembuhan manual : chiropractice, healing touch, tuina, shiatsu, osteopati, pijat urut. Pengobatan farmakologi dan biologi : jamu, herbal, gurah. Diet dan nutrisi untuk pencegahan dan pengobatan : diet makro nutrient, mikro nutrient. Cara lain dalam diagnosa dan pengobatan : terapi ozon, hiperbarik 2.3. Aplikasi Terapi Komplementer sebagai Terapi Alternatif di Masyarakat
Banyaknya terapi pengobatan komplementer tidak semuanya digunakan, tetapi untuk dipilih berdasarkan pertimbangan yang paling sesuai bagi pasien dan keluarganya dari segi yaitu latar belakang kultural, tersedianya terapis atau fasilitas, biaya. Persepsi-persepsi masyarakat terhadap pengobatan komplementer antara lain berupa anggapan masyarakat bahwa pengobatan komplementer sering bertentangan dengan keyakinan agama, kurang berkhasiat, tidak ilmiah dan sebagainya akan berdampak pada sikap yang tidak
mendukung
atau
negatif 5
terhadap
penggunaan
pengobatan
komplementer oleh masyarakat. Sedangkan anggapan-anggapan yang positif, misalnya
pengobatan
komplementer
terbukti
berkhasiat
dikalangan
masyarakat umum atau sesuai dengan contoh Nabi, maka persepsi tersebut membentuk sikap positif pada diri masyarakat, yaitu mereka memiliki kecenderungan menggunakan pengobatan komplementer tersebut. 2.4. Komplementer ditinjau dari berbagai Aspek 1. Terapi Komplementer Ditinjau dari Aspek Hukum
a. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109 Tahun 2007 tentang penyelenggaraan pengobatan komplementer alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan. b. Keputusan Menkes RI No 1076/Menkes/SK/VII/2003 mengatur tentang penyelenggaraan Pengobatan Tradisional. c. Keputusan Menkes RI Nomor 121 Tahun 2008 tentang Standar Pelayanan Medik Herbal. Untuk terapi SPA (Solus Per Aqua) atau dalam bahasa Indonesia sering diartikan sebagai terapi Sehat Pakai Air, diatur dalam Permenkes RI No. 1205/ Menkes/Per/X/2004 tentang pedoman persyaratan kesehatan pelayanan Sehat Pakai Air (SPA). d. Undang – Undang RI No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan 1) Pasal 1 butir 16, pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun – temurun secara empiris yang dapat dipertanggung jawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat; 2) Pasal 48 tentang pelayanan kesehatan tradisional; 3) Bab III Pasal 59 s/d 61 tentang pelayanan kesehatan tradisonal. e. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 120/Menkes/SK/II/2008 tentang standar pelayanan hiperbarik; f. Keputusan
Direktur
Jenderal
Bina
Pelayanan
Medik,
No.
HK.03.05/I/199/2010 tentang pedoman kriteria penetepan metode pengobatan komplementer – alternatif yang dapat diintegrasikan di fasilitas pelayanan kesehatan.
6
2. Terapi Komplementer Ditinjau dari Aspek Sosial dan Budaya
Terapi komplementer juga bisa dipengaruhi oleh aspek kebudayaan. Kebudayaan menanamkan garis pengarah sikap terhadap berbagai permasalahan. Budaya disetiap lokasi berbeda-beda dan setiap daerah mempunyai budaya komplementer yang beragam dan unik, seperti daerah Jawa yang memiliki budaya minum jamu (ramuan herbal) karena masyarakat Jawa meyakini bahwa jamu dapat mempertahankan kesehatan. Hal ini tentu berbeda dengan pola pikir budaya masyarakat yang tinggal di kota yang cenderung memilih untuk mengkonsumsi vitamin tablet untuk mempertahankan kondisi daya tahan tubuh. Teori keperawatan yang ada dapat dijadikan dasar bagi perawat dalam mengembangkan terapi komplementer misalnya teori transkultural yang dalam praktiknya mengaitkan ilmu fisiologi, anatomi, patofisiologi, dan lain-lain. Hal ini didukung dalam catatan keperawatan Florence Nightingale
yang
telah
menekankan
pentingnya
mengembangkan
lingkungan untuk penyembuhan dan pentingnya terapi seperti musik dalam proses penyembuhan. Selain itu, terapi komplementer meningkatkan kesempatan perawat dalam menunjukkan caring pada klien (Snyder & Lindquis, 2002). 3. Terapi Komplementer Ditinjau dari Aspek Etika Keperawatan
Terapi dalam keperawatan adalah konsep diri sebagai penyembuh harus dipahami dan dialami oleh setiap perawat untuk akan pengetahuan dan terampil dalam pengiriman, arahan, atau konseling, pasien dalam penggunaan berbagai terapi. Hal ini mencakup pemahaman kesehatan. Terapi komplementer sudah dikenal secara luas serta telah digunakan sejak dulu dalam dunia kesehatan. Namun, dalam beberapa survei yang telah dilakukan mengenai penggunaan terapi komplementer, cakupan terapi komplementer sendiri masih agak terbatas. Seperti Thomas Friedman (2005) mengatakan; saat ini, dunia kesehatan, termasuk salah satunya praktisi keperawatan masih bingung tentang apa itu terapi komplementer. Memperluas pengetahuan tentang perspektif obat pelengkap seperti terapi komplementer, dilakukan 7
oleh sebagian orang-orang dalam beberapa budaya di dunia yaitu sangat penting untuk perawatan kesehatan yang kompeten.. Dengan demikian sangat penting bagi perawat profesional kesehatan untuk melakukan penilaian holistik pasien mereka untuk menentukan arah yang luas dari penyembuhan praktek-praktek yang akan mereka jalankan. Hal ini berlaku tidak hanya bagi pasien baru, tapi untuk semua pasien. Penggunaan terapi komplementer / alternatif menjadi lebih kompleks terhadap tingkat pemahaman
pribadi.
Dalam
masing-masing
terapi
komplementer,
komunikasi penyembuhan sering terjadi antara perawat danpasien. Peran perawat yang dapat dilakukan dari pengetahuan tentang terapi komplementer diantaranya sebagai konselor, pendidik kesehatan, peneliti, pemberi pelayanan langsung, koordinator dan sebagai advokat. Sebagai konselor perawat dapat menjadi tempat bertanya, konsultasi, dan diskusi apabila klien membutuhkan informasi ataupun sebelum mengambil keputusan. Sebagai pendidik kesehatan, perawat dapat menjadi pendidik bagi perawat di sekolah tinggi keperawatan seperti yang berkembang di Australia dengan lebih dahulu mengembangkan kurikulum pendidikan (Crips & Taylor, 2001). Peran perawat sebagai peneliti di antaranya dengan melakukan berbagai penelitian yang dikembangkan dari hasilhasil evidence-based practice. Perawat dapat berperan sebagai pemberi pelayanan langsung misalnya dalam praktik pelayanan kesehatan yang melakukan integrasi terapi komplementer (Snyder & Lindquis, 2002). Perawat lebih banyak berinteraksi dengan klien sehingga peran koordinator dalam terapi komplementer juga sangat penting. Perawat dapat mendiskusikan terapi komplementer dengan dokter yang merawat dan unit manajer terkait. Sedangkan sebagai advokat perawat berperan untuk memenuhi permintaan kebutuhan perawatan komplementer yang mungkin diberikan termasuk perawatan alternatif (Smith et al.,2004). Perawat secara holistik harus bisa mengintegrasikan prinsip mindbody-spirit dan modalitas (cara menyatakan sikap terhadap suatu situasi) dalam kehidupan sehari-hari dan praktek keperawatannya. Terapi komplementer menjadi
8
salah satu cara bagi perawat untuk menciptakan lingkungan yang terapeutik dengan menggunakan diri sendiri sebagai alat atau media penyembuh dalam rangka menolong orang lain dari masalah kesehatan. Terapi komplementer digunakan bersama-sama dengan terapi medis conventional. Pengembangan kebijakan, praktik keperawatan, pendidikan, dan riset. Apabila isu ini berkembang dan terlaksana terutama oleh perawat yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan tentang terapi komplementer, diharapkan akan dapat meningkatkan pelayanan kesehatan sehingga kepuasan klien dan perawat secara bersama-sama dapat meningkat. 2.5. Terapi Komplementer di Indonesia
Minat masyarakat Indonesia terhadap terapi komplementer ataupun yang masih tradisional mulai meningkat (Widyatuti, 2008). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengunjung praktik terapi komplementer dan tradisional di berbagai tempat. Selain itu, sekolah-sekolah khusus ataupun kursuskursus terapi semakin banyak dibuka. Ini dapat dibandingkan dengan Cina yang telah memasukkan terapi tradisional Cina atau traditional Chinese Medicine (TCM) ke dalam perguruan tinggi di negara tersebut (Snyder & Lindquis, 2002; Widyatuti, 2008). Masyarakat Indonesia juga sudah mengenal adanya terapi tradisional seperti jamu yang telah berkembang lama. Kenyataannya klien yang berobat di berbagai jenjang pelayanan kesehatan tidak hanya menggunakan pengobatan Barat (obat kimia) tetapi secara mandiri memadukan terapi tersebut yang dikenal dengan terapi komplementer (Widyatuti, 2008). Saat ini, pengawasan pada penyelenggaraan praktik terapi komplementer di masyarakat baru berupa pendaftaran saja oleh pemerintah daerah. Bahkan, dari hasil penelusuran terbaru oleh dinas kesehatan di berbagai daerah, banyak sarana/tenaga terapi komplementer tidak terdaftar di dinas kesehatan setempat, sehingga hal ini sangat dikhawatirkan banyak merebak pengobatan palsu yang berkedok terapi kompelementer/ alternatif yang dijalankan oleh tenaga yang tidak berkompeten, yang pada akhirnya dapat membahayakan masyarakat. Saya yakin, dengan menjamurnya terapi komplementer di 9
masyarakat, di waktu mendatang Pemerintah akan mengeluarkan standarisasi, pengaturan, dan pengawasan yang lebih gamblang dan baku yang memuat perlindungan hukum bagi masyarakat, termasuk tentang standarisasi tenaga pelaksana dan pendidikan yang harus ditempuh sebagai syarat dalam menyelenggarakan terapi komplementer. Oleh karena itu, perawat sebagai salah satu tenaga kesehatan di Indonesia harus segera melakukan jemput bola agar dapat berperan dalam penyelenggaraan terapi ini. Terutama pada institusi pendidikan keperawatan harus jeli dalam menangkap peluang yang terdapat dalam isu etik terapi komplementer ini dengan mengakomodir dalam pembelajaran
(setelah
melalui
standarisasi
kurikulum
pendidikan
keperawatan terpadu) serta sebagai bahan kajian diskusi ilmiah dan penelitian berkelanjutan dengan didukung pula upaya- upaya strategis oleh organisasi profesi. Diharapkan, dalam praktik terapi komplementer ini nantinya perawat tidak masuk lagi dalam zona abu- abu (seperti pada praktik klinik mandiri) namun
dapat
memberikan
warna
yang
tegas
dalam
dunia
profesi
keperawatan. Diperlukan adanya integrasi antara Permenkes tentang tentang penyelenggaraan
No. 1109 tahun 2007
pelayanan kesehatan komplementer
alternatif di fasilitas pelayanan kesehatan, dan tenaga pelaksana termasuk tenaga asing dengan Permenkes Nomor 148 tahun 2110 tentang praktek keperawatan. Selama ini ijin mereka berdasarkan praktek keperawatan. PPNI masih membahas bagaimana mengintegrasikan peraturan Permenkes dan peraturan praktik keperawatan (Erry et al, 2014).
10
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Pengobatan komplementer adalah pengobatan nonkonvensional yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dengan upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif
yang diperoleh melalui
pendidikan terstruktur dengan kualitas, keamanan dan efektifitas yang tinggi berlan. Perkembangan terapi komplementer atau alternatif sudah luas, termasuk didalamnya orang yang terlibat dalam memberi pengobatan karena banyaknya profesional kesehatan dan terapis yang terlibat dalam terapi komplementer. Hal ini dapat meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian-penelitian yang dapat memfasilitasi terapi komplementer agar menjadi lebih dapat dipertanggungjawabkan. Perawat sebagai salah satu profesional kesehatan, dapat turut serta berpartisipasi dalam terapi komplementer. Peran yang dijalankan sesuai dengan peran-peran yang ada. Arah perkembangan kebutuhan masyarakat dan keilmuan mendukung untuk meningkatkan peran perawat dalam terapi komplementer karena pada kenyataannya, beberapa terapi keperawatan yang berkembang diawali dari alternatif atau tradisional terapi. 3.2. Saran
Adapun saran yang kami dapat dari pembuatan makalah ini adalah perawat maupun mahasiswa keperawatan dapat memahami dan mengetahui tentang terapi komplementer sehingga diharapkan dalam praktek di masa depan mahasiswa bisa mengaplikasikan terapi ini sebagai pengobatan alternatif dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki kepada pasiennya.
11
DAFTAR PUSTAKA
Andrews, M., Angone, KM, Cray, JV, Lewis, JA & Johnson, PH, 1999, Nurse’s handbook of alternative and complementary therapies, Pennsylvania: Springhouse. Erry, Andy, LS, Raharni & Rini, SH 2014, Kajian Implementasi Kebijakan Pengobatan Komplementer Alternatif dan Dampaknya Terhadap Perijinan Tenaga
Kesehatan
Praktek
Pengobatan
Komplementer
Alternatif
Akupuntur, Buletin Penelitian Sistem Kesehatan – Vol. 17 No. 3 Juli 2014: 275 – 284 Setyaningsih, Y, 2012, ‘Hubungan Antara Persepsi Dengan Sikap Masyarakat Terhadap Pengobatan Komplementer Di Kecamatan Grogol Kabupaten Sukoharjo’, Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta Smith, SF, Duell, DJ, Martin, BC, 2004. Clinical nursing skills: Basic to advanced skills. New Jersey: Pearson Prentice Hall. Snyder, M & Lindquist, R, 2002. Complementary/alternative therapies in nursing. 4th ed. New York: Springer. Widyatuti, 2008, Terapi Komplementer dalam Keperawatan, Jurnal Keperawatan Indonesia, Volume 12, No. 1, Maret 2008; hal 53-57
12